Anda di halaman 1dari 5

Judul Artikel : Kesenian Angguk Dari Desa Garongan

Penulis : Soetaryo
Dalam Buku : Ketika Orang Jawa Nyeni
Jumlah Halaman : 40

Bagian pendahuluan dalam artikel ini memberikan deskripsi awal yang


dianggap penting mengenai kesenian Angguk dari desa Garongan tersebut.
Adapun hal-hal penting yang coba diuraikan oleh Soetaryo pada bagian ini
antara lain adalah letak desa Garongan, kekhasan Angguk dari desa tersebut,
fungsi kesenian Angguk, unsur-unsur dalam kesenian Angguk dan kepercayaan
masyarakat, perhatian masyarakat terhadap kesenian Angguk, prinsip
rombongan kesenian Angguk desa Garongan , serta eksistensi dari rombongan
kesenian tersebut.

Bagian kedua pada artikel ini lebih menjelaskan tentang para pelaku dan
perangkat-perangkat yang ada dalam sebuah kesenian Angguk dari desa
Garongan tersebut. Soetaryo mula-mula menguraikan tentang keseluruhan
anggota yang ada dalam kesenian Angguk yaitu berjumlah dua puluh empat
orang yang semuanya adalah laki-laki. Dua puluh empat orang ini kemudian
dibagi dalam dua kategori yaitu penari sebanyak dua belas orang dan penabuh
(pengiring) sebanyak dua belas orang juga. Masing-masing anggota memiliki
tugas dan fungsinya masing-masing, salah satunya berfungsi sebagai dalam
atau dalam kesenian ini disebut Ro’is. Setelah menjelaskan tentang peran dari
anggota tersebut kemudian Soetaryo menjelaskan tentang perangkat dan unsur
yang ada di dalam kesenian tersebut, mulai dari peralatan musik, kostum
pemain, tarian dalam angguk dan pantun dalam angguk.

Tentang peralatan musik dalam kesenian ini, menurut Soetaryo ada


empat macam alat yang dipergunakan, yaitu jedor (bedug-kecil), genjreng
(sejenis terbang), kendang dan kencer. Setelah itu dijelaskan pula secara singkat
hubungan alat-alat tersebut dengan kebudayaan yang membawanya. Dari alat-
alat tersebut kemudian Soetaryo menjelaskan tentang dua buah alat yang
dianggap sebagai benda keramat dalam kesenian itu yakni jedor dan gendang.
Hal ini dihubungkan dengan fungsi kedua alat tersebut sebagai alat yang bisa
memulihkan kembali orang yang mengalami trance.
Mengenai kostum pemain dalam kesenian ini, Soetaryo pada bagian
menjelaskan bahwa pakaian yang digunakan oleh penari berbeda dengan
pakaian yang digunakan oleh pengiring. Untuk kelompok penari menurut
Soetaryo, pakaian yang digunakan mirip dengan pakaian prajurit kerjaan.
Kelompok penari tersebut menggunakan kostum hitam lengan panjang, bagian
dada dan punggung diberi hiasan, celana warna hitam dengan panjang sampai
lutut, selendang, rompi warna-warni, topi-pet warna hitam dibagian pinggir
dipelisir dengan kain warna putih dikombinasi warna kuning emas, dan kaca
mata warna hitam. Sedangkan untuk pengiring, pakaiannya mirip santri yaitu
sarung, baju lengan panjang yang dilengkapi jas bukak dan kopiah.

Tentang tari dalam angguk, Soetaryo menggolongkannya dalam dua


kategori yaitu: tari ambyakan dan tari pasangan. Menurut Soetaryo ciri untuk
menandai tarian termasuk dalam kategori ambyakan adalah seluruh penari
berjoget bersama dalam peran yang sama, dalam hal ini terdapat tiga buah tari
yaitu: tari-bakti, tari srokal dan tari penutup. Sedangkan untuk tari pasangan
menurut Soetaryo ciri-cirinya adalah terdapatnya sepasang penari sebagai
pemeran utama, tari-tari yang termasuk dalam kategori ini adalah: tari
mandaroka, tari kamudaan, tari cikalo-ado, tari layung-dilayung, tari intik-intik, tari
saya-cari, tari jalan-jalan, dan tari robisari.

Untuk pantun dalam angguk, Soetaryo mengkategorikanya dalam tiga


bentuk sesuai makna dan peruntukannya dalam kesenian tersebut. Yang
pertama adalah pantun nasehat atau pendidikan, di dalamnya tersirat makna
yang amat luhur. Yang kedua, pantun muda-mudi yaitu pantun yang dilagukan
pada waktu tari kemudaan berlangsung yang menggambarkan seorang perjaka
yang menaruh perhatian kepada seorang gadis. Yang terakhir adalah pantun
sakral, salah satu pantunnya menurut Soetaryo dijawi oleh niali-nilai ajaran Islam.

Bab ke tiga dalam artikel ini membahas khusus tentang ndadi (trance)
dan persyaratannya. Adapun ndadi yang dijelaskan oleh Soetaryo pada bagian
ini adalah sebuah istilah untuk melukiskan keadaan seseorang tatkala kesadaran
dirinya dikuasai oleh alam keadaan lain yang dinamakan roh suci. Menurut
Soetaryo, kemampuan untuk ndadi tersebut karena berkah yang mereka peroleh
dari leluruh yaitu nyai bagelen. Rombongan kesenian angguk ini juga pernah
datang ke makam nyai bagelen untuk meminta berkahnya. Menurut Soetaryo,
mereka percaya bahwa nyai bagelen adalah penguasa roh, maka tepatlah
apabila mereka meminta kepadanya agar mengisi atraksi kesenian angguk
dengan acara ndadi. Makam tersebut mereka pandang sebagai sumber pelbagai
roh yang dapat menyebabkan terjadinya trance.

Dalam hal mendapatkan roh suci dan kemudian mengalami ndadi,


Soetaryo menjelaskan tentang tiga tahap yang harus dilalui untuk menuju hal
tersebut yaitu:

- Menyiapkan diri

Menurut Soetaryo, pada tahap ini syarat pokok yang harus dijalankan
adalah nglakoni yaitu menjalankan puasa yang bertujuan untuk reresik diri
(menyucikan diri), yang sekaligus mempersiapkan diri untuk bisa menjadi wadah
bagi roh suci. Puasa tersebut ada dua jenis, yaitu: puasa mutih dan puasa
ngebleng. Setelah tahap puasa ini dijalankan tahap berikutnya adalah mandi
kembang yang merupakan pemberian juru kunci dari makam Bagelen dan telah
diberi mantra-mantra. Selain itu, juru kunci juga akan memberikan benda
piyandel. Jika semua persyaratan tersebut telah terpenuhi maka orang tersebut
disebut ganep, artinya lengkap, sempurna dan siap untuk mengalami trance.

- Menerima roh suci

Menurut Soetaryo, terdapat dua cara untuk dapat memiliki roh suci, yaitu
(1) dengan menyumber pada juru kunci makam Bagelen, dan (2) mewarisi roh-
roh suci yang dimiliki seseorang. Kedua cara ini memiliki persamaan yaitu sama-
sama harus memenuhi persyaratan atau ganep, perbedaannya adalah pada
sumber yang memberikan roh-suci yang dalam hal ini cara pertama langsung
dari juru kunci, sedangkan cara kedua diperoleh dari orang yang telah bisa
trance, tanpa melalui guru kunci. Cara kedua tersebut diperoleh dari proses
pewarisan dengan dipertemukannya pemilik lama dan calon penerima warisan
oleh ketua rombongan kesenian angguk. Dalam proses tersebut ada dua
kemungkinan yang terjadi pada calon penerima yaitu segera menjadi trance dan
tetap dalam keadaan semula.
- Memelihara hubungan dengan roh suci

Dalam tahap ini, menurut Soetaryo ada dua hal pokok yang harus
dilakukan yaitu: (1) orang yang bersangkutan harus menjalankan kewajiban-
kewajiban tertentu, dan (2) sanggup menjauhi pantangan-pantangan yang telah
ditentukan. Adapun kewajiban-kewajiban tersebut antara lain adalah
menjalankan puasa pada hari-pulung dan memberi suguhan kepada benda-
piyandel. Sedangkan pantangannya adalah tidak boleh menggauli wanita yang
bukan miliknya.

Bab ke empat pada artikel ini berisi penjelasan Soetaryo mengenai


proses ndadi dari awal masuk hingga proses penyembuhannya. Proses awal
disini adalah rituil untuk memanggil roh suci dengan menyediakan seluruh
perlengkapan diantaranya sesaji berupa kembang kantil, kenanga, dan mawar
serta pembakaran kemenyan di depan jedor. Setelah hal tersebut terpenuhi,
kehadiran roh suci perlu disongsong dengan tari-tarian serta tembang panggilan
yang dibawakan secara bersahut-sahutan oleh penari dan pengiring. Orang yang
mengalami trance mulanya merasa kesemutan dan hilangnya kesadaran diri,
kemudian ia bergerak bebas, menari, meloncat, memukul benda keras, bahkan
menelan pecahan kaca, daun sirih, jarum, lawe, telur dan lain-lain dengan tanpa
ada rasa sakit dan luka ditubuhnya. Dalam proses menyembuhkan seorang yang
mengalami trance, dibutuhkan seorang pawang roh suci yang biasanya adalah
ketua rombongan kesenian Angguk. Untuk menyembuhkan, seorang pawang
harus mengerti kegemaran roh suci karena dengan memberikan santapan
kegemaran roh suci tersebutlah orang yang mengalami trance akan berlutut di
hadapan jedor atau kendang dan kemudian siuman kembali.

Untuk bab kelima atau penutup pada artikel ini, berisi kesimpulan dari
Soetaryo mengenai kesenian Angguk di Desa Garongan. Dalam hal ini ada
beberapa poin yang diuraikan berupa poin-poin penting yang telah dipaparkan
dalam bab-bab sebelumnya yaitu mengenai keberadaan kesenian ini, fungsinya,
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, bentuk pertunjukannya, dan atraksi
ndadi dari syarat-syarat dan proses terjadinya.
Ulasan:

Artikel yang mengangkat topik tentang kesenia Angguk dari desa


Garongan ini secara keseluruhan dapat dikatakan baik melihat korelasi antar
judul dalam tiap bagian dengan isi yang diuraikan di dalamnya. Sebagai sebuah
tulisan tentang kesenian yang dilakukan pada tahun 1979, artikel ini dapat
dikatakan memadai untuk dijadikan sebuah referensi atau bahan bacaan dalam
memberikan pengetahuan tentang kesenian Angguk. Meskipun demikian artikel
ini di dalamnya masih terdapat kekurangan yaitu: kurang dalamya uraian penulis
mengenai bagian-bagian yang merupakan unsur seni dalam Angguk, penjelasan
di dalamnya masih belum mampu merepresentasikan keberadaan beberapa seni
tersebut dalam Angguk.

Anda mungkin juga menyukai