Anda di halaman 1dari 98

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI


YANG MENGANDUNG EKSTRAK UMBI TALAS
JEPANG (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum)
SEBAGAI ANTI-AGING.

SKRIPSI

ATHIYAH
1111102000031

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI


EKSTRAK UMBI TALAS JEPANG (Colocasia esculenta
(L.) Schott var antiquorum) SEBAGAI ANTI-AGING

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ATHIYAH
1111102000031

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031

Tanda Tangan : :

Tanggal : 8 Juli 2015

iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031

Program Studi : Farmasi

Judul : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas


Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai
Anti-Aging

Disetujui Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Kepala Program Studi Farmasi


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

iv
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:


Nama : Athiyah
NIM : 1111102000031
Program Studi : Strata-1- Farmasi
Judul Skrips : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi
Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var
antiquorum) sebagai Anti-Aging

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.

DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. ( )
Pembimbing II : Afriani Rahma, M.Farm., Apt. ( )
Penguji I : Yuni Anggraeni, M.Farm.,Apt. ( )
Penguji II : Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. ( )

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :8 Juli 2015

v
ABSTRAK
Nama : Athiyah
Program Studi : Strata-1- Farmasi
Judul Skripsi : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas
Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai
Anti-Aging.

Umbi Talas Jepang merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai
anti-aging. Umbi talas jepang megandung senyawa polifenol, vitamin C, vitamin
A, monogliserida, besi, tarin dan saponin yang berperan dalam menghambat dan
memperlambat proses penuaan. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan
formulasi berupa mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang untuk meningkatkan
kemampuan penetrasi ke dalam kulit. Pembuatan mikoemulsi dilakukan
menggunakan kombinasi surfaktan tween 80 dan span 80 serta variasi jenis
kosurfaktan (propilen glikol, gliserin, etanol, dan polietilen glikol 400)
denganberbagaikonsentrasi. Kemudiandihasilkanmikroemulsidengankomposisi
15% tween 80, 23% span 80, 5% polietilen glikol 400, 48,5% minyak zaitun,
0,5% vitamin E, 3% ekstrak umbi talas jepang, dan 5% akuades dengan kecepatan
pengadukan ±750 rpm, suhu 31-35 ⁰C selama 30 menit. Hasil evaluasi fisik
mikroemulsi menunjukan nilai pH 5,875, nilai viskositas 364 cP dengan tipe
aliran Newton, tipe air dalam minyak (a/m), bobot jenis 0,959 g/ml, dan stabil
pada suhu ruang (25 ± 2 ⁰C) dan suhu rendah (4 ± 2 ⁰C).

Kata Kunci : ekstrak umbi talas jepang, mikroemulsi, stabilitas fisik.

vi
ABSTRACT
Name : Athiyah
Program Study : Pharmacy
Title : Formulation and Physical Evaluation of microemulsion of
Japanese Taro Tuber Extract (Colocasia esculenta (L.)
Schott var antiquorum) as an Anti-Aging agent
Japanese taro tuber is a plant that has potential as an anti-aging angent.
Japanese taro tuber consistst of polyphenol compounds, vitamin C, vitamin A,
monoglycerides, iron, tarin and saponins that play a role in inhibiting and slowing
the aging process. In this research, the development of a microemulsion
formulation of the Japanese taro root extract is to increase the ability to penetrate
the skin. Microemultion is made by using a combination of surfactants, which are
tween 80 and span 80 as well as variations in the type of cosurfactant (propylene
glycol, glycerin, ethanol, and polyethylene glycol 400) with various
concentrations. The result of the obtained microemulsion had a composition of
15% tween 80, 23% span 80, 5% polyethylene glycol 400, 48.5% olive oil, 0.5%
vitamine E, 3% taro root extract, and 5% distilled water with stirring speed at±750
rpm, temperature at 31-35 ⁰C for 30 minutes. Microemulsion physical evaluation
results showed that the value of pH was 5.875, viscosity value was 364 cP with
the Newton flow type, thewater-in-oil (a / m) type , the specific gravity was 0.959
g / ml, and showed stability at room temperature (25 ± 2 ⁰C) and low temperature
( 4 ± 2 ⁰C).

Keywords : Japanese taro tuber extract, microemulsion, physical stability.

vii
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Formulasi
dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia
esculenta (L.) Schott var antiquorum) Sebagai Anti-Aging”. Penulisan skripsi
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untk mencapai gelar
Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. dan IbuAfriani Rahma, M.Si., Apt. sebagai
Pembimbing yang telah bersedia memberikan ilmu, waktu, tenaga,
nasehat, serta arahan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Bapak Yardi, Ph.D., Apt danIbuNelly Suryani, M.Si., Ph.D., Apt.sebagai
ketua dansekretarisProgram Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan.
3. Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Puteri Amelia M.Farm., Apt.sebagai pembimbing akademik yang telah
membimbing dan memberikan dukungan dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan akademik.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selamamenempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orangtua tercinta Ayahanda Abu Yazid dan Almarhumah Ibunda
Siti Barkah,serta adik-adiktersayangHafiz, Qanita, dan Sami dankeluarga
besar yang selalu ikhlas tanpa pamrih memberikan kasih sayang,
dukungan, serta doa setiap waktu.

viii
7. Teman seperjuangan di LaboratoriumPenelitian 2,Sheila, Evi, Lela,
Happy, dan teman seperjuangan lainnya yang telah mengalami badai
rintangan bersama dan tempat berbagi keluh kesah.
8. Sahabat-sahabat tercinta, Laila, Elsa, Annisa, Tiara, Silvia, Karimah,
Sheila, Arini, Puput, Sheila, Meryza, dan teman-teman Farmasi ABCD
yang telah menjadi keluarga kedua yang telah menghabiskan waktu susah
senang bersama.
9. Laboran-laboran yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini
Kak Eris, Kak Lisna, Kak Rani, Kak Tiwi,dan Kak Rahmadi.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian
dan penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah
SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini,
oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Dan
semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 8 Juli 2015


Athiyah

ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGANAKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islma Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah


Jakarta, Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Athiyah
NIM : 1111102000031
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya
dengan judul:
FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI EKSTRAK UMBI
TALAS JEPANG (Colocasiaesculenta (L.) Schott varantiquorum) SEBAGAI
ANTI-AGING
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 8 Juli 2015
Yang menyatakan,

(Athiyah)

DAFTAR ISI

x
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ iv
ABSTRAK ..............................................................................................................v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ..................... ix
DAFTAR ISI ...........................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................xv
BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................4
2.1 TanamanTalasJepang .............................................................................4
2.1.1 Taksonomi ....................................................................................4
2.1.2 Kandungan Kimia ........................................................................4
2.2 Kulit ........................................................................................................5
2.2.1Epidermis ......................................................................................5
2.2.2Dermis ...........................................................................................7
2.2.3Subkutis .........................................................................................7
2.2.4FisiologiKulit ................................................................................7
2.2.5 PenetrasiObatMelaluiKulit ...........................................................9
2.3Kosmetik ...............................................................................................10
2.4Penuaan .................................................................................................11
2.4.1Teori Proses Penuaan ..................................................................11
2.4.2 Proses PenuaanpadaKulit ...........................................................12
2.4.3Faktor-Faktor yang MempengaruhiPenuaanKulit .......................13
2.5Antioksidan ...........................................................................................14
2.6 Mikroemulsi .........................................................................................15
2.7 KomponenMikroemulsi .......................................................................17
2.7.1 MinyakZaitun .............................................................................17
2.7.2 Span 80 .......................................................................................18
2.7.3 Tween 80 ....................................................................................18
2.7.4 Poletilen Glikol 400 (PEG 400) .................................................19
2.7.5Vitamin E ....................................................................................19
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................21
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................21
3.2 Alat dan Bahan .....................................................................................21
3.2.1 Alat .............................................................................................21
3.2.2 Bahan ..........................................................................................21
3.3 Prosedur Kerja ......................................................................................22

xi
3.3.1DeterminasiTanaman ..................................................................22
3.3.2Karakterisasi EkstrakUmbi Talas Jepang ....................................22
3.3.2.1 Karakterisasi non spesifik ......................................22
3.3.2.2Karakterisasispesifik ...............................................23
3.3.2.3UjiKelarutan ............................................................23
3.3.3 MetodeEkstraksi .........................................................................22
3.3.4PenapisanFitokimia .....................................................................23
3.3.5Penetapan Kadar Polifenol Total.................................................24
3.3.5.1PembuatanLarutanIndukAsamGalat .......................24
3.3.5.2 Penetapan PanjangGelombangMaksimum.............24
3.3.5.3PembuatanKurvaStandar .........................................25
3.3.5.4Penentuan Kadar Total SenyawaPolifenol ..............25
3.3.6UjiAntioksidandenganMetode DPPH .........................................26
3.3.6.1PembuatanLarutan DPPH .......................................26
3.3.6.2PembuatanLarutanBlanko .......................................26
3.3.6.3PenentuanAktivitasAntioksidan ..............................26
3.3.7 PembuatanMikroemulsi .............................................................26
3.3.7.1 UjiPendahuluan.......................................................26
3.3.7.2FormulasiMikroemulsi ............................................27
3.3.8 EvaluasiFisikMikroemulsi .........................................................27
3.3.8.1PemeriksaanOrganoleptik .......................................27
3.3.8.2Uji pH ......................................................................28
3.3.8.3UjiTipeMikroemulsi................................................28
3.3.8.4PenentuanViskositas ...............................................28
3.3.8.5 PengukuranBobotJenis ...........................................26
3.3.8.6UjiStabilitas .............................................................28
3.3.8.7Cycling Test.............................................................29
3.3.8.8UjiSentrifugasi ........................................................29
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................30
4.1DeterminasiTanaman ............................................................................30
4.2Karakterisasi ..........................................................................................30
4.3PenapisanFitokimia ...............................................................................32
4.4Penetapan Kadar Total Polifenol ..........................................................34
4.5UjiAntioksidandenganMetode DPPH ...................................................37
4.6FormulasiMikroemulsi ..........................................................................38
4.7EvaluasiFisikMikroemulsi ....................................................................46
4.7.1PemeriksaanOrganoleptik ......................................................46
4.7.2 Uji pH ....................................................................................47
4.7.3 Uji Viskositas ........................................................................47
4.7.4PenentuanTipeMikroemulsi ...................................................48
4.7.5PengukuranBobotJenis ...........................................................49
4.7.6 Uji Sentrifugasi .....................................................................49
4.7.7Cycling Test............................................................................49
4.7.8UjiStabilitas ............................................................................50

BAB 5. PENUTUP................................................................................................54
5.1 Kesimpulan ..........................................................................................54

xii
5.2 Saran .....................................................................................................54
Daftar Pustaka .................................................................................................... xvi
Lampiran ........................................................................................................... xxii

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 PerbedaanAntara Penuaan Intrinsik dan Ekstrinsik .............................13


Tabel 3.1 Formula Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang .............................27
Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang ..................................31
Tabel 4.2 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Umbi Talas Jepang ......................33
Tabel 4.3 Nilai Absorbansi Standar Asam Galat .................................................35
Tabel 4.4 Kadar Total Polifenol Ekstrak Umbi Talas Jepang ..............................36
Tabel 4.5 Nilai Absorbansi, % Inhibisi, dan IC50 Ekstrak Umbi Talas Jepang ....37
Tabel 4.6 Hasil Optimasi Formula Sediaan Mikroemulsi ....................................41
Tabel 4.7 Hasil Optimasi Kondisi Pemebentukan Mikroemulsi ..........................45
Tabel 4.8 Hasil Formula dan Kondisi Terbaik .....................................................45
Tabel 4.9 HasilPemeriksaanOrganoleptikdanHomogenitas .................................46
Tabel 4.10 Nilai Viskositas Mikroemulsi pada Berbagai Kecepatan ....................48
Tabel 4.11 Hasil Pengamatan Organoleptik Mikroemulsi pada Cycling Test .......50
Tabel 4.12 Hasil Pengamatan Makroskopik Mikroemulsi pada Berbagai Suhu ...51
Tabel 4.13 Hasil Pengukuran pH dan Viskositas Mikroemulsi .............................52

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Umbi Talas Jepang ...........................................................................4


Gambar 2.2 Struktur Anatomi Kulit .....................................................................5
Gambar 2.3 Struktur Alpha Tocopherol .............................................................19
Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Asam Galat ..........................................................36
Gambar 4.2 Bagan Optimasi Pembentukan Mikroemulsi ..................................40
Gambar 4.3 Diagram Fase Pseudoterner Mikroemulsi ......................................43
Gambar 4.4 Reogram Awal Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang .............48

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Penelitian ................................................................................55


Lampiran 2. Hasil Determinasi Tanaman ...........................................................56
Lampiran 3. Gambar Hasil Penapisan Fitokimia ................................................57
Lampiran 4. Perhitungan Parameter Non Spesifik Ekstrak Umbi Talas Jepang 59
Lampiran 5. Perhitungan dan Hasil Penetapan Kadar Total Polifenol ...............60
Lampiran 6. Hasil dan PerhitunganAktivitas Antioksidan .................................63
Lampiran 7. Nilai Viskositas Mikroemusi pada Berbagai Kecepatan ................66
Lampiran 8. Gambar Hasil Penelitian .................................................................70
Lampiran 9. Certificate of Analysis Asam Galat ................................................72

xvi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penuaan telah menjadi masalah tersendiri bagi kaum wanita. Penuaan
merupakan suatu proses multidimensional, yakni mekanisme perusakan dan
perbaikan di dalam tubuh dan sistem tersebut terjadi secara bergantian pada
kecepatan dan saat-saat yang berbeda (Tambayong, 2000). Proses terjadinya
penuaan kulit tidak sama pada setiap orang. Pada orang tertentu proses penuaan
kulit terjadi sesuai dengan usianya sedangkan pada orang lain dapat datang lebih
cepat, keadaan ini disebut sebagai penuaan dini (premature aging). Hal ini
menunjukan bahwa proses penuaan pada setiap individu berbeda, tergantung dari
berbagai faktor yang mempengaruhi dan mempercepat proses penuaan
(Cunningham, 1998 dan Soepardiman, 2003). Meskipun proses penuaan adalah
sesuatu yang harus terjadi, namun berbagai usaha untuk mencegah atau
memperlambatnya terus dilakukan. Salah satu bentuk upaya untuk mencegah atau
memperlambat terjadinya proses penuaan dini adalah dengan menggunakan
sediaan kosmetik, berupa anti-aging yang memiliki kemampuan untuk mencegah
atau memperlambat terjadinya proses tersebut (Elsnerdan Howard, 2000 dan
Tranggono dan Latifah, 2007).
Kurun waktu terakhir, banyak dikembangkan penelitian yang berfokus
pada bahan alam, termasuk penelitian di bidang kosmetik. Penggunaan bahan
alami dari tanaman memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah tidak
menyebabkan terjadinya efek samping (Chen, Pearson, dan Gray, 1992; Kahl dan
Kappus, 1993). Salah satu tumbuhan yang telah digunakan oleh masyarakat
sebagai anti-aging adalah talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var
antiquorum. Talas jepang juga biasa digunakan sebagai obat dalam mempercepat
penyembuhan luka sehingga talas jepang dianggap memiliki kemampuan untuk
meregenerasi sel yang rusak. Talas jepang memiliki kandungan polifenol, vitamin
C, vitamin A, besi, saponin, dan monogliserida ((2’S)-1-O-(9-oxo-10(E),12(E)-
oktadekadienoil) gliserol, besi, saponin, dan tarin yang mempunyai manfaat

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

sebagai anti-aging (Wang, 1983; Lintner dan Sederma, 2015; Sharma dan Arvind
Sharma, 2012; dan Kim, Moon, Seon Yeo, dan Kang, 2010). Hal inilah yang
melatarbelakangi pembuatan sediaan anti-aging dari ekstrak umbi talas jepang.
Kulit memiliki pertahanan yang sulit ditembus oleh molekul obat terutama
yang bersifat hidrofilik (Tranggono dan Latifah, 2007) sehingga ekstrak umbi
talas jepang akan sulit untuk berpenetrasi karena ekstrak talas jepang bersifat
hidrofilik. Zat aktif dalam sediaan harus mampu melewati kulit terutama lapisan
tanduk (stratum korneum) yang merupakan lapisan penghalang utama
(Fatmawaty, Tjendra, Riski, dan Nisa, 2012). Oleh sebab itu perlu dikembangkan
bentuk sediaan yang dapat meningkatkan penetrasinya, diantaranya adalah bentuk
sediaan mikroemulsi.
Produk kosmetik ekstrak umbi talas jepang yang telah beredar adalah
dalam bentuk krim sehingga bentuk mikroemulsi ini merupakan salah satu dari
upaya pengembangan dari produk ekstrak umbi talas jepang. Kosmetik dalam
bentuk mikroemulsi merupakan kosmetik yang mulai dikembangkan di zaman
teknologi yang lebih maju seperti sekarang, karena memiliki sistem penghantaran
baru dan menjanjikan hasil yang lebih baik dan lebih cepat dibandingkan sediaan
topical lainnya, seperti sediaan krim. Mikroemulsi tersusun atas air, minyak, dan
surfaktan, terkadang bersama kosurfaktan (Flanagan dan Singh, 2006; Cho, Kim,
Bae, Mok, dan Park, 2008). Sifat mikroemulsi yang termodinamis dapat
mendukung partisi ke dalam kulit. Sarana mikroemulsi juga dapat mengurangi
penghalang difusi dari stratum korneum dan menunjukan peningkatan efisiensi
dalam penetrasi melalui kulit (Zhu dan Gao, 2008; Shetye dkk, 2010).
Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan sediaan mikroemulsi tipe air
dalam minyak (a/m) dari ekstrak umbi talas jepang dan melihat kestabilannya
secara fisik. Tipe ini dipilih karena zat aktif (fase terdispersi) berifat hidrofil.
Pembuatan mikroemulsi ini dilakukan dengan menggunakan minyak zaitun dan
vitamin E sebagai fase minyak. Pada penelitian ini dilakukan penentuan
konsentrasi kombinasi surfaktan yang digunakan, yakni span 80 dan tween 80
dengan beberapa variasi kosurfaktan, yakni propilen glikol, gliserin, etanol, dan
polietilen glikol (PEG) 400 pada berbagai konsentrasi agar dapat menghasilkan
sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, terdapat masalah yang
harus terselesaikan, yaitu:
1.2.1 Apakah jenis kosurfaktan dan berapa konsentrasi kosurfaktan dan
surfakatan (tween 80 dan span 80) yang dapat membentuk mikroemulsi
tipe air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang?
1.2.2 Apakah produk ekstrak umbi talas jepang dapat dibuat menjadi sediaan
mikroemulsi air dalam minyak (a/m) yang stabil secara fisik?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formula mikroemulsi
air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang dan mengevaluasi kestabilan
fisik sediaan.

1.4 Manfaat Peneltian


Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai stabilitas fisik
mikroemulsi air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang dan memberikan
tambahan pengetahuan kepada penulis mengenai mikroemulsi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Talas Jepang


2.1.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Liliopsida
Sub Kelas : Arecidae
Ordo : Arales
Famili : Araceae
Genus : Colocasia
Spesies : Colocasia esculenta (L.) Schott
Varian : Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum
(Anonim, 2012, p. 376)

Gambar 2.1.Umbi Talas Jepang


[sumber : Bebeja, 2014]

2.1.2 Kandungan Kimia


Umbi talas jepang mengandung senyawa polifenol, vitamin C, vitamin A,
81,40% air; 0,07% lemak; 15, 34% karbohidrat; 0,63% serat; 1,44% protein;
0,013 kalsium; 0,032% fosfat; 0,0015% besi; kalsium oksalat; alkaloid, vitamin
B1.Talas jepang mengandung sejumlah tinggi seng dan asam folat (Irawan,
Hanny, Suwido, Yasuyuki, Mitsuru, dan Ici, 2006).Asam glikolat oksidase

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

(Okamoto, 1967 dalam Wang, 1983), antosianin, karoten, steroid, pati,


glukosamin, galaktosa, glukosa, arabinosa, ribosa, ramnosa, dan glukonolakton
(Wang, 1983).

2.2 Kulit
Kulit merupakan organ terluas penyusun tubuh manusia yang terletak
paling luar dan menutupi seluruh permukaan tubuh (Kumesan, 2013). Luas kulit
orang dewasa sekitar 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan (Anwar,
2012).Kulit manusia mempunyai ketebalan yang bervariasi, mulai dari 0,5 mm
hingga 5 mm (Tranggono dan Latifah, 2007).
Secara histologis, kulit tersusun atas 3 lapisan utama, yaitu lapisan
epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan
subkutis (hipodermis) (Anwar, 2012).

Gambar 2.2.Struktur Anatomi Kulit


[sumber :US National Institute of Health, 2013]

2.2.1 Epidermis
Epidermis merupakan jaringan epitel berlapis pipih, dengan sel epitel yang
mempunyai lapisan tertentu. Lapisan ini terdiri dari lima bagian, yakni (Anwar,
2012):

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

a. Stratum germinativum (stratum basal)


Merupakan lapisan terbawah epidermis.Di dalamnya terdapat sel-sel
melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami keratinasi dan fungsinya hanya
membentuk pigmen-pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel
keratinosit melalui dendrit-dendritnya.Melanin merupakan pigmen utama untuk
warna dari kulit manusia (Hearing, 2005).
b. Stratum spinosum
Memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri.Intinya besar dan
oval.Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein
(Tranggono dan Latifah, 2007).Seluruh selnya terikat rapat lewat serat-serat yang
ada pada sitoplasma sehingga secara keseluruhan lapisan sel-selnya
berduri.Lapisan ini untuk menahan gesekan dan tekanan dari luar, tebal, dan
terdapat di daerah tubuh yang banyak bersentuhan atau menahan beban dan
tegangan (Syaifuddin, 2009).
c. Stratum granulosum
Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar,
berinti mengkerut (Tranggono dan Latifah, 2007).Lapisan ini menghalangi
masuknya benda asing, kuman, dan bahan kimia masuk ke dalam tubuh
(Syaifuddin, 2009).
d. Stratum lusidum
Merupakan lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin, sangat tampak
jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.Antara stratum lusidum dan stratum
granulosum terdapat lapisan keratin tipis yang disebut rein’s barrier yang tidak
bisa ditembus (impermeable) (Tranggono dan Latifah, 2007).
e. Stratum korneum
Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki
inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit
mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, jenis protein yang
tidak larut dalam air, dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia (Tranggono
dan Latifah, 2007).
Dari sudut kosmetik, epidermis merupakan bagian kulit yang menarik
karena kosmetik dipakai pada bagian epidermis (Tranggono dan Latifah, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

2.2.2 Dermis
Dermis merupakan jaringan ikat fibroelastis.Lapisan ini jauh lebih tebal
daripada epidermis(Anwar, 2012).Dermis terutama terdiri dari bahan dasar
serabut kolagen dan elastin, yang berada di dalam substansi dasar yang bersifat
koloid dan terbuat dari gelatin mukopolisakarida.Serabut kolagen dapat mencapai
72 persen dari keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak. Di dalam dermis
terdapat adneksa-adneksa kulit, seperti folikel rambut, papilla rambut, kelenjar
keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh
darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan
lemak bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.2.3 Subkutis
Lapisan ini ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel lemak
yang membentuk jaringan lemak.Lapisan lemak ini disebutpanikulus adipose
yang berfungsi sebagai cadangan makanan dan bantalan.Di lapisan ini terdapat
ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening (Anwar, 2012).

2.2.4 Fisiologi Kulit


Fungsi kulit sangat kompleks dan berkaitan satu dengan yang lainnya di
dalam tubuh manusia, dengan berbagai fungsi antara lain (Anwar, 2012):
a. Fungsi proteksi
Kulit dapat melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan
fisik maupun mekanik. Gangguan fisik misalnya tekanan mekanik, gesekan,
tarikan, panas, dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, dan gangguan
kuman, jamur, bakteri atau virus sedangkan gangguan kimiawi, seperti zat-zat
kimia iritan. Gangguan fisik dan mekanik ditanggulangi dengan adanya bantalan
lemak subkutis, tebalnya lapisan kulit dan serabut penunjang yang berfungsi
sebagai pelindung bagian luar tubuh. Gangguan kimia ditanggulangi dengan
adanya lemak permukaan kulit yang berasal dari kelenjarpalit kulit yang
mempunyai pH 4,5-6,5 (Anwar, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

b. Fungsi absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda
padat.Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin mudah diserap kulit,
begitu pula zat yang larut dalam minyak.Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi
oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan udara, metabolisme, dan jenis
pembawa zat yang menempel di kulit.Absorpsi dapat melalui celah antar sel,
saluran kelenjar atau kelenjar rambut (Anwar, 2012).
c. Fungsi ekskresi
Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau
sisa metabolisme dalam tubuh, misalnya NaCl, urea, asam urat, amonia, dan
sedikit lemak (Anwar, 2012).
d. Fungsi pengindra (sensori)
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis.Badan Ruffini yang terletak di dermis, menerima rangsangan dingin dan
rangsangan panas diperankan oleh badan Krause.Badan taktil Meissner yang
terletak di papil dermis menerima rangsang rabaan, demikian pula badan Merkel-
Renvier yang terletak di epidermis (Anwar, 2012).
e. Fungsi termoregulasi (pengaturan suhu tubuh)
Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan
mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit (Anwar, 2012).
f. Fungsi pembentukan pigmen (melanogenesis)
Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal
epidermis.Jumlah melanosit dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan
warna kulit (Anwar, 2012).
g. Fungsi keratinisasi
Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah
bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng
dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas
lebih gepeng dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya
sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mongering
menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Proses ini berlangsung

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat


melaksanakan fungsinya secara baik (Anwar, 2012).
h. Fungsi produksi vitamin D
Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-
dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun, produksi ini masih
lebih rendah dari kebutuhan tubuh (Anwar, 2012).

2.2.5 Penetrasi Obat Melalui Kulit


Penetrasi obat melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya
proses difusi melalui dua mekanisme, yaitu (Anwar, 2012):
a. Absorpsi transepidermal
Jalur ini merupakan jalur utama bila dibandingkan dengan jalur melalui
kelenjar-kelenjar lainnya karena luas permukaan epidermal 100 sampai 1000 kali
lebih luas dari permukaan kelenjar-kelenjar tersebut.Jalur absorpsi transepidermal
merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur,
yaitu jalur transelular yang berarti melalui protein di dalam sel dan melewati
daerah yang kaya akan lipid, dan jalur paraselular yang berarti jalur melalui ruang
antar sel (Anwar, 2012).
Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap.Pertama,
pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien partisi
obat dalam pembawa dan stratum korneum.Kedua, difusi melalui epidermis dan
dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis (Anwar, 2012).
b. Absorpsi transappendageal
Merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar
keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga
memungkinkan obat berpenetrasi (Anwar, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat
fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologis
kulit.(Anwar, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

2.3 Kosmetik
Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 44/Menkes/Permenkes/1998
kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada
bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian
luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik,
mengubah penampilan, melindungi supaya dalam keadaan baik, memperbaiki bau
badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu
penyakit (Tranggono dan Latifah, 2007).
Kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit dibagi menjadi kosmetik
perawatan kulit (skin-care cosmetics), kosmetik untuk mulut (oral cosmetics), dan
wangi-wangian (fragrances) (Mitsui, 1993).
Kosmetik perawatan kulit disebut juga kosmetik wajah dan terutama
digunakan pada wajah (Mitsui, 1993).Kosmetik wajah terdiri dari kosmetik untuk
membersihkan kulit atau cleanser (sabun, cleansing cream, cleansing milk, dan
freshener), Kosmetik untuk melembabkan kulit atau moisturizer (moisturizing
cream, night cream, anti wrinkle cream), kosmetik untuk menipiskan kulit atau
peeling (scrub cream).Kosmetik anti penuaan atau anti-aging merupakan salah
satu kosmetik perawatan kulit (Wasitaatmadja, 1997; Tranggono dan Latifah,
2007).
Kosmetik riasan diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit
sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek
psikologis yang baik. Contoh dari kosmetik riasan ini adalah foundation, eye make
up, lipstick, dan rouges (Wasitaatmadja, 1997; Tranggono dan Latifah, 2007).
Kosmetik perawatan rambut diantaranya adalah shampoo, preparat
perawatan dan gaya rambut (hair styling). Produk yang termasuk didalamnya
yaitu promoter penumbuh rambut dan perawatan kulit kepala dan rambut (Mitsui,
1993).
Kosmetik perawatan mulut diantaranya, yaitu pasta gigi dan produk
penyegar mulut (Mitsui, 1993).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

2.4 Penuaan
Proses penuaan merupakan proses fisiologis yang akan terjadi pada semua
makhluk hidup yang meliputi seluruh organ tubuh termasuk kulit (Cunningham,
1998).

2.4.1 Teori Proses Penuaan


Bermacam-macam teori proses penuaan telah dikemukakan para ahli
namun sampai saat ini mekanisme yang pasti belum diketahui. Ada berbagai teori
penuaan, antara lain (Soepardiman, 2003 dan Wasiaatmadja, 1997):
1. Teori Replikasi DNA
Teori ini mengemukakan bahwa terjadinya proses penuaan disebabkan
kematian sel secara perlahanlahan antara lain akibat pengaruh sinar ultraviolet
(sinar matahari) yang merusak sel DNA sehingga mempengaruhi masa hidup sel
(Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).
2. Teori Kelainan Alat
Proses penuaan terjadi kibat kerusakan DNA yang menyebabkan
terbentuknya molekul-molekul yang tidak sempurna sehingga terjadi kelainan
enzim-enzim intraselular yang mengakibatkan kerusakan atau kematian sel
(Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).
3. Teori Ikatan Silang
Proses penuaan merupakan akibat dari pembentuan ikatan silang yang
progresif dari protein-protein intraseluler dan interseluler serabut kolagen yang
menyebabkan kolagen kurang lentur dan tidak tegang (Cunningham, 1998;
Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).
4. Teori Neuro-Endokrin
Proses menjadi tua diatur oleh organ-organ penghasil hormon seperti timus,
hipotalamus, hipofisis, tiroid yang secara berkaitan mengatur keseimbangan
hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh manusia (Cunningham, 1998;
Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).
5. Teori Radikal Bebas
Teori radikal bebas dewasa ini lebih banyak dianut dan dipercaya sebagai
mekanisme proses penuaan. Radikal bebas adalah sekelompok elemen dalam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

tubuh yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga tidak stabil dan
sangat reaktif. Sebelum memiliki pasangan, radikal bebas akan terus menerus
menghantam sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya termasuk menyerang
sel-sel tubuh yang normal. Akibatnya sel-sel akan rusak dan menua serta
mempercepat timbulnya kanker (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan
Wasiatmadja, 1997).

2.4.2 Proses Penuaan pada Kulit


Proses penuaan kulit mempunyai dua fenomena yang saling berkaitan,
yaitu:
1. Proses Kronologis (Penuaan Intrinsik)
Merupakan proses penuaan fisiologis yang berlangsung secara alamiah,
disebabkan berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri seperti genetik, hormonal,
dan rasial. Fenomena ini tidak dapat dicegah atau dihindari dan mengakibatkan
perubahan kulit yang menyeluruh sesuai dengan pertambahan usia (Cunningham,
1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).
2. Proses penuaan ekstrinsik
Proses ini terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh. faktor lingkungan
seperti sinar matahari, kelembaban udara, suhu, dan berbagai faktor eksternal
lainnya dapat mempercepat proses penuaan kulit sehingga terjadi penuaan dini.
Perubahan pada kulit terutama terjadi di daerah terpajan seperti kulit wajah
sehingga wajah terlihat lebih tua, tidak sesuai dengan usia yang sebenarnya
(Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).
Secara garis besar gejala penuaan intrinsik dan penuaan ekstrinsik
(photoaging) dapat dibedakan sebagai berikut (Soepardiman, 2003 dan
Wasiatmadja, 1997):

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

Tabel 2.1 Perbedaan Antara Penuaan Intrinsik dan Ekstrinsik


Penuaan Intrinsik Penuaan Ekstrinsik
 Kulit tipis dan halus  Kulit menebal dan kasar
 Kulit kering  Kulit kering
 Kerut halus, garis ekspresi lebih  Kerut lebih dalam dan nyata
dalam  Bercak pigmentasi tidak teratur
 Kulit kendur  Pelebaran pembuluh darah
 Dapat timbul tumor jinak  Dapat timbul tumor jinak, pra
kanker maupun kanker kulit

2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penuaan Kulit


Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses penuaan pada kulit
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Faktor intrinsik
Merupakan faktor-faktor dari dalam tubuh yang berpengaruh pada proses
penuaan kulit, diantaranya (Cunningham, 1998 dan Soepardiman, 2003):
a. Keturunan (genetik)
b. Rasial
c. Hormonal
2. Faktor ekstrinsik
Berbagai faktor dari luar tubuh yang dapat menyebabkan proses penuaan
dini, antara lain:
a. Faktor lingkungan
1. Sinar matahari
Sinar matahari merupakan faktor utama penyebab terjadinya proses
penuaan kulit. Penuaan dini yang terjadi akibat paparan sinar matahari disebut
sebagai photo aging (dermatoheliosis) (Wasiatmadja, 1997 dan Pellerano dan
Bemstein, 1996). Kulit yang terpapar oleh sinar matahari akan menyerap
radiasi sinar UV dan menghasilkan komponen yang berbahaya yaitu Reactive
Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada
komponen seluler seperti dinding sel, membran lipid, mitokondria, dan DNA.
Pembentukan ROS tersebut akan menginduksi aktivator protein (AP)-1 yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

merupakan faktor transkripsi yang menghambat produksi kolagen dan


meningkatkan penghancuran kolagen dengan memperbanyak enzim yang
disebut matriks metalloproteinase (MMPs) (Helfrich, Sachs, and Voorhees,
2008).
Radiasi UV juga menyebabkan penurunan pembentukan transforming
growth factor (TGF)-beta yang merangsang pembentukan kolagen sehingga
pembentukan kolagen menurun (Helfrich, Sachs, and Voorhees, 2008). Selain
itu, radikal bebas juga dapat dihasilkan polusi udara, asap rokok, paparan dari
bahan kimia, dan bahan tambahan pada makanan seperti pengawet, pewarna,
dan pelezat (Cunningham, 1998 dan Wasiatmadja, 1997).
2. Kelembaban udara
Kelembaban udara yang rendah di daerah pengunungan atau dataran
tinggi, ruangan AC, paparan angin, dan suhu dingin akan menyebabkan kulit
menjadi kering sehingga mempercepat proses penuaan kulit (Wasiatmadja,
1997 dan Pellerano dan Bemstein, 1996).
3. Keadaan gizi yang buruk
4. Stress psikologis
5. Pemakaian otot-otot muka yang berulang-ulang dan berlagsung lama
6. Penyakit menahun
7. Kehilangan struktur penunjang kulit yang berlebihan (Cunningham, 1998;
Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).
Berbagai masalah dan kelainan kulit dapat timbul pada kulit yang menua,
yakni:
1. Kulit kering dan kasar (Pindha IGAS, 2000).
2. Kulit kendur, timbul kerutan, dan lipatan kulit yang nyata (Pindha IGAS,
2000).
3. Bercak pigmentasi (Cunningham, 1998; Pellerano dan Bemstein, 1996; dan
Pindha IGAS, 2000).
4. Tumor kulit (Cunningham, 1998; Pellerano dan Bemstein, 1996; dan Pindha
IGAS, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

2.5 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mempunyi struktur molekul yang dapat
memberikan elektron dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas
(Kumalaningsih, 2006). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah
terbentuknya radikal. Antioksidan dibagi menjadi 2 golongan, yaitu antioksidan
larut air seperti natrium metabisulfit dan vitamin C dan antioksidan larut lemak
seperti BHT dan BHA (Angela, 2012).
Ada berbagai metode dalam menguji aktivitas antioksidan, beberapa
diantaranya adalah dengan meenggunakan metode aktivitas penghambatan radikal
superoksida, metode Reducing Power, metode uji kapasitas serapan radikal
oksigen, metode tiosianat, dan metode peredaman dengan DPPH (2,2 Diphenyl-1-
picrylhidrazyl), dan metode penimbangan (Angela, 2012).
Metode peredaman dengan DPPH merupaka uji aktivitas antioksidan yang
paling sering digunakan.Metode ini merupakan metode yang mudah, cepat dan
murah serta memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu
radikal stabil.DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm
dengan warna violet gelap.Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron
menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang
sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni, 2005).
Menurut Bois (1958), uji dengan metode peredaman DPPH akan
menunjukkan kekuatan aktivitas antioksidan yang ditentukan berdasarkan IC50.
Aktivitas antioksidan dikatakan sangat kuat bila nilai IC50 lebih kecil dari 50
μg/ml, kuat bila nilai IC50 antara 50-100 μg/ml, sedang bila nilai IC50 antara 100-
150 μg/ml, dan dikatakan lemah bila IC50 antara 151-200 μg/ml (Angela, 2012).

2.6 Mikroemulsi
Konsep mikroemulsi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1940 oleh
Hoar dan Schulman.Mikroemulsi adalah dispersi isotropik, stabil
secaratermodinamis, transparan, dengan ukuran partikel berkisarantara 5-100 nm,
berasal dari pembentukan spontan bagian hidrofobik dan hidrofilik molekul
surfaktan. Mikroemulsi tersusunatas air, minyak, dan surfaktan, kadang bersama

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

dengan kosurfaktan (Flanagan dan Singh, 2006; Cho, Kim, Bae, Mok, dan Park.,
2008).
Keunggulan mikroemulsi lainnya adalah mempunyai viskositas yang
rendah dan preparasinyamudah (Flanagan dan Singh, 2006) serta menunjukan
kecepatan dan efisiensi dalam penetrasi ke dalam kulit. Hal tersebut menjanjikan
untuk rute pengiriman transdermal dan dermal yang efisien (Kreilgaard, 2002;
Rhee dkk., 2001; Kreilgaard dkk., 2000; Baboota Kohli, Dixit, Shakeel., 2007;
Kamal dkk., 2007; Chen dkk., 2007). Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk
menjelaskan keuntungan dari mikroemulsi untuk rute pengiriman transdermal dan
dermal.Pertama, termodinamika terhadap kulit meningkat karena sejumlah besar
obat tergabung dalam formulasi.Kedua, peningkatan aktivitas termodinamika obat
dapat mendukung partisi ke dalam kulit. Ketiga, sarana mikroemulsi dapat
mengurangi penghalang difusi dari stratum korneum dan meningkatkan tingkat
penetrasi obat melalui kulit dengan bertindak sebagai peningkat permeasi
sehingga memungkinkan sejumlah besar obat dapat berpenetrasi karena struktur
dan formulasinya dibandingkan sediaan topikal lainnya (Zhu danGao, 2008 dan
Shetye dkk, 2010).
Pada awalnya, minyak yang digunakan pada pembuatanmikroemulsi
berupa hidrokarbon minyak mineral, terutama karena mudah membentuk
mikroemulsi dan juga kemurnian sistem hidrokarbon (Flanagan dan Singh,
2006).Akan tetapi, minyak yang memiliki komposisi asam lemak jenuh dan asam
lemak rantai sedang lebih banyak memiliki keuntungan tersendiri karena lebih
stabil dan memerlukan jumlah surfaktan yang lebih sedikit untuk membentuk
mikroemulsi (Yuwanti dkk, 2011).
Surfaktan HLB rendah memudahkan pelarutan komponen larut minyak,
surfaktan HLB tinggi akan memudahkan pelarutan komponen larut air. Surfaktan
HLB sedang mempunyai polaritas sedang diharapkan dapat berinteraksi dengan
kedua surfaktan lainnya, tegangan antar muka menjadi lebih rendah dan
memungkinkan pembentukan droplet baru dengan ukuran lebih kecil sehingga
diperoleh mikroemulsi yang lebih stabil (Yuwanti dkk, 2011).Campuran
penggunaan surfaktan hidofobik dan hidrofilik dapat memperkecil tegangan antar

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

muka dan ukuran droplet mikroemulsi sehingga memperbaiki stabilitas


mikroemulsi yang dihasilkan (Cho Kim, Bae, Mok, dan Park, 2008).
Mikroemulsi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu mikroemulsi air dalam
minyak (a/m), mikroemulsi minyak dalam air (m/a), dan mikroemulsi
bicontinuous. Jenis mikroemulsi yang terbentuk bergantung pada komposisi
pembentuknya.Mikroemulsi minyak dalam air terbentuk karena fraksi dari minyak
rendah.Sedangkan mikroemulsi air dalam minyak terjadi ketika fraksi dari air
rendah. Sistem mikroemulsi bicontinuous mungkin terjadi jika jumlah air dan
minyak hampir sama (Lawrence, 2000).
Mikroemulsi yang stabil ditandai dengan dispersi globul yang seragam
dalam fase continue. Namun dapat terjadi penyimpangan dari kondisi
tersebut.Disamping itu suatu mikroemulsi mungkin sangat dipengaruhi oleh
kontaminasi dan pertumbuhan mikroba serta perubahan fisika dan kimia lainnya.
Seperti emulsi, ketidakstabilan mikroemulsi bisa digolongkan sebagai berikut
(Fauzy, 2012):
a. Creaming
Agregat dari bulatan fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih
besar untuk naik ke permukaan mikoemulsi atau jauh ke dasar mikroemulsi
tersebut daripada partikel-partikelnya sendiri (Fauzy, 2012).
b. Flokulasi
Flokulasi adalah agregasi globul menjadi kelompok besar (Fauzy, 2012).
c. Coalescence (breaking, cracking)
Coalescence merupakan penggabungan bulatan-bulatan fase dalam
(coalesense) dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan. Sedangkan
pemisahan fase dalam dari mikroemulsi tersebut disebut “pecah” atau “retak”
(cracked). Hal ini bersifat irreversible karena lapisan pelindung di sekitar bulatan-
bulatan fase terdispersi tidak ada lagi (Djajadisastra, 2004).

2.7 Komponen Mikroemulsi


2.7.1 Minyak Zaitun
Minyak zaitun merupakan campuran dari gliserida asam lemak.Minyak
zaitun memiliki proporsi asam lemak tidak jenuh yang tinggi.Minyak zaitun

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

merupakan cairan minyak berwarna jernih atau kuning, transparan.Minyak zaitun


umumnya berfungsi sebagai pembawa berminyak.Aplikasinya biasa digunakan
dalam enema, linimen, salep, plaster, dan sabun (Rowe, Sheskey, dan Quin,
2009).
Minyak zaitun sedikit larut dalam etanol (95%), dapat bercampur dengan
eter, kloroform, petroleum putih (50-70 ºC), dan karbon disulfida. Ketika
didinginkan, minyak zaitun akan menjadi keruh kira-kira pada suhu 10 ºC, dan
menjadi seperti massa mentega pada suhu 0 ºC. Minyak zaitun dapat mengalami
saponifikasi dengan alkali hidroksida.Minyak zaitun cenderung mudah teroksidasi
dan inkompatibel dengan agen pengoksidasi (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).
Minyak zaitun digunakan dalam formulasi ini sebagai basis atau pembawa
minyak.Minyak zaitun memiliki khasiat dan manfaat bagi kesehatan kulit.Minyak
zaitun berkhasiat untuk melembabkan dan menutrisi kulit. Minyak zaitun sangat
kompatibel dengan pH kulit, kaya akan vitamin dan zat-zat bernutrisi lainnya
yang melembutkan dan melindungi kulit (Smaoui, 2012).

2.7.2 Span 80
Span 80 merupakan cairan kental berwarna kuning dengan pH 8. Span 80
merupakan ester sorbitan yang memiliki bau dan rasa yang khas. Span 80 biasa
digunakan sebagai agen pengemulsi, agen pelarut, dan agen pembasah. Span 80
umumnya larut atau terdispersi dalam minyak, larut dalam pelarut organik. Di
dalam air span 80 dapat terdispersi. Span 80 stabil dalam asam maupun basa
lemah. span 80 harus disimpan dalam wadah tertutup, dingin, dan kering. (Rowe,
Sheskey, dan Quin, 2009).

2.7.3 Tween 80
Tween 80 disebut juga sebagai polisorbat 80 (polioksietilen 20 sorbitan
monooleat).Tween 80 memiliki karakteristik cairan berminyak berwarna kuning
pada suhu 25 C dan suhu hangat, serta berasa pahit. Tween 80 larut dalam etanol
dan air, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak nabati.Tween 80 berfungsi
sebagai pengemulsi, surfaktan nonionik, solubilizing agent, agen pensuspensi, dan
agen pembasa (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

Tween 80 stabil untuk elektrolit dan asam serta basa lemah, saponifikasi
terjadi dengan asam dan basa kuat.Ester asam oleat sestitif terhadap
oksidasi.Tween 80 higroskopis dan harus disimpan dalam wadah tertutup baik,
terlindung dari cahaya, dingin, dan kering (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).

2.7.4 Polietilen Glikol 400 (PEG 400)


Polietilen glikol 400 berwujud cairan kental, jernih, tidak berwarna atau
berwarna sedikit kuning.PEG 400 sedikit berbau serta berasa pahit dan sedikit
membakar.PEG 400 memiliki berat molekul 380-420, titik leleh 6-8 ºC, pH 4,0-
7,0 (larutan 5% w/v), massa jenis 1,120 g/cm3 pada suhu 25 ºC. PEG 400 larut
dalam air, aseton, alkohol, benzena, gliserin, dan glikol.PEG 400 stabil secara
kimia dalam udara dan dalam larutan.PEG 400 inkompatibel dengan beberapa
agen pewarna.Aktivitas antibakteri dari antibiotik dikurangi dalam basis polietilen
glikol (penisillin dan basitrasin).PEG400 dapat bereaksi dengan golongan
sulfonamida dan sorbitol.Sulfonamida dapat mengalami kehilangan warna
sedangkan sorbitol dapat diendapkan dari campurannya.Plastik, seperti polietilen,
fenolformaldehid, polivinil klorida, dan membran ester sellulosa (dalam
penyaring) dapat dilembutkan atau tidak larut dengan polietilen glikol. Migrasi
dari polietilen glikol dapat terjadi dari pelapis film tablet, tertama interaksi dengan
komponen inti (Rowe, Sheskey, and Quin, 2009).

2.7.5 Vitamin E (Alpha Tocopherol)

Gambar 2.3 Struktur Alpha Tocopherol


[sumber :Rowe, Sheskey, and Quin, 2009]
Vitamin E memiliki fungsi sebagai antioksidan dan agen terapi. Vitamin E
merupakan produk alami berupa larutan kental berminyak,jernih, tidak berwarna,
atau berwarna kuning seperti coklat. Vitamin E memiliki titik didih 23 ºC dengan
massa jenis 0,947-0,951 g/cm3. Vitamin E tidak larut dalam air, bebas larut dalam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

aseton, etanol, eter, dan minyak nabati.Vitamin E dioksidasi secara lambat oleh
oksigen atmosfir dan secara cepat oleh garam besi dan perak.Vitamin E harus
disimpan di bawah gas inert, di dalam wadah kedap udara, dingin, kering dan
terlindung dari cahaya.Vitamin E inkompatibel dengan peroksida dan ion metal,
terutama besi, tembaga, dan perak (Rowe, Sheskey, and Quin, 2009).
Vitamin E digunakan dalam formulasi ini sebagai antioksidan untuk
sediaan.Vitamin E juga dapat memelihara stabilitas jaringan ikat di dalam sel
(menjga integritas serat elastin antara dermis dan kolagen sehingga kelenturan dan
kekenyalan kulit tetap terjaga) (Tranggono dan Latifah, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium
Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Kesehatan
Lingkungan, Laboratorium Penelitian 1, Laboratorium Biologi, dan Laboratorium
Steril Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, Jakarta. Waktu penelitian dimulai
pada bulan Januari hingga Juni 2015.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi homogenizer (IKA®
RW 20 Digital), spektofotometri UV-Vis (Hitachi), sentrifugator (Eppendorf
SH7R), viskometer (Visco Tester 6R HAAKE), hotplate stirrer, oven (France
Etuves C 3000®), refrigerator (Sanyo Medicool), piknometer (Iwaki pyrex®), pH
meter (Horiba F-52, Jepang), mikroskop optik (Olympus), magnetic stirrer,
mikropipet (Rainin, USA), timbangan analitik (KERN ACJ 220-4M, Balingen),
termometer, tabung eppendorf, tanur, krus silikat, piknometer, termometer, botol
timbang, dan alat gelas (Iwaki pyrex®) lain yang biasa digunakan.

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah umbi talas jepang dan ekstrak umbi talas
jepang (CV Rajawali Mas, Indonesia), span 80 (Brataco, Indonesia), tween 80
(Brataco, Indonesia), minyak zaitun (Brataco, Indonesia), polietilen glikol 400
(Brataco, Indonesia), vitamin E (Bronson & Jacobs, Indonesia), akuades (Alam
Kimia, Indonesia), DPPH, metanol pro analisa (Merck, Jerman), Na2CO3 pro
analisa (Sinopharm, China), Folin-Ciocalteu (Merck, Jerman), asam galat standar
(Sigma, USA), kloroform, H2SO4 2 N, pereaksi mayer, pereaksi dragendorff,
etanol, serbuk Mg, HCl, H2SO4 pekat, asam asetat anhidrat, FeCl3 1%, H2SO4
encer.

21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1 Determinasi Tanaman
Tanaman umbi talas jepang yang didapat dari CV Rajawali Mas
dideterminasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor.

3.3.2 Metode Ekstraksi


Ekstrak umbi talas jepang dibuat dengan menggunakan metode
pengepresan (expression) dan dipanaskan pada suhu 50 ⁰C selama 2 jam,
kemudian didiamkan selama 24 jam. Metode ini akan menghasilkan dua lapisan
setelah dipanaskan. Lapisan yang digunakan adalah lapisan atas yang berwujud
cair. Ekstrak kemudian ditempatkan di dalam desikator untuk mendapatkan kadar
air yang memenuhi persyaratan.

3.3.3 Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang


3.3.2.1Karakterisasi non-spesifik
Adapun karakterisasi non-spesifik yang dilakukan meliputi penetapan
kadar air dan kadar abu.
a. Kadar air
Dimasukan lebih kurang 0,1 gram ekstrak, dan ditimbang seksama dalam
wadah yang telah ditara. Keringkan pada suh 105 ⁰C selama 2 jam, dan timbang.
Lakukan pengeringan dan timbang pada jarak 30 menit sampai perbedaan antara
jarak penimbangan bertururt-turut tidak lebih dari 0,25% (Anonim, 1995).
Bobot awal −Bobot akhir
% Kadar air = Bobot awal
× 100%

b. Uji kadar abu


Ditimbang sebanyak 2 gram bahan uji dan dimasukkan ke dalam krus
silikat yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
dinginkan dan ditimbang. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji,
dinyatakan dalam % b/b (Anonim, 2000).
w3−w1
% Kadar abu total = w2
× 100%

Keterangan:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

W1 = Bobot wadah (gram)


W2 = Bobot zat awal (gram)
W3 = bobot wadah dan abu zat setelah pemanasan (gram)

3.3.2.2Karakterisasi spesifik
a. Organoleptik
Penetapan organoleptik yaitu dengan pengenalan secara fisik
menggunakan panca indera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa
(Anonim, 2000).

3.3.2.3Uji Kelarutan
Kelarutan ekstrak diukur dengan menggunakan pelarut akuades. Sebanyak
0,1 gram ekstrak dilarutkan dengan akuades sedikit demi sedikit hingga larut.
Kemudian dihitung jumlah akuades yang digunakan.

3.3.3 Penapisan Fitokimia


a. Identifikasi golongan alkaloid
Sampel dicampur dengan 5 mL kloroform dan 5 mLamoniak kemudian
dipanaskan, dikocok dan disaring. Ditambahkan 5 tetes asam sulfat 2 N pada
masing-masing filtrat, kemudian dikocok dan didiamkan. Bagian atas dari
masing-masing filtrat diambil dan diuji dengan pereaksi Meyer dan Dragendorff.
Terbentuknya endapan putih dan jingga yang menunjukkan adanya alkaloid
(Anonim, 2000).
b. Identifikasi golongan flavonoid
Sampel dicampur dengan 5 mL etanol, dikocok, dipanaskan, dan dikocok
lagi kemudian disaring. Kemudian ditambahkan serbuk Mg 0,2 g dan 3 tetes HCl
pada masing-masing filtrat. Terbentuknya warna merah pada lapisan etanol
menunjukkan adanya flavonoid (Anonim, 2000).

c. Identifikasi golongan saponin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

Sampel dididihkan dengan 20 mLair dalam penangas air. Filtrat dikocok


dan didiamkan selama 15 menit. Terbentuknya busa yang stabil berarti positif
terdapat saponin (Anonim, 2000).
d. Identifikasi golongan steroid
Sampel diekstrak dengan etanol dan ditambah 2 mLasam sulfat pekat
dan 2 mLasam asetat anhidrat. Perubahan warna dari ungu ke biru atau hijau
menunjukkan adanya steroid (Anonim, 2000).
e. Identifikasi golongan triterpenoid
Sampel dicampur dengan 2 mL kloroform dan 3 mL asam sulfat pekat.
Terbentuknya warna merah kecoklatan pada antar permukaan menunjukkan
adanya triterpenoid (Anonim, 2000).
f. Identifikasi golongan tannin
Sampel didihkan dengan 20 mLa ir lalu disaring. Ditambahkan beberapa
tetes FeCl3 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan atau biru kehitaman
menunjukkan adanya tannin (Anonim, 2000).

3.3.4 Penetapan Kadar Polifenol Total


Dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis dan asam galat
sebagai standar.
3.3.4.1 Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Akuades
Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (µg/mL) dapat
dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol pro
analisa lalu ditambahkan akuades di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas
(Ratnayani, 2012).

3.4.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam


Akuades
Larutan standar asam galat 40 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara
mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan
ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan akuades sampai tanda batas. Sebanyak
0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

ditambahkan 2,2 mL akuades. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam.
Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang
400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai
sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari
kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan
maksimum (Alfian, Susanti, 2012 dan Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.4.3Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Akuades


Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan
80 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL;
0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat
1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan
akuadessampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-masing seri konsentrasi
larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL
reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL
akuades. Campuran larutan tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam. Semua
larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 755 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara
konsentrasi asam galat (μg/mL) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach,
2014).

3.4.4.4 Penentuan Kadar Total Senyawa Polifenol dalam Ekstrak Umbi Talas
Jepang
Sebanyak 10 mg ekstrak umbi talas jepang dilarutkan dalam
akuades di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL
larutan ekstrak yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan natrium karbonat
15%, lalu ditambahkan 2,2 mL akuades. Larutan diinkubasi pada suhu kamar
selama 2 jam. Campuran larutan tersebut diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kadar senyawa
polifenol total dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linear

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

dari kurva kalibrasi. Kadar total polifenol ditetapkan sebagai ekivalen asam
galat (GAE) (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).
3.3.5 Uji Antioksidan dengan Metode DPPH (Harun, 2014)
3.3.5.1 Pembuatan Larutan DPPH 0,1 mM
Sebanyak 1,98 mg DPPH (BM 394,32) dilarutkan dengan methanol pro
analisa dan dimasukkan kedalam labu ukur 50 mL. Volume dicukupkan dengan
metanol pro analisa hingga tanda batas, kemudian ditempatkan dalam botol gelap.

3.3.5.2 Pembuatan Larutan Blangko


Dipipet 2 mL larutan DPPH (0,1 mM) kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan metanol p.a sebanyak 2 mL. Ditutup dengan aluminium foil.
Kemudian dihomogenkan dengan vortex dan diinkubasi dalam ruangan gelap
selama 30 menit.

3.3.5.3 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Umbi Talas Jepang


a. Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Umbi Talas Jepang
Ditimbang sebanyak 50 mg ekstrak kemudian dilarutkan dengan
metanol pro analisa. Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL.Volume
dicukupkan dengan metanol pro analisa sampai tanda batas (1000 ppm).
Kemudian dari larutan induk dibuat seri konsentrasi 100 ppm, 300 ppm, 500
ppm, 700 ppm, dan 1000 ppm.
b. Pengukuran Serapan dengan Menggunakan Spekrofotometer UV-
Vis
Masing-masing konsentrasi larutan uji sebanyak 2 mL dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Ditambahkan larutan DPPH 0,1 mM sebanyak 2 mL,
dihomogenkan dengan vortex. Selanjutnya diinkubasi dalam ruangan gelap
selama 30 menit. Lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm.

3.3.6 Pembuatan Mikroemulsi


3.3.6.1 Uji Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk menentukan kondisi percobaan
dan komposisi bahan yang sesuai untuk menghasilkan sediaan mikroemulsi yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

jernih dan stabil. Dilakukan percobaan pembuatan mikroemulsi dengan span 80


dan tween 80 sebagai surfaktan dan propilen glikol, gliserin, PEG 400, dan etanol
sebagai kosurfaktan dengan berbagai variasi konsentrasi. Kondisi yang harus
diperhatikan dalam pembuatan sediaan mikroemulsi ini meliputi:
1. Konsentrasi kombinasi surfaktan (15-45%),
2. Kecepatan pengadukan (300, 500, 750, 1000, 1500 rpm),
3. Temperatur (suhu ruang (25 ± 2 ⁰C), 30-35 ± 2 ⁰C, dan 36-40 ± 2 ⁰C),
4. Lama pengadukan (10, 20, 30, dan 40 menit).

3.3.6.2 Formulasi Mikroemulsi


Mikroemulsi yang akan dibuat terdiri dari minyak zaitun, vitamin E, span
80, tween 80, PEG 400, ekstrak umbi talas jepang, dan akuades. Adapun formula
mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang yang diperoleh, terdiri dari:

Tabel 3.1 Formula Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang


No. Nama Bahan Konsentrasi Fungsi
(%b/v)
1 Minyak Zaitun 48,5 Pembawa minyak
2 Vitamin E 0,5 Antioksidan untuk sediaam
3 Span 80 23 Surfaktan
4 Tween 80 15 Surfaktan
5 PEG 400 5 Kosurfaktan
6 Ekstrak Umbi Talas Jepang 3 Zat aktif
7 Akuades 5 Pelarut

Prosedur pembuatan dilakukan dengan cara masing-masing fase, yakni


fase minyak (minyak zaitun, vitamin E, dan span 80) dan fase air (ekstrak umbi
talas jepang, PEG 400, tween 80, dan akuades) dicampurkan didalam beaker glass
yang berbeda dengan menggunakan magnetic stirrer pada suhu 30-35 ± 2 ⁰C.
Setelah homogen, fase airdimasukan sedikit demi sedikit ke dalam fase minyak
dan diaduk dengan menggunakan homogenizer pada kecepatan ±750 rpm hingga
terbentuk mikroemulsi yang jernih selama ±30 menit.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

3.3.7 Evaluasi Fisik Mikroemulsi


3.3.7.1 Pemeriksaan Organoleptik
Sediaan mikroemulsi diperiksa secara visual warna, homogenitas, dan
kosistensinya (Haneefa dkk,2012).
3.3.7.2 Uji pH
Sebanyak 10 gram sediaan mikroemulsi diukur pH sediaan dengan
menggunakan alat potensiometrik (pH meter) pada suhu 25 ± 2 ⁰C (Sharma,
Sharma, Sandeep, Gupta, dan Bishnol, 2012).

3.3.7.3 Uji Tipe Mikroemulsi


Dilakukan dengan menggunakan uji pengenceran, dengan cara
mengencerkan mikroemulsi dengan air. Jika mikroemulsi tercampur baik dengan
air, maka tipe mikroemulsi adalah minyak dalam air (m/a), sebaliknya jika air
yang ditambahkan membentuk globul pada mikroemulsi maka tipe mikroemulsi
adalah air dalam minyak (a/m) (Martin, Swarbrick, dan Cammarata, 2008).

3.3.7.4 Penentuan Viskositas


Pengukuran dilakukan dengan Visco Tester 6R HAAKE pada temperatur
ruang (25 ± 2 ⁰C). Shear rates dan shear stress diaplikasikan pada sampel
sejumlah 150 gram dan akan menghasilkan reogram yang akan dibuat untuk
menentukan viskositas dan reologi sampel (Mortazavi, Pishrochi, dan Jafari azar,
2013).

3.3.7.5 Pengukuran Bobot Jenis


Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer pada suhu ruang.
Bobot piknometer kosong ditimbang pada suhu ruangan (A gram). Kemudian diisi
dengan air sampai penuh dan ditimbang (A1 gram). Air dikeluarkan dari
piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan mikroemulsi diisikan dalam
piknometer sampai penuh dan ditimbang (A2 g). Bobot jenis sediaan diukur
dengan perhitungan sebagai berikut (Deepak dan Vedha Hari, 2013):
A2 – A
Bobot jenis (gram/mL) = A1−A

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

3.3.7.6 Uji Stabilitas


Uji stabilitas dilakukan dengan cara menempatkan masing-masing sediaan
(150 gram) pada suhu tinggi (40 ± 2 ⁰C), kamar (25 ± 2 ⁰C), dan suhu rendah (4 ±
2 ⁰C) selama 1 bulan. Dilakukan pengamatan organoleptik setiap 2 minggu sekali
serta pengukuran pH dan viskositas pada hari terakhir (Lou, Qiu, Crill, Helms,
dan Almoazen, 2013; Fahima MH, Dalia, Mohamed, Aliaa, 2011; Fauzy, 2010).

3.3.7.7 Cyling test (Uji freeze-thaw)


Sampel sebanyak ±150 gram diuji kestabilannya secara bergantian pada
suhu dingin (4 ± 2 ⁰C) dan suhu tinggi (40 ± 2 ⁰C), masing-masing temperatur
diuji selama 24 jam. Uji dilakukan sebanyak 6 siklus, untuk diuji kestabilan
fisiknya. Dilakukan pengamatan organoleptik dan pengukuran pH pada sediaan
mikroemulsi setelah cyling test (Fauzy., 2012).

3.3.7.8 Uji Sentrifugasi


Sediaan mikroemulsi (5 gram) dimasukan ke dalam tabung sentrifugasi
kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 30 menit.
(Lou, Qiu, Crill, Helms, dan Almoazen, 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman


Hasil determinasi tanaman yang dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Bogor menyatakan bahwa tanaman yang digunakan adalah
benar talas jepang (Colocasia esculenta (L.)Schott) familiAraceae.Hasil
determinasi dapat dilihat pada lampiran 2.

4.2 Karakterisasi
Standardisasi atau karakterisasi merupakan proses penjaminan produk
akhir agar mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan
terlebih dahulu (Helmi dkk, 2006). Standardisasi merupakan proses yang penting
untuk menjamin mutu dan keamanan bahan. Karakterisasi dilakukan terhadap
parameter spesifik, parameter non-spesifik, dan uji kelarutan.
Parameter spesifik meliputi identitas dan organoleptik, yakni bentuk,
warna, bau, dan rasa sedangkan parameter non-spesifik yang diujikan yaitu kadar
air dan kadar abu. Hasil dari karakterisasi ekstrak umbi talas jepang dapat dilihat
pada tabel 4.1.

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang


Jenis Karakterisasi Hasil Nilai Berdasarkan
Literatur
Parameter Spesifik
a. Identitas Ekstrak umbi talas jepang Ekstrak umbi talas
(Colocasia esculenta(L.) jepang (Colocasia
Schott var antiquorum) esculenta(L.) Schott
var antiquorum)
b. Organoleptik
 Bentuk Kental
 Warna Cokelat tua -
 Bau Aromatik

 Rasa Manis sedikit pahit

Parameter Non Spesifik


a. Kadar Air 7,01% <10% (Soetano dan
Soediro, 1997)
b. Kadar Abu 1,54% Maksimal 9% (MMI)

Uji Kelarutan 1 : 20 Termasuk dalam


kategori larut dalam
akuades

Berdasarkan hasil pengamatan diperolehidentitas dan organoleptikekstrak


adalah ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta(L.) Schott var
antiquorum)dengan warna cokelat tua, berbau khas aromatik, dan memiliki rasa
yang manis sedikit pahit. Rasa pahit dari ekstrak disebabkan dari kadaralkaloid
yang terdapat di dalamnya (Anam dkk, 2013).
Kadar airekstrak umbi talas jepang yang diperoleh sebesar 7,01%. Hal ini
telah sesuai dengan persyaratan dimana kadar air seharusnya adalah antara <10%
sehingga ekstrak umbi talas jepang dapat digunakan dalam formulasi mikroemulsi
(Soetarno dan Soediro, 1997). Jika kadar air terlalu tinggi akan memudahkan
sampel tercemar oleh bakteri dan jamur serta menyebabkan ketidakstabilan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

komponen-komponen aktif yang terkandung pada suatu sampel sehingga dapat


menurunkan aktivitas biologi ekstrak selama penyimpanan (Saifuddin, Rahayu,
dan Teruna 2011).
Parameter non-spesifik berikutnya adalah penentuan kadar abu. Uji kadar
abu dilakukan untuk mengetahui kadar zat anorganik dan mineral yang ada dalam
ekstrak. Pada uji kadar abu, ekstrak dipanaskan pada suhu tinggi hingga senyawa
organik dan turunannya terdestruksi dan menguap hingga tersisa unsur mineral
dan unsur anorganik saja (Anam dkk, 2013). Hasil kadar abu yang diperoleh
sebesar 1,54%. Nilai tersebut dimungkinkan karenamasih cukup banyak mineral
yang terkandung di dalam ekstrak tersebut. Akan tetapi, kadar tersebut masih
memenuhi persyaratan dimana kadar abu maksimal dalam Materia Medika
Indonesia adalah 9%.
Setelah itu dilakukan pengujian kelarutan ekstrak dalam akuades. Uji ini
dilakukan untuk melihat sifat kelarutan ekstrak dalam akuades sehingga dapat
ditentukan tipe mikroemulsi yang akan dibuat. Berdasarkan hasil di atas
menunjukan bahwa 1 bagian ekstrak dapat larut dalam 20 bagian akuades
sehingga ekstrak umbi talas jepang dapat dikatakan larut dalam air dan bersifat
hidrofil. Oleh sebab itu, tipe mikroemulsi yang akan dibuat dalam formulasi ini
adalah tipe air dalam minyak (a/m).

4.3 Penapisan Fitokimia


Mutu ekstrak berkaitan dengan kandungan metabolit sekunder dalam
tanaman.Metabolit sekunder adalah senyawa kimia hasil biogenesis dari metabolit
primer yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara
langsung tetapi lebih sebagai hasil dari mekanisme pertahanan diri organisme
yang umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi. Jenis dan kadar
metabolit sekunder memegang peran penting karena perbedaan senyawa secara
teoritis akan memberikan aktivitas farmakologi berbeda untuk tiap ekstrak
sehingga perlu dilakukan penapisan fitokimia untuk mengetahui kandungan
metabolit sekunder yang ada pada ekstrak.
Penapisan fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna
dengan menggunakan suatu pereaksi warna.Pada penelitian ini dilakukan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

penapisan fitokimia terhadap senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin,


steroid, triterpenoid, dan tannin.Hasil penapisan fitokimia pada ekstrak umbi talas
jepang dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2Hasil Penapisan FitokimiaEkstrak Umbi Talas Jepang


Golongan Hasil Keterangan
Alkaloid + Endapan putih (dengan pereaksi Mayer)
Endapan merah bata (dengan perekasi Drangendorff)
Flavonoid + Terbentuk warna merah
Saponin + Terbentuk busa yang stabil
Steroid - Tidak terjadi perubahan warna dari ungu ke biru atau hijau
Triterpeoid + Adanya warna merah kecokelatan
Tannin + Terbentuk warna cokelat kehijauan
Keterangan: (+) = ada
(-) = tidak ada

Pada pengujian alkaloid dilakukan penambahan asam kuat sebelum


ditambahkan pereaksi karena alkaloid bersifat basa sehingga diekstraksi dengan
pelarut yang mengandung asam (Harbone, 1996). Pada pengujian alkaloid akan
terjadi reaksi penegndapan karena adanya penggantian ligan. Atom nitrogen yang
mempunyai pasangan elektron bebas pada alkaloid akan mengganti ion iod dalam
pereaksi Dragendroffdan pereaksi Mayersehingga mengakibatkan terbentuknya
endapan jingga pada penambahan pereaksi Dragendorffdan endapan putih pada
penambahan pereaksi Mayer(Marliana dkk, 2005 dan Sangi dkk, 2008).
Pengujian steroid dan tritepenoid didasarkan pada kemampuan senyawa
untuk membentuk warna dengan asam sulfat pekat dalam pelarut asam asetat
anhidrat (Sangi dkk, 2008).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

Pengujian tannin dilakukan dengan menambahkan FeCl3. Perubahan


warna yang terjadi dikarenakan salah satu gugus hidroksil yang ada akan bereaksi
dengan reagen FeCl3 sehingga dapat terbentuk warna cokelat kehijauan.
Pada pengujian saponin terbentuk buih dengan pengocokan.Hal ini
disebabkan saponin memiliki gugus hidrofil dan hidrofob. Pada saat dikocok,
gugus hidrofil akan berikatan dengan air sedangkan gugus hidrofob akan
berikatan dengan udara sehingga membentuk buih (Kumalasari dan Sulistyani,
2011).
Berdasarkan uji penapisan fitokimia yang telah dilakukan,
memberikanhasil positif pada alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan
tannin serta memberikan hasil yang negatif pada steroid.Hasil ini berbeda dengan
literatur (Wang, 1983)yang menunjukan bahwa terdapat kandungan steroid di
dalamnya.Hal tersebut dimungkinkan karena kadar steroid yang kecil sehingga
tidak dapat terdeteksi secara kualitatif.
Beberapa golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak, dapat
memberikan manfaat untuk kulit, yakni sebagai anti-aging. Senyawa golongan
flavonoid, saponin, dan terpenoid dapat mempercepat proses re-epitalisasi
jaringan epidermis sehingga jaringan yang rusak akan segera tergantikan dengan
jaringan yang baru (Wijaya, Citraningtyas, dan Franly, 2014). Flavonoid,
terpenoid, dan tannin memiliki efek antioksidan untuk menetralkan radikal bebas
yang terbentuk akibat paparan sinar UV sehingga sel-sel kulit terhidar dari
kerusakan (Elsner dan Howard, 2000).Flavonoid dan tannin juga memiliki
aktivitas anti melanogenik sehingga dapat mencegah terjadinya hiperpigmentasi
yang dapat menyebabkan noda hitam pada wajah dengan berperan dalam
menghambat pembentukan melanin dan mencegah terjadinya tanda-tanda penuaan
(Lintner dan Sederma, 2015; Sharma dan Arvind Sharma, 2012). Akan tetapi,
pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian dari aktivitas golongan tersebut
sehingga diperlukan pengujian aktivitas untuk ke depannya.

4.4 Penetapan Kadar Total Polifenol


Polifenol merupakan derivat metabolit sekunder yang berasal dari jalur
pentosa posfat, sikimat, dan fenilpropanoid.(Tura and Robards., 2002; Madsen

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

and Bertelsen., 1999; dan Harbone, 1998).Polifenol merupakan antioksidan


dengan reaksi redoks sebagai agen pereduksi dan donator hidrogen (Pietta, 2000).
Jumlah dari total polifenol ditentukan dengan pereaksi Folin-Ciocalteu. Pereaksi
Folin-Ciocalteu sensitiv untuk mereduksi komponen termasuk polifenol (Savitree,
Isara, Nittaya, dan Worapan., 2004 dan Pourmorad, Hosseinimehr, and
Shahabimajd., 2006). Asam galat dipergunakan sebagai standar dalam pengujian
ini. Kadar total polifenol dinyatakan dalam mg/g asam galat. Asam galat
digunakan sebagai standar karena asam galat merupakan turunan dari asam
hidroksibenzoat yang tergolong fenol sederhana, selain itu asam galat lebih stabil,
serta lebih murah dibandingkan dengan standar yang lainnya.
Prinsip penentuan total senyawa polifenol adalah senyawa fenol yang akan
bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteau akan memberikan warna kuning dan
dengan penambahan alkali akan menghasilkan warna biru. Gugus hidroksil pada
senyawa polifenol bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu membentuk
kompleks molibdenum-tungsten berwarna biru dalam suasana basa agar terjadi
disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat yang dapat dideteksi
dengan spektrofotometer UV-Vis (Alfian, Susanti, 2012).
Berdasarkan hasil uji, didapatkan panjang gelombang maksimum 755
nm.Panjang gelombang maksimum asam galat dalam akuades dapat dilihat pada
lampiran 5.
Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh dengan menggunakan standar
asam galat dalam akuades adalah y = 0,010x + 0,006, dengan koefisien korelasi
(r) adalah 0,9999 dan koefisien determinasi (R²) 0,9997. Nilai koefisien korelasi
(r) yang mendekati 1 dari kurva kalibrasi menunjukkan korelasi antara konsentrasi
dan absorbansi.Nilai koefisien korelasi yang didapatkan memenuhi persyaratan
linearitas validasi metode analisis sehingga dapat digunakan untuk menghitung
kadar total fenolik dalam ekstrak umbi talas jepang (Day dan Underwood,
2002).Adapun kurva kalibrasi tersebut dapat dilihat pada gambar 4.3.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

Tabel 4.3 Nilai Absorbansi Standar Asam Galat


Konsentrasi Absorbansi
(ppm)
0 0
20 0,219
30 0,312
40 0,421
50 0,519
60 0,618
70 0,72
80 0,824

1
0.8
Absorbansi

y = 0,010x + 0,006
0.6 R = 0,9999
0.4
0.2
0
0 50 100
Konsentrasi (µg/ml)

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Akuades

Tabel 4.4 Kadar Total Polifenol Ekstrak Umbi Talas Jepang


Absorbansi Kadar Total Polifenol (mgGAE/100 g)
Pengukuran ke-1 0,334 3280
Pengukuran ke-2 0,321 3150
Rata-rata 0,328 3215

Pengukuran kadar total polifelnol pada ekstrak umbi talas jepang


dilakukan sebanyak dua kali dan didapatkan hasil 0,334 dan 0,321. Setelah
melalui perhitungan, didapatkan nilai kadar total polifenol masing-masing adalah
3280 mgGAE/100 g dan 3150 mgGAE/100 g sehingga didapatkan kadar rata-rata
total polifenol sebesar 3215 mgGAE/100 g atau setara dengan 3,215%.Kandungan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

polifenol total yang ditetapkan menurut metode Folin-Ciocalteu bukan merupakan


kadar absolut, tetapi prinsipnya berdasarkan kapasitas reduksi dari bahan yang
diuji terhadap suatu reduksi ekivalen dari asam galat (Singleton dan Rossi, 1965).
Pada penelitian terdahulu dari tanaman Marrubium peregrinum memiliki
nilai kadar total polifenol sebesai 4678 mgGAE/100 g pada fraksi air dan
menunjukan kadar antioksidan yang kuat (Stankovie, 2011). Nilai kadar total
polifenol dalam ekstrak umbi talas jepang menunjukan nilai yang mendekati kadar
total polifenol dalam tanaman Marrubium peregrinum sehingga dapat
diasumsikan bahwa ekstrak umbi talas jepang juga berkemungkinan memiliki
aktivitas antioksidan yang kuat. Oleh karena itu pada tahap selanjutnya dilakukan
pengujian aktivitas antioksidan pada ekstrak umbi talas jepang.
Kandungan polifenol yang ada di dalam sampel tersebut juga dapat
berperan sebagai penghambat enzim tirosinase yakni enzim yang berperan penting
dalam pembentukan melanin. Polifenol akan berkompetisi dengan L-DOPA yang
merupakan produk dari hidroksilasi L-tirosin untuk berikatan dengan enzim
tirosinase sehingga akan mengurangi pembentukan melanin pada kulit (Ramsden
dan Patrick, 2010). Untuk melihat aktivitas penghambatan enzim tirosinase,
diperlukan penelitian lebih lanjut.

4.5 Uji Antioksidan dengan Metode DPPH


Uji ini dilakukan untuk melihat aktivitas dan kemampuan antioksidan dari
ekstrak tesebut.Uji aktivitas antioksidan ini dilakukan dengan menggunakan
metode perendaman radikal bebas DPPH.Metode ini dipilih karena sederhana,
mudah, cepat, murah, tidak memerlukan banyak reagen, serta memberikan
informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikan stabil (Juniarti dkk,
2009 dalam Desi, 2014; Sunarni, 2005 dalam Angela, 2012).
Pengujian ini dilakukan dengan mengukur absorbansi dari beberapa seri
konsentrasi ekstrak yang telah dibuat sebelumnya, yakni 100 ppm, 300 ppm, 500
ppm, 700 ppm, dan 1000 ppm yang direaksikan dengan pereaksi DPPH pada
panjang gelombang 517 nm. Seri konsentrasi ini dipilih karena menunjukan hasil
absorbansi diantara 0,2-0,8 sehingga masih memenuhi hukum Lambert-Beer.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

Dari hasil absorbansi yang diperoleh, maka akan didapatkan nilai %


inhibisi, dan IC50 dari ekstrak umbi talas jepang. Hasil absorbansi, %inhibisi, dan
IC50 dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5Nilai Absorbansi, % Inibisi, dan IC50Ekstrak Talas Jepang


Sampel Konsentrasi Absorbansi % Inhibisi IC50 (ppm)
(ppm)
100 0,472 13,075
Ekstrak Talas 300 0,440 18,969
Jepang 500 0,407 25,046 1745,909
700 0,383 29,466
1000 0,357 34,254

Berdasarkan nilai pada tabel di atas, dapat diketahui nilai IC50 dari ekstrak
umbi talas jepang sebesar 1745,909 ppm.Berdasarkan literatur (Bois, 1958) dalam
Angela, 2012), aktivitas antioksidan ekstrak umbi talas jepang termasuk dalam
golongan lemah karena memiliki IC50>200 ppm. Nilai tersebutjauh lebih tinggi
dibandingkan estrak lain seperti ekstrak air kentang kuning (82,18 ppm) yang juga
digunakan sebagai zat aktif dalam formulasi kosmetika anti-aging (Angela, 2012).
Hal ini menunjukan bahwa ekstrak umbi talas jepang memiliki kemampuan
antioksidan yang jauh lebih rendah.Hasil tersebut mungkin disebabkan oleh
kandungan polifenol yang terdapat pada sampel telah lebih banyak teroksidasi
sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas anti-aging dari ekstrak talas jepang
bukan berasal dari kemampuannya sebagai antioksidan.

4.6 Formulasi Mikroemulsi


Mikroemulsi merupakan sediaan yang transparan, isotropik, dan stabil
secara termodinamik yang terbuat dari surfaktan, minyak, dan air dengan atau
tanpa kosurfaktan. Mikroemulsi dipilih karena memiliki sifat termodinamis dan
mendukung partisi ke dalam kulit serta dapat mengurangi penghalang difusi dari
stratum korneum dan menunjukan peningkatan dan efisiensi dalam penetrasi
melalui kulit dibandingkan sediaan topikal lainnya (Zhu dan Gao, 2008; Shetye

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

dkk, 2010). Diperlukannya karakter ini dalam formulasi dikarenakan ekstrak umbi
talas jepang yang digunakan sebagai zat aktif bersifat hidrofilik sehingga akan
sulit untuk berpenetrasi sebab kulit memiliki pertahanan yang sulit ditembus oleh
molekul obat yang bersifat hidrofil (Tranggono dan Latifah, 2007).
Mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang dibuat dengan menggunakan
minyak zaitun sebagai fase minyak.Minyak zaitun memiliki khasiat dan manfaat
bagi kesehatan kulit.Minyak zaitun dapat memberikan kelembaban untuk kulit.
Minyak zaitun sangat kompatibel dengan pH kulit dan kaya akan vitamin dan zat-
zat bernutrisi lainnya yang dapat melembutkan dan melindungi kulit (Smaoui,
2012).
Penentuan formula mikroemulsi dilakukan melalui uji pendahuluan
menggunakan kombinasi surfakatan (tween 80 dan span 80) dengan berbagai
variasi konsentrasi.Pada uji pendahuluan juga dilakukan penentuan jenis
kosurfaktan (propilen glikol, gliserin, etanol, dan PEG 400) serta konsentrasinya
yang dapat membentuk mikroemulsi yang jernih dan transparan.Uji pendahulan
juga dilakukan untuk menentukan kondisi pembuatan, meliputi suhu, waktu, dan
kecepatan pengadukan.
Kosurfaktan yang sering digunakan dalam mikroemulsi adalah alkohol
rantai pendek.Kosurfaktan digunakan untuk membantu menstabilkan mikroemulsi
yang telah terbentuk (Subramanian, 2005).Pemilihan beberapa kosurfaktan
tersebut didasarkan karena selain kosurfaktan tersebut dapat membantu kelarutan
zat aktif dan juga dapat berfungsi sebagai sebagai peningkat penetrasi zat aktif ke
dalam kulit.
Pada penelitian ini, digunakan surfaktan nonionik sebagai zat
pengemulsi.Surfaktan nonionik telah digunakan secara luas dalam sediaan topikal
dan dikenal sebagai turunan polioksietilen yang tidak toksik dan tidak mengiritasi
kulit.Golongan surfaktan nonionik juga dapat meminimalisir terjadinya gangguan
keseimbangan pada sistem mikroemulsi karena sifatnya yang tidak memiliki
muatan sehingga dapat mencegah terjadinya fluktuasi muatan pada sistem
mikroemulsi.Golongan ini dapat mengurangi tegangan antarmuka sampai 1
dyne/cm3 sehingga dapat mendukung terbentuknya mikroemulsi (Martin,
Swarbrick, dan Cammarata, 2008).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

Minyak zaitun memiliki nilai HLB 7 dan untuk membentuk mikroemulsi


tipe a/m dengan minyak zaitun diperlukan nilai HLB sekitar 6-9.Oleh karena itu
dibutuhkan jenis surfaktan nonionik yang memiliki nilai HLB yang lebih dekat
dengan nilai HLB di atas, yakni tween 80 dan span 80 yang memiliki nilai HLB
untuk masing-masingnya sebesar 4,3 dan 15. Diharapkan dengan penggunaan
surfaktan dengan nilai HLB yang lebih dekat dengan nilai yang diminta,
emulsifikasi akan lebih cocok. Tween 80 dan span 80 juga memiliki bentuk
berupa cairan kental dalam suhu ruang sehingga tidak diperlukan suhu tinggi
untuk meleburkannya.Suhu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada
komponen senyawa yang ada pada ekstrak sehingga penggunaan suhu tinggi
dalam pembuatan mikroemulsi ini perlu dihindari. Penambahan tween 80 juga
merujuk pada hasil studi pendahuluan yang menunjukan bahwa mikroemulsi yang
dibentuk hanya dengan menggunakan span 80 sebagai surfaktan tunggal
menghasilkan pemisahan fase setelah 2 hari didiamkan. Hal tersebut menunjukan
bahwa penggunaan span 80 belum dapat membentuk mikroemulsi yang stabil
sehingga diperlukan kombinasi dengan surfaktan lain. Tween 80 ditambahkan
dengan harapan dapat lebih banyak mengikat fase air sehingga penggunaan
kombinasi span 80 dengan tween 80 dapat membentuk lapisan monomolekuler
yang lebih kompleks dan menghasilkan sediaan mikroemulsi yang lebih stabil.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

Optimasi Formula Pembuatan Mikroemulsi

Konsentrasi Surfaktan Jenis Kosurfaktan

(Tween 80 dan Span 80) (Propilen Glikol, Gliserin, Etanol,


PEG 400)

Terbentuk Mikroemulsi

Optimasi Kondisi Pembuatan

Suhu Waktu Pengadukan


Kecepatan
(suhu ruang (±25 Pengadukan (10, 20, 30, dan 40
⁰C), 30-35 ± 2 ⁰C, menit)
(300, 500, 750,
36-40 ± 2 ⁰C)
1000, dan 1500
rpm)

Gambar 4.2 Bagan Optimasi Pembentukan Mikroemlsi

Pada uji pendahuluan, hal pertama yang dilakukan adalah menentukan


konsentrasi kombinasi surfaktan yang digunakan. Penggunaan surfaktan dimulai
pada konsentrasi yang terkecil, yakni span 80 10% dan tween 80 5%. Kemudian
diikuti dengan penambahan berbagai jenis kosurfaktan dengan konsentrasi awal
5%. Optimasi konsentrasi terus dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi
masing-masing kosurfaktan dan kemudian tween 80 hingga span 80 untuk
membentuk mikroemulsi yang jernih dan stabil. Apabila dengan meningkatkan
konsentrasi tween 80 belum terbentuk mikroemulsi maka dilakukan peningkatan
konsentrasi span 80 hingga terbentuk mikroemulsi yang jernih dan transparan.
Pada penentuan kosurfaktan, propilen glikol, gliserin, dan etanol
menghasilkan mikroemulsi yang keruh dan mudah terpisah.Sebaliknya,
penggunaan PEG 400 dapat menghasilkan mikroemulsi yang jernih dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

transparan. PEG 400 dapat menghasilkan mikroemulsi pada konsentrasi 5%


sedangkan jika konsentrasi PEG 400 dinaikan akan terbentuk mikroemulsi yang
akan terpisah jika didiamkan. Oleh sebab itu, dipilihlah konsentrasi 5% untuk
PEG 400 sebagai kosurfaktan.Adapun hasil optimasi formula sediaan
mikroemulsi ekstrak talas jepang dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Hasil OptimasiFormula Sediaan Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas


Jepang
Komposisi Konsentrasi dalam Formula (%b/v)
Bahan A B C D E F G H I
Minyak 36,5- 36,5- 36,5- 71,5- 46,5- 36,5- 51,5- 46,5- 41,5-
Zaitun 76,5 76,5 76,5 76,5 66,5 66,5 71,5 60,5 50,5
Vitamin E 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Span 80 10- 10- 10- 10- 20- 10- 10- 21- 21-
40 40 40 15 40 40 20 30 30
Tween 80 - - - - - - 5-15 5-10 15
Propilen 5-15 - - - - - - - -
Glikol
Gliserin - 5-15 - - - - - - -
Etanol - 5-15 - - - - - -
PEG 400 - 5 5 5 5 5-15 5 5 5
Ekstrak 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Akuades 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Keterangan:
1. Formula A tidak menghasilkan mikroemulsi, berwarna kuning keruh, terdapat
endapan, dan memisah jika didiamkan.
2. Formula B tidak tidak terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning keruh,
terdapat endapan, dan memisah jika didiamkan.
3. Formula C tidak terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning keruh, terdapat
endapan, dan memisah jika didiamkan.
4. Formula D terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning jernih, terdapat endapan,
dan memisah jika didiamkan beberapa hari.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

5. Formula E terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning jernih, tidak terdapat


endapan, dan memisah jika didiamkan beberapa hari.
6. Formula F tidak terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning keruh, tidak terdapat
endapan, dan memisah jika didiamkan.
7. Formula G terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning kecoklatan dan jernih,
tidak terdapat endapan, dan memisah jika didiamkan beberapa hari.
8. Formula H terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning kecoklatan dan jernih,
tidak terdapat endapan, dan memisah jika didiamkan.
9. Formula I terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning kecoklatan dan jernih,
tidak terdapat endapan, dan tidak memisah didiamkan.

Hasil optimasi konsentrasi kombinasi surfaktan dan kosurfaktan pada uji


pendahuluan menunjukan bahwakonsentrasi kombinasi surfakatan dan
kosurfaktan yang dapat membentuk mikroemulsi adalah tween 80 15%, span 80
21-30%, dan PEG 400 5%. Berdasarkan hasil tersebut, maka dipilihlah
konsentrasi surfaktan yang lebih rendah dengan komposisi formula, minyak zaitun
48,5%, vitamin E 0,5%, span 80 23%, tween 80 15%, PEG 400 5%, ekstrak umbi
talas jepang 3%, dan akuades 5%.
Hasil optimasi formula di atas digambarakan dengan menggunakan
diagram fase pseudoterner. Diagram fase pseudoterner dibuat dengan komposisi:
a. Surfaktan: Span 80 dan Tween 80
b. Fase Minyak: Minyak Zaitun dan Vitamin E
c. Fase Air: Ekstrak Umbi Talas Jepang, PEG 400, dan akuades.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

Diagram fase pseudoterner dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Keterangan:
Emulsi (No. 7)
Emulsi (No. 8)
Mikroemulsi (No. 9)
Gambar 4.3 Diagram Fase Pseudoterner Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas
Jepang

Diagram fase pseudoterner menunjukan titik daerah terbentuknya


mikroemulsi.Mikroemulsi terbentuk dengan rentang konsentrasi surfaktan 37-
40% (kombinasi tween 80 (15%) dan span 80 (21-30%).Setelah didapatkan
formula mikroemulsi yang sesuai, maka dilakukan optimasi kondisi pembuatan.
Pada optimasi sebelumnya, mikroemusi dibentuk pada suhu ruang (±25 ⁰C)
dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer pada kecepatan 5 (±300 rpm)
selama ±60 menit. Optimasi ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi terbaik
dalam pembentukan mikroemulsi.
Optimasi kondisi yang dilakukan meliputi suhu, kecepatan pengadukan,
dan lama pengadukan. Suhu yang digunakan adalah suhu ruang (±25 ⁰C), 30-35 ±
2 ⁰C, 36-40 ± 2 ⁰C dengan kecepatan pengadukan yakni 300, 500, 750, 1000, dan
1500 rpm serta lama pengadukan 10, 20, 30, dan 40 menit.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

Pada penentuan suhu pembuatan, mikroemulsi terbentuk dalam waktu


yang sangat lama pada suhu ruang sedangkan pada suhu 36-40 ± 2 ⁰C terdapat
endapan yang terbentuk.Hal ini mungkin disebabkan karena lapisan pelindung
yang terbentuk tidak cukup kuat untuk menghalangi terjadinya penggabungan dari
fase dalam (Leon, 1994 dalam Septianingrum 2013).Pada penentuan ini
didapatkan suhu 30-35 ± 2 ⁰C yang dapat membentuk mikroemulsi dalam waktu
yang lebih cepat dibandingkan sebelumnya.
Proses pengadukan konstan dalam optimasi ini dilakukan dengan
menggunakan homogenizer untuk menyesuaikan dengan volume mikroemulsi
akan dibuat. Awalnya, pengadukan dilakukan pada kecepatan yang lebih rendah,
yaitu 300 dan 500 rpm, akan tetapi proses pendispersian berlangsung lama
sehingga mikromulsi akan sulit terbentuk. Selanjutnya dilakukan pengadukan
dengan kecepatan 750 rpm.Pada kecepatan ini dapat dihasilkan mikroemulsi yang
jernih dan transparan dalam waktu yang lebih cepat. Kemudian dicoba
peningkatan pengadukan kembali dengan asumsi mikroemulsi yang terbentuk
akan lebih cepat terbentuk dari sebelumnya, yaitu dengan kecepatan 1000 dan
1500 rpm. Pada kecepatan pengadukan tersebut dihasilkan mikroemulsi yang
berbusa dan akan terpisah menjadi dua lapisan jika didiamkan sehingga dapat
dikatakan mikroemulsi yang terbentuk tidak stabil. Pada pengadukan yang terlalu
cepat akan terjadi turbulensi dimana tetesan-tetesan mikroemulsi akan semakin
mudah berbenturan dan mengakibatkan ukuran partikel mikroemulsi yang
dihasilkan menjadi lebih besar (Lachman et al, 1994). Adanya surfaktan pada
pengadukan yang terlalu cepat akan menghasilkan busa yang lebih banyak (Jufri
M, 2009 dalam Septianingrum 2013).
Pengadukan dilakukan selama 30 menit sebab dengan waktu kurang dari
30 menit masih terdapat butir-butir fase terdispersi sehigga belum dapat
membentuk mikroemulsi.Waktu pengadukan yang lebih dari 30 menit
menyebabkan terbetuknya kabut pada sediaan sehingga sediaan menjadi keruh.
Hal tersebut membuktikan bahwa lamanya pengadukan akan mempengaruhi
pembentukan mikroemulsi. Jika pengadukan terlalu lama, maka mikroemulsi yang
tadinya jernih akan menjadi keruh karena terbentuknya kabut halus akibat
penggumpalan partikel-partikel terdispersi yang saling bertumbukan (Lachman

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

dkk, 1994).Hasil dari optimasi penetuan kondisi pembentukan mikroemulsi dapat


dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7Hasil Optimasi Kondisi Pembentukan Mikroemulsi
Kondisi Pembuatan Hasil
Suhu ruang (± 25 Tidak membentuk mikroemulsi
⁰C)
Suhu (⁰C) 31-35 ± 2 Terbentuk mikroemulsi yang jernih
dan transparan.
36-40 ± 2 Terbentuk endapan pada
mikroemulsi.
±300 dan ±500 Tidak terbentuk mikroemulsi.
Kecepatan ±750 Terbentuk mikroemulsi yang jernih
Pengadukan (rpm) dan transparan
±1000 dan ±1500 Terbentuk mikroemulsi dengan busa
yang banyak dan cepat terjadi
pemisahan.
10-20 Belum terbentuk mikroemulsi.
Waktu Pengadukan ±30 Terbentuk mikroemulsi yang jernih
(menit) dan transparan.
>30 Mikroemulsi yang terbentuk menjadi
berkabut.

Berdasarkan optimasi yang telah dilakukan dalam uji pendahuluan, maka


didapatkan formula dan kondisi terbaik untuk membentuk mikroemulsi ekstrak
umbi talas jepang.Formula inilah yang nantinya akan dievaluasi secara fisik.
Adapun formula dan kondisi terbaik tersebut dapat dilihat pada tabel 4.8.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

Tabel 4.8 Formula dan Kondisi Terbaik Pembentukan Mikroemulsi Ekstrak Umbi
Talas Jepang
Hasil Optimasi Terbaik
Fomula Minyak zaitun 48,5%
Vitamin E 0,5%
Span 80 23%
Tween 80 15%
PEG 400 5%
Ekstrak umbi talas jepang 3%
Akuades 5%
Kondisi Pembentukan Suhu 30-35 ± 2 ⁰C
Kecepatan pengadukan 750 rpm
Lama pengadukan ±30 menit

4.7 Evaluasi Fisik Mikroemulsi


4.7.1 Pemeriksaan Organoleptik
Setelah diperoleh formula untuk pembentukan mikroemulsi, maka
dilakukan evaluasi fisik terhadap sediaan.Evaluasi yang dilakukan meliputi
penentuan organoleptik, homogenitas, tipe emulsi, pH, viskositas, bobot jenis, uji
sentrifugasi, cycling test, dan uji stabilitas.
Pada pengujiaan organoleptik dan homogenitas, diperoleh mikroemulsi
yang jernih dan transparan, berwarna kuning kecokelatan, berbentuk cair, berbau
khas aromatik, dan homogen.Berikut ini merupakan hasil dari pemeriksaan
organoleptik dan homogenitas sediaan mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang:

Tabel 4.9 Hasil Pemeriksaan Organoleptik san Homogenitas


Organoleptik Hasil
Warna Kuning Kecokelatan
Bau Khas Aromatik
Bentuk Cairan Sediki Kental
Homogenitas Homogen

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

Penentuan ukuran partikel dalam evaluasi ini tidak dapat dilakukan.Hal


tersebut dikarenakan tidak ada alat yang memenuhi kualifikasi untuk mengukur
mikroemulsi tersebut.Kemungkinan terjadi fenomena solubilisasi miselar, yakni
pembentukan larutan yang jernih karena molekul-molekul zat terdispersi
berasosiasi dengan misel, dimana terjadi pembentukan misel yang kompleks dan
menyebabkan ukuran droplet mikroemulsi semakin kecil sehingga menjadi sulit
untuk diukur (Puspitasari, 2013).Mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang juga
memiliki viskositas yang cukup besar dibandingkan mikroemulsi pada umumnya
sehingga tidak dapat juga dilakukan pengukuran droplet dengan menggunakan
TM
alat pada umumya (Delsa Nano C (Particle Analyzer)) karena alat tersebut
hanya dapat mengukur partikel dengan viskositas <20 cP.Hal ini disebabkan
ukuran droplet diukur berdasarkan pergerakan dari droplet
mikroemulsi.Viskositas mikroemulsi yang cukup tinggi menyebabkan droplet
yang ada sulit untuk bergerak sehingga menjadi sulit untuk diukur.Oleh sebab
itu,indikator penentuan terbentuknya mikroemulsi hanya dilakukan secara visual,
yakni berdasarkan kejernihanya saja. Indikator lainnya yaitu bentuk droplet yang
sudah tidak terlihat dengan mikroskop optik dengan perbesaran 400.Mikroskop
tersebut hanya dapat memperlihatkan partikel dengan ukuran di atas 1 μm
sehingga dapat disimpulkan droplet mikroemulsi berukuran nano.

4.7.2 Uji pH
Pada penentuaan pH mikroemulsi didapatkan nilai 5,871. Nilai pH
tersebut sesuai karena masih berada dalam kisaran pH kulit, yakni antara 4,5-6,5
(Anwar, 2012).

4.7.3 Uji Viskositas


Viskositas adalah sifat yang menentukan besar daya tahannya terhadap
gaya geser (Karyono, 2008). Dari pengujian, diketahui nilai viskositas
mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang sebesar 364 cP dengan menggunakan
spindel R2 pada kecepatan 30 rpm.Nilai tersebut dapat dikatakan cukup besar
dibandingan sediaan mikroemulsi pada umumnya. Hal tersebut mungkin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

dikarenakan penggunaan bahan yang digunakan serta tipe mikroemulsi yang akan
dibentuk. Tipe reologi pada mikroemulsi berupa sistem aliran Newton.Sebuah
cairan Newton didefinisikan sebagai fluida yang tegangan gesernya berbanding
lurus secara linier dengan gradien kecepatan pada arah tegak lurus dengan bidang
geser. Cairan Newton akan mengalir terus tanpa dipengaruhi gaya-gaya yang
bekerja pada cairan (Karyono, 2008).Hasil ini menunjukkan bahwa droplet yang
terbentuk sangat kecil sehingga sediaan yang terbentuk menyerupai larutan atau
cairan sejati dan dapat dengan mudah mengalir.

Tabel 4.10 Nilai Viskositas Mikroemulsi pada Berbagai Kecepatan


Kecepatan %Torque Viskositas
(rpm) (cP)
5 4,3 346
6 5,3 357
10 8,9 358
12 10,7 359
20 18,1 363
30 27,3 364
50 45,8 367
60 55,3 369
100 94 376
60 56,4 375
50 47 366
30 27,2 363
20 18 360
12 10,7 359
10 8,8 355
6 5,2 350
5 4,1 335

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

120

Kecepatan Geser (rpm)


100

80

60

40

20

0
0 20 40 60 80 100

%Torque

Gambar 4.4Reogram Awal Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang

4.7.4 Penentuan Tipe Mikroemulsi


Penentuan tipe mikroemulsi dilakukan dengan menggunakan metode
pengenceran.Metode ini dipilih karena pengerjaannya yang mudah dan
cepat.Pengenceran mikroemulsi dilakukan dengan menggunakan air.Jika
mikroemulsi tersebut bercampur sempurna dengan air, maka ia termasuk bertipe
minyak dalam air (m/a) dan jika ia membetuk globul-globul dalam fase
pendispersi, maka termasuk dalam tipe air dalam minyak (a/m). Pada pengujian
ini dihasilkan mikroemulsi dengan tipe air dalam minyak (a/m) karena air yang
ditambahkan tidak dapat bercampur sempurna dengan mikroemulsi.Air tersebut
membentuk globul-globul dalam mikroemulsi.

4.7.5 Pengukuran Bobot Jenis


Bobot jenis adalah perbandingan bobot zat di udara pada suhu yang telah
ditetapkan terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama (Anonim,
1995). Pengukuran bobot jenis yang dilakukan dengan menggunakan piknometer
pada suhu kamar, menunjukan bobot jenis mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang
sebesar 0,958 g/ml. Hal ini menggambarkan besarnya massa per satuan volume.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

4.7.6 Uji Sentrifugasi


Uji sentrifugasi dilakukan dengan menggunakan sentrifugator.Uji
sentrifugasi dilakukan untuk mengetahui kestabilan mikroemulsi.Sediaan
mikroemulsi yang telah selesai dibuat, kemudian disentrifugasi pada kecepatan
13.000 rpm pada suhu ±25⁰C selama 30 menit.Hasil dari sentrifugasi menujukan
tidak ada pengendapan ataupun pemisahan fase yang terjadi sehingga mikroemulsi
dapat dikatakan stabil.

4.7.7 Cycling Test


Cycling testmerupakan kondisi percepatan dengan adanya fluktuasi suhu
untuk menentukan kestabilan produk selama penyimpanan.Cycling testdilakukan
untuk melihat apakah terjadi kristalisasi, pemisahan fase, kehilangan viskositas,
agregasi, dan pengendapan, dimana perubahan yang terjadi bersiat reversibel atau
sebaliknya (Huynh-BA, Kim, 2008 dan Rahmawati, 2003).Cycling test dilakukan
dengan menguji kestabilan mikroemulsi secara bergantian pada suhu dingin (4 ± 2
⁰C) dan suhu tinggi (40 ± 2 ⁰C), masing-masing temperatur selama 24
jam.Pengujian ini dilakukan sebanyak 6 siklus.Setiap pergantian siklus, dilakukan
pengamatan terhadap mikroemulsi.Setelah siklus berakhir juga dilakukan
pengamatan secara makrokopis dan dilakukan pengujian pH.Hasil dari
pengamatan, ditunjukan dalam tabel berikut:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

Tabel 4.11 Hasil Pengamatan Organoleptik Mikroemulsi pada Cycling


Test
Siklus Organoleptik
Siklus 1 ME berwarna kuning kecoklatan, berbau
khas, tetap jernih, dan tidak terjadi
pemisahan.
Siklus 2 ME berwarna kuning kecoklatan, berbau
khas, tetap jernih, dan tidak terjadi
pemisahan.
Siklus 3 ME berwarna kuning kecoklatan, berbau
khas, tetap jernih dengan sedikit kabut di
bagian atas.
Siklus 4 Terjadi creaming
Siklus 5 Terjadi creaming
Siklus 6 Terjadi creaming

Dari hasil pengamatan, pada siklus ketiga muncul kabut pada bagian atas
mikroemulsi dan setelah siklus keempat terjadi pemisahan fase.Hal tersebut
dimungkinkan karena kurang stabilnya komponen zat aktif yang ada sehingga
mempengaruhi susunan dan stabilitas mikroemulsi.Akan tetapi hal tersebut
bersifat reversibel. Kabut yang ada akan hilang setelah didiamkan dan setelah
dilakukan pengocokan pemisahan fase berupa creamingjuga akan menghilang
karena fase air akan terdispersi kembali ke dalam fase pendispersinya (fase
minyak). Sedangkan untuk pengujian pH pada hasil cycling test, didapatkan nilai
5,361.Hal ini menunjukan terjadinya penurunan pH. Minyak zaitun sebagian besar
terdiri dari asam lemak tak jenuh, dan jika terhidrolisis akan menghasilkan asam
karboksilat (Sastrohamidjojo H, 2005). Asam karboksilat tersebut kemungkinan
yang menyebabkan terjadinya penurunan pH pada sediaan. Akan tetapi penurunan
pH tidak terlalu signifikan sehingga tidak akan terlalu berpengaruh.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

4.7.8 Uji Stabilitas


Stabilitas didefinisikan sebagai kemapuan suatu produk untuk bertahan
dalam durasi batas spesifikasi yang ditetapkan.Sepanjang periode penyimpanan
dan penggunaan untuk menjamin identitas kekuatan, kualitas, dan kemurnian
produk tersebut.
Uji stabilitas mikroemulsi pada tiga suhu yang berbeda, yakni suhu
rendah(4±2 ⁰C), suhu ruang(25±2 ⁰C), dan suhu tinggi (40± 2 ⁰C) uji ini
dilakukan selama satu bulan. Setiap 2 minggu sekali dilakukan pengamatan secara
makroskopis.Setelah empat minggu, kemudian dilakukan penentuan pH,
viskositas, dan tipe aliran mikroemulsi.Setelah dilakukan pengujian stabilitas
didapatkan hasil yang dapat dilihat pada tabel 4.12 dan tabel 4.13.

Tabel 4.12Hasil Pengamatan Makroskopis Mikroemulsi pada Berbagai Suhu


Suhu Minggu Organoleptik
(⁰C) Warna Kejernihan Bau Endapan/Pemisahan
Fase
2 Kuning Jernih Khas -
kecoklatan Aromatik
4 4 Kuning Jernih Khas -
kecoklatan Aromatik
2 Kuning Jernih Khas -
kecoklatan Aromatik
25 4 Kuning Jernih Khas -
kecoklatan Aromatik
2 Lapisan Masing- Khas +
atas masing Aromatik
berwarna lapisan
kuning jernih
dan
lapisan
40 bawah
berwarna

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

coklat
4 Lapisan Masing- Khas +
atas masing Aromatik
berwarna lapisan
kuning jernih
dan
lapisan
bawah
berwarna
coklat

Tabel 4.13Hasil Pengukuran pH dan Viskositas Mikroemulsi Setelah Empat


Minggu
Suhu (⁰C) pH Viskositas (cP)
0 5,871 364
4 5,776 437
25 5,527 367
40 5,566 269

Dari data pengamatan makroskopis menunjukan bahwa sediaan


mikroemulsi yang disimpan pada suhu ruang dan suhu rendah tidak menunjukan
adanya perubahan, sediaan tetap jernih dan transparan.Sediaan yang disimpan
pada suhu tinggi mengalami pemisahan fase berupa creamingsejak dua minggu
pertama pengamatan degan kondisi sama seperti pada hasil pengujian cycling test.
Sama seperti sebelumnya, hal tersebut dimungkinkan karena danya pengaruh dari
kestabilan komponen zat aktif yang ada di dalamnya. Setelah dilakukan
pengocokan pun, mikroemulsi akan kembali ke keadaan semula, yakni menjadi
jernih dan transparan kembali.
Setelah selesai masa uji stabilitas pada tiga suhu yang berbeda,
dilakukakan pengujian pH mikroemulsi Hasil yang didapatkan, menunjukan
terjadinya penuruna pH.Pada suhu ruang pH menjadi 5,527.Pada suhu rendah
menjadi 5,776, dan pada suhu tinggi menjadi 5,566.Meskipun demikian,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


55

penurunan yang terjadi tersebut tidak terlalu jauh dari pH awal sediaan dan masih
masuk dalam rentang pH kulit.Sedangkan untuk pengujian viskositas sediaan pada
suhu rendah, suhu ruang, dan suhu tinggi, masing-masingnya menunjukan nilai
437 cP, 367 cP, dan 269 cP. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi suhu
penyimpanan akan menurunkan viskositas sediaan mikroemulsi, dan begitu pun
sebaliknya. Semakin rendah suhu penyimpanan akan meningkatkan viskositas
sediaan mikroemulsi sedangkan penyimpanan mikroemulsi pada suhu ruang juga
menghasilkan kenaikan viskositas mikroemulsi. Hal ini sesuai dengan teori yang
menunjukkan bahwa masa penyimpanan akan meningkatkan viskositas sediaan
(Lachman et al, 1994). Akan tetapi kenaikan yang terjadi tidak begitu signifikan.
Berdarkan hasil evaluasi fisik sediaan, menunjukan bahwa sediaaan
mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang stabil pada kondisi ruang (25 ± 2 ⁰C) dan
suhu rendah (4 ± 2 ⁰C) sedangkan pada suhu tinggi (40 ± 2 ⁰C) akan menjadi
tidak stabil karena adanya pemisahan fase.
Berdasarkan keterang di atas diperoleh mikroemulsi yang jernih dan
transparan dengan komposisi 48,5% minyak zaitun, 0,5% vitamin E, 23% span
80, 15% tween 80, 5% PEG 400, 3% ekstrak umbi talas jepang, 3% akuades
dengan kecepatan pengadukan ±750 rpm, rentang suhu 31-35 ⁰C selama ±30
menit.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Mikroemulsi yang mengandung ektrak umbi talas jepang dapat terbentuk


dengan menggunakan kombinasi surfaktan tween 80 dan span 80 dengan
konsentrasi masing-masing adalah 15% dan 23%.
2. Kosurfaktan yang mampu mendukung terbentuknya mikroemulsi ekstrak
umbi talas jepang adalah polietilen glikol 400 (PEG 400) dengan konsentrasi
5%.
3. Mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang stabil secara fisik pada suhu ruang (25
± 2 ⁰C) dan suhu rendah (4 ± 2 ⁰C) dan tidak stabil pada suhu tinggi (40 ± 2
⁰C).

5.2 Saran
1. Perlunya dilakukan optimasi formula untuk menghasilkan mikroemulsi
ekstrak umbi talas jepang yang stabil secara fisik.
2. Perlunya dilkukan pengujian aktivitas mikroemulsi untuk melihat
kestabilannya secara kimia.

56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Riza. Susanti, Hari. 2012. Determination of total phenolic content of


methanolic extracts red rosell (Hibiscus sabdariffa L.) calyxs in variation
of growing area by spectrophotometry. Yogyakarta: Fakultas Farmasi,
Universitas Ahmad Dahlan. 02 (1): 73-80.

Anam, Syariful., Muhammad, Muhammad Yusran., Alfred Trisakti, Nurlina


Ibrahim, Ahmad Khumaidi, Ramdanil, dan Muhammad Sulaiman Zubair.
2013. Standarisasi Ekstrak Etil Asetat KayuSanrego (Lunasia amaru
Blanco). Online Jurnal of Natural Science., Vol. 2 (3): 1-8.

Andirisnanti, Wanda Anggi. 2012. Uji Manfaat Ektrak Kolagen Kasardari


Teripang Stichopus hermanni Sebagai Bahan Pelembab Kulit.Tesis.
Jurusan Farmasi Univesitas Indonesia.

Anonim. 2000. Parameter Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Edisi 1. Dirjen POM,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi 4. Jakarta: UI Press.

Anwar, Effionora. 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi. Karakterisasi dan


Aplikasi. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Baboota, S., Al-Azaki, Kohli, Dixit, Shakeel. 2007. Development and Evaluation
of a Microemulsion Formulation for Transdermal Delivery of Terbinafine.
PDA J. Pharm. Sci. Technol., Vol 61: 276-285.

Bebeja.2014. http://www.bebeja.com/peluang-bisnis-berkebun-talas-
safira/.Diaksespadatanggal 17 Februari 2015.

Chen, C., Pearson, M.A., Gray, I.J. 1992. Efects of Synthetic Antioxidants (BHA,
BHT, and PG) on The Mutagenicity of IQ-like Compounds. Food Chem.
43: 177-183.

Cho, Y. H., Kim S., Bae EK., Mok CK., Park J. 2008. Formulation of
Cosurfactan-free O/W Microemulsion Using Nonionic Surfactan
Mixtures.J. Food Sci., Vol. 73 (3): 115-121.

Cunningham W. 1998. Aging and Photo-aging. Dalam: Baran R, Maibach HI


editor. Textbook of Cosmetic Dermatology, Edisi ke-2. London: Martin
Dunitz.

xvii
Daniel, S., Reto, M., and Fred, Z., Collagen Glycation and Skin Aging Cosmetic
and Tolletries Manufacture Worldwide. 1-6.

Djajadisastra, J. Mun’im, A., Desi, N.P. 2009. Formulasi Gel


TopikaldariEkstrakNerii Folium dalamSediaanAntijerawat.JurnalFarmasi
Indonesia., Vol. 4 (4): 210-216.

Elsner, P and Howard I.M. 2000.Coesmeceuticals Drug Vs Cosmetics. Marcel


Dekker Inc. New York.

Fatmawaty, Aisyah., Apolarosa Tjendra., Radhia Riski., dan Michrun Nisa. 2012.
Formulasi, Evaluasi Fisik dan Permeasi Krim Pemutih Asam Kojat dengan
Variasi Enhancer. Majalah Farmasi dan Farmakologi., Vol. 15, No. 3,
Hlm. 139-142.

Fauzy, Aprilia. 2002. Pengaruh Konsentrasi Minyak Ikan Terhadap Penetrasi


Kurkumin dalam Sediaan Mikroemulsi Gel.Skripsi.Jurusan Farmasi
Universitas Indonesia.

Fisher, G. J., Wang, Z., Datta, S. C., Varani, J., Kang, S., and Voorhees, J.J.
1997.Pathophysiology of Premature Skin Aging Induced by Ultraviolet
Light. The New England Journal of Medicine., Vol. 337 (20): 1419-1428.

Flanagan, J. and Singh. 2006, Microemulsion: a Potential Delivery System for


Bioactives in Food. Crit. Rev. Food Scie Nut., Vol. 46: 221-23.

Flanagan, J. dan Singh. 2006. Microemulsion: a Potential Delivery System for


Bioactives in Food. Crit. Rev. Food Sci. Nut., Vol. 46: 221-237.

Harbone, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.

Harun, Desi Syifa Nurmillah. 2014. Formulasi dan Uji Aktivitas Antioksidan
Krim Anti-Aging Ekstrak Etanol 50% Kulit Buah Manggis (Garcinia
mangostana L.) dengan Metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picril Hydrazil).
Skripsi. Jurusan Farmasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Hearing VJ. 2005. Biogenesis of Pigment Granules a Sensitive Way to Regulate


Melanocyte Function. Journal of Dermatological Science., Vol. 37: 3-14.

Helfrich, Y.R., Sach, D.L., and Vorhees, J.J. 2008.Overview of Skin Aging and
Photoaging.Dermatology Nursing., Vol. 20 (30): 177-183.

Helmi, A., Nelmi, A., Dian, H, dan Rosalinda, R. 2006. Standarisasi Ekstrak
Etanol Daun Eugenia cumini Merr. J. SainsTek., Vol. 11 (2): 88-93.

xviii
I.D.A.D.Y., Dewi.,Astuti K.W., Warditianti N.K. Identifikasi Kandungan Kimia
Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.). Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

Irawan, Daisy., C. Hanny Wijaya., Suwido H. Limin., Yasuyuki Hashidoko.,


Mitsuru Osaki., and Ici P Kulu. 2006. Ethnobotanical Study and Nutrient
Potency of Local Traditional Vegetables in Central Kalimantan. Tropics.,
Vol. 15 (4).

Kahl, R., Kappus, H. 1993. Toxicology of the Synthetic Antioidants BHA and BHT
in Comparison with the Natural Antioxidant Vitamin E. Z. Lebensm.
Unters. Forsch. 196: 329-338.

Kim, Ki Hyun., Eunjung, Moon, Sun Yeo, Kim, and Kang, Ro Lee. 2010. Anti-
melnogenic Fatty Acid Derivates from the Tuber-barks of Colocasia
antiquorum var. esculenta. Bull. Korean Chem. Soc., Vol. 31, No. 7.

Kreilgaard, M., et al. 2000.NMR Characterization and TransdermL Delivery


Potential of Microemulsion System.J. Control. Rel., Vol. 69: 421-433.

Kumalasari, E. dan N. Sulistyani. 2011. Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol


Batang Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steen.) Terhadap Candida
albicans serta Skrining Fitokimia. Jurnal Ilmiah Kefarmasian., Vol. 1 (2):
51-62.

Kumesan, Yuni Arista N., dkk. 2013. Formulasi dan Uji Aktivitas Gel Antijerawat
Ekstrak Umbi Bakung (Crinum Asiaticum L.) terhadap Bakteri
Staphylococcus Aureus secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Farmasi.,
UNSTRAT Vol. 2 (02).

Lapie’re CM. 1990. Vieillissement de la peauettis suconjonctif. In: Symp Soc


CosmSci: Skin Ageing Causes and Prevention. Blois, France: Pralon
graphic 93250: 157-70.

Lintner, Karl dan Sederma France. Substantions of Skin Whitening Claims.


Diambil dari
www.incosmeticsasia.com/files/pres_wkshp1_substantiation_of_skin_whit
ening_claims.pdf diakses pada tanggal 23 Januari 2015 pukul 16.10 WIB.

Mackiewicz, Z and Rimkevicius, A. 2008. Skin Aging. Gerontologija., Vol. 9 (2):


103-108.

Madan, Amit., Abishek, Arun., and Sudeep, Verma. 2014. An Open Label, Non
Comparative, Non-randomized, Pilot Study to See the Efficacy and Safety
of Anti Wrinkle Cream in the Treatment of Facial Skin Wrinkles.
International Journal of Advanced Research., Vol. 2: 350-355.
Madsen, H.L. and Bertelsen, G. 1999. Trends Food Sci. Technol., Vol. 6: 271-
277.

xix
Marliana, S.D., Suryanti, V., dan Suyono.2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia BuahLabu Siam (Sechiu
medule Jacq.Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi., Vol. 3 (1): 26-
31.

Martin, Alfred.,Swarbrick, James., danCammarata, Arthur. 2008. FarmasiFisik.


Jakarta: PenerbitUniversitas Indonesia (UI-Press).

Maurya, Sunita and Dhananjay Singh. 2010. Quantitative Analysis of Total


Phenolic Content in Adhatodavasica Nees Extracts. International Journal
of Pharm Tech., Vol. 2 (4): 2403-2406.

Mitsui, t. 1993.New Cosmetic Science. Japan: Nanzando Ltd.

Okamoto, S. 1967. Glycolic Acid Oxidase Activity in Crop Plants.Soil Sci. Plant
Nutr., 13: 133-142.

Pietta, P.G. 2000. J. Nat. Prod., Vol. 63: 1035-1042.

Pindha IGAS. 2000. Kelainan Kulit pada Penuaan Dini. Dalam Terobosan
Peremajaan Kulit di Era Milenium Baru. Bali.

Pontis, Alves Jonierison. Costa, Luiz Antonio Mendonca Alves. Silva, Silvio Jose
Reis. Flach, Adriana. 2014. Color, phenolic and flavonoid content, and
antioxidant activity of honey from roraima. Food Science and Technology.
Brazil: Campinas., 34(1) : 69-73. ISSN 0101-2061. Diakses 10 Desember
2014.

Pourmorad, F., Hosseinimehr S.J., and Shahabimajd N. 2006.Antioxidant


Activity, Phenol and Flavonoid Contents of Some Selected Iranian
Medicinal Plants.African Journal of Biotechnology.,Vol. 5 (11): 1142-
1145.

Ramsden, C. A dan Patrick, A. R. 2010.Mechanistic Studies of Tyrosinase Suicide


Inactivation.Special Issue Review and Accounts: 260-274.

Ratnayani, Ketut A.A.I.A. dkk. 2012. Kadar total senyawa fenolat pada madu
randu dan madu kelengkeng serta uji aktivitas antiradikal bebas dengan
metode DPPH (Difenilpikril Hidrazil). Jurnal Kimia. Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran. 6(2) : 163-168.

Rendon-Pellerano MI, Bemstein EF. 1996. Xerosis and Photo-aging. J. Geriatr


Dermatol., Vol. 4: 12B-16B.

Rhee, Y.S., et al. 2001. Transdermal Delivery of Ketoprofen Using


Microemulsion., Int. J. Pharm., Vol. 228: 167-170.

xx
Saifuddin, A., Rahayu, V., danTeruna, H.Y. 2011. Standarisasi Bahan Obat
Alam. Yogyakarta: GrahaIlmu.

Sangi, M., M.R.J. Runtuwene., H.E.I Simbala., V.M.A Makang.2008. Analisis


Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara.Chem. Prog.,
Vol. 1 (1): 47-53.

Savitree, M., Isara P., Nittaya S.L., and Worapan S. 2004. Radical Scavenging
Activity and Total Phenolic Content of Medical Plants Used in Primary
Health Care. Journal of Pharm. Sci., Vol. 9 (1): 32-35.

Sharma, Bhumika., and Arvind Sharma. 2012. Future Prospect of Nanotechnology


in Development of Anti-Aging Formulations. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences., Vol. 4.

Soepardiman L. 2003. Etiopatogenesis Kulit Menua. Dalam Wasitaatmadja SM,


Menaldi SL, editor. Peremajaan Kulit. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperwatan. Jakarta: EGC.

Tranggono, Retno Iswari dan Fatma Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu
Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tura, D. and Robards, K.J. 2002.Chromatogr. A.,Hlm. 71-93.

Uitto J. 1997. Understanding Premature Skin Aging.N Engl J Med 337: 1462-
1465.

Wang, Jaw-Kai.1983. Taro A Review of Colocasi aesculenta and Its Potentials.


Honolulu: University of Hawaii Press.

Wang, Jaw-Kai.1983. Taro A Review of Colocasia esculenta and Its Potentials.


Honolulu: University of Hawaii Press.

Wasiaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press.

Wijaya, Bryan Alfonsius., Gayatri, Citraningtyas., dan Frenly, Wehantouw. 2014.


Potensi Ekstrak Etanol Tangkai Daun Talas (Colocasia esculenta (L.))
Sebagai Alternatif Obat Luka pada Kulit Kelinci (Oryctolagus cuniculus).
Jurnal Ilmiah Farmasi., Vol. 3, No. 3.

Yaar M and Gilchrest B A. 2007.Photoageing: Mecanism, Prevention, and


Therapy. British Journal of Dermatology 157: 874-887.

Yuwanti, S., et al. 2011.Formulasi Mikroemulsi Minyakdalam Air (O/W) yang


Stabil Menggunakan Kombinasi Tiga Surfaktan Non Ionik dengan Nilai
HLB Rendah, Tinggi, danSedang.Agritech., Vol. 31 (1): 4-6 (Abstr.).

xxi
Zhu, W. danGao, J. 2008. The Use of Botanical Extracts as Topical Skin-
Lightening Agents for The Improvement of Skin Pigmentation Disorder. J.
Investig. Dermatol.Symp. Proc., Vol. 13: 20-24.

xxii
LAMPIRAN

xxiii
57

Lampiran 1. Alur Penelitian

EkstrakTalasJepang

UjiAktivitasAntioksi
UjiKadar Total Polifenol KarakterisasiEkstrak
danEkstrak

Mikroemulsi

EvaluasiFisikMikroemulsi

PemeriksaanOrganoleptik PengukuranBobotJenis UjiStabilitas

Uji pH PenentuanUkuran Droplet Cycling Test

UjiViskositas PenetuanTipeMikroemmulsi UjiSentrifugasi

AnalisaHasilEvaluasiFisikMikroemulsi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Lampiran 2. Hasil Determinasi Tanaman

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

Lampiran 3. Gambar Hasil Penapisan Fitokimia


Golongan Hasil Keterangan
Alkaloid
Pereaksi Mayer Adanyan endapan
berwarna putih

Pereaksi Dragendorf Adanya endapan


berwarna merah bata

Flafonoid Terbentuk warna


merah pada lapisan
etanol

Tanin Terbentuk warna


cokelat kehijauan

Steroid Terbentuk warna ungu


kecokelatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

Terpenoid Terbentuk warna merah


kecokelatan

Saponin Terbentuk busa yang


stabil

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

Lampiran 4. Perhitungan Parameter Non Spesifik Ekstrak Umbi Talas Jepang


1. Kadar air
0,1 gram − 20,438 − 20,345 gram
% KadarAir = × 100% = 7,01%
0,1 gram

2. Kadar abu
31,784gram − 30,799gram
% KadarAbu = × 100% = 1,54%
1 gram

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Lampiran 5. Perhitungan dan Hasil Penetapan Kadar Total Polifenol


1. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam akuades

2. Perhitungan Kadar Total Senyawa Polifenol Ekstrak Umbi Talas Jepang


Kadar ekivalen asam galat :

Absorbansi ke-1 = 0,334

y = 0,010x + 0,006

0,334 = 0,010x + 0,006

0,010x = 0,334 – 0,006

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

x = 32,8 µgGAE/mL

Kadar ekivalen asam galat untuk volume 10 mL = 32,8 µgGAE/mL x 10 mL

= 328 µgGAE

Kandungan fenol total (p):

328 µgGAE/10 mg = p mgGAE /100 g

328 x 10ˉ³ mgGAE /10 mg = p mgGAE/100 g

328 x 10ˉ³ mg GAE x 100000 mg = 10 mg p

32800 mg = 10 mg p

p = 32800 mg / 10 mg

= 3280 mg

Kandungan fenol total ekstrak umbi talas jepang = 3280 mgGAE/100 g


sampel.

Absorbansi ke-2 = 0,321


y = 0,010x + 0,006

0,321 = 0,010x + 0,006

0,010x = 0,321 – 0,006

x = 31,5 µgGAE/mL

Kadar ekivalen asam galat untuk volume 10 mL = 31,5 µgGAE/mL x 10 mL

= 315 µgGAE

Kandungan fenol total (p):

315 µgGAE/10 mg = p mgGAE /100 g

315 x 10ˉ³ mgGAE /10 mg = p mgGAE/100 g

315 x 10ˉ³ mg GAE x 100000 mg = 10 mg p

31500 mg = 10 mg p

p = 31500 mg / 10 mg

= 3150 mg

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Kandungan fenol total ekstrak umbi talas jepang = 3150 mgGAE/100 g


sampel.
3280 mgGAE/100 g + 3150 mgGAE/100 g
Rata − rata kadar fenol total =
2
= 3215 mgGAE/100 g

= 3,215 gGAE/100 g

= 3,215%

Lampiran 6. Hasil dan Perhitungan Aktivitas Antioksidan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

Pembuatan larutan uji antioksidan ekstrak


1. Pembuatan larutan DPPH (0,1 Mm)
Bobot DPPH yang ditimbang:
x (mg) 1000
0,1mM = ×
394,32 50 ml
1971,6
𝑥=
1000

X = 1,972 mg

2. Pembuatan Larutan Ekstrak

Larutan ekstrak

 Konsentrasi larutan 100 ppm

V1.M1 = V2.M2

V1.1000 ppm = 10 ml.100 ppm

V1 = 1 ml (jumlah yang dipipet dari larutan induk 1000 ppm)

Kemudian ditambahkan methanol hingga 10 ml pada labu ukur.

 Konsentrasi larutan 300 ppm

V1.M1 = V2.M2

V1.1000 ppm = 10 ml.300 ppm

V1 = 3 ml (jumlah yang dipipet dari larutan induk 1000 ppm)

Kemudian ditambahkan methanol hingga 10 ml pada labu ukur.

 Konsentrasi larutan 500 ppm

V1.M1 = V2.M2

V1.1000 ppm = 10 ml.500 ppm

V1 = 5 ml (jumlah yang dipipet dari larutan induk 1000 ppm)

Kemudian ditambahkan methanol hingga 10 ml pada labu ukur.

 Konsentrasi larutan 700 ppm

V1.M1 = V2.M2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

V1.1000 ppm = 10 ml.700 ppm

V1 = 7 ml (jumlah yang dipipet dari larutan induk 1000 ppm)

Kemudian ditambahkan methanol hingga 10 ml pada labu ukur.

3. Kurva hasil pengukuran absorbansi dan % inhibisi ekstrak umbi talas


jepang

Kurva Uji Antioksidan Ekstrak Umbi


Talas Jepang
40

30 y = 0.022x + 11.47
% Inhibisi

R² = 0.995
20
Kurva Uji Antioksidan
10 Ekstrak Umbi Talas
Jepang
0
0 500 1000 1500
Konsentrasi ekstrak (ppm)

Kurva Perbandingan antara Konsentrasi (ppm( dengan % Inhibisi.

4. Perhitungan % inhibisi, IC50, dan AAI ekstrak umbi talas jepang

 % Inhibisi ekstrak umbi talas jepang

Diketahui absorbansi blanko

0,543 − 0,472
% Inhibisi 100 ppm = × 100% = 13,075%
0,543

0,543 − 0,440
% Inhibisi 300 ppm = × 100% = 18,969%
0,543

0,543 − 0,418
% Inhibisi 500 ppm = × 100% = 23,020%
0,543

0,543 − 0,395
% Inhibisi 700 ppm = × 100% = 27,256%
0,543

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

0,543 − 0,359
% Inhibisi 1000 ppm = × 100% = 33,886%
0,543

5. Perhitungan IC50 dan AAI

 Nilai IC50 dan AAI ekstrak umbi talas jepang

Diketahui persamaan kurva uji antioksidan ekstrak: y = 0,022x + 11,47

50 = 0,022x + 11,47

x = 1751,364 ppm

Diketahui konsentrasi DPPH = 39,44 ppm

39,44 ppm
AAI ekstrak =
1751,364 ppm

AAI ekstrak = 0,023

Lampiran 7. Nilai viskositas mikroemulsi pada berbagai kecepatan

ME Spindel Kecepatan %Torque Viskositas

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

(rpm) (cP)
ME 2 5 4,3 346
awal 6 5,3 357
10 8,9 358
12 10,7 359
20 18,1 363
30 27,3 364
50 45,8 367
60 55,3 369
100 94 376
60 56,4 375
50 47 366
30 27,2 363
20 18 360
12 10,7 359
10 8,8 355
6 5,2 350
5 4,1 335
ME 5 4,4 352
suhu 6 5,3 354
25 ⁰C 10 8,9 357
12 10,8 360
20 18,3 366
30 27,5 367
50 46,1 369
60 55,5 370
100 94,7 378
60 55,8 372
50 46,2 370
30 27,5 368
20 18,3 367
12 10,9 365
10 9,1 364
6 5,3 359
5 4,4 357
ME 5 1,9 129
suhu 6 2,6 178
40 ⁰C 10 5,6 225
12 7,3 245
20 13,1 263
30 20,1 269
50 33,3 267
60 49,6 278
100 50,4 336
60 44,5 297

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

50 35,6 285
30 20,6 275
20 13,3 266
12 7,4 247
10 5,6 227
6 2,2 177
5 1,6 131
ME 5 5,2 421
suhu 6 6,2 419
4 ⁰C 10 10,5 420
12 12,6 422
20 21,5 431
30 32,7 437
50 55,5 444
60 67,2 509
100 96 522
60 75,4 517
50 62,3 509
30 32,6 435
20 13 436
12 12,6 420
10 10,7 429
6 6,3 425
5 5 406

Название диаграммы
120
Kecepatan Geser (rpm)

100
80
60
40
Ряд1
20
0
0 20 40 60 80 100
%Torque

Reogram Awal Mikroemulsi Herba Umbi Talas Jepang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

120

Kecepatan Geser (rpm)


100

80

60

40

20

0
0 20 40 60 80 100

%Torque
Reogram Mikroemulsi Herba Talas Jepang Setelah Masa Penyimpanan pada Suhu
Ruang (25 ± 2 ⁰C)

120
Kecepatan Geser (rpm)

100
80
60
40
20
0
0 10 20 30 40 50 60

%Torque

Reogram Mikroemulsi Setelah Masa Penyimpanan pada Suhu Tinggi (40 ± 2 ⁰C)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

120

Kecepatan Geser (rpm)


100

80

60

40

20

0
0 20 40 60 80 100 120

%Torque

Rheogram Mikroemulsi Setelah Masa Penimpanan pada Suhu Rendah (4 ± 2 ⁰C)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

Lampiran 8. Gambar Hasil Penelitian

Hasil Uji Kadar Total Polifenol Hasil Uji Antioksidan, konsentrasi 100,

-1000 ppm dan blanko (dari kanan ke kiri

Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang Hasil Uji Homogenitas Mikroemulsi

Hasil Penentua Tipe Mikroemulsi Hasil Pengukuran Bobot Jenis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

(a) (b)
Mikroemulsi Sebelum Disentrifugasi (a), Mikroemulsi Setelah Disentrifugasi (b)

(a) (b)
Mikroemulsi Sebelum Dilakukan Cycling Test (a), Mikroemulsi Setelah
Dilakukan Cycling Test (b)

(a) (b) (c)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

Hasil Mikroemulsi Setelah Masa Penyimpanan pada Tiga Suhu yang Berbeda.
ME Setelah Disimpan pada Suhu 4 °C (a), ME Setelah Disimpan pada Suhu 25 °C
(b),ME Setelah Disimpan pada Suhu 40°C (c).

Lampiran 9. Certificate of Analysis Asam Galat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai