Anda di halaman 1dari 1

KODEIN

Kodein adalah metilmorfin, substitusi metil pada gugus hidroksil fenol. Tebain berbeda dengan
morfin hanya dalam hal kedua gugus hidroksilnya termetilasi dan pada cincinnya terdapat dua ikatan
rangkap. Diantara sifat penting opioid yang dapat diubah dengan modifikasi struktur adalah
afinitasnya untuk berbagai jenis reseptor opioid, aktivitasnya sebagai agonis versus antagonis,
kelarutannya dalam lemak, dan ketahanannya terhadap penguraian metabolik. Sebagai contoh,
blokade hidroksilfenol pada posisi 3, seperti pada kodein dan heroin, sangat mengurangi pengikatan
pada reseptor . Secara in vivo, senyawa-senyawa ini dikonversi menjadi analgesik kuat, kodein
menjadi morfin dan heroin menjadi 6-asetil morfin.
Kodein berbeda dengan morfin, keefektifan kodein oral sekitar 60% pemberian parenteralnya, baik
sebagai analgesik maupun sebagai depresan pernapasan. Kodein, sama seperti levorfanol,
oksikodon, dan metadon, yang memiliki perbandingan potensi oral terhadap parenteral yang tinggi.
Efikasi oral obat-obat ini yang lebih tinggi disebabkan oleh metabolisme lintas pertama di hati yang
lebih kecil. Begitu diabsorpsi, kodein dimetabolisme oleh hati, dan metabolitnya diekskresi terutama
di urin, sebagian besar dalam bentuk tidak aktif. Sebagian kecil (sekitar 10%) kodein yang diberikan
mengalami O-demetilasi membentuk morfin, baik morfin bebas maupun yang terkonjugasi dapat
ditemukan di urin setelah pemberian kodein dosis terapeutik. Kodein memiliki afinitas yang luar
biasa rendah untuk reseptor opioid, dan efek analgesik kodein disebabkan oleh konversinya menjadi
morfin. Akan tetapi, kerja antitusifnya mungkin melibatkan reseptor khusus yang mengikat kodein
sendiri. Waktu paruh kodein dalam plasma adalah 2 sampai 4 jam.
Konversi kodein menjadi morfin dipengaruhi oleh enzim sitokrom P450CYP2D6. Polimorfisme
genetik pada CYP2D6 yang telah terkarakterisasi dengan baik menyebabkan ketidakmampuan untuk
mengkonversi kodein menjadi morfin, sehingga menjadikan kodein tidak efektif sebagai analgesik
pada sekitar 10% dari populasi Kaukasia. Polimorfisme lain dapat menyebabkan peningkatan
sensitivitas terhadap efek kodein. Menariknya, tampaknya ada keragaman dalam efisiensi metabolik
diantara kelompok etnis yang berbeda. Sebagai contoh, orang Cina memproduksi lebih sedikit
morfin dari kodein dibanding dengan orang Kaukasia yang mana juga kurang sensitifnya terhadap
efek morfin daripada orang Kaukasia. Penurunan sensitivitas terhadap morfin mungkin disebabkan
oleh penurunan produksi morfin-6-glukuronid. Jadi penting untuk memperhatikan dalam pemberian
kodein, perlu dipertimbangkan kemungkinan polimorfisme enzim metabolik pada setiap pasien yang
tidak memperoleh analgesia yang memadai dari kodein atau tidak memberikan suatu respons yang
memadai terhadap prodrug lain yang diberikan.
Selain pada itu, morfin dan opioid terkait menyebabkan efek yang tidak diinginkan dengan spektrum
luas, meliputi depresi pernapasan, mual, muntah, pusing, gngguan mental (cemas, marah, dan
kesedihan), disforia, pruritus, konstipasi, peningkatan tekanan dalam saluran empedu, retensi urin,
dan hipotensi. Hal-hal diatas merupakan dasar-dasar efek dari morfin dan opioid lainnya, namun
adakalanya, pasien mengalami delirium. Peningkatan sensitivitas terhadap nyeri setelah analgesia
berkurang dapat pula terjadi.

(Gilman, Goodman. Dasar Farmakologi Terapi. Vol.1, Edisi 10.2008. Jakarta: EGC.h. 571-74)

Anda mungkin juga menyukai