Anda di halaman 1dari 13

Laporan Farmakologi Blok 22

Efek Overdosis Morfin dan Antidotumnya Species Difference efek morfin

Dibuat oleh : 102009 125 102009 129 102009 144 102009 149 102009 160 102009 167 102009 172 102009 177 102009 180 Irene Kristi Taslim Melania Lidwina Elisabeth Lisa Nauli Siagian Prilly Pricilya Theodorus Caroline Saputro Ivena Iranny Marlene Abigail Anthony Christanto

Fakultas Kedokteran Ukrida 2011

Pendahuluan Dalam blok neuroscience, untuk ilmu farmakologi mahasiswa akan belajar mengenai obat-obat yang akan dipakai untuk penyakit saraf dan jiwa, serta penyalah gunaan obat ( drug abuse). Masalah drug abuse merupakan masalahbesar bagi generasi usia remaja dan kematian akibat over dosis (OD) semakin bertambah tiap tahun. Untuk itulah dipakai praktikum mengenai morfin yang metodenya telah dikenal melalui praktikum selama ini. Dalam praktikum ini digunakan kelinci sebagai hewan coba yang memperlihakan efek morfin paling mirip dengan manusia, memperlihatkan efek depresi nafas yang dapat timbul pada kelebihan dosis morfin (OD), serta pemberian anti dontum yang dapat segera mengatasi depresi nafas tersebut. Juga akan diperlihatkan efek morfin berlainan pada berbagai spsies, antara lain kucing, tikus dan mencit. Sebelum melaksanakan praktikum ini mahasiswa harus menguasai tentang teori tentang morfin, reseptor-reseptornya, efek farmakologisnya, indikasinya, sifat agonis, agonis partial, antagonis partial, dan antagonis murni.

Sasaran Belajar 1. Melihat efek morfin, terutama depresi nafas, miosis dan gejala lain yang terjadi pada over dosis (OD) pada manusia, yang diperlihatkan pada kelinci. 2. Mempertlihatkan efek spesies difference akibat morfin pada berbagai hewan coba. 3. Memperlihatkan efek anti dontum pada keracunan/over dosis morfin. 4. Melatih mahasiswa menghitung dosis yang tepat yang akan dibrikan pada masingmasing hewan coba dan memberi suntikan yang tepat sesuai petunjuk.

Persiapan 1. Hewan coba; kelinci, tikus putih, mencit dan kucing. 2. Obat-obat; larutan morfin 4%, kafein benzoat 4%, dan larutan nalokson.

3. Alat-alat; timbangan hewan coba, baskom plastik, penggaris, semprit dan kandang hewan. 4. Dosis larutan morfin 4% yang akan diberikan pada hewan coba: Kucing Kelinci Tikus : 20 mg/kgBB : 0,5 ml/kgBB : 40-60 mg/kgBB

Mencit : 40 mg/kgBB *Nalokson : untuk kelinci 0,01 mg/kgBB (=0,2 ml) 5. Cara perhitugan dosis yang akan disuntikan: misalnya: bb mencit= X gram = X gram/1000 x 40 mg = Y mg Larutan 40% ialah 40 mg/100 ml Yang akan disuntikan = Y/40 x 100 mg = Z ml

Tatalaksana 1. Efek overdosis morfin dan anti dontumnya Untuk memperlihatkan efek morfin pada manusia seperti sedasi, lemas , miosis, dan terutama over disi (OD) morfin dimana terjadi intoksiskasi trias akut: depresi pernapasan, miosis berat dan koma, maka obsevasi pada kelinci paling tepat menggambarkan hal tersebut.

a. Kelinci 1. Ambilah seekor kelinci, perlakukan hewan coba dengan baik dan tidak kasar. 2. Timbanglah kelinci anda dengan timbangan hewan coba dengan akurat dan catat. 3. Lakukan observasi parameter dasar: sikap kelinci, refleksi otot, diameter pupil kanan dan kiri, hitung frekuensi pernapasan dan denyut jantung, kelakuan kelinci. Sikap kelinci : biasanya lincah, jalan-jalan dimeja laboratorium. Refleks otot : tariklah (jangan terlalu keras) tungkai kaki depannya, normal biasanya ada tahanan. Diameter pupil diukur dalam kondisi cahaya yang konstan.

Frekuensi napas dapat dihitung dengan meraba dada kelinci atau dengan menghitung kembang-kempisnya cuping hidungnya. Karena frekuensi napas kelinci cepat maka hitunglah menit, kemudian kalikan 4.

Denyut jantung dihitung dengan meraba bagian bawah tubuh kelinci dalam semenit.

4. Setelah seluruh parameter dasar selesai, hitunglah berapa ml, larutan morfin yang akan disuntikan pada kelinci dengan cara perhitungan diatas. 5. Mintalah pada instruktur larutan morfin 4% yang akan disuntikan, dalam semprit yang telah disediakan. 6. Lakukan tindakan asepsis, dengan menggosok tempat suntikan dengan alkohol 70%. 7. Sintakan larutan morfin 4% yang telah disesuikan dengan perhitungan untuk kelinci anda secara subkutan didaerah suscapula. Pastikan seluruh cairan morfin tadi masuk ke dalam tubuh kelinci dan tidak ada yang tercecer keluar. 8. Biarkan kelinci tetap diatas meja laboratorium, dan lakukan observasi seluruh parameter tiap 5 menit. 9. Bila frekuensi pernapasan telah 20x/menit, laporkan pada instruktur, dan mintalah laurutan kaffein benzoat 0,5 ml, dan suntikan cairan ini secara subkutan pada daerah subscapula. 10. Bila frekuensi pernapasan tetap turun sampai kurang dari 15x/menit, laporkan pada instruktur agar segera disuntikan nalorfin 0,15 ml pada vena marginalis kelinci. 11. Perhatikan pada saat terjadi overdosis pada kelinci yang ditandai dengan: depresi pernapasan, miosis, dan sikap kelinci semakin lemas, tonus otot sangat turun, maka setelah beberapa detik penyuntikan nalorfin, maka kelinci akan pulih kembali seperti semula: aktif, tonus otot baik, frekuensi nafas normal.

Hasil pengamatan pada kelinci Dosis morfin pada kelinci BB kelinci = 2600 gr Dosis morfin = 2.6 * 0.5 = 1.3 ml
Morfin sebelum Frek. Napas (/menit) Frek. Denyut Jantung (/menit) Diameter Pupil (mm) Tonus otot Refleks Sikap 6 Baik baik gelisah 6 Baik baik agak tenang 5 Buruk baik tenang 4 Buruk baik tenang 4,5 Buruk baik tenang 5 Buruk baik tenang 5 Buruk Baik Agak tenang 5 Baik Baik gelisah 160 96 102 90 84 96 90 88 150 80 52 16 24 28 48 88 5 10 15 Kafein Benzoat 5 10 Nalokson 5 10

Hasil pengamatan pada mencit Berat mencit = 20 gr Dosis morfin pada mencit = 20/1000 * 40 = 0.8 mg/40 mg * 1 ml = 0.02 ml Efek morfin = efek straub setelah kurang lebih 20 menit

Hasil pengamatan pada tikus Berat tikus = 200 gr Dosis morfin pada tikus = 200/1000 * 50 = 10 mg/40 mg * 1ml = 0.25 mg Efek morfin = tikus mempertahankan posisi ( katalepsi ) setelah kurang lebih 30 menit

Hasil diskusi Morfin adalah salah satu obat golongan opioid yang biasa digunakan sebagai analgesik pada nyeri yang hebat. Obat ini diketahui merangsang beberapa reseptor opioid dalam tubuh dengan afinitas yang berbeda-beda. Akibatnya efek yang ditimbulkan juga akan berbeda. Perbedaan efek ini ternyata juga dipengaruhi oleh perbedaan spesies yang dikenal dengan istilah species difference. Misalnya pada kucing dan kuda, morfin menyebabkan eksitasi sementara pada kelinci dan manusia menyebabkan depresi. Pada manusia, spesies difference ini dapat dianalogikan dengan peristiwa idiosnkrasi yang biasanya disebabkan oleh kelainan genetik. Pada peristiwa ini efek pemberian obat pada suatu individu mungkin berbeda dari efek pada umumnya. Indikasi Morfin dan derivat Morfin dalam Pengobatan 1. Indikasi Morfin Efek morfin pada sistem syaraf pusat berupa analgesia yang dapat meredakan rasa nyeri pada dosis terapinya menjadikan dasar indikasi morfin untuk meredakan dan menghilangkan nyeri hebat yang tidak bisa diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin digunakan untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusio pembuluh darah perifer, koroner, atau pulmoner. Juga untuk nyeri yang menyertai perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan, serta nyeri akibat trauma. Pada dosis terapi yang terjadi adalah perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri. Morfin, untuk medikasi preanestetik hanya diberikan kepada pasien yang sedang menderita nyeri. Dosis yang diberikan semakin tinggi jika derajat rasa nyeri yang diderita semakin hebat. Morfin sebagai penghambatan reflek batuk, yaitu batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif, penggunaannya telah banyak ditinggalkan karena sudah banyak

ditemukan obat lain yang memiliki fungsi yang sama namun tidak menimbulkan efek adiksi. Terhadap saluran cerna, morfin bekerja secara langsung (efeknya timbul bukan karena melalui SSP). Morfin mengurangi atau menghilangkan efek propulsi pada usus besar, meningkatkan tonus, dan menyebabkan spasme usus besar. Hal ini juga mempengaruhi efek pada korteks sehingga keinginan untuk defekasi berkurang. Oleh fungsi ini morfin juga diindikasikan untuk pasien diare. Namun penggunaan moefin untuk mengatasi diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi obat akut, harus didahului dengan pemberian garam katartik, yang gunanya untuk megeluarkan penyebab. 2. Indikasi Derivat Morvin a. Apomorfin Apomorfin digunakan untuk menimbulkan emesis. Dosis yang diperlukan yaitu 5 10 mg apomorfin, diberikan secara sub kutan. b. Nalokson Nalokson merupakan obat pilihan untuk mengatasi depresi nafas pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sebelum persalinan, akibat takar lajak opioid; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid.

Beberapa efek farmakodinamik morfin dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai perubahan yang terjadi pada kelinci sehubungan dengan percobaan yang dilakukan 1. Frekuensi Napas Dari hasil percobaan didapatkan bahwa frekuensi napas kelinci mengalami penurunan setelah pemberian morfin. Hal ini sesuai dengan efek depresi napas yang dapat ditimbulkan morfin. Penurunan frekuensi napas dapat terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Kepekaan pusat napas terhadap CO2 berkurang, sehingga kadar CO2 5% tidak lagi minimbulkan peninggian ventilasi pulmonal. Setelah pemberian kafein benzoat frekuensi napas berangsur-angsur meningkat. Hal ini berkaitan dengan efek kafein yang menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga pernapasan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Pada pemberian nalokson, frekuensi napas lebih cepat meningkat dan kembali menjadi normal. Hal ini berkaitan dengan efek antagonis terhadap morfin. Frekuensi napas dapat meningkat dengan cepat, sekitar satu sampai dua menit setelah pemberian intravena. 2. Frekuensi Denyut Jantung Dari hasil percobaan didapatkan bahwa frekuensi denyut jantung kelinci sekitar 66 denyut per menit pada menit ke-5 setelah pemberian morfin, kemudian meningkat menjadi 102 pada menit ke-10, dan berangsur menurun hingga menit ke-25. Frekuensi denyut jantung pada menit ke-5 lebih rendah dari beberapa menit setelahnya dapat terjadi karena kemungkinan salah perhitungan. Seharusnya pemberian morfin pada dosis terapi tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, atau hanya menurun sedikit. Penurunan frekuensi denyut jantung dapat terjadi akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor. Setelah pemberian kafein benzoat, frekuensi denyut jantung berangsur-angsur meningkat. Hal ini sesuai dengan efek kafein yang dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung, bahkan dapat menyebabkan takikardi atau aritmia pada orang yang sensitif.

Pada pemberian nalokson, frekuensi denyut jantung kembali menjadi normal. Hal ini seusai dengan efek antagonis nalokson terhadap morfin, walaupun morfin hanya sedikit menurunkan frekuensi denyut jantung. 3. Diameter Pupil Dari hasil percobaan didapatkan bahwa pupil mengecil secara berangsur setelah pemberian morfin. Hal ini sesuai dengan efek miosis yang ditimbulkan oleh morfin. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Setelah pemberian kafein benzoat yang dilanjutkan dengan pemberian nalokson 10 menit sesudahnya, pupil kembali membesar. Hal ini dapat dijelaskan dengan efek antagonis terhadap morfin. 4. Tonus Otot Dari hasil percobaan didapatkan bahwa ketonusan otot pada kelinci menurun selama pemberian morfin. Hal ini sesuai dengan efek morfin yang mengurangi aktivitas motorik. Penurunan refleks dan tonus otot ini terus terjadi sejalan dengan waktu. Bahkan pada saat hewan coba mencapai depresi pernapasan, ditemukan refleks dan tonus otot kelinci yang sangat buruk. Ketonusan otot akan meningkat secara bertahap setelah pemberian kafein benzoat. Hal ini sesuai dengan efek kafein yang dapat meningkatkan kapasitas kerja otot. Tonus otot kembali normal setelah pemberian nalokson secara intravena. Hal ini sesuai dengan kerja nalokson yang akan menimbulkan efek berkebalikan terhadap morfin. 5. Refleks Dari hasil percobaan didapatkan bahwa refleks kelinci pada 15 menit pertama setelah pemberian morfin masih baik. Refleks menjadi berkurang dan memburuk pada 10 menit berikutnya. Hal ini berkaitan dengan efek analgesik yang dimiliki morfin. Hilangnya

rasa nyeri menyebabkan kelinci tidak merasa sakit ketika diberi rangsangan, sehingga tidak melakukan gerak refleks menghindar. Setelah pemberian kafein benzoat yang dilanjutkan dengan pemberian nalokson intravena 10 menit setelahnya, refleks dapat kembali normal. Kafein benzoat akan mengembalikan kekuatan refleks, dan hal ini diperkuat dengan pemberian nalokson yang mengantagonis efek analgetik morfin. 6. Sikap Kelinci Dari hasil percobaan didapatkan bahwa sifat kelinci pada awalnya gelisah. Hal ini dapat terjadi mungkin karena kelinci tersebut merasa bingung dan tidak nyaman berada di tempat percobaan yang terasa asing baginya. Setelah pemberian morfin, sikapnya berangsur menjadi tenang dan pada menit ke-25 menjadi sangat tenang. Hal ini sesuai dengan efek morfin yang memberi rasa tenang, jika sebelumnya gelisah. Pada pemberian kafein benzoat, kelinci masih tetap tenang dan kembali menjadi agak tenang (sedikit agresif) setelah pemberian nalokson. Hal ini berkaitan dengan efek nalokson yang antagonis terhadap morfin. Mengapa nalokson wajib diberikan? Karena kafein benzoat hanya merupakan antagonis fisiologis sehingga tidak cukup adekuat untuk menghambat morfin secara kompetitif di reseptor-reseptornya. Nalokson adalah antagonis morfin yang menduduki reseptor morfin sehingga morfin di dalam darah dapat terflush keluar dari sistem sirkulasi secara cepat dan tidak mengakibatkan efek jangka panjang. Efek Morfin pada beberapa spesies yang berbeda (species difference) Pembahasan: Larutan morfin 4% disuntikkan secara subkutan dan interskapula pada berbagai hewan coba dengan dosis yang sesuai.

Kucing (Demonstrasi) Pada kucing demonstrasi yang disuntik morfin, kucing menunjukkan gejala eksitasi, nampak agressif, lakrimasi, dan hipersalivasi. Gejala di atas memang seharusnya menjadi efek morfin pada kucing di samping mania, midriasis (tidak terlalu nampak pada kucing demonstrasi karna kucing bergerak terus), hipertermia dan konvulsi tonik dan klonik yang dapat berakhir dengan kematian. Fenomena ini dapat juga timbul pada kucing tanpa korteks serebri (decorticated cat), sehingga efek ini tidak dapat disamakan dengan release mechanism pada stadium II anesthesia umum dimana efek timbul karena adanya hambatan pada pusat hambatan di korteks serebri. Tikus Sebelum penyuntikkan tikus nampak agresif dan galak (sempat mengigit tangan salah satu penjaga lab.). Setelah diberi suntikkan morfin, tikus menjadi lebih pasif. Kurang lebih 45 menit setelah penyuntikkan, tonus otot tubuh tikus melemah yang ditandai dengan hilangnya refleks postural sehingga terjadi kekakuan tubuh. Badan tikus menetap dalam sikap yang dibuat oleh pembuat percobaan (katalepsi). Mencit Sebelum penyuntikkan mencit nampak aktif. Setelah diberi suntikkan morfin, mencit menjadi agak lebih lemas sebentar sebelum akhirnya menjadi aktif lagi. Kurang lebih 20 menit setelah penyuntikkan, mencit menjadi aktif lagi, bahkan sedikit lebih aktif dari sebelum penyuntikkan (eksitasi sedang). Ekor mencit diangkat dan berbentuk huruf S (efek Straub).

Daftar pustaka

Bab 14 dan bab 16 Buku Farmakologi dan Terapi edisi IV, tahun 1995 hal 189-197, 203-204, 226-229.

Anda mungkin juga menyukai