Anda di halaman 1dari 7

MORFIN

INDIKASI
Morfin merupakan jenis opioid agonis dari semua jenis opioid yang
dibandingkan. Pada manusia, morfin menghasilkan efek analgesia, euphoria,
sedasi, dan memiliki kemampuan yang terbatas untuk konsentrasi. Sensasi lain
seperti mual, suatu perasaan tubuh yang hangat, dan pruritus, khususnya pada kulit
di sekitar hidung. Penyebab nyeri berkepanjangan, tetapi dalam dosis rendah,
morfin meningkatkan ambang rangsang terhadap nyeri dan memodifikasi persepsi
pada stimulasi nyeri seperti bahwa obat tersebut tidak menimbulkan nyeri yang
berkepanjangan. Selanjutnya, nyeri tumpul dikurangi dengan morfin dengan lebih
efektif dibandingkan nyeri yang bersifat tajam,demikian pula nyeri yang bersifat
intermitten. Berbeda halnya pada analgesia non opioid, morfin bersifat efektif
melawan nyeri yang timbul dari organ visceral seperti halnya pada otot skelet,
persendian, dan struktur integumental. Analgesia paling sering muncul ketika
morfin diberikan sebelum stimulus nyeri terjadi. Hal ini merupakan pertimbangan
yang berkaitan dalam pemberian opioid pada pasien sebelum stimulus pembedahan
akut. Jika terjadi nyeri, bagaimanapun, morfin menghasilkan disforia dibandingkan
euphoria.

DOSIS MORFIN

Dewasa
 Nyeri sedang hingga berat

 Intraspinal

 Dosis inisiasi 5 mg. Satu jam kemudian dapat diberikan dosis tambahan sebesar
1–2 mg (maksimal 10 mg/hari) hingga nyeri hilang.

 Intratekal

 0,2–1 mg satu kali sehari. Pada pasien yang mengalami toleransi daat diberikan
1–10 mg (maksimal 20 mg/hari).

 Peroral

 5-20 mg/12 jam (lepas lambat)


 Parenteral

 5–20 mg (IM/SK) yang diberikan lambat selama 4–5 menit, 1–2 mg/jam melalui
infus IV (maksimal 100 mg/hari atau 4 g/hari pada kasus kanker).

 Nyeri akibat infark miokard

 5–10 mg (IV) dengan kecepatan 1–2 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan
sebanyak 5–10 mg jika diperlukan.

 Lansia: setengah dosis dewasa.

 Edema paru akut

 Dewasa: 5–10 mg (IV) dengan kecepatan 2 mg/menit.

 Lansia: setengah dosis dewasa.

 Premedikasi sebelum operasi

 Dewasa: 10 mg (IM/SK) diberikan 60–90 menit sebelum operasi.

Sianosis akibat Tetralogy of Fallot


 Neonatus: 0,3–1,2 mg/kgBB/hari (IM/SK) setiap 4 jam; atau 0,005–0,03
mg/kgBB/jam (IV lambat)

 Bayi dan anak-anak: 0,05–0,2 mg/kgBB setiap 2–4 jam (maksimal 15mg/dosis)

Nyeri
 Neonatus: 0,01–0,02 mg/kgBB/jam (IV infus)

 Bayi dan anak-anak: 0,025–2,6 mg/kgBB/jam (IV), rata-rata 0,06 mg/kgBB/jam

 Pascaoperasi pada anak-anak: 0,01–0,04 mg/kgBB/jam (IV)


 Kanker dan penyakit sel sabit pada anak-anak: 0,04–0,07 mg/kgBB/jam (IV
infus)

FARMAKOKINETIK
Morfin diabsorpsi dengan baik setelah pemberian secara intramuskuler
(IM), dengan onset efeknya sekitar 15 sampai 30 menit dan puncak efeknya pada
45 sampai 90 menit. Durasi kerjanya sekitar 4 jam. Morfin dapat diberikan secara
oral untuk penanganan secara intravena pada masa perioperatif, kemudian
mengeliminasi pengaruh yang tidak diperkirakan pada absorpsi obat. Puncak
efeknya ( waktu yang sama antara darah dan otak) setelah pemberian morfin secara
IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid seperti fentanyl dan alfentanil,
membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 30 menit.

Morfin, 5 mg pada 4,5 ml salin dan dihirup sebagai suatu aeorosol dari suatu
nebulizer, mungkin bekerja pada jalur saraf aferen di jalan napas untuk mengurangi
dispnue yang berkaitan dengan kanker paru dan berkaitan dengan efusi pleura.
Depresi pernapasan yang sangat berat dapat terjadi setelah pemberian morfin
aerosol.

Onset dan durasi pada efek analgesia pada morfin sama setelah pemberian
IV atau inhalasi melalui suatu sistem pengangkutan obat paru yang menghasilkan
suatu monodispersa aerosol yang baik.

Konsentrasi morfin plasma setelah injeksi IV yang cepat tidak berkaitan erat
dengan aktivitas farmakologi opioid. Tampaknya, ketidaksesuaian ini
menggambarkan suatu penundaan pada penetrasi morfin melintasi sawar darah
otak. Konsentrasi cairan serebrospinal pada morfin berada dipuncak sekitar 15
sampai 30 menit setelah injeksi IV dan berkurang menjadi lebih lambat
dibandingkan konsentrasi plasma.

Sebagai hasilnya, efek analgesik dan depresi pernapasan pada morfin


mungkin tidak muncul selama awal dari konsentrasi plasma yang tinggi setelah
pemberian opioid secara IV. Disisi lain, efek obat yang sama bertahan meskipun
menurunkan konsentrasi morfin dalam plasma. Analgesia sedang kemungkinan
membutuhkan dosis lanjutan dengan konsentrasi morfin dalam plasma minimal
0,05 µg/ml. Pasien yang kebutuhannya dikontrol dengan sistem pengangkutan
biasanya menunjukkan analgesia setelah operasi yang dapat diterima, dengan dosis
morfin total berkisar antara 1,3 sampai 2,7 mg/jam.

Hanya sejumlah kecil pada pemberian morfin memperoleh akses pada


sistem saraf pusat (SSP). Sebagai contoh, deiperkirakan bahwa < 0,1 % morfin yang
diberikan secara IV yang masuk kedalam SSP pada saat konsentrai plasma puncak.
Alasan untuk penetrasi morfin kedalam SSP antara lain:
(a) kelarutan lemak yang relative jelek,

(b) ionisasi derajat tinggi pada pH fisiologis,

(c) ikatan protein, dan

(d) konjugasi yang cepat dengan asam glukoronik.

Alkalinisasi di darah, seperti yang dihasilkan dengan hiperventilasi pada


paru-paru pasien, yang akan meningkatkan fraksi non ionik morfin, yang terjadi
pada morfin dengan konsentrasi yang lebih tinggi pada plasma dan otak
dibandingkan yang terjadi selama normokarbia.

Hal ini menunjukkan bahwa karbon dioksida mengindukasi peningkatan


pada aliran darah otak dan menambah pengangkutan morfin ke otak yang lebih
penting dibandingkan fraksi obat yang terjadi baik pada fraksi ionik maupun fraksi
non ionik. Berbeda halnya pada SSP, morfin berakumululasi secara cepat di ginjal,
hepar, dan otot skelet. Morfin, tidak seperti pada fentanyl, tidak mengalami uptake
pertama kali kedalam paru.

METABOLISME
Prinsip jalur metabolisme morfin adalah mengalami konjugasi dengan asam
glukoronik di hepar dan di luar hepar, khususnya di ginjal. Sekitar 75 % sampai 85
% dari dosis morfin muncul sebagai morfin -3-glukoronide (suatu rasio 9 : 1).
Morfin-3-glukoronide didapatkan di plasma dalam 1 menit setelah injeksi IV, dan
konsentrasinya berlebihan pada obat yang tidak berubah pada hampir sepuluh kali
dalam 990 menit.

Diperkirakan sekitar 5 % morfin dimetilasi kedalam bentuk normomorfin,


dan sejumlah kecil kodein juga dapat dibentuk. Hasil metabolisme morfin dibuang
utamanya melaui urin, dengan hanya 7 % sampai 10 % menjalani ekskresi lewat
empedu. Morfin-3-glikoronide dideteksi di urin sampai sekitar 72 jam setelah
pemberian morfin. Suatu fraksi kecil (1 % sampai 2 %) dari morfin yang
diinjeksikan tidak berubah di urin.
Metabolisme ginjal berperan secara signifikan pada metabolisme total pada
morfin, yang membutuhkan penjelasan yang mungkin pada ketiadaan beberapa
penurunan pada bersihan morfin secara sistemik pada pasien dengan sirosis hepatik
atau selama fase anhepatik pada tranpalntasi hepar ortotopik.

Pada kenyataannya, peningkatan kecepatan metabolisme morfin diginjal


mungkin terjadi jika metabolisme di hepar terganggu. Pembuangan morfin
glukoronide mungkin menganggu pasien dengan gagal ginjla, menyebabkan
akumulasi hasil metabolisme dan efek depresi pernapsan yang tidak diinginkan
pada opioid dosis kecil. Tentu saja, depresi pernapasan yang memanjang (< 7 hari)
telah diamati pada pasien dengan gagal ginjal setelah pemberian morfin.
Pembentukan glukoronida terkonjugasi dapat terganggu oleh monoamine oksidae
inhibitor, yang bertahan dengan efek berlebihan pada morfin jika diberikan pada
pasien yang diobati dengan obat ini.

WAKTU PARUH PEMBUANGAN

Setelah pemberian morfin secara IV, pembuangan morfin-3-glukoronide


agak lama dibandingkan morfin. Penurunan pada kosentrasi morfin dalam plasma
setelah distribusi awal obat ini utamanya kerena metabolisme, karena hanya
sejumlah kecil pada opioid yang tidak berubah dieksresi kedalam urin. Konsentrasi
morfin dalam plasma lebih tinggi pada orang tua dibandingkan pada orang dewasa
muda. Pada 4 hari pertama kehidupan, bersihan morfin menurun dan waktu paruh
pembuangannya lebih lama dibandingkan dengan yang ditemukan pada bayi yang
lebih tua. Hal ini menetap dengan pengamatan klinik bahwa neonatus lebih sensitif
dibandingkan anak-anak yang lebih tua untuk mengalami efek depresi pernapasan
pada morfin.

Pasien dengan gagal ginjal menunjukkan konsentrasi morfin yang lebih


tinggi pada plasma dan pada CSS dan hasil metabolisme morfin dibandingkan pada
pasien normal, menunjukkan suatu volume didistribusi yang lebih kecil (Vd ).
Terdapat kemungkinan akumulasi pada morfin-6-glukoronide membutuhkan
perhatian jika pemberian morfin pada pasien dengan disfungsi ginjal. Anesthesia
sendiri tidak mengubah waktu paruh pembuangan pada morfin. Konsentrasi morfin
di kolustrum pada wanita yang telah melahirkan yang dikontrol dengan analgesia
berupa morfin adalah sedikit dan tampaknya tidak mungkin bahwa jumlah obat
yang signifikan akan dipindahkan ke neonatus yang disusui.

Sebelum pengobatan pasien dengan antagonis rsesptor H1 dan H2 tidak


mengubah pelepasan histamine yang dibangkitkan oleh morfin tetpai mencegah
perubahan pada tekanan darah sistemik dan resistensi pembuluh darah sistemik.
Morfin tidak sensitive pada jantung terhadap katekolamin disisi lain
menjadi faktor predisposisi terhadap disritmia jantung selama hiperkarbia atau
hipoksemia arterial yang tidak berakibat dari efek depresi pernapasan dari opioid.
Takikardia dan hipertensi yang terjadi selama anesthesia dengan morfin bukan efek
farmakologi dari opioid tetapi dibandingkan pada respon terhadap stimulus
pembedahan yang sangat nyeri yang tidak ditekan oleh morfin. Sistem saraf
simpatis dan mekanisme rennin-angiotensin berperan pada respon kardiovaskuler
ini.

Dosis besar morfin atau opioid agonis yang lain mungkin menurun yang
kemungkinan takikardia dan hipertensi akan terjadi sebagai respon terhadap
stimulus nyeri, tetapi jika respon ini telah terjadi, pemberian opioid tambahan
tampaknya tidak efektif. Selama anestesi, opioid agonis sering diberikan dengan
anesthesia inahlan untuk memastikan sempurnanya amnesia pada stimulus
pembedahan yang sangat nyeri. Kombinasi suatu opioid agonis seperti morfin atau
fentanyl dengan nitrat oksida akan menimbulkan depresi kardiovaskuler
(menurunkan cardiac output dan tekanan darah sistemik ditambah dengan
peningkatan tekanan pengisisna jantung), yang tidak terjadi ketika salah satu obat
ini diberika secara terpisah.

Di sisi lain, penurunana pada resistensi pembuluh darah sisitemik dan


tekanan darah sistemik dapat terjadi setelah kombinasi suatu opioid dan suatu
benzodiazepine, sedangkan efek ini tidak terjadi setelah pemberian salaha satu dari
obat ini secara terpisah.
EFEK SAMPING

– sulit bernafas, detak jantung lambat

– kaku otot, kejang

– kulit lembap dan dingin

– bingung, kebiasaan yang tidak normal

– rasa lemah, rasa ingin pingsan

– sulit menelan

– sulit kencing

– warna kulit pucat, sesak nafas, denyut jantung cepat, sulit berkonsentrasi

– mudah memar, pendarahan yang tidak biasa, bintik-bintik ungu atau kulit
memerah

Efek samping lainnya:

– berat badan turun

– diare

– mual, muntah, sakit perut, kehilangan selera makan

– demam, kemerahan, rasa geli

– sakit kepala, pusing, kepala terasa berputar

– sulit mengingat

– sulit tidur, mimpi buruk

http://asramamedicafkunhas.blogspot.com/2009/04/opioid-agonis.html

Anda mungkin juga menyukai