Nn. Mukini (25 tahun) mengidap epilepsy sejak usia 14 tahun selama ini epilepsinya terkontrol
baik dengan sodium valproat (Depakote) 500 mg 2 x sehari. Ia datang ke dokter spesialis syaraf
untuk konsultasi mengenai rencananya untuk hamil dan saat ini menggunakan kontrasepsi oral.
Pasien juga memiliki riwayat migraine dan cukup mengganggu dan ia menginginkan terapi untuk
mencegah migrain. Dia kuatir karena ia pernah mendengar bahwa obat anti epilepsi berbahaya
bagi janin. Dokter mendiskusikan beberapa hal dengan anda tentang terapinya.
Resep dokter : Fenitoin 3x sehari 100 mg; Topiramate 2x sehari 50 mg; dan Propanolol 2x sehari
20 mg
Penyelesaian :
Metode SOAP
a. Subjective
IdentitasPasien
- Nama : Nn. Mukini
- Usia : 25 tahun
Riwayat Keluarga :-
Diagnosis : Epilepsi
b. Objective
Pemeriksaan Fisik :-
Pemeriksaan Lab :-
c. Assessment
4T + 1 W
1. Tepat Indikasi
2. TepatObat
3. TepatDosis
4. TepatPasien
NamaObat Kontraindikasi Keterangan
Fenitoin - Memiliki riwayat hipersensitif/alergiter TidakTepatPasien
hadap kandungan obat ini
- Untuk penggunaan intra vena tidak boleh
diberikan pada penderita sinus
bradikardia
- Mengalami sindrom stokes adams.
- Sedang hamil.
Topiramate Menyusui
Propanolol
5. WaspadaEfekSamping
d. Plan
1. Terapi Farmakologi
2. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien epilepsi terutama pada
wanita yang sedang merencanakan kehamilan adalah sebagai berikut :
a. Terapi bedah
Tindakan pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan apabila terapi obat epilepsi sudah tidak
mampu mengendalikan kejang. Terapi bedah diindikasikan pada pasien yang tidak
memiliki respon yang baik dengan pemberian obat antiepilepsi. Biasanya dalam
penentuan apakah pasien layak operasi atau tidak, perlu dilakukan serangkaian
pemeriksaan dengan video-EEG. Prosedur operasi bedah pada pasien epilepsi
antar lain lobektomi dan lesionektomi. Temporal lobektomi adalah prosedur
operasi bedah yang paling sering dilakukan pada pasien epilepsi. Pada pasien
dengan indikasi operasi yang tepat, lebih dari 80% kasus dapat bebas dari kejang
setelah pembedahan, walaupun beberapa tetap harus dibarengi dengan konsumsi
obat anti epilepsi.
b. Terapi non bedah
Olahraga dan Istirahat
Olahraga yang teratur dan istirahat yang cukup dapat bermanfaat dalam
mencegah terjadinya kejang. Namun, pasien epilepsi harus menghindari olahraga
seperti berenang dan bersepeda karena dapat berbahaya bila terjadinya kejang.
Pasien juga dapat melakukan upaya modifikasi gaya hidup dengan menjalankan
pola hidup sehat.
Diet katogenik
Diet katogenik terbukti dapat mengurangi jumlah kejang. Pada kondisi
normal, tubuh akan menggunakan glukosa yang berasal dari asupan karbohidrat
sebagai energi utama. Ketika pasien menerapkan diet katogenik, tubuh akan
kekurangan glukosa hingga akhirnya mengandalkan cadangan lemak sebagai
pengganti energi, maka zat keton akan terbentuk secara alami. Pada pengidap
epilepsi, zat keton justru menguntungkan karena dapat mempengaruhi aktivitas
listrik di otak dan akhirnya menurunkan resiko kambuhnya epilepsi. Namun
penerapan diet katogenik ini harus diinisiasi oleh dokter karena kemungkinan efek
samping gangguan metabolit yng ditimbulkan.
3. Komunikasi, Edukasi, Informasi