Penulis : Soetaryo
Dalam Buku : Ketika Orang Jawa Nyeni
Jumlah Halaman : 40
Bagian kedua pada artikel ini lebih menjelaskan tentang para pelaku dan
perangkat-perangkat yang ada dalam sebuah kesenian Angguk dari desa
Garongan tersebut. Soetaryo mula-mula menguraikan tentang keseluruhan
anggota yang ada dalam kesenian Angguk yaitu berjumlah dua puluh empat
orang yang semuanya adalah laki-laki. Dua puluh empat orang ini kemudian
dibagi dalam dua kategori yaitu penari sebanyak dua belas orang dan penabuh
(pengiring) sebanyak dua belas orang juga. Masing-masing anggota memiliki
tugas dan fungsinya masing-masing, salah satunya berfungsi sebagai dalam
atau dalam kesenian ini disebut Ro’is. Setelah menjelaskan tentang peran dari
anggota tersebut kemudian Soetaryo menjelaskan tentang perangkat dan unsur
yang ada di dalam kesenian tersebut, mulai dari peralatan musik, kostum
pemain, tarian dalam angguk dan pantun dalam angguk.
Bab ke tiga dalam artikel ini membahas khusus tentang ndadi (trance)
dan persyaratannya. Adapun ndadi yang dijelaskan oleh Soetaryo pada bagian
ini adalah sebuah istilah untuk melukiskan keadaan seseorang tatkala kesadaran
dirinya dikuasai oleh alam keadaan lain yang dinamakan roh suci. Menurut
Soetaryo, kemampuan untuk ndadi tersebut karena berkah yang mereka peroleh
dari leluruh yaitu nyai bagelen. Rombongan kesenian angguk ini juga pernah
datang ke makam nyai bagelen untuk meminta berkahnya. Menurut Soetaryo,
mereka percaya bahwa nyai bagelen adalah penguasa roh, maka tepatlah
apabila mereka meminta kepadanya agar mengisi atraksi kesenian angguk
dengan acara ndadi. Makam tersebut mereka pandang sebagai sumber pelbagai
roh yang dapat menyebabkan terjadinya trance.
- Menyiapkan diri
Menurut Soetaryo, pada tahap ini syarat pokok yang harus dijalankan
adalah nglakoni yaitu menjalankan puasa yang bertujuan untuk reresik diri
(menyucikan diri), yang sekaligus mempersiapkan diri untuk bisa menjadi wadah
bagi roh suci. Puasa tersebut ada dua jenis, yaitu: puasa mutih dan puasa
ngebleng. Setelah tahap puasa ini dijalankan tahap berikutnya adalah mandi
kembang yang merupakan pemberian juru kunci dari makam Bagelen dan telah
diberi mantra-mantra. Selain itu, juru kunci juga akan memberikan benda
piyandel. Jika semua persyaratan tersebut telah terpenuhi maka orang tersebut
disebut ganep, artinya lengkap, sempurna dan siap untuk mengalami trance.
Menurut Soetaryo, terdapat dua cara untuk dapat memiliki roh suci, yaitu
(1) dengan menyumber pada juru kunci makam Bagelen, dan (2) mewarisi roh-
roh suci yang dimiliki seseorang. Kedua cara ini memiliki persamaan yaitu sama-
sama harus memenuhi persyaratan atau ganep, perbedaannya adalah pada
sumber yang memberikan roh-suci yang dalam hal ini cara pertama langsung
dari juru kunci, sedangkan cara kedua diperoleh dari orang yang telah bisa
trance, tanpa melalui guru kunci. Cara kedua tersebut diperoleh dari proses
pewarisan dengan dipertemukannya pemilik lama dan calon penerima warisan
oleh ketua rombongan kesenian angguk. Dalam proses tersebut ada dua
kemungkinan yang terjadi pada calon penerima yaitu segera menjadi trance dan
tetap dalam keadaan semula.
- Memelihara hubungan dengan roh suci
Dalam tahap ini, menurut Soetaryo ada dua hal pokok yang harus
dilakukan yaitu: (1) orang yang bersangkutan harus menjalankan kewajiban-
kewajiban tertentu, dan (2) sanggup menjauhi pantangan-pantangan yang telah
ditentukan. Adapun kewajiban-kewajiban tersebut antara lain adalah
menjalankan puasa pada hari-pulung dan memberi suguhan kepada benda-
piyandel. Sedangkan pantangannya adalah tidak boleh menggauli wanita yang
bukan miliknya.
Untuk bab kelima atau penutup pada artikel ini, berisi kesimpulan dari
Soetaryo mengenai kesenian Angguk di Desa Garongan. Dalam hal ini ada
beberapa poin yang diuraikan berupa poin-poin penting yang telah dipaparkan
dalam bab-bab sebelumnya yaitu mengenai keberadaan kesenian ini, fungsinya,
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, bentuk pertunjukannya, dan atraksi
ndadi dari syarat-syarat dan proses terjadinya.
Ulasan: