Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus atau biasa disingkat


MERS-CoV adalah penyakit sindrom pernapasan yang disebabkan oleh
Virus-Corona yang menyerang saluran pernapasan mulai dari yang
ringan sampai yang berat. Gejalanya adalah demam, batuk dan sesak
nafas, bersifat akut, dan biasanya pasien memiliki penyakit ko-morbid
(penyakit penyerta). Virus MERS-CoV baru dikenali pertama kali pada
tahun 2012 di Negara Arab Saudi. Virus tersebut yang menyebabkan
SARS (Severe Acute Respiratory Syndrom) pada tahun 2002 hingga
2003, virus tersebut sangat berbahaya dan sudah mewabah hingga 8273
kasus dan 775 meninggal dunia (Elshinta, 2015).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus Corona, salah satu virus
yang masih berkerabat dengan virus penyebab SARS (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Virus MERS-CoV merupakan
suatu strain baru virus Corona yang belum pernah ditemukan
menginfeksi manusia sebelumnya. Belum diketahui dengan jelas asal
mula virus ini menyebar, namun beberapa peneliti menduga bahwa
penyebaran virus ini berasal dari salah satu jenis kelelawar yang banyak
ditemukan di kawasan Timur Tengah. Berbeda dengan penyakit menular
SARS yang sudah lama hilang kabarnya, penyakit menular MERS-CoV
muncul kembali karena belum ada suatu cara kontrol yang tepat
terhadap penyakit ini. Bahkan sampai saat ini juga belum tersedia vaksin
untuk penyakit menular tersebut (Benny Yong dan Livia Owen, 2015).
Dari data WHO mengatakan bahwa, sejak September 2012 sampai
dengan Maret 2016, telah ditemukan 1.698 kasus konfirmasi MERS-
CoV dengan 609 orang mengalami kematian. Selain itu, WHO juga
mengatakan bahwa sekitar 36% pasien yang dilaporkan terkena virus

1
MERS-CoV meninggal dunia dan lebih dari 85% kasus penyakit
menular MERS-CoV ini berasal dari Arab Saudi. ((Benny Yong dan
Livia Owen, 2015).
Banyak warga negara Indonesia yang berada di Arab Saudi terutama
sebagai jama’ah umrah/haji, sehingga memungkinkan terjadinya
penyebaran penyakit ini di Indonesia, karena jumlah jama’ah umrah/haji
dari Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data
dari Kementerian Agama Republik Indonesia, rata-rata jumlah jama’ah
umrah dari Indonesia adalah 195 orang per hari dan rata-rata jumlah haji
dari Indonesia adalah 154.000 orang per tahun, dan dari data haji
internasional, rata-rata jumlah jama’ah haji/umrah dari Arab Saudi
adalah 700.000 orang per tahun (Benny Yong dan Livia Owen, 2015).
Real Time PCR memungkinkan dilakukannya deteksi dan
kuantifikasi (sebagai nilai absolut dari hasil perbanyakan DNA atau
jumlah relatif setelah dinormalisasi terhadap input DNA atau gen-gen
penormal yang ditambahkan) sekaligus terhadap sekuens spesifik dari
sampel DNA yang dianalisa. Real Time PCR (qPCR) atau dapat pula
disebut kuantitatif PCR real time (qPCR) atau PCR kinetik adalah teknik
laboratorium berdasarkan PCR, yang digunakan untuk mengamplifikasi
dan secara simultan mengukur molekul DNA target. Untuk satu atau
lebih urutan tertentu dalam sampel DNA, Real Time-PCR
memungkinkan deteksi dan kuantifikasi secara bersamaan. Kuantitas
yang didapat berupa jumlah salinan mutlak atau jumlah relatif ketika
dinormalisasi untuk DNA yang dimasukkan atau gen normalisasi
tambahan.(van boheemen, 2012)

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana pemeriksaan MERS-Cov menggunakan metode Real-Time
PCR.
1.3. Tujuan
Mengetahui metode pemeriksaan Real-Time PCR yang dilakukan guna
mendeteksi infeksi Mers-Cov.

1.4 Manfaat Penelitian

2
Mengetahui tentang pemeriksaan Mers-Cov dan mengetahui kelebihan serta
kekurangan metode Real-Time PCR .

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Virus MERS-CoV.

2.1.1. Definisi
MERS-CoV adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus
korona jenis baru yang ditemukan di wilayah timur tengah. Penyakit
pernapasan yang timbul antara lain adalah pneumonia (infeksi jaringan
paru-paru).
MERS-CoV merupakan singkatan dari Middle East Respiratory
Syndrome Corona Virus. Terjemahan bebasnya, sindrom pernapasan
Timur Tengah akibat virus korona.
Pernyataan WHO tanggal 17 Juli 2013 pada pertemuan IHR Emergency
Committee Concerning MERS CoV merupakan situasi serius dan perlu
perhatian besar namun belum terjadi kejadian kedaruratan kesehatan
masyarakat International. (Kupferschmidt K,2015)

2.1.2. Etiologi
Awalnya, virus ini dinamakan Human Coronavirus-EC, tapi kemudian
oleh konsensus global diubah menjadi MERS-CoV.Virus ini merupakan
spesies beta Coronavirus garis keturunan C yang baru saja ditemukan
dan menginfeksi manusia. Struktur genom MERS-CoV
menggambarkan dipeptil-peptidase 4 (DPP4, atau CD26) diidentiikasi
sebagai reseptor host-sel untuk entry sel.2 MERS-CoV berasal dari
keluarga Corona virus. (Slamet,dkk.2013)
Coronavirus pada manusia pertama kali diklasifikasikan pada
pertengahan 1960-an. Alpha, beta, gamma dan delta merupakan sub
kelompok Corona virus.
Saat ini ada enam Corona virus yang dapat memengaruhi manusia
yaitu:

3
1. Corona virus Alpha : Corona virus 229E manusia dan Coronavirus
NL63 manusia (HCoV-NL63,New Havencoronavirus).
2. Corona virus Beta : Corona virus OC43 manusia, Corona virus
HKU1 manusia, SARS-CoV, dan MERS-CoV.

Gambar 1. Virus MERS dari golongan Coronavirus

MERS-CoV pertama kali dilaporkan di Arab Saudi. Asal virus ini masih
belum diketahui. Studi awal menunjukkan bahwa MERS-CoV mungkin
berhubungan dengan virus Zoonosis yang ditemukan di kelelawar,10 tetapi
bukti yang terbaru menunjukkan bahwa virus ini mungkin lebih banyak
ditemukan pada unta.11-16 Corona virus biasanya menginfeksi satu jenis
spesies atau yang terkait erat. Hal ini berdasarkan penyelidikan 2 kasus
manusia yang terinfeksi MERS-CoV bulan Oktober 2013 dan dilakukan
pemeriksaan pada unta Dromedaris di sebuah peternakan di Qatar yang
terkait dengan 2 kasus tersebut.MERS-CoV Secara virologi dikonfirmasi
melalui specimen hidung unta tersebut.17 Kemungkinan penularan MERS
dapat melalui kontak langsung dari percikan dahak dan tidak langsung
melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi virus (Slamet,dkk.2013).

2.1.3. Epidemologi
Sampai Juni 2015 terdapat 1.334 kasus MERS-CoV yang dikonfirmasi
dengan laboratorium dan 471 kematian telah dilaporkan ke WHO
(World Health Organization, 2015)
Terdapat 26 negara yang melaporkan kasus MERS, yaitu: Saudi Arabia,
Iran, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab,
Yaman (Timur Tengah); Austria, Perancis, Jerman, Yunani, Italia,
Belanda, Turki, Inggris (Eropa); Aljazair, Tunisia, Mesir (Afrika); Cina,
Malaysia, Republik Korea,Thailand,Filipina (Asia); dan Amerika
Serikat Sebagian besar dari kasus Ini terjadi di Arab Saudi Sebuah

4
pernyataan Dari WHO Pada bulan April 2014 menunjukkan bahwa 75%
dari kasus MERS yang dilaporkan tampaknya merupakan kasus
sekunder yang diperoleh dari orang lain yang terinfeksi Pada Tahun
2015 Ini dan masih berlanjut,wabah MERS Telah melanda Korea
Selatan dan pada tingkat lebih rendah di China,terdapat 172 kasus yang
dikonfirmasi dan 27 kematian terkait telah dilaporkan
(World Health Organization, 2015).
2.1.4. Patogenitas

Sampai saat ini, masih terus dilakukan investigasi mengenai pola


penularan MERS-Cov, karena telah ditemukan adanya penularan
dari manusia ke manusia yang saling kontak dekat dengan penderita.
Penularan dari pasien yang terinfeksi kepada petugas kesehatan yang
merawat juga diamati. Selain itu, cluster dari kasus infeksi MERS-
Cov di Arab Saudi, Jordania, the United Kingdom, Prancis, Tunisia,
dan Italia juga diinvestigasi (Falzarano D, 2013).

Data terbaru dari CDC menunjukkan bahwa MERS terbukti bisa


ditularkan antar manusia. Meski begitu, tampaknya penyakit ini tak
bisa menyebar sangat cepat seperti SARS pada tahun 2003. Virus
MERS terus mendapatkan pengawasan ketat dari para ahli untuk
berjaga-jaga jika virus ini berkembang menjadi ancaman yang
semakin berbahaya.Karena penyebarannya yang semakin meluas
sejak April 2012 hingga awal tahun 2013, Badan Kesehatan Dunia
(WHO) telah mengeluarkan peringatan sejak Mei lalu untuk
mewaspadai ancaman penyebarannya.

5
Gambar 2. Patogenesis Virus MERS

Peneliti belum mengetahui secara pasti cara virus MERS ditularkan


ke manusia, namun virus ini sudah ditemukan pada kelelawar dan
unta. Para pakar mengatakan unta kemungkinan besar menjadi
binatang pembawa, yang kemudian menularkannya pada manusia.

Belum diketahui dengan jelas asal mula virus ini menyebar, namun,
beberapa peneliti menduga bahwa penyebaran virus berasal dari
salah satu jenis Kelelawar yang banyak ditemukan di kawasan Timur
Tengah. Unta hampir dipastikan menjadi sumber virus korona
MERS di Timur Tengah. Hasil penelitian di negara tersebut
menunjukkan kebanyakan unta, meski tidak semua, terinfeksi jenis
virus yang secara genetik hampir identik dengan virus yang
menginfeksi manusia. Penelitian ini dilakukan oleh tim dari
Universitas Columbia, Universitas King Saud, dan EcoHealth
Alliance.Penyakit itu awalnya diyakini telah berpindah dari unta ke
manusia, pertama kali tampaknya menular lewat kontak yang dekat
dengan hewan-hewan itu. Akan tetapi akhir-akhir ini, para petugas
kesehatan yang merawat penderita MERS juga jatuh sakit akibat
virus itu.

6
Kesimpulan dicapai setelah para peneliti menemukan adanya
kecocokan genetik 100 persen pada virus yang menginfeksi
kelelawar jenis tersebut dengan manusia pertama yang terinfeksi.

Spekulasi lain yang terdapat di kalangan para peneliti menyebutkan


bahwa selain Kelelawar, Unta juga diduga kuat berkaitan dengan
asal mula dan penyebaran virus Corona, dimana ditemukan antibodi
terhadap virus ini dalam tubuh hewan khas Timur Tengah itu
(Hemida MG, 2010).

Mekanisme penyebaran virus Corona dari hewan ke manusia masih


diteliti sampai saat ini, meskipun ada dugaan bahwa manusia
pertama yang terinfeksi mungkin pernah secara tidak sengaja
menghirup debu kotoran kering Kelelawar yang terinfeksi.

Saat ini, para peneliti masih menyelidiki kemungkinan hewan lain


yang menjadi mediator penularan virus Corona guna menangani
meluasnya penyebaran penyakit ini, mengingat bahwa jenis virus ini
dikatakan lebih mudah menular antar-manusia dengan dampak yang
lebih mematikan dibandingkan SARS (Hemida MG, 2010).

2.1.5. Penularan

Berikut adalah cara penularan dari virus MERS. Virus ini dapat
menular antar manusia secara terbatas, dan tidak terdapat transmisi
penularan antar manusia yang berkelanjutan. Kemungkinan
penularannya dapat melalui :

1. Langsung : melalui percikan dahak (droplet) pada saat pasien


batu atau bersin.

2. Tidak Langsung : melalui kontak dengan benda yang


terkontaminasi virus.

Sumber penularan
Sumber penularan masih belum diketahui tetapi sumber virus berasal
dari binatang.MERS-CoV ini ditemukan pada unta di Qatar, Mesir
dan Saudia Arabia, dan kelelawar di Saudia Arabia.

7
Unta di beberapa negara dengan hasil positif antibodi terhadap
MERS-CoV ini yang awalnya unta ini sudah terinfeksi MERS-CoV,
tetapi dengan hasil ini belum yakin apakah unta menjadi sumber
utama virus MERS tersebut (Kupferschmidt K, 2015).
2.1.6. Pencegahan
Pencegahan MERS dilakukan dengan perilaku hidup bersih dan sehat,
menghindari kontak erat dengan penderita, menggunakan masker,
menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan memakai
sabun dan menerapkan etika batuk ketika sakit (Slamet, dkk.2013).
Langkah pencegahan infeksi MERS-CoV sama dengan pencegahan
infeksi pada penyakit flu burung dan Emerging infectious Disease
lainnya yang mengenai saluran napas.
Hal yang harus dilakukan dalam pengendalian infeksi MERS-CoV :
Tindakan pencegahan transmisi droplet.
 Tindakan pencegahan standar diterapkan pada setiap pasien yang
diketahui atau dicurigai memiliki infeksi pernapasan akut termasuk
pasien dengan dicurigai,probable atau terkonfirmasi MERS-CoV.
 Pencegahan infeksi dan tindakan pengendalian harus dimulai ketika
pasien masuk triase dengan gejala infeksi pernapasan akut yang disertai
demam.
 Pengaturan ruangan dan pemisahan tempat tidur minimal 1 meter
antara setiap pasien ISPA dan pasien lainnya yang tidak menggunakan
alat pelindung diri (APD).
 Pastikan triase dan ruang tunggu berventilasi cukup.
 Terapkan etika batuk.
Tindakan pencegahan Airborne digunakan untuk prosedur yang
menimbulkan penularanaerosol. Risiko penularan pada petugas
kesehatan meningkat ketika dilakukan tindakan intubasi trakea.
Peningkatan risiko penularan SARS juga dilaporkan saat melakukan
ventilasi non invasif, trakeostomi dan bantuan ventilasi dengan
ambubag sebelum intubasi. Secara hirarkis pencegahan dan penularan
infeksi menurut infection prevention and control (IPC), yaitu
pengendalian administratif, pengendalian dan rekayasa lingkungan, dan
penggunaan alat pelindung diri (APD) (Slamet,dkk.2013)
Kewaspadaan pencegahan dan pengendalian infeksi meliputi:

8
1.Kewaspadaan standar (standard precaution) yang diterapkan di semua
fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan
yang aman bagi semua pasien dan mengurangi risiko infeksi lebih
lanjut.
2.Kewaspadaan pencegahan dan pengendalian infeksi tambahan ketika
merawat pasien ISPA yaitu semua individu termasuk pengunjung dan
petugas kesehatan yang melakukan kontak dengan pasien ISPA
3.Kewaspadaan pencegahan dan pengendalian infeksi pada
prosedur/tindakan medik yang menimbulkan aerosol (< 5 mikron)
4.Kewaspadaan pencegahan dan pengendalian infeksi ketika merawat
pasien probable atau konfirmasi terinfeksi MERS-CoV dengan
membatasi jumlah petugas kesehatan, anggota keluarga dan pengunjung
yang melakukan kontak dengan pasien suspek, probable atau
konfirmasi terinfeksi MERS-CoV serta menunjuk tim petugas
kesehatan terampil khusus yang akan memberi perawatan secara
eksklusif kepada pasien.
5.Durasi tindakan isolasi untuk pasien harus diberlakukan selama gejala
penyakit masih ada dan dilanjutkan selama 24 jam setelah gejala hilang.
6.Pengumpulan dan penanganan Spesimen laboratorium adanya
komorbiditas, termasuk stadium akhir penyakit ginjal yang menjalani
hemodialisis, diabetes, maupun penyakit kronis jantung, paru di mana
semuanya diketahui dapat meningkatkan angka kematian
(Slamet,dkk.2013).

2.2 Metode Pemeriksaan


Real-Time PCR (qPCR)
A. Definisi

9
Real Time PCR (qPCR) adalah suatu metode analisa yang
dikembangkan dari reaksi PCR. Dalam ilmu biologi molekular, Real
Time PCR (juga dikenal sebagai quantitative real time polymerase
chain reaction (Q-PCR/qPCR) atau kinetic polymerase chain
reaction), adalah suatu teknik pengerjaan PCR di laboratorium
untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus menghitung
(kuantifikasi) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi
tersebut(Kost, 2002).
B. Prinsip

Cara kerja Real Time PCR mengikuti prinsip umum reaksi PCR;
utamanya adalah DNA yang telah diamplifikasi dihitung setelah
diakumulasikan dalam reaksi secara real time sesudah setiap siklus
amplifikasi selesai.
Prinsip kerjanya didasarkan pada deteksi fluoresensi yang
diproduksi oleh molekul reporter yang meningkat sejalan dengan
berlangsungnya proses PCR. Hal ini terjadi karena akumulasi
produk PCR pada tiap siklus amplifikasi. Molekul reporter dengan
fluoresensi meliputi pewarna yang berikatan pada double-stranded
DNA (menggunakan SYBR®Green atau EvaGreen®Reagents )
atau menggunakan probe spesifik sekuens/sequence specific probes
(Molecular Beacons or TaqMan® Probes). Terdapat 2 (dua) metode
kuantifikasi yang umum digunakan antara lain :
(1) Menggunakan zat pewarna fluoresensi yang akan terinterkalasi
dengan DNA rantai ganda (dsDNA) misalnya SyBr Green.
(2) Probe (penanda) yang berasal dari hasil modifikasi DNA
oligonukleotida yang akan berpendar (flourensensi) ketika
terhibridisasi dengan DNA komplemen, misalnya probe FRET
(Hybridisasi) dan probe TaqMan. Dalam setiap pengamatan proses
PCR, sinyal fluoresensi yang dipancarkan akan meningkat secara
proporsional setiap siklus PCR telah berhasil dilakukan sejalan
dengan bertambahnya produk DNA (DNA hasil amplifikasi) yang
dihasilkan.

10
C. PCR meliputi tiga tahap utama:
1. Tahap pertama adalah reverse transcription (RT) atau transkripsi
balik dimana RNA ditranskrip balik menjadi cDNA menggunakan
enzim reverse transcriptase dan primer. Tahap ini sangat penting
dalam kaitannya dengan performa PCR untuk amplifikasi cDNA
dengan bantuan DNA polymerase sebab DNA polymerase hanya
dapat bekerja pada templet yang berupa DNA. Tahapan RT (Reverse
Transcripsion) dapat dilakukan dalam tabung yang sama dengan PCR
(one-step PCR) atau pada tabung yang terpisah (two-step PCR)
menggunakan suhu berkisar 40°C sampai 50°C, tergantung pada
karakteristik reverse transcriptase yang digunakan.
2. Tahap berikutnya adalah denaturasi dsDNA at 95°C, pada tahap ini
dua untai DNA akan terpisah dan primer dapat mengikat pada untai
tersebut jika temperaturnya diturunkan kemudian yang selanjutnya
akan dimulai rantai reaksi baru. Kemudian suhu diturunkan hingga
mencapai suhu anealing yang bervariasi tergantung primer yang
digunakan, konsentrasi, probe dan konsentrasinya jika digunakan, dan
juga konsentrasi kation. Perhatian utama saat memilih temperatur
anealing optimal adalah melting temperatur ™ dari primer dan probe
(jika digunakan). Temperatur annealing dipilih untuk PCR tergantung
langsung pada panjang dan komposisi dari primer tersebut. Hal ini
merupakan hasil dari perbedaan ikatan hidrokarbon antara A-T (2
ikatan) dan G-C (3 ikatan). Temperatur annealing biasanyaberkisar 5
derajat di bawah Tm terendah dari pasangan primer yang digunakan.
3. Tahap akhir adalah Amplifikasi PCR yang merupakan proses dimana
dilakukannya perpanjangan DNA menggunakan Primer yang
memerlukan Taq DNA polymerase yang termostabil, biasanya pada
suhu 72°C, yang merupakan suhu optimal untuk aktivitas enzim
polymerase. Lamanya masa inkubasi tiap temperatur, perubahan suhu
dan jumlah siklus dikontrol secara terprogram menggunakan
programmable thermal cycler. Analaisa produk PCR tergantung pada
kebutuhann PCR. Jika menggunakan PCR konvensional, maka produk
PCR dapat dideteksi dengan agarose gel electrophoresis dan ethidium
bromide (atau dye nukleotida lainnya).

11
BAB III

METODOLOGI KERJA

3.1 Sebelum melakukan suspek pasien suspek mers Cov dilakukan :

- Anamnemis : demam >38 C batuk dan sesak


- Pemeriksaan fisis : sesuai dengan gambaran pneumonia
- Radiologi : foto torax dapat ditemukan infiltrat
3.2 Bahan Pemeriksaan
- Spesimen dari saluran pernapasan atas (hidung, nasofaring/swab
tenggorokan)
- Spesimen dari saluran pernapasan bawah (Sputum, aspirat
endotracheal, kurasan bronkoalveolar)
3.3 Prosedur

RealStar®
MERS-CoV RT-PCR Kit 1.0
1. Pipet 15 μl Master Mix ke setiap sumur yang dibutuhkan dari optik
yang sesuai Plat reaksi 96-baik atau tabung reaksi optik yang sesuai.
2. Tambahkan 10 μl sampel (eluat dari ekstraksi asam nukleat) atau 10 µl
dari kontrol (Kontrol Positif atau Negatif).

Pengaturan Reaksi
Master Mix 15 μl
Sampel atau Kontrol 10 μl
Total Volume 25 μl
3. Pastikan bahwa setidaknya satu Kontrol Positif dan satu Kontrol
Negatif digunakan per run.
4. Mencampur sampel dan kontrol secara menyeluruh dengan Master
Mix dengan dipipet naik dan turun.
5. Tutup pelat reaksi 96-baik dengan tutup yang sesuai atau film perekat
optik dan tabung reaksi dengan tutup yang tepat.
6. Centrifuge plat reaksi 96-baik dalam centrifuge dengan rotor piring
mikrotiter selama 30 detik pada sekitar 1000 x g (~ 3000 rpm).
7. Memprogam alat Real-Time PCR dan didapatkan hasil.

Tentukan Pengaturan Berikut

Setting
Volum Reaksi 25 μl

12
Tingkat AMP default
Referensi Pasif Tidak ada

Tentukan pendeteksi fluoresensi (pewarna)

Target Detector Name Reporter Quencher


M orf1a FAM™ (None)
ERS-CoV
(
orf1a
) specific RNA

M upE FAM™ (None)


ERS-CoV
(
upE
) specific RNA

I IC JOE™ (None)
nternal Control

Tentukan profil temperatur dan akuisisi warna:

Stage Cycle Acquisitio Temperature Time


Repeats [°C] [min:sec
n
]

Reverse Hold 1 - 55 20:00


Transcription

Denaturation Hold 1 - 95 02:00


Amplificatio Cyclin 45 - 95 00:15
n Yes 58 00:45
g
- 72 00:15

Control ID Detection Channel


FAM™ JOE™ FAM™
upE upE orf1a

P + +/- +
ositive Control

Negative Control - + -

13
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis dari infeksi virus bertujuan untuk mengidentifikasi virus


pada seseorang yang terinfeksi sehingga didapatkan pengobatan yang
sesuai. Diagnosis tersebut penting guna mencegah terjadi perkembangan

14
dan penyebaran virus. Meskipun pengujian MERS-CoV rRT-PCR terbukti
sensitif dan spesifik,namun ada beberapa keterbatasan. Pertama, hanya dua
spesimen otentik dari pasien dengan infeksi MRS-CoV yang dikonfirmasi
secara independen yang tersedia untuk pengujian. pengujian validasi harus
dibatasi pada penggunaan instrumentasi, reagen, dan prosedur tertentu.

Penggunaan berbagai platform pengujian atau modifikasi dalam


metodologi dapat mempengaruhi kinerja pengujian secara negatif.
Pemilihan jenis spesimen yang tepat, teknik pengumpulan, dan waktu
setelah timbulnya gejala juga penting untuk keberhasilan diagnostik. Di
antara beberapa pasien, MERS-CoV tampaknya terdeteksi lebih sering dan
dengan viral load yang lebih tinggi pada spesimen saluran pernapasan
bawah daripada spesimen dari saluran pernapasan bagian atas (7, 8);
akibatnya, spesimen saluran pernapasan bawah telah diprioritaskan untuk
dikumpulkan oleh WHO dan CDC. Spesimen spesimen lainnya, seperti
sampel serum / darah dan spesimen tinja, juga dapat terbukti berharga. Studi
yang dilakukan selama epidemi SARS menemukan bahwa SARS-CoV
dapat dideteksi dalam serum / sampel darah selama fase prodromic awal
infeksi (9, 10) dan ditumpahkan untuk waktu yang lama pada titer tinggi
dalam tinja, memfasilitasi deteksi kemudian dalam perjalanan penyakit (11,
12). RNA MERS-CoV dilaporkan terdeteksi pada spesimen feses dan urin
dari satu pasien imunosupresi yang terinfeksi (7), dan virus telah
diidentifikasi dalam sampel serum dari pasien lain (penelitian ini).

Pada semua tahap penyakit, sangat penting untuk memandu strategi


pengujian. Ketika spesimen pernafasan dikumpulkan terlambat atau tidak
tersedia untuk pengujian molekuler, pengujian serologis mungkin menjadi
alternatif diagnostik yang efektif untuk MERS-CoV (13).
Bahkan ketika spesimen yang optimal dan tes molekuler tersedia, diagnosis
yang akurat dari infeksi MERS-CoV masih bisa menjadi tantangan.
Meskipun tes rRT-PCR kurang rentan terhadap kontaminasi amplikon
daripada tes RT-PCR konvensional, hasil rRT-PCR positif palsu masih dapat
terjadi jika praktik yang dirancang untuk meminimalkan risiko kontaminasi

15
tidak diikuti secara ketat. Akses ke berbagai tes rRT-PCR yang menargetkan
berbagai wilayah genom MERS-CoV, dengan beberapa tes disimpan dalam
cadangan untuk konfirmasi hasil tes positif, sangat penting untuk mencegah
salah mengidentifikasi kasus MERS-CoV.

Sementara tes rRT-PCR relevan untuk diagnosis cepat dan manajemen


pasien, sekuensing genom dapat memberikan otoritas kesehatan masyarakat
dengan kepercayaan yang dibutuhkan untuk perencanaan respons, dapat
membantu menghindari alarm palsu, dan dapat memberikan data yang
penting untuk memantau evolusi virus dan rRT-PCR assay signature
integritas.

BAB V

PENUTUP

Untuk mendeteksi infeksi MERS-Cov dilakukan uji menggunakan


metode Real-Time PCR. Real-Time PCR memiliki kelebihan spesifisitas
tinggi , Sangat cepat, dapat memberikan hasil yang sama pada hari yang sama ,
dapat membedakan varian mikroorganisme, Mikroorganisme yang dideteksi tidak
harus hidup , Mudah di set up. Sedangkan kelemahan mudah terkontaminasi, biaya
peralatan dan reagen mahal, Interpretasi hasil PCR yang positif belum tervalidasi
untuk semua penyakit infeksi (misalnya infeksi pasif atau laten) , Teknik prosedur
yang kompleks dan bertahap membutuhkan keahlian khusus untuk melakukannya .

16
MERS-CoV terdeteksi lebih sering dengan viral load yang lebih tinggi pada
spesimen saluran pernapasan bawah daripada spesimen dari saluran
pernapasan bagian atas.

DAFTAR PUSTAKA

Corman VM et al. Detection of a novel human coronavirus by real‐time reverse‐


transcription
polymerase chain reaction. Eurosurveillance 2012; 17:20285
http://www.eurosurveillance.org/ViewArticle.aspx?ArticleId=20285

Rha B, Rudd J, Feikin D, Watson J, Curns AT, Swerdlow DL, dkk. Update on the
epidemiology of Middle East Respiratory Syndrome Corona-virus (MERS-CoV)
infection, and guidance for the public, clinicians, and public health authorities.
MMWR 2015; 64(3):61-2.

Alimuddin Z, Hui DS, Perlman S. Middle East respiratory syndrome. London.


2015:1-9. Center of Diseases Control. Middle East Respiratory Syndrome
(MERS). Frequently asked questions and answers. [cited 2015 June 22]. Available
from: http://www.cdc.gov/ coronavirus/mers/faq.html. Center of Diseases Control.
Announces first case of Middle East Respiratory Syndrome Corona-virus infection

17
(MERS) in the United States. [cited 2015 June 22]. Available from:
http://www.cdc.gov/media/releases/2014/p0502-US-MERS.html.

Falzarano D, de Wit E, Rasmussen AL, Feldmann F, Okumura A, Scott DP, et al.


Treatment with interferon-a2b and ribavirin improves outcome in MERS-CoV
infected rhesus Macaques. Nat Med .2013;19(10):1313-7.
7. Center of Diseases Control. Middle East Respiratory Syndrome (MERS). [cited
2015 June 22]. Available from: http://www.cdc.gov/coronavirus/mers/interim-
guidance.html.

Slamet, Bratasena A, Sitorus M, Rizkiyati N, Samoedro E, Wignjadiputro I, et al.


Pedoman umum kesiapsiagaan menghadapi Middle East Respiratory Syndrome
Corona-virus (MERS-CoV). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2013; p. 1- Woo PC,
Lau SK, Huang Y, Yuen KY. Corona-virus diversity, phylogeny and interspecies
jumping. Exp Biol Med. 2009;234(10):1117-27.

Van Boheemen S, de Graaf M, Lauber C, Bestebroer TM, Raj VS, Zaki AM,
Osterhaus AD, Haagmans BL, Gorbalenya AE, Snijder EJ, Fouchier RA. 2012.
Genomic characterization of a newly discovered coronavirus associated with acute
respiratory distress syndrome in humans. mBio 3:e00473-12. 10.1128/mBio.00473-
12 [PMC free article] [PubMed] [CrossRef]

Kupferschmidt K.Camels may transmit new Middle Eastern Virus. Science.


[cited 2015 June 22]. Available
from:http://news.sciencemag.org/health/2013/08/camels-may-transmit-new
middle-eastern virus.

18

Anda mungkin juga menyukai