Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Analgesik Opioid


Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat mirip opium. Opium
yang berasal dari getah papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opoid terutama
digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik
dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan
obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya
kesadaran maka istilah analgetik narkotika kurang tepat.

2.2 Sediaan dan posologi


1. Meperidin dan derivat fenilpiperidin lain
Meperidin juga dikenal sebagai petidin. Secara kimia adalah erik-1-4-
fenilpiperidin-4-karboksilat

Farmakodinamik
Efek farmakodinamik meperidin dan derivat fenilpiperidin lain serupa atau satu
dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor obat lain
yang mirip dengan meperidin ialah pimidon, ketobemidon dan fenoperidin.

a. Susunan saraf pusat


- Analgesia: efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgertik morfin.
Efek analgetik meperidin muncul 15 menit setelah pemberian oral dan
mencapai puncal dalam 2 jam. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah
pemberian subkutan atau IM yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak
dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektivitas meperidin 75-
100 mg parenteral kurang lebih sama dengan morfin 10 mg. Karena
bioavailabillitas oral 40-60% maka efektivitas sebagai analgesik bila
diberikan per oral setengahnya daripada bila diberikan parenteral
- Sedasi, euforia dan eksitasi: pemberian meperidin kepada pasien yang
menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia. Berbeda dengan
morfin, dosisi toksik meperidin kadang-kadang menimbulkan
perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot dan konvulsi. Efek
tersebut sebagian besar disebabkan oleh metabolitnya yaitu normeperidin.
- Saluran napas: meperidin dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi
napas sama kuat dengan morfin dan mecapai puncaknya dalam 1 jam
setelah suntikan IM
- Efek neural lain: pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan
anestesia kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea. Berbeda
dengan morfin, meperidin tidak mempengaruhi diameter pupil dan refleks
pupil. Seperti morfin dan metadon, meperidin meningkatkan kepekaan alat
keseimbangan yang merupakan dasar timbulnya mual, muntah, dan pusing
pada mereka yang berobat jalan. Meperidin menyebabkan pelepasan ADH.
Meperidin merangsang CTZ, sehingga menimbulkan mual dan muntah.

b. Sistem Kardiovaskular
Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard
dan tidak mengubah gambaran EKG. Pasien berobat jalan mungkin menderita
sinkop disertai penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika
pasien berbaring

c. Otot polos
- Saluran cerna: efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus
kecul lebih lemah daripada morfin. Kontraksi propulsif dan nonpropulsif
saluran cerna berkurang, tetapi dapat timbul spasme dengan tiba-tiba serta
peninggian tonus usus
- Otot bronkus: meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh
histamin dan metakolin, namun pemberian dosis terapi meperidin tidak
banyak mempengaruhi otot bronkus normal. Dalam dosis besar obat ini
justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi
- Ureter : setelah pemberian dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal ini
disebabkan oleh berkurang nya produksi urin akibat dilepaskannya ADH
dan berkurangny laju filtrasi glomerulus.
- Uterus: dosis terapi meperidin yang diberikan pada waktu partus tidak
memperlambat kelangsungan partus dan tidak mengubah kontraksi uterus.
Meperidin tidak menggangu kontraksi atau involusi uterus pascapersalinan
dan tidak menambah frekuensi pendarahan pasca persalinan

Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan
tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar
puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai
sangat bervariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral, 50% obat
mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma
tercapai dalam 1-2 jam. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam
plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan
berlangsung dengan lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma
terkait protein. Metabolisme meperidin berlangsung di hati. Pada manusia,
meperidin mengalami hidrolisi menjadi asam meperidinat yang kemudia
sebagian mengalami konjugasi. N-demetilasi menghasilkan normeperidin,
yang kemudian di hidrolisi menjadi asam normeperidinat dan seterusnya
assam ini di konjugasi pula. Masa paruh meperidin ± 3 jam. Pada pasien
sirosis, bioavailabilitas meningkat sampai 80% dan masa paruh meperidin dan
normeperidin memanjang. Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan
dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin
dalam bentuk derivat N-demetilasi

Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin. Meperidin juga digunakan juga untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dan sebagai obat praanestestik. Untuk menimbulkan
analgesia obstertik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang
menyebabkan depresi napas pada janin.

Efek Samping
efek samping paling ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering,
mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi. Pada pasien berobat reaksi ini timbul sering dan lebih berat.
Obstipasi dan refensi urin tidak begitu sering timbul seperti pada morfin, tetapi
efek sedasinya sebanding morfin. Pada pasien penyakit hati dan orang tua
dosis obat harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada diposisi obat.
Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis,
hipnotik sedatif dan obat obat lain penekan SSP. Pada pasien yang sedang
mendapatkan MAO inhibitor pemberian meperidin dapat ditimbulkan
kegelisahan , gejala eksitasi dan demam. Takar lajak meperidin dapat
mengakibatkan timbulnya tremor dan konvulsi bahkan juga depresi napas,
koma dan kematian. Pada pencandu meperidin yang telah kebal akan efek
depresi, pemberian meperidin dalam dosis besar dapat menimbulkan tremor,
kedutan otot midriasis, refleks hiperaktif dan konvulsi. Bila terjadi gejala
perangsangan terhadapa meperidin obat dihentikan dan digantikan dengan
obat lain (misal morfin) untuk mengatasi nyeri, dan ditambahkan
antikonvulsan benzodiazepin bila diperlukan.

Adiksi dan Toleransi


Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibanding
dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval pemberian lebih dari
3-4 jam. Toleransi tidak terjadi terhadap rfrk stimulasi dan efek mirip atropin.
Gejala putus obat pada penghentian tiba-tiba penggunaan meripidin timbul
lebih cepat yapi berlangsung lebih singkat daripada gejala setelah penghentian
morfin dengan gangguan sistem otonom yang lebih ringan.

2. Metadon dan opioid lain


Derivat yang serupa dengan metadon tidak lebih kuat daripada metadon itu
sendiri, malah dekstromoramid lebih banyak menimbulkan efek samping dan
menyebabkan depresi napas lebih berat daripada morfin jika diberikan dalam
dosis ekuilanalgetik

Farmakodinamik
- SSP: efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg
morfin. Dalam dosis tunggal metadon tidak menibulkan hipnosis sekuat
morfin. Setelah pemberian metadon berulang kali timbul efek sedasi yang
jelas, mungkin karena adanya akumulas. Dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat
bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal, metadon berefek antitusif,
menimbulkan hiperglikemia, hipotemia dan pengelepasan ADH
- Otot polos: seperti meperidin, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usu
dan menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. Efek
konstipasi metadon lebih lemah daripada morfin. Seperti morfin dan
meperidin, metadon menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia
dan hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena terjadi
antiduresis. Uterus manusia aterm tidak banyak dipengaruhi metadon.
Miosis yang ditimbulkan metadon lebih lama daripada miosis olrh morfin
- Sistem Kardiovaskular: metadon menyebabkan vasodilatasi perifer
sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian metadon
tidak mengubah gambaran EKG tetapi kadang kadang muncul sinus
bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaa tubuh terhadap CO2 sehingga
timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan dilatasi pembuluh darah
serebral dan kenaikan tekanan darah serebrospinal
Farmakokinetik
Setelalah suntikan metadon subkutan ditemukan kadar dalam plasma yang
tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% ,etadon terikat protein plasma.
Metadon di absorpsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma
setelah 30 menit pemberian oral; kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon
cepat keluar dari darah dan menumpuk pada paru, hati, ginjal dan limpa;
hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak
dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar
dengan intensitas dan lama analgesia, metadon mengalami pengikatan erat
pada protein jaringan. Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati.
Sebagian besar metadon ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil
biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari 10% mengalami
ekskresi dalam bentuk asli. Sebagian besar diekskresi bersama empedu. Paruh
waktunya 1-1(1/2) hari.

Indikasi
- Analgesia : jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis
nyeri yang dapat dipengaruhi morfin. Dosis ekuianalgetik metadon kira-
kira sama dengan morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon
sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20
menit setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian
oral metadon. Masa kerja metadon dosis tunggal kira-kira sama dengan
masa kerja morfin. Pada pemberian berulang terjadi efek akumulasi,
sehingga dapat diberikan dosis lebih kecil atau interval dosis dapat lebih
lama. Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak di
anjurkan sebagai analgesik pada persalinan. Metadon digunakan sebgai
penganti morfin atau opioid lain( misal heroin) untuk mencegah atau
mengatasi gejala-gejala putus obat yang ditimbulkan oleh obat-obat
tersebut.
- Antitusif: metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2 mg
per oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi mungkin timbulnya adikisi
pada metadon jauh lebih besar dibandingkan kodein. Oleh karena itu
dewasa ini pengunaanya sebagai antitusif tidak dianjurkan atau telah
ditinggalkan

Efek Samping
Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, ngantuk,
pusing, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah.
Seperti morfin dan meperidin, efek samping yang sering muncul pada
pemberian oral daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada
pasien berobat jalan. Efek samping yang jarang timbul ialah delirium,
halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik. Bahaya utama pada lajak metadon
ialah berkurangnya ventilasi pulmonal. Terapi intoksi akut metadon sama
dengan terapi intoksi akut morfin

Toleransi dan Kemungkinan Adiksi


Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia,
miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi tidak muncul
terhadap konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap
morfin. Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara
kronik dapat ditimbulkan adiksi ini lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin.

Sediaan
Metadon dapat diberkan secara oral maupun suntikan, tetapi suntikan subkutan
menimbulkan iritasi loka. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan 10 mg
serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10mg/ml. Dosis
analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5-15 mg, tergantung
dari hebatnya nyeri dan respons pasien, sedangkan dosis parenteral ialah 2,5-
10 mg

3. Propoksifen
Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgetik karena kerja sentralnya. Propoksifen terutama
terikat pada reseptor  meskipun, kurang selektif dibandingkan morfin.
Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat dengan 65
mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral menimbulkan anelgesia
yang sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen
menimbulkan perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan. Seperti kodein
kombinasi proposikfen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik
daripada masing-masing obat yang diberikan tersendiri. Obat ini tidak berefek
pada antitusif

Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti kodein,
efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan per oral. Biotransformasi
propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.

Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang, yang
tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama
asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis
propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa
asetosal.

Efek samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi sistem kardiovaskular
pemberian 130 mg propoksifen per oral pada orang dewasa sehat tidak banyak
banyak mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek
samping propoksifen seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk
kurang lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya menimbulkan depresi
SSP dan depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar lagi timbul konvulsi
Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil kemungkinannya daripada
terhadap kodein penghentian tiba-tiba pada terapi dengan propoksifen dapat
menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis oral propoksifen yang besar (300-
600 mg) menimbulkan efek subjektif yang menyenangkan tetapi tidak serupa
dengan efek morfin. Obat ini cukup iriatif pada pemberian subkutan, sehingga
tidak digunakan secara parenteral.
4. Obat lainnya
- Alfaprodin HCL: tersedia dalam bentuk ampul 1 ml dan vial 10 ml
dengan kadar 60 mg/ml
- Difenoksilat: derivat mepiridin ini berefek konstipasi jelas pada manusia.
Obat ini dikenal sebagai antidiare. Mesikipun dalam dosis terapeutik
tunggal tidak atau sedikit menujukkan efek subyektif seperti morfin, dalam
dosis 40-60 mg obat ini menunjukkan efek opoiod yang khas termasuk
euforia, supresi abstinensi morfin, dan ketergantungan fisik seperti morfin
setelah pengunaan kronik. Difenoksilat maupun garamnya tidak larut
dalam air, sehingga obat ini sukar disalahgunakan secara suntikan.
Tersedia dalam bentuk tablet dam sirop yang mengandung 2,5 mg
difenoksilat dan 25 mg atropin sulfat tiap tablet atau tiap 5 ml sirop. Dosis
yang dianjurkan untuk pengobatan diare pada orang dewasa 20 mg per hari
dalam dosis terbagi
- Loperamid: seperti difenoksilat obat ini memperlambat motilitas saluran
cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan lingitudinal usus. Obat ini
berikatan dengan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya
diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor tersebut. Obat ini sama
efektifnya dengan difenoksilat untuk pengobatan diare kronik. Efek
samping yang sering dijumpai ialah kolik abdomen, sedangkan toleransi
terhadap efek konstipasi jarang sekali terjadi. Pada sukarelawan yang
mendapatkan dosis besar loparamid, kadar puncak dalam plasma dicapai
dalam waktu 4 jam sesudah makan obat. Masa laten yang lama ini
disebabkan oleh penhambatan motilitas saluran cerna dan karena obat
mengalami sirkulasi enterohepatik. Waktu paruhnya 7-14 jam. Loperamid
tidak diserap dengan baik melalui pemberian oral dan penetrasinya ke
dalam otak tidak baik; sifat-sifat ini menunjang selektivitas lerka
loperamid. Sebagian besar obat diekskresi bersama tinja. Kemungkinan
disalahgunakan obat ini lebih kecil dari difenoksilat karena tidak
menimbulkan euforia seperti morfin dan kelarutannya rendah. Loperamid
tersedia dalam bentuk tablet 2 mg dan sirup 1mg/5 ml dan digunakan
dengan dosis 4-8 mg per hari.
- Fentanil dan derivatnya: sulfentanil, alfentanil, dan remifentanil
merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja
sebagai agonis reseptor . Fentanil banyak digunakan untuk anestestik
karena waktu untuk mencapai puncal analgesia lebih singkat dibandingkan
morfin dan meripidin (sekitar 5 menit) efeknya cepet berakhir setelah dosis
kecil yang diberikan seperti bolus, dan relatif kurang mempengaruhi
kardiovaskular. Fentanil dam derivatnya paling sering digunakan IV,
meskipun juga sering digunakan secara epidural dan intratekal untuk nyeri
pascabedah atau nyeri kronik. Dengan dosis lebih besar atau pemberian
infus lebih lama efek analgetik bertahan lebih lama. Efek euforia dan
analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak
bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol yaitu suatu
neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestetik IV
Seperti agonis reseptor  lainnya fentani; dam derivatnya dapat
menimbulkan mual, muntah, dan gatal. Kekauan otot dapat dikurangi
dengan mengindarkan/memperlambat pemberian secara bplus, dan induksi
anestesia dengan obat nonopioid. Depresi respirasi lebih cepat timbul
dibandingkan agonis reseptor  lainnya. Lamanya depresi napas lebih
singkat dibandingkan morfin bila digunakan dosis kecil. Seperti halnya
dengan morfin dan meperidin; setelah pengunaan fentanil, sulfentanil, atau
alfentanil depresi napas delayed juga dapat tejadi. Fentanil dosis tinggi
juga dapat merangsang saraf dan kadang-kadang menimbulkan serangan
konvulsi. Fentanil dan derivatnya juga dapat mengurangi frekuensi jantung
dan menurunkan tekanan darah. Akan tetapi karena obat-obat ini tidak
melepaskan histamin dan pengaruh langsung depresi miokard minimal,
maka dosis tinggi fentanil dan sulfentanil sering digunakan sebagai
anestetik pada operasi kardiovaskular, atau untuk operasi pada pasien
dengan fungsi jantung yang buruk.

Antagonis opioid dan agonis parsial


2.3 Antagonis opioid
Antagonis murni opioid nalokson, naltrekson, dan nalmefen ada-lah turunan morfin
dengan lebih banyak substituen di posisi N17. Obatobat ini memiliki afinitas relatif
tinggi terhadap tempat-tempat pengikatan di reseptor . Mereka memilih afinitas lebih
rendah

Farmakokinetika
Nalokson biasanya diberikan melalui injeksi dan masa kerjanya singkat (1-2 jam) jika
diberikan melalui rute ini. Disposisi metabolik terutama oleh konjugasi glukuronida
seperti yang terjadi pada agonis opioid dengan gugus hidroksil bebas. Naltrekson
diserap baik setelah pemberian oral, tetapi mungkin mengalami metabolisme first-
pass yang cepat. Obat ini memiliki waktu-paruh 10 jam dan satu dosis oral 100 mg
dapat menghambat efek suntikan heroin hingga 48 jam. Nalmefen, obat paling baru
dari golongan ini, adalah turunan naltrekson tetapi tersedia hanya dalam bentuk
larutan intravena. Seperti nalokson, nalmefen digunakan pada kelebihan dosis opioid
tetapi waktu-paruhnya lebih lama (8-10 jam).

Farmakodinamika
Jika diberikan tanpa adanya obat agonis, berbagai antagonis ini hampir tidak berefek
pada dosis yang menghasilkan antagonisme terhadap efek-efek opioid agonis. Jika
diberikan secara intravena kepada orang yang mendapat morfin, antagonis ini secara
tuntas dan dramatis memulihkan efekefek opioid dalam 1-3 menit. Pada orang yang
mengalami depresi akut akibat kelebihan dosis suatu opioid, antagonis secara efektif
menormalkan pernapasan, tingkat kesadaran, ukuran pupil, aktivitas usus, dan
kesadaran akan nyeri. Pada pecandu yang tampak normal ketika mendapat opioid,
nalokson atau naltrekson hampir secara langsung memicu suatu sindrom abstinensia.
Tidak terjadi toleransi terhadap efek antagonistik obat-obat ini, juga tidak timbul
sindrom abstinensia setelah penghentian pemberian kronik.

Pemakaian Klinis
Nalokson adalah suatu antagonis murni dan lebih disukai daripada obat-obat agonis
lemah-antagonis lama yang dahulu digunakan sebagaiantagonis, mis. nalorfin dan
levalorfan. Pemakaian utama nalokson adalah untuk mengobati kelebihan dosis opioid
akut (lihat juga Bab 58). Perlu selalu di ingat bahwa Dosis awal lazim nalokson
adalah 0,1-0,4 mg intravena untuk depresi pernapasan dan SSP yang mengancam
nyawa. Pemeliharaan adalah dengan obat yang sama, 0,4-0,8 mg intravena, dan
diulangi jika diperlukan. Dalam memberikan nalokson untuk neonatus yang tertekan
akibat opioid, dosis perlu dimulai dari 5-10 meg/kg dan mempertimbangkan dosis
kedua hingga total 25 meg/kg jika tidak dijumpai respons. Nalokson dosis rendah
(0,04 mg) kini semakin berperan dalam pengobatan efek samping yang sering
berkaitan dengan pemberian opioid intravena atau epidural. Titrasi yang eermat
terhadap dosis nalokson sering dapat menghilangkan gatal, mual, dan muntah
sementara efek analgesia dapat dipertahankan. Untuk tujuan ini, nalokson oral, dan
analog-analog yang lebih baru dari nalokson dan naltrekson telah disetujui oleh FDA.
Obat-obat tersebut meneakup metilnaltrekson bromida (Relistor) untuk mengobati
konstipasi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut dan alvimopan (Entereg) untuk
terapi ileus paseaoperasi setelah bedah reseksi usus. Mekanisme utama efek terapeutik
selektif ini dipereayai adalah inhibisi reseptor ll perifer di usus dengan penetrasi SSP
minimal. Karena masa kerjanya yang lama, naltrekson telah diajukan sebagai obat
pemeliharaan untuk pecandu yang menjalani program pengobatan. Dosis tunggal yang
diberikan selang sehari dapat menghambat hampir semua efek satu dosis heroin.
Dapat diperkirakan bahwa pendekatan rehabilitasi ini akan tidak populer bagi
sebagian besar pecandu obat kecuali jika mereka memang termotivasi untuk bebas
obat. Pemakaian terkait adalah dalam kombinasi dengan morfin sulfat dalam bentuk
sediaan lepas-terkontrol (Embeda), yaitu 20-100 mg morfin dikeluarkan seeara
perlahan dalam 8-12 jam atau lebih untuk mengatasi nyeri paseaoperasi yang
berkepanjangan. Naltrekson, 0,4-4 mg, diletakkan di bagian tengah pelet dan
dimaksudkan untuk menecegah penyalahgunaan morfin (dengan menggerus dan
mengekstraksi morfin dari kapsul). Terdapat bukti bahwa naltrekson menurunkan
ketagihan alkohol pada pecandu alkohol dengan meningkatkan pelepasan basal β-
endorfin, dan obat ini telah disetujui oleh FDA untuk tujuan ini Naltrekson juga
membantu orang berhenti dari nikotin (merokok) tanpa disertai banyak penambahan
berat badan. Pada kenyataannya, kombinasi naltrekson plus bupropion juga dapat
menjadi strategi yang efektif dan sinergistik untuk menurunkan berat. Jika berbagai
uji klinis yang saat ini dilakukan memperlihatkan keamanan kardiovask ular selama
pemberian jangka-panjang maka obat ini dan obat penurunan berat badan lainnya
yang mengandung naltreksoil mungkin akan mendapat persetujuan FDA.

Indikasi
Antagonis opioid ini diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat takar lajak
opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu
persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nakloson
merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati
ketergantungan fisik terhadap opioid

Toleransi dan Ketergantungan Fisik


Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis, jadi hanya
timbul pada efek subjektif, sedatif dan psikoromimetik dari nalorfin. Penghentian
tiba-tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan gejala putus obat yang
khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morphin. Nalokson, nalorfin dan
levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan sebab:
1) Tidak menyebabkan ketergantungan fisik
2) Tidak menyokong ketergantungan fisik morfin; dan
3) Dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi
para pecandu

Sediaan
Nalorfin HCL, tersedia untuk pengunaan parenteral, masing-masing mengandung 0,2
mg nalorfin/ml untuk anak, 5 mg nalorfin/ml untuk orang dewasa. Juga tersedia
levalorfan 1 mg/ml dan nalokson 0,4 mg/ml. Pada intoksikasi opioid diberikan 2 mg
nalokson dalam bolus IV yang mungkin perlu diulang karena waktu paruh yang
singkat, dosis ini diulang tiap 20-60 menit, terutama pada keracunan opioid kerja lama
misalnya metadon. Cara lain ialah memberikan dosis 60% dari dosis awal setiap jam
setelah dosis awal. Untuk mengatasi depresi diberikan dosis awal 0,01 mg/kgBB
IV,IM atau SK yang dapat diulang tiap 3-5 menit bila respons belum tampak.
Tergantung dari berat depresi napas, dosis ini dapat diulang 30-90 menit.

2.4 Agonis Kuat


Fenantren
Morfin, hidromorfon, dan oksimorfon adalah agonis kuat yang berguna untuk
mengatasi nyeri hebat. Obat-obat prototipe ini telah dibahas secara rinci di atas.
Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah obat yang poten dan bekerja cepat, tetapi
pemakaiannya di AS dan Kanada dilarang. Dalam tahun-tahun terakhir, muncul
desakan-desakan untuk mengembalikan pemakaiannya. Namun, studi-studi buta-
ganda tidak mendukung klaim bahwa heroin lebih efektif daripada morfin dalam
mengatasi nyeri kronik berat, paling tidak jika diberikan melalui rute intramuskulus.

Fenilheptilamin
Metadon telah mengalami kebangkitan dramatis sebagai analgesik poten yang
berguna secara klinis. Obat ini dapat diberikan melalui rute oral, intravena, subkutis,
spinal, dan rektum. Metadon diserap baik dari saluran cerna dan ketersediaan
hayatinya jauh melebihi daripada morfin. Metadon bukan saja merupakan suatu
agonis poten reseptor , tetapi campuran rasemik isomer D- dan L-metadon juga
dapat menghambat reseptor NMDA dan pengangkut monoaminergik. Sifat-sifat non-
reseptor opioid ini dapat membantu menjelaskan kemampuannya mengatasi nyeri
yang sulit diobati (nyeri neuropatik, kanker), khususnya ketika pemberian morfin
sebelumnya gagal. Dalam hal ini, ketika timbul toleransi analgesik atau efek samping
berat pada pemberian morfin atau hidromorfon dengan dosis yang terus meningkat,
"rotasi opioid" ke metadon menghasilkan analgesia yang lebih baik pada dosis yang
hanya 10-20% daripada dosis ekivalen harian morfin. Berbeda dari pemakaiann ya
dalam menekan gejala-gejala lucut opioid, pemakaian metadon sebagai analgesik
biasanya mengharuskan pemberian dengan interval tidak lebih dari 8 jam. Namun,
karena farmakokinetika metadon yang sangat bervariasi dan waktu-paruh yang
panjang (25-52 jam), pemberian awal perlu dipantau secara ketat untuk menghindari
kemungkinan efek samping berbahaya, khususnya depresi pernapasan. Karena
metadon dimetabolisasi oleh isoform CYP3A4 dan CYP2B6 di hati maka inhibisi
jalur metabolik ini atau disfungsi hati dapat menyebabkan efek kelebihan dosis,
termasuk depresi pernapasan atau, yang lebih jarang, aritmia jantung dengan QT
memanjang. Metadon digunakan luas dalam pengobatan penyalahgunaan opioid. Pada
pemakaian metadon, toleransi dan ketergantungan fisik muncul lebih lambat daripada
pemakaian morfin. Gejala dan tanda lucut yang terjadi setelah penghentian mendadak
metadon lebih ringan, meskipun lebih berkepanjangan, daripada yang timbul pada
morfin. Sifat-sifat ini menyebabkan metadon menjadi obat yang berguna untuk
detoksifikasi dan terapi pemeliharaan pecandu heroin yang sering kambuh. ini,
pecandu mengalami toleransi-silang terhadap heroin yang mencegah sebagian besar
dari efek heroin yang menimbulkan ketagihan. Salah satu alasan program terapi
pemeliharaan adalah bahwa penghambatan terhadap efek-efek yang menyebabkan
ketagihan akibat pemakaian opioid ilegal menghilangkan keinginan untuk
memperoleh obat-obat terlarang tersebut sehingga mengurangi aktivitas kriminal dan
membuat pecandu lebih dapat menjalani terapi kejiwaan dan reha-bilitasi. Dasar
farmakologik pemakaian metadon dalam terapi peme-liharaan cukup kuat dan dasar
sosiologiknya rasional, tetapi sebagian program metadon gagal karena penanganan
non-farmakologiknya kurang memadai. Pemberian secara bersamaan metadon kepada
pecandu heroin yang diketahui residivis telah dipertanyakan karena meningkatnya
risiko kematian akibat kelebihan dosis karena henti napas. Selain jumlah pasien yang
mendapat resep metadon untuk nyeri persisten meningkat, insidens kelebihan dosis
secara tidak sengaja serta penyulit yang berkaitan dengan depresi pernapasan juga
bertambah. Buprenorfin, suatu agonis parsial reseptor  kerja-lama, terbukti efektif
dalam detoksifikasi opioid dan terapi pemeliharaan serta diperkirakan memiliki risiko
kematian akibat kelebihan dosis yang lebih rendah.

Fenilpiperidin
Fentanil adalah salah satu obat yang paling luas digunakan dalam famili opioid
sintetik. Subkelompok fentanil mencakup sufentanil, alfentanil, dan remifentanil
selian senyawa induk, fentanil. Berbagai opioid ini berbeda terutama dalam potensi
dan biodisposisinya. Sufentanil lima sampai tujuh kali lebih poten daripada fentanil.
Alfentanil jauh kurang poten dibandingkan fentanil tetapi bekerja lebih cepat dan
masa kerja yang jauh lebih singkat. Remifentanil cepat dimetabolisasi oleh esterase
jaringan non-spesifik dan darah sehingga waktu-paruh farmakokinetik dan
farmakodinamiknya sangat singkat. Sifat-sifat ini bermanfaat ketika senyawa-
senyawa ini digunakan dalam praktik anestesia. Meskipun fentanil kini merupakan
analgesik predominan dalam kelas fenilpiperidin, meperidin terus digunakan. Opioid
lama ini memiliki efek antimuskarinik signifikan, yang mungkin merupakan
kontraindikasi jika takikardia akan menimbulkan masalah. Meperidin juga dilaporkan
memiliki efek inotropik negatif pada jantung. Selain itu, obat ini berpotensi
menyebabkan kejang akibat akumulasi metabolitnya, normeperidin, pada pasien yang
mendapat dosis tinggi atau mengidap gagal ginjal. Karena profil yang kurang
menguntungkan ini, meperidin semakin jarang digunakan sebagai analgesik lini-
pertama.

Morfinan
Levorfanol adalah suatu analgesik opioid sintetik yang kerjanya sangat mirip dengan
morfin.
Untuk detoksifikasi pecandu heroin, diberikan metadon dosis rendah (5-10 mg per
oral) dua atau tiga kali sehari selama 2 atau 3 hari. Pada penghentian metadon,
pecandu mengalami sindrom lucut yang lebih ringan dan dapat ditoleransi. Untuk
terapi pemeliharaan residivis opioid, dapat dibuat toleransi terhadap 50-100 mg/hari
metadon secara sengaja; dalam keadaan
2.5 Agonis ringan sampai sedang
Fenantren
Kodein, dihidrokodein, dan hidrokodon semuanya kurang efektif dibandingkan
dengan morfin dan sering memiliki efek samping yang membatasi dosis maksimal
yang dapat ditoleransi ketika kita ingin mencapai tingkat analgesia setara dengan yang
dihasilkan oleh morfin. Oksikodon lebih poten dan diberikan secara tersendiri dalam
dosis tinggi dalam bentuk lepas-segera (immediate-release) atau lepas-terkontrol
(controlled-release) untuk mengobati nyeri sedang sampai berat. Kombinasi
hidrokodon atau oksikodon dengan asetaminofen merupakan preparat utama analgesik
oral untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang. Namun, kini terjadi peningkatan
pesat dalam pemakaian oksikodon lepas-terkontrol pada kisaran dosis yang lebih
tinggi. Karena setiap tablet oksikodon lepas-terkontrol mengandung oksikodon dalam
jumlah besar agar kerja obat ini lama, mereka yang bermaksud untuk
menyalahgunakan preparat lama memodifikasi tablet ini, memperoleh kadar yang
tinggi secara instan, menyebabkan kemungkinan kelebihan dosis yang mematikan.
FDA baru-baru ini memberi izin suatu formulasi baru oksikodon bentuk lepas-
terkontrol yang dilaporkan mencegah tablet dipotong, dihancurkan, dikunyah, digerus,
atau dilarutkan untuk membebaskan lebih banyak oksikodon. Sediaan baru ini
diharapkan mengurangi penyalahgunaan dengan mengisap atau menyuntikkan.
Sekitar setengah juta orang menggunakan oksikodon bentuk lepasterkontrol untuk
pertama kali pada tahun 2008, yang mendorong FDA mengharuskan produsen untuk
mengumpulkan data mengenai penyalahgunaan atau kesalahan pemakaian obat ini.
FDA juga mensyaratkan bahwa suatu Risk Evaluation and Mitigation Survey (REMS)
yang akan mencakup pemberian petunjuk pemakaian kepada pasien dan persyaratan
untuk edukasi pemberi resep mengenai pemakaian yang benar analgesik opioid dalam
pengobatan nyeri.

Fenilheptilamin
Propoksifen secara kimiawi berkaitan dengan metadon, tetapi aktivitas analgesiknya
sangat rendah. Efikasinya yang rendah menyebabkan obat ini kurang cocok, bahkan
dalam kombinasi dengan aspirin, untuk mengatasi nyeri hebat. Meningkatnya insidens
kematian yang berkaitan dengan pemakaiannya dan penyalahgunaannya
menyebabkan obat ini ditarik dari Amerika Serikat.

Fenilpiperidin
Difenoksilat dan metabolitnya, difenoksin, tidak digunakan untuk analgesia, tetapi
untuk mengobati diare. Keduanya termasuk ke dalam golongan kontrol minimal
(difenoksin dalam Peraturan IV, difenoksilat Peraturan V; lihat bagian dalam sampul
depan) karena kemungkinan penyalahgunaan keduanya kecil. Kurang larutnya
senyawa-senyawa ini membatais pemakaian mereka untuk injeksi parenteral. Sebagai
obat antidiare, keduanya digunakan dalam kombinasi dengan atropin. Atropin
ditambahkan dalam konsentrasi yang terlalu rendah untuk menghasilkan efek anti-
diare, tetapi diharapkan semakin mengurangi kemungkinan penyalahgunaan.
Loperamid adalah suatu turunan fenilpiperidin yang digunakan untuk mengatasi diare.
Namun, karena efek pada reseptor opioid μ di perifer dan tidak adanya efek pada SSP,
minat terhadap pemakaian obat ini sebagai terapi untuk nyeri neuropatik kini
meningkat. Potensi penyalahgunaannya dianggap terlalu rendah karena terbatasnya
akses ke otak. Karena itu, obat ini tersedia tanpa resep. Dosis awal pada semua obat
antidiare ini adalah dua tablet permulaan lalu satu tablet setiap kali diare.
2.6 Opioid Dengan Efek Reseptor Campuran
Kepada pasien yang sedang mendapat obat agonis murni jangan diberi agonis parsial
atau obat dengan efek reseptor campuran karena ketidakpastian efek kedua jenis obat;
dapat terjadi penurunan analgesia atau munculnya sindrom lucut yang parah. Nalbufin
adalah suatu agonis kuat reseptor κ dan antagonis reseptor ; obat ini diberikan secara
parenteral. Pada dosis tinggi tampaknya Terdapat batas atas pasti yang tidak dijumpai
pada morfin untuk efek depresi pernapasan. Sayangnya, ketika terjadi depresi
pernapasan, hal ini mungkin relatif resisten terhadap pemulihan oleh nalokson.
Buprenorfin adalah turunan fenantren paten dan kerja-lama yang merupakan agonis
parsial reseptor  dan antagonis reseptor κ. Pemberian melalui rute sublingual lebih
disukai untuk menghindari efek first-pass yang signifikan. Masa kerjanya yang lama
disebabkan oleh lambatnya obat ini terlepas dari reseptor . Sifat ini menyebabkan
efeknya resisten terhadap pemulihan oleh nalokson. Pema-kaian klinisnya seperti
pemakaian nalbufin. Selain itu, studi-studi terns menyarankan bahwa buprenorfin
sama efektifnya seperti metadon dalam detoksifikasi dan terapi pemeliharaan pecandu
heroin. Buprenorfin disetujui oleh FDA pada tahun 2002 untuk penanganan
ketergantungan opioid. Berbeda darimetadon, pemberian dosis tinggi buprenorfin
menimbulkan efek antagonis terhadap reseptor , membatasi efek analgesia dan
depresi pernapasannya. Selain itu, buprenorfin juga tersedia dalam kombinasi dengan
antagonis murniopioid (Suboxone) untuk mencegah penyimpangannya untuk
penyalahgunaan intravena. Juga tersedia formula tempelan transdermis yang
menyalurkan obat selama 1 minggu.

Morfinan
Butorfanol menghasilkan analgesia yang ekivalen dengan nalbufin dan buprenorfin,
tetapi tampaknya lebih menyebabkan kantuk pada dosis ekuianalgesik. Butorfanol
dianggap sebagai agonis terutama reseptor κ. Namun, obat ini dapat juga bekerja
sebagai agonis parsial atau antagonis reseptor .

Benzomorfan
Pentazosin adalah suatu agonis κ dengan sifat antagonis lemah atau agonis parsial
reseptor . Obat ini adalah obat campuran yang paling lama tersedia. Pentazosin dapat
diberikan per oral atau parenteral. Namun, karena sifatnya yang mengiritasi,
penyuntikan pentazosin subkutis tidak dianjurkan.

2.7 Lain-lain dari agonis


Tramadol adalah suatu analgesik kerja sentral yang mekanisme kerjanya terutama
didasarkan pada blokade penyerapan ulang serotonin. Tramadol juga terbukti
menghambat fungsi pengangkut norepinefrin. Karena hanya diantagonisasi secara
parsial oleh nalokson, diperkirakan bahwa obat ini merupakan agonis lemah reseptor
. Dosis anjuran adalah 50-100 mg per oral empat kali sehari. Toksisitas mencakup
keterkaitan dengan kejang; obat ini dikontraindikasikan secara relatif pada pasien
dengan riwayat epilepsi dan untuk digunakan dengan obat lain yang menurunkan
ambang kejang. Risiko serius lainnya adalah timbulnya sindrom serotonin, khususnya
pasien juga diberi antidepresan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Efek
samping lain mencakup mual dan pusing bergoyang, tetapi gejala-gejala ini biasanya
mereda setelah beberapa hari pengobatan. Adalah mengejutkan bahwa sejauh ini
belum pernah dilaporkan terjadinya efek signifikan pada sistem pernapasan atau
kardiovaskular. Karena efek analgesik tramadol umumnya tidak bergantung pada efek
di reseptor , tramadol dapat berfungsi sebagai adjuvan bagi agonis opioid murni
dalam pengobatan nyeri neuropatik kronik. Tapentadol adalah analgesik baru dengan
afinitas sedang terhadap reseptor opioid  dan efek menghambat penyerapan ulang
norepinefrin yang signifikan. Pada hewan percobaan, efek analgesiknya hanya sedikit
dikurangi oleh nalokson tetapi sangat dikurangi oleh antagonis adrenoseptor α2.
Selain itu, pengikatannya ke pengangkut norepinefrin (NET) lebih kuat daripada
tramadol sementara pengikatannya ke pengangkut serotonin (SERT) lebih rendah
daripada tramadol. Tapentadol telah diberi izin pada tahun 2008 dan terbukti sama
efektifnya seperti oksikodon dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat tetapi
dengan profil gangguan pencernaan seperti mual yanglebih rendah. Tapentadol
memiliki risiko menimbulkan kejang pada pasien dengan gangguan kejang serta
terjadinya sindrom serotonin. Belum diketahui bagaimana tapentadol dibandingkan
dalam pemakaian klinis dengan tramadol atau analgesik lain yang mekanisme
kerjanya umumnya tidak didasarkan pada farmakologi reseptor opioid.

2.8 Antitusif
Analgesik opioid adalah salah satu golongan obat yang paling efektif untuk menekan
batuk. Efek ini sering diperoleh pada dosis yang lebih rendah daripada yang
dibutuhkan untuk menghasilkan analgesia. Reseptor yang berperan dalam efek
antitusif tampaknya berbeda dari yang berkaitan dengan efek lain opioid. Sebagai
contoh, efek antitusif juga dihasilkan oleh stereoisomer molekul opioid yang tidak
memiliki efek analgesik dan kecenderungan adiksi (lihat bawah). Mekanisme
fisiologik batuk bersifat kompleks, dan tidak banyak yang diketahui tentang
mekanisme kerja spesifik obat opioid sebagai antitusif. Tampaknya efek sentral dan
perifer ikut berperan. Turunan opioid yang paling sering digunakan sebagai antitusif
adalah dekstrometorfan, kodein, levopropoksifen, dan noskapin (levopropoksifen dan
noskapin tidak tersedia di AS). Mereka perlu digunakan secara berhati-hati pada
pasien yang sedang mendapat inhibitor monoamin oksidase. Sediaan antitusif
biasanya juga mengandung ekspektoran untuk mengencerkan dan mengurangi sekresi
saluran napas. Hal yang utama, karena meningkatnya laporan kematian pada anak
yang sedang mendapat dekstrometorfan dalam sediaan obat bebas "cold/cough''.
Pemakaiannya pada anak yang berusia kurang dari 6 tahun dilarang oleh FDA. Selain
itu, karena variasi dalam metabolisme kodein, maka pemakaiannya untuk tujuan
apapun pada anak kini tengah dipertimbangkan. Dekstrometorfan merupakan
stereoisomer dekstrorotatorik dari suatu turunan metorfanol termetilasi. Obat ini
diharapkan bebas dari sifat adiktif dan lebih jarang menyebabkan konstipasi daripada
kodein. Dosis antitusif yang lazim adalah 15-30 mg tiga atau empat kali sehari.
Senyawa ini tersedia dalam banyak produk tanpa-resep. Dekstrometorfan juga
terbukti meningkatkan efek analgesik morfin dan mungkin agonis reseptor
lainnya. Namun, penyalahgunaan bentuk murninya (bubuk) pernah dilaporkan
menyebabkan efek samping serius termasuk kematian. Kodein, seperti telah
disebutkan, memiliki efek antitusif pada dosis yang lebih rendah daripada yang
dibutuhkan untuk analgesia. Karena itu, 15 mg biasanya sudah memadai untuk
meredakan batuk. Levopropoksifen adalah stereoisomer agonis lemah opioid
dekstropropoksifen. Obat ini tidak memiliki efek opioid, meskipun pernah dilaporkan
efek samping mengantuk. Dosis antitusif yang lazim adalah 50-100 mg setiap 4 jam.

Anda mungkin juga menyukai