Anda di halaman 1dari 4

Nama : Asma Fitriani

NIM : 19/FAM/179

Resume Dampak Korupsi

A. Dampak Korupsi Dari Aspek Ekonomi


1. Dampak Kualitatif Korupsi pada Perekonomian
a. Korupsi mengurangi pendapatan dari sektor publik dan meningkatkan
pembelanjaan pemerintah untuk sektor publik. Korupsi juga memberikan
kontribusi pada nilai defisit fiskal yang besar, meningkatkan income
inequality, dikarenakan korupsi membedakan kesempatan individu dalam
posisi tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas pemerintah pada
biaya yang sesungguhnya ditanggung oleh masyarakat. Ada indikasi yang
kuat, bahwa meningkatnya perubahan pada distribusi pendapatan terutama di
negara negara yang sebelumnya memakai sistem ekonomi terpusat
disebabkan oleh korupsi, terutama pada proses privatisasi perusahaan negara.
b. Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan
dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure).
Ketika kebijakan dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka
pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan,
distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya
inefisiensi.
c. Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan
yang produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan
pada akhimya menyumbangkan negatif value added.
d. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar biaya produksi, dan
selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan
masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada
kesejahteraan masyarakat yang turun.
e. Korupsi mereduksi peran fundamental pemerintah (misalnya pada penerapan
dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dsb). Pada
akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan
ekonomi yang dicapai.
f. Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan
juga proses demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang
sedang mengalami masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang
sentralistik ke perekonomian yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter
ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus
Indonesia.
g. Korupsi memperbesar angka kemiskinan. Ini sangat wajar, selain
dikarenakan program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak
mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang
mungkin diterima oleh si miskin. MenurutTanzi (2002), perusahaan-
perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi
dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak
resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada
negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah
mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menyerap tenaga kerja).

2. Dampak Korupsi pada Perekonomian Analisa Ekonometrika

Beberapa tahun terakhir, banyak dilakukan penelitian dengan menggunakan angka


indeks korupsi untuk melihat hasilnya pada variabel-variabel ekonomi yang lain.
Beberapa hasil penelitian tersebut adalah:

a. Korupsi Mengurangi Nilai Investasi


Korupsi membuat sejumlah investor kurang percaya untuk menanamkan
modalnya di Indonesia dan lebih memilih menginvestasikannya ke negara-negara
yang lebih aman seperti Cina dan India. Sebagai konsekuensinya, mengurangi
pencapaian actual growth dari nilai potential growth yang lebih tinggi.
Berkurangnya nilai investasi ini diduga berasal dari tingginya biaya yang harus
dikeluarkan dari yang seharusnya. Hal ini berdampak pada
menurunnya growth yang dicapai.
b. Korupsi Mengurangi Pengeluaran pada Bidang Pendidikan dan Kesehatan. Akibat
korupsi pendapatan pemerintah akan terpangkas sehingga dasar porsi 20% APBN
tidak sebesar apabila tanpa korupsi. Korupsi mengurangi pengeluaran untuk biaya
operasi dan perawatan dari infrastruktur. Korupsi menurunkan produktivitas dari
investasi publik dan infrastruktur suatu negara.

B. Dampak Korupsi Dari Aspek Sosial

Dalam konteks sosial, dampak korupsi menimbulkan problem yang besar. Deviasi
pembangunan fasilitas yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan
menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit dan menurunkan tingkat
kompetensinya.

Masyarakat juga menjadi kian permisif pada tindak korupsi. Korupsi dianggap
sebagai suatu kelaziman dan bahkan menjadi pelumas bagi proses ekonomi dan politik.

Sikap dan perilaku kolusif dan koruptif itu pada akhirnya akan meniadakan etos
kompetisi secara sehat. Memperkuat anggapan bahwa siapa yang berkuasa dan
mempunyai uang bisa mengatur segalanya, kesenjangan antarkelompok sosial kian
melebar sehingga menciptakan kerawanan sosial.

C. Dampak Korupsi Dari Aspek Politik


Kekuasaan politik di Indonesia tidak terpusat pada satu tangan melainkan dibagi ke
tiga lembaga negara yang independen dan dalam tingkat yang sejajar yaitu Eksekutif,
Legislatif, dan Yudikatif. Kekuasaan yang tidak terpusat bertujuan agar terdapat sistem
saling kontrol dan tidak ada pihak yang mendominasi di antara pemegang kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan, yang menjadi salah satu pangkal dari korupsi, akan dapat
segera terlihat dan bisa diminimalisir.
Eksekutif menyelenggarakan negara, Legislatif mengawasi penyelenggaraan negara,
dan Yudikatif menegakkan hukum. dan kekuasaan kehakiman. Marak kita jumpai dari
ketiga lembaga tersebut terlibat atau diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Tindakan korupsi yang menggurita hingga melibatkan ketiga kekuasaan tersebut
menimbulkan dampak yang merugikan dalam bidang politik bernegara.
Dampak tersebut oleh Indonesia Corruption Watch dijelaskan sebagai berikut:

a. Kinerja Sistem Terganggu


Isu korupsi sering bersifat personal karena pertanggungjawabannya bersifat personal
(personal liability), tapi dampaknya bisa organisasional, bahkan sosial.
Organisasional kalau korupsi berdampak pada kinerja lembaga (tempat oknum
ada/bekerja). Sosial kalau dampaknya meluas kepada masyarakat.
Dampak sosial sering implisit, ketimbang dampak organisasional, yang nyata dan
eksplisit. Kasus tipikor anggota DPR adalah kisah yang nyata. Di satu sisi, anggota
DPR memangku jabatan untuk sebuah menjadi bagian lembaga yang
mengatasnamakan rakyat, yang artinya dituntut tanggung jawab dan komitmen yang
utuh dan serius. Di sisi lain, anggota DPR yang tersandung dugaan korupsi
berpotensi menyita perhatian dan menguras energi, baik sebagai pribadi maupun
sebagai anggota dewan legislatif. Belum lagi kalau kita berbicara tentang
kemungkinan faksionalisasi di tubuh DPR antara yang pro dan yang kontra terhadap
tipikor yang menjerat rekan seprofesi mereka. Singkat kata, kasus seperti ini
berpotensi menjadi kendala bagi kinerja lembaga/sistem, sehingga solusi yang paling
bijaksana adalah menonaktifkan anggota DPR yang terjerat tipikor sampai proses
hukum selesai.
Dalam konteks politik, terjadi distorsi kepentingan pada lembaga politik tempat
proses legislasi berlangsung. Karena wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu
yang tidak sepenuhnya jujur, adil dan sikap koruptif menjadi bagian tak terpisahkan di
dalamnya. Karena itu, elite dan lembaga politik punya kecenderungan mengabaikan
aspirasi rakyat dan konstituennya.
b. Citra dan Kredibilitas Sistem/Lembaga di Mata Publik Merosot
Untuk lembaga bergengsi seperti DPR yang, tuduhan korupsi pada salah satu
anggotanya tentu berdampak pada bagaimana masyarakat politik memandang DPR
sebagai sebuah lembaga publik yang mengatasnamakan rakyat. Maka, kalau mau
bersikap sebagai negarawan sejati, selayaknyalah pemimpin yang memangku jabatan
publik mundur dari jabatannya ketika tersandung dugaan pidana. Ini juga bagian dari
etika jabatan.
c. Lembaga/sistem diperalat untuk kepentingan diri
Kita tentu tahu bahwa tuduhan yang paling sering dilontarkan oleh kalangan
antineoliberalis adalah bahwa lembaga multinasional seperti PBB, IMF, dan Bank
Dunia adalah perpanjangan kepentingan kaum kapitalis global dan para hegemon
global yang ingin mencaplok politik dunia di satu tangan raksasa. Tuduhan seperti ini
sangat mungkin terjadi pada pejabat publik yang memperalat lembaga untuk
kepentingan diri. Dalam kasus seperti ini, hanya masyarakat sipil yang berdaya dan
supremasi hukum yang kuat yang bisa menyelamatkan kepentingan umum.

Anda mungkin juga menyukai