Anda di halaman 1dari 28

..

..
..
..
.
Bab

2
KOMPOSISI KIMIA SEMEN
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan semen portland adalah batuan alam
yang mengandung oksida-oksida kalsium, silika, alumina dan besi sebagai pembentuk
senyawa potensial semen portland. Bahan baku tersebut dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu :
 Bahan baku utama
 Bahan baku korektif
 Bahan baku tambahan

Kerak bumi (lithosfir) disusun oleh sekitar 90 jenis unsur kimia. Dengan berbagai proses
alam seperti pembekuan, erosi, panas dan tekanan, unsur-unsur dapat bergabung
membentuk senyawa yang dikenal dengan istilah mineral.

Secara umum mineral dapat diartikan sebagai semua bahan padat homogen dalam
kerak bumi ,terbentuk melalui proses alam dan anorganik, yang memiliki komposisi kimia,
bentuk kristal dan struktur tertentu. Pengenalan dan penggolongan mineral biasanya
berdasarkan pada sifat-sifat kimia, fisika, optik, bentuk kristal dan sifat-sifat khas lainnya pada
masing-masing mineral. Penamaan mineral tidak selamanya berdasarkan logika senyawaan
tersebut, penamaan mineral pada umumnya berdasarkan pada :
 Sifat fisik dan kimia
 Nama tempat ditemukannya.
 Nama seorang tokoh atau ahli mineral yang menemukan suatu batuan mineral.

Gabungan dari beberapa jenis mineral alam padat adalah batuan alam, siklus dan jenis
batuan alam dapat dilihat pada gambar 1. Untuk mengenal lebih jelas mengenai jenis batuan
alam, umumnya hal-hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut :
 Komposisi kimia dari mineral.
 Jenis-jenis mineral yang terkandung.

1
..
..
..
.. mineral.
 .
Komposisi
 Ukuran dan bentuk kristal serta penyusunan ruang antara mineral yang satu dengan
mineral yang lain, sifat ini biasa disebut tekstur batuan.

Batuan Beku

Obsidian Granit Basalt


Mencair
Mencair

Batuan Metamorf
Batuan Klastis
Erosi
Batu Batu
Kwarts Pualam Tulis
Tanah Lumpur Pasir
Liat Kapur Panas & Tekanan
Tekanan

2.1.2. BAHAN BAKU UTAMA


Membeku
Batu
Bahan baku utama merupakan bahan baku Pasir
yang mengandung komposisi kimia oksida-
oksida kalsium, silika dan alumina. Batuan alam Batu
yang tergolong bahan baku utama adalah
Kapur
“Calcareous” dan “Argillaceous”.
Batu
Gambar 1 : Serpih
Siklus dan Jenis Batuan Alam Batuan Sedimen
Calcareous

Calcareous pada dasarnya adalah semua batuan alam yang mengandung semyawa
CaCO3 dan digunakan sebagai sumber oksida kalsium. Batuan alam yang termasuk
calcareous dan paling banyak dipakai adalah “limestone” (batu kapur), “chalk” dan “marl”,
ketiga batuan alam tersebut dibedakan berdasarkan kandungan senyawa CaCO3 dan
kekerasannya.

2
..
..
..
.. mempunyai kadar CaCO
 Batu kapur . 3 diatas 90 % dengan nilai kekerasan antara 1.8 –
3.0 skala Mohs. Mineral utama dalam batuan ini adalah calcite, berbentuk kristal
hexagonal dengan spesific grafity 2.7, dan aragonit, berbentuk kristal rhombic dengan
spesific gravity 2.95, dengan mineral pengotor yang mengikutinya antara lain quartz,
chalcedony, opal untuk oksida silika; dolomite, magnesite untuk oksida magnesium;
glauconite, phospates, pyrites, siderite untuk oksida besi. Dalam keadaan murni batu
kapur berwarna putih; karena di alam didapatkan bercampur dengan tanah liat dan oksida-
oksida lain, warna batu kapur menjadi abu-abu sampai kuning.

 Chalk mengandung sekitar 98 – 99 % CaCO3. Umur geologi chalk lebih muda dari pada
batu kapur, sehingga derajat kekerasannyapun lebih rendah daripada batu kapur. Karena
lunak, umumnya chalk lebih disukai sebagai bahan baku utama pada proses pembuatan
semen.

 Marl adalah batu kapur dengan campuran subtansi silika, alumina, besi dan merupakan
bentuk transisi ke arah tanah liat/clay (gambar 2, tabel 5). Kekerasan marl lebih rendah
daripada batu kapur, semakin tinggi kandungan tanah liatnya semakin rendah
kekerasannya. Marl merupakan bahan baku yang cukup baik untuk pembuatan semen
karena mangandung oksida kalsium dan tanah liat yang sudah homogen.

(% Limestone)
100 95 85 75 60 40 25 10 0
High Limestone Marly Calcareous Marl Argillaceous Marly clay Clay
grade limestone marl / limy marl
limestone

0 5 10 25 40 60 75 90 100
(% Clay)

Gambar 2 : % Limestone dan Clay dalam gradasi batuan Limestone-Clay

3
..
..
..
.. CaCO
Tabel 5 : Kadar . 3 dalam gradasi batuan Limestone-Clay

Nama batuan alam Kadar CaCO3 (%)


High grade limestone 96 – 100
Limestone & Marly limestone 90 – 96
Calcareous marl /limy 75 – 90
Marl 40 – 75
Argillaceous marl 10 – 40
Marly clay 4 – 10
Clay 0–4

Argillaceous

Argillaceous pada umumnya terdapat sebagai batuan alam yang mengandung okisda
silika dan alumina, secara umum jenis-jenisnya dibedakan berdasarkan kandungan silika
(pasir / sand), alumina (clay) dan ukurannya, gambar 3. Disamping oksida tersebut terdapat
pula senyawa-senyawa lain seperti oksida-oksida besi, kalsium, magnesium, sulfur, kalium,
natrium, titanium, chromium, mangan dan phosphor.

Batuan alam yang termasuk argillaceous dan paling banyak digunakan adalah tanah liat
(clay), secara umum tanah liat dapat digolongkan sebagai berikut :

Golongan Kaolinit
 Banyak dijumpai di alam
 Rumus umum mineral Al2O3.2SiO2.2H2O
 Strukturnya terdiri dari lapisan tunggal silika tetrahedral dan lapisan tunggal alumina
oktahedral

Golongan Montmorillonite
 Banyak dijumpai di alam
 Rumus umum mineral Al2O3.4SiO2.2H2O
 Strukturnya terdiri dari dua lapisan silika tetrahedral dengan sebuah pusat lapisan
oktahedral.

Golongan Hidromika
 Tidak banyak dijumpai di alam

4
..
..
..
..
.
Golongan Attalpulgit, Sepiolit dan Alofan
 Tidak banyak dijumpai di alam

Clay / Liat
( < 2 m )

Heavy Clay

Clay

Silty Clay
Sandy
Clay Clay Loam Silty Clay Loam
Sandy Clay
Loam
Loam
Sandy Loam Silt Loam

Loam Silt
Sand Sand

Sand / Pasir Slit / Debu


( > 50 m ) ( 2-50 m )

Gambar 3 : % Clay dan Sand dalam gradasi batuan Clay – Sand.

Batuan argillaceous penting yang mengandung banyak oksida silika dikelompokkan


menjadi :

Orthoquarzit
 Nama lain, diantaranya “Pure Quartz Sand” atau “Siliceous Sand”
 Dikarakteristikkan berdasarkan kandungan tinggi dari quartznya
 Komposisi kimia oksida silika (SiO2) berkisar antara 95 – 100 % dan oksida alumina
(Al2O3) berkisar antara 0 – 3 %. Disamping oksida tersebut diatas terdapat pula senyawa-
senyawa lain seperti Titanium oksida, Besi oksida, Magnesium oksida, Kalsium oksida,
Natrium oksida, Kalium oksida, H2O dan CO2.
Graywackes
 Mengandung fragmen palaezoik

5
..
..
..
..
 .
Dikarakteristikkan berdasarkan kandungan quartz, fragmen silika, slate, phillite dan
feldspar.
 Komposisi kimia oksida silika (SiO2) berkisar antara 60 – 70 % dan oksida alumina
berkisar antara 13 – 16 %. Disamping oksida tersebut diatas terdapat pula senyawa-
senyawa lain seperti Titanium oksida, Besi oksida, Mangan oksida, Magnesium oksida,
Kalsium oksida, Natrium oksida, Kalium oksida, Phospor okisda, Sulfur oksida, Sulfur, H 2O
dan CO2.

Lithic (Subgraywackes atau Protoquarzites)


 Mengandung fragmen batuan feldspar
 Kandungan feldspar sekitar 10 – 25 %.
 Komposisi kimia oksida silika (SiO2) berkisar antara 65 – 95 % dan oksida alumina
berkisar antara 5 – 12 %. Disamping oksida tersebut diatas terdapat pula senyawa-
senyawa lain seperti Titanium oksida, Besi oksida, Mangan oksida, Magnesium oksida,
Kalsium oksida, Natrium oksida, Kalium oksida, Phospor oksida, Sulfur, Carbon, H 2O dan
CO2.

Feldspathick (arkose dan subarkose)


 Berasal dari batuan granit.
 Kandungan utamanya adalah quartz dan feldspar.

2.1.3. BAHAN BAKU KOREKTIF

Bahan baku korektif adalah bahan tambahan pada bahan baku utama apabila
pada pencampuran bahan baku utama komposisi oksida-oksidanya belum memenuhi
persyaratan secara kualitatif dan kuantitatif.

Pada umumnya, bahan baku korektif yang digunakan mengandung oksida silika,
oksida alumina dan oksida besi yang diperoleh dari pasir silika (sand), tanah liat (clay)
dan pasir besi / pyrite cinder / iron ore.

2.1.4. BAHAN BAKU TAMBAHAN

6
..
..
..
.. tambahan adalah bahan baku yang ditambahkan pada terak/clinker untuk
Bahan baku .
memperbaiki sifat-sifat tertentu dari semen yang dihasilkan. Gypsum merupakan salah satu
bahan baku tambahan yang biasa digunakan untuk mengatur waktu pengikatan semen.

Gypsum merupakan bentuk senyawa kalsium sulfat dihidrat (CaSO 4.2H2O) dengan
spesific gravity 2.5 dan kekerasan 1.5 - 2.5 skala mohs, diperoleh di alam sebagai batuan alam
atau hasil samping industri pembuatan asam borat, asam phosphat dan asam sulfat.

Komposisi air hidrat dalam gypsum relatif tidak stabil terhadap temperatur, perubahan
temperatur terhadap komposisi air hidrat dalam gypsum digambarkan sebaga berikut :

CaSO4.2H2O
Gypsum
Temperature > 95 o C
Hidrasi dalam
media H2O
CaSO4.0.5H2O
Hemihydrate
Temperatur > 120 o C
Hidrasi dalam media
H2O atau uap H2O
CaSO4.0.001-0.5H2O
Soluble anhydrat
Temperatur > 200 o C
Hidrasi lambat dalam
media H2O
CaSO4
Insoluble anhydrate
(Natural anhydrate)

Gambar 4 : Perubahan air hidrat gypsum terhadap temperatur.

7
..
..
..
..
2.4. .
KOMPOSISI

Komposisi kimia utama tepung baku adalah oksida-oksida kalsium, silika, alumina dan
besi. Dalam proses, komposisi kimia tepung baku pada umumnya dinyatakan dalam bentuk
modulus-modulus, yaitu :

Modulus Hidrolik

Modulus ini menunjukkan perbandingan antara CaO dengan ketiga oksida lainnya
yang dirumuskan :

CaO
HM =
SiO2 + Al2O3 + Fe2O3

Batasan nilai HM adalah 1.7 – 2.3. Pengaruh nilai HM terhadap proses dan kualitas semen

Faktor Penjenuhan Kapur / Lime Saturation Factor (LSF)

Faktor penjenuhan kapur adalah nilai yang menunjukkan perbandingan CaO efektif terhadap
CaO maksimum teoritis yang dapat mengikat senyawa-senyawa SiO 2, Al2O3 dan Fe2O3.
Perhitungan LSF didasarkan pada anggapan kondisi pembakaran terak yang optimal,
homogenisasi tepung baku baik dan CaO-bebas pada terak sama dengan nol, yang
dirumuskan :

100 CaO
LSF =
2.8 SiO2 + 1.18 Al2O3 + 0.65 Fe2O3

Batasan nilai LSF adalah 90 – 99.

8
..
..
..
..
.
Modulus Silika

Modulus silika adalah nilai yang menunjukkan perbandingan antara jumlah SiO 2
terhadap jumlah Fe2O3 dan Al2O3. Modulus silika dapat dinyatakan dengan persamaan
berikut ini :

SiO2
SM =
Al2O3 + Fe2O3

Batasan nilai SM adalah 1.9 – 3.2.

Modulus Alumina ( AM ) atau Modulus Besi ( IM )

Modulus alumina / modulus besi adalah perbandingan antara Al2O3 dengan Fe2O3.
Nilai modulus alumina / modulua besi dapat dinyatakan dengan persamaan berikut ini :

Al2O3
IM = AM =
Fe2O3

Batasan nilai IM / AM adalah 1.5 – 2.5.

Selain mengandung senyawa yang diperlukan, tepung baku juga mengandung


senyawa yang tidak diinginkan. Kadar senyawa tersebut harus dibatasi sekecil mungkin.
Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari gangguan yang dapat ditimbulkan oleh
senyawa tersebut, baik selama proses pembuatan semen maupun pada saat semen
tersebut digunakan. Pada tabel 6 berikut ini dijelaskan 12 senyawa pengotor, batasan yang
diperbolehkan, selang atau wilayah yang diharapkan serta akibat yang dapat ditimbulkan
oleh senyawa pengotor tersebut.

9
..
..
..
..
.
Tabel 6. Senyawa pengotor / minor dalam tepung baku

Komponen Limiting Preferable Akibat yang ditimbulkan


Pengotor Range Range
1. SiO2 0-3% Serendah Jika Silika bebas tinggi
(Silika bebas) mungkin 1. Kebutuhan power dan bahan bakar naik.
sulit membentuk coating.
2. Memperburuk kondisi bata tahan api
3. Menaikkan radiasi panas dari kiln shell.
4. Menaikkan suhu gas keluar kiln.

2. MgO 0-5% 0-2% Jika MgO bebas tinggi :


(periclase) 1. Menurunkan viskositas dan tegangan
permukaan dari fasa cair terak dan
menaikkan mobilitas ionik.
2. Membantu pelarutan C2S & f.CaO pada
suhu tinggi dan membentuk C3S lebih cepat.
3. Cenderung mudah mengkristal pada
burning zone dan mempengaruhi operasi.
4. Jika  2% menyebabkan unsoundness.
5. Menaikkan C3S dan fasa cair tetapi tidak
berpengaruh pada C2S (MgO  2%).
6. Volum tak stabil utk (2  MgO  6) dapat
dinetralkan jika SO3 = 0.67%.

Jika TiO2 tinggi :


3. TiO2 0-4% 1.5 - 2 % 1. Pengurangan kandungan C3S (C2S naik)
2. Mengurangi viskositas tegangan permukaan
fasa cair.
3. Menurunkan ukuran partikel alite (C3S) dan
belite (C2S).
4. Waktu pengikatan lama dan menurunkan
kuat tekan awal.
5. Warna terak yang lebih gelap.

Jika Mn2O3 tinggi :


4. Mn2O3 0-4% 1.5 - 2 % 1. Menurunkan viskositas fasa cair.
2. Memperkecil ukuran kristal alite.
3. Menurunkan kuat tekan awal.

Jika SrO tinggi :


5. SrO 0-4% 0.5 - 1 % 1. Mempercepat reaksi kombinasi CaO pada
fasa padat.
2. Menurunkan suhu fasa cair.
3. Menurunkan sifat hidrolis.
4. Cenderungmelepas fCaO dengan merusak
alite (SrCO3 > SrSO4).

10
..
..
..
..
.
Komponen Limiting Preferable Akibat yang ditimbulkan
Pengotor Range Range
6. Cr2O3 0-2% 0.3 - 0.5 % Jika Cr2O3 tinggi :
1. Mengurangi viskositas dan tegangan
permukaan fasa cair.
2. Cepat membentuk alite dan kristalnya (SO3
= 0.67%).
3. Dekomposisi C3S menjadi fCaO dan C2S.
4. Menaikkan stabilitas Al2O3 dan menurunkan
stabilitas Fe2O3.
5. Menaikkan aktivitas hidrolis awal.

7. Total Alkali 0-1% 0.2 - 0.3 % Jika total alkali tinggi :


(K2O + Na2O) 1. Memperbaiki burnabilitas pada suhu rendah
dan memperburuk pada suhu tinggi,
terutama jika K20 + Na2O > 1%.
2. Menaikkan fasa cair dan pembentukan
coating.
3. Menurunkan kelarutan fCaO pada fasa cair.
4. Memecah fasa C3S fasa C2S.
5. Timbul masalah operasional karena sirulasi
alkali external.
6. Jika (N + 0.659 K)  0.6 % akan
menyebabkan ekspansi alkali.

8. Senyawa 0-4% 0.5 - 2 % Jika S tinggi :


Sulfur 1. Bertindak sebagai mineralizer dan modifier
efektif untuk recycle alkali dengan
membentuk lebih sedikit senyawa volatil (N,
K) SO4, Jika S > ( K + N ).
2. Menurunkan suhu fasa cair lebih dari 100oC
dan viscositas, tegangan permukaannya
serta menaikkan mobilitas ionik oksida.
3. Menaikkan Belite tapi tidak berpengaruh
pada alite atau fasa cair.
4. Dekomposisi C3S pada 1250oC jika terdapat
alkali sulfat.
5. Ekspansi sulfat jika SO3 = 2.5 - 4.0 %.
6. Memperbaiki pembakaran pada suhu
rendah, memperburuk pada suhu tinggi.
7. Menurunkan kuat tekan aktivitas hidrolis

11
..
..
..
..
.
Komponen Limiting Preferable Akibat yang ditimbulkan
Pengotor Range Range
9. P2O5 0-1% 0.3 - 0.5 Jika P tinggi :
1. Mempercepat reaksi pembentukan terak.
2. Mengurangi recycle internal.
3. Mengurangi kuat tekan pada umur 3-7
hari.
4. Mengurangi kandungan Alite (C3S).

10. F 0 - 0.6 % 0.03 - 0.08 % Jika F tinggi :


1. Mempengaruhi kinetika reaksi
pembakaran
2. Menurunkan suhu pembentukan C3S
sebanyak 150 - 200oC.
3. Tak berpengaruh pada sirkulasi internal
pada tanur.
4. Menurunkan kuat tekan.

11. Cl 0 - 0.6 % 0 - 0.015% Jika Cl tinggi :


1. Membentuk (K, N) Cl dan berpengaruh
pada burning zone.
2. Menaikkan fasa cair dan suhu pelelehan
menjadi turun.
3. Menaikkan ring coating dengan
membenrtuk spurrite ( 2C2S.CaCO3 ).
4. Diperlukan by-pass untuk Cl > 0.015%.

12. H2O 10 – 35 % <15% (dry) Jika Moisture tinggi :


30 – 35 1. Menambah burnability.
(wet) 2. Menaikkan kebutuhan bahan bakar.

2.2.2. BURNABILITY

Burnability adalah ukuran yang menunjukkan mudah atau sukarnya transfer massa
tepung baku menjadi fasa terak. Biasanya burnability diukur dengan menentukan kadar CaO
bebas sesudah tepung baku dibakar pada selang waktu dan temperatur tertentu.
Burnability umumnya dinyatakan dengan dua cara, yaitu :
1. Mengukur CaO bebas pada selang waktu yang tetap dan temperatur tertentu. Semakin
tinggi nilai CaO bebas berarti semakin rendah burnability.
2. Mengukur waktu pada temperatur tetap untuk CaO bebas  2 . Semakin lama waktu
yang dibutuhkan berarti semakin rendah burnability.

12
..
..
..
..
.
Parameter-parameter penting yang sangat berpengaruh pada burnability adalah :

Mineralogi bahan baku


 Burnability akan turun sebanding dengan naiknya kadar mineral calcite dan quartz yang
terdapat dalam tepung baku, hal ini disebabkan mineral calcite yang berasal dari batu
kapur membutuhkan energi yang relatif besar untuk proses kalsinasi sedangkan mineral
quartz yang berasal dari sand / pasir dan / atau clay mempunyai tingkat reaktivitas yang
rendah sehingga relatif sulit untuk bereaksi dengan CaO.
 Selain itu adanya senyawa-senyawa miinor tertentu baik sebagai senyawa pengotor /
minor (lihat tabel 6) akan mempengaruhi burnability tepung baku.

Komposisi kimia tepung baku


 Burnability dipengaruhi oleh perbandingan komposisi oksida-oksida utama tepung baku,
LSF, HM, SM dan IM.
 Selain itu burnability dipengaruhi juga oleh senyawa-senyawa minor tertentu baik
sebagai volatile maupun non-volatile

Granulometri tepung baku


 Kehalusan dan distribusi ukuran partikel sangat besar pengaruhnya terhadap burnability
tepung baku. Semakin halus tepung baku, semakin besar luas permukaannya, semakin
mudah dibakar dan semakin rendah temperatur sinteringnya. Ukuran butiran yang
sangat berpengaruh dalam tepung baku adalah mineral quartz dan calcite. Quartz
berpengaruh lebih besar terhadap burnability. Satu persen mineral quartz yang
berukuran lebih besar dari 100 m sama pengaruhnya dengan 6 % mineral calcite
dengan ukuran yang sama. Dari berbagai pengalaman dikemukakan bahwa tepung baku
yang baik adalah tepung baku yang mempunyai ukuran partikel mineral silikai diatas 200
m tidak melebihi 0.5 % atau mineral silikai yang berukuran antara 90 – 200 m tidak
lebih dari 1 %. Mineral calcite yang berukuran diatas 150 m masih dapat diterima
karena tidak memberikan pengaruh yang serius. Ukuran maksimum yang masih diijinkan
adalah 44 m untuk mineral quartz dan 125 m untuk mineral calcite, walaupun ada
pabrik semen yang membatasi lebih ketat lagi yaitu 32 m untuk mineral quartz dan 90
m untuk mineral calcite.

13
..
..
..
.. target kehalusan tepung baku adalah 12 % tertahan pada ayakan no.
 .
Pada umumnya
mesh 170 ( 90m ) dan 2.5 % tertahan pada ayakan no mesh 72 ( 212m ).
Pengendalian ukuran partikel sangat penting karena kecepatan sintering berbanding
terbalik dengan ukuran pertikel.
 Hal lain yang penting adalah homogenisasi umpan tanur. Homogenisasi umpan tanur
merupakan proses yang utama karena sangat berpengaruh terhadap kualitas terak,
proses pembakaran dan kebutuhan bahan bakar. Material yang kurang reaktif seperti
quartz dan calcite, biasanya terdapat pada fraksi kasar tepung baku, sehingga sangat
mempengaruhi homogenisasi umpan tanur. Fluktuasi umpan tanur yang diukur dengan
CaCO3 harus tidak lebih dari + 0.2 % dari set point.

Perlakuan termal
 Pembakaran tepung baku harus pada temperatur yang cukup untuk pembentukan
mineral alite (C3S). Temperatur yang berlebihan selain akan mengakibatkan beban yang
berlebihan terhadap tanur, bata tahan api dan naiknya kebutuhan bahan bakar juga
mempengaruhi pembentukan mineral-mineral. Waktu pembakaran yang cukup pada
temperatur klinkerisasi diperlukan untuk memberi kesempatan pada C 2S dan CaO
bebas membentuk C3S. Faktor lain yang penting adalah kecepatan pembakaran yang
akan berpengaruh terhadap kuat tekan.

Fasa cair
 Senyawa-senyawa Al2O3, Fe2O3, MgO dan minor sangat menentukan jumlah fasa cair
yang terbentuk, temperatur reaksi, viskositas, tegangan permukaan dan mobilitas ionik
pada proses klinkerisasi. Kandungan fasa cair pada suhu 1450 oC dapat dihitung sebagai
berikut :

LP = 1.13 C3A + A.35 C4AF + MgO + Total alkali

 Fasa cair dibutuhkan untuk pembentukan C 3S pada waktu proses klinkerisasi. Fasa cair
yang normal berkisar antara 23 % hingga 28 %. TK Chatterjee menunjukkan bahwa fasa
cair yang ideal adalah sekitar 25 %, dimana hal ini sangat baik untuk pembentukan C 3S
yang cepat melalui pelarutan C2S dan CaO bebas, kemudahan terak untuk digiling,
keawetan bata tahan api dan pemakaian bahan bakar yang lebih hemat.

14
..
..
..
Pengaruh.
.fasa cair dibawah 23 % dan diatas 28 % terhadap kualitas terak dan proses
 .
adalah sebagai berikut :
Fasa cair < 23 % :
 Terak cenderung berdebu (halus)
 Gejala sirkulasi alkali meningkat, preheater cenderung tersumbat secara periodik
 Pembentukan dust ring di zona transisi
Fasa cair > 28 % :
 Terak cenderung padat
 Serangan terhadap bata basic di burning zone

Abu batu bara


 Jika pada pembakaran terak dipergunakan batubara, maka jumlah abu, komposisi dan
kehalusannya mempengaruhi burnability tepung baku. Pada umumnya komposisi abu
batubara mempunyai perbandingan SiO2 terhadap CaO yang sangat tinggi, sehingga
akan sangat mempengaruhi komposisi tepung baku. Jadi komposisi tepung baku harus
dikoreksi terhadap komposisi abu batubara tersebut.

Kondisi pembakaran di tanur


 Kondisi pembakarandi dalam tanur sangat dipengaruhi oleh jenis bahan bakar, design
burrner, suplai udara dan cara pengoperasian yang tepat untuk mendapatkan bentuk
nyala yang sesuai dengan gradien temperatur terhadap waktu yang diperlukan.
 Panjang, bentuk, warna, arah dan titik nyala sangat menentukan profil temperatur di
dalam tanur, yang pada akhirnya akan mempengaruhi reaksi-reaksi yang berlangsung.
 Kondisi kekurangan oksigen selama pembakaran akan mempengaruhi warna terak
dengan terbentuknya ferro oksida (FeO) dan mengurangi kuat tekan karena
memecahkan C3S selama cooling. Karena itu kondisi O 2 berlebih sebanyak 1-2 % pada
exit gas harus dipertahankan untuk kualitas terak yang lebih baik.

15
..
..
..
..
2.2.3. REAKSI .

Reaksi pembentukan terak ditinjau dari tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut :

27°C 600°C
Reaksi dehidrasi dan
Dehidroksilasi H2O OH
(Endoterm)

550°C 1000°C
Reaksi Dekarbonasi CaCO3  CaO + CO2
(Endoterm)

660°C 950°C
Reaksi dekomposisi- Al2O3 + SiO2 + Fe2O3
Senyawa Alumina-silikat
(Endoterm)

550°C 1280°C

Reaksi fasa padat C2S + CA + C12A7 + Ferrite + CaO


(Exoterm pada 1160 – 1280 °C)

1280°C 1450°C

C3S + C2S + Melt


Reaksi sintering fasa cair
(Exoterm pada 1280 - 1280 °C,
Endoterm pada 1295 - 1330 °C,
Exoterm pada 1330 - 1410 °C)

1000 C 1300 C

Reaksi pendinginan.
C3S + C2S + C3A + C4AF
(Exoterm pada 1290 - 1260 °C,
Exoterm pada 1260 - 1200 °C)

16
..
..
..
.. sebenarnya pada proses pembakaran cukup rumit, tetapi reaksi dasarnya
Reaksi yang.
ditinjau dari senyawa-senyawa yang terlibat dapat digambarkan sebagai berikut :

Senyawa asal Senyawa antara Fasa clinker

B-C2S Spurrite
Quartz 2(C2S).CaCO3 B-C2S

C3S
Anhydrit C4A3S

CaCO3 CaO CaO

Gehlenite C2AS
C3A

C12A7

Clays C4AF C4AF


Magnesio-ferrite
MgO/FeO. Fe2O3

Setelah proses pembakaran selesai, terak/clinker yang dihasilkan akan mengalami


proses pendinginan. Pendinginan terak terjadi di dua tempat, pendinginan pertama terjadi di
o
dalam tanur yaitu di cooling zone sampai temperatur 1200 C, pendinginan ke dua terjadi
o
diluar tanur yaitu di cooler sampai temperatur 100 – 200 C.

Dalam ilmu kimia biasanya pengeringan tidak termasuk reaksi, karena lebih bersifat
peristiwa fisika yaitu peristiwa terlepasnya air permukaan (air bebas) dari campuran bahan.
Akan tetapi disini terdapat dua macam pelepasan air yaitu air tercampur dan air yang terikat
(air kristal) pada tepung baku. Jika air kristal terlepas maka akan merubah sifat kimia dari
senyawa aslinya.
Air yang tercampur dalam tepung baku dapat dilepaskan dengan pemanasan sampai
dengan suhu 110 °C , sedangkan air kristal terlepas pada suhu yang lebih tinggi yaitu sekitar
600 °C dan terjadi dekomposisi pada temperatur 660 - 950 °C . Proses pengeringan dan
dekomposisi dapat digambarkan sebagai berikut :

17
..
..
..
Al O .SiO.
..2H O
2 3 2
. 2 Al2O3.SiO2.2H2O
Al2O3.2SiO2.H2O H2O Al2O3.2SiO2.H2O + H2O
Al2O3.4SiO2.H2O 100 – 110 °C Al2O3.4SiO2.H2O

Tanah liat basah Tanah liat kering

600 °C

H2O + Al2O3 . SiO2

660 – 950 °C
Air kristal

Al2O3 + SiO2

Bebas

SiO2 dan Al2O3 yang telah terbebas dari air kristalnya bereaksi dengan CaO yang berasal
dari CaCO3. Reaksi diawali dengan terurainya CaCO3 menjadi CaO (reaksi kalsinasi)

CaCO3 CaO + CO2

Reaksi ini berlangsung pada suhu 550 - 1000 °C


Sebenarnya suhu peruraian CaCO3 berada pada 894 °C dengan tekanan 1
atmospher, tetapi peruraian CaCO3 sudah terjadi pada suhu < 800 °C karena tekanan di
dalam sistim pemanas awal berada dibawah 1 atmospher.
Tahap berikutnya mulai terjadi reaksi antara oksida-oksida yang lain dengan CaO.
Mula-mula terjadi C2S yang berlangsung lambat pada temperatur 700 °C , terbentuk juga CA
dan C12A7 sebagai hasil antara yang nantinya akan terurai kembali pada suhu 1100 °C .
Pada suhu 900 - 1250 o C terbentuk C3A, 2C2AF dan C2AS sebagai hasil antara. Pada
suhu ini hampir seluruh CaO sudah bereaksi.

18
..
..
..
.. 1200 - 1400
Pada suhu . o
C sebagian C2S akan bereaksi membentuk C3S dan semua
hasil antara terurai kembali dan mulai terbentuk fasa cair. Selanjutnya pada proses
o
pendinginan 1450 - 1200 C fasa cair mengkristal membentuk C3A dan C4AF.

2.3. TERAK / CLINKER

Terak / clinker adalah batuan buatan yang dihasilkan dari proses pembakaran tepung
baku. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas terak / clinker adalah
mineral (komposisi), tektur (kristalinitas, ukuran butiran dan bentuk butiran) dan struktur
(homogenitas dan porositas).
Sistem berpori pada permukaan granuler terjadi pada temperatur tinggi di daerah
pembakaran. Pada temperature tersebut granuler merupakan agglomerate yang terdiri atas
partikel padat (CaO, C2S, C3S dan fasa lebur yaitu C3A, C4AF).

Grinding Work Index (GWI)


Adalah besaran / index menurut Bond’s grinding theory yang menyatakan ketahanan
grinding dari suatu nodul material pada saat dilakukan grinding dengan menggunakan test
ball mill.
2.3.2. MINERAL

Senyawa potensial / mineral dalam terak / clinker merupakan senyawa komplek dari
oksida-oksida utama kalsium, silika, alumina dan besi yang dihasilkan dari proses
pembakaran di dalam tanur. Senyawa potensial ini adalah trikalsium silikat (C 3S, Alite),
dikalsium silikat (C2S, Belite), trikalsium aluminat (C3A, Aluminat) dan tetrakalsium alumino
ferrit (C4AF, Ferrite). Selain keempat senyawa potensial diatas, senyawa-senyawa minor
yang terkandung dalam terak / clinker antara lain adalah CaO bebas, MgO bebas (periclase),
SO3, TiO2, P2O5, SrO, Na2O, K2O, Cr2O3, Mn2O3, Cl dan F dalam larutan padat.

C3S (Alite)

Istilah C3S, 3CaO.SiO2, sebenarnya hanya berlaku untuk fasa terak / clinker murni.
Karena fasa terak / clinker yang sesungguhnya selalu terdapat senyawa-senyawa minor
lainnya, rumus kimia senyawa alite tidak sesederhana seperti yang disebutkan diatas.
Sebagai contoh, seorang ilmuwan jepang, Yamagouchi dan Takeda, menemukan rumus

19
..
..
..
..
kimia senyawa . C 3S pada salah satu pabrik semen di jepang adalah
Ca106Mg2(Na1/4K1/4Fe1/2)O36(AlSi34O144).
C3S murni merupakan salah satu mineral utama dalam terak / clinker yang mempunyai
sistim kristal Trigonal (Rhombohedral), Monoklinik dan Triklinik. Polymorphic dari C 3S
tergantung pada suhu dan sifatnya komplek karena terjadi banyak modifikasi dengan
perubahan entalpi yang kecil.
C3S sesungguhnya, dimana terdapat senyawa-senyawa minor Al 2O3, Fe2O3, MgO,
K2O, Na2O dan TiO2 dalam sistim kristalnya mempunyai bentuk trigonal (R), monoklinik (M-I)
dan triklinik (T-II).
Banyaknya mineral C3S dalam terak / clinker biasanya dihitung dari oksida-oksida
kalsium, silika, alumina dan besi dengan menggunakan rumus R.H. BOGUE. Rumus
perhitungan kadar C3S adalah sebagai berikut :

Jika IM  0.64
% C3S = (4.071 x %CaO)-(7.602 x %SiO2)-(6.718 x %Al2O3)-(1.430 x %Fe2O3)

Jika IM < 0.64


% C3S = (4.071 x %CaO)-(7.602 x %SiO2)-(4.479 x %Al2O3)-(2.859 x %Fe2O3)

C2S (Belite)

Istilah C2S, 2CaO.SiO2, sebenarnya hanya berlaku untuk fasa terak / clinker murni.
Karena fasa terak / clinker yang sesungguhnya selalu terdapat senyawa-senyawa minor
lainnya, rumus kimia senyawa belite tidak sesederhana seperti yang disebutkan diatas.
Sebagai contoh, seorang ilmuwan jepang, Yamagouchi dan Takeda, menemukan rumus
kimia senyawa C2S pada salah satu pabrik semen di jepang adalah Ca 87MgAlFe(Na1/2K1/2)
(Al3Si42O180).
Banyaknya mineral C2S dalam terak / clinker biasanya dihitung dari oksida- silika dan
mineral C3S dengan menggunakan rumus R.H. BOGUE. Rumus perhitungan kadar C 2S
adalah sebagai berikut :
Jika IM  0.64
% C2S = (2.867 x %SiO2)-(0.754 x %C3S)
Jika IM < 0.64
% C2S = (2.867 x %SiO2)-(0.754 x %C3S)

20
..
..
..
..
.
C3A (Aluminate)

Istilah C3A, 3CaO.Al2O3, sebenarnya hanya berlaku untuk fasa terak / clinker murni.
Karena fasa terak / clinker yang sesungguhnya selalu terdapat senyawa-senyawa minor
lainnya, rumus kimia senyawa aluminat tidak sesederhana seperti yang disebutkan diatas.
Sebagai contoh, seorang ilmuwan jepang, Yamagouchi dan Takeda, menemukan rumus
kimia senyawa C3A pada salah satu pabrik semen di jepang adalah
Na6K2Ca78Mg4(Al44Fe8Si80O180).
Dalam industri, sistim kristal C3A berupa Cubic dan Orthorhombic dan jarang sebagai
Monoklinic dan Tetragonal. Stabilitas senyawa C3A dipengaruhi oleh ion-ion antara lain Na,
K, Mn dan Fe.
Banyaknya mineral C3A dalam terak / clinker biasanya dihitung dari oksida alumina
dan besi dengan menggunakan rumus R.H. BOGUE. Rumus perhitungan kadar C3A adalah
sebagai berikut :

Jika IM  0.64
% C3A = (2.650 x %Al2O3)-(1.692 x %Fe2O3)

Jika IM < 0.64


% C3A = tidak terbentuk

C4AF (Ferrite)

Istilah C4AF, 2CaO.Fe2O3 + 2CaO.Al2O3, sebenarnya hanya berlaku untuk fasa


terak / clinker murni. Karena fasa terak / clinker yang sesungguhnya selalu terdapat
senyawa-senyawa minor lainnya, rumus kimia senyawa ferrite tidak sesederhana seperti
yang disebutkan diatas. Sebagai contoh, seorang ilmuwan jepang, Yamagouchi dan Takeda,
menemukan rumus kimia senyawa C4AF pada salah satu pabrik semen di jepang adalah
Ca66Mg4(Na1/2K1/2Fe)(Al40Fe22Si5Mg5O180).
Banyaknya mineral C4AF dalam terak / clinker biasanya dihitung dari oksida besi
dengan menggunakan rumus R.H. BOGUE. Rumus perhitungan kadar C4AF adalah sebagai
berikut :

21
..
..
..
..
Jika IM  0.64 .
% C4AF = (3.043 x %Fe2O3)

Jika IM < 0.64


Akan terbentuk larutan padat C4AF dan C2F,
% C4AF + C2F = (2.100 x %Al2O3)

2.4. SEMEN PORTLAND

Semen portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak /
clinker yang mengandung senyawa kalsium silikat yang bersifat hidrolis ditambah dengan
bahan tambahan gypsum yang berfungsi untuk mengendalikan reaksi awal.

Sifat semen portland yang penting adalah kemampuannya untuk mengikat material lain
dan mengeras jika ditambah dengan air, sifat tersebut berhubungan dengan kualitasnya.

Kualitas semen portland ditentukan oleh sifat kimia senyawa utama (senyawa
potensial) dan sifat fisika suatu masa yang dihasilkan. Sifat kimia senyawa utama berperan
dalam reaksi hidrasi, sedangkan sifat fisikanya akan tampak ketika semen portland tersebut
digunakan. Secara umum, sifat fisika semen portland dihubungkan dengan fenomena fisika
yang terjadi ketika semen portland digunakan antara lain adalah kemudahan untuk
pengerjaan, pengikatan semu (false set), pengikatan dan pengerasan (setting and hardning),
panas hidrasi (heat of hydration), kuat tekan (compressive strength), penyusutan volum
(shringkage), kekekalan (soundness), ketahanan terhadap asam dan sulfat (acid and
sulphate resistance) dan lain sebagainya.

2.4.1. REAKSI HIDRASI

Reaksi yang terjadi di dalam semen portland adalah reaksi kimia antara senyawa
potensial dengan air, senyawa-senyawa kalsium silikat, kalsium aluminat dan kalsium ferit
hidrat yang terjadi berupa struktur larutan padat yang spesifik dan akan mengeras. Reaksi
selanjutnya adalah interaksi antar senyawa hidrat tersebut, masing-masing saling mengikat
membentuk strukrur baru yang kokoh, kaku dan kuat yang biasa disebut pasta, mortar atau
beton.

22
..
..
..
.. komposisi mineral utama serta bahan tambahan
Reaktifitas dan .
Reaksi hidrasi yang terjadi sangat ditentukan oleh reaktifitas masing-masing senyawa
utama. Senyawa C3A adalah yang paling reaktif, senyawa ini bereaksi dengan cepat,
kemudian disusul oleh senyawa-senyawa C3S dan C2S. Jadi reaksi hidrasi semen portland
akan berjalan dengan cepat sesuai dengan reaktifnya senyawa utama. Untuk mengatur
kecepatan reaksi sesuai yang diinginkan perlu ditambahkan bahan tambahan, senyawa
gypsum ditambahkan sebagai pengendali reaktifitas senyawa C3A.

Kehalusan
Kecepatan reaksi hidrasi semen portland akan bertambah besar dengan semakin
halusnya ukuran partikel. Sebaliknya, jika ukuran partikel semakin kasar, reaksi hidrasi akan
berjalan semakin lambat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, jika ukuran partikel
semakin halus, berarti luas permukaan total semakin besar. Bertambah luasnya permukaan
menyebabkan kemungkinan terjadinya kontak antara air dengan permukaan butiran akan
menjadi besar. Akibatnya kemungkinan terjadinya reaksi antara air dengan butiran juga
menjadi lebih besar atau dengan perkataan lain, kecepatan reaksi bertambah besar.

Perbandingan air dan semen portland


Air dan semen portland merupakan reaktan dalam reaksi hidrasi, perbandingan
konsentrasi antara kedua reaktan tersebut dan produk yang dihasilkan akan mempengaruhi
kesetimbangan reaksi, kesetimbangan reaksi merupakan salah satu parameter dari
kecepatan reaksi.

Waktu
Dengan bertambahnya waktu, kecepatan reaksi masing-masing senyawa potensial
akan berkurang sebab komposisi senyawa utama mulai habis bereaksi.

Temperatur
Kecepatan reaksi akan bertambah dengan kenaikan temperatur. Demikian juga reaksi
yang terjadi di dalam semen portland akan bertambah cepat karena naiknya temperatur. Hal
ini disebabkan karena reaksinya bersifat eksoterm yaitu dengan melepas sejumlah panas.
Jadi tanpa tambahan panas dari luar pun reaksi ini akan bertambah cepat dengan kenaikan
temperatur akibat panas yang dilepaskan selama reaksi hidrasi.

23
..
..
..
..reaksi
Mekanisme .
Mekanisme reaksi hidrasi senyawa utama semen portland adalah sebagai berikut :

Senyawa kalsium silikat (C3S dan C2S)


Reaksi antara senyawa C3S dan C2S dengan air menghasilkan kalsium silikat hidrat,
CSH, dan kalsium hidroksida, Ca(OH) 2. Perbedaan reaksi antara kedua senyawa tersebut
dalam hal kecepatan dan panas reaksinya, kecepatan dan panas reaksi C 3S lebih besar dari
pada C2S. Panas reaksi C3S yang ditimbulkan sekitar 500 J/gram Panas reaksi C2S yang
ditimbulkan sekitar 350 J/gram

Senyawa-senyawa CSH yang dihasilkan merupakan komponen utama dalam


penyumbang kekuatan semen portland, dan biasa disebut dengan tobermorite gel.
Senyawa C3S merupakan komponen penentu kekuatan awal semen portland, pada umur 1 -
28 hari, hal ini disebabkan reaksi hidrasinya yang berlangsung cepat dan kadarnya yang
tinggi. Sedangkan C2S merupakan komponen penentu kekuatan akhir semen portland,
peranannya baru terlihat 28 hari setelah pengikatan.

Senyawa kalsium aluminat (C3A)


Reaksi antara senyawa C3A dan air berlangsung sangat cepat dan menghasilkan
panas sekitar 1350 J/gram. Reaksi yang terjadi terdiri dari beberapa tahap tergantung pada
lingkungannya.

Senyawa C3A memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan


kekuatan awal, 1 sampai dengan 3 hari, hal ini disebabkan karena panas hidrasinya yang
cukup tinggi sehingga dapat mempercepat reaksi hidrasi secara keseluruhan. Karena
senyawa hasil hidrasinya mempunyai daya rekat yang relatif rendah, sumbangan kekuatan
yang diberikan senyawa C3A relatif kecil.

Kadar senyawa C3A dalam semen portland mempengaruhi sifat fisik semen portland,
dalam hal ini pemuaian dan ketahanan terhadap sulfat. Semakin tinggi kadar senyawa C 3A,
semakin tinggi pemuaian yang terjadi dan semakin tidak tahan terhadap serangan sulfat.

24
..
..
..
..
Pemuaian . yang terjadi disebabkan banyak terbentuknya senyawa ettringite,
sedangkan senyawa ettringite merupakan senyawa yang mempunyai volum yang sangat
besar.

Ketahanan terhadap serangan sulfat dapat diterangkan sebagai berikut, alkali sulfat
bereaksi dengan kalsium hidroksida bebas membentuk senyawa gypsum,

Ca(OH)2 + (Na/K)2SO4 + 2H2O CaSO4.2H2O +2NaOH,

senyawa gypsum yang terbentuk akan bereaksi dengan senyawa C 3A membentuk senyawa
ettringite, senyawa ettringite merupakan senyawa yang mempunyai volum yang sangat
besar sehingga menyebabkan pemuaian dan dapat menimbulkan keretakan pada beton.

Senyawa kalsium aluminoferrit (C4AF)


Reaksi hidrasi senyawa C4AF berlangsung cepat dan menghasilkan panas sekitar160
J/gram. Reaksi yang terjadi terdiri dari beberapa tahap tergantung pada lingkungannya.

Senyawa kalsium oksida bebas (CaO-bebas)

CaO + H2O Ca(OH)2

Senyawa magnesium oksida bebas (MgO)

MgO + H2O Mg(OH)2

Senyawa Mg(OH)2 cenderung membentuk senyawa hidrat, senyawa hidrat yang dihasilkan
mempunyai volum yang relatif besar sehingga manyebabkan pemuaian.

Senyawa kalsium sulfat hemihidrat


Senyawa kalsium sulfat dihidrat (gypsum) relatif tidak stabil terhadap temperatur. Di
Dalam semen portland, senyawa kalsium sulfat mempunyai kandungan air hidrat antara 2
sampai dengan 0.5, hal ini disebabkan proses yang terjadi di “cement mill”. Senyawa kalsium

25
..
..
..
..
.
sulfat yang mengandung air hidrat kurang dari 2 dan sampai dengan 0.5 disebut senyawa
kalsium sulfat hemihidrat.

Pada reaksi hidrasi, senyawa kalsium sulfat hemihidrat dapat bereaksi dengan air
membentuk senyawa gypsum, CaSO4.XH2O + YH2O  CaSO4.2H2O, karena kelarutan
senyawa CaSO4.2H2O (~ 2.4 gr/l) lebih kecil dibandingkan senyawa hemihidrat (~6 gr/l),
maka campuran antara semen portland dan air akan terbentuk endapan sebagai senyawa
CaSO4.2H2O. Pada pengujian sifat fisik, fenomena ini dikenal dengan istilah “false set”.

2.4.2. PENGIKATAN DAN PENGERASAN (SETTING AND HARDENING)


Proses pengikatan (setting) dan pengerasan (hardening) semen portland merupakan
kelanjutan dari reaksi hidrasi. Mula-mula terjadi pengikatan kemudian dilanjutkan dengan
pengerasan. Hasilnya berupa material yang kaku dan keras. Proses ini adalah proses yang
menentukan sifat fisika semen portland.

Ikatan yang terjadi di dalam semen portland disebabkan oleh adanya reaksi antara
senyawa C3A dengan air. Hasil reaksi ini membentuk kristal-kristal yang menyebabkan pasta
menjadi keras dan kaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pengikatan adalah
sifat dan komposisi senyawa utama serta kehalusan.

Pengerasan adalah proses rekristalisasi yang dibagi dalam tiga tahap proses, yaitu :
 Secara kimia, senyawa-senyawa potensial bereaksi dengan air membentuk senyawa
hidrat.
 Secara fisika, karena larutan sangat jenuh senyawa-senyawa hidrat tersebut akan
membentuk kristal.
 Secara mekanik, kristal yang terbentuk akan saling mengikat bersama secara kohesi
dan adhesi membentuk struktur yang kuat.

Secara umum, mekanisme pengikatan dan pengerasan yang terjadi dapat diterangkan
sebagai berikut :
 C3A akan bereaksi paling cepat menghasilkan senyawa C4AH13. Senyawa ini berbentuk
gel yang bersifat cepat set (kaku). Senyawa C4AH13 akan bereaksi dengaan gypsum
membentuk ettringite yang akan membungkus permukaan C 4AH13 dan C3A, sehingga
reaksi hidrasi dari C3A akan terhalangi dan proses pengikatan dapat dicegah. Namun

26
..
..
..
demikian,.
.karena peristiwa osmosis, lapisan ettringite pembungkus tersebut akan pecah
.
dan reaksi hidrasi C3A akan terjadi lagi, tetapi akan segera pula terbentuk ettringite yang
baru yang akan membungkus C3A.
 Pada akhirnya, proses ini mengakibatkan perpanjangan waktu pengikatan (setting time).
Makin banyak ettringite yang terbentuk maka waktu pengikatan akan semakin panjang.
Oleh karena itu, gypsum dikenal sebagai retarder (penghambat).
 Pada awal reaksi hidrasi terjadi pengendapan senyawa Ca(OH)2 dan ettringite, senyawa
CSH akan membentuk lapisan pada partikel semen portland, serta senyawa ettringite
membentuk lapisan pada senyawa C3A. Hal ini akan mengakibatkan reaksi hidrasi akan
tertahan, periode ini disebut induction period atau resting period atau dormant period, ini
terjadi pada 1 - 2 jam, dan selama itu pasta masih dalam keadaan plastis. Periode ini
berakhir dengan pecahnya lapisan tersebut, reaksi hidrasi segera terjadi kembali dan
initial set (waktu pengikatan awal) segera tercapai.
 Selama periode beberapa jam, terjadi reaksi hidrasi dari senyawa C3S dan menghasilkan
senyawa CSH. Senyawa CSH ini akan mengisi rongga dan membentuk titik-titik kontak
yang menghasilkan kekakuan.
 Pada tahap-tahap berikutnya, terjadi reaksi senyawa CSH dengan titik-titik kontak yang
akan menghalangi mobilitas partikel-partikel semen portland, akhirnya pasta menjadi
kaku dan final setting (waktu pengikatan akhir) tercapai dan proses pengerasan pun
mulai terjadi secara konstan. Mekanisme terjadinya proses pengikatan (setting) dan
pengerasan (hardenng) digambarkan sebagai berikut :

Penambahan air

Dormant periode Initial setting time


Pasta plastis dan mudah dibentuk

Final setting time


Pasta kaku dan tidak mudah dibentuk

Setting

Padat, kaku dan mulai mengeras

27
..
..
..
..
.
Hardening

28

Anda mungkin juga menyukai