Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH FARMAKOKINETIKA KLINIS

MEKANISME KERJA OBAT TEOFILIN, PHENOBARBITAL


DAN DIGOKSIN

Dosen Pengampu:
apt. Rofik Kholid. M.Farm

Disusun Oleh:
Imron Rosadi
19/FAM/176

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


STIKES IBNU SINA AJIBARANG
2022
A. FARMAKOKINETIKA KLINIK TEOFILIN
1. Farmakokinetik
Teofilin diabsorpsi secara cepat dan komplit setelah pemberian
secara oral. Bioavailabilitas teofilin dapat mencapai 100%. Kadar
puncak tercapai dalam 4-6 jam setelah pemberian teofilin tablet.
Sebanyak 50-70% obat ini berikatan dengan protein albumin. Pada
dewasa, sekitar 10% teofilin diekskresikan melalui ginjal dalam
bentuk tidak berubah.
Teofilin diabsorpsi secara cepat dan komplit setelah pemberian
secara oral. Bioavailabilitas teofilin dapat mencapai 100%. Kadar
puncak tercapai dalam 4-6 jam setelah pemberian teofilin tablet.
Pada pemberian teofilin sirup, kadar puncak tercapai dalam 1,5-2
jam
Waktu paruh teofilin pada orang dewasa bervariasi. Pada orang
dewasa sehat, waktu paruhnya berkisar antara 3-12 jam. Waktu
paruh ini memendek pada perokok. Waktu paruh teofilin memanjang
dengan berkurangnya fungsi hepar, gangguan jantung, penyakit
paru, hipoksia berat, berkurangnya fungsi tiroid, dan infeksi virus.
Volume distribusi teofilin adalah sekitar 0,3-0,7 L/kg. Pada
dewasa, sebanyak 50-70% obat ini berikatan dengan protein
albumin, tapi ikatan ini menurun menjadi sekitar 40% pada bayi baru
lahir dan dewasa dengan sirosis hepatik.
Metabolisme terjadi melalui proses demetilasi terhadap 1-
methylxanthine dan 3- methylxanthine dan hidroksilasi terhadap 1,3
dimethyluric acid. Selanjutnya, 1-methylxanthine dihidroksilasi
lebih jauh oleh xantin oksidase menjadi 1-methyluric acid. Sekitar
6% dari dosis teofilin dimetilasi menjadi kafein. Metabolit teofilin
yang memiliki aktivitas farmakologis adalah kafein dan 3-
metilxantin.
Eliminasi pada teofilin terjadi pada neonatus, sebesar 50%
dosis teofilin diekskresikan melalui ginjal. Sementara itu pada anak
berusia lebih dari tiga bulan dan dewasa, sekitar 10% teofilin
diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk tidak berubah.
2. Farmakodinamik
Teofilin memiliki dua mekanisme kerja pada saluran napas,
yaitu relaksasi otot polos sehingga menyebabkan bronkodilatasi dan
efek non-bronkodilatasi dengan mengurangi respon saluran napas
terhadap terhadap histamin, metakolin, adenosin, dan alergen.
Teofilin juga berikatan dengan reseptor adenosin dan memblokade
bronkokonstriksi yang dimediasi adenosin. Pada kondisi inflamasi,
teofilin mengaktivasi deasetilasi histon untuk mencegah transkipsi
gen inflamasi yang memerlukan asetilasi histon untuk memulai
transkripsi.
Teofilin secara kompetitif menghambat fosfodiesterase tipe III
dan tipe IV, enzim yang berperan dalam pemecahan siklik AMP
(adenosin monofosfat) di sel otot polos, sehingga menyebabkan
bronkodilatasi. Penghambatan fosfodiesterase oleh teofilin
menyebabkan peningkatan siklik AMP sehingga menyebabkan
peningkatan aktivasi adrenergik. Pada toksisitas teofilin, kadar
epinefrin dapat mencapai 4-8 kali lipat lebih tinggi dibanding kadar
normal dan konsentrasi norepinefrin dapat mencapai 4-10 kali lipat
dibanding kadar normal.
3. Toksikologi
Efek samping teofilin pada konsentrasi puncak serum di bawah
20 mcg/ml umumnya ringan. Efek samping yang paling banyak
terjadi menyerupai efek samping kafein seperti mual, muntah, sakit
kepala, dan insomnia. Saat konsentrasi puncak melebihi 20 mcg/ml,
banyak efek samping yang bisa terjadi termasuk muntah, aritmia, dan
kejang.
Efek samping pada kardiovaskular dapat berupa takikardia,
aritmia ventrikular dengan instabilitas hemodinamik, takikardis
supraventrikular, hipotensi, serta atrial fibrilasi.
Efek samping pada sistem saraf yang paling banyak dilaporkan
adalah tremor. Efek samping kejang pada pasien geriatri bisa timbul
akibat berkurangnya ikatan protein yang menyebabkan kadar teofilin
bebas meningkat.
Efek samping pada gastrointestinal dapat berupa mual, muntah,
nyeri abdomen, diare, dan hematemesis.
Efek samping pada metabolik dapat berupa hiperglikemia,
hipokalemia, gangguan keseimbangan asam-basa, hiperkalsemia,
dan hipervolemia.
Efek samping pada psikiatri dapat berupa cemas, disorientasi,
insomnia, dan iritabilitas.
Efek samping pada muskuloskeletal dapat berupa
rhabdomyolysis.
Toksisitas teofilin dapat terjadi secara akut ataupun kronis.
Overdosis akut dapat terjadi akibat penggunaan intravena dengan
infus dosis berlebihan atau laju infus pemeliharaan yang berlebihan
selama kurang dari 24 jam. Overdosis kronis dapat terjadi akibat
pemberian jangka panjang dosis berlebihan atau pemberian dosis
normal tetapi pasien memiliki faktor yang menyebabkan penurunan
klirens teofilin misalnya pasien usia di bawah 1 tahun atau di atas 60
tahun, gagal jantung kongestif, edema paru akut, atau hipotiroid.
Interaksi Obat teofilin dapat mengganggu farmakokinetik dan
farmakodinamik dari berbagai macam obat. Contoh interaksi obat
teofilin adalah: Penggunaan teofilin dengan allopurinol dapat
menurunkan klirens teofilin dan meningkatkan kadar teofilin hingga
25%. Penggunaan teofilin dengan cimetidine dapat meningkatkan
kadar teofilin hingga 70%. Penggunaan teofilin dengan ciprofloxacin
dapat meningkatkan kadar teofilin hingga 40%. Penggunaan teofilin
dengan clarithromycin dapat meningkatkan kadar teofilin hingga
25%. Penggunaan teofilin dengan diazepam atau lorazepam dapat
menurunkan kadar diazepam dan lorazepam, sehingga akan
dibutuhkan dosis diazepam lebih tinggi.

B. FARMAKOKINETIKA KLINIK PHENOBARBITAL


1. Farmakokinetik
Phenobarbital adalah derivat asam barbiturat yang bekerja
sebagai depresan nonselektif sistem saraf pusat. Farmakokinetik
akan sedikit berbeda-beda, tergantung cara pemberian, yaitu oral,
rektal, atau intravena.
Absorpsi obat phenobarbital setelah konsumsi per oral, 70–
90% phenobarbital diserap secara perlahan dari traktus
gastrointestinal. Konsentrasi puncak darah dicapai dalam 8–12 jam,
dan konsentrasi puncak di otak dicapai dalam 10–15 jam. Pemberian
per rektal akan segera diserap oleh mukosa kolon.
Pada pemberian intravena, phenobarbital memiliki onset aksi 5
menit dan efek maksimal dicapai dalam 30 menit. Pemberian
intramuskular dan subkutan memiliki onset aksi yang sedikit lebih
lambat. Durasi kerja phenobarbital parenteral adalah 4–6 jam.
Bioavailabilitas, sediaan phenobarbital oral atau intramuskular
mencapai 80-100% pada orang dewasa. Durasi efek sedatif
phenobarbital biasanya sekitar 3-6 jam setelah pemberian via
intravena dan sekitar 6-8 jam ketika obat diberikan melalui jalur
yang lain.
Distribusi obat phenobarbital berikatan dengan protein sebesar
20–45%. Phenobarbital terdistribusi ke seluruh jaringan dan cairan
tubuh dengan konsentrasi tertinggi di otak dan hati.
Phenobarbital tergolong ke dalam barbiturat yang kurang
lipofilik dibandingkan obat golongan barbiturat lainnya, sehingga
lebih lambat dalam mempenetrasi otak dan lebih lambat
meninggalkan jaringan otak. Kadar plasma phenobarbital dengan
rentang 10–35 μg/mL direkomendasikan untuk penatalaksanaan
kejang.
Metabolismeobat phenobarbital adalah obat yang metabolisme
utamanya terjadi di hati oleh enzim mikrosomal. Phenobarbital
dihidroksilasi oleh hati membentuk p-hydroxyphenobarbital yang
merupakan metabolit inaktif.
Phenobarbital juga menginduksi enzim sitokrom p450
CYP2B6 dan CYP3A, sehingga obat-obatan yang dimetabolisme
oleh enzim ini akan mengalami metabolisme yang lebih cepat bila
diberikan secara bersamaan dengan phenobarbital.
Eliminasi pada phenobarbital terutama diekskresikan lewat
urin oleh ginjal dengan mekanisme pH dependent. Waktu paruh
plasma berkisar antara 100 jam pada orang dewasa. Pada bayi aterm
waktu paruh phenobarbital adalah 103 jam, dan pada bayi prematur
waktu paruhnya selama 141 jam. Seiring dengan bertambahnya usia,
klirens phenobarbital juga akan semakin berkurang. Oleh karena itu,
pada pasien usia tua diperlukan penyesuaian dosis.
Sekitar 25% dari total dosis phenobarbital dikeluarkan dalam
bentuk yang tak diubah lewat urin, dan sisanya diekskresikan dalam
bentuk metabolit p-hydroxy dan konjugat glukuronida.
2. Farmakodinamik
Phenobarbital merupakan barbiturat kerja panjang dengan efek
hipnotik, sedatif, dan antikonvulsan. Obat ini bekerja pada reseptor
GABAA, dengan meningkatkan inhibisi sinaptik. Phenobarbital
meningkatkan frekuensi pembukaan kanal klorida, menyebabkan
hiperpolarisasi membran, menginhibisi sinaps, dan menurunkan
eksitabilitas neuron.
Phenobarbital juga mengurangi konduktansi natrium dan
kalium, influks kalsium, dan menekan eksitabilitas glutamat. Hal ini
akan meningkatkan ambang kejang dan menurunkan aktivitas kejang
dari fokusnya. Selain itu, phenobarbiral juga mempengaruhi
polisinaptik formatio retikularis midbrain yang memberikan efek
sedatif.
3. Toksisitas
Efek samping phenobarbital yang dapat ditemukan antara lain
somnolen, inkoordinasi, gangguan keseimbangan, dan drowsiness.
Efek samping lebih sering ditemukan pada populasi geriatri,
sehingga pada populasi ini lebih diutamakan pemberian antiepilepsi
generasi baru, seperti lamotrigine dan levetiracetam.
Kontraindikasi pada pemberian phenobarbital adalah pada
pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap phenobarbital, atau
golongan barbiturat lainnya. Phenobarbital juga dikontraindikasikan
pada pasien dengan porfiria, serta gangguan hepar berat dan
gangguan ginjal berat, termasuk sindrom nefritik.
C. FARMAKOKINETIKA KLINIK DIGOKSIN
1. Farmakodinamik
Digoxin memiliki efek inotropik positif dan kronotropik
negatif, yang berarti digoxin dapat meningkatkan kontraktilitas
jantung dan menurunkan detak jantung. Efek penurunan detak
jantung terutama bermanfaat dalam tata laksana atrial fibrilasi.

2. Toksisitas
Insidensi terjadinya efek samping akibat penggunaan digoxin
adalah 5–20%. Sekitar 20% efek samping yang terjadi merupakan
efek samping serius, yang dapat berakibat fatal. Efek samping yang
paling sering ditemukan berhubungan dengan sistem kardiovaskular.

Anda mungkin juga menyukai