Anda di halaman 1dari 27

Bidadari dalam Diri

Laisa
D

an sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22).

Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung

indah. Mereka baik lagi cantik jelita. (Ar Rahman: 70). Bidadari-bidadari surga,

seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)

Seringkali kita mendengar keinginan wanita untuk disamakan

kecantikannya dengan bidadari. Atau mungkin keinginan seorang laki-laki untuk

memiliki pendamping hidup yang cantik seperti bidadari. Dan keinginan anak

kecil untuk menjadi seorang bidadari. Akan tetapi terlepas dari semua itu, timbul

pertanyaan dalam diri kita. Benarkah bidadari itu cantik? Atau jangan-jangan

hanya mitos yang terlanjur menjamur di masyarakat.

Kesan cantik yang dimiliki oleh bidadari seperti telah menjadi

fenomena tersendiri di dalam kehidupan masyarakat. Sejak kecil, seorang anak

telah dijejali berbagai cerita tentang bidadari. Tidak mengherankan jika hal

tersebut terbawa hingga dewasa.

Pernahkah kalian mendengar dongeng masa kecil Jaka Tarub?

Dalam dongeng ini dikisahkan seorang pemuda tampan yang tanpa sengaja

melihat bidadari-bidadari yang sedang mandi di telaga. Ia sangat terpesona akan

kecantikan mereka dan timbul keinginan untuk memiliki salah satu dari mereka.

Dengan sengaja, diambilnya salah satu selendang yang tergeletak di atas batu dan
disimpannya. Akibatnya seorang bidadari bernama Nawang Wulan tidak bisa

kembali ke khayangan dan akhirnya diperistri oleh Jaka Tarub.

Pun sama halnya dengan berbagai cerita yang melegenda di luar

negeri. Sering kita mendengar istilah peri atau “fairy” yang secara umum

penggambarannya hampir sama dengan bidadari. Yaitu perempuan yang cantik,

baik, dan memiliki kekuatan sihir, seperti mengubah bentuk benda, memindahkan

barang dalam sekejap, dan membereskan rumah dengan waktu yang sangat

singkat.

Dalam bahasa Inggris awalnya nama fairy berasal dari kata elvish

sejak sebelum tahun 1000 M yang berarti peri. Dalam cerita rakyat, makhluk

ghaib ini adalah ras yang sakti. Menurut akar kata Indo-Eropa, kemungkinan kata

elvish berasal dari albiz, yang walaupun asal-usulnya tidak diketahui, merupakan

kata turunan dari albho yang berarti putih (wikipedia berbahasa Indonesia: Peri).

Sedikit berbeda dengan versi di Indonesia, peri atau bidadari tidak

saja dikisahkan sebagai seorang yang santun dan ramah. Akan tetapi juga,

beberapa menceritakan tentang kejahilannya. Sebagai contoh yaitu perilaku nakal

Tinkerbell dalam cerita fiksi karya James M. Barrie (1904) maupun dalam cerita

fiksi Peter Pan and Wendy karya penulis yang sama (1911).

Bidadari sendiri sebenarnya lahir dari sebuah kepercayaan. Sama

halnya dengan peri yang dipercaya oleh anak-anak di luar negeri. Di Indonesia

sendiri, bidadari terlahir dari kepercayaan agama Hindu.

Dalam penjelasan pada laman Wikipedia, kata bidadari sebenarnya

berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Vidhyadhari atau Apsara. Menurut

kepercayaan Hindu, bidadari adalah makhluk yang berwujud manusia dengan


jenis kelamin wanita dan tinggal di khayangan. Bidadari diciptakan untuk

menyampaikan pesan dari dewa-dewa kepercayaan agama Hindu kepada manusia.

Hal ini sama halnya dengan peran malaikat dalam beberapa agama lain. Selain itu,

bidadari dalam agama Hindu juga ditugaskan untuk menguji kegigihan dan

keyakinan seorang pertapa dengan kecantikan fisik yang dimilikinya. Dengan

begitu cukup satu kata untuk menggambarkan kecantikan fisik bidadari, yaitu

sempurna.

Islam sendiri juga mengenal adanya bidadari. Berbeda dengan

kepercayaan Hindu, dalam agama Islam bidadari atau bidadari surga digambarkan

sebagai gadis cantik yang dipersiapkan untuk laki-laki yang beriman di surga.

Beberapa penggambarannya pun telah dituliskan dalam suhuf Qur’an.

Pada surat Al-Waqi’ah, Allah menyebutkan bidadari sebagai Huur

iin yang berarti putih dan bermata jeli. Hal tersebut dituliskan pada ayat 22 dan

23.

“Dan sungguh (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari bermata

jeli. Laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Al-Waqi’ah: 22-23)

Dari ayat tersebut kita dapat membayangkan sedikit mengenai

bentuk fisik seorang bidadari. Seorang bidadari bermata jeli berarti ia memiliki

sepasang mata yang indah. Sedangkan, bidadari juga diibaratkan sebagai sebuah

mutiara yang tersimpan dengan baik. Kita tentu mengetahui betapa berharganya

sebuah mutiara bagi manusia. Mutiara adalah perhiasan yang bahkan lebih mahal

daripada emas. Dari beberapa penjelasan tersebut, kita dapat membayangkan

betapa berharganya seorang bidadari hingga dianalogikan sebagai sebuah mutiara

yang bahkan disimpan dengan baik.


Dalam surat ini pula dijelaskan bahwa bidadari surga diciptakan

khusus bagi laki-laki penghuni surga dan merupakan gadis yang masih perawan.

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari)


secara khusus dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan,
penuh cinta dan sebaya umurnya.” (Al-Waqi’ah: 35-37)

Bukti keperawanan dari bidadari-bidadari surga tersebut dijelaskan

pada surat yang lain. Yaitu dalam surat Ar-Rahman ayat 56.

“......yang tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka


(penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak
pula oleh jin.” (Ar-Rahman:56)

Secara fisik, bidadari surga dilukiskan sebagai perempuan ciptaan


Allah yang sempurna. Segala hal yang diinginkan oleh perempuan pada umumnya
di bumi telah dimiliki oleh bidadari surga. Baik itu kecantikan fisik maupun
segala hal ihwal yang melekat pada tubuhnya. Hingga para sastrawan bahkan
seniman yang tersohor dengan daya imajinasinya pun kehabisan kata-kata dalam
menggambarkan kecantikan sempurna yang dimiliki oleh bidadari surga.

“Allah menciptakan bidadari terdiri dari 4 warna, putih, hijau,


kuning dan merah. Tubuhnya diciptakan dari za’faran, misik,
anbar, dan kafur (wewangian). Rambutnya dari sutera. Pada
setiap tangannya terdapat 10 gelang dari emas, jari-jarinya
tedapat 10 cincin, pada setiap kakinya terdapat 10 binggel (gelang
kaki) dari jauhar dan mutiara”

Selain itu, dijelaskan juga bahwa bidadari surga memiliki suara

bagaikan emas untuk menyambut suami mereka setiap hari. Dan entah bagaimana

Allah mengaturnya, hanya suami bidadari itu yang dapat mendengar merdunya

suara emas mereka.

”Istri-istri penduduk surga akan menghibur para suami mereka


dengan nyanyian yang dibawakan dengan suara yang paling
merdu yang pernah didengar orang.” (HR. Sa’id bin Abi Maryam)

Penggambaran di atas sudah cukup untuk menjelaskan mengenai

keberadaan bidadari. Bahkan cukup menjelaskan bentuk fisik seorang bidadari


yang selama ini terbayang-bayang dalam pikiran manusia. Tetapi tidak semua

manusia dapat bertemu dengannya. Hanya orang-orang beriman yang dapat

melihat bahkan memilikinya.

Seorang bidadari tidak dipersiapkan untuk syaitan, jin, malaikat,

melainkan untuk manusia hingga saat waktu yang telah ditentukan. Sehingga

selama waktu itu datang, seorang bidadari berada di surga dan dijaga kesuciannya

hingga suami-suami mereka datang.

Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan


dengan baik (Ash-Shaffat: 49)

Dari beberapa penjelasan di atas dapat menjawab pertanyaan kita

pada awal pembahasan. Bahwa sesungguhnya kecantikan fisik maupun inner

beauty dari seorang bidadari itu benar adanya. Akan tetapi kecantikannya tidak

dapat dibandingkan dengan kecantikan seorang perempuan di bumi. Kecuali

empat golongan perempuan yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW.

“Wanita yang menjadi junjunga ahli surga itu ada empat :


Maryam, Fatimah, Khadijah dan Asiah”

Akan tetapi suatu fakta bahwa bidadari surga yang kelak menjadi

istri laki-laki beriman bukanlah istri-istri mereka yang berada di bumi. Karena

sebenarnya bidadari surga telah dipersiapkan oleh Allah dan tercatat dalam takdir

untuk dipasangkan oleh laki-laki yang beriman.

Lalu bagaimanakah penggambaran bidadari dalam novel Bidadari-

bidadari Surga karya Tere Liye? Di dalam novel ini, Laisa, tokoh utama

dilukiskan sebagai bidadari tanpa sayap. Ia bukan bidadari yang secara umum

dibayangkan oleh sebagian besar orang. Laisa tidak digambarkan sebagai seorang

perempuan yang memiliki paras cantik jelita. Sebaliknya, bidadari dalam novel ini
digambarkan hanya sebagai perempuan biasa yang bahkan bisa dibilang sebagai

‘itik buruk rupa’ yang memiliki berbagai kekurangan.

"LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih.


Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak
seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU
BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!"

Tere Liye sengaja tidak menciptakan sosok bidadari yang maha

sempurna dalam novel ini. Bahkan dengan sengaja menciptakan bidadari yang

jauh dari kesan biasa. Tetapi jika menilik ke dalam hatinya, mungkin lebih baik

daripada seribu wanita. Terlebih kepada adik-adiknya, dia selalu berkorban demi

kebahagian
Malam itu, Laisa untuk kesekian kalinya tiba tepat waktu.
mereka. Menggedor pintu rumah kepala kampung atas. Terbata-bata
bilang tentang sakit Yashinta.
Mungkin
Tubuhnya yang tanpa pelindung apapun menggigil. Tadi
bentuk hampir satu jam ia mendaki lembah untuk tiba di kampung
atas. Normalnya hanya setengah jam, tapi di tengah jalan
pengorbanan tadi, kakinya menghantam tunggul Batang kayu yang sudah
mati. Seperti ditusuk seratus sembilu saat berusaha
Laisa dijejakkan ke tanah. Tapi Laisa, terus mendaki lembah.
Memaksa kakinya melupakan rasa sakit. Yashinta
kepada
menunggu pertolongan di rumah.
adiknya tidak

begitu nampak pada awalnya. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pengorbanan

Laisa mulai dirasa oleh ketiga adiknya.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana seorang kakak meminta

bantuan ke tempat yang berjarak cukup jauh. Dimana orang-orang masih terlelap

dan terbuai oleh peraduan. Tepat tengah malam, Laisa berlari mendaki bukit

dalam guyuran hujan yang lebat. Bahkan tanpa memedulikan sakit di kakinya saat

terantuk kayu.
Dewasa ini jarang kita temui pengorbanan seorang kakak yang

begitu hebatnya. Bahkan mungkin jika boleh dibilang, sudah tidak ada. Yang

sering kita lihat akhir-akhir ini adalah perkelahian antarkakak-beradik.

Pernahkah kalian mendengar berita perkelahian antara Agil

Sarifudin (18) dengan Muhammad Maulidin (21) yang terjadi pada akhir bulan

November tahun lalu? Kedua kakak-beradik itu bertengkar hanya karena masalah

uang. Konflik berawal ketika Maulidin menuduh Agil mencuri uang miliknya.

Akan tetapi Agil tidak menerima tuduhan sang kakak. Perkelahian pun akhirnya

pecah. Dan tidak pernah terduga sebelumnya jika perkelahian itu berujung pada

kematian Agil, si adik.

Tidak pernah dinyana sebelumnya jika seorang kakak tega

membunuh adiknya sendiri hanya karena uang. Mungkin saja ia melakukan hal

tersebut tanpa sengaja, hanya untuk membela diri. Tapi andaikata masing-masing

pihak bisa meredam emosi atau salah satu pihak mau mengalah, perkelahian

tersebut tentu dapat dihindari. Dan yang jelas tanpa menimbulkan korban jiwa.

Jika sang kakak dapat berpikiran positif atau si adik dapat sedikit mengerti

kakanya, hal tersebut pun tidak akan terjadi. Mungkin tidak diduga sebelumnya

bahwa yang akhirnya datang adalah sebuah penyesalan. Toh apapun yang terjadi

setelahnya tidak akan bisa mengembalikan nyawa seseorang kembali lagi.

Bandingkan dengan pengorbanan Laisa kepada adik-adiknya. Jauh

berbeda 180 derajat. Baginya bukan materi yang nomor satu, akan tetapi sebuah

kebahagiaan keluargalah yang terpenting. Dari kutipan di atas, betapa pun Laisa

ingin agar adik bungsunya dapat lekas sembuh. Walau harus menerjang hujan

pada tengah malam pun ia sanggup melakukannya.


Selain itu, pada kutipan lain menceritakan bagaimana seorang

Laisa mampu melindungi adik-adiknya dari bahaya yang bisa saja terjadi dalam

sepersekian detik. Walau sesaat sebelumnya ia telah dihina oleh adik-adiknya, ia

tetap melindungi mereka dengan penuh keberanian.

Saat Ikanuri dan Wibisana hampir jatuh pingsan,


ketakutan. Saat harimau terbesar yang berada paling dekat
bersiap meloncat. Saat itulah Kak Laisa menunaikan
janjinya.
"TIDAK! TIDAK BOLEH!" Terhenti. Gerakan tubuh
harimau terbesar itu terhenti.
"TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN
MEREKA!"
Kak Laisa, entah apa yang ada di kepalanya, yang sedetik
baru tiba di sana, sedetik terpana menyaksikan
pemandangan di depannya, tanpa berpikir panjang,
seperseribu detik langsung loncat dari balik semak,
menerobos ke tengah kerumunan. Mukanya terlihat begitu
tegang. Ia sungguh gentar. Ia sungguh ketakutan. Siapa
pula yang tidak akan jerih melihat tiga ekor harimau dari
jarak dua meter tanpa penghalang?

Bagi sebagian besar orang, apa yang dilakukan oleh Laisa adalah

tindakan bodoh yang semestinya tidak harus dilakukan. Apalagi oleh seorang

gadis remaja berumur 16 tahun. Dengan tanpa berpikir panjang, ia langsung

menerobos semak-semak untuk menghadapi seekor harmau lapar yang sudah siap

melahap dua anak manusia tanpa daya.

Bayangkan jika kita ditempatkan pada posisi Laisa. Apa yang akan

kalian lakukan saat itu juga? Berdiri mematung dan pasrah melihat adik kalian

diterkam, lari terbirit-birit ke perkampungan yang jaraknya cukup jauh untuk

mencari pertolongan, atau melakukan hal sama yang dilakukan Laisa? Mana yang
akan kalian pilih? Apalagi jika orang itu bukanlah adik kandung kalian sendiri?

Relakah kalian mengorbankan nyawa kalian yang berharga itu?

Sebagian besar mungkin memilih untuk menghindari masalah,

karena umumnya memang kebanyakan orang memilih untuk tidak berurusan

dengan masalah. Tetapi Laisa tidak termasuk ke dalam golongan kebanyakan

orang. Ia memilih untuk tidak lari dan menghadapinya, walau sesaat kemudian

mulai meragukan tindakan yang ia pilih. Walau begitu, ia telah memutuskan

sesuatu dan tidak bisa mundur. Toh pada akhirnya harimau itu mundur dan

memilih untuk pergi. Membiarkan kakak-beradik itu bernapas lega dan

mensyukuri keberadaan nyawa mereka yang masih utuh.

Cara berpikir Laisa memang berbeda. Mungkin dia bersekolah

dalam waktu yang singkat. Hanya sedikit ilmu yang bisa dia tangkap dalam

jangka tiga tahun pendidikannya. Membaca dan menghitung. Baru itu yang bisa

didapatkan oleh anak kelas tiga SD. Akan tetapi pelajaran yang ia terima dari

pengalaman dan keadaanlah yang membuatnya mampu berpikiran lebih luas.

Secara logika, jika seseorang disakiti orang lain, maka orang itu

akan membalasnya dengan hal yang sama. Atau setidaknya tidak ingin

berhubungan dengan orang tersebut selama beberapa waktu maupun dalam waktu

yang lama. Akan tetapi Laisa tidak berpikir hanya menggunakan logika, namun

juga menggunakan nuraninya. Saat hati nurani berkata untuk menyelamatkan

adik-adiknya, maka sesegera mungkin ia akan menyelamatkan mereka.

Tanggapan Laisan dalam membalas perilaku orang lain itu dapat

kita refleksikan dengan Nabi Muhammad SAW. Dimana saat beliau dicemooh
oleh orang-orang yang tidak percaya akan kenabian beliau, Nabi Muhammad

SAW tetap membalas mereka dengan perilaku santun beliau.

Masih ingatkah kalian dengan kisah seorang pengemis tuna netra

yang sehari-harinya hanya mencemooh Nabi Muhammad? Bukannya membalas

mencemooh pengemis itu, akan tetapi beliau malah memberinya makan setiap

hari. Menyuapinya dengan lembut tanpa rasa dendam, walau dijelek-jelekkan di

depannya sendiri. Tetapi apa yang terjadi setelah Nabi Muhammad SAW

meninggal dunia? Pengemis itu merasa kehilangan orang yang selama ini

memerhatikannya. Begitu tahu bahwa yang selama ini menyuapinya adalah orang

yang selama ini pula dicemoohnya, ia sangat menyesal dengan tindakannya itu.

betapa pun ia ingin kembali saat Nabi Muhammad belum meninggal dunia dan

meminta maaf kepadanya.

Begitu pun yang terjadi pada Laisa. Bertahun setelah kejadian itu,

adik-adiknya, Ikanuri dan Wibisana menyadari bahwa keberadaan Laisa dalam

hidup mereka adalah sesuatu yang sangat berharga. Tanpa adanya Laisa yang

entah telah berapa kalinya datang tepat waktu, mungkin mereka berdua sudah

tidak ada di dunia ini.

"Aku hanya takut. Takut terlambat tiba—"


Ikanuri berkata pelan. Tertunduk menatap keluar jendela.
Berusaha menyeka matanya. Wibisana menelan ludah.
Menepuk lembut bahu Ikanuri.
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri, tidak akan...." Ikanuri
hanya diam. Berusaha mengendalikan dirinya. "Kau tahu,
kenapa?" Wibisana tersenyum getir. "Ka-re-na.... Karena
Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk kita.”
Ikanuri menyeka matanya. Terisak lebih kencang.
Kereta ekspress Eurostar itu terus melesat menuju Paris!
Itu benar sekali. Kak Laisa tidak akan pernah terlambat.
Dari kutipan di atas dapat diketahui betapa berharganya Laisa bagi

adik-adiknya. Semua kebaikannya bahkan masih melekat di ingatan dan benak

mereka hingga bertahun-tahun kemudian. Tidak hanya sekali, dua kali, atau tiga

kali Laisa membela adik-adiknya. Berkali-kali, bahkan hingga tak mampu

dihitungnya.

Tidak hanya melindungi adik-adiknya dari terkaman harimau,

bahkan Laisa pun membela adiknya di depan orang banyak. Dia tidak ingin

adiknya merasa malu di depan mereka. Seperti pada bab Kincir Air, dimana

adiknya, Dalimunte diragukan oleh warga kampung saat mengemukakan

pendapatnya untuk mengatasi masalah air di sawah. Tetapi dengan tegas Laisa

mendukung ide adiknya yang cerdas itu. dan berhasil meyakinkan warga untuk

mencoba membuat kincir air rancangan Dalimunte untuk mengairi sawah mereka.

Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang


sekali. Membuat dengung lebah terdiam. Seketika.
Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal
sekali intonasi suara itu. Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri
dari duduknya.
"Kita bisa melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-
kincir itu. Jika Dalimunte bisa membuat dua dengan bambu
seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus, lebih
kokoh."

Peristiwa itu adalah salah satu yang melatarbelakangi terwujudnya

kehidupan yang lebih baik di Lembah Lahambay, tempat dimana selama ini Laisa

tinggal. Laisa turut andil dalam kemajuan desa itu. Jika saja Laisa tidak

meyakinkan warga untuk mencoba penemuan Dalimunte yang saat itu masih kelas

lima SD, mungkin mereka masih kesulitan dalam mengairi ladang mereka.
Dalimunte sendiri sebenarnya masih ragu dengan apa yang ia

ungkapkan di balai pertemuan. Apalagi dengan berbagai tanggapan yang muncul

dari warga. Ia tidak pernah mengira semua itu. yang ia bayangkan sebelumnya

adalah ia menyampaikan pendapatnya dan selanjutnya terserah tetua kampung.

Tapi dengan tanggapan warga membuat nyalinya ciut. Hingga Laisa datang

sebagai penolong baginya. Jika saat itu Laisa tidak membelanya mungkin ide-

idenya yang brilian itu tidak akan terlaksana.

Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia


yang memulai ide lima kincir air tersebut, tapi semua orang
tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya dikerjakan. Hari
itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana bicara yang
baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari Kak
Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal
tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang.

Apa yang Laisa nyatakan malam itu adalah sebuah bentuk

kepercayaan seorang kakak kepada adiknya. Selain itu juga ia pun telah bertekad

tidak akan membirkan adik-adiknya kecewa dan malu. Jika ada yang harus meresa

kecewa dan malu itu adalah ia, bukan adik-adiknya. Adik-adiknya berhak atas

masa depan yang lebih baik daripada dirinya. Itulah janjinya kepada babak

mereka yang telah pergi.

Walau seringkali dicemooh oleh orang lain karena fisiknya, Laisa

selalu sabar menghadapinya. Tang terpenting adalah kesuksesan dan kebahagiaan

adik-adiknya. Seperti yang dialaminya saat mengantarkan adik bungsunya,

Yashinta mendaftar sekolah. Dia menerima dengan lapang dan sabar menghadapi

cemoohan salah satu guru yang merendahkannya.


Bagaimanalah ia tidak akan marah. Ketika formulir
pendaftarannya akan ditandatangani Kak Laisa, petugas itu
kasar menegur, "Harus orang tua atau wali murid yang
menandatangani, bukan pembantu yang mengantar—"
"Ia kakakku—" Yashinta yang menjawab.
"Bagaimana mungkin ia kakakmu?" Petugas itu menatap
keheranan. ”Kalian sungguh berbeda. Ia lebih pend...
Baiklah-"

Lihatlah, bagaimana Laisa dengan sabar menghadapi cemoohan itu.

bahkan ia menegur Yashinta, adiknya untuk menahan emosi dan terus melanjutkan

mendaftar. Dia tidak keberatan dijelek-jelekkan bahkan di depannya sendiri. Yang

terpenting adalah masa depannya.

Dia tidak masalah dengan perilaku orang lain kepadanya. Akan

tetapi apa yang ia perbuat kepada orang lainlah yang lebih penting baginya. Tidak

peduli dengan apa yang dilakukan orang kepadanya maupun cara pandang

mereka. Sebisa mungkin ia menahan emosi, kalau bisa pun membalas perilaku

orang lain itu dengan kebaikan.

Ia pun membuktikannya dengan apa yang dilakukannya di Lembah

Lahambay, tempat tinggalnya. Ia merubah penghidupan warga menjadi lebih baik.

Seperti halnya dengan fisiknya yang sering dicemooh orang lain, keputusan Laisa

untuk mengubah seluruh ladang milik keluarganya menjadi perkebunan strawbery

pun dipertanyakan keberhasilannya. Banyak orang yang meragukan tindakan

Laisa. Mereka berpikir ia terlalu gegabah dalam menanggapi pertemuan di Balai

Kampung dengan beberapa mahasiswa dari kota. Mereka berpikir bahwa Laisa

mudah percaya dengan perkataan orang lain. Akan tetapi begitulah sifat Laisa.
Apa yang menurutnya akan bermanfaat dan berdampak positif, akan ia lakukan

dengan sungguh-sungguh.

Walau pada awalnya apa yang dilakukan Laisa mengalami

kegagalan dan menyebabkan tertundanya sekolah Dalimunte, tetapi ia tetap yakin

jika semua dilakukan dengan lebih bekerja keras maka keberhasilan pun menanti

di depan mata.

Kabar baik itu akhirnya tiba. Empat ratus pohon strawberry


merekah subur dari kantong-kantong plastik hitam. Bukan
main. Empat bulan berlalu lagi, hari-hari dihabiskan dengan
kerja keras, pagi-sore di kebun, bahkan Kak Laisa baru
pulang saat adzan magrhib terdengar, telaten merawat satu
demi satu batangnya. Mencurahkan seluruh perhatian ke
kebun satu hektar itu. Dan Mamak akhirnya tersenyum
lebar, buah-buah merah ranum mulai bermunculan dari
batang-batangnya.

Apa yang diapatkan Laisa saat itu sepadan dengan kerja keras yang

selama ini ia lakukan. Dengan sabar dan tekun, Laisa mengurus perkebunan

strawbery miliknya. Ia membuktikan kepada warga bahwa apa yang telah

diputuskannya adalah yang terbaik baginya dan keluarganya. Dengan tekad yang

bulat, ia ingin membuktikan kepada orang-orang apa yang mereka pikirkan itu

tidak benar.

Ingatkah kalian dengan Albert Eintein? Seorang jenius yang

menemukan rumus fisika E=mc2 yang merupakan pembuka peluang

berkembangnya proyek tenaga nuklir di kemudian hari. Pada masa kecilnya, tidak

ada seorang pun yang menyangka jika kelak Einstein kecil akan menjadi seorang

ilmuan jenius yang dikenal seluruh dunia selama bertahun-tahun kemudian.


Apalagi membayangkan ia dapat menemukan sebuah rumus ‘magic’ yang bisa

mengembangkan pengetahuan tentang nuklir.

Pada masa kecilnya, Albert Einstein dipercaya sebagai seorang

anak yang terbelakang. Kemampuan berbicaranya amat lamban, watak yang

pendiam, senang bermain sendiri, dan sering marah-marah dengan melempar

segala sesuatu benda bahkan kepada adiknya sendiri yang masih balita hingga

berumur tujuh tahun. Sifat-sifat seperti itulah yang seringkali orang lain

meragukan kemampuan Einstein.

Namun pada akhirnya ia mampu mencetak prestasi yang sangat

gemilang. Ia dinobatkan sebagai pemilik IQ tertingga hingga saat ini. Dan otaknya

pun masih diabadikan di National Museum of Health and Medicine

Lalu apa hubungan Einstein dengan Laisa. Laisa memang tidak

secerdas Einstein yang berhasil menciptakan penemuan-penemuan ilmiah. Namun

dengan kerja keranya, ia mampu menciptakan suatu kondisi dimana warga

desanya memilikimasa depan kehidupan yang layak. Sama halnya dengan

Einstein yang pada awalnya tidak dipercayai oleh orang lain, Laisa dapat

menegjutkan berbaagai pihak dengan keberhasilannya dalam menanam buah

strawbery. Dan akhirnya pun banyak warga yang mengikuti jejaknya.

Sama halnya dengan Thomas Alfa Edison, sang penemu bohla

lampu. Pernahkan kalian berpikir, jika saja saat itu Edison menyerah pada

kegagalannya, apa yang akan terjadi di dunia sekarang ini? Akankah pada malam

hari kita dapat mengerjakan tugas dengan menggunakan cahaya yang terang

benderang?
Thomas Alfa Edison bukanlah sosok yang mudah menyerah. Untuk

mendapatkan sebuah kesuksesan, harus dilaluinya dengan berbagai kegagalan.

Bukan hanya sekali atau dua kali maupun tiga kali. Berpuluh-puluh kali bahkan

beratus-ratus kali kegagalan menghadang sebelum akhirnya sebuah keberhasilan

datang. Akan tetapi ia tidak menganggap kegagalan itu sebagai batu sandungan

untuk menghalang diri mencapai keberhasilan selama-lamanya. Namun, apakah

kalian tahu apa yang dikatakan Edison mengenai kegagalannya itu yang

mencapai ratusan kali? Edison hanya berkata bahwa Ia telah menemukan ratusan

benda yang tidak dapat menyalakan lampu listrik.

Apa yang dialami Thomas Alfa Edison hampir sama dengan apa

yang dialami oleh Laisa. Kegagalan panen saat penanaman pertama tidak

membuatnya menyerah. Ia terus berinstropeksi diri untuk membenahi kesalahan-

kesalahan yang telah ia lakukan. Ia terus bekerja keras untuk memdapatkan hasil

yang maksimal.

Memang selama ini Laisa mendidik adik-adiknya dengan dua kata

itu. Kerja keras. Dia menginginkan mereka sukses dengan hasil mereka sendiri. Ia

bertekad menjadikan adik-adiknya sebagai orang-orang dalam daftar kesuksesan.

Ia telah berjanji tanpa berucap pada babak mereka.

"Lais, kau bantu Mamakmu menjaga adik-adik hingga Babak


pulang dari mencari kumbang—"
Laisa kecil mengangguk mantap sekali.
Anggukan yang menjadi janji sejati. Karena Babak ternyata
tidak pernah pulang-pulang. Janji seorang kakak.
Dan janji seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun itu

menjadi janji seumur hidupnya. Bagaimana ia menjaga keempat adiknya agar

tetap berada pada jalur yang benar, membantu Mamak dalam membesarkan adik-

adiknya, dan mengusahakan yang terbaik bagi mereka. Semua dilakukannya

dengan sepenuh hatinya.

Bahkan ketika semua adiknya mulai beranjak dewasa, ia tetap

mengusahan yang terbaik bagi mereka. Dan selalu mengalah demi kebahagiaan

mereka tanpa memedulikan kebahagiaannya sendiri. Seperti yang ia lakukan saat

adik-adiknya mulai melangkahinya dalam pernikahan. Ia tidak memedulikan

dengan adat yang ada di daerahnya.

Bisakah kalian bayangkan jika sebagai seorang sulung kala itu

dilangkahi pernikahannya oleh semua adiknya? Bagaimana rasanya menanggung

semua itu sendirian bagi seorang gadis desa yang masih terkurung dalam adat

daerah? Mungkin bagi sebagian besar gadis saat itu akan menjadikannya sebuah

aib. Tetapi sekali lagi, Laisa bukanlah gadis pada umumnya. Ia tetap merelakan

semua itu bahkan ketika adiknya sendiri yang tidak menginginkannya.


"Buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang atas
pernikahan kau. Buat apa kau memikirkan apa yang
dipikirkan orang atas Kakak-mu. Buat apa kau
memikirkan kekhawatiran, rasa cemas, yang sejatinya
mungkin tidak pernah ada. Hanya perasanperasaan.
Lihatlah, Kakak baik-baik saja."
"Tidak ada yang memaksamu! TIDAK ADA! Tapi jika kau
tetap keras kepala, kau akan kehilangan Cie Hui
selamanya. Kau mencintainya, Cie Hui juga amat
mencintai kau dan keluarga kita! Kau akan membuat
semuanya binasa dengan segala kekeras-kepalaan dan
omong-kosong melintas itu..." Kak Laisa berkata serak.
"Dali tidak akan menikah sebelum —"
"Kau jangan membantah kakak, DALI!"

Laisa memang tipe orang yang keras kepala. Apapun yang tidak

begitu perlu untuk dipikirkan, maka ia tidak akan memikirkannya. Cara

berfikirnya cukup sederhana. Akan tetapi dengan cara yang seperti itulah orang

lain tidak pernah terpikir untuk berpikiran sepertinya. Itu pula salah satu

kesepesialan yang ada dalam diri Laisa.


Bahkan ketika umurnya sudah mulai bertambah dan tak ada

satupun laki-laki yang datang untuk meminangnya, ia tidak keberatan dengan itu.

Maupun ketika satu persatu adiknya mulai melangkahinya seperti yang ada pada

kutipan sebelumnya. Dia lebih memilih memikirkan tentang apakah ia masih bisa

melakukan banyak hal, yang baik tentunya, di tempat tinggalnya. Atau masih

bisakah ia berkesempatan melihat adik-adik yang sangat ia banggakan sukses dan

melihat kebahagiaan Mamak.

Dapat kita bandingkan dengan kehidupan yang ada di sekitar kita.

Atau mungkin kita bandaingkan sendiri dengan diri kita. Apakah kita masih

sempat memikirkan kebahagiaan orang lain? Jangankan kebagiaan orang-orang

yang tidak begitu dekat dengan kita. Dengan orang yang paling dekat seperti

orang tua, saudara, dan teman saja jarang kita jumpai. Kita masih sering

memikirkan hanya diri kita sendiri. Jika apapun yang kita butuhkan sudah

terpenuhi, barulah memikirkan orang lain.

Mungkin ini adalah sebuah pertanyaan klasik yang sudah sangat

sering kita dengar. Jika kita berada dalam sebuah kapal yang hampir tenggelam

dan tinggal satu alat penyelamat yang tersisa. Sedangkan di kapal tinggal diri kita

dan seorang nenek tua. Saat sudah bersiap untuk menyelamatkan diri, tiba-tiba

nenek itu muncul dengan wajah pengharapan. Apa yang kira-kira akan kita

lakukan saat itu. Ataukah dengan ikhlas menyerahkan alat penyelamat itu kepada

sang nenek ataukah dengan acuh menyelamatkan diri sendiri? Jika kita

memutuskan untuk memilih pilihan yang pertama, maka sebaiknya kita harus

belajar banyak dari Laisa. Belajar mengenali arti mengalah dan ikhlas yang

selama ini entah tersembunyi dimana dalam diri kita. Belajar menghargai orang
lain, yang selama ini secara langsung maupun tidak langsung telah mengalah pada

kita saat diri kita mulai egois memikirkan diri sendiri. Belajar bersabar dengan

pandangan-pandangan orang lain yang mungkin selama ini menyakiti hati kita.

Kita harus berusaha tersenyumdan tenang menghadapi semua itu. seperti yang

dilakukan Laisa pada kutipan berikut.

”Dulu memang mengganggu sekali mendengar pertanyaan


tetangga, tatapan mata itu, tetapi mereka melakukannya
karena mereka peduli dengan kita. Satu dua menyampaikan
rasa peduli itu dengan cara yang tidak baik, namun itu bukan
masalah. Kakak tidak pernah merasa kesepian, Dali.
Bagaimana mungkin Kakak akan kesepian dengan kehidupan
seindah ini....”

Dari cuplikan di atas pula kita dapat melihat bagaimana Laisa

menghargai hidup yang telah dimilikinya dan mensyukuri semua pemberian

Tuhan kepadanya. Baik itu yang ia inginkan maupun yang tidak ia inginkan.

Baginya semuanya adalah yang terbaik baginya. Hanya masalah waktu saja yang

membuatnya menjadi indah dan berharga dalam hidup. Ia tidak pernah mengeluh

mengenai dirinya yang tidak kunjung didekati seorang lelaki. Ia serahkan

semuanya pada Tuhan. Ia tahu apa yang telah diatur Tuhan akan jauh lebih indah

bibanding dengan apa yang manusia atur, apalagi jika menjalani penuh dengan

keringan dan rasa syukur.


Ia cukup menerima dengan apa yang ia dapatkan. Baginya melihat

kebahagiaan orang –orang yang ada di sekitarnya merupakan anugerah tersendiri

yang dapat menenangkan hatinya. Dan sekali lagi rasa menerima dan syukurlah

yang membuatnya seperti itu. Suatu sifat yang perlu kita contoh juga dari diri

Laisa, seorang perempuan yang memiliki kekurangan dalam fisiknya tetapi

memiliki kesempurnaan dalam hatinya.

Dalam kutipan yang lain, juga digambarkan betapa Laisa

mensyukuri segala yang telah Tuhan rencanakan kepadanya.

“Kau tahu, seperti yang Kakak bilang dulu, jodoh ada di


tangan Allah. Mungkin dalam urusan ini, Kakak tidak
seberuntung dibandingkan dengan memiliki adik-adik yang
hebat seperti kalian....”

Selain sikap bersyukur yang ia tampakkan, dalam kutipan itu dapat

kita ketahui kesabaran Laisa dalam menanti jodoh yang mungkin saja tidak akan

datang dalam hidupnya. Dalam novel ini, Laisa diceritakan sangat sulit

menemukan pendamping hidupnya. Salah satu alasannya adalah kekurangan

fisiknya. Pernah suatu kali ia hampir menemukan pasangan hidup. Seorang lelaki

yang telah beristri dan kesulitan mendapatkan anak. Walau hanya akan dijadikan

istri kedua, dengan ikhlas Laisa menerima itu.

Memang adiknya pernah meragukan keputusan Laisa. Mereka tidak

ingin kakak mereka diduakan dalam hidupnya. Akan tetapi demi sebuah kebaikan
ia rela melakukannya. Ia rela dijadikan istri kedua untuk laki-laki yang tidak

memiliki seorang anak.

Akan tetapi saat semuanya telah siap, kabar itu datang dengan

begitu saja. Istri dari lelaki yang akan menjadi suami Laisa mengandung. Entah

apa yang direncanakan Tuhan untuk Laisa. Dia yang memberikan dua pilihan

yang berat bagi Laisa. Dan ketika telah diputuskan, tiba-tiba saja semuanya

menghilang begitu saja. Jika Tuhan ingin menguji kekuatan iman Laisa, maka hal

tersebut benar-benar terwujud. Ia mampu mempertahankan imannya yang sedang

diuji.

Sebenarnya bisa saja saat itu jika Laisa egois ia akan tetap menikah

dengan lelaki itu. mementingkan kesenangannya sendiri tanpa memedulikan

perasaan istri lelaki itu. Tetapi ia sangat memikirkan perasaan seorang wanita

yang kelak akan diduakan oleh calon suami Laisa. Maka dengan ikhlas pula

seperti saat ia menerima pinangan lelaki tersebut, ia melepaskannya demi

kebahagiaan mereka yang telah mereka bangun selama ini.

"Apakah Kakak tetap menginginkan menikah? Tentu saja,


Dali. Namun jika perjodohan itu harus datang, Kakak tidak
ingin proses itu justru mengganggu kebahagiaan yang sudah
ada. Bukan karena sebutan istri kedua itu, Dali, Bukan pula
karena cemas apa yang akan dipikirkan tetangga. Tetapi
Kakak tidak mau pernikahan itu menganggu kebahagiaan
yang telah ada...."
Laisa mungkin sakit hati dengan peristiwa itu. akan tetapi ia

mempu menutupinya agar orang-orang terdekatnya tidak merasa sedih. Seperti

juga saat ia menetupi penyakitnya selama bertahun-tahun dari keluarganya

sendiri. Ia tahu jika mereka semua mengetahuinya, akan menimbulkan rasa sedih

yang mendalam.

Selalu tidak ingin merepotkan orang lain juga merupakan sifat yang

menempel dalam dirinya. Ia terbiasa hidup mandiri dan kerja keras. Maka ia tidak

ingin jika ada orang yang kerepotan karenanya. Melihat mereka bersedih saja

merupakan benban dalam dirinya, apalagi hingga merepotkan mereka.

Maka, saat penyakit yang lama-kelamaan menggerogoti tubuhnya

itu datang, sedapat mungkin ia menutupi dari adik-adiknya. Apakah menurut

kalian itu adalah hal yang mudah? Tentu saja tidak. Bagaimana caranya

memeriksakan diri secara diam-diam tanpa diketahui orang lain? Jika memang

ingin tahu, tanyakan saja pada Laisa.

Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam berangkat ke


kota kabupaten. Diantar sopir pengalengan strawberry. Ke
rumah sakit. Sempat pingsan di ruang ICU, karena ia terlalu
lemah. Membuat sopir pabrik pengalengan yang mengantar
bingung tujuh keliling, gugup, gemetar hendak menelepon
Dalimunte, tapi pesan Laisa di mobil sebelum mereka turun
membuat dia takut melakukannya.
Dari kutipan di atas terlihat jelas jika Laisa tidak ingin membuat

keluarganya cemas, bahkan saat ia berada dalam keadaan yang sulit. Ia berusaha

tegar dan terlihat sehat, agar semuanya tidak curiga. Bagaimana jika kita yng

berada dalam posisi Laisa? Apa kita akan seperti ia yang menyembunyikannya

agar orang lain tidak merasa sedih dengan penderitaan kita? Atau mungkin

sebaliknya? Mencari cara agar orang lain memperhatikan kita?

Apapun itu, masih sedikit orang yang memiliki sifat seperti Laisa.

Sifat seorang bidadari. Begitulah Tere Liye menggambarkan sosok bidadari dalam

diri Laisa. Dengan kekurangan fisik, ia memiliki sifat-sifat yang tidak semua

orang memilikinya. Sifat-sifat yang dapat membuat orang menyayanginya dengan

setulus hati walau tidak diminta.

Kalau pun ada orang yang memiliki sifat-sifat seperti Laisa,

mungkin orang intu adalah ibu. Dalam suatu cerita rohani yang berkembang di

dalam masyarakat, ibu adalah sosok bidadari dan malaikat bagi anak-anaknya

dalam dunia nyata.

Sama halnya dengan Laisa pada novel Bidadari-bidadari Surga

karya Tere Liye, seorang ibu juga memeiliki beberapa sifat-sifat yang berbudi

luhur yang patut kita jadikan sebagai contoh.

Pernahkah kita membayangkan perasaan ibu saat mengandung kita

selama sembilan bulan? Atau mungkin bertanya-tanya seberapa berat ibu

membawa-bawa kita setiap hari? Bukan hanya itu, ibu juga dengan tulus menjaga

kita dari segala hal yang akan membahayakan kita. Seperti yang dilakukan Laisa

saat melindungi adik-adiknya dari terkaman harimau.


Ibu pula yag yang telah membesarkan kita dengan kasih sayang dan

mendidik kita agar menjadi orang yang sukses. Lagi-lagi seperti apa yang

dilakukan Laisa untuk adik-adiknya. Bersama dengan Mamak, ia mendidik adik-

adiknya agar menjadi orang sukses. Ia mendidik mereka agar menjadi orang yang

selalu bekerja keras dan mandiri.

"Tapi sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang,


dengarkan Kakak, kalian harus rajin sekolah, rajin belajar,
dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang
sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena
itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus selalu
bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan
itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati
datang menjemput...."

Laisa bukan hanya menjadi seorang kakak dalam keluarganya. Tapi

ia sekaligus menjadi ibu kedua bagi adik-adiknya. Terkadang ia mendidik adik-

adiknya dengan tegas dan keras, tapi ia pun terkadang mendidik adik-adiknya

dengan kasih sayang. Ia selalu mendukung apa yang dilakukan adik-adiknya

asalkan itu adalah keputusan yang baik.

Seperti yang ia lakukan pada adik badungnya. Ia mendukung penuh

apa yang mereka putuskan untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan luar

negeri, walau mereka belum memiliki pengalaman. Ia yakin niat adiknya itu baik,

maka hasil yang akan didapatkan pun baik juga.

Pabrik butut itu tak lebih dari bengkel modifikasi mobil.


Mereka hanya punya modal nekad. Keberangkatan ini juga
pakai acara pinjam uang Mamak Lainuri segala. Ah, sejak
kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad. Bandel.
Keras kepala. Di samping tentang teriakan 'kerja-keras',
'kerja-keras', 'kerja-keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa
saat galak melotot sambil memegang sapu lidi, memarahi
mereka.
Dari seluruh penjelasan di atas, digambarkan bahwa seorang

bidadari dalam dunia nyata tidak identik dengan perempuan yang memiliki paras

yang cantik dan jelita. Seperti halnya Laisa, ia bahkan memiliki keadaan fisik

yang jauh dari sempurna. Bertubuh pendek, hitam, rambut gimbal. Hal itu pun

yang membuatnya belum mendapatkan jodoh hingga akhir hidupnya.

Tetapi bertolak belakang dengan bentuk fisiknya yang bisa

diibaratkan sebagai ‘itik buruk rupa’, ia memiliki hati yang bersih dan putih.

Dengan segala yang ia lakukan kepada orang lain, ia mampu mencuri seluruh

kasih sayang orang-orang di sekitarnya.

Seorang bidadari tidak hanya dapat digambarkan sebagai seorang

yang cantik saja, akan tetapi juga orang yang memiliki hati yang cantik pula.

Bahkan seseorang dengan hati yang cantik merupakan sosok bidadari yang

sesungguhnya dalam kehidupan nyata. Tidak hanya memikirkan kemolek tubuh,

tetapi memikirkan bagaimana caranya memberi kebahagiaan untuk orang lain.

Menjadikan orang lain merasa nyaman di dekatnya. Itulah sesosok bidadari yang

ingin disampaikan oleh Tere Liye.

Melalui novel Bidadari-bidadari Surga ini, penulis ingin

mengubah cara pandang kita mengenai sosok bidadari yang selama ini

dibayangkan sebagai perempuan yang memiliki kecantikan fisik. Diharapkan kita

dapat meniru perilaku Laisa, sosok bidadari sesungguhnya dalam kehidupan


nyata. Karena seorang bidadari adalah orang yang mampu membuat orang lain

merasa lebih baik.

Acuhan Referensi

1. Liye, Tere. 2006. Bidadari-bidadari Surga. Jakarta: Republika

2. http://www.foreiska.blogspot.com

3. http://www.wikipedia.com

4. http://seputarindonesia.com

Anda mungkin juga menyukai