Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit hipertensi adalah peningkatan abnormal tekanan darah, baik tekanan darah
sistolik maupun tekanan darah diastolik. Hipertensi disebut sebagai silent diseases karena
gejala terjadinya tidak terasa. Hipertensi merupakan faktor utama dari
perkembangan/penyebab penyakit jantung dan stroke serta apabila tidak terkontrol akan
menyebabkan kerusakan pada organ tubuh lainnya seperti otak, ginjal, mata dan kelumpuhan
organ – organ gerak (Purwati et al., 2005).

Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor tiga, setelah stroke dan tuberkulosis
yang sering dijumpai di masyarakat maju. Dengan jumlah mencapai 6,8 persen dari proporsi
penyebab kematian pada semua umur di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar
30% dengan insiden komplikasi penyakit kardiovaskuler lebih banyak pada perempuan
sebesar 52% dibandingkan pada laki – laki sebesar 48% (Departemen Kesehatan RI, 2010).
Penyakit hipertensi di Indonesia akan terus mengalami kenaikan insiden dan prevalensi,
berkaitan erat dengan perubahan gaya hidup, mengkonsumsi makanan tinggi lemak,
kolesterol, penurunan aktivitas fisik, kenaikan kejadian stress dan lain – lain.

Penanggulangan penyakit hipertensi selain dengan merubah pola makan dan gaya
hidup ke arah yang lebih sehat, juga dapat dibarengi dengan terapi obat – obatan. Pemilihan
obat-obatan antihipertensi saat ini telah banyak mengalami perubahan, karena perlu
mempertimbangkan efikasi, efek samping yang ditimbulkan, pemakaian jangka panjang dan
nilai ekonomisnya. Mengingat angka prevalensi dari penyakit hipertensi kian meningkat
maka dibutuhkan pengembangan obat antihipertensi dengan tingkat keamanan dan efektivitas
yang lebih tinggi.

Pengembangan pengobatan penyakit hipertensi saat ini telah banyak dilakukan,


termasuk dengan menggunakan bahan yang berasal dari alam. Antihipertensi yang berasal
dari tumbuhan dapat bekerja dengan berbagai cara, antara lain dengan cara menurunkan
volume cairan tubuh (diuresis), mengurangi tahanan perifer (vasodilator) atau mempengaruhi
kerja jantung itu sendiri (Loew D and M. Kaszkin, 2002). Penggunaan obat dan formulasi
herbal menjadi pertimbangan untuk mengurangi efek toksik dan memiliki efek samping yang
minimal dibandingkan dengan obat – obat sintetik (Harlbeistin, R. A, 2005).

1|Page
Banyak tanaman telah diteliti dan diketahui mempunyai aktivitas sebagai
antihipertensi. Salah satunya adalah daun belimbing wuluh. Belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L.,) termasuk dalam famili Oxadilaceae merupakan salah satu tanaman obat yang
berpotensi dimanfaatkan untuk obat antihipertensi. Daun belimbing wuluh telah banyak
diteliti aktivitasnya. Daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi folium) diketahui memiliki
aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan, antidiare, antidiabetes dan antihipertensi.

Mekanisme kerja daun belimbing wuluh sebagai antihipertensi yakni dengan cara
menurunkan volume cairan tubuh (diuresis). Senyawa yang terdapat dalam daun belimbing
wuluh diantaranya tanin, sulfur, asam format, peroksida 7 dan kalium. Kalium dalam daun
belimbing wuluh dapat mempengaruhi pengeluaran urin. Kalium berfungsi sebagai diuretik,
sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat, jumlah natrium menjadi berkurang dan
tekanan darah dapat menurun (Fitriani, 2009).

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai deskripsi tanaman, kandungan kimia,
farmakologi serta aktivitas daun belimbing wuluh sebagai antihipertensi yang diteliti
menggunakan hewan uji tikus jantan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Hipertensi ?
2. Bagaimana deskripsi tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.,) ?
3. Apa saja kandungan kimia dalam daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi
Folium) ?
4. Bagaimana aktivitas antihipertensi ekstrak etanol daun belimbing wuluh yang
diuji terhadap tikus jantan dengan kaptopril sebagai pembanding ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai penyakit hipertensi
2. Mengetahui dan memahami deskripsi tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L.,)
3. Mengetahui dan memahami kandungan kimia dalam daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi Folium)
4. Mengetahui dan memahami aktivitas antihipertensi ekstrak etanol daun belimbing
wuluh yang diuji terhadap tikus jantan dengan kaptopril sebagai pembanding

2|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Averrhoa Bilimbi Folium (Daun Belimbing Wuluh)

Simplisia Averrhoa Bilimbi Folium (daun belimbing wuluh) berupa daun yang telah
dikeringkan berasal dari tanaman Averrhoa bilimbi L., suku Oxalidaceae.

2.1.1 Deskripsi Tanaman


Pohon kecil tinggi mencapai 10 m, batang tidak begitu besar, biasanya ditanam
sebagai pohon buah, batang kasar banyak tonjolan, percabangan sedikit. Cabang muda
berambut halus warna cokelat muda. Daun bulat telur memanjang, warna hijau,
bertangkai. Bunga berkelompok kecil – kecil bentuk bintang, warna ungu kemerahan,
keluar dari batang. Buah buni bentuk bulat lonjong bersegi, warna hijau kekuningan,
mengandung banyak air rasa asam. Biji bulat telur gepeng.
Simplisia berupa daun majemuk, menyirip ganjil, bulat telur memanjang,
ujung meruncing, pangkal tumpul, warna hijau, permukaan bawah warna lebih muda,
tepi rata, bertangkai pendek.
2.1.2 Kandungan Kimia
Fitol (senyawa diterpen alkohol asiklik), dietil-ftalat, flavonoid, tanin, sulfur,
asam format, asam sitrat, kalium sitrat.
2.1.3 Farmakologi
Secara tradisional daun sering digunakan untuk hipertensi dan sebagai peluruh
air seni. Daun dapat menurunkan tekanan darah melalui mekanisme diuretika pada
hewan uji marmot, yaitu mengurangi jumlah air dalam plasma darah dengan cara
dikeluarkan sebagai urine. Pada pengujian menggunakan kucing, ekstrak daun
memiliki sifat hipotensif. Ekstrak dosis 25 mg/kg bb dapat menurunkan tekanan darah
hingga 41,25 mm Hg, dan bila dimurnikan penurunan hingga 51,5 mm Hg.
Ekstrak etanolik buah dan daun dapat menurunkan kadar glukosa darah pada
tikus yang dibuat diabetes. Ekstrak klorofom daun yang diketahui mengandung
flavonid, efektif membunuh pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus
cereus, dan Corynebacterium diphteria.

3|Page
2.2 Hipertensi

Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi
dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena
menurunnya elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat
memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah, serangan gagal jantung dan gagal
ginjal (Padila, 2013).

Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 (tiga), setelah stroke dan


tuberkulosis. Jumlahnya mencapai 6,8 persen dari proporsi penyebab kematian pada semua
umur di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 30% dengan insiden komplikasi
penyakit kardiovaskuler lebih banyak pada perempuan sebesar 52% dibandingkan pada laki-
laki sebesar 48% (Departemen Kesehatan RI, 2010). Jumlah tersebut akan terus tinggi lagi
mengingat hipertensi merupakan faktor utama penyebab penyakit jantung dan kardiovaskuler
(Departemen Kesehatan RI, 2009).

Meningkatnya tekanan darah selain dipengaruhi oleh faktor keturunan, beberapa


penelitian menunjukkan, erat hubungannya dengan perilaku responden. Kisjanto dalam
penelitiannya menunjukkan, perilaku santai yang ditandai dengan lebih tingginya asupan
kalori dan kurang aktivitas fisik merupakan faktor resiko terjadinya penyakit jantung, yang
biasanya didahului dengan meningkatnya tekanan darah. Perilaku santai yang digambarkan
dengan adanya kemudahan akses, kurang aktifitas fisik, ditambah dengan semakin
semaraknya makanan siap saji, kurang mengkonsumsi makanan berserat seperti buah dan
sayur, kebiasaan merokok, dan kebiasaan minum minuman beralkohol merupakan faktor
resiko meningkatnya tekanan darah.

Tekanan darah mengalami fluktuasi setiap saat, hipertensi akan menjadi masalah
apabila tekanan darah tersebut persisten, karena hal ini membuat sistem sirkulasi dan organ
yang mendapat suplai darah (otak dan jantung) menjadi tegang. Apabila hipertensi tidak
terkontrol dengan baik dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali
lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung
(Anna & Bryan, 2007).

Cara mencegah agar hipertensi tidak menyebabkan komplikasi lebih lanjut maka
diperlukan penanganan yang tepat dan efesien. Penaganan hipertensi secara umum dapat
dilakukan dengan cara farmakologis dan non farmakologis. Pengobatan farmakologis adalah

4|Page
pengobatan yang menggunakan obat-obatan modern. Pengobatan farmakologis dilakukan
pada hipertensi dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih. Pengobatan non-
farmakologis, merupakan pengobatan tanpa obatobatan yang diterapkan pada hipertensi.
Dengan cara pengobatan non-farmakologi penurunan tekanan darah diupayakan melalui
pencegahan dengan menjalani pola hidup sehat dan mengkonsumsi bahanbahan alami seperti
buah-buahan dan sayur-sayuran (Junaidi,2010).

2.3 Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengukuran secara
langsung dan pengukuran secara tidak langsung. Pengukuran tekanan darah secara langsung
contohnya radiotelemetri merupakan prosedur bedah invasif yang sangat akurat sebagai
teknologi pengukuran tekanan darah. Telemetri dilakukan dengan cara implantasi radio
transmiter pada tubuh tikus. Teknik ini sangat valid dan memiliki korelasi yang sangat baik
dalam mengukur tekanan darah secara langsung.

Keuntungannya adalah tekanan darah tikus dapat terus terukur walaupun tikus
bergerak bebas (Ciptaningsih 2012). Kerugian dari penggunaan radiotelemetri adalah
morbiditas yang berhubungan dengan pembedahan implantasi transmiter, morbiditas yang
berhubungan dengan penggantian baterai yang dapat menyebabkan stres pada hewan coba,
memerlukan biaya yang tinggi untuk penggunaan alat, hewan coba tidak bersosialisasi karena
diisoloasi, dan membutuhkan seorang ahli untuk memasang transmiter (Ciptaningsih 2012).

Pengukuran tekanan darah yang dilakukan secara tidak langsung (noninvasive blood
pressure) menggunakan instrumen CODA® dari Kent Scientific pada ekor tikus. Metode
pengukuran tekanan darah tersebut dengan teknik Volume Pressure Recording (VPR) tail-cuff
auto-pickup. VPR menggunakan desain khusus yaitu tekanan diferensial yang ditransduksi
menjadi pengukuran noninvasive volume darah pada ekor. Perekam tersebut menggunakan
metode volumetrik untuk mengukur aliran darah dan volume darah pada ekor, dengan adanya
metode tersebut maka pengukuran hewan coba tidak dipengaruhi oleh gelap terangnya
lingkungan, pergerakan hewan coba sebagian besar dapat dikurangi, dan tidak tergantung
dengan pigmentasi kulit hewan coba. Perekam tekanan volume darah secara aktual mengukur
enam parameter tekanan darah secara bersamaan yaitu tekanan darah sistolik, tekanan darah
diastolik, tekanan arteri rata-rata, denyut jantung, volume darah, dan aliran darah pada ekor
(Malkoff 2011). American Heart Association telah merekomendasikan pengukuran tekanan

5|Page
darah secara tidak langsung pada ekor tikus terutama pada penelitian yang menggunakan
banyak hewan coba (Feng et al. 2008).

2.3.1 Pengukuran Tekanan Darah dengan Menggunakan non invasif CODA

Pengukuran tekanan darah dilakukan menggunakan alat pengukur tekanan


darah non invasif CODA. Metode pengukuran tekanan darah non invasif dilakukan
dengan menggunakan manset ekor yang dipasang pada ekor tikus uji. Alat pengukur
tekanan darah non invasif CODA menggunakan prinsip pengukuran tipe volume
pressure recording. Parameter tekanan darah yang nantinya dianalisis yakni tekanan
darah sistol dan tekanan darah diastol. Hal yang harus diperhatikan dalam pengukuran
tekanan darah menggunakan alat ini adalah panjang manset yang sesuai yang dapat
mempengaruhi keakuratan pengukuran, hal lain yang perlu diperhatikan adalah suhu
tubuh tikus uji yang sangat menentukan konsistensi dan akurasi pengukuran tekanan
darah, tikus uji harus tenang selama pengukuran tekanan darah, serta pengaturan suhu
ruangan yang tidak kurang dari 26ºC (Wijayanti, 2012).

2.3.2 Tahap Pengukuran Tekanan Darah

Pengamatan hewan coba dilakukan dengan pengukuran tekanan darah tanpa


anestesi menggunakan metode tail-cuff auto-pickup. Pengukuran dilakukan dua kali
dalam seminggu menggunakan alat pengukur tekanan darah non invasif CODA® .
Metode pengukuran tekanan darah non invasif dilakukan dengan manset ekor yang
dinamakan cuff terdapat Volume Pressure Recorder (VPR) cuff dan occlusion cuff.
Restrain tikus dilakukan di tempat khusus menggunakan animal holders.

Pengukuran tikus terlebih dahulu dihangatkan dengan suhu 37ºC pada


warming pad sampai suhu tikus mencapai suhu optimum. Occlusion cuff
menggunakan karet disposibel yang dipasang pertama pada ekor tikus, kemudian
diikuti dengan VPR cuff sebagai detektor denyut. Cuff secara otomatis akan
mengembang menekan ekor tikus yang dialiri darah dan denyut aliran darah akan
terdeteksi. Denyut yang terukur merupakan tekanan darah sistolik tikus. Setiap
pengukuran dilakukan sepuluh kali pengulangan untuk masing-masing hewan coba
yang kemudian diambil rata-ratanya. Pengukuran tekanan darah mengukur enam
parameter darah secara bersamaan yaitu tekanan darah sistolik, tekanan darah

6|Page
diastolik, tekanan arteri rata-rata, denyut jantung, volume darah dan aliran darah pada
ekor.

2.4 Captopril

Kaptopril merupakan salah satu obat antihipertensi golongan ACE inhibitor yang telah
banyak digunakan untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung kongestif, dan diresepkan
untuk pasien kronis yang membutuhkan agen terapi jangka panjang (Ho, Wang, & Sheu,
2010).
Captopril mempunyai rumus bangun sebagai berikut:

Captopril berupa serbuk hablur putih atau hampir putih, bau khas seperti sulfida.
Captopril mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam kloroform
(Anonim, 1995).

2.4.1 Farmakologi
Captopril menghambat enzim pengkonversi angiotensin (ACE), dengan
demikian menyekat konversi angiotensin I menjadi II. Angiotensin II merupakan

7|Page
vasokontriktor yang poten dan bertindak untuk melepaskan aldosteron. Dengan
demikian, captopril menurunkkan tahanan vascular perifer dan tekanan darah dan
menghambat retensi air dan garam yang normalnya ditimbulkan oleh aldosteron.
Captopril jugan menurunkan prabeban dan pascabeban. ACE juga bertanggung jawab
bagi metabolisme bradikinin dalam jaringan meningkat setelah pemberian captopril.
Aliran darah otak dan tekanan intracranial meningkat.

Indikasi
1. Hipertensi
2. Gagal jantung
3. Setelah Infark miokardium (serangan jantung)
4. Diabetic nephropathy

Dosis

Kaptopril harus diberikan 1 jam sebelum makan, dosisnya sangat tergantung


dari kebutuhan penderita (individual).

2.4.2 Farmakokinetik
a. Absorpsi
Diabsorpsi dgn cepat sekitar 65% dr saluran GI. Makanan
menurunkan absorpsi. Sebaiknya obat ini digunakan pada saat
perut kosong. Sekitar 30% terikat dengan protein plasma
b. Distribusi
Didistribusi secara luas, tetapi tidak menembus barier darah otak.
Menembus plasenta, memasuki ASI dalam jumlah kecil
c. Metabolisme dan Ekskresi
50% dimetabolisme oleh hati. 50% diekskresi dalam bentuk yang
tidak diubah oleh ginjal

2.4.3 Waktu / Profil Kerja


Obat Awitan Aksi : PO/SL, < 15 menit
Efek puncak : PO, 60-90 menit; SL<60
Lama Aksi : PO/SL 2 – 6 jam
Interaksi/Toksisitas : Efek hipotensi aditif dengan diuretic,
vasodilator, penyekat beta, penyekat saluran kalsium, anestetik volatile;
meningkatkan kadar kalium serum, yang dapat bermakna pada insufisiensi
ginjal dan penggunaan diuretic hematkalium sepetri spironolakton, triamteren,

8|Page
atau amilorid; efek antihipertensi diantagonisir oleh indometasin dan obat-
obatan anti-radang nonsteroid lainnya.

2.4.4 Bentuk Sediaan dan Nama Dagang


Bentuk sediaan:
Tablet:
− 12.5 mg, 25 mg, 50 mg, 100 mg
− 25 mg atau 50 mg dalam kombinasi dengan hidrokhlorothiazide 15 mg
atau 25 mg.

Captopril pada umumnya digunakan untuk mengobati penyakit :

a. Tekanan darah tinggi

Penyakit tekanan darah tinggi atau lebih dikenal dengan hipertensi biasanya
disebabkan oleh pola makan yang kurang tepat dan kurangnya aktivitas fisik
sehari-hari, sehingga menimbulkan penimbunan lemak yang tinggi di sekujur
tubuh. Penyakit tekanan darah tinggi sangat sulit dideteksi dan didiagnosa
kehadirannya.

Gejala-gejala yang timbul sebagai pertanda awal kehadirannya cukup banyak


antara lain: kepala sering pusing, jantung berdebar-debar, bahu terasa kaku,
kesulitan untuk tidur (insomnia), sesak nafas, sembelit (kesukaran buang air
besar), kelelahan, dan mengeluarkan keringat dingin. Seseorang dapat dikatakan
menderita penyakit tekanan darah tinggi apabila memiliki tekanan systole
mencapai lebih dari 160 mm Hg dan diastole melebihi 95 mm Hg.

b. Serangan jantung

Serangan jantung merupakan suatu keadaan di mana para penderitanya


mendapat serangan nyeri di dada yang berifat seperti diremas, ditusuk, atau hanya
merasa berat saja. Rasa nyeri ini dapat tinggal setempat di dada sebelah tengah
atau menyebar ke arah dagu dan lengan terutama sebelah kiri. Sindrom ini disertai

9|Page
dengan rasa sesak nafas dan rasa takut yang timbul apabila penderita
mengeluarkan tenaga berlebihan seperti mendaki, mendorong mobil mogok,
mengangkat peti berat atau pada waktu musim dingin. Rasa nyeri ini berlangsung
hanya beberapa menit dan akan hilang apabila penderita beristirahat, atau hilang
emosinya.

c. Gagal jantung kongestif

Gagal jantung adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh suatu
kelainan jantung dan dapat dikenali dari respons hemodinamik, renal, neutral, dan
hormonal yang karakteristik. Gagal jantung kongestif merupakan gagal jantung
yang disertai retensi cair dan edema. Ciri-ciri penyakit gagal jantung antara lain:
napas pendek saat beraktivitas dan juga saat istirahat, batuk berdahak, naik berat
badan, pembengkakan kaki dan perut, pusing-pusing, kelelahan dan lesu, denyut
jantung yang cepat, mual, palpitasi, dan sakit dada.

d. Diabetic nephropathy

Nefropati diabetes (Diabetic nephropathy), juga dikenal sebagai Kimmelstiel-


Wilson syndrome dan glomerulonefritis intercapillary, adalah penyakit ginjal
progresif yang disebabkan oleh angiopati kapiler-kapiler glomeruli ginjal dalam.
Hal ini ditandai dengan sindrom nefrotik dan glomerulosklerosis menyebar. Hal
ini akibat diabetes mellitus berlangsung lama, dan merupakan penyebab utama
dialisis di banyak negara Barat. Sindrom ini dapat dilihat pada pasien dengan
diabetes kronis (15 tahun atau lebih setelah onset), sehingga pasien biasanya usia
lebih tua (antara 50 dan 70 tahun). Penyakit ini bersifat progresif dan dapat
menyebabkan kematian dua atau tiga tahun setelah lesi awal, dan lebih sering
pada pria.

2.4.5 Efek Samping Captopril

a. Kardiovaskular : Hipotensi, palpitasi, takikardia


b. Pulmoner : batuk, dispne, bronkospasme
c. SSP : Pusing, kelelahan
d. GI : Nyeri abdomen, disgeusia, tukak lambung
e. Dermatologik: Ruam, pruritus

f. Ginjal: Peningkatan kadar BUN dan kreatinin, proteinuria, gagal ginjal


g. Hematologik: Neutropenia, trombositopenia, anemia hemolitik, eosinofilia
h. Lain: angioedema, limafadenopati

10 | P a g e
Captopril menimbulkan proteinuria lebih dari 1 g sehari pada 0,5% penderita
dan pada 1,2% penderita dengan penyakit ginjal. Dapat tejadi sindroma nefrotik serta
membran glomerulopati pada penderita hipertensi. Karena proteinuria umumnya
terjadi dalam waktu 8 bulan pengobatan maka penderita sebaiknya melakukan
pemeriksaan protein urin sebelum dan setiap bulan selama 8 bulan pertama
pengobatan.

Neutropenia/agranulositosis terjadi kira-kira 0,4 % penderita. Efek samping ini


terutama terjadi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Neutropenia ini
muncul dalam 1 - 3 bulan pengobatan, pengobatan agar dihentikan sebelum penderita
terkena penyakit infeksi. Pada penderita dengan resiko tinggi harus dilakukan hitung
leukosit sebelum pengobatan, setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan
dan secara periodik.

Pada penderita yang mengalami tanda-tanda infeksi akut (demam, faringitis)


pemberian captopril harus segera dihentikan karena merupakan petunjuk adanya
neutropenia.

Hipotensi dapat terjadi 1 - 1,5 jam setelah dosis pertama dan beberapa dosis
berikutnya, tapi biasanya tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan rasa
pusing yang ringan. Tetapi bila mengalami kehilangan cairan, misalnya akibat
pemberian diuretik, diet rendah garam, dialisis, muntah, diare, dehidrasi maka
hipotensi tersebut menjadi lebih berat. Maka pengobatan dengan captopril perlu
dilakukan pengawasan medik yang ketat, terutama pada penderita gagal jantung yang
umumnya mempunyai tensi yang nomal atau rendah. Hipotensi berat dapat diatasi
dengan infus garam faal atau dengan menurunkan dosis captopril atau diuretiknya.

Sering terjadi ruam dan pruritus, kadang-kadang terjadi demam dan


eosinofilia. Efek tersebut biasanya ringan dan menghilang beberapa hari setelah dosis
diturunkan.

Teriadi perubahan rasa (taste alteration), yang biasanya terjadi dalam 3 bulan
pertama dan menghilang meskipun obat diteruskan. Retensi kalium ringan sering
terjadi, terutama pada penderita gangguan ginjal, sehingga perlu diuretik yang
meretensi kalium seperti amilorida dan pemberiannya harus dilakukan dengan hati-
hati.

11 | P a g e
2.5 Inducer Hipertensi

2.5.1 MSG (Monosodium Glutamat)

MSG merupakan garam sodium dari salah satu asam amino nonesensial asam
glutamate, yang akan berfungsi sebaagai penguat dan penyedap rasa jika ditambahkan
pada makanan, terutama makanan yang mengandung protein. Komposisi senyawa
MSG adalah 78% glutamate, 12% natrium dan 10% air.

Pemberian MSG terhadap tikus dapat mengganggu metabolisme lipid dan


aktivitas enzim anti-oksidan di jaringan pembuluh darah, menjadikan risiko hipertensi
dan penyakit jantung. Kerusakan enzim antioksidan ini ternyata yang juga
menimbulkan kerusakan kronis di jaringan syaraf. Secara umum, antioksidan memang
berperan penting bagi kesehatan di seluruh bagian tubuh.

2.5.2 Deoxycorticosterone Acetate (DOCA)-Garam

Deoxycorticosterone adalah hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar


adrenal yang memiliki aktifitas sebagai mineralokortikoid dan bertindak sebagai
prekursor aldosterone. Jalur utama untuk produksi aldosterone yaitu pada zona
glomerulosa adrenal. Sebagian besar deoxycorticosterone sebagai cortexon, 11
deoxycorticosterone, deoxycortone B disekresikan oleh zona fasculiata dari korteks
adrenal juga mensekresi kortisol. Pemberian suntikan deoxycorticosterone tidak
menyebabkan ekskresi kalium bila asupan natrium rendah. DOCA-garam merupakan
salah satu model hipertensi sekunder karena pengaruh endokrin (hormon). Hormon
adalah zat yang dilepaskan ke dalam aliran darah dari suatu kelenjar atau organ yang
mempengaruhi kegiatan di dalam sel-sel. Sebagian besar hormon merupakan protein
yang terdiri dari rantai asam amino dengan panjang yang berbeda-beda. Sisanya
merupakan steroid, yaitu zat lemak yang merupakan derivat dari kolesterol. Hormon
dalam jumlah yang sangat kecil bisa memicu respon tubuh yang sangat luas.
Deoxycorticosterone merupakan salah satu hormon yang dihasilkan di korteks
adrenal.

Mekanisme DOCA-garam terhadap peningkatan tekanan darah yaitu


peningkatan reabsorbsi DOCA-diinduksi garam dan air menyebabkan volume darah
meningkat dengan demikian terjadi peningkatan tekanan darah. Reabsorpsi natrium

12 | P a g e
dapat menyebabkan peningkatan reabsorpsi air dan peningkatan tekanan darah.
DOCA suatu mineralokortikoid secara kualitatif mempunyai kemiripan dengan
aldosterone. Kelebihan mineralokortikoid mengakibatkan hipertensi dan hypokalemia.
Aldosterone (aldosteroneisme) merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi kadar
natrium, kalium, bikarbonat dan klorida dalam darah, yang menyebabkan tekanan
darah tinggi.

13 | P a g e
BAB III

CONTOH PENELITIAN

“PENINGKATAN EFEK ANTIHIPERTENSI KAPTOPRIL OLEH EKSTRAK


ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) PADA TIKUS
HIPERTENSI YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT”

Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Di


Indonesia, pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk menderita hipertensi dan
meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004. Survey tahun 2007 menunjukkan penyebab
kematian tertinggi adalah PTM (Penyakit Tidak Menular), yaitu penyakit kardiovaskuler
(31,9%) termasuk hipertensi (6,8%) dan stroke (15,4%) (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Jenis terapi untuk mengatasi hipertensi adalah pemberian obat, pengaturan diet, olah
raga dan memeriksakan tekanan darah (Yulianti dan Maloedyn, 2006). Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional tahun 2004, menunjukkan bahwa 32,87% penduduk Indonesia
menggunakan obat bahan alam untuk terapi hipertensi. Penggunaan obat sintetik sebesar
60,2% dan kombinasi obat sintetik-bahan alam 39,8% (Gusmira, 2012).

Salah satu antihipertensi yang sering digunakan sebagai pilihan pertama adalah
kaptopril. Pengobatan hipertensi menggunakan kaptopril membutuhkan biaya yang tidak
sedikit karena penggunaannya untuk terapi jangka panjang, bahkan seumur hidup sehingga
berpotensi memunculkan efek samping oleh obat. Efek samping kaptropil yang telah
teridentifikasi antara lain batuk kering, gagal ginjal, edema angioneurotik dan hipotensi
(Nafrialdi, 2007). Efek samping yang beragam karena penggunaan obat dan lamanya
pengobatan menyebabkan sebagian masyarakat lebih memilih tanaman obat atau herbal
sebagai alternatif untuk mengobati hipertensi. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa obat
bahan alam memiliki efek samping rendah dan aman untuk pengobatan jangka panjang
karena alami (Ebadi, 2007).

Daun belimbing wuluh adalah salah satu herbal yang digunakan oleh masyarakat
untuk pengobatan hipertensi. Masyarakat secara tradisional sudah menggunakan belimbing
wuluh untuk mengobati berbagai macam penyakit, diantaranya bagian bunga untuk
mengobati sariawan (stomatitis) dan batuk. Buah belimbing wuluh telah digunakan untuk

14 | P a g e
mengobati gusi berdarah, sakit gigi, jerawat, panu, kelumpuhan dan hipertensi. Daun
belimbing wuluh juga dapat digunakan untuk mengobati hipertensi, gondongan (parotitis)
dan sakit perut (Dalimartha, 2008).

Berbagai bagian tanaman belimbing wuluh sudah diteliti khasiatnya sebagai


antihipertensi. Berdasarkan penelitian Yuskha (2008), ekstrak etanol buah belimbing wuluh
berkhasiat sebagai diuretik yang dapat menurunkan tekanan darah. Hernani et al., (2009)
membuktikan bahwa ekstrak etanol daun belimbing wuluh berkhasiat sebagai antihipertensi
pada kucing yang teranestesi dengan mekanisme diuretik.

Metode Penelitian

Penlitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan pre-test and post-
test matched control group menggunakan tikus jantan galur Wistar sebagai hewan uji.

Bahan

Daun belimbing wuluh diperoleh dari daerah Sekaran Kecamatan Gunung Pati
Kota Semarang Jawa Tengah, Tikus jantan galur Wistar, etanol 70% (PT. Bratacho
Chemika), monosodium glutamat (PT. Ajinomoto), Kaptopril (PT. Phapros Tbk),
CMC Na 0,5% (PT. Bratachem) dan akuades.

Alat

Botol gelap, timbangan elektrik (Ohaus), blender (Maspion), vaccum rotary


evaporator (Heidolph), Moisture balance (Ohaus), Timbangan hewan uji, jarum
tumpul per-oral, alat pengukur tekanan darah blood pressure analyzer merk CODA
(Kent Scientific), termometer (Therme Works), Magnetik stirer (Labinco).

Cara kerja

Pembuatan Ekstrak Kental Daun belimbing wuluh dipetik sebanyak 6,980 kg


dan disimpan di tempat kering kemudian dipisahkan dari bahan asing atau pengotor.
Daun belimbing wuluh kemudian dicuci bersih menggunakan air mengalir untuk
menghilangkan kotoran dari daun. Selanjutnya, daun belimbing wuluh yang sudah
bersih dikeringkan dengan oven pada suhu 40° C. Simplisia tersebut kemudian dibuat
dalam bentuk serbuk menggunakan blender, lalu diayak dengan menggunakan ayakan
no. 40 mesh. Pembuatan ekstrak etanol daun belimbing wuluh dilakukan dengan
teknik maserasi menggunakan etanol 70%. Sebanyak 2.000 gram serbuk daun

15 | P a g e
belimbing wuluh dilarutkan dalam 20 L etanol 70%. Maserat yang diperoleh disimpan
dalam wadah tertutup dan terlindung dari cahaya. menggunakan rotary evaporator
pada suhu 500C hingga diperoleh ekstrak kental.

Pembuatan stok sediaan suspensi ekstrak etanol daun belimbing wuluh (4,8
dan 9,6) mg/mL. Dosis ekstrak etanol daun belimbing wuluh yang digunakan dalam
penelitian ini adalah (60 dan 120) mg/KgBB/hari. Stok sediaan suspensi ekstrak
etanol daun belimbing wuluh (4,8 dan 9,6) mg/mL dibuat sebanyak 100,0 mL dengan
cara menimbang ekstrak etanol daun belimbing wuluh seberat (480 dan 960) mg
dalam masing-masing cawan. Masing-masing ekstrak dalam cawan disuspensikan
dengan larutan CMC-Na 0,5% sebanyak 50,0 mL. Ekstrak diaduk hingga membentuk
suspensi dan dimasukkan dalam labu takar ukuran 100,0 mL. Sisa ekstrak yang masih
menempel pada dinding cawan porselen dicuci menggunakan 30,0 mL larutan CMC-
Na 0,5% sambil digerus. Setelah itu, suspensi tersebut dimasukkan ke dalam labu
takar dan selanjutnya ditambahkan larutan CMC-Na 0,5% hingga batas tanda pada
labu takar (100,0 mL).

Pembuatan Tikus Hipertensi

A. Adaptasi Tikus jantan galur Wistar dalam Lingkungan Laboratorium

Tikus jantan galur Wistar diadaptasikan dalam kandang selama satu


minggu dengan pemberian minum akuades ad.libitum setiap hari dan pakan
standar BR2. Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali per hari, yaitu
pada pagi dan sore hari. Kebersihan kandang dijaga dengan mengganti sekam
dan membersihkan kandang hewan uji setiap dua hari sekali. Kandang tikus
harus terhindar dari lingkungan yang bising untuk menjaga agar tikus tidak
mengalami stress yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

B. Induksi Hipertensi dengan Pemberian Monosodium glutamat

Tiga puluh lima ekor tikus dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan.
Sebelum pemberian sediaan uji pada tikus, dilakukan pengukuran tekanan
darah mula-mula sehingga diperoleh data tekanan darah sebelum perlakuan.
Sebanyak lima ekor tikus digunakan sebagai kontrol negatif (perlakuan
akuades 12,5 mL/KgBB/hari secara per-oral selama 14 hari), sedangkan 30
ekor tikus diberikan monosodium glutamat 100 mg/KgBB/hari selama 14 hari

16 | P a g e
secara per-oral. Setelah pemberian sediaan uji selama 14 hari, tikus diukur
tekanan darahnya kembali. Tikus yang mengalami hipertensi ditandai dengan
peningkatan tekanan darah sistol hingga mencapai ≥ 150 mmHg (Wijayanti,
2012).

Uji Aktivitas Antihipertensi

Sebanyak 30 ekor tikus hipertensi dengan tekanan darah sistol ≥ 150 mmHg dibagi
menjadi enam kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor tikus.
Tikus kelompok I (kontrol hipertensi) diberi perlakuan CMC-Na 0,5% 12,5 mL/kgBB/hari.
Tikus kelompok II (kontrol positif) kaptopril 2,5 mg/kgBB/hari. Tikus kelompok III dan IV
mendapat perlakuan ekstrak etanol daun belimbing wuluh (60 dan 120) mg/kgBB/hari. Tikus
kelompok V dan VI diberi perlakuan kombinasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh (60 dan
120) mg/kgBB/hari dan kaptopril 2,5 mg/kgBB/hari. Data tekanan darah tikus sistol dan
diastol diukur sebelum dan setelah pemberian sediaan uji (per-oral) selama 14 hari.

Berdasarkan hasil determinasi, tanaman yang digunakan dalam penelitian ini


dipastikan adalah belimbing wuluh jenis Averrhoa bilimbi L. Serbuk kering daun belimbing
wuluh diekstraksi menggunakan metode maserasi. Cairan penyari yang digunakan adalah
etanol 70%. Senyawa phytol adalah salah satu kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam
daun belimbing wuluh. Senyawa ini dapat tersari ke dalam etanol 70% dan diduga merupakan
senyawa aktif yang memiliki efek antihipertensi pada penelitian Hernani et al, (2009). Ekstrak
kental daun belimbing wuluh yang dihasilkan sebanyak 265 gram dengan rendemen sebesar
13,25%. Secara makroskopik, ekstrak tersebut berwarna hijau tua dengan bau khas daun
belimbing wuluh, tidak berbau etanol dan tidak mengalir saat dituang.

MSG digunakan sebagai bahan untuk menginduksi terjadinya hipertensi. Hasil uji
pendahuluan membuktikan bahwa pemberian MSG 100 mg/kgBB/hariper-oral selama 14 hari
mampu meningkatkan secara signifikan rata-rata tekanan darah sistol tikus jantan galur Wistar
(p<0,05). Tekanan darah sistol tikus Jantan galur Wistar setelah mendapat perlakuan dengan
MSG 100 mg/kgBB/hari selama 14 hari adalah sebesar 162,33 ± 4,225 mmHg. Tikus
dikatakan mengalami hipertensi apabila tekanan darah sistol melebihi 130 mmHg (Delaney,
2008). Pada tahap penelitian selanjutnya, MSG 100 mg/kgBB/hari digunakan untuk
menginduksi hipertensi tikus antan galur Wistar. Peningkatan rata-rata tekanan darah sistol
dan diastol tikus kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan MSG (10 dan 100 )
mg/kgBB/hari sebelum dan setelah perlakuan selama 14 hari (Gambar 1 dan 2).

17 | P a g e
Gambar 1. Perbandingan Tekanan Darah Sistol (rata-rata ± SEM) Tikus Kelompok
Kontrol Negatif ( n = 3) dan Kelompok Perlakuan MSG (10 dan 100) mg/KgBB/hari (n = 3)
Sebelum dan Setelah Perlakuan Selama 14 hari. *Hasil uji t-berpasangan menunjukkan
perbedaan yang bermakna dengan tekanan darah sistol sebelum perlakuan.

Peningkatan rata-rata tekanan darah sistol diikuti pula dengan peningkatan tekanan
darah diastol walaupun hasil pengujian secara statistik belum menunjukkan peningkatan yang
signifikan (< 0,05). Hal ini disebabkan karena sebaran data yang terlalu lebar dan hewan uji
yang digunakan hanya tiga ekor.

Gambar 2. Perbandingan Tekanan Darah Diastol (rata-rata ± SEM) Tikus Kelompok


Kontrol Negatif (n = 3) dan Kelompok Perlakuan MSG (10 dan 100) mg/KgBB/hari (n = 3)
Sebelum dan Setelah Perlakuan Selama 14 hari. Hasil uji t-berpasangan menunjukkan tidak
ada perbedaan (p > 0 ,05).

Tahap penelitian selanjutnya dilakukan dengan cara memberikan MSG


100mg/kgBB/hari pada 30 ekor tikus jantan galur Wistar. Data berikut adalah gambaran

18 | P a g e
peningkatan tekanan darah sistol dan diastol tikus jantan galur Wistar (n = 30) setelah
pemberian MSG 100 mg/kgBB/hari ( gambar 3 dan 4).

Gambar 3. Perbandingan Tekanan Darah Sistol (rata –rata ± SEM) Tikus Kelompok
Kontrol Negatif ( n = 5) dan Kelompok Perlakuan MSG 100 mg/KgBB/ hari (n = 30)
Sebelum dan Setelah Perlakuan Selama 14 hari. *Hasil uji t-berpasangan menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna dengan tekanan darah sebelum perlakuan (p<0,05).

Hasil penelitian membuktikan bahwa perlakuan MSG 100 g/kgBB/hari per-oral


selama 14 hari mampu meningkatkan secara signifikan rata-rata tekanan darah sistol dan
diastol 30 ekor tikus jantan galur Wistar sebesar 159,23 ± 1,180 mmHg dan 123,43 ± 1,9 14
mmHg. Pembuatan model hewan percoban hipertensi dengan MSG merupakan metode non
invasif yang lebih unggul bila dibandingkan dengan metode lain seperti pembuatan tikus
hipertens iyang diinduksi dengan prednison dan garam (Yuliandra et al., 2013).

Gambar 4. Perbandingan Tekanan Darah Diastol (rata-rata ± SEM) Tikus Kelompok


Kontrol Negatif (n = 5) dan Kelompok Perlakuan MSG 100 mg/KgBB/hari (n = 30)

19 | P a g e
Sebelum dan Setelah Perlakuan Selama 14 hari. *Hasil uji t-berpasangan menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna dengan tekanan darah seelum perlakuan (p < 0,05).

Penggunaan model tikus hipertensi dengan metode induksi MSG merupakan keadaan
hipertensi yang secara klinis sama pada manusia. Penggunaan model hipertensi ini dan
respon penurunan tekanan darah akibat pemberian obat akan dapat teramati (Badyal dan
Dadhich, 2003). Alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah tikus adalah “blood
pressure analyzer, CODA TM“(Dipetrillo dan Feng, 2009).Data perbandingan rata-rata
tekanan darah sistol dan diastol tikus kelompok kontrol hipertensi dan kelompok perlakuan
sebelum dan setelah perlakuan sediaan uji selama 14 hari dapat dilihat pada gambar 5 dan 6.

Senyawa aktif yang telah teridentifikasi dari ekstrak etanol daun belimbing wuluh
merupakan golongan diterpen yaitu senyawa phytol. Senyawa golongan diterpen ini diduga
bertanggung jawab terhadap efek antihipertensi ekstrak etanol daun belimbing wuluh.
Mekanisme aksi senyawa phytol terhadap efek antihipertensi yaitu sebagai agen diuretik.
(Hernani et al., 2009).

Gambar 5. Perbandingan Tekanan Darah Sistol (rata-rata ±S EM) Tikus Kelompok


Kontrol Hipertensi n = 5) dan Kelompok Perlakuan Sediaan Uji (n = 5) Sebelum dan Setelah
Perlakuan Selama 14 hari. *Hasil uji t-berpasangan dan uji wilcoxon menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna dengan tekanan darah sebelum perlakuan (p <0,05).

20 | P a g e
Gambar 6. Perbandingan Tekanan Darah Diastol (rata-rata ± SEM) Tikus
Kelompok Kontrol Hipertensi n = 5) dan Kelompok Perlakuan Sediaan Uji (n = 5)
Sebelum dan Setelah Perlakuan selama 14 hari. *Hasil uji t-berpasangan dan uji wilcoxon
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan tekanan darah sebelum perlakuan
(p<0,05).

Senyawa phytol diduga sebagai diuretik dengan bekerja meningkatkan ekskresi


natrium, air,klorida dan menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya.
Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam selotot polos
pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium sehingga menurunkan
volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya, penurunan curah jantung dan tekanan
darah akan terjadi (Nafrialdi, 2007). Kaptopril merupakan antihipertensi dengan mekanisme
aksi menghambat ACE (angiotensin converting enzyme) (Nugroho, 2012). Oleh karena itu,
jika ekstrak etanol daun belimbing wuluh dikombinasikan dengan kaptopril akan
menghasilkan efek yang sinergis dalam menurunkan tekanan darah dengan mekanisme aksi
yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, ekstrak etanol daun belimbing wuluh dapat
dijadikan sebagai alternatif antihipertensi yang berasaldari bahan alam.

Potensi efek hipotensi dari kombinasi 2 lebih besar dibandingkan dengan kaptopril 2,5
mg/KgBB/hari dalam menurunkan tekanan darah sistol, sedangkan ekstrak etanol daun
belimbing wuluh (60 dan 120) mg/kgBB/hari serta kombinasi 1 dan 2 mampu menurunkan

21 | P a g e
tekanan darah diastol yang sebanding dengan kaptopril 2,5 mg/KgBB/hari. Oleh karena itu,
penelitian ini menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun belimbing wuluh merupakan herbal
yang cukup potensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai antihipertensi. Penelitian
selanjutnya diarahkan pada penemuan berbagai senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak
etanol daun belimbing wuluh melalui isolasi senyawa aktif (senyawa phytol). Senyawa aktif
tersebut harus diuji kembali tentang khasiatnya sebagai antihipertensi. Selain itu, kajian
keamanan senyawa phytol sebagai antihipertensi juga harus dilakukan melalui uji toksisitas.

22 | P a g e
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai manfaat Daun belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi folium) sebagai antihipertensi yang bersumber dari jurnal berjudul “Peningkatan Efek
Antihipertensi Kaptopril Oleh Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
pada Tikus Hipertensi Yang Diinduksi Monosodium Glutamat”.
Daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi folium) diketahui memiliki aktivitas
sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan, antidiare, antidiabetes dan antihipertensi.
Kandungan yang terdapat dalam daun belimbing wuluh ialah Fitol (senyawa diterpen alkohol
asiklik), dietil-ftalat, flavonoid, tanin, sulfur, asam format, asam sitrat, kalium sitrat.
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi
dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena
menurunnya elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat
memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah, serangan gagal jantung dan gagal
ginjal (Padila, 2013).
Mekanisme kerja daun belimbing wuluh sebagai antihipertensi yakni dengan cara
menurunkan volume cairan tubuh (diuresis). Senyawa yang terdapat dalam daun belimbing
wuluh diantaranya tanin, sulfur, asam format, peroksida 7 dan kalium. Kalium dalam daun
belimbing wuluh dapat mempengaruhi pengeluaran urin. Kalium berfungsi sebagai diuretik,
sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat, jumlah natrium menjadi berkurang dan
tekanan darah dapat menurun.
Salah satu antihipertensi yang sering digunakan sebagai pilihan pertama adalah
kaptopril. Captopril menghambat enzim pengkonversi angiotensin (ACE), dengan demikian
menyekat konversi angiotensin I menjadi II. Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang
poten dan bertindak untuk melepaskan aldosteron. Dengan demikian, captopril menurunkkan
tahanan vascular perifer dan tekanan darah dan menghambat retensi air dan garam yang
normalnya ditimbulkan oleh aldosteron.
Pada jurnal ini metode penelitian yang digunakan adalah pre-test and post-test
matched control group design. Tikus jantan galur Wistar sebanyak 30 ekor diberi perlakuan
dengan MSG 100 mg/kgBB/hari (p.o) selama 14 hari untuk menginduksi terjadinya
hipertensi. Tikus hipertensi dibagi menjadi enam kelompok perlakuan, yaitu kontrol
hipertensi (CMC-Na 0,5% 12,5 mL/kgBB/hari), kontrol positif (kaptopril 2,5 mg/kgBB/hari),

23 | P a g e
serta perlakuan EEDBW (60 dan 120) mg/kgBB/hari, kombinasi 1 EEDBW-kaptopril
(60+2,5) mg/kgBB/hari dan kombinasi 2 EEDBW-kaptopril (120+2,5) mg/kgBB/hari.
Pemberian suspensi uji dilakukan selama 14 hari. Data yang diamati adalah penurunan
tekanan darah setelah pemberian suspensi uji. Analisis data dilakukan dengan uji parametrik
t-berpasangan dan nonparametrik Wilcoxon dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa MSG dapat sebagai inducer hipertensi. Pemberian EEDBW (60 dan
120) mg/kgBB/hari memiliki efek antihipertensi. Peningkatkan efek antihipertensi kaptopril
pada tekanan darah sistol diperlihatkan pada pemberian EEDBW 120 mg/kgBB/hari.

24 | P a g e
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) memiliki berbagai kandungan, yaitu fitol
(senyawa diterpen alkohol asiklik), dietil-ftalat, flavonoid, tanin, sulfur, asam format, asam
sitrat dan kalium sitrat. Secara tradisional daun sering digunakan untuk hipertensi dan sebagai
peluruh air seni melalui mekanisme diuretika yaitu mengurangi jumlah air dalam plasma
darah dengan cara dikeluarkan sebagai urine.
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Monosodium glutamat (MSG) 100 mg/KgBB/hari dapat dijadikan sebagai


inducer hipertensi pada tikus jantan galur Wistar.
2. Ekstrak etanol daun belimbing wuluh (60 dan 120) mg/kgBB/hari memiliki efek
antihipertensi pada tikus hipertensi yang diinduksi MSG.
3. Kombinasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh 120 mg/kgBB/hari engan
kaptopril 2,5 mg/kgBB dapat meningkatkan efek antihipertensi kaptopril pada
tekanan darah sistol tikus hipertensi yang diinduksi MSG.

25 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Hanani, Endang., Abdul Mun’im. 2011. Fitoterapi Dasar. Dian Rakyat: Jakarrta.
Hidayati, devi nisa, dkk. 2015. Peningkatan Efek Antihipertensi Kaptopril oleh Ekstrak
Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada Tikus Hipertensi yang
Diinduksi Monosodium Glutamat. Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik Volume 12
Nomor 2. Universitas Wahid Hasyim : Semarang.
Sjakoer, Nour Athiroh Abdoes, dkk. 2011. Mekanisme Deoxycorticosterone Acetate (Doca)-
Garam Terhadap Peningkatan Tekanan Darah Pada Hewan Coba. Vol. 1, No.4. FMIPA-
Jurusan Biologi Universitas Islam Malang.
Deglin, Judith Hopfer dan April Hazard Valleran. Pedoman Obat untuk Perawat: EGC.

26 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai