MORFIN
Kelompok VII
Christopher 102011333
Daniel Hosea102011358
Stefanus Jonathan102011376
B. Sasaran belajar
1. Melihat efek morfin, terutama depresi nafas, miosis dan gejala lain yang terjadi pada
over dosis ( OD ) pada manusia, yang diperlihatkan pada kelinci.
2. Memperlihatkan efek species difference akibat morfin pada berbagai hewan coba.
3. Memperlihatkan efek antidotum pada keracunan/ over dosis morfin.
4. Melatih mahasiswa menghitung dosis yyang tepat yang akan diberi pada masing-
masing hewan coba dan memberi suntikan yang tepat sesuai petunjuk.
C. Persiapan
1. Hewan coba : kelinci, tikus putih, mencit dan kucing.
2. Obat-obatan : larutan morfin 4%, kafein benzoate 4%, dan larutan nalokson.
3. Alat-alat : timbangan hewan coba, baskom plastic, penggaris, semprit, dan
kandang hewan.
4. Dosis larutan morfin 4% yang akan diberikan pada hewan coba :
Kucing : 20mg/kgbb
Tikus : 40-60mg/kgbb
Mencit : 40 mg/kgbb
D. Tatalaksana
1. Efek overdosis morfin dan antidoktumnya\
Untuk memperlihatkan efek morfin pada manusia seperti sedasi, lemas, dan
miosis terutama gejala overdosis (OD) morfin dimana terjadi trias intoksikasi akut :
depresi nafas, miosis hebat dan koma, maka observasi pada kelinci paling tepat
menggambarkan hal tersebut.
A. Kelinci
1. Ambillah seekor kelinci, perlakukan hewan coba dengan baik dan tidak kasar.
2. Timbanglah kelinci anda dengan timbangan hewan coba dengan akurat dan
catat.
3. Lakukan observasi parameter dasar: sikap kelinci, reflex otot, diameter pupil
kanan dan kiri, hitung frekuensi pernafasan dan denyut jantung, kelakukan
kelinci.
Sikap kelinci : biasanya lincah, jalan-jalan di meja laboratorium
Refleks otot: tariklah (jangan terlalu keras) tungkai kaki depannnya, normal
biasanya ada tahanan
Diameter pupil diukur dalam kondisi cahaya yang constant
Frekuensi nafas dapat dihitung dengan meraba dada kelinci atau dengan
menghitung kembang-kempinya cuping hidungnnya.Karena frekuensi nafas
kelinci cepat maka hitunglah ¼ menit kemudian kalikan 4
Denyut jantung dihitung dengan meraba bagian dada bawah tubuh kelinci.
4. Setelah seluruh parameter dasar selesai, hitunglah berapa ml, larutan morfin
yang akan disuntik pada kelinci dengan cara perhitungan diatas.
5. Mintalah pada instruktur larutan morfin 4% yang akan disuntik, dalam semprit
yang telah disediakan.
6. Lakukan tindakan asepsis, dengan mengosok tempat suntikan dengan larutan
alcohol 70%.
7. Suntikan larutan morfin 4% yang sesuai dengan perhitungan untuk kelinci
anda secara subkutan di daerah subscapula.Pastikan seluruh cairan morfin
tadi masuk ke dalam tubuh kelinci dan tidak ada yang tercecer keluar.
8. Biarakan kelinci tetap diatas meja laboratorium, dan lakukan observasi seluruh
parameter tiap 5 menit.
9. Bila frekuensi pernafasan telah 20X/menit, laporkan pada instruktur dan
mintalah larutan kafien benzoate 0,5ml dan suntikan secara subkutan pada
daerah subscapula.
10. Bila frekuensi pernafasan tetap turun sampai kurang dari 15X/menit, laporkan
pada instruktur agar disuntikan nalorfin 0,2ml pada vena marginalis kelinci.
11. Perhatikan pada saat terjadi overdosis pada kelinci yang ditandai dengan :
depresi pernafasan, miosis, dan sikap kelinci menjadi cemas, tonus otot sangat
menurun, maka beberapa detik setelah penyuntikan nalorfin, maka kelinci
akan pulih seperti semula; aktif, tonus otot baik, frekuensi nafas normal.
E. Dasar teori
A. Morfin
Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin
bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang
lebih lemah terhadap reseptor dan .
2. Saluran cerna
Morfin berefek langsung pada saluran cerna. Bukan melalui efeknya pada SSP.
Lambung
Morfin menghambat sekresi HCI, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya
morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum
meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus
berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.
Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum.
Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek terhadap
lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh
morfin sedikit diperkecil oleh atropin.
Usus Halus
Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaar makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi
kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus.
Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan isi usus yang
lambat disertai sempurnanya absorps air menyebabkan isi usus menjadi
lebih pada: Tonus valvula ileosekalis juga meninggi. Atropin dosis besar
tidak lengkap melawan efek morfin ini.
Usus besar
Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus jan meyebabkan spasme usus besar; akibatnya
penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi ebih keras. Daya persepsi
korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan
kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek morfin pada kolon
dapat diantagonis oleh stropin. Efek konstipasi kodein lebih lemah daripada
morfin. Pecandu opioid terus menerus menderita periode konstipasi dan
diare secara bergantian.
Duktus Koledokus
Dosis terapi morfin, kodein: nidromorfinon dan metilhidromorfinon
menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; zan efek ini
dapat menetap selama 2 jam atau ebih. Keadaan ini sering disertai perasaan
tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat. Menghilangnya nyeri
setelah pemberian morfin cada pasien kolik empedu disebabkan oleh efek
sentral morfin, namun pada beberapa pasien justru mengalami eksaserbasi
nyeri. Pada pemeriksaan radiografis terlihat konstriksi sfingter Oddi.
Atropin menghilangkan sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, amilniltrit
secara inhalasi, nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan meniadakan
spasme saluran empedu oleh morfin.
3. Sistem kardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi
maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada
pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah
turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Hal ini terbukti dengan
dilakukannya napas buatan atau jengan memberikan oksigen; tekanan darah naik
meskipun depresi medula oblongata masih berlangsung.
Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk
bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi ortostatik
dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan
efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan
histamin yang merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi.
Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak
dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak
konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah.
Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovolemia
karena mudah timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat fenotiazin
menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin harus digunakan
dengan sangat hati-hati pada pasien cor-pulmonale, sebab dapat menyebabkan kematian.
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka.
Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin
kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh
lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis
yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan
setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah
pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di
hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya.
Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama
melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang
terkonyugasi ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama
cairan lambung.
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan
nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan
untuk nyeri yang menyertai: 1) infark miokard; 2) neoplasma; 3) kolik renal atau kolik
empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akut,
pleuritis dan pneumotoraks spontan, dan 6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur
dan nyeri pasca bedah. Sebagai medikasi praanestesik, morfin sebaiknya hanya diberikan
pada pasien yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat praanestesik hanya
dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan penobarbital
atau diazepam.
Efek Samping
B. Kafein benzoat
Kafein adalah stimulan yang mempercepat aktivitas fisiologis. Kafein tersebut dikenal
sebagai trimethylxantine dengan rumus kimia C8H10N4O2 dan termasuk jenis alkaloida.
Kafein disebut juga tein, merupakan kristal putih yang larut dalam air dengan perbandingan 1
: 46. Kafein-Na benzoate dan kafein sitrat, berupa senyawa putih, agak pahit, larut dalam air.
Kafein-Na benzoat tersedia dalam ampul 2 ml mengandung 500 mg untuk suntikan IM.
Farmakodinamik
Susunan saraf pusat
Orang yang minum kafein merasakan tidak begitu mengantuk, tidak begitu
lelah, dan daya pikirnya lebih cepat dan lebih jernih ; tetapi kemampuannya
berkurang dalam pekerjaan yang memerlukan koordinasi otot halus ( kerapihan) ,
ketepatan waktu dan ketepatan berhitung. Efek diatas timbul pada pemberian kafein
85-250 mg.
Sistem kardiovaskular
Kafein rendah dalam plasma akan menurunkan denyut jantung yang mungkin
disebabkan oleh perangsangan nervus vagus di medula oblongata. Sebaliknya kadar
teofilin dan kafein yang lebih tinggi menyebabkan takikardi, bahkan pada individu
yang sensitif mungkin dapat menyebabkan aritmia, misalnya kontraksi ventrikel yang
prematur. Aritmia ini dapat dialami oleh orang yang minum kafein berlebihan.
Pembuluh darah
Kafein dan teofilin menyebabkan dilatasi pembuluh darah, termasuk
pembuluh darah koroner dan pulmonal karena efek langsung pada otot pembuluh
darah. Dosis terapi kafein akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer
yang bersama dengan peninggian curah jantung yang mengakibatkan bertambahnya
aliran darah. Terapi vasodilatasi perifer ini hanya berlangsung sebentar sehingga
tidak mempunyai kegunaan terapi.
Otot polos
Efek terpenting xantin adalah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot
bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat histamin atau secara
klinis pada pasien asma bronkial.
Otot rangka
Dalam kadar terapi, kafein dan teofilin ternyata dalam memperbaiki
kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma pada orang normal maupun
pada pasien COPD.
Diuresis
Semua xantin meninggikan produksi urin.
Sekresi urin
Sekresi lambung setelah pemberian kafein memperlihatkan gambaran khas
pada orang normal maupun pada orang tukak lambung duodenum. Individu dengan
presdisposisi tukak peptik atau pasien dengan tukak peptik yang mengalami remisi
juga menunjukan respon yang abnormal terhadap pemberian kafein.
Efek metabolik
Pemberian kafein orang sehat ataupun orang yang gemuk dapat menyebabkan
peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma dan juga meninggikan
metabolisme basal.
Farmakokinetik
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal atau parenteral. Sediaan
bentuk cair dan tablet yang tidak bersalut akan diarbsorbsi lengkap dan cepat.
Intoksikasi
Pada manusia, kematian akibat keracunan kafein jarang terjadi. Gejala yang biasanya
paling mencolok pada penggunaan kafein dosis berlebihan ialah muntah dan kejang. Kadar
kafein dalam darah pascamati ditemukan antara 80 µg/mL sampai lebih dari 1 mg/mL.
C. Nalokson
Nalokson merupakan antagonis murni opioid. Ia bekerja di kesemua receptor
opioid yaitu receptor-μ, receptor-δ dan receptor-κ. Nalokson adalah antagonis opiat yang
utama yang tidak mempunyai atau hanya sedikit mempunyai aktivitas agonis. Jika diberikan
pada pasien yang tidak menerima opiat dalam waktu dekat, nalokson hanya memberi sedikit
atau bahkan tidak memberikan efek. Sedangkan pada pasien yang sudah menerima morfin
dosis tinggi atau analgesik lain dengan efek mirip morfin, nalokson mengantagonis sebagian
besar efek opiatnya. Akan terjadi peningkatan kecepatan respirasi dan minute volume,
penurunan arterial PCO2 menuju normal, dan tekanan darah menuju normal jika ditekan.
Nalokson mengantagonis depresi pernapasan ringan akibat opiat dosis rendah. Karena durasi
kerja nalokson lebih singkat dibandingkan durasi kerja opiat, maka efek opiat mungkin
muncul kembali begitu efek nalokson menghilang. Nalokson mengantagonis efek sedasi atau
tertidur yang dipicu oleh opiat. Nalokson tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan
fisik maupun psikologis.
Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah
penyuntikan intravena. Secara oral nalokson juga diserap tetapi karena hampir seluruhnya
mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat ini
dimetabolisme di hati terutama dengan glukoronidasi.
Waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam.
Metabolitnya 6 naltrekson merupakan antagonis opioid yang lemah dan masa
kerjanya panjang. Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada pasien adiksi
opioid pemberian 1 0 0 m g s e c a r a o r a l d a p a t menghambat efek euforia
yan ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.
Pada mencit, didapatkan adanya, dan sikapnya tenang, mencit lebih tampak
berdiam diri. Beberapa menit kemudian, mencit sudah menangkat ekornya, namun
belum terjadi efek straub, tidak lama kemudian sekitar menit ke 5 respon Straub pada
mencit terjadi. Pada percobaan terlihat adanya reaksi Straub memberi petunjuk bahwa
ada rangsangan terhadap susunan saraf pusat (khususnya sumsum tulang belakang)
atau pembebasan adrenalin. Gejala Straub terlihat pada semua mencit yang menerima
morfin pada praktikum tersebut.
Pengamatan pada kucing
Pada percobaan efek morfin ke kucing hanya dilakukan dalam bentuk
demonstrasi, pertama ambil dan timbang kucing, hitung dosis larutan morfin yang
harus diberikan. lakukan tindakan asepsis pada daerah yang akan disuntik. Suntikan
larutan morfin 4% sesuai perhitungan dosis secara subkutan pada daerah interskapula.
Kemudian,, masukkan kucing ke dalam kandang terlihat kucing menjadi agresif,
hipersalivari, gelisah, dan terjadi midriasis.
G. Kesimpulan
Hasil praktikum morfin terhadap kelinci menunjukkan terjadinya depresi napas,
miosis dan sikap kelinci menjadi lemas serta tonus menurun yang mana memperlihat efek
pada kelinci yang setara pada manusia apabila diberikan morfin. Manakala pemberian morfin
pada tikus dan mencit menunjukkan hasil species difference yaitu eksitasi untuk kucing ,
katatonik untuk tikus dan efek Straub untuk mencit.
H. Daftar pustaka
1. Dewoto HR. Analgesik opioid dan antagonis. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi V. Jakarta: FKUI; 2011.h. 210-28.