Anda di halaman 1dari 22

TUGAS

GANESA BAHAN GALIAN


PROSES PEMBENTUKAN ENDAPAN PEGMATITE
DAN MAGMATISME KHUSUNYA DALAM ENDAPAN
PRIMER

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ganesa bahan galian


Pada Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik
Universitas Islam Bandung Tahun Akademik 2015/2016

Disusun oleh :
Kelompok IX
Pandang Dania (10070112067)
Rachmat Barry (10070112080)
Rexsy Andika Ab (10070112083)
Rosi Indra Suari (10070112091)
Muhammad Iqbal (10070112095)
Venus Rozul Fawaz (10070112096)
Haikal Taufiqul (10070112101)

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG


FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
1436 H / 2015 M
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DIDALAM
TERBENTUKNYA BAHAN GALIAN MINERAL

Oleh
Kelompok IX
Mahasiswa S1 Program Studi
Teknik Pertambangan – UNISBA

Suatu endapan dikatakan bijih sebenarnya dilihat dari nilai ekonomisnya,


bila harga pengolahan dan harga pasaran berfluktuasi, suatu saat endapan
mineral dikatakan sebagai bijih dan di saat lain bukan lagi. Pada saat ekstraksi
didapatkan bahan logam dan juga bahan limbah (gangue) yang tidak memiliki
nilai ekonomis. Proses ekstraksi tersebut menghasilkan timbunan limbah (tailing).
Kebanyakan bijih di dunia ini yang ditambang adalah berasal dari mineral bijih
yang diendapkan oleh larutan hidrotermal. Asal larutan hidrotermal masih sulit
dipecahkan. Beberapa larutan berasal dari pelepasan air yang terkandung dalam
magma saat magma naik dan mendingin,terbebas dan terkonsentrasi dalam
larutan hidrotermal yang sedang terbentuk perlahan-lahan. larutan ini melalui
rekahan batuan yang lebih dingin si sebelah pluton feldsik dan mengkristal pada
urat dan rongga. Pada kondisi tertentu konsentrasi mineral bijih berasosiasi
dengan gangue, dapat begitu massive sehingga
Teori modern mengenai ore diformulasikan oleh:
1. Cameron, dkk 1949 dalam Guilbert, 1986. Zonasi Endapan
Pegmatit (berdasarkan mineralogi dan tekstur) berdasarkan.
2. Henkel (tahun 1725 dan 1727) dan Zimmerman (tahun 1746) memberi
masukan tentang pentingnya hydrothermal solution atau uap yang berasal
dari bagian paling dalam (deep seated origin) yang menghasilkan endapan
bijih karena proses metasomatisme (replacement).
3. Nicolaus Steno pada pertengahan abad 18: memberikan pandangan
mengenai tanggung jawab dan kontribusi seorang ahli geologi yang
berhubungan dengan geologi umum harus dihubungkan dengan mineral
bijih; di mana sebagai produksi/ kondensasi dari uap/gas yang naik melalui
rekahan-rekahan (fisures).
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas laporan awal dari dengan baik sampai saat ini.
Tak lupa pula kita ucapkan Shalawat dan salam kepada Nabi besar
Muhammad SAW karena berkat beliaulah yang membawa dunia ini dari
kegelapan hingga terang menerang sampai saat ini. Penulis berterima kasih
kepada tim assisten, rekan-rekan mahasiswa jurusan teknik pertambangan atas
bantuan dan motivasinya.
Mudah mudahan laporan yang penulis buat dapat berguna bagi
mahasiswa atau siapa saja yang membacanya. Saya sebagai penulis minta maaf
bila dalam Laporan ini ada kata-kata atau penulisan yang tidak sesuai.
Akhirul kalam, semoga laporan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
kita semua, khususnya bagi penyusun sendiri.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandung, 30 April 2015

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN UMUM LOKASI ......................................................... 3


2.1 Topografi................................................................................
2.2 Geomorfologi .........................................................................
2.3 Kondisi GeologI......................................................................
2.4 Struktur Dan Teknikan ...........................................................

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................

BAB IV HASIL KAJIAN .............................................................................

BAB V KESIMPULAN .............................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat


dibagi menjadi lima bagian besar, yaitu Dataran Aluvial Jawa Barat Utara,
Antiklinorium Bogor, Kubah dan Pegunungan pada Zona Depresi Tengah, Zona
Depresi Tengah Jawa Barat, dan Pegunungan Selatan Jawa Barat. Daerah
penelitian terletak pada Zona Bandung, tepatnya pada Kubah dan Pegunungan
pada Zona Depresi Tengah.
Zona Bandung merupakan daerah gunung api yang relatif memiliki bentuk
depresi dibandingkan zona yang mengapitnya yaitu Zona Bogor dan Zona
Pegunungan Selatan. Sebagian besar terisi oleh endapan aluvial dan vulkanik
muda (Kuarter) dari produk gunung api yang terletak pada dataran rendah di
daerah perbatasan dan membentuk barisan. Walaupun Zona Bandung
membentuk depresi, ketinggiannya masih terbilang cukup besar seperti misalnya
depresi Bandung dengan ketinggian 700-750 mdpl (meter di atas permukaan
laut). Di beberapa tempat pada zona ini merupakan campuran endapan Kuarter
dan Tersier, pegunungan Tersier tersebut yaitu Pegunungan Bayah (Eosen),
bukit di Lembah Cimandiri (kelanjutan dari Pegunungan Bayah), Bukit
Rajamandala (Oligosen) dan plateau Rongga termasuk dataran Jampang
(Pliosen), dan Bukit Kabanaran.
Metoda penyelidikan yang digunakan meliputi pengumpulan data
sekunder, pengumpulan data primer. Pengumpulan data sekunder berasal dari
laporan-laporan penyelidikan mineral yang telah dilakukan sebelumnya oleh
instansi terkait (pemerintah) maupun pihak swasta.
1.1 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dilakukannya sumberdaya mineral adalah untuk
mencari data primer maupun data sekunder tentang potensi sumber daya
mineral. Data tersebut digunakan untuk melengkapi atau melakukan pemutahiran
data dan informasi sumber daya mineral daerah Bandung Sumber Daya Mineral.
Sehingga akan diperoleh data terbaru dan akurat, mengelola bahan galian agar
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka peningkatan pendapatan asli
daerah di bidang pertambangan wilayah Bandung.

1.2 Peneliti Terdahulu


Beberapa peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian yang
menyangkut daerah penelitian adalah :
1. Van Bemmelen (1949) meneliti fisiografi dan geologi daerah jawa barat,
dipublikasikan dalam bentuk buku The Geology of Indonesia.
2. Silitonga (1973) melakukan pemetaan geologi yang dipublikasikan dalam
bentuk Peta Geologi Lembar Bandung skala 1 : 100.000.
3. Koesoemadinata dan Hartono (1981) melakukan penelitian mengenai
stratigrafi daerah Bandung, dipublikasikan dalam procceedings PIT X
IAGI Tahun 1981.
4. Soetrisno (1983) menyusun Peta Hidrogeologi Lembar Bandung skala 1 :
250.000
5. IWACO (1990) melakukan penelitian dan investigasi sumber daya air
Jawa Barat, dilaporkan dalam West Java Provincial Water Sources
Master Plan for Water Supply, Kabupaten Bandung, Vol A: Groundwater
Resources.
6. Dam dan Suparan (1992) melakukan penelitian geologi di daerah
cekungan Bandung, dipublikasikan dalam bentuk buku The Geology of
the Bandung Basin.
7. Hutasoit (2009) melakukan penelitian mengenai kondisi muka airtanah di
daerah Bandung dengan dan Tanpa Peresapan Buatan di Daerah
Bandung berdasarkan hasil Simulasi Numerik, dipublikasikan dalam
Jurnal Geologi Indonesia.
BAB II
TINJAUAN UMUM LOKASI

Kota Bandung dibentuk sebagai daerah otonom pada tanggal 1 April


1906, dan luas wilayah 1.922 Ha. Terletak di daerah Dayeuhkolot pada tepi
Sungai Citarum. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memindahkan Kota
Bandung ke Alun-alun yang terletak pada jalur jalan regional yang
menghubungkan poros Utara-Selatan dan poros Barat-Timur (ke arah pusat-
pusat pemerintahan, terutama Jakarta). untuk pemerintahan Kotamadya. Daerah
terbangun adalah seluas ± 240 Ha.
Pada tahun 1917, wilayah Kota Bandung diperluas menjadi 2.871 Ha.
Sejak itu, aktivitas baru berkembang di bagian Utara Kota, antaranya sarana
Stasiun Kereta Api, Industri Kina dan Kompleks Militer (Jalan Sumatera dan
Jalan Gandapura). Pada tahap ini, sebelah Utara kota lebih pesat
perkembangannya. Berturut-turut selama tiga tahun diadakan perluasan, masing-
masirg pada pada tahun 1942 diperluas menjadi 3.876 Ha, pada tahun 1943
diperluas menjadi 4.117 Ha, dan pada tahun 1945 diperluas menjadi 5.413 Ha.
Zaman negara Pasundan, tahun1949, Kota Bandung diperluas menjadi 8.098
Ha. Tahun 1987 Kota Bandung dimekarkan lagi menjadi 16.729,650 Ha.
Secara geografis Kota Bandung terletak pada 107° Bujur Timur dan
Lintang Selatan, terletak pada dataran tinggi Bandung dalam wilayah
administratif Propinsi Jawa Barat, dikelilingi oleh kota-kota kecil, yaitu :Kota
Padalarang dan Cimahi di sebalah Barat; Kota Lembang dan Cisarua di sebalah
Utara; Kota Cileunyi di sebelah Timur; Kota Dayeuhkolot dan Soreang di sebelah
selatan. Semua kota-kota kecil tersebut terletak dalam wilayah administratif
Bandung. Daerah datar terletak pada bagian Selatan, dan daerah yang berbukit
terletak bagian Utara, dengan arah kemiringan ke Selatan. Ketinggian Kota
Bandung berkisar antara 675-1.225 m.Titik ketinggian tertinggi terletak di
Bandung Utara, dan terendah terletak di bandung Selatan. Pada bagian Tengah,
rata-rata ketinggiannya adalah 750 m. Wilayah di sekeliling Kota Bandung yang
merupakan daerah relatif datar adalah Gedebage, Tegallega, Karees, dan Buah
Batu, dengan ketinggian berkisar antara 660 m sampai 670 m. Daerah landai
sampai miring adalah wilayah Bojonegara, Cibeureum dan Ujungberung (660-
1.100 m) merupakan daerah yang berbukit-bukit.

2.1 Topografi
Secara topografi kota Bandung terletak pada ketinggian rata-rata ±791 m
diatas permukaan laut, titik tertinggi berada didaerah utara dengan ketinggian
±1,050 mdpl dan titik terendah berada disebelah selatan dengan ketinggian
±675 mdpl. Diwilayah bandung bagian selatan permukaan relatif datar,
sedangkan diwilayah kota bagian utara berbukit-bukit. Kondisi topografi kota
bandung secara umum miring dari utara ke selatan.

2.2 Geomorfologi
Secara geomorfologi dapat dibagi kurang lebih menjadi daerah kratogen
di sebelah barat dan timur, dan sisanya termasuk teritorial dengan tektogen kuat
(Sutarjo Sigit, 1962). Bagian pertama dicirikan oleh gerakan epirogenetik,
permukaan planasi dan laut dangkal; bagian terakhir dicirikan oleh neotektonik
aktif (Katili dan Tjia,1968) yang menghasilkan busur kepulauan dan palung laut
dalam dan basin (Katili,1991). Banyak data geofisikal baru tentang evolusi
tektonik Indonesia oleh Hall dan Blundel (1994), Bergman, S.C. et al, (1996).
Tektonik lempeng mempengaruhi morfostruktur di Indonesia. Lempeng
tektonik dimaksud terdiri atas tiga sistem utama berikut:
1. Lempeng Asia Tenggara (atau Lempeng Sunda), terutama berupa
kontinen, tetapi di bagian timur berupa laut; diantaranya Lempeng Laut
Sulawesi dan lidah Nusa Tenggara-Maluku Selatan yang melengkung
berpengaruh terhadap Indonesia.
2. Lempeng India-Australia, terdiri dari bagian subduksi oseanik di sisi barat
dan bagian tubrukan kontinen di sisi timur.
3. Lempeng Lautan Pasifik Barat, yang menunjam di bawah kontinen Asia,
tetapi di daerah ini terdiri dari sejumlah lempeng yang lebih kecil.
Diantaranya, dari timur arah ke barat: Lempeng Caroline, Lempeng Laut
Filipina dan sisanya lempeng Maluku Utara yang mempengaruhi
Indonesia.
Situasi di Pulau Jawa, terbentang tegak lurus terhadap gerakan lempeng
tektonik, yang sangat berbeda dengan Sumatera. Pulau Jawa sebagian besar
dicirikan oleh depresi tengah yang lebar dan agak rendah membentang arah
Timur – Barat, yang ditumbuhi oleh gunung api strato dan jauh berbeda dengan
Pulau Sumatera (Pannekoek, 1949). Di sisi selatan dibatasi oleh seseri plato
yang terselang-seling dan miring ke arah selatan (Pannekoek, 1938, 1947), dan
tersusun oleh batu gamping dan menutupi batuan vulkanik yang lebih tua.
Bagian yang sebanding dengan di Pulau Jawa hanya terdapat di Blok Bengkulu.
Satu zone perbukitan lipatan terletak di bagian utara depresi tengah dan mirip
dengan di zone Sumatra Timur. Perbukitan lipatan tersebut mewakili sayap utara
dari geosinklin yang berkembang antara busur vulkanik dan Lempeng Asia
Tenggara. Tanpa memperhitungkan daripada gunung api stratonya, Pulau Jawa
secara substansial lebih rendah dibanding Pulau Sumatra.
Bagian ini merupakan tersempit dari Pulau Jawa. Di Jawa Barat, bagian
selatan, zone yang terangkat miring hanya sebagian yang terwakili dan juga
depresi tengah tidak tampak pada beberapa tempat. Perbedaan substansial dari
barat ke timur tersebut merupakan hasil dari kompartemensasi kontak lempeng
oleh sejumlah sesar normal dengan arah utara-selatan. Situs atau tapak dari
beberapa gunung api dekat pantai barat itu terkait dengan runtuhnya Selat
Sunda, dan kemungkinan juga dapat akibat sesar besar yang miring (SB-UT) di
Jawa Barat, yang membentang mulai pantai timur Teluk Pelabuhan Ratu ke
arah Perbukitan Mesigit di dekat Padalarang (Katili, 1970). Zone selatan yang
terangkat miring ke arah selatan di Jawa Barat dimulai dari sesar tersebut ke
arah timur dengan Plato Jampangnya.
Zone depresi tengah tidak begitu nyata pada bagian tersebut, dapat
dilacak hanya ke arah timur, di daerah Batujajar/Bandung, dimana depresi yang
membentang T-B terjadi pada ketinggian 700 m di atas muka air laut, yang di
sebelah utara dan selatan berbatasan dengan gunungapi Kwarter. Depresi
tersebut semula adalah dataran danau (Koeningswald,1935), yang lebih
mendalam diteliti oleh Dam (1994). Satu sesar normal penting dengan arah T-B
tanpa gerak geser yang disebut dengan sesar Lembang, merupakan batas utara
dari depresi. Gerakan vertikal sesar tersebut mencapai beberapa ratus meter,
yaitu di sebelah timur dan drainase mengarah ke barat dan baratdaya. Sesar
tersebut telah dikaji oleh Nossin et al., (1992). Sesar, dataran danau dan
gunungapi ditunjukkan dalam peta geomorfologi Gambar 2 (Dam, Nossin dan
Voskuil, 1996).
Sumber: ppejawa.com
Gambar 2.1
Peta geomorfologi dataran Bandung, Jawa Barat, dalam Dam,
Nossin dan Voskuil (1966)

2.3 Kondisi Geologi


Litologi penyusun wadah dan isi Cekungan Bandung adalah batuan
gunung api yang secara stratigrafi kegiatan vulkanismenya sudah dimulai sejak
Kala Paleosen. Berdasarkan Bronto and Hartono (2006), kemungkinan
pembentukan Cekungan Bandung disebabkan oleh 4 hal utama yaitu:
1. Merupakan cekungan antar gunung (intra-mountain basin), sebagai
bentukan utamanya adalah proses eksogen.
2. Merupakan graben, sebagai bentukan murni deformasi tektonika.
3. Merupakan kaldera, sebagai bentukan murni letusan gunung api.
4. Merupakan volcano-tectonic calderas, sebagai hasil perpaduan proses
tektonika dan vulkanisme.
Cekungan Bandung terdiri atas berbagai formasi morfologi yang terdiri
atas berbagai batuan berumur Oligosen hingga Resen. Batuan-batuan tersebut
dikelompokkan dalam beberapa formasi (Sampurno, 2004 dan Hutasoit, 2009),
sebagai berikut:
a. Formasi Cibeureum
Merupakan lapisan aquifer utama dengan sebaran berbentuk kipas yang
bersumber dari Gunung Tangkubanparahu. Formasi ini terutama terdiri
atas perulangan breksi dan tuf dengan tingkat konsolidasi rendah serta
beberapa sisipan lava basal, dengan umur Plistosen Akhir-Holosen.
Breksi dalam formasi ini adalah breksi vulkanik yang disusun oleh
fragmen-fragmen skoria batuan beku andesit basal dan batu apung.
b. Formasi Kosambi
Nama Formasi Kosambi diusulkan oleh Koesoemadinata dan Hartono
(1981) untuk menggantikan nama Endapan Danau yang digunakan oleh
Silitonga (1973). Sebaran formasi ini dipermukaan adalah di bagian
tengah. Litologinya terutama terdiri atas batu lempung, batu lanau dan
batu pasir yang belum kompak dengan umur Holosen. Formasi ini
mempunyai hubungan menjemari dengan Formasi Cibeureum bagian
atas. Berdasarkan sifat litologinya, formasi ini berperan sebagai akuintar
di kawasan Cekungan Bandung.
c. Formasi Cikapundung
Formasi ini adalah satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah
penelitian (Koesoemadinata dan Hartono, 1981) dan terdiri atas
konglomerat dan breksi kompak, tuf dan lava andesit. Umur formasi ini
diperkirakan Plistosen Awal. Kekompakan litologi penyusun formasi ini
dapat digunakan sebagai salah satu pembeda dengan formasi Cibeureum
serta dasar untuk menentukan peran formasi ini sebagai batuan dasar
hidrogeologi di kawasan Cekungan Bandung. Menurut Silitonga (1973)
formasi ini adalah ekuivalen dengan Qvu. Selain formasi ini, berdasarkan
sifat litologinya Qvl, Qvb, Qob, dan Qyl dapat dimasukkan sebagai batuan
dasar. Satuan-satuan lain yang membentuk batuan dasar adalah batuan
gunung api Kuarter (kecuali Formasi Cibeureum dan Formasi
Cikapundung), batuan gunung api Tersier, batuan sedimen Tersier, dan
batuan terobosan yang tercakup didalam peta geologi.
d. Endapan Batuan Vulkanik (Kuarter)
Berbagai endapan gunung api dapat dipisahkan antara lain berdasarkan
umur maupun komposisi. Umumnya terdiri dari breksi vulkanik, tufa, lidah-
lidah lava, endapan lahar dan aglomerat. Tufa dari Gunung Tangkuban
Perahu yang menyebar hingga Lembang, beberapa tempat di Dago, dan
Kipas Aluvial Bandung utara, sebagian besar mengandung batu apung
yang bersifat berpori dan permeabel. Tufa yang membentuk daerah
Gunung Burangrang, Gunung Sunda, Gunung Bukit Tunggul, Gunung
Canggak dan perbukitan Dago Utara hingga Maribaya terdiri atas breksi
vulkanik berselingan dengan endapan lahar, tufa halus dan lidah-lidah
lava. Sifat batuan umumnya sedikit kompak daripada tufa berbatu apung
tetapi masih cukup permeabel. Lapisan endapan vulkanik di sebelah
utara umumnya menunjukkan kemiringan ke arah selatan sekitar 5-7
derajat. Pada permukaannya, endapan vulkanik menunjukkan tanah hasil
pelapukan yang bersifat gembur dan mudah terkikis tetapi subur.
e. Endapan Danau Purba
Terdiri dari lapisan-lapisan kerakal, batu pasir, batu lempung, tersemen,
lemah, gembur dan terkadang kenyal. Beberapa lapisan bersifat
permeabel dan menjadi akifer yang baik. Beberapa lapisan lain bersifat
lembek, organik dan mempunyai daya dukung rendah dan air tanah yang
dikandungnya dapat bersifat agak asam atau berbau sulfur. Kedudukan
lapisan umumnya horisontal dengan hubungan antar lapisan kadang-
kadang berbentuk silang jari.
f. Endapan Aluvial
Terdiri dari kerikil, pasir, lanau dari endapan sungai atau endapan banjir
pada umumnya bersifat lepas sampai tersemen lemah, atau plastis
bahkan dapat bersifat mengalir bila jenuh air. Pasir lepas dan kerakal
endapan sungai masih mengandung cukup banyak lumpur.

2.4 Struktur dan Keteknikan


Batuan penyusun di dalam zona ini terdiri atas batuan sedimen berumur
Neogen yang ditindih secara tidak selaras oleh batuan vulkanik berumur Kuarter.
Akibat tektonik yang kuat, batuan tersebut membentuk struktur lipatan besar
yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung merupakan puncak dari Geantiklin
Jawa Barat yang kemudian runtuh setelah proses pengangkatan berakhir (van
Bemmelen, 1949).
Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung.
Pannekoek, (1946), menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi
tersebut dapat diamati di Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan
bergelombang di Lembah Cimandiri yang merupakan bagian dari Zona Bandung
berbatasan langsung dengan dataran tinggi (pletau) Zona Pegunungan Selatan.
Morfologi dataran tinggi atau plateau ini, oleh Pannekoek (1946) dinamakan
sebagai Plateau Jampang.
1. Pola Sesar
Berdasarkan hasil penafsiran foto udara dan citra indraja (citra landsat)
daerah Jawa Barat, diketahui adanya banyak kelurusan bentang alam yang
diduga merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya
berarah barat-timur, utara-selatan, timurlaut-baratdaya dan baratlaut-
tenggara. Secara regional struktur sesar berarah timurlaut-baratdaya
dikelompokan sebagai Pola Meratus, sesar berarah utara-selatan
dikelompokan sebagai Pola Sunda dan sesar berarah barat-timur
dikelompokan sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur
umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya
berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi.

Sumber: ppejawa.com
Gambar 2.2
Sesar daerah jawa barat
Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada
tiga struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar
Cimandiri, Sesar Baribis dan Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk
pertamakalinya diperkenalkan oleh van Bemmelen (1949) dan diduga
ketiganya masih aktif hingga sekarang.Sesar Cimandiri merupakan sesar
paling tua (umur Kapur), membentang mulai dari Teluk Pelabuhanratu
menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri, Cipatat-Rajamandala, Gunung
Tanggubanprahu-Burangrang dan diduga menerus ke timur laut menuju
Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah timurlaut-baratdaya
dengan jenis sesar mendatar hingga oblique (miring). Oleh Martodjojo dan
Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Meratus.
1) Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik
dengan arah relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta
hingga ke daerah Baribis di Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949).
Bentangan jalur sesar Baribis dipandang berbeda oleh peneliti lainnya.
Martodjojo (1984), menafsirkan jalur sesar naik Baribis menerus ke
arah tenggara melalui kelurusan Lembah Sungai Citanduy, sedangkan
oleh Simandjuntak (1986), ditafsirkan menerus ke arah timur hingga
menerus ke daerah Kendeng (Jawa Timur). Penulis terakhir ini
menamakannya sebagai “Baribis-Kendeng Fault Zone”. Secara tektonik
sesar Baribis mewakili umur paling muda di Jawa, yaitu
pembentukannya terjadi pada periode Plio-Plistosen. Selanjutnya oleh
Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola
Jawa.
2) Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang
sepanjang kurang lebih 30 km dengan arah barat-timur. Sesar ini
berjenis sesar normal (sesar turun) dimana blok bagian utara relatif
turun membentuk morfologi pedataran (pedataran Lembang). Van
Bemmelen (1949), mengkaitkan pembentukan sesar Lembang dengan
aktifitas Gunung Sunda (G. Tanggubanprahu merupakan sisa-sisa dari
Gunung Sunda), dengan demikian struktur sesar ini berumur relatif
muda yaitu Plistosen.Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola
Sunda umumnya berkembang di utara Jawa (Laut Jawa). Sesar ini
termasuk kelompok sesar tua yang memotong batuan dasar (basement)
dan merupakan pengontrol dari pembentukan cekungan Paleogen di
Jawa Barat.
Sumber: ppejawa.com
Gambar 2.2
Struktur di daerah jawa

Pada awalnya subduksi purba (paleosubduk) terjadi pada umur Kapur,


dimana posisinya berada pada poros tengah Jawa sekarang. Jalurnya
subduksinya berarah relatif barat-timur melalui daerah Ciletuh-Sukabumi, Jawa
Barat menerus ke timur memotong daerah Karangsambung-Kebumen, Jawa
Tengah. Jalur paleosubduk ini selanjutnya menerus ke Laut Jawa hingga
mencapai Meratus, Kalimantan Timur (Katili, 1973). Penulis ini menarik jalur
paleosubduk berdasarkan pada singkapan melange yang tersingkap di Ciletuh
(Sukabumi), Karangsambung (Kebumen) dan Meratus (Kalimantan Timur).
Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktifitas magmatik yang
menghasilkan endapan gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat, endapan
gunungapi Eosen diwakili oleh Formasi Jatibarang dan Formasi Cikotok. Formasi
Jatibarang menempati bagian utara Jawa dan pada saat ini sebarannya berada
di bawah permukaan, sedangkan Formasi Cikotok tersingkap di daerah Bayah
dan sekitarnya.Jalur gunungapi (vulcanic arc) yang umurnya lebih muda dari dua
formasi tersebut di atas adalah Formasi Jampang. Formasi ini berumur Miosen
yang ditemukan di Jawa Barat bagian selatan. Dengan demikian dapat
ditafsirkan telah terjadi pergeseran jalur subduksi dari utara ke arah selatan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan pada proses pembuatan laporan ini aadalah


berupa penelitian korelasional. Penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang
melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan, apakah ada
hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih. Adanya
hubungan dan tingkat variabel yang penting, karena dengan mengetahui tingkat
hubungan yang ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan
tujuan penelitian. (Sukardi, 2003:166)
Penelitian korelasi merupakan bentuk penelitian untuk memeriksa
hubungan diantara dua konsep. Secara umum ada dua jenis pernyataan yang
menyatakan hubungan, yaitu:
1. Gabungan antara dua konsep, ada semacam pengaruh dari suatu konsep
terhadap konsep yang lain;
2. Hubungan kausal, ada hubungan sebab akibat. Pada hubungan kausal,
penyebab diferensikan sebagai varibel bebas dan akibat direferensikan
sebagai variabel terikat. Pada penelitian korelasi tidak ada kontrol atau
manipulasi terhadap variabel.
Dengan data yang digunakan berupa data sekunder. Yang mana data
sekunder merupakan data yang didapat/dikumpulkan peneliti dari semua sumber
yang sudah ada dalam artian peneliti sebagai tangan kedua. Data sekunder bisa
didapat dari berbagai sumber misalnya biro pusat statistik yang biasanya
disingkat dengan BPS, jurnal buku, laporan dan lain sebagainya. Pemahaman
pada ke 2 jenis data di atas dibutuhkan sebagai landasan untuk menentukan
cara dan langkah-langkah pengumpulan data penelitian. Dengan jenis data
kuantitatif yang merupakan data yang berbentuk angka / bilangan. Sesuai
dengan kriterianya, data kuantitatif bisa diolah / dianalisis memakai teknik
perhitungan statistika / matematika.
BAB IV
HASIL KAJIAN

Karena data yang dipakai dalam pembuatan laporan ini adalah data
sekunder yang dimana data ini diperoleh atau didapatkan dari sumber-sumber
yang melakukan penelitian yang sudah ada dan juga bisa di peroleh dari jurnal
buku, laporan dan sebagainnya.
Secara geografis Kota Bandung terletak pada 107° Bujur Timur dan
Lintang Selatan, terletak pada dataran tinggi Bandung dalam wilayah
administratif Propinsi Jawa Barat, dikelilingi oleh kota-kota kecil, yaitu :Kota
Padalarang dan Cimahi di sebalah Barat; Kota Lembang dan Cisarua di sebalah
Utara; Kota Cileunyi di sebelah Timur; Kota Dayeuhkolot dan Soreang di sebelah
selatan. Semua kota-kota kecil tersebut terletak dalam wilayah administratif
Bandung. Daerah datar terletak pada bagian Selatan, dan daerah yang berbukit
terletak bagian Utara, dengan arah kemiringan ke Selatan. Ketinggian Kota
Bandung berkisar antara 675-1.225 m.Titik ketinggian tertinggi terletak di
Bandung Utara, dan terendah terletak di bandung Selatan. Pada bagian Tengah,
rata-rata ketinggiannya adalah 750 m. Wilayah di sekeliling Kota Bandung yang
merupakan daerah relatif datar adalah Gedebage, Tegallega, Karees, dan Buah
Batu, dengan ketinggian berkisar antara 660 m sampai 670 m. Daerah landai
sampai miring adalah wilayah Bojonegara, Cibeureum dan Ujungberung (660-
1.100 m) merupakan daerah yang berbukit-bukit.
Secara geomorfologi dapat dibagi kurang lebih menjadi daerah kratogen
di sebelah barat dan timur, dan sisanya termasuk teritorial dengan tektogen kuat
(Sutarjo Sigit, 1962). Bagian pertama dicirikan oleh gerakan epirogenetik,
permukaan planasi dan laut dangkal; bagian terakhir dicirikan oleh neotektonik
aktif (Katili dan Tjia,1968) yang menghasilkan busur kepulauan dan palung laut
dalam dan basin (Katili,1991). Banyak data geofisikal baru tentang evolusi
tektonik Indonesia oleh Hall dan Blundel (1994), Bergman, S.C. et al, (1996).
Kota bandung termasuk dalam zone depresi tengah, dapat dilacak hanya
ke arah timur, di daerah Batujajar/Bandung, dimana depresi yang membentang
T-B terjadi pada ketinggian 700 m di atas muka air laut, yang di sebelah utara
dan selatan berbatasan dengan gunungapi Kwarter. Cekungan Bandung terdiri
atas berbagai formasi morfologi yang terdiri atas berbagai batuan berumur
Oligosen hingga Resen. Batuan-batuan tersebut dikelompokkan dalam beberapa
formasi (Sampurno, 2004 dan Hutasoit, 2009), sebagai berikut:
 Formasi Cibeurum
 Formasi Kosambi
 Formasi Cikapundung
 Endapan Batuan Vulkanik
 Endapan Danau Purba
 Endapan Alluvial
Pada daerah Bandung ini dilihat dari peta topografinya terdapat sesa
yaitu sesar Lembang yang terletak di utara bandung yang membentang
sepanjang kurang lebih 30 km dengan arah berat-timur. Sesar ini berjenis sesar
normal (sesar turun) dimana blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi
pedataran (pedataran Lembang). Van Bemmelen (1949), mengkaitkan
pembentukan sesar Lembang dengan aktifitas Gunung Sunda (G.
Tanggubanprahu merupakan sisa-sisa dari Gunung Sunda), dengan demikian
struktur sesar ini berumur relatif muda yaitu Plistosen. Sesar Lembang ini
termasuk kedalam kelompok sesar tua yang memotong batuan dasar dan
merupakan pengontrok dari pembentukan cekungan Paleogen di jawa barat

.
Sumber : http://kabarnesia.com/wp-content/uploads/2012/09/patahan-lembang.jpg
Foto 4.1
Sesar Lembang
BAB V
KESIMPULAN

Secara geologi, Cekungan Bandung dan sekitarnya tersusun oleh batuan


gunung api, sehingga sumber daya geologinya yang berupa energi, lingkungan,
dan mineral juga berasal dari kegiatan gunung api. Sumber daya energi yang
sudah dimanfaatkan dan melewati tahap eksplorasi adalah energi air (PLTA
Saguling) dan panas bumi (Lapangan Darajat, Kamojang, Wayang-Windu, dan
Patuha). Berhubung secara stratigrafi di bawah batuan gunung api terdapat
batuan sedimen, maka potensi sumber daya energi asal fosil patut pula
dipertimbangkan. Sumber daya lingkungan, mulai dari air, tanah, lahan, dan
keindahan alam sebagian besar sudah dipergunakan untuk sarana pemukiman,
pariwisata, industri, dan kebutuhan hidup lainnya. Sumber daya mineral terdiri
dari logam dan non logam. Kegiatan eksplorasi mineralisasi, terutama dalam
rangka pencarian emas, di Bandung Selatan sudah dilaksanakan oleh beberapa
Kuasa Pertambangan. Pusat Survei Geologi sendiri sudah menemukan sumber
mineral baru di kawasan Bandung Utara, yakni di Desa Cupunagara, Kecamatan
Cisalak, Kabupaten Subang - Jawa Barat.
Kawasan perbukitan batu gamping Citatah, Padalarang, Kabupaten
Bandung memiliki dua fenomena alam yang langka. Selain Gua Pawon, daerah
ini memiliki lengkungan alami atau istilah asingnya, natural arch, yang dikenal
oleh penduduk setempat sebagai Gua Gunung Hawu..
Lengkungan berupa lubang di dinding batu gamping tersebut memiliki
ukuran yang cukup besar. Lebarnya lebih kurang 30 m, tinggi 70 m,
menggantung di atas dinding setinggi 30 m dari jalan tambang di bawahnya.
Lengkungan alami Gunung Hawu di Citatah terbentuk dari batu gamping yang
mengalami proses karstifikasi. Proses karstifikasi adalah proses pelarutan
senyawa karbonat sebagai bahan utama batu gamping adalah penyebab
terbentuknya lengkungan alami Gunung Hawu. Gua Gunung Hawu
menjadi landmark penting bagi Kabupaten Bandung, bahkan untuk Kota
Bandung sendiri. Lengkungan dinding gamping ini menjadi gerbang dan tanda
menuju kota dari arah barat.
Penambangan batu gamping berada di daerah Citatah, Padalarang
Kabupaten Bandung. Dengan kondisi geologi daerah tersebuk memiliki sebran
gamping yang berupa keadaan alam dengan gunung-gunung gamping. Dengan
keadaan ini proses penambangan tersebut memiliki keuntungan bagi warga
sekitar yang sanga ekonomis dan terutama untuk pengusaha tambang itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/555/jbptitbpp-gdl-ratihputri-27725-3-2007ta-3.pdf

http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/jenis-data-penelitian.html

http://penjual-mimpi.blogspot.com/2014/09/jenis-jenis-metode-penelitian-
beserta.html

Anda mungkin juga menyukai