Anda di halaman 1dari 4

B.

Toksokinetika
a. Absorbsi dan Distribusi

Sebagian besar opioid oral termasuk morfin diserap sepenuhnya dari saluran

pencernaan dan mencapai kadar puncak dalam 1 sampai 1 ½ jam. Morfin tidak

dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka dan menembus

mukosa. Morfin yang diabsorsi usus, efek analgesik (penahan/pengurang rasa sakit)

setelah pemberian oral jauh lebih rendah dari pada efek analgesik yang timbul

setelah pemberian parenteral (injeksi/infus) dengan dosis yang sama. Oleh karena

itu diperlukan dosis oral yang jauh lebih tinggi untuk memperoleh efek terapi.

Karena jumlah enzim yang dapat memberikan respons pada reaksi yang berbeda

pada setiap individu, maka dosis oral yang efektif dari suatu senyawa sulit

ditentukan.

b. Metabolisme dan Ekskresi

Metabolisme utama berlangsung dalam hati, selain itu metabolisme juga terjdi

dalam otak, paru – paru, darah, ginjal, limpa dan plasenta. Hampir 90% morfin

dalam tubuh terdapat sebagai bentuk terikat (konjugasi) dengan asam glukoronat.

Meskipun morfin terikat pada protein-protein plasma dengan berbagai tingkat

afinitas, senyawa-senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi

dengan konsentrasi tertinggi di jaringan-jaringan yang perfusinya (darah yang

dikirim atau dialirkan ke jaringan) tinggi seperti di paru, hati, ginjal, dan limpa.

Walupun konsentrasi morfin di otot rangka sangat rendah, jaringan ini merupakan

tempat akumulasi utama karena masanya yang lebih besar. Akumulasi dalam

jaringan lemak juga dapat terjadi, terutama pada pemakaian morfin dosis tinggi.

Kadar morfin dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan diorgan-organ

tubuh lain karena adanya sawar darah otak (membran pemisahan


sirkulasi darah dari cairan ekstraselular otak), namun demikian sawar darah otak

lebih mudah dilewati oleh senyawa-senyawa hidroksil aromatik yang disubstitusi

pada atom C3, seperti pada heroin dan kodein. Karena sawar ini pada neonatus

masih belum sempurna. Penggunaan analgesik morfin untuk analgesia obstetri

(penahan/pereda nyeri dalam kebidanan) dapat menimbulkan depresi pernapasan

(gagal nafas) pada bayi baru lahir.

Metabolit morfin diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian besar morfin

dirubah menjadi metaboit-metabolit polar (larut dalam air), sehingga mudah

disekresi oleh ginjal. Senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas seperti

morfin dengan mudah dikonjugasi dengan asam glukoronat. Dua metabolit utama

yang terbentuk adalah morfine-6-glukuronoid (aktif) dan morfine-3-glukuronoid

(tidak aktif). Morfine-6-glukuronoid mempunyai sifat – sifat analgesik yang

mungkin lebih besar dari morfin sendiri. Sebagian kecil morfin diekskresi dalam

bentuk tidak berubah. Konjugasi glukoronid juga diekskresi kedalam empedu,

tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi.

Morfin diekskresikan terutama dalam bentuk terkonjugasi.

Efek farmakologis maksimal morfin yang terjadi dalam beberapa menit setelan

pemberian injeksi intervena, sesuai dengan konsentrasi maksimum yang diukur dari

obat bebeas dalam plasma. Eksresi morfin dari darah terjadi dengan cepat sekitar

80% dari dosis yang diberikan. Dieksresikan melalui urine dalam waktu 8 jam

meskipun tandanya dapat terdeteksi dalam 72 jam sampai 100 jam setelah

pemberian terutama pecandu. Setelah injeksi intravena, waktu paruh plasma yaitu

2 sampai 3 jam dan waktu untuk yang diperlukan untuk ekresi yaitu 10 sampai 44

jam.
Metabolit yang terbesar (60-80%) diekskresi melalui urine dan hanya jumlah

kecil 5-14% diekskresi di dalam feses. Konsentrasi morfin dalam urin dalam dosis

terapetik (hasil dari terapi atau penanganan medis) sebesar 10 μg/ml. Akumulasi

metabolit dapat dijumpai pada pasien-pasien gagal ginjal serta dapat

memperpanjang dan lebih kuat efek analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP

tebatas. Akumulasi metabolit morfin seperti meperidin dan normeperidin, dapat

ditemukan pada pasien-pasien fungsi ginjal yang menurun atau pasien yang

menerima obat dalam dosis yang jauh lebih tinggi. Dalam konsentrasi yang cukup

tinggi, metabolit dapat menimbulkan kejang terutama pada anak.

c. Toksisitas

Toksisitas opioid termasuk morfin adalah depresi SSP, depresi pernapasan, dan

miosis. Tingkat kesadaran dapat bervariasi dari euforia hingga disforia dan dari

sedasi ringan sampai koma. Keracunan dapat terjadi secara akut dan kronis.

keracunan akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri, kecelakaan dan

pembunuhan Pasien dapat megalami hyporeflexic, hypothermia, atau hypotensi.

Penyalahgunaan opioid secara intravena dapat menyebabkan banyak komplikasi

medis, termasuk endokarditis; emboli paru septik; pneumonia aspirasi;

tuberkulosis; trombosis vena; paru-paru, hati, dan ginjal; nefropati heroin-morfin;

tetanus; hepatitis; infeksi virus imunodefisiensi; pneumotoraks; pseudoaneurysms;

aneurisma mycotic; abses; selulitis; septic arthritis; myopathy; osteomielitis;

botulisme luka; myelitis; dan pseudo obstruksi usus sekunder akibat impaksi feses.
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997.

Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua : Jakarta

Rahayu, Muji. Solihat, Firman. 2018. Toksikologi Klinik . Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia : Jakarta

Rook Elisabeth J, Huitema Alwin D.R., Van Den Brink Wim, Van Ree Jan M. 2006.

Pharmacokinetics and Pharmacokinetic Variability of heroin and its

Metabolites : Review of the Literature. Current Clinical Pharmacology.

Anda mungkin juga menyukai