Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi


(epileptic seizure). Epilepsi merupakan diagnosis klinis yang disebabkan oleh lepasnya listrik
paroksismal dalam neuron serebral yang menyebabkan kehilangan kesadaran, gerakan
berlebihan, gangguan perilaku, alam perasaan (1). Fenobarbital diketahui mempunyai efek
antikonvulsi spesifik, yang berarti efek antikonvulsinya tidak berkaitan langsung dengan efek
hipnotiknya. Di Indonesia fenobarbital ternyata masih digunakan, walaupun di luar negeri
obat ini mulai banyak ditinggalkan. Fenitoin (difenilhidantoin), sampai saat ini masih tetap
merupakan obat utama antiepilepsi. Di samping itu karbamazepin yang relatif baru makin
banyak digunakan, karena dibandingkan dengan fenobarbital pengaruhnya terhadap
perubahan tingkah laku maupun kemampuan kognitig lebih kecil. (2)
Obat antiepilepsi golongan hidantoin dikenal tiga senyawa antikonvulsi yaitu: fenitoin
(difenilhidantion), mefenitoin dan etotoin. Fenitoin merupakan prototipe dari golongan ini.
Pada paper ini hanya akan dibahas mengenai mengenai fenitoin. (2)

FENITOIN
Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena.
Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk efek pengendalian
bangkitan tonik-klonik; sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang
terdapat pada mefenition dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin. Adanya gugus metil pada
atom N3 akan mengubah spektrum aktivitas misalnya mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh
enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif.
Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf
pusat. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi.
Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus
ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi
dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung.
Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel; dalam hal ini,
khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa
bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala prodromal
lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin. (1,2,3,4)

FARMAKOKINETIK
Absorpsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung lambat, sesekali tidak lengkap;
10% dari dosis oral diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam
plasma dicapai dalam 3 – 12 jam. Bila dosis muatan (loading dose) perlu diberikan, 600 –
800 mg, dalam dosis terbagi 8 – 12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24
jam. Pemberian fenitoin secara IM, menyebabkan fenitoin mengendap di tempat suntikan
kira-kira 5 hari, dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin didistribusi ke berbagai jaringan
tubuh dalam kadar yang berbeda-beda. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak,
otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar di dalam hati, ginjal dan kelenjar
ludah (5,6).
Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira-kira 90%. Pada
orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi bebas
kira-kira 10% sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit
hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata di atas 5,8 – 12,6 %. Fenitoin terikat kuat
pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama; tetapi mula kerja lebih lambat
daripada fenobarbital. Biotramsformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh
enzim mikrosom hati. Metabolit utamanaya ialah derivat parahidroksifenil. Biotransformasi
oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga
peninggian dosis akan sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum secara tidak
proporsional. Oksidasi pada satu gugus fenil sudah menghilangkan efek antikonvulsinya.
Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresikan bersama empedu, kemudian mengalami
reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal. Di ginjal, metabolit
utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi
(1,3,4).

FARMAKODINAMIK
Pada dosis terapeutik, phenytoin dapat menginaktivasi voltage channel natrium di
neuron korteks motorik. Obat ini meningkatkan pengeluaran (efluks) dan menurunkan
pemasukan (influks) natrium. Akibatnya, membran sel neuron menjadi lebih stabil. Efek
phenytoin ini lebih efektif pada keadaan high-frequency repetition stimulation (keadaan
neuron saat kejang) dibandingkan keadaan neuron yang normal (1,2,4,5,10,11)
Di samping itu, phenytoin dapat menurunkan sekresi glutamat dan meningkatkan
sekresi GABA. Efek phenytoin ini mungkin tidak disebabkan oleh inaktivasi voltage
channel natrium yang merupakan efek utama phenytoin (1).
Selain itu, phenytoin bekerja pada voltage channel natrium di jantung sehingga
memperpanjang periode refrakter dan memperpendek potensial aksi otot jantung. Phenytoin
juga mensupresi otomatisasi dari pacemaker ventrikel. Obat ini dapat digunakan sebagai
antiaritmia. Namun, saat ini phenytoin sudah tidak digunakan untuk mengatasi aritmia karena
sudah banyak ditemukan antiaritmia lainnya dengan efek samping yang lebih minimal (4).

INDIKASI
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk serangan tonik-klonik, tonik atonik
dan parsial (kompleks dan sederhana) dan juga dapat untuk serangan mioklonik. Obat ini
merupakan kontra indikasi untuk serangan umum lena, tetapi kadang-kadang bermanfaat
untuk mengobati serangan lena atipik. Obat ini dapat digunakan untuk mengobati epilepsi
oleh berbagai etiologi dan pada berbagai umur, tetapi barangkali sebaiknya dihindarkan
sebagai obat pilihan pertama pada wanita muda karena alasan efek samping kosmetik dan
teratogenisitas. Ada sejumlah bukti yang menarik bahwa obat ini terutama bermanfaat untuk
epilepsi simthomatik. Fenitoin merupakan obat yang sulit digunakan karena kadar dosis
serum yang non linier dan indeks terapinya yang sempit; pengukuran kadar serum obat perlu
dilakukan pada banyak pasien. (1,2,3,4)
Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan fenobarbital
karena fenitoin memiliki batas keamanan yang sempit; efek samping dan efek toksik,
sekalipun ringan, sifatnya cukup mengganggu terutama pada anak. Fenitoin juga bermanfaat
terhadap bangkitan parsial kompleks.
Indikasi lain fenitoin ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung. Fenitoin
juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT), untuk menringankan konvulsinya, dan
bermanfaat pula terhadap kelainan ekstrapiramidal iatrogenik. (1,2,3,4)

DOSIS
Indikasi utama phenytoin adalah sebagai antikonvulsan untuk mengatasi berbagai
jenis kejang. Dosis terapeutik phenytoin adalah 10–20 mcg/ml, sementara dosis letal
phenytoin pada orang dewasa adalah 2–5 gram/hari (1,2,5,10).
Dewasa
Dosis pemberian phenytoin pada orang dewasa sesuai dengan indikasinya adalah sebagai
berikut (8,9,12):
Status Epileptikus
Dosis dewasa phenytoin untuk status epileptikus adalah sebagai berikut:
 Loading: 10–15 mg/kgBB (IV), dengan kecepatan 25–50 mg/menit
 Maintenance: 100 mg (IV atau PO), setiap 6–8 jam
Antikonvulsan
Dosis dewasa phenytoin sebagai antikonvulsan adalah sebagai berikut:
 100 mg (PO), 3 kali sehari
 Dosis dapat ditingkatkan hingga 625 mg/hari[5,10]
Anak-anak
Dosis pemberian phenytoin sesuai indikasi pada anak-anak adalah sebagai berikut:
Status Epileptikus
Dosis anak-anak phenytoin untuk status epileptikus adalah sebagai berikut:
 Loading: 15–20 mg/kgBB (IV), dengan kecepatan 1–3 mg/kgBB/menit atau 50
mg/menit
 Dosis tambahan (dapat diberikan jika perlu): 5–10 mg/kgBB, setelah 10
menit loading
 Maintenance: 4–8 mg/kgBB/hari (IV), dalam 2 dosis
Antikonvulsan
Dosis anak-anak phenytoin sebagai antikonvulsan adalah sebagai berikut:
 Dosis inisial: 5 mg/kgBB/hari, dalam 2–3 dosis
 Maintenance:
 Neonatus: 8–10 mg/kgBB/hari (PO), dalam 2–3 dosis
 >28 hari–16 tahun: 4–8 mg/kgBB/hari (PO), dalam 2 dosis[5,10]

PENGGUNAAN PADA KEHAMILAN DAN IBU MENYUSUI


Kategori FDA: D
Kategori D ada bukti positif mengenai risiko terhadap janin manusia, tetapi besarnya manfaat
yang diperoleh mungkin lebih besar dari risikonya, misalnya untuk mengatasi situasi yang
mengancam jiwa (13).
Phenytoin dapat dikeluarkan melalui ASI dalam konsentrasi rendah. Penggunaan phenytoin
pada ibu menyusui harus menimbang antara manfaat phenytoin dan efek samping bagi bayi
(2,5,10,13).
INTERAKSI OBAT
Kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama kloramfenikol,
disulfiram, INH, simetidin, dikumarol, dan beberapa sulfonamide tertentu , karena obat-obat
tersebut menghambat biotransformasi fenitoin. Sedangkan sulfisoksazol, fenilbutazon,
salisilat dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan protein plasma fenitoin sehingga
meninggikan juga kadarnya dalam plasma. Teofilin menurunkan kadar fenitoin bila diberikan
bersamaan, diduga karena teofilin meningkatkan biotransformasi fenitoin juga mengurangi
absorpsinya. Fenitoin juga dapt merangsang katabolisme warfarin dan kontrasepsi oral
estrogen dosis rendah yang menyebabkan gagalnya kontrasepsi. (2,3,4)

EFEK SAMPING
Fenitoin sebagai obat epilepsi dapat menimbulkan keracunan, sekalipun relatif paling
aman dari kelompoknya. Gejala keracunan ringan biasanya mempengaruhi susunan saraf
pusat, saluran cerna, gusi dan kulit; sedangkan yang lebih berat mempengaruhi kulit, hati dan
sumsum tulang. Hirsutisme jarang terjadi, tetapi bagi wanita mida hal ini dapat sangat
mengganggu. (1,2,3,4)

Susunan Saraf Pusat


Efek samping fenitoin tersering adalah diplopia, ataksia, vertigo, nistagmus, sukar
berbicara (slurred speech) disertai gejala lain, misalnya tremor, gugup, kantuk, rasa lelah,
gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi sampai psikotik. Defisiensi folat yang
cukup lama merupakan faktor yang turut berperan dalam terjadinya gangguan mental. Efek
samping susunan saraf pusat lebih sering terjadi dengan dosis melebihi 0,5 gram sehari.
(1,2,3,4)

Saluran Cerna dan Gusi


Nyeri ulu hati, anoreksia, mual dan muntah, terjadi karena fenitoin bersifat alkali.
Pemberian sesudah makan atau dalam dosis terbag, dapat mencegah atau mengurangi
gangguan saluran cerna. Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat terjadi pada
penggunaan kronik, dan menyebabkan hiperplsia pada 20 % pasien. Edema gusi mudah
terjadi gingivitis, terutama bila kebersihan mulut tidak terjaga. Pengobatan tidak perlu
dihentikan pada gangguan gusi; dapat diringankan bila kebersihan mulut dipelihara. (1,2,3,4)

Kulit
Efek samping pada kulit terjadi pada 2 – 5 % pasien, lebih sering pada anak dan
remaja yaitu berupa ruam morbiliform. Beberapa kasus diantaranya biasanya disertai
hiperpireksia, eosinofilia, dan limfadenopati. Eritema multiform hemoragik sifatnya lebih
berat dan dapat fatal, karena itu bila terjadi ruam pada kulit sebaiknya pemberian obat
dihentikan, dan diteruskan kembali dengan berhati-hati bila kelainan kulit telah hilang. Pada
wanita muda, pengobatan fenitoin secara kronik menyebabkan keratosis dan hirsutisme,
karena meningkatkan aktivitas korteks suprarenalis. (1,2,3,4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Utama H., Gan VHS., Sunaryo. Anti Konvulsan. Dalam: Farmakologi dan Terapi
Edisi 4. Penerbit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 1995: 163 – 74.
2. Food and Drug Administration, Dilatin, , 2009
3. Shorvon SD. Epilepsi. Dalam: Epilepsi Untuk Dokter Umum. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1 – 32.
4. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Epilepsi. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit
Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 179 – 86.
5. Lexicomp. Phenytoin: Drug Information, <
https://www.uptodate.com/contents/phenytoin-drug-information?
source=search_result&search=Phenytoin&selectedTitle=1~150#F209574>
6. Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 153-154, Depkes RI, Jakarta,
7. Anonim, 2006, British National Formulary, edisi 52, 246-247, British Medical
Association, Royal Pharmaceutical Society of Great Britain
8. Anonim, 2007, MIMS, Volume 8, 178-181, PT Info Master, Jakarta.
9. Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2006, Drug Information
Handbook, 14th Ed., 1260-1264, Lexicomp, Inc., USA
10. R. J. Porter, B. S. Meldrum, in Basic & Clinical Pharmacology, ed B. G. Katzung, A.
J. Trevor, McGraw-Hill, New York, 2015, pp. 396-402
11. Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 6th ed, 1023-
1035, Mc Graw-Hill Companies, New York
12. Tierney, L. M., Stephen J.M., Maxine A. P., 2006, Current Medical Diagnosis &
Treatment, 45th ed, 980-986, Mc Graw-Hill Companies, USA
13. Medscape. Phenytoin,

Anda mungkin juga menyukai