Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/301679649

Perhitungan Kerusakan dan Kerugian dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial


dengan Metode ECLAC pada Bencana Banjir Bandang Panti, Kabupaten Jember-
Jawa Timur

Presentation · October 2010


DOI: 10.13140/RG.2.1.3346.9840

CITATIONS READS

0 3,675

2 authors:

Adhitya Wardhono Mohammad Rondhi


Universitas Jember Universitas Jember
36 PUBLICATIONS   14 CITATIONS    5 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Penelitian Composite Leading Indicator (CLI) Pertumbuhan Ekonomi serta Composite Leading Indicator (CLI) Inflasi di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi View
project

Competitiveness Improvement Strategy of Soybean Commodity: Study of Food Security in East Java - Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Adhitya Wardhono on 28 April 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Perhitungan Kerusakan dan Kerugian dalam Perspektif Ekonomi dan
Sosial dengan Metode ECLAC pada Bencana Banjir Bandang Panti,
Kabupaten Jember-Jawa Timur

oleh

Adhitya Wardhono, Ph.D. dan Mohammad Rondhi, MP.


Pusat Penelitian Kebencanaan - Lembaga Penelitian - Universitas Jember
Jl.Kalimantan 37 Bumi Tegal Boto - Jember 68121

Seminar Nasional dengan tema Bahaya Banjir Sedimen


Direktorat Sungai dan Pantai Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PU
bekerjasama dengan Magister Pengelolaan Bencana Alam Fakultas Teknik UGM
Magelang, 21 Oktober 2010

A. Pendahuluan
Secara geografis Indonesia terletak tepat pada episentrum kawasan bencana yang dikenal
dengan cincin api (ring of fire). Kawasan bencana ini membentang-melingkar mulai dari
perairan dan daratan Jepang, memutar searah jarum jam ke Australia, Papua Nugini,
Timor Leste, kepulauan Nusantara, daratan Asia hingga kembali ke Jepang. Lebih dari itu
secara geologis Indonesia juga terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu: (1)
lempeng Eurasia (meliputi Benua Eropa dan Asia), (2) lempeng Indo-Australia (meliputi
Benua Australia dan Samudera disekelilingnya), dan (3) lempeng Samudera Pasifik
(Wagener, 1915). Sebagai episentrum kawasan tersebut, hampir semua potensi bencana
melekat dan terdapat di Indonesia mulai dari tanah longsor, banjir, angin puting beliung,
badai gurun, badai salju, tornado, kebakaran hutan, letusan gunung, tsunami. Jelasnya
wilayah Indonesia adalah wilayah rawan bencana yang hampir berpotensi terjadi
diseluruh provinsi di Indonesia.

Dalam perspektif konsepsional, Undang-undang Kebencanaan memaparkan bahwa


bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
1
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang No. 24 Tahun
2007). Bencana sering diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana tersebut
(secara tiba-tiba atau perlahan-lahan), atau sesuai dengan penyebab bencana itu (secara
alami atau karena ulah manusia) (UNDP, 1992). Mencermati masalah kebencanaan maka
konsep penanggulangan bencana perlu dikaji lebih dalam. Pergeseran paradigma telah
terjadi yaitu dari konvensional menuju ke holistik. Pandangan konvensional menganggap
bencana itu suatu peristiwa yang tak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan
pertolongan, sehingga fokus dari penanggulangan bencana lebih bersifat bantuan (relief)
dan kedaruratan (emergency). Maka pandangan semacam ini disebut dengan paradigma
Relief atau disebut juga Bantuan Darurat dimana lebih menekankan pada pemenuhan
kebutuhan darurat berupa: pangan, penampungan darurat, kesehatan dan pengatasan
krisis. Sementara pandangan holistik lebih pada pendekatan Paradigma Mitigasi, yang
tujuannya lebih berorientasi pada identifikasi daerah‐daerah rawan bencana, mengenali
pola‐pola yang dapat menimbulkan kerawanan, dan melakukan kegiatan‐kegiatan mitigasi
yang bersifat struktural (seperti pembangunan konstruksi) maupun non‐struktural seperti
building code, penataan ruang dan sebagainya. Tindak lanjut dalam menghadapi
perubahan paradigma tersebut diselenggarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia
(World Conference on Disaster Reduction) pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe ‐ Jepang,
yang menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana,
baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan yang tertuang dalam kerangka aksi
Hygo (Hyogo Framework for Action 2005-2015).

Jika melihat pada data tahun 2002 hingga 2006 menunjukkan bahwa secara komprehensif
bencana mengambil bentuk yang beragam dan mengakibatkan korban yang tidak sedikit.

2
Paling tidak bencana banjir begitu dominan terjadi di Indonesia dalam kurun waktu
tersebut diatas (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Korban Bencana Tahun 2002 - 2006

Sumber: Bakornas,2007

Konstelasi kebencanaan dalam tataran kewilayahan juga terjadi di Kabupaten Jember,


salah satu kabupaten di Jawa Timur, yang rentan dan rawan bencana sedimen. Paling
tidak data tahun 2006 menunjukkan bahwa di Kabupaten Jember secara beruntun telah
terjadi banjir yang berakibat kerusakan dan kerugian baik material maupun non material
(lihat Tabel 1). Satu bencana yang berdampak traumatis pada tahun 2006 adalah banjir
bandang di Kecamatan Panti. Bagi sebagian besar masyarakat disana kejadian ini baru
pertama kali dan memiliki dampak traumatis, baik secara psikologis, sosial dan ekonomi.
Secara geologis, banjir bandang di Kecamatan Panti tersebut merupakan dampak dari
kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro, yang terletak di bagian utara Jember. Kondisi
ini ditambah dengan hujan deras dan bentuk permukaan tanah yang curam menyebabkan
longsor. Longsoran tanah bercampur air hujan menerjang dan membawa balok-balok
kayu. Selain itu, penyebab banjir bandang yang lain adalah hilangnya penutup tanah

3
akibat perubahan tata guna lahan dari lahan hutan menjadi lahan perkebunan. Kondisi ini
mempermudah pencucian tanah (run off) saat hujan turun.

Tabel 1. Beberapa Wilayah di Kabupaten Jember yang Terkena Banjir Bandang Tahun 2006
No Tempat Korban Kerugian
1 Kecamatan Panti (desa Kaliputih, Kemiri, Meninggal : 59 orang Rumah hanyut : 36
Suci) Luka berat : 2 orang Rumah rusak : 2.400
2 Kecamatan Rambipuji (desa Kaliwining, Luka ringan : 8 orang Jembatan putus : 6
Gugut, Rowotamtu, Curahmalang) Hilang : 16 orang Sawah rusak : 140 Ha
Kecamatan Balung (desa Gumelar) Terisolir : 300 orang Ternak hanyut : 100
3 Kecamatan Jenggawah (desa Jatimulyo, Mengungsi : 1.900 orang Listrik : padam
4 Cangkring) Akses transportasi :
Kecamatan Jelbuk (desa Sumbercandi, terputus
5 Panduman)
Kecamatan Kaliwates (desa Mangli)
6 Kecamatan Tanggul (desa Manggisan,
7 perkebunan Gondang)
Kecamatan Silo (desa Pace, Garahan)
8 Kecamatan Mayang (desa Tegalrejo,
9 Seputih)
Sumber : data BPS Jember tahun 2006

Berangkat dari paparan diatas maka tulisan ini berusaha untuk memaparkan kejadian
banjir bandang di Kecamatan Panti Kabupaten Jember dalam perspektif perhitungan
kerusakan dan kerugian secara ekonomi dan sosial yang dialami oleh masyarakat
setempat. Pendekatan yang digunakan dalam menghitung kerugian dan kerusakan adalah
pendekatan metode ECLAC yang telah diadaptasi dari realitas yang ada pada wilayah
bencana banjir bandang.

4
B. KERUSAKAN DAN KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR BANDANG DI KECAMATAN
PANTI – KABUPATEN JEMBER JAWA TIMUR

Fenomena bencana banjir bandang di Kabupaten Jember adalah fenomena yang relatif baru.
Artinya masyarakat secara spesifik baru memahami apa dan bagaimana banjir bandang itu.
Kenyataan ini menyadarkan masyarakat akan kejadian banjir bandang di Jember terjadi
tahun 2006 di Panti (Jember sebelah utara). Dari sisi aliran, banjir bandang adalah banjir yang
diikuti dengan aliran debris (aliran lumpur, kayu dan batu-batuan yang berasal dari hutan).
Banjir ini terjadi karena kondisi rawan di Pergunungan Argopuro daerah yang terletak di utara
Kabupaten Jember dipicu oleh adanya hujan dan tanah longsor.

Adanya bencana tersebut berakibat berupa kerusakan dan kerugian baik secara fisik,
ekonomi, sosial maupun lingkungan. Kerusakan dan kerugian tersebut dialami oleh
masyarakat terdampak secara langung pada sisi mikro dan juga dialami oleh pemerintah
desa, kecamatan dan kabupaten pada skala yang lebih luas. Secara ekonomis adanya
bencana banjir bandang tersebut berpengaruh terhadap keuangan pemerintah daerah
karena adanya anggaran untuk penanganan bencana tersebut. Oleh karenanya ketepatan
perhitungan merupakan suatu keharusan. Berikut ini sekilas akan dipaparkan metode
yang digunakan dalam penaksiran kerusakan dan kerugian, kondisi makro kabupaten
Jember, Kecamatan Panti dan juga Kerusakan serta Kerugian Akibat Banjir Bandang.

SELAYANG PANDANG KONSEPSI METODE DALAM DaLA (Damage and Lossess


Asasement)
Kerusakan dan kerugian akibat bencana merupakan akibat baik secara langsung maupun
tidak langsung (dampak) yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah setempat maupun
pihak-pihak yang terkena bencana banjir bandang. Akibat secara langsung lebih
5
ditekankan pada hal-hal yang secara fisik, ekonomi, infrastruktur dan sosial terlihat pada
waktu sesaat setelah terjadi bencana. Sedangkan akibat secara tidak langsung adalah
akibat yang tidak nyata secara langsung akan tetapi dampaknya akan berpengaruh pada
masyarakat dan berpengaruh pada akses untuk sumberdaya tersebut. Sebagai contoh,
adanya bencana banjir bandang mempunyai efek langsung pada rusaknya jembatan,
sawah, pasar dan sarana infrastruktur yang ada. Selain itu, karena adanya kerusakan
sarana tersebut, bencana banjir bandang berdampak secara tidak langsung berupa
terputusnya akses masyarakat untuk mendapat sumber daya ekonomi, sosial dan lainnya.

Terkait dengan hal tersebut, satu hal penting adalah bagaimana melakukan proses
penghitungan dan penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana tersebut.
Penghitungan kerusakan dan kerugian ini bermanfaat untuk menghitung adanya
kerusakan yang disebabkan oleh adanya bencana. Hal ini merupakan efek langsung
bencana yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah dan lainnya. Sejurus dengan hal
tersebut adanya penghitungan ini akan bermanfaat untuk rencana rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana.

Selanjutnya, pertanyaan yang penting adalah kapan dan bagaimana perhitungan


kerusakan dan kerugian tersebut dilakukan. Mengingat, bencana merupakan satu hal yang
datang secara tiba-tiba, dalam waktu yang relatif singkat dan memiliki efek yang dahsyat.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tahun 2009, menyebutkan
bahwa penghitungan kerusakan dan kerugian dilakukan dilakukan sesaat setelah kondisi
tanggap darurat selesai seperti digambarkan sebagai berikut.

6
Gambar 2. Penghitungan Kerugian dan Kerusakan dalam upaya Rehab-Rekon.

Sumber: Maarif, 2009.

Gambar 2. tersebut menjelaskan bahwa perhitungan kerusakan dilakukan sesaat setelah


keadaan tanggap darurat. Hal ini mengingat hal awal terpenting sesaat setelah bencana
adalah bagaimana mengurusi pengungsi terkait dengan pemenuhan kebutuhannya.
Setelah kebutuhan dasar pengungsi terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah
mengatur bagaimana pemulihan kondisi pengungsi terkait dengan sumberdaya yang
dimiliki dan akses-akses lainnya.

Terkait dengan bagaimana perhitungan tersebut dilakukan, maka ECLAC (Economic


Comission for Latin American and Carribean) pada tahun 1972 memperkenalkan salah
satu metode yang disebut dengan metode ECLAC. Metode ini digunakan untuk
menghitung kerusakan dan kerugian bencana yang terjadi di Amerika latin pada saat itu
dan diadopsi serta diadaptasi oleh pemerintah Indonesia untuk menghitung kerusakan
dan kerugian akibat bencana tsunami di Aceh tahun 2004. Lebih dari pada itu, dalam
paparan konsepsional Jovel (2007) menjelaskan bahwa ECLAC mencakup stok fisik dan
aliran (flow) yang mengukur kerusakan aset dan perubahan/kerugian dalam aliran
7
ekonomi, menggunakan sistem neraca pendapatan nasional, pendekatan asesmen atas
dasar sektoral (“bottom up”) yang dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total dampak
bencana, analisis dampak bencana pada variabel-variabel makroekonomi dan pendapatan
perseorangan.

Metode ECLAC adalah metode menghitung kerusakan dan kerugian secara komprehensif
dan dilakukan tiap sektor. Menurut metode ini pembagian sektor dan kriteria
dikelompokkan sebagai mana Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Pembagian sektor dan kriteria menurut metode ECLAC
No Sektor Utama Subsektor Kriteria
1. Sektor sosial - Perumahan Ringan : < 30%
- Pendidikan Sedang : 30-60%
- Sosial Berat : >60%
- Keluarga
2. Sektor - Transportasi dan energi Ringan : < 30%
Infrastruktur - Energi Sedang : 30-60%
- Sarana air dan pembuangan Berat : >60%
3. Sektor - Barang: Pertanian, industri, dll Menghitung luas dan nilai yang
Produktif - Jasa: Perdagangan, jasa ada di dalamnya
4. Dampak Global - Lingkungan
- Jender
- Ketenagaan dan kondisi sosial
- Penilaian Ekonomi Makro
Sumber: BNPB (2009).

Pengelompokan sektor tersebut merupakan upaya menyederhanakan kondisi lapangan


dengan posting untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Oleh karenanya terkadang dalam
perhitungan pengelompokan dapat dilakukan lebih komplek dan lengkap.

Tahap penghitungan dikaitkan dengan masa sebelum dan sesudah adanya bencana. Hal ini
dimaksudkan agar tahap rehabilitasi dan rekonstruksi lebih baik dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Selain itu perhitungan kerusakan dan kerugian juga harus dilakukan
8
dengan cepat. Hal ini mengingat proses rehabilitasi dan rekonstruksi harus sesegera
mungkin dilakukan setelah proses tanggap darurat selesai.

KONDISI MAKRO KABUPATEN JEMBER


Kabupaten Jember merupakan Kabupaten yang berbasis pada sektor sektor pertanian.
Lebih dari 44% pendapatan regional bruto dihasilkan dari sektor ini (BPS, 2009). Tidak
kurang dari 4 triliun rupiah pendapatan yang disumbang dari sektor ini. Selanjutnya,
sektor tanaman bahan pangan dan perkebunan merupakan sektor andalan yang mampu
menyerap tenaga kerja secara dominan. Perkembangan dari tahun ke tahun menunjukkan
bahwa sektor pertanian masih mampu menyumbang pendapatan terbesar di Kabupaten
ini (tabel 3).
Tabel 3. Perkembangan Produk Domestik Bruto menurut Sektor dari tahun 2005 – 2007.

No Sektor/Subsektor 2005 2006 2007


1 Pertanian 3,642,812.92 3,839,516.41 4,066,679.48
2 Pertambangan dan penggalian 373,973.97 386,466.21 408,812.67
3 Industri Pengolahan 596,768.04 620,399.32 658,977.22
4 Listrik dan Air Bersih 71,467.28 77,441.93 82,545.87
5 Bangunan 256,396.22 273,122.08 289,478.95
6 Perdagangan, hotel dan restoran 1,573,877.91 1,687,146.92 1,788,879.22
7 Pengangkutan dan komunikasi 364,523.22 381,753.24 403,878.91
8 Keuangan, persewaan bangunan dan
jasa perusahaan 543,189.60 581,559.88 619,871.41
9 Jasa-jasa 813,267.52 858,590.40 907,644.15
8,236,276.68 8,705,996.39 9,226,767.88
Sumber: BPS, 2009

Selanjutnya, sektor perdagangan merupakan sektor yang menyumbang terbesar kedua


pada perekonomian Kabupaten Jember lebih khusus lagi adalah perdagangan komoditas
perkebunan seperti tembakau, karet, kopi dan kakao yang lebih berorientasi pada ekspor.
Perlu dijelaskan bahwa tembakau yang dihasilkan sebagaian besar digunakan sebagai
bahan baku rokok cerutu yang diekspor ke negara-negara Eropa, begitu juga karet
9
merupakan bahan baku untuk produk ban yang sekarang ini kecenderungannya beralih
untuk menggunakan karet alam.

Secara geografis, komoditas perkebunan tersebut (kecuali tembakau) dikembangkan di


wilayah perkebunan yang memiliki kemiringan lebih dari 45 0. Hal ini dikarenakan tanaman
tersebut membutuhkan kecocokan iklim dan tanah untuk komoditas tersebut. Dalam
dimensi kebencanaan kemiringan lahan yang sangat curam tersebut sangat rawan
terhadap bencana (Bensonn dan Twigg, 2007).

SEKILAS GAMBARAN KECAMATAN PANTI


Kecamatan Panti merupakan salah satu wilayah yang terletak di sebelah utara Kabupaten
Jember. Secara administratif Kecamatan Panti dibagi menjadi tujuh desa yang meliputi
Desa Kemuningsari Lor, Desa Glagahwero, Desa Serut, Desa Panti, Desa Pakis, Desa Suci,
Desa Kemiri dan ibukota kecamatan terletak di Desa Glagahwero. Luas wilayahnya sebesar
93,96 km2 dengan ketinggian 2.425 m dpl. Jumlah penduduk Kecamatan Panti dari tahun
ke tahun semakin meningkat. Data BPS Kabupaten Jember (2008) menginformasikan pada
tahun 2007 jumlah penduduk Kecamatan Panti sebanyak 57.652 jiwa, dengan luas wilayah
sebesar 9.396 km2 dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 57.679 jiwa, dengan luas
wilayah yang sama. Dengan kata lain kepadatan penduduknya tidak jauh berbeda dari
tahun ke tahunnya yaitu 0,614 jiwa/km 2. Dilihat dari segi perekonomian masyarakat,
kondisinya sebagian masih tergolong rendah. Menurut data BPS Kabupaten Jember (2008)
jumlah rumah tangga miskin mencapai angka 7.552 jiwa dan penduduk miskin sebesar
18.690 jiwa.

10
Kecamatan Panti merupakan kecamatan yang menerima dampak langsung adanya banjir
bandang tersebut. Secara geografis kecamatan panti terletak pada ketinggian antara 130
m hingga 600 m di atas permukaan laut dengan daerah yang paling tinggi adalah desa Suci
dan Desa Kemiri. Rata-rata tanaman pada ketinggian paling bawah (rendah) adalah
tanaman padi dan jagung, sedangkan rata-rata tanaman pada ketinggian atas adalah
tanaman perkebunan seperti kopi, kakao dan karet. Rata-rata masyarakat bekerja sebagai
petani dan juga buruh tani dan ada sebagian kecil yang bekerja sebagai karyawan kantor
di Kota Jember. Berikut ini kondisi kecamatan Panti dari jumlah penduduk, ketinggian, luas
wilayah, rata-rata pekerjaan, rata-rata komoditas yang diusahakan pada masing-masing
desa di Kecamatan Panti.
Tabel 4. Jumlah Penduduk, Ketinggian, Luas Wilayah, Rata-rata Pekerjaan, Rata-rata
Komoditas yang diusahakan pada masing-masing desa.
Desa/ Luas Perke- Jumlah Sekolah Penduduk
No Ketinggian 2
Sawah Tegalan
Keluarahan (km ) bunan penduduk SD SMP SMK miskin
1 Kemuningsari Lor 130 4.79 353.9 39.3 - 6,181 4 3 - 1,454
2 Glagahwero 180 2.88 219.8 14.7 - 4,999 3 - - 1,641
3 Serut 200 10.64 452 288.4 120 11,947 9 2 - 3,043
4 Panti 175 11.22 409 80 421 9,498 6 3 1 3,127
5 Pakis 450 26.97 318.5 53.1 270 6,553 3 - - 3,380
6 Suci 510 22.8 379 100.1 1273 10,087 6 2 2 2,257
7 Kemiri 600 14.66 278 184.2 11.6 8,414 5 1 2 3,788

Sumber: BPS Jember, 2008

Dari tabel 4 diketahui bahwa beberapa desa di Kecamatan Panti (Pakis, Suci dan Kemiri)
memiliki ketinggian > 400m dengan kemiringan rata-rata > 450 . Hal ini berpotensi untuk
longsor saat ada pemicu (trigger) hujan. Kondisi persawahan juga merupakan hal yang
perlu diperhatikan mengingat jika terjadi bencana banjir bandang dari Daerah Aliran
Sungai Kaliputih, persawahan tesebut dapat terpengaruh. Dampak langsung adanya banjir

11
bandang dapat menyebabkan sawah rusak. Selain itu adanya banjir bandang
menyebabkan aliran berjalan tidak seperti biasanya dan sebagai dampaknya pengarian ke
sawah juga terganggu. Begitu juga fasilitas-fasilitas yang lain seperti sekolah dan juga
adanya jumlah penduduk miskin dan lainnya.

KERUSAKAN DAN KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR BANDANG DI PANTI


Banjir tahun 2006 di Kecamatan Panti berdampak pada kerusakan beberapa sarana
ekonomi produktif antara lain sarana perumahan, pendidikan, tempat ibadah, sarana
transportasi, sumber energi dan sarana perairan. Selain itu, adanya banjir bandang juga
berakibat pada rusaknya sektor ekonomi produktif seperti sawah, perkebunan dan
tempat usaha, baik berupa jasa secara umum ataupun sektor perdagangan. Lebih dari itu,
secara makro adanya bencana banjir bandang berakibat pada rusaknya ketersediaan
lingkungan di sekitar bencana dan juga lingkungan makro lainnya.

Lebih dari 300 rumah mengalami kerusakan akibat bencana tersebut, baik dalam kategori
rusak ringan hingga rusak berat dengan jumlah kematian warga sebanyak 73 orang.
Adanya kerusakan tersebut secara ekonomi senilai dengan 22,5 M. Kerusakan rumah ini
merupakan efek terbesar yang ada di Kecamatan Panti. Sesaat setelah banjir bandang
terjadi masyarakat diungsikan ke Lapangan Dusun Kemiri dan Dusun Tenggiling (Desa
Kemiri), Desa Suci dan ada juga yang diungsikan ke Kecamatan Sukorambi (Kecamatan
yang berada di sebelah Selatan Desa Panti). Dalam kondisi tersebut masyarakat dalam
kondisi tidak berdaya, baik untuk tempat tinggal maupun untuk sumber daya ekonomi.
Salah seorang warga yang bernama Pak Sair sebagai korban bencana banjir bandang
Panti menceritakan dengan lugas bahwa:
”banjir tahun 2006 menyebabkan semuanya jadi rusak, harta benda yang
saya kumpulkan mulai tahun 1972 – 2005 baik sebagai supir Jember-Jakarta

12
(1972-2001) dan 2001-2005 sebagai supir sayur di Jember semuanya ludes
(habis tanpa bekas)”. Kini kami harus mulai semuanya dari nol, SIM (surat
ijin mengemudi) yang saya gunakan sebagai alat untuk mencari nafkahpun
ikut hanyut dalam banjir itu.

Setelah menunggu selama enam bulan masyarakat pengungsi akhirnya mendapatkan


tempat tinggal baru yang ada di Dusun Kantong, Dusun Tenggiling dan Desa Suci yang
sebagian merupakan tanah kas (tanah kekayaan) desa dan sebagian tanah miliknya PTP
(Perkebunan Negara). Di perumahan tersebut, masyarakat mulai menjalankan aktivitas
seperti biasanya. Pada saat awal-awal, mereka merasa tidak biasa dan canggung, karena
harus tinggal berdekatan dalam rumah yang tersusun tersebut. Akan tetapi setelah dua
tahun penyesuaian, mereka akhirnya dapat membaur satu dengan lainnya. Berikut ini
foto perumahan masyarakat yang baru.

Gambar 1. Perumahan relokasi untuk Pengungsi di Desa Kemiri, Kec.Panti Kabupaten Jember

13
Fasilitas umum seperti musholla, masjid dan pondok pesantren juga terdampak hebat
dengan adanya banjir ini. Terdapat empat sekolahan yang rusak saat banjir bandang
terjadi. Murid-murid yang ada di sekolah tersebut diungsikan ke tempat yang aman
sehingga dalam waktu beberapa saat, kegiatan belajar-mengajar sempat libur (sekitar
seminggu) dan dibuka kembali di tenda-tenda pengungsian. Bagi anak-anak yang
keluarganya mengungsi di desa dan kecamatan lain, pemerintah memberikan fasilitas
kendaraan antar jemput untuk itu. Kegiatan tersebut berlangsung kurang lebih selama
enam bulan.

Rusaknya musholla dan masjid berdampak pada kegiatan kehidupan keagamaan.


Sebelum terjadi bencana, khusus masyarakat muslim melakukan kegiatan mengaji
bersama setiap malam senin dan malam jum’at. Pengajian ini dilakukan di musholla dan
juga di rumah-rumah warga secara bergiliran. Adanya banjir bandang tersebut
menyebabkan kegiatan ini tidak pernah dilakukan selama di pengungsian. Mereka baru
memulai setelah di pengungsian. Pak Asto salah satu Ketua RT di Dusun Kantong
memaparkan kisahnya sebagai berikut:
”Adanya banjir ini menyebabkan pengajian rutin terhenti untuk beberapa
waktu terutama pada saat di pengungsian. Jangankan untuk pengajian rutin,
untuk memenuhi kebutuhan makan aja susah. Saya biasanya ngaji sendiri di
pengungsian. Akan tetapi setelah pindah ke perumahan pengajian rutin
kembali dilakukan”

Selain perumahan, sektor infrastruktur juga terdampak dengan hebat. Terdapat 3


jembatan yang rusak dengan kategori rusak berat. Salah satu jembatan tersebut
menghubungkan Dusun Delima dengan Dusun Bunot yang ada di bawahnya. Jembatan
tersebut tidak aktif dalam dua hari. Kerusakan jembatan tersebut secara fisik senilai
dengan Rp 260 juta. Adanya kerusakan jalan tersebut secara ekonomis memutuskan roda

14
perekonomian warga. Hal ini berkaitan dengan akses yang terputus akibat rusaknya
jembatan tersebut. Jembatan tersebut tidak dapat memfasilitasi pengangkutan barang
dari hasil perkebunan kopi dan kakao yang ada di atas selama seminggu. Kerugian yang
ditimbulkan karena rusaknya jembatan tersebut sebesar Rp 800 juta. Nilai ini lebih besar
dibandingkan dengan nilai jembatan itu sendiri.

Gambar 2. Jembatan yang sudah diperbaiki sebagai penghubungan Dusun Delima dan
Bunot.

Sektor produktif merupakan sektor di mana masyarakat bekerja untuk mendapatkan


manfaat ekonomi. Sektor produktif ini dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu barang
dan jasa. Berdasarkan perhitungan dengan metode ECLAC, kerusakan di sektor produktif
sebesar Rp 2,045 M untuk sektor barang dan jasa masing-masing sebesar Rp 670 dan
untuk jasa sebesar Rp 1,375M. Sedangkan kerugian sektor produktif ini sebesar Rp 3,125
M. Nilai kerugian ini meliputi keuntungan dari hasil usaha sawah dan keuntungan jasa
serta perdagangan baik di rumah maupun di pasar. Kerugian sawah karena adanya nilai
dari hasil persawahan akibat adanya banjir tersebut.

15
Gambar 3. Adanya Batu-batu yang masuk ke lahan sawah dan perkebunan menyebabkan
nilai ekonomis lahan tersebut berkurang.

16
Tabel 5. Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana Banjir Bandang di Panti dengan Pendekatan Metode ECLAC
No Sektor Subsektor Kerusakan (jumlah) Nilai Kerusakan (Rp) Kerugian (Rp)
Utama
Ringan Sedang Berat Ringan Sedang Berat Ringan Sedang Berat
1 Sektor sosial - Perumahan 100 56 226 2,500,000,000 2,240,000,000 18,080,000,000
0 0 0
- Pendidikan 0 2 2 0 100,000,000 200,000,000
0 90,000,000 0
- Musholla(Pondok 0 3 2 0 120,000,000 160,000,000
Pesantren) 0 0 0
- Masjid 0 0 1 0 0 90,000,000
0 0 0
2 Sektor -Transportasi
Infrastruktur
- Jembatan 0 0 3 0 0 260,000,000 0 0 800,000,000
- Jalan 0 0 2 0 0 400,000,000 0 0 200,000,000
- Energi 0 0 1 0 0 50,000,000 0 0 100,000,000
- Sarana air 0 0 1 0 0 50,000,000 0 0 100,000,000
3 Sektor - Barang
Produktif 0 0
- lahan sawah 0 100 0 0 0 200,000,000 500,000,000
0 0
- lahan 0 235 0 0 0 470,000,000 1,175,000,000
perkebunan 0 0
- Jasa 0 50 0 0 0 1,250,000,000 250,000,000
0 0
Perdagangan(pasar) 0 0 1 0 0 125,000,000 0 0 400,000,000
4 Dampak - Lingkungan 0 0 30,000,000 800,000,000
Global 0 0 1
0 0
- Ketenagaan dan 0 0 0
kondisi sosial Ada 0 0
0 0
- Penilaian Ekonomi 0 0 0
Makro ada 0 0
0 0
Total masing-masing 2,500,000,000 2,460,000,000 21,365,000,000 0 90,000,000 4,325,000,000
Total 30,740,000,000
Sumber: Data Sekunder dan Primer, 2010

17
Khusus untuk pasar sebagai tempat pertukaran antara penjual dan pembeli terhadap
suatu barang sempat terhenti selama dua bulan. Hal ini berpengaruh pada aktivitas
ekonomi warga yang menjual produk-produknya. Adanya stagnasi kegiatan tersebut
secara ekonomi dapat merugikan semua pihak baik penjual maupun pembeli dan juga
pemerintah daerah yang ada di dalamnya.

Gambar 4. Pasar Bunot yang digunakan Aktivitas Perdagangan di Panti

Akhirnya, secara total kerusakan dan kerugian akibat adanya bencana banjir bandang
tersebut bernilai ekonomi sebesar Rp 30,74 M. Nilai ini termasuk dalam kategori tinggi
mengingat Nilai PDRB Kecamatan Panti sebesar Rp 184,47 M atau dengan kata lain
kerusakan dan kerugian akibat bencana banjir bandang 16,66%. Hal ini belum termasuk
adanya dampak sosial dan psikologis akibat bencana.
18
Dalam skala makro Kabupaten Jember adanya bencana banjir bandang ini berpengaruh
terhadap struktur ekonomi terutama sektor perkebunan dan persawahan yang rusak dan
hilang karena adanya banjir tersebut.

C. PENUTUP
Pelajaran dari bencana banjir bandang Panti menyisakan rasa kemanusian dan
pertanyaan empiris yang tidak kering hingga saat ini. Bencana sedimen menjadi ancaman
yang relatif laten jika tidak segera terindentifikasi sebagai upaya mitigasi bencana
sedimen. Bencana alam banjir bandang terjadi masih diyakini karena aspek alam dan
manusia sebagai penyebabnya. Efek atau akibat bencana merupakan risiko yang
ditanggung oleh manusia yang ada di sekitar lokasi bencana tersebut baik berupa
kerusakan sarana sosial, infrastruktur, sumberdaya produktif maupun kondisi makro.

Penghitungan kerusakan dan kerugian yang cepat dan tepat dapat digunakan sebagai
dasar perencanaan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi untuk memulihkan masyarakat
untuk kembali normal dan dapat menjalankan aktivitasnya. Kedepan upaya adopsi dan
adaptasi metode perhitungan kerusakan dan kerugian harus menjadi kajian yang
sistematis sehingga ketepatan dan kecepatan akan semakin jelas sebagai upaya
pemulihan kerugian dan kerusakan ekonomi dan sosial sebagai akibat bencana.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bakornas, 2007, Data Bencana Indonesia 2006, Jakarta


Benson C., dan Twigg J., 2004. Measuring Mitigation: Methodoloes for Assing Natural
Hazard Risk and The net benefitof Mitigation, Geneva: Provention
Consortium.

Benson C., dan Twigg J., 2007. Perangkat untuk Mengarusutamakan Penanganan Risiko
Bencana, Kerjasama Provention Consortium, HIVOS People Unlimited, Circel
Indonesia, Published in Jakarta

BPS, 2008, Jember dalam Angka 2008, BPS Jember

BPS, 2008, Kecamatan Panti dalam Angka 2008, BPS Jember.

Maarif, 2009, Manajemen penanggulangan bencana Di Indonesia: Kuliah Umum program


Pascasarjana Universitas Jember pada tanggal 8 Mei 2009, Jember

Naryanto dkk. 2007. Potensi Longsor dan Banjir Bandang serta Analisis Kejadian Bencana 1
Januari 2006 di Pegunungan Argipuro: Jurnal Alami Volume 12 Nomor 2
ISSN:0853-8514, Kabupaten Jember

Provention Consortium, Community Risk Assessment (CRA)


Toolkit:http://www.proventionconsortium.org/?pageid=39

United Nations Development Programme. 1992. Tinjauan Umum Manajemen Bencana.


Edisi ke-2. Program Pelatihan Manajemen Bencana, United Nations
Development Programme (UNDP), Jakarta.

Jovel J.R, 2007, Prosedur Umum Untuk Melakukan Penilaian Kerusakan dan Kerugian:
Langkah-langkah dalam mengaplikasikan Metodologi ECLAC, Disampaikan
dalam Pelatihan DaLA, 26-30 April 2009

Wagener, A. 1915. The Origin of Continents and Ocean. Translated by John Biram. Dover
Publication, USA.

20

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai