Anda di halaman 1dari 5

Anisya Rizqia Putri

X IPA I
Bertaruh Nyawa Sebelum Belajar

Inilah kisah heroik bocah-bocah pedalaman Kalbar. Dalam menuntut ilmu di bangku sekolah,
mereka harus bertaruh nyawa melewati derasnya arus Sungai Melawi yang terkenal ganas.
Mogok, karam, tenggelam bahkan disambar ikan tapah menjadi momok yang harus mereka
hadapi setiap pagi sebelum belajar di sekolah. Padahal mereka masih anak-anak.SUTAMI,
Sintang

SISA guyuran hujan semalaman masih terasa di Desa Tebing Raya, Kecamatan Sintang,
Kabupaten Sintang, Kalbar. Hawa dingin masih begitu kuat menusuk badan hingga mengundang
rasa malas beranjak dari tempat tidur. Rintik air hujan terus mengucur sekalipun tidak sederas
malam sebelumnya.Saat jam sudah menunjukkan pukul 04.00, fajar belum terlihat. Suasananya
sangat mendukung untuk orang melanjutkan tidur. Namun seorang bocah berusia 15 tahun
memilih sebaliknya. Ia bergegas bangun dan langsung menuju sungai.

Namanya Hairun. Dia murid kelas tujuh di SMP Negeri 5 Satu Atap Desa Tretung, Sintang.
Saat di sungai, Hairun ternyata tak langsung mandi. Pandangannya mengamati sebuah motor air
kecil yang disebut warga setempat speed. Kendaraan air itu bertambat di lanting depan
kediamannya.Lantai speed sudah penuh berisi air hujan. Seketika itu juga Hairun langsung
mengambil gayung untuk menguras air. Bila tidak segera ditimba, air bisa menenggelamkan
speed. Padahal kendaraan sungai itu menjadi tumpuan Hairun untuk berangkat ke sekolah.
Setelah sejenak bekerja, air di dalam speed berkurang. Hairun pun memastikan speed bisa
digunakan. Dia lalu bergegas mandi. Selanjutnya berkemas usai sarapan sebentar. Tepat pukul
05.00, Hairun pamit ke orang tuanya untuk berangkat ke sekolah. Tali starter mesin motor air
berkekuatan tiga PK yang menempel di speed langsung ditarik. Mesin menyala menandai
perjalanan ke sekolah dimulai.Ternyata Hairun tidak langsung menuju sekolah. Dia memacu
speed ke Desa Mangguk Bantok, kampung sebelah. Arah haluannya ke hulu. Sementara arah
menuju ke sekolahnya ke hilir sungai. Berangkat ke kampung sebelah untuk menjemput kawan-
kawannya seakan sudah menjadi tugas tambahan setiap hari bagi Hairun.

Hairun menjemput temannya seorang demi seorang. Mereka yang dijemput sudah menunggu
di lanting. Jadi Hairun tak perlu menunggu lama. Jemputan pun langsung naik ke atas
speed.Teman yang dijemput antara lain Widi Pratama, Ferry, Levi, Umar Dani, dan Chandra,
serta beberapa teman lain, hingga speed menjadi penuh sesak. “Setiap hari kami memang seperti
ini,” kata Hairun kepada Pontianak Post yang juga ikut dalam rombongan itu. Ia bicara sambil
memegang kemudi speed.Perjalanan panjang mengarungi Sungai Melawi pun dimulai. Sungai
dengan lebar lebih 200 meter itu berarus sangat deras terutama pada pagi hari. Arus jeram akan
semakin deras lagi apabila hujan pada malam harinya.

Hamparan Sungai Melawi dengan tebing penuh hutan belantara menjadi pemandangan
sepanjang perjalanan selama lebih dua jam. Kabut tipis sisa embun seperti melayang-layang di
atas sungai. Hairun sudah piawai mengemudikan speed. Dia telah mengenal alur sungai sehingga
bisa menghindari batu-batu besar yang tidak terlihat dari permukaan.Hairun dan teman
sebayanya tak bisa menghindari perjalanan sungai jika ingin sekolah. Pasalnya akses kampung
mereka dengan lokasi SMP Negeri 5 belum terhubung jalur darat. Listrik juga belum menyentuh
desa tempat tinggal Hairun.

Kondisi sama dengan tempat tinggal para teman-temannya yang dijemput di Desa Mungguk
Bantuk dan Klakau Jaya. Semua belum tersentuh listrik. Jalan di ketiga desa itu masih setapak.
Akses menuju ibukota kabupaten juga belum terhubung dengan baik.Sekalipun keadaan
infrastruktur dalam segala hal sangat kekurangan bukan berarti mematahkan semangat Hairun
dan teman-temannya untuk sekolah. Motivasi mereka sangat kuat untuk mengejar impian
besar.Pendidikan dinilai menjadi nomor satu sebagai pembuka jalan mengejar cita-cita.
“Motivasi saya mencari ilmu dan mengejar cita-cita. Saya ingin jadi tentara,” tutur Hairun.
Sementara Rangga, teman Hairun tampak membalik-balikan papan tempat duduk di speed.
“Basah. Kita tukar bagian bawah naikkan ke atas. Supaya bisa duduk,” katanya. Inisiatif Rangga
muncul lantaran bangku speed basah akibat sisa guyuran hujan. Bila tidak berinisiatif maka
seluruh penumpang tak bisa duduk.Rangga juga mengungkapkan hal serupa dengan Hairun. Ia
rela setiap hari mengarungi sungai tidak ada tujuan lain kecuali demi masa depannya di
kemudian hari. Bangun pagi-pagi biar tidak terlambat juga dinikmatinya, karena sudah
terbiasa.Banyak macam aktivitas rombongan Hairun saat berada di atas speed. Ada yang
bernyanyi. Suasana keceriaan tumbuh selama perjalanan. Lalu ada juga yang mengingatkan
kepada semua penumpang tentang pelajaran di sekolah atau tugas dari guru. “Ada PR tidak.
Kalau tidak mengerjakan PR nanti dihukum,” kata Ferry.

Kendati demikian perjalanan menuju sekolah tak sepenuhnya mulus. Kondisi alam terkadang
menjadi kendala. Saat musim kemarau, mesin speed bisa mendadak mati karena tersangkut pasir.
Datang ke sekolah bisa terlambat, karena untuk menyalakan kembali, mesin harus
dibongkar.Pasir yang masuk ke mesin mesti dibuang. Jika mesin tak bisa hidup, rombongan
pelajar ini terpaksa kembali ke desa. Hadangan batu di alur sungai juga cukup membahayakan.
Bila saat mengemudikan speed tidak ekstra waspada maka bisa menabrak batu. Ancamannya
speed bisa bocor bahkan pecah. “Ini yang kami takutkan,” kata Umar Dani.

Ada kisah menarik saat kabut asap menyelimuti sungai beberapa pekan lalu. Perjalanan
rombongan Hairun tersesat lantaran daratan sama sekali tidak tampak akibat pendeknya jarak
pandang. Perkampungan tempat sekolah sudah dilintasi tapi tidak terlihat. “Kami heran kenapa
tidak sampai-sampai. Kami sudah hampir sampai Sungai Ana,” kata Widi.Cerita Widi, kemudi
speed akhirnya dibelokkan. Diputuskan segera menepikan speed ke arah daratan. Perjalanan
menyusuri daratan dianggap menjadi solusi agar bisa melihat perkampungan. “Ternyata benar
kami tersesat. Sudah kelewatan jauh,” kata Widi.

Beruntung menurut Widi tak lama kabut asap berlangsung, mereka diliburkan. Sekolah
kembali dimulai ketika kabut asap sudah tipis. Ancaman juga bisa datang dari binatang liar. Ular
berbisa bergantungan di dahan pohon pinggir sungai. Speed harus bisa berada di tengah alur agar
tidak kejatuhan ular.Selain itu, ikan tapah sesekali juga muncul dipermukaan. Ikan predator yang
beratnya bisa mencapai 100 kg ini dikenal ganas. Memakan segalanya yang ada di air. Menjadi
sesuatu yang menakutkan bila speed karam atau terbalik setelah menabrak batu.
Kecemasan ternyata tidak saja dialami anak-anak. Perasaan serupa juga dirasakan para
orangtua dan wali murid. Begitu besar resiko yang harus mereka tanggung sendiri saat
mengemudikan speed di arus sungai yang deras saat sekolah. Hal itu terpaksa dilakukan lantaran
jalur Desa Tebing Raya, Mungguk Bantok dan Klakau Jaya ke Desa Tretung tidak ada jasa
angkutan umum air yang melintas.“Sungai Melawi arusnya lebih deras dibanding Sungai
Kapuas. Apalagi kalau sehabis hujan. Kita terkadang juga memikirkan masalah keselamatan.
Mereka masih kecil-kecil. Tapi keadaan sudah memaksa. Kalau tak nekat pakai speed berarti
tidak sekolah. Sementara pendidikan penting untuk masa depan,” kata H. Arifin, kakek dari
Hairun sekaligus tokoh masyarakat Tebing Raya, ini.

Cerita Arifin di desa terdekat kampungnya tidak ada sekolah SMP. Kecuali di Desa Tretung.
Padahal di Tebing Raya, Mungguk Bantuk dan Klakau Jaya, bila didirikan SMP muridnya
dipastikan ramai. Tiga desa saling berdekatan dengan penduduk ratusan kepala keluarga.Ketiga
desa ini memang masih terisolir. Sekolah tidak ada, listrik belum mengalir, jalan juga tidak ada.
Bahkan belum terhubung dengan jaringan telepon seluler. “Padahal desa kami masuk wilayah
Kecamatan Sintang, kecamatan pusat ibukota kabupaten,” katanya. Kepala Sekolah SMP Negeri
5 Satu Atap Desa Tretung Sintang Wisnoe Wardhana mengatakan jumlah muridnya sebanyak 92
orang. Siswa yang setiap hari selalu mengarungi sungai untuk berangkat dan pulang sekolah ada
17 orang. Mereka terbagi atas beberapa kelompok speed. Antara lain kelompok Hairun dan
Joviantus.Wisnoe tidak menampik perjalanan muridnya ke sekolah menggunakan speed sangat
berisiko. Tantangan alam menjadi nomor satu. Misal hadangan pasir dan batu saat musim
kemarau. Sementara arus sungai yang deras mesti dilalui setiap hari. Saat musim kabut,
lanjutnya, sekolah juga meliburkan murid, selain alasan kesehatan juga mempertimbangkan
faktor keselamatan.

Kendati demikian, Wisnoe cukup apresiasi dengan para muridnya meski menggunakaan
speed dan menghabiskan perjalanan cukup panjang, mereka jarang terlambat datang ke sekolah.
Kecuali faktor alam dan teknis. Misal saat hujan atau mesin rusak. “Kalau mesin rusak kita
sudah tahu. Biasa tali starter putus. Maka sekolah juga memberikan dispensasi jika terlambat,”
ujarnya kembali.Semangat Hairun dan teman-temannya di Desa Tebing Raya patut menjadi
contoh. Tantangan alam yang begitu berat, bahkan nyawa taruhannya, harus dilalui setiap hari
utk bisa duduk di bangku sekolah. Tak ada yang dikejar Hairun kecuali menggapai cita-cita
menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Semoga impian itu terkabul.
Simpulan

“Barangsiapa bersabar dengan kesusahan yang sebentar saja maka ia akan menikmati
kesenangan yang panjang” (Thariq bin Ziyad)

Calon ahli ilmu tidak akan tinggal diam. Ia tempuh perjalanan jauh dari rumahnya untuk
menuntut ilmu. Ia akan dapatkan ilmu yang membuatnya mulia dan tinggi derajatnya di sisi
Rabb-Nya, ia akan dapatkan pengganti asyiknya mainan.

Tentunya kita juga belajar dari generasi hebat terdahulu, bagaimana beliau-
beliau rahimakumullah, begitu besar semangatnya dalam menuntut ilmu. Sangat
kuat ghirah perjuangannya untuk terus belajar. Rela menempuh perjalanan bermil-mil untuk
memperlajari 1 bab ilmu. Bahkan hanya untuk mendapatkan 1 hadist, beliau tempuh perjalangan
siang dan malam di tengah gurun pasir yang tandus, di bawah panas terik matahari dan dingin
malam yang menggigit, dengan perbekalan yang sangat terbatas. Namun, beratnya perjuangan itu
justru terasa ringan karena nikmatnya ilmu yang beliau-beliau rasakan. Sebagaimana Imam
Ahmad yang ditanya oleh sahabatnya karena terlihat sangat bersemangat dan tidak mengenal
lelah dalam menuntut ilmu, “ Kapankah engkau akan beristirahat?“dan MasyaaAllah beliau
menjawab dengan mantab, “ Nanti, istirahatku ketika kakiku telah menapak di surga.”

Wahai para penuntut ilmu, calon generasi peradaban Islam, Hendaklah ilmu yang kita miliki
menjadikan kita semakin takut untuk bermaksiat dan semakin semangat dalam taat kepada Allah.
Menjadikan kita terus berjuang untuk mewujudkan kegemilangan Islam. Bersemangatlah,
berlelah-lelahlah, karena lelahmu akan memuliakanmu.

Anda mungkin juga menyukai