Anda di halaman 1dari 22

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

TUGAS MERANGKUM JURNAL

MATAKULIAH KOROSI DAN PENCEGAHAN

Eko Adhi Prasetyo

112 142 0009

INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA

SERPONG

2019
Analisis Sifat Korosi Galvanik Berbagai Plat Logam Di Laboratorium
Metalurgi Politeknik Negeri Batam
Ari wibowo Program studi teknik mesin, politeknik negeri batam 2016

1. Pendahuluan
Korosi galvanis yang terjadi di ruang praktikum ini sangat merugikan karena
membuat logam menjadi menurun kualitasnya sehingga menganggu kelancaran
perkuliahan. Untuk meminimumkan terjadinya korosi galvanik salah satunya
adalah dengan pemilihan pasangan logam dengan perbedaan potensial yang
sangat kecil. Deret galvanik hanya memberikan informasi tentang kecenderungan
terjadinya korosi galvanik pada pasangan dua logam atau logam paduan.

2. Dasar teori
Korosi ini terjadi karena proses elektro kimiawi dua macam metal yang
berbeda potensial dihubungkan langsung di dalam elektrolit sama. Dimana
elektron mengalir dari metal kurang mulia (Anodik) menuju metal yang lebih
mulia (Katodik), akibatnya metal yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion
positif karena kehilangan elektron. Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion
negative yang berada di dalam elektrolit menjadi garam metal. Karena peristiwa
tersebut, permukaan anoda kehilangan metal sehingga terbentuklah sumur-sumur
karat (Surface Attack) atau serangan karat permukaan.
Korosi galvanik atau Galvanic Corrosion adalah jenis korosi yang terjadi
ketika dua buah logam atau paduan yang berbeda, saling kontak atau bersentuhan
dalam suatu larutan elektrolit. Elektrolit dapat berupa larutan air garam, asam
atau basa. Proses korosi ini melibatkan reaksi elektrokimia oksidasi-reduksi
(redoks). Kedua logam yang berada dalam larutan elektrolit akan membentuk
sebuah sel galvanik. Logam yang memiliki nilai potensial elektroda yang lebih
rendah yaitu logam dengan posisi lebih tinggi dalam daftar seri Elektrokimia akan
menghasilkan reaksi anodik atau oksidasi, sedangkan logam yang memiliki nilai
potensial elektroda lebih tinggi atau lebih mulia akan menghasilkan reaksi
katodik atau reduksi pada permukaannya.Perbedaan potensial elektroda antara
kedua logam yang membentuk sel gavanik merupakan penentu daya dorong untuk
terjadinya korosi.

Gambar 1. Proses terjadinya korosi galvanis

Prinsip korosi galvanik sama dengan prinsip elektrokimia yaitu terdapat


elektroda (anoda dan katoda), elektrolit dan arus listrik. Logam yang berfungsi
sebagai anoda adalah logam yang sebelum dihubungkan bersifat lebih aktif atau
mempunyai potensial korosi lebih negative . Pada anoda akan terjadi reaksi
oksidasi atau reaksi pelarutan sedangkan pada katoda terjadi reaksi reduksi logam.
Pada logam katoda akan menempel ion-ion dari logam anoda

Gambar 2. Deret galvanik


Sifat korosi galvanik telah di lakukan secara luas untuk melindungi struktur
logam. Sebagai contoh struktur baja di hubungkan dengan logam seng yang
berfungsi sebagai anoda yang di korbankan (anoda tumbal). Laju korosi baja
sangat menurun karena potensial antar muka baja terpolarisasi katodik sehingga
mendekati daerah immunnya. Sebagaimana halnya korosi galvanik, potensial
antar muka setempat pada permukaan struktur yang di lindungi oleh terdistribusi
secara tidak merata. Semakin jauh jarak lokasi pada permukaan struktur yang di
lindungi dari anoda tumbal, semakin rendah erus proteksi yang dapat menjangkau
lokasi tersebut. Oleh karena itu sebaran potensial antar muka akan menentukan
letak anoda-anoda korban yang harus di pasang.

2.1 Faktor yang mempengaruhi korosi galvanik


1. Lingkungan
Tingkatan korosi galvanik tergantung pada keagresifan dari lingkungannya.
Pada umumnya logam dengan ketahanan korosi yang lebih rendah dalam suatu
lingkungan berfungsi sebagai anoda. Biasanya baja dan seng keduanya akan
terkorosi akan tetapi jika keduanya dihubungkan maka Zn akan terkorosi
sedangkan baja akan terlindungi.

2. Jarak
Laju korosi pada umumnya paling besar pada daerah dekat pertemuan kedua
logam. Laju korosi berkurang dengan makin bertambahnya jarak dari pertemuan
kedua logam tersebut. Pengaruh jarak ini tergantung pada konduktivitas larutan
dan korosi galvanik dapat diketahui dengan adanya serangan korosi lokal pada
daerah dekat pertemuan logam.

3. Luas penampang
Yang dimaksud dengan luas penampang elektroda terhadap korosi galvanik
adalah pengaruh perbandingan luas penampang katodik terhadap anodik. Jika luas
penampang katodik jauh lebih besar dari pada katoda. Makin besar rapat arus pada
daerah anoda mengakibatkan laju korosi makin cepat pula. Korosi di daerah
anodik akan menjadi 100-1000 kali lebih besar jika dibandingkan dengan
keseimbangan luas penampang anodik dan katodik.

2.2 Pencegahan korosi galvanik


Adapun cara penanggulangan korosi galvanic yaitu:
a) Menghindari kontak logam yang berbeda (logamnya harus sama)
b) Mencegah kontak listrik antara 2 komponen logam
c) Penggunaan pengaruh luas permukaan
d) Menghindari daerah yang basah pada logam
e) Merancang dengan baik agar dapat mengganti bagian-bagian anoda yang
rusak dengan menggunakan bahan-bahan yang siap pakai atau buatlah
anodik yang lebih tebal agar lebih tahan lama.
f) Menambahkan inhibitor untuk mengurangi keagresifan lingkungan.
Inhibitor merupakan perlakuan kimia untuk perlindungan korosi pada bagian
logam yang berhubungan langsung dengan lingkungan korosif dengan
menambah zat penghalang korosi.

3. Metode penelitian
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam pratikum adalah:
1. Plat tembaga
2. Plat aluminium
3. Plat stainless steel
4. Plat seng galvanis
5. Plat baja karbon rendah
6. Aquades
7. NaCl
Sedangkan alat yang digunakan dalam praktikum adalah:
1. Neraca.
2. Pinset (penjepit).
3. Wadah (gelas aqua).
4. Multimeter
Penelitian dimulai dengan pemotongan plat logan dengan shearing machine
masing- masing sebanyak dua buah (Gambar 3). Semua plat yang terpotong
kemudian diamplas dan dihaluskan permukaannya agar terbebas dari kotoran dan
material lain. Selain itu dibuat larutan elektrolit NaCl sebanyak 3%wt. Untuk
pengambilan data tegangan galvanik maka diambil dua buah plat logam yang
berbeda yang dicelupkan ke larutan elektrolit seperti Gambar 4 dan dihubungkan
dengan voltmeter.

Gambar 3. Plat logam a) seng galvanis, b) stainless steel,


c) Aluminium d) Baja, e) tembaga

Gambar 4. Cara pengukuran tegangan galvanik


Dari hasil pengukuran tersebut maka dipilih pasangan logam yang memiliki
tegangan tertinggi dan terendah yang selanjutnya didiamkan di dalam larutan
selama 7 hari untuk menghitung laju korosinya seperti Gambar 5.

Gambar 5. Penghitungan laju korosi


Gambar 6. Diagram alir penelitian
Tabel 1 Hasil pengukuran tegangan

4. Kesimpulan
1. Pasangan logam tembaga-seng memiliki tegangan galvanik tertinggi yaitu 0,6
Volt
2. Pasangan logam seng-aluminium memiliki teganggan galvanik terendah
yaitu 0,05 Volt
3. Pasangan logam yang memiliki tegangan galvanik tinggi maka akan
menyebabkan laju korosi lebih tinggi dibanding dengan pasangan logam yang
memiliki tegangan
rendah.
Analisis Korosi pada Sambungan Double Nipple Pompa Submersible
di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAMBANG RIYANTA, M. AL ATHTHAR

1. Pendahuluan
Penelitian ini berkaitan dengan kasus korosi yang terjadi pada sambungan
double nipple pipa pompa submersible, yang digunakan untuk menguras air
yangmenggenang di ruang genset di kampus terpadu Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Yang terjadi di lapangan, ruang genset selalu tergenangi oleh air
dikarenakan air yang terus menerus keluar dari lantai ruang genset. Jika air yang
menggenang ini tidak dikuras, maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan
operasi pada genset, atau bahkan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan yanga
parah pada genset tersebut.
Agar tidak mengganggu jalannya operasional genset, maka air yang
meggenang tersebut harus dikuras dengan menggunakan pompa jenis submersible
Dilihat dari jenis pompa yang digunakan yaitu pompa submersible, maka
seluruh badan pompa Akan terbenam oleh air. Untuk menyalurkan air keluar dari
pompa digunakan pipa fleksibel yang terbuat dari plastik. Untuk menyambung
pipa plastik tersebut ke pompa digunakan sambungan jenis double nipple dari baja
dengan panjang 15 cm, diameter 3 cm Dengan tebal rata-rata 2,7 mm.
Dalam proses korosi ada empat faktor utama yang menjadi Pemicu korosi
Yaitu adanya larutan elektrolit, katoda, anoda dan hubungan arus listrik (Anonim,
1997).
2. Teori dasar
Korosi celah adalah penyerangan lokal yang meningkat secara terus-
menerus. Untuk menanggulangi hal itu celah sebaiknya ditiadakan dalam desain
tersebut.
Korosi lokal yang kuat merupakan jarak dari lubang kecil ke luas korosi
menyebar ke seluruh permukaan. Hal ini dapat terjadi pada celah sempit yang
dapat terbentuk karena
a) Susunan yang geometri, seperti paku payung, pembuatan las,
pengabungan benang.
b) Menghubungkan logam dengan padatan yang bukan logam,
seperti plastik, karet, kaca .
c) Lapisan pasir, kotoran atau hasil korosi pada permukaan logam
yang dapat ditembus air (jenis korosi yang dihubungi menuju
lapisan yang di serang).

Banyak jalan bagi korosi celah untuk terbentuk dalam larutan yang
mendekati netral yang mana tidak dipecah oksigen pereaksi katodik, tetapi dengan
jalan korsi celah tembaga dan campuran tembaga dapat terjadi perbedaan
konsentrasi ion Cu2+; namun demikian dalam mekanisme berikutnya kelihatan
berbeda, sejak diserang tutup permukaan yang terlindung menuju celah dan tidak
sampai celah; kenyataannya, disamping celah benar-benar katodik dan endapan
tembaga kadang-kadang diamati, terutama dalam campuran Cu dengan Ni.
2.1 Penanggulangan korosi celah
1. Perencanaan dan desain yang benar sehingga terbentuk celah
dapat dihindari.
2. Menutup celah yang ada dengan las, solder, dempul.
3. Mengurangi agresivitas linkungan dengan menurunkan
kandungan klorida, keasaman, temperatur.
4. Penghilangan padatan tersuspensi sehingga dihindari terbentuk
endapan yang menyebabkan korosi celah.
5. Penambahan inhibitor.
Baja dapat diklasifikasikan menurut prosentase kadar karbonnya, yaitu:
1. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steels), mengandung kadar
karbon 0,15% - 0,30%. Ketika kandungan karbon kurang dari 0,15%
termasuk kedalam kelas dead mild steel, yaitu baja dengan
kandungan karbon kira-kira 0,07% - 0,15%.
2. Baja Karbon Sedang (Medium Carbon Steels), mengandung karbon
0,30% - 0,80%. Baja ini memungkinkan untuk dikeraskan dengan
perlakuan panas (heat treatment).
3. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steels), mengandung karbon
0,80% - 1,5%. Baja ini hampir selalu diquenched dan tempered
untuk meningkatkan harga kekerasan

3. Metode penelitian

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Spesimen penelitian diambil dari nipple pipa pompa submersible berukuran


panjang 15 cm dan diameter 3 cm yang digunakan untuk memompakan air di
ruang genset kampus UMY.
Spesimen berupa potongan sambungan nipple pipa yang keadaannya belum
terkena korosi berukuran 1cm x 1cm dan potongan nipple pipa yang keadaannya
sudah terkorosi berukuran 1cm x 1cm.Disamping itu juga diambil sampel air yang
dipompakan.
3.1 Alat yang digunakan dalam penelitian
1. Alat kerja bangku (gergaji, kikir, dll).
2. Kamera. .
3. Kodak film asa 200.
4. Kertas amplas tahan air SiC ukuran 80, 400, 600 dan 800 mesh ( # ).
5. Mikroskop optik merk Olympus milik D III Mesin UGM.
6. Stereo zoom microscope milik lab bahan D III Mesin UGM
7. Mesin poles milik D III Mesin UGM.
8. Alat uji komposisi kimia bahan milik PT ITIKOH CEPERINDO.
9. Alat uji komposisi kimia air milik BTKL Yogyakarta.
10. Alat uji komposisi kimia milik BATAN.

3.2 Hasil dan pembahasan


Uji komposisi kimia dilakukan di PT. Itokoh Ceperindo dengan
menggunakan alat uji ARL Spark Spectrometer sebanyak tiga kali pada tempat
yang berbeda. Dari hasil uji diperoleh hasil rata-ratanya seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1.
Tabel 1 hasil uji komposisi kimia
3.3 hasil uji struktur mikro
Uji struktur mikro dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya lapisan
galvanis pada nipple. Bagian nipple yang diuji struktur mikro adalah pada bagian
penampangnya. Hasil uji struktur mikro dari spesimen terlihat pada Gambar 3 dan
Gambar 6.

Gambar 2. Struktur mikro penampang nipple


(perbesaran 200 X)

Gambar 3 struktur mikro penampang nipple


(perbesaran 500 X)
Dengan melihat struktur mikro yang terdapat dalam foto mikro tersebut bisa
diketahui bahwa nipple mempunyai lapisan galvanis pada permukaannya. Hal ini
terlihat sebagai lapisan yang berada di atas logam induk. Dari struktur permukaan
yang berlapis bisa disimpulkan bahwa proses yang digunakan dalam proses
galvanisasi adalah proses hot-dip.

3.4 hasil uji visual


Dari hasil pengamatan di lapangan yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa
korosi yang terjadi di permukaan nipple tidak menyeluruh, tetapi hanya pada
bagian-bagian tertentu saja. Korosi yang timbul berupa keropeng pada permukaan
nipple dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi.

Gambar 4 Bentuk korosi pada permukaan luar nipple

Gambar 5 Bentuk korosi pada permukaan dalam nipple


Karena celah sangat sempit, maka tidak memungkinkan terjadinya aliran air,
sehingga di daerah celah terjadi kekurangan oksigen, dan mekanisme korosi
celahpun terjadi.

Gambar 6. Celah antara nipple dengan elbow

3.5 hasil uji struktur mikro korosi


Hasil uji struktur mikro korosi dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 9.
Gambar 7 Struktur mikrokorosi dinding luar
nipple (perbesaran 200 X)

Gambar 8 Struktur mikro korosi dinding dalam nipple


(perbesaran 200 X)
Gambar 7 dan 8 adalah bentuk struktur mikro korosi pada penampang melintang
nipple. Dalam gambar tesebut terlihat bahwa pada bagian yang terkorosi lapisan
galvanisnya mengalami kerusakan.
Dari hasil uji struktur mikro bisa diketahui kedalaman korosi yang terjadi pada
nipple adalah sebesar 0,14 mm. Jika tebal pipa rata-rata adalah 2,7 mm, maka
persentase kedalaman korosi adalah sebesar 5,1%.
Korosi mungkin sudah terjadi lebih dalam dari yang tampak di foto karena
sempitnya area foto. Untuk mengetahui apakah korosi telah terjadi lebih dalam,
maka dilakukan pengukuran tebal dinding nipple. Hasil pengukuran ditampilkan
pada Tabel 2.
Tabel 2 ketebalan nipple

3.6 hasil uji komposisi kimia prosuk korosi


Uji komposisi kimia korosi dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia BATAN
menggunakan alat XRF (X Ray Fluorecence). Pengujian dilakukan pada
permukaan nipple yang sudah terkorosi dan yang belum terkorosi. Dari pengujian
tersebut diperoleh hasil yang ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 komposisi kimia korosi

Dari Tabel 3 diketahui bahwa terjadi pengurangan logam Zn pada bagian yang
terkorosi. Hal ini terlihat dari perbedaan jumlah cacah yang terdeteksi.
3.7 hasil uji komposisi kimia air

Dari hasil pengujian ternyata air mengandung unsur Cl.Walaupun sedikit


bisa memicu korosi karena Cl adalah oksidator kuat. Hal ini Cl mempunyai
afinitas elektron yang tinggi. Afinitas elektron adalah energi yang terlibat ketika
sebuah elektron ditambahkan pada sebuah atom dalam kondisi standar untuk
membentuk ion negatif. Ketika terbentuk ion negatif yang stabil, energi yang
dilepaskan diberi tanda negatif. Jika terbentuk ion positif yang tidak stabil, energi
yang dibutuhkan diberi tanda positif. Semakin tinggi afinitas elektron suatu atom,
semakin tinggi kecenderungan atom tersebut mengoksidasi atom lain.
TABEL 4. Komposisi kimia air di ruang genset Kampus Terpadu UMY

4. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil pengamatan di lapangan dan pengujian yang
dilakukan pada nipple dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Material nipple adalah dead mild steel, karena kandungan karbonnya
sebesar 0,133% atau kurang dari 0,15%.
2. Korosi yang terjadi pada permukaan luar nipple termasuk jenis korosi
serangan selektif yang kemudian bergeser menjadi korosi dwi logam.
3. Korosi yang terjadi pada permukaan bagian dalam nipple adalah korosi
aerasi diferensial.
4. Korosi yang terjadi pada bagian ulir adalah korosi celah.
5. Korosi pada permukaan luar nipple telah merusak lapisan galvanis
sebanyak 96,61%.
6. Berdasarkan analisis foto, korosi telah mencapai kedalaman sebesar 0,14
mm atau sebesar 5,1% dari tebal dinding nipple. Tetapi berdasarkan
pengukuran tebal dinding nipple, korosi telah mencapai kedalaman 0,26
cm atau sebesar 9,62% dari tebal dinding nipple. Hal ini dikarenakan
sempitnya area foto sedangkan korosi sebenarnya terjadi lebih luas.
7. Pemicu korosi adalah unsur Cl yang terdapat didalam air yang
dipompakan
LAJU KOROSIBAJA OLEH DESULFOMICROBIUM
BACULATUM DAN DESULFOMONAS PIGRA
Dwi Suhartanti
Program Studi Biologi FMIPA Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Jl. Prof. Soepomo Janturan Yogyakarta

1. Pendahuluan
Korosi dapat terjadi karena proses fisis, khemis maupun biologis. Korosi biologis
pada umumnya disebabkan karena adanya mikrobia. Mikrobia dalam proses korosi
dianggap sebagai penyebab tersendiri, yang dalam kerjanya dapat sendiri atau
merupakan gabungan dari sejumlah mikroba yang berbeda
Mikroorganisme hadir pada kondisi aerob, maupuni anaerob. Kondisi anaerob
selalu hadir pada suatu lingkungan mikro, dibawah dari kondisi aerob. Kondisi pH
dan tersedianya nutrisi juga merupakan faktor yang menetukan apakah suatu jenis
mikroorganisme dapat berkembang di dalam tanah dan menyebabkan korosi
Salah satu mikroba yang turut berperan dalam proses korosi mikrobiologis
adalah bakteri pereduksi sulfat (SRB) yang hidup secara anaerob dan dapat
tumbuh pada kisaran pH 2 sampai pH 9, tetapi optimalnya pada pH 7. Bakteri ini
ditemukan hampir pada semua tanah, dan air, terutama yang banyak mengandung
bahan organikMikrobia yang lain yang berpera dalam korosi adalah bakteri yang
hidup secara aerob, yang telah diketahui dengan baik dan merupakan suatu
kenyataan, misalnya akti vitas Thiobacillus yang dapat menghasilkan Mikrobia
yang lain yang berperan dalam korosi adalah bakteri yang hidup secara aerob,
yang telah diketahui dengan baik dan merupakan suatu kenyataan, misalnya akti
vitas Thiobacillus yang dapat menghasilkan
Desulfovibrio desulforicans adalah salah satu jenis bakteri pereduksi sulfat
yang sangat berperan dalam proses korosi. Bakteri ini termasuk gram negatif,
fakultatif anaerob yang hidupnya tidak tergantung tersedianya zat organik, tapi
cukup gas CO2 yang dijadikan sebagai sumber karbon, tetapi jika ada zat organik
peran bakteri ini dalam proses korosi meningkat. Clostridium nigrificans,

2. Teori dasar
Hampir di semua tempat dan dalam berbagai kondisi dapat terjadi korosi karena
mikrobia. Mikrobia yang paling berperan dalam proses korosi adalah bakteri
pengubah sulfat. Produk korosinya adalah sulfida yang berwarna hitam. Bakteri
penyebabnya adalah Desulfovibrio desulforicans yang mempunyai enzim
hodrogenase yang dapat melakukan depolarisasi pada daerah yang ada
mikrobanya. Jenis lain yang dapat membentuk enzim hidrogenase adalah bakteri-
bakteri pembentuk metan, asam cuka, pereduksi asam nitrat dan perhidrol. Selain
bakteri-bakteri tersebut ada bakteri yang penting pada teerjadinya korosi yaitu
bakteri-bakter pembentuk oksida-oksida logam seperti bakteri pengoksidasi
belerang, besi dan mangan
Konstruksi baja yang ditempatkan di laut sebagai tiang pancang terjadi korosi
yang disebabkan adanya mikrobia yang dapat membentuk sel konsentrasi oksigen.
Kombinasi adanya mikrobia yang mempunyai enzim hidogenase dengan mikrobia
penghasil oksigen akan lebih berbahaya, karena keduanya akan saling
mempengaruhi (sinergis) dan lebih tahan

2.1 macam macam hipotesa mengenai mekanisme korosi oleh bakteri:


1. Mikroba dapat mengeluarkan inhibitor mineral dari media fosfat dan nitrat.
Fosfat dan Nitrat mempunyai sifat inhibitor pada aluminium tapi digunakan
dalam metabolisme bakteri. Media yang tertinggal jadi korosi, juga dengan
adanya sumber protein dapat Menetralkan pengaruh dari inhibitor.
Sebenarnya konsentrasi nitrat 12mMol sudah efektif untuk inhibitor, tetapi
dilingkungan 0,2 – 0,8 mMol Nitrat sudah dapat menjadi inhibitor. Dengan
adanya bakteri maka jumlah konsentrasi ini jadi tidak berfungsi.
2. Mikrobia dapat merubah hidrokarbonn menjadi produk yang cukup korosif
dan walaupun telah diuraikan masih tetap
dapat menyerang alumunium.
3. Akibat hidupnya mikrobia dapat menimbulkan sel konsentrasi oksigen hingga
akan timbul elemen galvanik, di mana akan menimbulkan korosi sumur.
Dalam sumur tadi di dapat bakteri Desulfovibrio desulfuricans dan akan
menghasilkan senyawa sulfida. Tipe korosi ini analog dengan dengan korosi
besi sampai terbentuk besi sulfida.
4. Mikrobia akan mengambil sumber elektron dari logam.
Korosi oleh mikrobia biasanya terjadi H2 logam dalam lingkungan yang
aerob dapat menimbulkan korosi yang berat pada H2 SO4 yang SO3 dan dapat
menimbulkan SO2 yang belerang hingga dapat membentuk pada pipa. Ada juga
mikroba pengoksidasi korosinyapun sering seperti bekas lilitan kain Bentuk sulfat.
Pereduksi bakteri tempat oleh kain aspal yang terbuka dan jadi koloni pada pipa
logam dala m tanah yang dibungkus
3. Metode penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah baja ST – 400 tanpa
pelapisan, isolat bakteri Desulfomicrobium baculatum, media SRB cair, aquades
steril, H2SO4 0,1 N, H2SO4 1 N, HCl 1 N, HCl 0,1 N., KOH, JKJ, KCl, larutan
thiosianat, larutan buffer.
Alat-alat yang digunakan adalah botol – botol kultur, cawan petri,
erlenmeyer, beker glass, pipet 10 ml, pipet 1 ml , tabung titrasi, kompor gas,
bunsen, skapel, pipet, pH meter, aluminium foil, labu ukur, incubator, lampu
spiritus, mikroskop, rak tabung reaksi, autoclave, incubator, oven, timbangan
analit.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen di
Laboratorium. Rancangan yang digunakan adalah Ral (Rancangan Acak Lengkap)
dengan lima perlakuan dengan lima kali ulangan.Data yang diperoleh dianalisis
Anova dan jika ada perbedaan dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel and Torrie,
1993

4. Prosedur kerja
Media perendaman dimasukkan dalam botol – botol kultur dan disteril, kemudian
hasil isolasi dan identifikasi di inokulasikan kedalam botol – botol
kultur.Lempeng baja dipotong-potong 1,5 x 3,0 Cm dengan tebal 4 mm,
dihaluskan dengan gerinda, dan digosok amplas sampai permukaan halus dan
mengkilap. Kemudian digosok lagi dengan carborundum sampai lebih halus dan
mengkilap, lalu disimpan dalam inkubator dengan suhu lebih kurang 100o C. Hal
ini dilakukan agar selama penyimpanan tidak berkarat sebelum digunakan.
Sebelum digunakan lempeng baja di dinginkan sehingga keadaannya sampai suhu
kamar, kemudian di timbang (Ulanovskii, 1981; Rochati, 1995). Lempeng baja
yang telah dipersiapkan dimasukkan kedalam botol – botol kultur yang berisi
media perendaman yang telah diinokulasikan bakteri
Desulfomicrobium baculatum.H2 S yang dihasilkan pada hari ke 6, 8, 10, 12 dan
ke 14dianalisa dengan metode titrasi. .Jumlah bakteri pada akhir perlakuan dengan
metode pengenceran.Berat sampel baja pada akhir perendaman ditimbang.Laju
korosi sample – sampel baja setelah akhir perendaman dihitung.
5. Hasil penelitian dan pembahasan
Dengan Sidik Ragam terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
antara laju korosi baja ST24, ST 40 dan ST 52 oleh Desulfomicrobium baculatum
dan Desulfomonas pigra pada media yang berbeda. Berdasarkan Uji Jarak
Berganda Duncan ada perbedaan sangat nyata (P<0.01) seperti terlihat pada Tabel
1. Gambar 1 menunjukkan adanya pening katan laju korosi pada baja ST 24, ST
40 dan ST 52 yang diakibatkan oleh bakteri D. baculatum .Seperti logam pada
umumnya baja ST 24, ST 40 dan ST 52 mudah terkorosi oleh zat asam seperti
H2SO4 dan HCl (Baboin, 1996; Bozec et al, 2001). Baja ST24 mempunyai
tegangan tarik 24 kg/m, Baja ST 40 mempunyai tegangan tarik 40 kg/m dan ST
52 mempunyai tegangan tarik 52 kg/m. Baja ST 24 paling mudah mengalami
korosi oleh HCl dan H2SO4 dibanding dengan ST40 dan ST52. Laju korosi Baja
ST 24 dalam media H2SO4 1M tanpa bakteri D. Baculatum

Tabel 1 Uji jarak berganda Duncan terhapap Laju korosi baja ST24,ST40 dan
ST52
Gambar 1 Laju korosi baja ST24,ST40 dan ST52 oleh
D-baculatum dan D.pigra
Korosi yang terjadi pada baja ST24, ST40 dan ST52 dalam media yang
mengandung H2SO4 dan bakteri D. Baculatum adalah seperti disajikan pada
reaksi-reaksi berikut ini:

Baja akan terkorosi dalam media yang mengandung HCl dan bakteri D.
Baculatum melalui reaksi-reaksi berikut ini:

Sebagian 𝐹𝑒 2+ bereaksi dengan Cl- seperti disajikan pada reaksi 3 berikut :

Anda mungkin juga menyukai