Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kelumpuhan (parese) nervus fasialis merupakan kelumpuhan yang meliputi otot-otot
wajah. Kelumpuhan nervus fasialis ini juga disebut bell’s palsy, bell’s palsy
menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemikan di Swedia tahun 1997.
Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000
orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per
100.000 populasi. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan
yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50
tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan
bisa mencapai 10 kali lipat .
Berdasarkan angka kesakitan diatas, maka kelompok tertarik membahas tentang
pembahasan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Klien Bell’s Palsy”

B. TUJUAN UMUM
Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien
Bell’s palsy dengan menggunakan metode proses keperawatan.

C. TUJUAN KHUSUS
1. Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit Bell’s palsy
2. Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan Bell’s palsy
3. Mampu membuat diagnosa keperawatan berdasarkan anamnesa
4. Mampu membuat rencana keperawatan berdasakan teori keperawatan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. DEFINISI
Paralisis1 nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan nervus fasialis yang dapat
disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, sel-sel schwan dan selubung
mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf otak. Paralisis ini dapat
menetap atau sementara, tergantung kepada penyebab dan sifat kerusakan yang
terjadi.
Kelumpuhan nervus fasialis (Nervus VII) adalah kelumpuhan otot-otot wajah,
sehingga wajah pasien tampak tidak simetris pada waktu berbicara dan
berekspresi.
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor
neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai
adanya penyakit neurologis lainnya.
Kelumpuhan facialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-
degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus
facialis diforamen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen2 tersebut,
yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Priguna
Sidharta, 1985)

Penderita Bell’s Palsy (Kelumpuhan Nervus Fasialis)

1
. Kelumpuhan atau hilangnya daya untuk bergerak
2
. Lubang-lubang pada ujung ceruk-ceruk gigi di dalam tulang rahang

2
2. ETIOLOGI
Penyebabnya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam virus
herpes simpleks. Virus tersebut dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun, dan
akan aktif jika yang bersangkutan terkena stres fisik ataupun psikik. Sekalipun
demikian Bell's palsy tidak menular.
Bell's palsy disebabkan oleh pembengkakan nervus facialis sesisi, akibatnya
pasokan darah ke saraf tersebut terhenti, menyebabkan kematian sel sehingga
fungsi menghantar impuls atau rangsangnya terganggu, akibatnya perintah otak
untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
Kongenital, infeksi (infeksi telinga tengah, infeksi intracranial), tumor (tumor
intracranial atau ekstracranial), trauma kepala, gangguan pembuluh darah
(thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris, dan arteri serebri media), dan
idiopatik (Bell’s palsy).

3. PATOFISIOLOGI
Paralisis bell dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralisis tekanan. Inflamasi
dan edema saraf pada titik kerusakan atau pembuluh nutriennya tersumbat pada
titik yang menyebabkan nekrosis iskemik dalam kanal yang sangat sempit, ada
kelainan wajah berupa paralisis otot wajah, peningkatan lakrimasi (air mata)
sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga dan terdapat kesulitan bicara pada sisi
yang terkena karena kelemahan atau otot wajah, pada kebanyakan klien, yang
pertama kali mengetahui paresis pasialis adalah teman sekantor atau orang
terdekat atau keluarganya.
Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat
lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, lipatan
nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat
bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir
tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Jika klien diminta untuk
memperlihatkan gigi geliginya atau diminta meringis, sudut mulut sisi yang
lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut tampaknya mencong kearah yang sehat.
Setelah paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa, pada
umumnya gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga timbul
gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelompok lain, gerakan yang
mengikuti gerakan otot kelompok lain itu disebut sinkinetik. Adapun gerakan

3
sinkinetik adalah ikut terangkat nya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan
fisura palpebra sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang
bawah ditarik keatas atau kebawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah.
Dalam hal ini, diluar serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah
lumpuh tampak lebih tinggi kedudukannya daripada sisi yang sehat. Oleh karena
itu, banyak kekeliruan mengenai sisi yang memperlihatkan paresis3 fasialis,
terutama jika klien yang pernah mengalami stroke.
Saraf otak yang paling sering rusak atau putus karena trauma kapitis adalah saraf
olfaktorius, kemudian saraf fasialis, lesi traumatis tersebut hampir selamanya
mengenai kanalis fasialis, yaitu fraktur tulang temporal yang tidak selalu dapat
diperlihatkan oleh foto rontgen. Perdarahan dan likuor mengiringi paresis fasialis
perifer traumatis, dengan auroskopi dapat dilihat adanya hematotimpani dengan
atau tanpa terobeknya membrane timpani.
Pada leukemia, paresis pasialis biasanya timbul setelah klien mengeluh tentang
lesu letih dan demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam
selama beberapa minggu. Gejala-gejala dini tersebut sering berlangsung lama
sebelum, leukemia diketahui, setelah pemeriksaan darah, leukemia dapat
diidentifikasi. Gejala-gejala yang mempercepat dilakukannya pemeriksaan darah
adalah pendarahan, pembengkakan kelenjar-kelenjar limfa dan splenohepato-
megalia. Infiltrasi dan perdarahan dapat terjadi disusunan saraf dan tulang
tengkorak.
Pada karsinoma nasofarings paresis fasialis jarang menjadi manifestasi dini. Oleh
karena lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba
dengan tuli konduktif dengan keluhan. Perluasan infiltrative karsinoma nasofaring
berikutnya membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan nafas
melalui hidung. Setelah itu, maka pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan
menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis ocular).
Tumor intracranial yang paling sering menimbulkan paresis fasialis ialah tumor
disudut serebelopontin, yaitu neurinoma akustikus, gejala dini tumor tersebut
adalah tuli satu sisi yang bersifat tuli persetif yang hampir selalu disertai tinnitus
dan gangguan vesribular, kemudian timbul gejala akibat gangguan terhadap
traktus desendens saraf trigeminus yang dapat berupa hemihipestesia ipsilateral

3
. Kelumpuhan ringan pada sebelah badan

4
atau neuralgia trigeminus. Paresis fasialis yang dapat timbul pada tahap
berikutnya jarang bersifat berat. Hal yang paling sering dijumpai adalah
kombinasi paresis fasialis yang ringan sekali dengan ‘tic’ fasialis. (Arif Muttaqin,
2008)

4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis berdasarkan topografi letak lesi :
a. Gejala kelumpuhan intra-temporal tergantung dari letak lesi, dapat ditemukan
kelumpuhan otot-otot wajah atau muka, lagoftalmus, ada tidaknya air mata
pada sisi lesi, gangguan pengecap, hiperakusis, gejala neurologis pada lesi
nuklear.
b. Gejala kelumpuhan ekstratemporal biasanya karena gangguan pada kelenjar
parotis, seperti trauma, radang, dan tumor.

5. KOMPLIKASI
Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi
motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.
Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme4
nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan
kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada
kornea.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menentukan letak lesi dan menentukan
derajat kelumpuhannya, apakah harus dirujuk ke rumah sakit. Dilakukan
pemeriksaan fungsi motor, pemeriksaan gustometer, tes Schirmer (meletakkan
kertas lakmus pada bagian inferior konjungtiva dan dihitung banyaknya sekresi
kelenjar lakrimalis), pemeriksaan eksitabilitas saraf kiri dan kanan, pemeriksaan
refleks stapedius, audivestibular, radiologi, dan elektromiografi.
a. Pemeriksaan Fisik
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik
tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang

4
. Kejang

5
menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana
lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada
kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga
di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain
dalam batas normal.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy.
c. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-
Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke
tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada
pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement)
pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

7. PENATALAKSANAAN
Terapi pertama yang harus dilakukan adalah penjelasan kepada penderita bahwa
penyakit yang mereka derita bukanlah tanda stroke, hal ini menjadi penting karena
penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salah pengertian.
a. Istirahat terutama pada keadaan akut
b. Medikamentosa
Selain itu, dari tinjauan terbaru menyimpulkan bahwa pemberian
kortikosteroid dalam tujuh hari pertama efektif untuk menangani Bell’s palsy.
Pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus bell's palsy yang
secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem
dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai
ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
c. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh.
1) Penanganan mata
Bagian mata juga harus mendapatkan perhatian khusus dan harus dijaga
agar tetap lembab, hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pelumas

6
mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata harus digunakan setiap
malam.
2) Latihan wajah
Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam optimalisasi terapi
adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari, akan
tetapi kualitas latihan lebih utama daripada kuantitasnya. Sehingga latihan
wajan ini harus dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai
dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini berguna
mengingkatkan aliran darah pada otot-otot wajah. Kemudian latihan
dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat
merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-
otot wajah. Sebaiknya latihan ini dilakukan di depan cermin.

B. PROSES KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Riwayat kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada
satu sisi.
2) Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang
keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada
pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan
otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi
dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja.
Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak
sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola
mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda
bell.

7
3) Riwayat penyakti dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor
intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster),
penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian
pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana
klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
4) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognisi dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien
terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga
memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak
gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung

8
adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
(Arif Muttaqin, 2008)

b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy
biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
1) B1 (breathing)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi
didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot
bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas normal. Palpasi
biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan
resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi
napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan
frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal dan tidak
terdengar bunyi jantung tambahan
3) B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
a) Tingkat kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien composmetis.
b) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang
pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental klien mengalami
perubahan.

9
c) Pemeriksaan saraf kranial
i. Saraf I
Biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
ii. Saraf II
Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
iii. Saraf III, IV, VI
Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(lagoftalmos).
iv. Saraf V
Kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi
kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
v. Saraf VII
Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema
nervus fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai
bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri
padanya.
vi. Saraf VIII
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
vii. Saraf IX & X
Paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral
viii. Saraf XI
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
ix. Saraf XII
Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan
pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
d) Sistem motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal,
kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada
kelainan.

10
e) Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa
keadaan sering ditemukan Tic fasialis.
g) Sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada
kelainan.
4) B4 (Blader)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya
volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (bowel)
Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses
menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
klien lebih banyak dibantu oleh orang lain. (Arif Muttaqin, 2008)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk
wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah
b. Anseitas yang berhubungan dengan prognosis penyakit
c. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat
mengenai proses penyakit dan pengobatan

11
3. INTERVENSI
a. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk
wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah
Intervensi :
1) Kaji dan jelaskan kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya
2) Bantu klien menggunakan mekanisme koping yang positif
3) Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan
Libatkan system pendukung dalam perawatan klien (Arif Muttaqin, 2008)

b. Anseitas yang berhubungan dengan prognosis penyakit


Intervensi :
1) Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingi klien dan lakukan
tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
2) Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
3) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.
4) Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat (Arif Muttaqin, 2008)

c. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat


mengenai proses penyakit dan pengobatan
1) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
3) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat
4) Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
5) Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
6) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
7) Hindari harapan yang kosong
8) Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara
yang tepat
9) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit

12
10) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
11) Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau diindikasikan
12) Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
13) Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang
tepat
14) Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat. (NIC NOC)

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa Bell’s Palsy adalah suatu kelainan pada saraf wajah (nervus
fasialis atau N. VII) yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada
otot wajah. Nervus ini sering mengalami gangguan karena mempunyai perjalanan
yang panjang berkelok-kelok, berada di dalam saluran tulang yang sempit dan kaku.
Pengobatan yang diberikan pada pasien Bell’s Palsy berupa kostikosteroid.
Secara teori regimen dosis ini memaksimalkan aktivitas anti inflamasi sementara
meminimalkan efek samping dan konsisten dengan antiinflamasi yang efektif pada
hipersensitiv akut, autoimun, dan kelainan inflamasi lainnya.

B. SARAN
1. Sebaiknya seorang perawat dapat melaksanakn asuhan keperawatan kepada klien
kelumpuhan nervus fasialis perifer (Bell’s Palsy) sesuai dengan indikasi penyakit
2. Sebaiknya seorang perawat dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien
Bell’s Palsy dengan baik dan benar

14
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan System
Persarafan. Jakarta; Salemba Medika
Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk. Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997

NANDA, NIC & NOC. 2010. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta; EGC

Sumber Lain :

http://wikimed.blogbeken.com/kelumpuhan-nervus-fasialis-perifer

http://www.scribd.com/doc/43595347/Bell-s-Palsy-sudibio

15

Anda mungkin juga menyukai