BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
terhadap kondisi ketinggian, ada dua aspek yang berada di dalamnya, yakni
hypobaric hypoxia dan aklimatisasi.
P = Fi x B
Keterangan :
DO2 = Q × AO2
Keterangan :
• DO2 : Oxygen Delivery
• Q : Volume jantung sekuncup dalam satu
menit (Cardiac Output)
• AO2 : Arterial Oxygen
2.3. Aklimatisasi
Menurut Rennie et al. (1976) dan Subramanyam et al. (1969) dikutip dalam
kepustakaan Roach et al. (2000), Acute Mountain Sickness (AMS) adalah sindrom
yang muncul pada para petualang ke ketinggian dengan melakukan pendakian ke
tempat yang terlalu tinggi dan atau terlalu cepat.
Definisi AMS berbeda lagi pada kepustakaan atau studi lainnya. Misalnya,
kelompok Lake Louis Consensus mendefinisikan AMS dengan adanya sakit
kepala pada individu yang tidak mampu aklimatisasi dan baru saja berada di
ketinggian di atas 2500 m disertai dengan satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut; masalah gastrointestinal (anorexia, nausea, atau muntah), insomnia,
oyong, kelelahan (Hackett dan Roach, 2001).
Menurut Hanaoka (2000) dikutip dalam Febriyana, Wiyono, dan Yunus (2003),
laki-laki dan perempuan dapat menderita AMS walaupun perempuan lebih
cenderung terkena AMS
Acute High Altitude Illness (AHAI), termasuk di dalamnya AMS, mengenai
pada kelompok orang yang tidak menetap di ketinggain tertentu atau dengan kata
lain mereka melakukan pendakian. Berbeda dengan para penduduk atau orang-
orang menetap tinggal di ketinggian, yang mana mereka lebih mudah mengalami
chronic mountain sickness (Monge disease). Sekitar 50-70% pendaki gunung
umumnya mengalami AMS, meskipun insidensi bergantung pada kecepatan
pendakian dan juga skala ketinggian. Insidensi AHAI juga dikelompokkan
berdasarkan ketinggian dengan AMS umumnya terjadi pada ketinggian di atas
2500 mdpl (Smedley dan Grocott, 2013).
Studi lain menyebutkan bahwa AMS mungkin terjadi pada individu yang
mendaki ke ketinggian di atas 2500 mdpl dan dilaporkan bahwa 53% di antaranya
terjadi pada ketinggian di atas 4000 mdpl (Lanfranchi et al., 2005).
Ketinggian memengaruhi proses terjadinya AMS. Dalam hal ini, sekitar 6-
8 % disebutkan sebagai persentase terjadinya peningkatan frekuensi nadi dan
ventilasi pada ketinggian 2700 mdpl, meskipun pada ketinggian di atas 3000
mdpl. Saturasi O2 pada orang yang belum terkena AMS masih dapat mencapai
lebih dari 90% (Küpper et al., 2010).
Menurut Luks, Rodway et al. (2014), AMS dapat terjadi berdasarkan 3
kelompok kategori risiko, yaitu :
d) Rendah
• Individu tanpa riwayat altitude illness dan tidak pernah mendaki
gunung ≤ 2800 mdpl.
• Individu memakan waktu ≥2 hari untuk mendaki gunung 2500-
3000 m.
e) Sedang
• Individu tanpa riwayat AMS dan tidak pernah mendaki gunung
2500-2800 mdpl dalam 1 hari.
• Individu tanpa riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl
dalam 1 hari.
• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian sekitar
3000-3500 mdpl dan dengan kecepatan > 500 m per hari.
f) Tinggi
• Individu dengan riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl
dalam 1 hari.
• Semua individu dengan riwayat HAPE atau HACE.
• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500
mdpl.
• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500
mdpl dan dengan kecapatan > 500 m per hari
• Pendakian gunung yang sangat cepat.
tinggi saat sampai di ketinggian lebih mudah terkena AMS (Febriana, Wiyono,
dan Yunus (2003).
1. Faktor genetik
4. Gangguan tidur
5. Retensi cairan
6. Oligouria
Manifestasi klinis AMS jarang timbul pada ketinggian di bawah 2000
mdpl dan biasanya terjadi 6-10 jam setelah pendakian,namun terkadang dapat
timbul 1 jam setelah pendakian (Hackett dan Roach, 2001)
Menurut Richard (2014) menyebutkan, diagnosis AMS dapat ditegakkan
bila baru saja melakukan pendakian hingga ketinggian di atas 2500 mdpl dan
diikuti sakit kepala diikuti satu atau lebih manifestasi klinis lainnya.
Selain itu, retensi cairan merupakan tanda klasik AMS, dimana normalnya
aklimatisasi tubuh akan mengalami dieresis. Retensi cairan ditandai dengan
oliguria diserta edema, baik di wajah maupun perifer. Jika terjadi perburukkan,
maka sakit kepala akan semakin parah dan gejala lain yang menyertai dapat
semakin buruk. Bahkan, jika terus berlanjut, dapat terjadi penurunan atau
gangguan status menta dan koordinasi pergerakkan. Hal itu dapat dipicu oleh
karena edema serebral yang mana menyebabkan kompresi struktur otak diikuti
peningkatan tekanan intrakranial sehingga dapat terjadi ataxia, stupor, dan
kelemahan saraf kranial III dan IV. Koma dapat terjadi bila hal ini terus
dibiarkan atau tidak ditangani segera (Gomersall et al., 2012).
Istirahat yang cukup, khususnya pada Hindari mengonsumsi alcohol dan pil
72 jam pertama. tidur.