Anda di halaman 1dari 58

CASE REPORT

KOLEDOKOLITIASIS + DIABETES MELLITUS TIPE 2

Oleh
dr. Ulima Mazaya Ghaisani

Perceptor
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD

Pendamping:
dr. Ratna Purwaningrum, M.Kes
dr. Dwi Robbiardy Eksa, M.Kes

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMAH


SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit saluran empedu mengenai cukup banyak orang di


dunia. Lebih dari 95% penyakit saluran empedu diakibatkan kolelitiasis (batu
empedu). Prevalensi batu empedu lebih rendah dari kejadian sebenarnya, karena
sekitar 90% tetap asimtomatik. Batu terjadi pada pria 7% dan 15% pada wanita.
berusia antara 18-65 tahun. Penderita wanita lebih banyak dengan
perbandingan 3:1 pada usia < 40 tahun, yang menjadi seimbang pada manula.
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu,
dan dikenal sebagai kolelitiasis, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi
melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi
koledokolitiasis. Umumnya pasien dengan batu empedu jarang
mempunyai keluhan, namun sekali batu empedu mulai menimbulkan
serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami komplikasi
akan terus meningkat.
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu,
yang terdiri dari kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein,
asam lemak, fosfolipid (lesitin), dan elektrolit. Menurut gambaran
makroskopiknya terbagi atas tiga golongan yaitu: (1) batu kolesterol, (2)
batu kalsium bilirubinat atau batu pigmen coklat, (3) batu pigmen hitam.
2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. STATUS PASIEN
A. Identifikasi Pasien
Nama lengkap : Ny. A
Umur : 37 Tahun
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kelapa Tiga, Bandar Lampung
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
MRS : 29 April 2020

B. Anamnesis
Diambil dari autoanamnesis tanggal 30 April 2020 pada pukul 09.00
WIB.

Keluhan Utama
Nyeri pada ulu hati, tidak menjalar dan memberat sejak satu minggu yang
lalu

Keluhan Tambahan
Lemas badan, berat badan menurun
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien
mengeluhkan nyeri pada ulu hati. Keluhan nyeri berupa nyeri seperti
ditusuk-tusuk, hilang timbul, dan tidak menyebar ke bagian perut lainnya
maupun punggungnya. Nyeri dirasakan lebih berat ketika pasien
beraktivitas. Ketika ditanyakan skala nyeri dari 0-10 pasien menyebutkan
angka 4. Keluhan nyeri ulu hati tersebut ditambah dengan adanya sesak
yang hilang timbul. Timbul ketika ada nyeri ulu hati dan hilang ketika
nyeri ulu hati juga hilang. Keluhan demam, mual, dan muntah disangkal.
Pasien juga mengeluhkan sering BAK terutama pada malam hari dan
jumlah urin meningkat dari biasanya, namun dari segi warna, pasien
mengaku urin berwarna kuning jernih. Pasien juga mengaku lebih banyak
makan (5x/hari) dan minum. Pasien mengaku BAB seperti biasa baik
konsistensi (lembek), warna (kuning-kecoklatan), dan frekuensi (satu kali
sehari). Keluhan luka yang sulit sembuh disangkal.
Sebelum masuk ke RSAM, pasien berobat ke puskesmas dan
diberikan obat penghilang nyeri. Namun keluhan tidak berkurang sehingga
pasien memutuskan untuk memeriksakan diri ke RS Advent 1 bulan
SMRS dan sudah dilakukan USG Abdomen dan didapatkan adanya
penyumbatan pada kantung empedu. Satu minggu SMRS pasien
mengatakan nyeri ulu hati yang tidak menjalar dan semakin memberat.
Pasien mengaku mempunyai dispepsia sejak kecil dan muncul
ketika pasien telat makan. Pasien belum pernah diperiksa gula darah
sebelumnya. Pola makan pasien sering tidak teratur dan sering
mengonsumsi suatu makanan yang manis. Pasien juga mengatakan jarang
melakukan olahraga secara teratur. Keluhan baal-baal dan kesemutan pada
tangan dan kaki tidak pernah dirasakan oleh pasien. Keluhan penglihatan
kabur, jantung berdebar dan nyeri dada disangkal. Riwayat kencing manis
pada anggota keluarga yang lain disangkal. Riwayat darah tinggi
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu Ginjal /Sal.
Kemih
(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hernia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit Prostat
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skirofula (-) Diabetes
(-) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Kholera (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
Darah
(-) Demam Rematik (-) Ulkus Ventrikuli (-) CRF
Akut
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Operasi
(-) Pleuritis (+) Dispepsia (-) Kecelakaan
(-) Tuberkulosis (+) Batu Empedu

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Hubungan Keadaan kesehatan Penyebab
Meninggal
Kakek Meninggal Tidak tahu
Nenek Meninggal Tidak tahu
Ayah DM (-), HT (-), asma (-), jantung (-), ginjal (-)
Ibu DM (-), HT (-), asma (-), jantung (-), ginjal (-)
Saudara DM (-), HT (-), asma (-), jantung (-), ginjal (-)
Anak DM (-), HT (-), asma (-), jantung (-), ginjal (-)
Adakah Kerabat yang Menderita
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi √
Asma √
Tuberkulosa √
Artritis √
Rematisme √
Hipertensi √
Jantung √
Ginjal √
Lambung √

D. Anamnesis Sistem
Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang
bersangkutan.

Kulit (tidak ada keluhan)


(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam
(-) Kuku (-) Kuning / Ikterus (-) Sianosis
(-) Lain-lain

Kepala (tidak ada keluhan)


(-) Trauma (-) Sakit kepala (di bagian temporal,
seperti tertusuk-tusuk)
(-) Sinkop (-) Nyeri pada sinus

Mata (tidak ada keluhan)


(-) Nyeri (di belakang kedua bola (-) Radang keringat malam
mata; terasa panas)
(-) Sekret (-) Gangguan penglihatan
(-) Kuning / Ikterus (-) Ketajaman penglihatan
Telinga (tidak ada keluhan)
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran
(-) Kehilangan pendengaran

Hidung (tidak ada keluhan)


(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis

Mulut (tidak ada keluhan)


(-) Bibir (-) Lidah
(-) Gusi (-) Gangguan pengecap
(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan (tidak ada keluhan)


(-) Nyeri tenggorokan (-) Perubahan suara

Leher (tidak ada keluhan)


(-) Benjolan (-) Nyeri leher

Jantung / Paru-Paru (tidak ada keluhan)


(-) Nyeri dada (-) Sesak nafas
(-) Berdebar (-) Batuk darah
(-) Ortopnoe (-) Batuk
Abdomen (Lambung / Usus)
(-) Rasa kembung (-) Perut membesar
(-) Mual (-) Wasir
(-) Muntah ≥ 10 kali/hari (-) Mencret
(-) Muntah darah (-) Tinja berdarah
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna dempul
(+) Nyeri perut, kolik (-) Tinja berwarna kehitaman
(+) Perut terasa keras (-) Benjolan

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria (-) Kencing nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(+) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi urin
(-) Kencing batu (-) Kencing menetes
(-) Ngompol (tidak disadari) (-) Penyakit prostat

Katamenis (tidak ada keluhan)


(-) Leukore (-) Perdarahan
() Lain-lain ()

Haid (tidak ada keluhan)


(-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya (-) Menarche
(-) Teratur (-) Nyeri (-) Gejala
klimakterium
(-) Gangguan haid (-) Pasca menopause

Saraf dan Otot (tidak ada keluhan)


(-) Anestesi (-) Sukar menggigit
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot lemah (-) Hipo/hiper-estesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan (tick)
(-) Amnesis (-) Pusing (Vertigo)
(-) Lain-lain (-) Gangguan bicara (disartri)

Ekstremitas : (tidak ada keluhan)


(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri sendi (-) Sianosis

Berat Badan
Berat badan rata-rata (Kg) : 60 kg
Tinggi badan (cm) : 160 cm
Berat badan sekarang (Kg) : 55 Kg

(Bila pasien tidak tahu dengan pasti)


Tetap ( )
Turun (√ )
Naik ( )

E. Riwayat Hidup
Tempat lahir : (√ ) di rumah ( ) rumah bersalin ( ) RS Bersalin
( ) Lain-lain
Ditolong oleh : ( ) dokter ( ) bidan (√) dukun
( ) Lain-lain

Riwayat Imunisasi
Riwayat Imunisasi tidak diketahui pasien

Riwayat Makanan
Frekuensi/hari : 5 kali dalam sehari
Jumlah/hari : 1 porsi/ makan
Variasi/hari : bervariasi
Nafsu makan : bertambah

Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Kursus ( ) Tidak Sekolah

Kesulitan
Keuangan : tidak ada
Pekerjaan : tidak ada
Keluarga : tidak ada
Lain-lain :-

F. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 55 kg
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 65 x/menit regular, equal, isi cukup
Suhu : 34,4oC
Pernafasan : 17 x/menit
Keadaan gizi : 21,48 IMT : normal
Sianosis : Tidak ada
Edema umum : Tidak ada
Habitus : Astenikus
Cara berjalan : Normal
G. Status Generalis
Kulit
Warna : Sawo matang
Jaringan parut : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Normal
Suhu Raba : Hangat
Keringat : Tidak ada
Lapisan lemak : Tidak ada
Efloresensi : Tidak ada
Pigmentasi : Tidak ada
Pembuluh darah : Dalam batas normal
Lembab/ Kering : Lembab
Turgor : Normal
Ikterus : Tidak ditemukan
Edema : Tidak ditemukan

Kelenjar Getah Bening


Submandibula : Tidak teraba pembesaran
Supra klavikula : Tidak teraba pembesaran
Lipat paha : Tidak teraba pembesaran
Leher : Tidak teraba pembesaran
Ketiak : Tidak teraba pembesaran

Kepala
Ekspresi wajah : Normal, wajar
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut,
menyebar merata
Simetris muka : Simetris
Pembuluh darah temporal : Tidak terlihat

Mata
Exopthalmus : Tidak ada
Kelopak : Normal
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterik -/-
Lapang penglihatan : Normal
Deviatio konjungtiva : Tidak ada
Enopthalmus : Tidak ada
Lensa : Jernih
Visus : Normal
Gerak mata : Normal
Tekanan bola mata : Normal
Nistagmus : Tidak ada

Leher
Tekanan JVP : 5 -2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran

Dada
Bentuk : Simetris, normochest
Pembuluh darah : Normal
Buah dada : Normal

Paru-Paru
Depan Belakang
Inspeksi Hemithoraks simetris kiri dan Hemithoraks simetris kiri dan
kanan; Retraksi (-), kanan; Retraksi (-)
Palpasi Nyeri tekan (-) , fremitus vokal Nyeri tekan (-), fremitus vokal
simetris simetris
Perkusi Kiri sonor pada seluruh Kiri sonor pada seluruh
lapang paru lapang paru
Kanan sonor pada seluruh Kanan sonor pada seluruh
lapang paru lapang paru
Auskultasi Kiri vesikuler (+) , Ronkhi vesikuler (+) , Ronkhi (-),
(-), Wheezing(-) Wheezing (-).
Kanan vesikuler (+), Ronkhi vesikuler (+), Ronkhi (-),
(-), Wheezing(-) Wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan : Parastrernal dekstra ICS IV
Batas jantung kiri : Midclavicula sinistra ICS V
Batas atas : Parasternal ICS II
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh Darah
Arteri temporalis, karotis, brakhialis, radialis, femoralis poplitea, tibialis
posterior teraba.

Abdomen
Inspeksi : Cembung, spider navy (-)
Palpasi : Dinding perut: Nyeri tekan (+)
epigastrium, distensi (-),
asites (-), murphy sign (-),
ludwig’s sign (-)
Hati : Tidak teraba
Limpa : Schuffner 1, tepi reguler,
licin, mobile
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani – pekak
Auskultasi : Bising usus (+), 7 x/menit
Refleks dinding perut : Normal
Anggota Gerak
Lengan
Kanan Kiri
Otot
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5

Tungkai dan Kaki


Luka : Tidak
Varises : Tidak
Otot (tonus, massa) : Normotonus, eutrofi
Sendi : Normal
Gerakan : Aktif
Kekuatan : 5
Edema : -/-

Refleks
Kanan Kiri
Bisep N (Refleks lengan bawah) N (Refleks lengan bawah)
Trisep N (Kontraksi trisep) N (Kontraksi trisep)
Patela N N
Achiles N (Plantar fleksi ) N (Plantar fleksi)
Kremaster - -
Refleks kulit N N
Refleks patologis Tidak ada Tidak ada

H. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
Hemoglobin : 14,4 gr/dL
Leukosit : 21.140/uL
Eritrosit : 4,8 juta/uL
Hematokrit : 39 %
Trombosit : 236.000/ uL
MCV : 82 fL
MCH : 30 g/dL
MCHC : 36 g/dL
Hitung jenis
- Basofil :0%
- Eosinofil :0%
- Batang :0%
- Segmen : 86 %
- Limfosit : 11 %
- Monosit :3%
LED : 32 mm/jam

CT : 9 menit
BT : 3 menit

Serologi
Bilirubin total : 7,1 mg/dL
Bilirubin direk : 5,1 mg/dL
Bilirubin indirek : 2,0 mg/dL
SGOT : 120 U/L
SGPT : 131 U/L
GDS : 282 mg/dL
Ureum : 17 mg/dL
Creatinin : 0,43 mg/dL
Natrium : 138 mmol/L
Kalium : 3,8 mmol/L
Calsium : 8,5 mg/dL
Chlorida : 103 mmol/L

HbSAg : non reaktif


Anti HCV : non reaktif

USG Abdomen
Hepar : ukuran normal, permukaan rata, tepi tajam, sudut lancip,
echostr parenkim meningkat, gambaran pembuluh darah
dan sistem bilier agak kabur. Tidak tampak massa di
dalamnya.
Pankreas : ukuran normal, echo struktur parenkim baik, tidak tampak
massa
Gallbladder : ukuran normal, dinding rata, tidak tampak batu maupun
massa. Saluran empedu melebar sampai daerah massa
hiperechoic dengan shadow ukuran 13,3 mm
Ginjal kanan : ukuran dan bentuk normal, permukaan rata, echostr
parenkim baik, korteks tidak menipis, sistem
pelvikokalises tidak melebar, tidak tampak batu maupun
massa
Ginjal kiri : ukuran dan bentuk normal, permukaan rata, echostr
parenkim baik, korteks tidak menipis, sistem
pelvikokalises tidak melebar, tidak tampak batu maupun
massa
Lien : ukuran dan bentuk normal, permukaan rata, echostruktur
parenkim baik, tidak tampak massa
Vesica Urinaria : ukuran dan bentuk normal, dinding rata, tidak tampak
massa maupun batu
Rongga Abd : tidak tampak adanya cairan maupun tanda pembesaran
kelenjar lymph
Kesimpulan:
Hepar : mild fatty liver
Pankreas : struktur baik
Gallbladder : struktur baik dengan pelebaran saluran empedu e.c. batu
CBD proksimal
Ginjal kanan : struktur baik
Ginjal kiri : struktur baik
Lien : struktur baik
Vesica Urinaria : struktur baik
Rongga Abd : tak terlihat asites

I. Ringkasan
Dari anamnesis didapatkan bahwa seorang wanita berusia 37 tahun
mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Keluhan nyeri berupa nyeri seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul,
dan tidak menyebar ke bagian perut lainnya maupun punggungnya. Nyeri
dirasakan lebih berat ketika pasien beraktivitas. Ketika ditanyakan skala
nyeri dari 0-10 pasien menyebutkan angka 4. Keluhan nyeri ulu hati
tersebut ditambah dengan adanya sesak yang hilang timbul. Timbul ketika
ada nyeri ulu hati dan hilang ketika nyeri ulu hati juga hilang. Keluhan
demam, mual, dan muntah disangkal. Pasien juga mengeluhkan sering
BAK terutama pada malam hari dan jumlah urin meningkat dari biasanya,
namun dari segi warna, pasien mengaku urin berwarna kuning jernih.
Pasien juga mengaku lebih banyak makan (5x/hari) dan minum. Pasien
mengaku BAB seperti biasa baik konsistensi (lembek), warna (kuning-
kecoklatan), dan frekuensi (satu kali sehari). Keluhan luka yang sulit
sembuh disangkal.
Sebelum masuk ke RSPBA, pasien berobat ke puskesmas dan
diberikan obat penghilang nyeri. Namun keluhan tidak berkurang sehingga
pasien memutuskan untuk memeriksakan diri ke RS Advent 1 bulan
SMRS dan sudah dilakukan USG Abdomen dan didapatkan adanya
penyumbatan pada kantung empedu.
Pasien mengaku mempunyai dispepsia sejak kecil dan muncul
ketika pasien telat makan. Pasien belum pernah diperiksa gula darah
sebelumnya. Pola makan pasien sering tidak teratur dan sering
mengonsumsi suatu makanan yang manis. Pasien juga mengatakan jarang
melakukan olahraga secara teratur. Keluhan baal-baal dan kesemutan pada
tangan dan kaki tidak pernah dirasakan oleh pasien. Keluhan penglihatan
kabur, jantung berdebar dan nyeri dada disangkal. Riwayat kencing manis
pada anggota keluarga yang lain disangkal. Riwayat darah tinggi
disangkal.

Dari pemerikasaan fisik didapatkan:


Tanda vital dalam batas normal
Abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium dan spleenomegali
schuffner I, tepi teraba reguler, licin, dan mobile
Lain-lain dalam batas normal

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan:


Leukosit : 21.140/uL
LED : 32 mm/jam
Bilirubin total : 7,1 mg/dL
Bilirubin direk : 5,1 mg/dL
Bilirubin indirek : 2,0 mg/dL
SGOT : 120 U/L
SGPT : 131 U/L
Gallbladder : struktur baik dengan pelebaran saluran empedu
e.c. batu CBD proksimal
Hepar : mild fatty liver

Lainnya dalam batas normal.

Daftar Masalah
A. Anamnesis
1. Nyeri di ulu hati seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, tidak
menjalar
2. Sesak hilang timbul
3. Sering BAK terutama saat malam hari
4. Sering makan dengan frekuensi 5x.hari
5. Sering minum
6. Menyukai makanan manis dan bersantan
7. Jarang berolahraga dan aktivitas fisik secara teratur
8. Riwayat dispepsia (+)
B. Pemeriksaan fisik
1. Nyeri tekan epigastrium (+)
2. Spleenomegali schuffner 1, tepi teraba reguler, licin, dan mobile
C. Pemeriksaan penunjang
1. Leukosit : 21.140/uL
2. LED : 32 mm/jam
3. Bilirubin total : 7,1 mg/dL
4. Bilirubin direk : 5,1 mg/dL
5. Bilirubin indirek : 2,0 mg/dL
6. SGOT : 120 U/L
7. SGPT : 131 U/L
8. USG abdominal:
Gallbladder : struktur baik dengan pelebaran saluran empedu
e.c. batu CBD proksimal
Hepar : mild fatty liver

Diagnosis Kerja dan Dasar Diagnosis


Diagnosis Kerja
Koledokolitiasis dengan DM tipe 2

Diagnosis Banding
Dispepsia dengan DM tipe 2
Kolesistolitiasis dengan DM tipe 2
Kolelitiasis dengan DM tipe 2
Kolangitis e.c. koledokolitiasis dengan DM tipe 2
Kolesistitis e.c. kolelitiasis dengan DM tipe 2
Pankreatitis dengan DM tipe 2

Dasar Diagnosis
Nyeri berupa nyeri seperti ditusuk-tusuk pada epigastrium, hilang timbul,
dan tidak menyebar ke bagian perut lainnya maupun punggungnya.
Keluhan sering BAK terutama pada malam hari dan jumlah urin
meningkat dari biasanya, namun dari segi warna, pasien mengaku urin
berwarna kuning jernih. Pasien juga mengaku lebih banyak makan
(5x/hari) dan minum. Pola makan pasien sering tidak teratur dan sering
mengonsumsi suatu makanan yang manis. Pasien juga mengatakan jarang
melakukan olahraga secara teratur. Pemeriksaan fisik didapatkan
spleenomegali schuffner I, tepi teraba reguler, licin, dan mobile.

Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan peningkatan jumlah


leukosit, LED, bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, SGOT,
SGPT. Pada pemeriksaan penunjang radiologi didapatkan pelebaran
saluran empedu e.c. batu CBD proksimal dan mild fatty liver.

J. Usul Pemeriksaan
GDN
GDPP
HbA1c
Profil Lipid

K. Rencana Pengelola
a. Non Farmakologi
- Diet DM 1500 kalori, rendah lemak, rendah garam
- Tirah baring
- Edukasi
b. Farmakologi
- Inf. Ringer Laktat 20 tetes per menit
- Ciprofloksasin tablet 500 mg/12 j
- Inj. Ranitidin 50 mg/12j
- Sukralfat syrup 10 ml/8j
- Insulin glargin 0-0-0-10
- Insulin aspart 5-5-5-0
- Insulin lispro 8 IU/8j
- Ursodeoxycholic acid tablet 250 mg/12j
- Hyoscine N-butylbromide tablet 10 mg/8j

L. Prognosis
Quo at vitam : ad Bonam
Quo at functionam : ad Bonam

FOLLOW UP PASIEN
Rabu, 29 April 2020

09.00 S/ Pasien mengeluh nyeri ulu hati.

RPS/ Pasien mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Keluhan nyeri berupa nyeri seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, dan tidak
menyebar ke bagian perut lainnya maupun punggungnya. Nyeri dirasakan lebih berat
ketika pasien beraktivitas. Ketika ditanyakan skala nyeri dari 0-10 pasien
menyebutkan angka 4. Keluhan nyeri ulu hati tersebut ditambah dengan adanya sesak
yang hilang timbul. Timbul ketika ada nyeri ulu hati dan hilang ketika nyeri ulu hati
juga hilang. Keluhan demam, mual, dan muntah disangkal. Pasien juga mengeluhkan
sering BAK terutama pada malam hari dan jumlah urin meningkat dari biasanya,
namun dari segi warna, pasien mengaku urin berwarna kuning jernih. Pasien juga
mengaku lebih banyak makan (5x/hari) dan minum. Pasien mengaku BAB seperti
biasa baik konsistensi (lembek), warna (kuning-kecoklatan), dan frekuensi (satu kali
sehari). Keluhan luka yang sulit sembuh disangkal.

Sebelum masuk ke RSPBA, pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat


penghilang nyeri. Namun keluhan tidak berkurang sehingga pasien memutuskan
untuk memeriksakan diri ke RS Advent 1 bulan SMRS dan sudah dilakukan USG
Abdomen dan didapatkan adanya penyumbatan pada kantung empedu.

RPD/ Pasien mengaku mempunyai dispepsia sejak kecil dan muncul ketika pasien telat
makan. Pasien belum pernah diperiksa gula darah sebelumnya. Pola makan pasien
sering tidak teratur dan sering mengonsumsi suatu makanan yang manis. Pasien juga
mengatakan jarang melakukan olahraga secara teratur. Keluhan baal-baal dan
kesemutan pada tangan dan kaki tidak pernah dirasakan oleh pasien. Keluhan
penglihatan kabur, jantung berdebar dan nyeri dada disangkal.

RPK/ Riwayat kencing manis pada anggota keluarga yang lain disangkal. Riwayat darah
tinggi disangkal.

O/ Keadaan umum:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 85x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 35,9⁰C
Kepala:
Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher:
JVP 5+0 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Paru:
I: Bentuk dada simetris, retraksi (-)
P: Fremitus taktil kanan=kiri
P: Sonor kanan dan kiri
A: Vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung:
I: Iktus cordis tidak terlihat
P: Iktus cordis tidak teraba
P: Batas jantung kanan : Parastrernal ICS IV
Batas jantung kiri : Midclavicula ICS V
Batas atas : Para sternal ICS II
A: BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
I: Dinding perut datar
A: Bising usus (+)
P: Nyeri tekan (+) epigastrium, spleenomegali schuffner 1, tepi reguler, licin, mobile
P: Timpani
Extremitas:
Extremitas superior dan inferior: oedem -/-, kuku pucat -/-

Darah lengkap
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Darah Lengkap
Hemoglobin 14,3 13,0 – 16,0 g/dl
Jumlah Leukosit 21.140 4,0 – 10,0 103/µL
Jumlah Eritrosit 4,8 4,50 – 6,20 106/µL
Hematokrit 39 37,0 – 48,0 %
Trombosit 236.000 150-450 103/ul
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 0–1 %
Eosinofil 0 1–3 %
Batang 0 3-5 %
Segmen 86 50-70 %
Limfosit 11 20-40 %
Monosit 3 2–8 %
LED 32 0-15 mg/dl
Kimia Darah
Bilirubin total 7,1 0,3-1,2 mg/dL
Bilirubin direk 5,1 0-0 mg/dL
Bilirubin indirek 2 0,1-1,0 mg/dL
SGOT 120 6-30 U/L
SGPT 131 6-45 U/L
GDS 282 <140 mg/dL
Ureum 17 13-43 mg/dL
Creatinin 0,43 0,55-1,02 mg/dL
Natrium 138 135-145 mmol/L
Kalium 3,8 3,5-5,0 mmol/L
Calsium 8,5 8,6-10,0 mg/dL
Chlorida 102 96-106 mmol/L
HbsAg Non reaktif
Anti-HCV Non reaktif

A/ Colic abdomen e.c. koledokolitiasis + DM tipe 2

P/
1. Non farmakologi : Diet 1500 kcal/hari
2. Medikamentosa:
RL kolf gtt XX
Ceftriaxone amp 1 gr/12 jam
Ranitidin amp 50 mg/12j
Sukralfat syr 10 ml/8j
Paracetamol tab 500 mg/8j

Kamis, 30 April 2020


09.00 S/ Pasien mengeluh nyeri ulu hati.

O/ Keadaan umum:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 70x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,2⁰C

GDS : 358 mg/dL

A/ Colic abdomen e.c. koledokolitiasis + DM tipe 2


P/
1. Non farmakologi : Diet 1500 kcal/hari
2. Medikamentosa:
RL kolf gtt XX
Lantus unit 0-0-10
Novorapid unit 5-5-5-0
Ciprofloxacin tablet 500 mg/12j

Jumat, 1 Mei 2020


14.00 S/ Pasien mengeluh nyeri ulu hati berkurang.
O/ Keadaan umum:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 65 x/menit
Pernapasan : 17 x/menit
Suhu : 34,4⁰C

GDN : 224 mg/dL


GDPP : 233 mg/dL
GDS 06.00 : 303 mg/dL
GDS 11.00 : 168 mg/dL
GDS 16.00 : 156 mg/dL

A/ Colic abdomen e.c. koledokolitiasis + DM tipe 2

P/
1. Non farmakologi : Diet 1500 kcal/hari
2. Medikamentosa:
RL kolf gtt XX
Ciprofloxacin tablet 500 mg/12j
Urdafalk tablet 250 mg/12j
Scopamin tablet 10 mg/8j
Paracetamol tablet 500 mg/8j
Humolog unit 8 IU/8j

Rencana pulang: kontrol ke poli bedah umum hari Senin

Ciprofloxacin tablet 500 mg/12j


Urdafalk tablet 250 mg/12j
Scopamin tablet 10 mg/8j
Paracetamol tablet 500 mg/8j

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koledokolitiasis

A. Definisi

Choledocholithiasis mengacu pada adanya satu atau lebih batu empedu di


duktus biliaris komunis (common bile duct). Biasanya, ini terjadi ketika batu
empedu melewati dari kandung empedu ke dalam duktus biliaris komunis.

Sebuah batu empedu di duktus biliaris komunis dapat mempengaruhi distal di


ampula Vater, titik di mana saluran empedu dan saluran pankreas bergabung
sebelum ke duodenum. Obstruksi aliran empedu oleh batu di titik kritis ini dapat
menyebabkan sakit perut dan ikterus. Empedu stagnan di atas sebuah batu yang
menghalangi saluran empedu sering menjadi terinfeksi, dan bakteri dapat
menyebar dengan cepat dari sistem duktus menuju hati untuk memproduksi
infeksi yang mengancam jiwa yang disebut kolangitis. Obstruksi saluran pankreas
oleh batu empedu di ampula Vater juga dapat memicu aktivasi enzim pencernaan
pankreas dalam pankreas itu sendiri, mengarah ke pankreatitis akut.

B. Etiologi dan Patofisiologi

Pembentukan batu empedu terjadi karena zat tertentu dalam empedu yang
hadir dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutannya. Ketika empedu
terkonsentrasi di kantong empedu, dapat menjadi jenuh dengan zat ini, yang
kemudian mengendap dari larutan sebagai kristal mikroskopis. Kristal terjebak
dalam mukus kandung empedu, kandung empedu memproduksi endapan. Seiring
waktu, kristal tumbuh, agregat, dan bersatu untuk membentuk batu makroskopik.
Oklusi saluran oleh endapan dan / atau batu menghasilkan komplikasi penyakit
batu empedu. Dua zat utama yang terlibat dalam pembentukan batu empedu
adalah kolesterol dan kalsium bilirubinate.

 Batu empedu kolesterol


Kolesterol batu empedu berhubungan dengan jenis kelamin perempuan,
keturunan Amerika Eropa atau penduduk asli, dan bertambahnya usia.
Faktor risiko lain meliputi: Obesitas, Kehamilan, Kandung empedu yang
stasis, Obat, dan Keturunan.

Sindrom metabolik pada obesitas trunkal, resistensi insulin, diabetes


mellitus tipe II, hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol di hati dan merupakan faktor risiko utama
bagi perkembangan batu empedu kolesterol.

Batu empedu kolesterol lebih sering terjadi pada wanita yang telah
mengalami kehamilan kembar. Kemungkinan karena tingkat progesteron
yang tinggi pada kehamilan. Progesteron mengurangi kandung empedu
kontraktilitas, yang menyebabkan retensi berkepanjangan dan konsentrasi
yang lebih besar dari empedu di kandung empedu.

Lebih dari 80% dari batu empedu di Amerika Serikat mengandung


kolesterol sebagai komponen utama mereka. Sel-sel hati mengeluarkan
kolesterol dalam empedu bersama dengan fosfolipid (lesitin) dalam bentuk
gelembung bermembran kecil yang sferis, disebut vesikel unilamellar. Sel-
sel hati juga mengeluarkan garam empedu, yang merupakan deterjen kuat
yang diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak makanan.

Garam empedu dalam empedu melarutkan vesikel unilamellar untuk


membentuk agregat larut disebut misel campuran. Hal ini terjadi terutama di
kantong empedu, di mana empedu terkonsentrasi oleh reabsorpsi elektrolit
dan air.

Dibandingkan dengan vesikel (yang dapat menyimpan hingga 1 molekul


kolesterol untuk setiap molekul lesitin), misel campuran memiliki daya
tampung kolesterol yang lebih rendah (sekitar 1 molekul kolesterol untuk
setiap 3 molekul lesitin). Jika cairan empedu mengandung proporsi
kolesterol yang relatif tinggi, kemudian sebagai empedu terkonsentrasi,
disolusi bertahap dari vesikel dapat menyebabkan keadaan di mana
kolesterol pada misel dan yang tersisa di vesikel melebihi kapasitas. Pada
titik ini, empedu sangat tersaturasi dengan kolesterol, dan kristal kolesterol
monohidrat dapat terbentuk.

Dengan demikian, faktor utama yang menentukan apakah batu empedu


kolesterol akan terbentuk adalah (1) jumlah kolesterol yang disekresikan
oleh sel-sel hati, relatif terhadap lecithin dan garam empedu, dan (2) tingkat
konsentrasi dan tingkat stasis empedu di kandung empedu.

 Batu empedu kalsium, bilirubin, dan pigmen


Batu empedu pigmen hitam terjadi tidak proporsional pada individu dengan
pergantian heme yang tinggi. Gangguan hemolisis yang berhubungan
dengan batu empedu pigmen termasuk anemia sel sabit, sferositosis
herediter, dan beta-thalassemia. Pada sirosis, hipertensi portal menyebabkan
splenomegali. Hal ini, pada gilirannya, menyebabkan penyerapan sel darah
merah, yang mengarah ke peningkatan dalam pergantian hemoglobin.
Sekitar setengah dari semua pasien sirosis memiliki batu empedu pigmen.
Prasyarat untuk pembentukan batu empedu pigmen coklat termasuk stasis
intraductal dan kolonisasi kronis bakteri pada empedu. Di Amerika Serikat,
kombinasi ini paling sering ditemui pada pasien dengan striktur bilier
pascaoperasi atau kista choledochal.

Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke empedu oleh sel-sel hati. Sebagian besar bilirubin dalam
empedu adalah dalam bentuk konjugat glukuronida, yang merupakan cukup
larut dan stabil dalam air, tetapi sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak
terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lainnya, cenderung membentuk endapan tidak larut
dengan kalsium. Kalsium memasuki empedu bersama dengan elektrolit lain
secara pasif.

Dalam situasi perputaran heme yang tinggi, seperti hemolisis kronis atau
sirosis, bilirubin tak terkonjugasi dapat hadir dalam empedu lebih tinggi dari
konsentrasi normal. Kalsium bilirubinate kemudian dapat mengkristal dari
larutan dan akhirnya membentuk batu. Seiring waktu, berbagai oksidasi
menyebabkan bilirubin presipitat untuk mengambil warna hitam pekat, dan
batu yang terbentuk dengan cara ini disebut batu empedu pigmen hitam.
Batu pigmen hitam mewakili 10-20% dari batu empedu di Amerika Serikat.

Empedu biasanya steril, namun dalam beberapa kondisi yang tidak biasa
(misalnya, di atas striktur bilier), mungkin menjadi koloni oleh bakteri.
Bakteri menghidrolisis bilirubin terkonjugasi, dan hasil peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi dapat menyebabkan pengendapan kristal kalsium
bilirubinate.

Bakteri juga menghidrolisis lesitin untuk melepaskan asam lemak, yang


juga dapat mengikat kalsium dan endapan dari larutan. Batu yang dihasilkan
memiliki konsistensi seperti tanah liat dan disebut batu pigmen coklat.
Tidak seperti kolesterol atau pigmen hitam batu empedu, yang membentuk
hampir secara eksklusif di kandung empedu, batu empedu pigmen coklat
sering membentuk de novo di saluran empedu. Batu empedu pigmen coklat
yang biasa di Amerika Serikat tetapi cukup umum di beberapa bagian Asia
Tenggara, kemungkinan berhubungan dengan serangan cacing hati.

 Batu empedu mixed


Kolesterol batu empedu dapat menjadi koloni oleh bakteri dan dapat
menimbulkan inflamasi pada mukosa kandung empedu. Enzim litik dari
bakteri dan leukosit menghidrolisis konjugat bilirubin dan asam lemak.
Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol dapat menumpuk proporsi
yang besar dari kalsium bilirubinate dan garam kalsium lainnya,
memproduksi batu empedu campuran. Batu-batu besar dapat berkembang
menjadi pinggiran permukaan kalsium menyerupai cangkang telur yang
dapat terlihat di dataran film x-ray.
Penyakit Crohn, reseksi ileum, atau penyakit lain dari ileum menurunkan
reabsorpsi garam empedu dan meningkatkan risiko pembentukan batu empedu.
Penyakit lain atau keadaan yang mempengaruhi pembentukan batu empedu
termasuk luka bakar, penggunaan nutrisi parenteral total, kelumpuhan, perawatan
ICU, dan trauma besar. Hal ini disebabkan, secara umum, penurunan stimulasi
enteral dari kantong empedu dengan yang menghasilkan stasis empedu dan
pembentukan batu.

C. Gejala, Manifestasi Klinis, dan Diagnosis

Penyakit batu empedu dapat dianggap smemiliki 4 tahapan sebagai berikut:

- Keadaan lithogenic, di mana kondisi mendukung pembentukan batu empedu


- Batu empedu asimtomatik
- Batu empedu simtomatik, ditandai dengan episode kolik bilier
- Komplikasi cholelithiasis. Gejala dan komplikasi penyakit batu empedu akibat
dari efek yang terjadi di dalam kantong empedu atau dari batu yang lepas dari
kandung empedu menetap dalam saluran empedu.

Batu empedu asimtopmatik berupa batu empedu dapat berada dalam kantong
empedu selama puluhan tahun tanpa menyebabkan gejala atau komplikasi. Pada
pasien dengan batu empedu asimtomatik ditemukan secara kebetulan,
kemungkinan berkembangnya gejala atau komplikasi adalah 1-2% per tahun.
Dalam kebanyakan kasus, batu empedu tanpa gejala tidak memerlukan
pengobatan apapun. Karena mereka sering terjadi, batu empedu sering hidup
berdampingan dengan kondisi pencernaan lainnya. Ada sedikit bukti untuk
mendukung hubungan sebab akibat antara batu empedu dan sakit perut kronis,
sakit maag, distress postprandial, perut kembung, flatulensi, konstipasi, atau diare.

Nyeri disebut kolik bilier terjadi bila batu empedu atau endapan kebetulan
berdampak pada duktus sistikus selama kontraksi kandung empedu, meningkatkan
tegangan pada dinding kandung empedu. Dalam kebanyakan kasus, nyeri sembuh
lebih dari 30 sampai 90 menit karena kantong empedu relaksasi dan obstruksi
mereda.

Episode kolik bilier adalah sporadis dan tak terduga. Pasien melokalisasi nyeri
pada epigastrium atau kuadran kanan atas dan mungkin menggambarkan radiasi
ke ujung scapular kanan (tanda Collins). Rasa sakit mulai setelah makan (biasanya
dalam waktu satu jam setelah makan lemak), sering digambarkan sebagai intens
dan tumpul, dan dapat berlangsung dari 1-5 jam. Dari awal, meningkat rasa sakit
terus-menerus selama sekitar 10 sampai 20 menit dan kemudian secara bertahap
berkurang ketika kantong empedu berhenti kontraksi dan batu jatuh kembali ke
dalam kandung empedu. Rasa sakit adalah konstan secara alami dan tidak
berkurang dengan emesis, antasid, defekasi, flatus, atau perubahan posisi. Ini bisa
disertai dengan diaforesis, mual, dan muntah.

Gejala lain, sering dikaitkan dengan cholelithiasis, termasuk gangguan


pencernaan, dispepsia, bersendawa, perut kembung, dan intoleransi lemak.
Namun, ini sangat spesifik dan terjadi pada frekuensi yang sama pada individu
dengan dan tanpa batu empedu; kolesistektomi belum terbukti untuk memperbaiki
gejala-gejala ini.

Pasien dengan keadaan lithogenic atau batu empedu tanpa gejala tidak memiliki
temuan abnormal pada pemeriksaan fisik. Untuk membedakan kolik bilier tanpa
komplikasi dari kolesistitis akut atau komplikasi lain sangat penting. Keduanya
sering hadir dengan konstelasi yang sama gejala, dan pemeriksaan fisik dapat
membantu untuk membedakan keduanya.

Karena kandung empedu tidak meradang di kolik bilier tanpa komplikasi, nyeri
kurang terlokalisasi; pemeriksaan abdomen pasien pada dasarnya nyeri ringan
tanpa nyeri rebound atau guarding. Demam tidak ada.

Dalam kolesistitis akut, radang kandung empedu dengan iritasi peritoneal


mengarah ke nyeri yang terlokalisasi dengan baik pada kuadran kanan atas,
biasanya dengan nyeri yang rebound dan guarding. Meskipun tidak spesifik, tanda
Murphy positif (jeda inspirasi pada palpasi yang mendalam pada kuadran kanan
atas selama inspirasi dalam) sangat memberi kesan kolesistitis. Demam sering
hadir, tapi mungkin tertinggal di belakang tanda-tanda atau gejala lainnya.
Meskipun nyeri guarding yang volunter mungkin ada, tanda-tanda peritoneal tidak
ada. Takikardia dan diaforesis dapat hadir sebagai konsekuensi dari rasa sakit. Ini
harus diatasi dengan manajemen nyeri yang tepat.

Adanya demam, takikardia yang persisten, hipotensi, atau ikterus memerlukan


penelusuran untuk komplikasi cholelithiasis, termasuk kolesistitis, kolangitis,
pankreatitis, atau penyebab sistemik lainnya.

Dalam kasus kolesistitis akut, kolangitis, atau pankreatitis akut yang parah, bising
usus sering absen atau hypoactive. Choledocholithiasis dengan obstruksi saluran
empedu menghasilkan ikterus pada kulit dan scleral yang berkembang selama jam
untuk hari karena bilirubin terakumulasi.

Trias Charcot nyeri tekan yang parah pada kuadran kanan atas dengan ikterus dan
demam adalah karakteristik dari kolangitis. Batu empedu pankreatitis akut sering
ditandai dengan nyeri epigastrium. Pada kasus yang berat, perdarahan
retroperitoneal dapat menghasilkan ekimosis dari panggul dan ekimosis
periumbilikalis (tanda Cullen dan tanda Grey-Turner).

Pada pasien yang diduga komplikasi batu empedu, tes darah harus mencakup sel
darah lengkap (CBC) menghitung dengan diferensial, fungsi hati panel, dan
amilase dan lipase. Kolesistitis akut berhubungan dengan leukositosis
polimorfonuklear. Namun, hingga sepertiga dari pasien dengan kolesistitis
mungkin tidak memanifestasikan leukositosis. Pada kasus yang parah,
peningkatan ringan enzim hati dapat disebabkan oleh cedera inflamasi hati yang
berdekatan. Pasien dengan kolangitis dan pankreatitis memiliki nilai tes
laboratorium yang abnormal. Yang penting, satu nilai laboratorium yang
abnormal tidak memastikan diagnosis choledocholithiasis, kolangitis, atau
pankreatitis.
Choledocholithiasis dengan obstruksi akut duktus biliaris komunis (CBD)
awalnya menghasilkan peningkatan akut pada kadar transaminase hati
(aminotransferase aspartat dan alanine), diikuti beberapa jam dengan kenaikan
kadar serum bilirubin. Semakin tinggi kadar bilirubin, semakin besar nilai
prediktif untuk obstruksi CBD. Batu CBD hadir di sekitar 60% dari pasien dengan
kadar serum bilirubin lebih dari 3 mg / dL.

Radiografi abdomen tegak dan terlentang kadang-kadang membantu dalam


menetapkan diagnosis penyakit batu empedu.

Hitam pigmen atau mixed batu empedu mungkin mengandung kalsium yang
cukup untuk tampil radiopak pada film polos. Temuan udara di saluran empedu
pada film polos dapat menunjukkan perkembangan fistula choledochoenteric atau
ascending kolangitis dengan organisme gas pembentuk. Kalsifikasi pada dinding
kandung empedu (yang disebut porselen kandung empedu) merupakan indikasi
kolesistitis kronis yang parah.

Peran utama dari film polos dalam mengevaluasi pasien dengan dugaan penyakit
batu empedu adalah untuk menyingkirkan penyebab lain dari nyeri abdomen akut,
seperti obstruksi usus, perforasi viseral, batu ginjal, atau kalsifikasi
pankreatitis kronis.

Ultrasonografi adalah prosedur pilihan dalam mecurigai penyakit kandung


empedu atau empedu; itu adalah tes yang paling sensitif, spesifik, non-invasif, dan
murah untuk mendeteksi batu empedu. Selain itu, sederhana, cepat, dan aman
dalam kehamilan, dan tidak mengekspos pasien kepada radiasi berbahaya atau
kontras intravena. Ultrasonografi sangat berguna untuk mendiagnosis kolesistitis
akut tanpa komplikasi. Fitur sonografi dari kolesistitis akut termasuk kantong
empedu penebalan dinding (> 5 mm), cairan pericholecystic, kandung empedu
distensi (> 5 cm), dan tanda Murphy sonografi. Keberadaan beberapa kriteria
meningkatkan akurasi diagnostik nya. Batu empedu muncul sebagai fokus
echogenic di kandung empedu. Mereka bergerak bebas dengan perubahan posisi
dan bayangan akustik.

Computed tomography (CT) scanning lebih mahal dan kurang sensitif


dibandingkan ultrasonografi untuk mendeteksi batu kandung empedu. CT scan
sering digunakan dalam pemeriksaan nyeri abdomen, karena menyediakan gambar
yang sangat baik dari semua organ abdomen. CT scan lebih unggul ultrasonografi
untuk demonstrasi batu empedu di distal duktus biliaris komunis. CT sangat
berguna untuk mendeteksi batu intrahepatik atau kolangitis piogenik berulang.

D. Tatalaksana

Pengobatan batu empedu tergantung pada tahap penyakit. Idealnya, intervensi


dalam kondisi lithogenic bisa mencegah pembentukan batu empedu, meskipun,
saat ini, pilihan ini terbatas pada beberapa keadaan khusus. Batu empedu tanpa
gejala dapat dikelola dengan penuh harap.

Perawatan medis untuk batu empedu, digunakan sendiri atau dalam kombinasi,
meliputi:

- Terapi garam empedu oral (asam ursodeoxycholic)


- Kontak pelarutan
- Extracorporeal Shockwave lithotripsy

Penatalaksanaan medis lebih efektif pada pasien dengan fungsi kandung empedu
baik yang memiliki batu-batu kecil (<1 cm) dengan kandungan kolesterol tinggi.
Terapi garam empedu mungkin diperlukan selama lebih dari 6 bulan dan memiliki
tingkat keberhasilan kurang dari 50%.

Ursodeoxycholic acid (ursodiol) merupakan agen pelarutan batu empedu. Pada


manusia, administrasi jangka panjang asam ursodeoxycholic mengurangi
kejenuhan kolesterol empedu, baik dengan mengurangi sekresi kolesterol hati dan
dengan mengurangi efek deterjen garam empedu di kandung empedu (dengan
demikian mempertahankan vesikel yang memiliki daya tampung kolesterol
tinggi). Desaturasi empedu mencegah kristal dan, pada kenyataannya,
memungkinkan ekstraksi bertahap kolesterol dari batu yang ada.

Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada


pasien yang mengalami gejala atau komplikasi batu empedu, kecuali usia pasien
dan kesehatan umum membuat risiko operasi menjadi penghalang. Dalam
beberapa kasus kandung empedu empiema, drainase nanah sementara dari
kantong empedu (cholecystostomy) mungkin lebih disukai untuk memungkinkan
stabilisasi dan untuk mengizinkan kemudian kolesistektomi dalam keadaan
elektif.

Pada pasien dengan batu kandung empedu yang diduga bersamaan dengan batu
duktus biliaris komunis, ahli bedah dapat melakukan cholangiography
intraoperatif pada saat kolesistektomi. Saluran empedu dapat dieksplorasi
menggunakan choledochoscope. Jika batu duktus biliaris komunis ditemukan,
mereka biasanya dapat diekstraksi intraoperatif. Atau, ahli bedah dapat membuat
fistula antara saluran empedu distal dan duodenum yang berdekatan
(choledochoduodenostomy), memungkinkan batu untuk melewati tanpa bahaya ke
dalam usus.

2.2 Diabetes Melitus

A. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus adalah


suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal,
syaraf, jantung dan pembuluh darah.
DM merupakan serangkaian gangguan yang ditandai dengan defisiensi insulin
absolut maupun relatif (atau keduanya), dan ditandai dengan hiperglikemia pada
saat puasa dan setelah makan.(11)

B. Klasifikasi
Menurut ADA dan WHO ada empat macam diabetes, yang dikelompokkan
berdasarkan penyebabnya yaitu :(10,11,12,13)
a. DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) : kejadiannya
kira-kira 10% dari total kasus DM. DM tipe ini dapat berkembang sejak usia
muda yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga
menyebabkan kekurangan sekresi insulin secara mutlak.
b. DM tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM):
Umumnya muncul pada usia > 40 tahun dan jumlahnya kira-kira 90% dari
total DM. DM tipe ini ditandai dengan adanya resistensi insulin, defisiensi
insulin atau gabungan keduanya. Hal ini menyebabkan glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel insulin meskipun telah tersedia. Keadaan ini disebabkan
obesitas, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang gerak badan serta
faktor keturunan.
c. DM tipe spesifik : karena kelainan genetik spesifik, penyakit pankreas,
gangguan endokrin lain, karena efek obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus,
dan sebagainya.
d. Diabetes Kehamilan : DM yang terjadi hanya pada saat hamil.

Tabel II. 1 Perbedaan antara DM tipe I dan DM tipe II (14)


DM tipe I DM tipe II
Awal munculnya Umumnya anak-anak dan Umumnya dewasa > 40 tahun
remaja, dewasa ≤ 40 tahun
Status gizi saat Sering kurang gizi, biasanya Normal, gemuk, sering
penyakit kurus terdapat obesitas
Prevalensi 10–20% terdiagnosis diabetes 80–90% terdiagnosis diabetes

Predisposisi Sedang Sangat kuat


genetik
Defek atau Penghancuran sel β Ketidakmampuan sel β untuk
defisiensi mengurangi produksi insulin menghasilkan jumlah insulin
yang sesuai, resistensi insulin

C. Etiologi dan Patofisiologi (15)


 DM tipe 1 terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara umum kasus
diabetes ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa dewasa yang
disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi
defisiensi insulin absolute. Reaksi autoimun umumnya terjadi setelah waktu
yang panjang (9-13 tahun) yang ditandai oleh adanya parameter-parameter
system imun ketika terjadi kerusakan sel β. Hiperglikemia terjadi bila 80-90%
dari sel β rusak. Penyakit DM dapat menjadi penyakit menahun dengan resiko
komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan autoimun tidak
diketahui, tetapi prose situ diperantai oleh makrofag dan limfosit T dengan
antibody yang bersikulasi ke berbagai antigen sel β.

 DM tipe 2 terjadi pada 90% dari smeua kasus diabetes dan biasanya ditandai
dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relative. Resistensi insulin
ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas,
peningkatan produksi glukosa hepatic, dan penurunan pengambilan glukosa
pada otot skelet. Disfungsi sel β mengakibatkan gangguan pada pengontrolan
glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan karena gaya hidup penderita
diabetes (kelebihan kalori, kurangnya olahraga, dan obesitas) dibandingkan
pengaruh genetik.
 DM tipe spesifik, disebabkan oleh factor lain (1-2% dari semua kasus
diabetes) termasuk gangguan endokrin, penyakit pancreas eksokrin, dank
arena obat (gukokortiroid, pentamidin, niasin, dan α interferon).

 DM Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan


diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan
biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak
dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat
buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara
lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan
meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah
menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di
masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko
tersebut.

D. Patogenesis (16)
 Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 ditandai dengan defisiensi absolut fungsi sel beta
pankreas. Yang paling sering adalah hasil penghancuran mediasi imun oleh
sel beta pankreas, namun jarang tidak diketahui atau proses idiopati yang
dapat berkembang. yang jelas ada empat fitur utama, yaitu:
- Selama preklinik ditandai dengan adanya imun ketika terjadi kerusakan
sel beta.
- Hiperglikemi sekitar 80-90% dapat merusak sel beta pankreas.
- Transien remisi.
- Ditetapkan sebagai penyakit yang beresiko dengan komplikasi dan
kematian. Tidak diketahui salah satu faktor atau lebih yang dapat
menimbulkan proses autoimun.
Proses autoimun yang dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan
autoantibodi beredar ke berbagai antigen sel-β. Antibodi yang paling sering
terdeteksi terkait dengan DM tipe 1 adalah antibodi sel islet. Tes untuk
antibodi sel islet, bagaimanapun, sulit untuk menjelaskan standar di
laboratorium. Yang lain yang lebih mudah mengukur antibodi yang termasuk
autoantibodi insulin, antibodi yang langsung melawan terhadap asam
glutamat dekarboksilase, insulin antibodi yang melawan islet tirosin-
fosfatase, dan beberapa lainnya. Lebih dari 90% dari orang yang baru
didiagnosis dengan DM tipe 1 memiliki satu atau lain dari antibodi, sekitar
3,5% sampai 4% dipengaruhi oleh riwayat keluarga. Praklinis autoimun sel-β
menandai diagnosis DM tipe 1 pada usia 9 sampai 13 tahun. Autoimun dapat
di cek dalam beberapa kemungkinan lebih sedikit orang yang rentan, atau
dapat berkembang menjadi kegagalan sel β. Antibodi ini umumnya dianggap
sebagai tanda penyakit daripada kehancuran mediator sel- β, telah digunakan
untuk mengidentifikasi seseoang yang berisiko DM tipe 1 yang mengevaluasi
strategi pencegahan penyakit. Gangguan autoimun Nonpancreatik lain terkait
dengan DM tipe 1, yang paling biasa adalah Hashimoto thyroiditis, namun
sejauh mana keterlibatan organ dapat berkisar dari tidak ada organ untuk
kegagalan polyglandular. Ada hubungan genetik yang kuat dengan gen DQA
dan gen B, dan tentu antigen leukosit manusia (HLAs) dapat predisposisi
(DR3 dan DR4) atau pelindung (DRB1 * 04008 * 0302-DQB1 dan DRB1 *
0411 - DQB1 * 0302) pada kromosom. Faktor lingkungan seperti sebagai
agen infeksius, bahan kimia, dan agen makanan cenderung berkontribusi
sebagai faktor-faktor dalam ekspresi penyakit. Penghancuran β-pankreas
menyebabkan hiperglikemia fungsi sel karena adanya defisiensi absolut
insulin dan amylin baik. Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan
berbagai mekanisme termasuk stimulasi serapan jaringan glukosa, glukosa
penekanan produksi ion oleh hati, dan pelepasan asam lemak bebas dari
lemak sel. Pelepasan asam lemak bebas memainkan peran penting dalam
homeostasis glukosa. Peningkatan kadar asam lemak bebas menghambat
penyerapan glukosa oleh otot dan merangsang hati gluconeogenesis.
Amylin, hormon peptida glucoregulatory cosecreted dengan
insulin, berperan dalam menurunkan glukosa darah dengan memperlambat
pengosongan lambung, menekan output glukagon dari sel α pankreas, dan
meningkatkan rasa kenyang. Dalam DM tipe 1produksi amylin sangat rendah
disebabkan karena kerusakan sel-β.

 Diabetes Melitus tipe 2


Insulin yang normal dalam keadaan puasa 75% dari total pembuangan
glukosa tubuh non-insulin tergantung pada jaringan yaitu jaringan otak dan
splanknikus jaringan (hati dan gastrointestinal). Bahkan dalam otak ambilan
glukosa terjadi pada tingkat yang sama selama periode makan dan puasa dan
tidak diubah pada diabetes tipe 2. Sisa 25% dari metabolisme glukosa terjadi
di otot, yang tergantung pada insulin. Dalam keadaan puasa sekitar 85%
produksi glukosa berasal dari hati, dan sisanya jumlah yang diproduksi oleh
ginjal. Glukagon yang diproduksi oleh sel α pankreas, disekresikan dalam
keadaan puasa untuk melawan aksi insulin dan merangsang produksi glukosa
hepatik. Jadi, glukagon mencegah hipoglikemia atau mengembalikan
normoglycemia jika hipoglikemia telah terjadi. Dalam keadaan makan,
konsumsi karbohidrat meningkatkan konsentrasi glukosa plasma dan
menstimulasi pelepasan insulin dari pancreatic sel-β. Hasil dari
hiperinsulinemia adalah menekan produksi glukosa di hati dan merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.

Sebagian besar (80% -85%) dari glukosa yang diambil oleh jaringan perifer
dibuang di otot, dan hanya sebagian kecil ( 4% -5%) yang dimetabolisme
oleh adiposit. Dalam keadaan makan, glukagon ditekan. Meskipun jaringan
lemak bertanggung jawab dalam sejumlah kecil dari total pembuangan
glukosa tubuh, tetapi berperan sangat penting dalam pemeliharaan
homeostasis total glukosa tubuh. Peningkatan konsentrasi insulin dalam
plasma mengakibatkan efek antilipolytik kuat, yang ditandai penurunan free
folic acid (FFA) dalam plasma. Penurunan konsentrasi dalam plasma hasil
FFA dalam pengambilan glukosa meningkat pada otot, dan mengurangi
produksi glukosa hepatik. Jadi penurunan konsentrasi plasma glukosa
menurunkan plasma FFA yang dapat mengurangi produksi dan meningkatkan
penyerapan dalam otot. Seorang diabetes tipe 2 ditandai oleh kerusakan pada
sekresi insulin, dan resistensi insulin yang ada otot, hati, dan adiposit
tersebut. Resistensi insulin biasanaya terjadi pada seseoramg yang kurus.
Gangguan sekresi insulin pada pankreas dengan atau mal-fungsi sel β mampu
menyesuaikan sekresi insulin untuk memelihara toleransi glukosa normal.
Jadi dalam individu nondiabetes insulin meningkat sebanding dengan tingkat
keparahan resistensi insulin dan toleransi glukosa tetap normal. Gangguan
sekresi insulin ditemukan pada pasien diabetes tipe 2 dan evolusi evolusi
disfungsi sel-β telah baik ditandai di beragam etnis populasi. DeFronzo dan
koleganya mengukur konsentrasi insulin plasma puasa dan OGTTs yang
dilakukan pada 77 individu DM tipe 2 dengan berat badan normal dan lebih
dari 100 subjek kurus dengan normal atau gangguan toleransi glukosa.
Hubungan antara konsentrasi FPG dan konsentrasi insulin dalam plasma
puasa menyerupai U terbalik atau tapal kuda. Sebagai konsentrasi FPG
meningkat 80-140 mg/dL, konsentrasi insulin plasma puasa meningkat secara
progresif, memuncak pada nilai yang 2-2,5 kali lipat lebih besar daripada
kelompok kontrol berat badan normal nondiabetes. Ketika FPG konsentrasi
melebihi 140 mg / dL, sel β tidak mampu mempertahankan dari sekresi
insulin, dan konsentrasi insulin puasa menurun drastis. Penurunan insulin
puasa menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepatik semalam, yang
hasil dalam konsentrasi FPG tinggi.

Pada pasien diabetes tipe 2, sekresi insulin postprandial menurun ini


disebabkan oleh gangguan fungsi sel β-pankreas dan
mengurangi stimulus untuk sekresi insulin dari hormon usus. Peran
hormon usus bermain di sekresi insulin yang terbaik ditunjukkan dengan
membandingkan respon insulin untuk beban glukosa oral versus isoglycemic
glukosa intravena infus. Pada individu nondiabetes kontrol insulin 73% lebih
dilepaskan dalam menanggapi beban glukosa oral dibandingkan dengan
jumlah yang sama glukosa diberikan secara intravena. Ini sekresi insulin
meningkat dalam menanggapi sebuah stimulus glukosa oral disebut sebagai
efek incretin dan menunjukkan hormon usus yang diperoleh jika dirangsang
oleh glukosa mengarah ke peningkatan sekresi insulin pankreas. Pada pasien
diabetes tipe 2 ini incretin efek adalah tumpul, dengan peningkatan sekresi
insulin untuk hanya 50% dari yang terlihat pada individu nondiabetes control.
Sekarang diketahui bahwa dua hormon, glucagon seperti peptide-1 (GLP-1)
dan glukosa-tergantung insulin melepaskan peptida (GIP), adalah tanggung
selama lebih dari 90% dari sekresi insulin meningkat terlihat pada
respon terhadap beban glukosa oral. Pada pasien dengan diabetes tipe 2 GLP
1 tingkat berkurang sedangkan tingkat GIP meningkat. GLP-1 dikeluarkan
dari L-sel di mukosa usus distal dalam menanggapi makanan campuran.
Karena GLP-1 tingkat meningkat di dalam menit menelan makanan, sinyal
saraf diprakarsai oleh masuknya makanan di saluran pencernaan proksimal
harus mensimulasikan sekresi GLP-1. Tindakan insulinotropic GLP-1 adalah
tergantung glukosa dan untuk GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin,
konsentrasi glukosa harus lebih tinggi dari 90 mg / dL. Selain merangsang
sekresi insulin, GLP-1 menekan sekresi glukagon, memperlambat
pengosongan lambung dan mengurangi asupan makanan dengan rasa kenyang
meningkat. Efek-efek dari GLP-1 menggabungkan untuk membatasi
kunjungan glukosa postprandial. GIP disekresi oleh sel-K dalam usus dan
seperti GLP, meningkatkan sekresi insulin. Namun, GIP tidak memiliki efek
pada sekresi glukagon, motilitas lambung, atau kenyang. Waktu paruh GLP-1
dan GIP yang pendek (<10 menit). Kedua hormon ini cepat dinonaktifkan
dengan penghapusan dua N-terminal asam amino oleh enzim, dipeptidyl
peptidase IV (DPP-IV).

E. Manifestasi Klinik

Gejala DM dapat timbul pada anak atau orang dewasa muda, dan pada dewasa di
atas 40 tahun. Terkadang gejala hanya dirasakan ringan. Biasanya DM ditemukan
secara kebetulan saat melakukan pemeriksaan umum.(17)
Berikut ini adalah gejala klinik yang dirasakan oleh penderita DM tipe I dan II
yaitu :(11,13)
1) Gejala klinik DM tipe I
a) Individu dengan DM tipe I dapat membuat penderita kurus dan
cenderung terjadi ketoasidosis diabetes.
b) Antara 20 – 40% pasien mengalami ketoasidosis setelah beberapa hari
mengalami poliuri (sering berkemih), polidipsi (banyak minum), polifagi
(banyak makan) dan kehilangan berat badan.
c) Relatif tidak ada kaitannya dengan genetika dan terjadi pada usia di
bawah 30 tahun.

2) Gejala klinik DM tipe II


a) Pasien dengan DM tipe II sering tanpa gejala.
b) Biasanya tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak terjadi
defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.
c) Diagnosis DM tipe II harus dipertimbangkan pada pasien yang obesitas,
mempunyai faktor keturunan DM, wanita yang melahirkan anak yang
besar, mempunyai riwayat gestasional DM, hipertensi atau pasien yang
mempunyai kadar trigliserida ≥ 250 mg/dl, dan HDL kolesterol ≤ 35
mg/dl.

F. Diagnosis

Kriteria diagnosis DM menurut ADA didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa


plasma dalam keadaan puasa (tanpa asupan makanan selama minimal 8 jam) dan
setelah tes toleransi glukosa oral. Penggolongan DM pada pemeriksaan kadar gula
darah puasa dan sewaktu adalah sebagai berikut :(17)

Tabel II. 2 Kriteria Penegakan Diagnosis Diabetes Melitus(12,17,18)


Glukosa Darah Puasa Glukosa Darah Sewaktu
Normal < 110 mg/dl < 140 mg/dl
Pra-diabetes 110 – 125 mg/dl 140 – 199 mg/dl
Diabetes ≥ 126 mg/dl ≥ 200 mg/dl
Diagnosis DM menurut ADA dan WHO, adalah sebagai berikut:(10,11,18)
 Terdapat gejala diabetes dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
 Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl
 Kadar glukosa pada tes toleransi glukosa setelah 2 jam ≥ 200 mg/dl

G. Komplikasi (16)
 Retinopati
Pemeriksaan diperlukan sepenuhnya untuk mengevaluasi penyakit mata,
permulaan retinopati pada diabetes dapat dikembalikan dengan control
peningkatan glikemik. Retinopati yang lebih parah tidak akan sembuh dengan
peningkatan glikemia dan benar-benar dapat memperburuk dengan perbaikan
jangka pendek dalam glikemia. Studi yang dilakukan untuk menentukan
terapi medis independen dari kontrol glukosa akan mencegah berkembangnya
retinopati yang memburuk.

 Neuropati
Neuropati perifer adalah komplikasi yang paling umum terlihat dalam jenis
pasien DM tipe 2. Parestesia, mati rasa, atau nyeri dapat menjadi gejala
dominan. Pada kaki lebih sering terjadi daripada tangan. Jika terjadi
kesakitan, terapi simtomatis adalah pemberian antidepresan trisiklik dosis
rendah, antikonvulsan (Gabapentin, pregabalin, fenitoin karbamazepin, dan
mungkin), duloxetine, venlafaxine, capsaicin topikal, dan berbagai obat yang
dapat menghilangkan rasa sakit termasuk obat antiinflamasi nonsteroid
tramadol. Baru-baru ini, antikonvulsan lain, topiramate, telah menjanjikan
dalam pengurangan gejala, dengan efek samping positif dari penurunan berat
badan pada pasien diabetes tipe 2.

 Mikroalbuminuria dan nefropati


Mikroalbuminuria dan nefropati DM dan khususnya DM tipe 2, adalah
penyebab utama untuk pengembangan stadium akhir penyakit ginjal di
Amerika Serikat. ADA merekomendasikan analisis skrining kemih untuk
albumin di diagnosis pada orang dengan DM tipe 2. Tepat timbulnya jenis
DM tipe 2 jarang dapat dipastikan, dan pasien seringkali didiagnosis dengan
komplikasi mikrovaskuler. Pada DM tipe 1, mikro albuminuria jarang terjadi,
ada tiga metode untuk menilai mikro albuminuria:
a) Pengukuran urin Albumin-ke-rasio kreatinin dalam koleksi tempat yang
acak.
b) 24-jam koleksi waktunya, dan
c) Waktunya (misalnya, 4-jam atau 10-jam semalam) koleksi.

Mikroalbuminuria dalam spesimen urin didefinisikan sebagai rasio dari 30


sampai 300 mg/g albumin sampai kreatinin. Pada koleksi waktunya,
mikroalbuminuria didefinisikan sebagai 30 samapi 300 mg/24 jam untuk atau
tingkat ekskresi albumin 20 sampai 200 mcg/min. Karena sehari-hari
variabilitas, mikroalbuminuria harus dikonfirmasi pada setidaknya dua dari
tiga sampel lebih dari 3 sampai 6 bulan. Selain itu, ketika menilai protein urin
atau albumin, kondisi yang dapat menyebabkan peningkatan sementara dalam
ekskresi albumin urin harus dikeluarkan. Kondisi ini termasuk latihan intens
terakhir.

Infeksi saluran kemih, hipertensi, hiperglikemia jangka pendek, gagal


jantung, penyakit demam dan akut. Pada DM tipe 2, adanya
mikroalbuminuria merupakan faktor risiko yang kuat terjadinya penyakit.
Mikroalbuminuria adalah prediktor lemah untuk penyakit ginjal di masa
mendatang pada DM tipe 2 dibandingkan DM tipe 1. Glukosa dan kontrol
tekanan darah yang paling penting untuk pencegahan nefropati. ACE
inhibitor dan angiotensin receptor blocker, yang dianggap utama untuk
pengobatan yang direkomendasikan, telah menunjukkan keberhasilan dalam
mencegah perkembangan klinis penyakit ginjal pada pasien dengan DM tipe
2. Diuretik sering diperlukan karena keadaan udem, tekanan darah <130/80
mmHg bisa sulit untuk dicapai tiga atau lebih antihipertensi yang sering
diperlukan untuk mengobati tekanan darah.

 Penyakit Jantung Koroner


Risiko untuk penyakit jantung koroner (PJK) adalah dua sampai empat kali
lebih besar pada pasien diabetes dari pada individu nondiabetes. PJK adalah
sumber utama mortalitas pada pasien dengan DM. Studi terbaru menunjukkan
bahwa intervensi faktor risiko multipel (lipid, hipertensi, berhenti merokok
dan terapi antiplatelet).

 Hipertensi
Hipertensi pada mikrovaskuler meningkat dan macrovascular beresiko pada
pasien dengan DM. ACE inhibitor dan angiotensin reseptor blokers
umumnya direkomendasikan untuk terapi awal. Nasional Yayasan Ginjal juga
menunjukkan bahwa tujuan tekanan darah kurang dari 130/80 mm Hg, serta
merekomendasikan diuretik sebagai lini kedua terapi pada pasien dengan
penyakit ginjal diabetes.

H. Penanganan

Penanganan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan


mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama,
yaitu:
a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

Penanganan DM terdiri dari non farmakologi dan farmakologi.


a. Penanganan Non Farmakologi
1) Perencanaan makan(5)
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut :
Karbohidrat : 45 – 60%
Protein : 10 – 20%
Lemak : 20 – 25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur dan
kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
idaman. Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) =
Indeks Massa Tubuh (IMT). Pasien DM yang mengidap pula penyakit
lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
Pada dasarnya perencanaan makan pada pasien DM tidak berbeda dengan
orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal.

2) Latihan jasmani(5)
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3 – 4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan
kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama
20 menit dan olahraga berat misalnya jogging.

b. Pengobatan Farmakologi
1) Pengobatan dengan insulin
Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel beta dari pulau-
pulau langerhans kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang
bila kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa
darah akan terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung
(C-peptide) yang masuk ke dalam aliran darah.(19)

Terapi awal insulin diberikan dengan pertimbangan pada pasien yang


berbadan kurus (karena adanya penurunan berat badan yang drastis),
pasien dengan sakit hati, ginjal, dan sakit berat. Indikasi lain dari
pemberian insulin adalah :(17)
a) Penderita DM tipe I
b) Diabetes kehamilan, apabila dengan diet tidak dapat mengendalikan
kadar gula darah
c) Pada pengobatan sindrom hiperglikemia non-ketosis hiperosmolar
d) DM tipe II yang tidak dapat mengatasi kadar gula darah, seperti pada
tindakan bedah, trauma, dan sebagainya.
Insulin memiliki tiga bentuk dasar masing-masing memiliki kecepatan
dan lama kerja yang berbeda-beda, yaitu :(17)
a) Insulin kerja cepat (insulin regular), mencapai puncaknya dalam
waktu 2 – 4 jam dan lama kerjanya 6 – 8 jam. Insulin ini bekerja
paling cepat dan paling sebentar, seringkali mulai menurunkan
kadar gula dalam waktu 20 menit.
b) Insulin kerja sedang (Neutral Protamine Hagedorm), adalah insulin
suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja dalam
waktu 1 – 3 jam, mencapai puncak maksimum dalam waktu 6 – 10
jam dan bekerja selama 18 – 26 jam.
c) Insulin kerja lama (Protamine Zink Insulin), adalah insulin suspensi
seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul setelah 6 jam
dan bekerja selama 28 – 36 jam.

2) Obat antidiabetik oral


a) Sulfonilurea
Sulfonilurea merupakan kelompok obat yang terutama bermanfaat
pada penderita DM dewasa baru dengan berat badan normal dan
kurang.(17) Mekanisme kerjanya meningkatkan sekresi insulin,
meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin, dan
menurunkan sekresi glukagon.(13) Senyawa sulfonilurea dibagi
menjadi dua golongan atau generasi senyawa. Golongan pertama
senyawa sulfonilurea mencakup tolbutamida dan klorpropamida.
Sedangkan generasi kedua meliputi glibenklamida, glipizida,
glikazida, glikuidon dan glimepirida. Obat-obat generasi kedua
lebih kuat dibandingkan senyawa sebelumnya.(9)

b) Biguanid(13,17,19)
Contoh golongan obat ini adalah metformin. Mekanisme kerja
biguanid dengan menurunkan produksi glukosa di hati dan sedikit
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Selain itu obat
ini juga menurunkan kadar glukosa saat puasa dan kadar insulin,
memperbaiki profil lipid, dan membantu menurunkan berat
badan. Efek sampingnya diare, mual, nafsu makan turun.

c) Thiazolindione(13,17,19)
Kelompok obat yang termasuk obat generasi baru ini bekerja
dengan menurunkan resistensi insulin dan menaikkan sensitivitas
insulin, meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer, serta
mengurangi produksi glukosa di hati. Contohnya antara lain
troglitazone, rosiglitazone, dan pioglitazone.

d) Meglitinid(13,17,19)
Contohnya adalah repaglinid dan nateglinid. Bekerja seperti
sulfonilurea. Obat sebaiknya diminum 30 menit sebelum makan
dan tidak boleh diminum jika tidak makan.

e) Penghambat alfa-glukosidase(13,17,19)
Contoh golongan obat ini adalah akarbose. Akarbose menurunkan
hiperglikemia postprandial dengan cara memperlambat
penyerapan glukosa di usus. Akarbose tidak mempengaruhi
ambilan glukosa maupun sekresi insulin. Efek sampingnya adalah
flatulen, diare, gangguan gastrointestinal.

f) Golongan inkretin
 Inkretin mimetik(19,20)
Exenatid suatu glucagon-like peptide (GLP-1) analog adalah
salah satu obat golongan ini dalam bentuk suntikan. Obat ini
belum masuk pasaran Indonesia walaupun di beberapa Negara
barat sudah mulai sering dipakai karena terbukti cukup efektif
menurunkan glukosa darah dengan cara merangsang sekresi
insulin dan menghambat sekresi glukagon.
 Dipeptidyl peptidase IV (DPP-4) inhibitor(9,19,20)
Sitagliptin dan vildagliptin merupakan contoh golongan obat
baru ini. Obat ini mempunyai cara kerja menghambat suatu
enzim yang mendegradasi hormon inkretin endogen, yaitu
hormon GLP-1 dan glucose-dependent insulinotropic
polypeptide (GIP) yang berasal dari usus, sehingga dapat
meningkatkan kadarnya setelah makan, yang kemudian akan
meningkatkan sekresi insulin yang dirangsang glukosa,
mengurangi sekresi glukagon dan memperlambat pengosongan
lambung. Tampaknya mempunyai profil keamanan yang cukup
baik tanpa efek samping yang berat. Obat ini diberikan dengan
dosis tunggal tanpa perlu penyesuaian dosis. Dapat diberikan
sebagai monoterapi tetapi juga dapat dikombinasi dengan
metformin, glitazon atau sulfonilurea.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan koledokolitiasis dengan DM type II


berdasarkan anamesis terdapat nyeri seperti ditusuk-tusuk di ulu hati, hilang
timbul, dan tidak menyebar ke bagian perut lainnya maupun punggungnya sejak 2
bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sering BAK terutama pada malam hari
dan jumlah urin meningkat dari biasanya, namun dari segi warna, pasien mengaku
urin berwarna kuning jernih. Pasien juga mengaku lebih banyak makan (5x/hari)
dan minum. Pada pemeriksaan status gizi IMT pasien tersebut 21,48 kg/m 2 yang
digolongkan dalam kategori normal.

Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium yang


merupakan tahap ketiga dari koledokolitiasis yaitu simtomatik berupa episode
kolik bilier. Nyeri tekan ini dapat dipicu oleh adanya obstruksi aliran empedu oleh
batu di titik ampula vater, yaitu titik pertemuan dari duktus biliaris komunis dan
duktus panreatus di duodenum segmen 2. Nyeri disebut kolik bilier terjadi bila
batu empedu atau endapan kebetulan berdampak pada duktus sistikus selama
kontraksi kandung empedu, meningkatkan tegangan pada dinding kandung
empedu. Dalam kebanyakan kasus, nyeri sembuh lebih dari 30 sampai 90 menit
karena kantong empedu relaksasi dan obstruksi mereda. Episode kolik bilier
adalah sporadis dan tak terduga. Pasien melokalisasi nyeri pada epigastrium atau
kuadran kanan atas dan mungkin menggambarkan radiasi ke ujung scapular kanan
(tanda Collins). Rasa sakit adalah konstan secara alami dan tidak berkurang
dengan emesis, antasid, defekasi, flatus, atau perubahan posisi.

Dua zat paling banyak yang dapat membentuk batu empedu adalah kolesterol dan
kalsium bilirubinate. Batu empedu kolesterol berhubungan dengan jenis kelamin
perempuan, pertambahan usia, obesitas, kehamilan, kandung empedu yang statis,
obat dan keturunan. Selain itu, sindrom metabolik pada obesitas trunkal, resistensi
insulin, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan
dengan peningkatan sekresi kolesterol di hati dan merupakan faktor risiko utama
bagi perkembangan batu empedu kolesterol. Pada pasien ini, pasien berjenis
kelamin perempuan dan berusia 37 tahun yang dapat menjadi faktor risiko dari
koledokolitiasis. Pasien ini belum pernah memeriksakan gula darahnya ke bagian
kesehatan sehingga belum mengetahui apakah pasien mempunyai diabetes melitus
atau tidak, namun dari anamnesis dikatakan pasien lebih sering BAK, makan, dan
minum, yang ketiganya merupakan trias diabetes melitus. Jika cairan empedu
mengandung proporsi kolesterol yang relatif tinggi, kemudian sebagai empedu
terkonsentrasi, disolusi bertahap dari vesikel dapat menyebabkan keadaan di mana
kolesterol pada misel dan yang tersisa di vesikel melebihi kapasitas. Pada titik ini,
empedu sangat tersaturasi dengan kolesterol, dan kristal kolesterol monohidrat
dapat terbentuk.

Pada pemeriksaan radiologi didapatkan pelebaran saluran empedu e.c. batu CBD
proksimal dan mild fatty liver. Choledocholithiasis dengan obstruksi akut duktus
biliaris komunis (CBD) awalnya menghasilkan peningkatan akut pada kadar
transaminase hati (aminotransferase aspartat dan alanine), diikuti beberapa jam
dengan kenaikan kadar serum bilirubin. Semakin tinggi kadar bilirubin, semakin
besar nilai prediktif untuk obstruksi CBD. Batu CBD hadir di sekitar 60% dari
pasien dengan kadar serum bilirubin lebih dari 3 mg / dL. Pada pasien ini terjadi
peningkatan kadar SGOT (120 U/L), SGPT (131 U/L), bilirubin total (7,1 mg/dL),
bilirubin direk (5,1 mg/dL), bilirubin indirek (2,0 mg/dL). Sehingga diagnosis
koledokolitiasis dapat ditegakkan.

DM tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM): Umumnya


muncul pada usia > 40 tahun dan jumlahnya kira-kira 90% dari total DM. DM tipe
ini ditandai dengan adanya resistensi insulin, defisiensi insulin atau gabungan
keduanya. Hal ini menyebabkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel insulin
meskipun telah tersedia. Keadaan ini disebabkan obesitas, diet tinggi lemak dan
rendah karbohidrat, kurang gerak badan serta faktor keturunan. Pasien berusia 37
tahun, usia yang mendekati faktor risiko diabetes melitus tipe 2. Selain itu pasien
juga mengaku senang mengonsumsi makanan manis dan bersantan juga tidak
rutin berolah raga.

Pada anamnesis, pasien mengatakan sering BAK terutama pada malam hari dan
jumlah urin meningkat dari biasanya, namun dari segi warna, pasien mengaku
urin berwarna kuning jernih. Pasien juga mengaku lebih banyak makan (5x/hari)
dan minum. Pada pemeriksaan GDS tanggal 29 September 2017 didapatkan hasil
282 mg/dL. Tanggal 30 September 2017 358 mg/dL. 2 Oktober dilakukan
pemeriksaan GDN: 224 mg/dL, GDPP: 233 mg/dL, dan kurva GDS: GDS 06.00: 303
mg/dL, GDS 11.00: 168 mg/dL, GDS 16.00: 156 mg/dL. Tanggal 3 Oktober dilakukan
pemeriksaan GDS dengan hasil 101 mg/dL. Diagnosis DM menurut ADA dan WHO,
adalah sebagai berikut: 1) Terdapat gejala diabetes dengan glukosa darah sewaktu
≥ 200 mg/dL. 2) Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. 3) Kadar glukosa pada
tes toleransi glukosa setelah 2 jam ≥ 200 mg/dL. Sehingga pada tanggal 3 Oktober
dapat ditarik kesimpulan gula darah sewaktu pasien sudah normal sehingga
direncanakan untuk pulang dan kontrol ke poli bedah umum pada hari senin
depan.

Tatalaksana yang diberikan berupa diet 1500 kcal/hari yang terdiri dari
karbohidrat: 45 – 60%, protein: 10 – 20%, dan lemak: 20 – 25%. Pemberian infus
ringer laktat 20 tpm sebagai cairan maintenance. Diberikan antibiotik ceftriakson
1 gram/12 jam dengan indikasi leukosit tinggi (21.140/uL) pada hari pertama, hari
kedua pasien diberikan ciprofloxacin 500 mg/12jam. Lantus 0-0-10 unit. Lantus
(insulin glargin) bekerja sebagai analog insulin manusia yang long acting.
Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28 – 36 jam. Novorapid 5-
5-5-0 unit diberikan bersama makanan, sesaat sebelum, atau segera sesudah
makan. Novorapid (insulin aspart) termasuk dalam insulin kerja cepat, mencapai
puncaknya dalam waktu 2 – 4 jam dan lama kerjanya 6 – 8 jam. Insulin ini
bekerja paling cepat dan paling sebentar, seringkali mulai menurunkan kadar gula
dalam waktu 20 menit. Humalog 8 IU/8j diberikan sebagai pengganti lantus dan
novorapid ketika kadar gula darah pasien sudah stabil. Humalog merupakan
insulin lispro yang bekerja secara cepat dan diberikan 15 menit sebelum atau
segera sesudah makan.
Urdafalk 250 mg/12j diberikan dengan indikasi adanya hepatitis kolestatis,
hepatitis aktif kronik, sirosis bilier primer, kolangitis sklerosing primer, batu
empedu kolesterol radiolusen yang diameternya <20mm. Komposisi dari urdafalk
adalah ursodeoxycholic acid sebagai kolagogum, kolelitolitik, dan
hepatoprotektor, yang pemberiannya diberikaan bersama makanan dengan dosis
8-10 mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis. Dosis pemberian ini sudah tepat
mengingat BB pasien 50kg sehingga dalam sehari pasien mengonsumsi 500 mg
dalam 2 dosis. Scopamin 10 mg/8j adalah antispasmodik yang digunakan untuk
tatalaksana gangguan fungsional gastrointestinal seperti spasme pada saluran
gastrointestinal dan diskinesia sistem bilier. Dosis scopamin adalah 1-2
tablet4x/hari yang dapat diberikan bersama atau tanpa makan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono S, et al. Editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai
penerbit FKUI; 2006. Hal. 89-90, 296-308, 581, 591-93, 819-28, 872-76,
927-45.

2. Anonim. 2008. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus.


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(DITJEN PP & PL) Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Hal 1

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical Care untuk


Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas &
Klinik; 2006. h. 1, 17-8, 32-43.

4. Suyono, S. 2009. Kecendrungan Peningkatan Jumlah Penyandang Diabetes.


Dalam : Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu Edisi 2. Balai Penerbit
FKUI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI dan World Health
Organization, Jakarta. Hal 4

5. Waspadji, S. 2009. Diabetes Melitus : Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya


yang Rasional. Dalam : Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu Edisi 2.
Balai Penerbit FKUI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI dan
World Health Organization, Jakarta. Hal 33, 36 – 38

6. Fradgley, S. 2003. Interaksi Obat. Dalam : Farmasi Klinis Menuju


Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, Terjemahan : Aslam,
M. PT. Elexmedia Komputindo, Jakarta. Hal 119, 120 – 130

7. Stockley, I.H. 2008. Drug Interaction 8th Edition. The Pharmaceutical Press,
London UK. Hal 1, 4, 468 – 485
8. Sari, D.P. 2006. Pola Peresepan dan Analisis Interaksi Obat Antidiabetik Oral
Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit x Depok. Skripsi. Departemen
Farmasi Fakultas MIPA UI, Depok. Hal 45

9. Tjay, T.H. dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan


dan Efek-Efek Sampingnya Edisi 6. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Hal 747 – 751

10. Soegondo, S. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini.


Dalam : Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu Edisi 2. Balai Penerbit
FKUI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI dan World Health
Organization, Jakarta. Hal 19, 22, 27

11. Schteingart, D.E. 2005. Pankreas : Metabolisme Glukosa dan Diabetes


Melitus. Dalam : Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 2, Terjemahan : Hartanto, H. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta. Hal 1262 – 1263, 1271

12. Anonim. 2006. Guidelines for the prevention, management and care of
diabetes mellitus. World Health Organization.
http://whqlibdoc.who.int/emro/2006/9789290214045_eng.pdf.

13. Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Leskonfi, Depok. Hal
165 – 166, 173 – 174, 176

14. Mycek, M.J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2, Terjemahan :


Agoes, A. Widya Medika, Jakarta. Hal 260

15. Yurlinah Sukandar, Erlin, dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI
Penerbitan, Jakarta. Hal 28

16. Joseph T. DiPiro. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach


Sixth Edition. The McGraw-Hill Companies, New York. Hal 1337 – 1340
17. Junaidi, I. 2009. Kencing Manis Pengenalan, Pencegahan dan Pengobatannya.
PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta. Hal 25 – 26, 33 – 35,
40 – 43, 47 – 48, 51 – 53

18. Anonim. 2006. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and


Intermediate Hyperglycaemia. World Health Organization.
http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241594934_eng.pdf.

19. Soegondo, S. 2009. Prinsip Penanganan Diabetes, Insulin dan Obat


Hipoglikemik Oral. Dalam : Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu Edisi
2. Balai Penerbit FKUI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI dan
World Health Organization, Jakarta. Hal 95, 123 – 127, 113, 130

20. McEvay, G.K. 2010. AHFS Drug Information. American Society of Health-
System Pharmacists, Bethesda Maryland. Hal 3157 – 3158, 3171 – 3172

Anda mungkin juga menyukai