Anda di halaman 1dari 88

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era Millennium Development Goals (MDGs) sudah berakhir pada

tahun 2015, digantikan oleh Sustainable Development Goals (SDGs).

Salah satu target dari SDGs adalah mengakhiri epidemi Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS), Tuberkulosis (TB), malaria dan

neglected tropical diseases serta memberantas hepatitis, water borne

diseases dan penyakit menular lainnya (Global Tuberculosis, 2017).

Sejak ditetapkannya TB menjadi suatu global emergency oleh World

Health Organization (WHO) pada tahun 1992, TB masih menjadi beban

berat kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara miskin dan

berkembang (PDPI, 2011). Tuberkulosis adalah penyakit infeksi

menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTb)

yang dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Penyakit ini

bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan

komplikasi berbahaya hingga kematian (Dinas Kesehatan Jatim, 2015).

Tuberkulosis sering muncul bersamaan dengan infeksi Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Epidemi HIV/AIDS yang terjadi sejak tahun

1980-an semakin memperberat kondisi epidemi TB. Epidemi ini

merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti

menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik


2

tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan salah

satu infeksi oportunistik yang banyak terjadi dan menjadi penyebab utama

kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Dinas Kesehatan Jatim,

2015)(Kemenkes RI, 2015).

Human Immunodeficiency Virus meningkatkan epidemi TB dengan

beberapa cara. Telah diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang

paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru

terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Human

Immunodeficiency Virus meningkatkan angka kekambuhan TB, baik

disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan

kasus TB pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada

masyarakat umum dengan atau tanpa terinfeksi HIV (Lubis, 2005).

TB dapat terjadi pada setiap tahap penyakit HIV dan seringkali

menjadi manifestasi klinis pertama yang diketahui dari infeksi HIV yang

mendasarinya (Sonnenberg et al., 2005)(Havlir, Getahun, Sanne, &

Havlir, 2008). Risiko berkembangnya TB pada penderita HIV dua puluh

kali lebih besar dibanding penderita yang tidak terinfeksi HIV (Getahun,

Gunneberg, Granich, & Nunn, 2010). Meningkatnya koinfeksi ini sejalan

dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh yang dapat

dinilai dengan kadar Cluster of Differentiation 4 (CD4). Semakin rendah

kadar CD4, risiko untuk tertular TB menjadi semakin besar, semakin

meningkat pula angka kematian yang terjadi (Sonnenberg et al., 2005).


3

Koinfeksi dengan HIV mengarah ke tantangan dalam diagnosis dan

pengobatan tuberkulosis. Terjadinya peningkatan jumlah penderita TB

yang resistan terhadap obat, termasuk MDR-TB dan Extensively Drug

Resistant TB (XDR-TB) makin menyulitkan pengobatan dan

berkontribusi terhadap peningkatan mortalitas (Padmapriyadarsini,

Narendran, & Swaminathan, 2011).

Masalah yang banyak dihadapi pada penderita koinfeksi HIV-TB

adalah tidak semua penderita dapat mengeluarkan sputum dengan

adekuat walaupun dengan menggunakan induksi sputum

(Padmapriyadarsini et al., 2011). Tuberculosis Global report 2017 yang

menyoroti kebutuhan mendesak adanya teknologi baru untuk

meminimalkan hambatan ke layanan kesehatan, memastikan pengujian

kualitas untuk kelompok yang sulit didiagnosis, memperluas spektrum

pengujian kerentanan obat, dan mengurangi biaya diagnostik (Global

Tuberculosis, 2017).

Pemeriksaan sputum mikroskopis adalah salah satu pemeriksaan

yang paling efektif untuk mendeteksi TB. Secara teknis, pemeriksaan

sputum BTA tidak mahal, mudah untuk dilakukan dan sangat spesifik di

daerah dengan prevalensi tinggi, namun, nilai sensitivitasnya rendah

yaitu sekitar 60% bila dibandingkan dengan kultur sputum (Singhal &

Myneedu, 2015).
4

Pemeriksaan standar baku untuk menegakkan diagnosis TB

pada pasien HIV adalah dengan pemeriksaan kultur sputum.

Pemeriksaan kultur tidak hanya dapat menentukan Mycobacterium, tetapi

dapat pula mengidentifikasi dan menentukan resistensi obat, tetapi hasil

pemeriksaan kultur sputum membutuhkan waktu hingga 28 - 42 hari

karena Mycobacterium merupakan organisme yang tumbuhnya lambat

(Kemenkes, 2012; WHO, 2006) selain itu membutuhkan infrastruktur

laboratorium yang canggih untuk implementasi yang efektif. Selain itu,

pemeriksaan ini sulit mendiagnosis kasus TB ekstra paru dan kasus TB

pada anak-anak yang tidak dapat menghasilkan dahak (Norbis et al.,

2014; Perkins & Cunningham, 2007; Piccini, Chiappini, Tortoli, de

Martino, & Galli, 2014)

Pemeriksaan lain adalah dengan tes asam nukleat. Tes ini juga

memiliki tingkat akurasi diagnostik yang tinggi namun biayanya mahal

dan lebih sulit dikerjakan bila dibandingkan dengan Point Of Care (POC)

(McNerney & Daley, 2011; Wang et al., 2016). Sejumlah penelitian

terbaru telah berfokus pada pengembangan tes untuk deteksi langsung

penanda antigenik primer MTb pada serum, urin, dan cairan tubuh

lainnya (Reither et al., 2009; Tucci, Gonzalez-Sapienza, & Marin, 2014).

Satu penanda khususnya, Lipoarabinomannan mannose-capped

(ManLAM), dikeluarkan melalui urin selama infeksi aktif dengan TB paru,

dan telah menjadi subjek dari beberapa penyelidikan mengenai

kegunaannya sebagai biomarker klinis untuk infeksi.


5

Lipoarabinomannan (LAM) merupakan komponen lipopolisakarida

yang terdapat pada dinding sel genus Mycobacterium yang dilepaskan

dari sel-sel bakteri yang aktif secara metabolik atau mengalami

degenerasi dan tampaknya hanya ada pada orang dengan penyakit TB

aktif. Lipoarabinomannan secara aktif disekresikan melalui makrofag

alveolar yang terinfeksi. Konsentrasi LAM yang tinggi memudahkan

antigen masuk ke sirkulasi sistemik sehingga LAM dapat terdeteksi pada

penderita TB paru. Konsentrasi LAM juga dapat dijumpai pada MTb

diseminata dalam aliran darah, terutama pada infeksi HIV. Antigen ini

terlepas dari metabolik aktif Mycobacterium, dan karena ukuran LAM

mirip dengan mioglobin maka dapat masuk melalui sirkulasi darah dan

renal sehingga dapat terdeteksi pada urin penderita TB aktif (Dheda dkk,

2013).

Pada tahun 2015, WHO merilis panduan kebijakan tentang deteksi

antigen LAM dengan metode Lateral Flow (LF) - LAM ALERE

menggunakan sampel urin (United States Environmental Protection

Agency, 2015). Akan tetapi, LF-LAM hanya diindikasikan pada pasien

yang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah (CD4 ≤ 100 sel/µL) atau

dalam kondisi seriously ill. LF-LAM tidak boleh digunakan untuk

diagnosis TB karena memiliki kualitas bukti rendah.

Pengujian berbasis urin memiliki kelebihan dibandingkan uji dahak

karena urin mudah dikumpulkan dan disimpan, serta tidak memiliki risiko

pengendalian infeksi terkait dengan pengumpulan dahak. (United States


6

Environmental Protection Agency, 2015) Akan tetapi, rendahnya

sensitifitas dan spesifisitas serta adanya gangguan pada fungsi ginjal,

seperti nefropati HIV akan mempengaruhi kemampuan LAM untuk

keluar melalui urin sehingga sangat diperlukan penelitian untuk

mendeteksi LAM menggunakan spesimen lainnya.

Selain menggunakan urin, pemeriksaan LAM juga dapat

menggunakan serum, sputum, cairan pleura, dan cairan serebrospinal.

Studi yang dilakukan oleh Amin et al., 2018 menunjukkan bahwa bahwa

LAM serum ELISA dapat menjadi immunoassay berbasis LAM untuk

diagnosis TB.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk

mengetahui apakah pemeriksaan LAM serum memiliki hasil diagnostik

yang lebih baik sehingga dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada

penderita dengan koinfeksi HIV-TB. Lipoarabinomannan serum

diharapkan dapat menjadi parameter pemeriksaan TB untuk

mendiagnosis koinfeksi HIV-TB disamping pemeriksaan-pemeriksaan

yang telah ada.


7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apakah Lipoarabinomannan (LAM) serum dapat digunakan untuk

mendiagnosis Tuberkulosis paru pada penderita yang diduga menderita

koinfeksi HIV-TB di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum:

Untuk mengetahui nilai diagnostik Lipoarabinomannan serum pada

pasien suspek koinfeksi HIV-TB di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo,

Makassar.

2. Tujuan Khusus:

a. Untuk mengetahui kadar LAM serum pada pasien suspek

koinfeksi HIV-TB.

b. Untuk mengetahui sebaran hasil sputum mikroskopis pada

pasien suspek koinfeksi HIV-TB.

c. Untuk mengetahui sebaran hasil radiologis pada pasien suspek

koinfeksi HIV-TB.

d. Untuk mengetahui nilai sensitivitas LAM serum pada pasien

suspek koinfeksi HIV-TB.


8

e. Untuk mengetahui nilai spesifisitas LAM serum pada pasien

suspek koinfeksi HIV-TB.

f. Untuk mengetahui nilai duga positif LAM serum pada pasien

suspek koinfeksi HIV-TB.

g. Untuk mengetahui nilai duga negatif LAM serum pada pasien

suspek koinfeksi HIV-TB.

h. Untuk mengetahui akurasi LAM serum pada pasien suspek

koinfeksi HIV-TB.

D. Hipotesis

Uji LAM serum memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik

sehingga dapat digunakan untuk mendiagnosis Tuberkulosis pada

penderita suspek koinfeksi HIV-TB.

E. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan informasi ilmiah mengenai uji LAM serum.

2. Dapat digunakan sebagai uji alternatif untuk menegakkan diagnosis

Tuberkulosis sehingga menjadi data dasar untuk pengambilan

kebijakan dalam penatalaksanaan pasien koinfeksi HIV-TB di RSUP

Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.

3. Dapat menjadi bahan acuan penelitian selanjutnya.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV (Human immunodeficiency virus)

1. Definisi

HIV adalah virus Ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family

Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus yang

menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Human

Immunodeficiency Virus akan menginfeksi tubuh dan memiliki masa

inkubasi yang lama dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Xhilaga & Oelrichs,

2007).

Orang yang terinfeksi HIV akibatnya menjadi rentan terhadap

penyakit yang dikenal sebagai Infeksi Oportunistik (IO) karena

rusaknya sistem imunitas, dan sepanjang hidupnya akan menjadi

infeksius sehingga dapat menularkan virus melalui cairan tubuh

selama tidak mendapatkan terapi Anti Retroviral (ARV) (Kummar et al,

2015).

2. Epidemiologi

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah kasus

HIV baru yang terus meningkat. Seperti halnya dengan negara Asia

lainnya, epidemi HIV di Indonesia termasuk dalam epidemi

terkonsentrasi, kecuali tanah Papua dengan tingkat epidemi HIV


10

meluas. Hasil STBP (Survei Terpadu Biologis dan Perilaku) 2013

pada populasi kunci menunjukkan prevalensi yang terus tinggi pada

Pengguna Napza Suntik (Penasun) 39,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL)

13% dan Lelaki Berisiko tinggi (LBT) 0,2% serta prevalensi sebesar

7,2% pada Wanita Pekerja Seks Langsung (WPSL) dan 1,6% pada

Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung (WPSTL) (Kemenkes RI,

2015).

Proyeksi dengan menggunakan Asian Epidemic Model (AEM)

menunjukkan epidemi HIV yang terus meningkat dan penularan

melalui hubungan heteroseksual merupakan cara penularan

terbanyak menggantikan penularan melalui penggunaan jarum

suntik bersama pada penasun. Estimasi jumlah ODHA dewasa

meningkat dari 545.000 pada tahun 2011 menjadi 735.000 pada

tahun 2015 (Kemenkes RI, 2015).

3. Patogenesis

Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga

cara, yaitu: (1) Vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama

mengandung, persalinan, dan menyusui), (2) Transeksual

(homoseksual maupun heteroseksual), (3) Horizontal yaitu kontak

antar darah atau produk darah yang terinfeksi (Xhilaga, 2007;

Calles, 2010).
11

Sistem imun menjadi target utama dari infeksi HIV dimana virus

akan menyerang sel limfosit T helper yang mengandung marker

molekul CD4. Setelah HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus

masuk ke dalam target dan kemudian dengan enzim reverse

transcriptase virus tersebut merubah bentuk RNA agar dapat

bergabung dengan Deoxyribonucleic acid (DNA) sel target.

Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan

genetik virus dan akan membentuk virus baru, dan menginfeksi sel

host lainnya. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversible dan

berlangsung seumur hidup (Klatt Edward C. MD, 2016).

Perjalanan khas infeksi HIV terdiri dari beberapa tahapan yaitu

infeksi primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis,

peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian. Durasi antara

infeksi primer sampai penyakit klinis rata-rata sekitar 10 tahun. Pada

awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel, tetapi

terlebih dahulu mengalami replikasi dalam tubuh penderita dan lambat

laun akan merusak limfosit T CD4. Masa inkubasi adalah waktu yang

diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan

gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi

dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular

virus HIV yang dikenal dengan masa window period. (Kummar et al,

2015).
12

Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi

mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama

sekitar 8-12 minggu. Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama

masa ini, dan menyerang organ limfoid, dan terjadi penurunan

jumlah sel Limfosit T CD4 yang beredar secara signifikan. Respon

imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan setelah

terinfeksi, viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali

meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi

secara sempurna sehingga sel-sel yang terinfeksi HIV menetap

dalam limfoid (Kummar et al, 2015).

Setelah beberapa bulan atau tahun akan terlihat gejala klinis

pada penderita. Sebagian penderita memiliki gejala tidak khas pada

infeksi HIV akut, 3-6 minggu pasca terinfeksi yaitu demam, nyeri

menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau

batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik

(tanpa gejala). Hal ini berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada

sekelompok kecil penderita yang cepat hanya sekitar 2 tahun dan

ada yang sangat lambat (Klatt Edward C. MD, 2016; Veronique

Grouzard et al, 2016).

Secara bertahap sistem kekebalan. tubuh yang terinfeksi oleh

virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak

sehingga penderita akan menampakkan gejala akibat infeksi

oportunistik (Klatt Edward C. MD, 2016 ; Kummar et al, 2015).


13

4. Manifestasi Klinis

Berdasarkan perjalanan infeksi HIV, jumlah Iimfosit T-CD4,

jumlah virus dan gejala klinis dibagi menjadi 4 stadium: (Calles, 2010

Bartlett, 2013)

1. Asimptomatik (Stadium 1)

Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses

replikasi yang menghasilkan virion yang jumlahnya berjuta-

juta. Viremia dari virion ini akan memicu munculnya sindroma

infeksi akut dengan gejala seperti flu. Sebanyak 50 - 70% orang

yang terinfeksi HIV mengalami sindroma infeksi akut ini selama

3 - 6 minggu dengan gejala umum seperti demam, faringitis,

limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala,

mual-muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. Pada

fase akut terjadi penurunan Iimfosit T dan kemudian terjadi

kenaikan kembali karena terjadi respon imun. Jumlah Iimfosit T

pada fase ini masih diatas 500 sel/µL. Fase ini dapat

berlangsung 8 - 10 tahun. Pada pemeriksaan Western blot atau

immunofluorescence memberikan hasil positif

2. Gejala dan tanda ringan pada HIV (Stadium 2)

Mulai timbul gejala dan tanda ringan akibat infeksi HIV.

Gejala yang dapat muncul berupa kandidiasis, limfadenopati,

moluskum kontagiosum, herpes zooster. Kadar viral load

meningkat, kadar CD4 turun antara 350 - 499 sel/µL.


14

3. Gejala dan tanda lanjut pada HIV (stadium 3)

Sistem imun pada penderita HIV semakin menurun dan

muncul berbagai infeksi sekunder seperti kandidiasis persisten,

pneumonia berulang, demam yang berkepanjangan, penurunan

berat badan. Kadar CD4 antara 200 - 349 sel/µL.

4. Stadium 4

Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara

berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respon imun tidak

mampu meredam jumlah virion yang berlebihan. Limfosit

semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak.

Terjadi penurunan jumlah limfosit T hingga di bawah 200 sel/µL.

Penurunan ini menyebabkan sistem imun rentan terhadap infeksi

sekunder, seperti pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis,

toksoplasmosis, ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi

sitomegalovirus, kandidiasis esofagus maupun trakea.

Gambar 2.3
Gambar 1. Jumlah CD4, beban virus, dan perjalanan infeksi HIV
(Pantaleo G, 1993)
15

Tabel 1. Stadium Klinis HIV (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014)


Stadium I
 Asimtomatik
 Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium II
 Penurunan berat badan derajat sedang yang  Sariawan berulang (2 episode atau lebih dalam 6  Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat
tidak dapat dijelaskan (< 10% BB) bulan) dijelaskan
 Infeksi saluran napas atas berulang (episode  Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic  Eritema linea ginggiva
saat ini, ditambah 1 episode atau lebih dalam 6
bulan)
eruption)  Infeksi virus wart luas
 Erupsi Papular Pruritik 
 Herpes zoster Moluskum kontangiosum luas
 Dermatisis seboroik 
 Keilitis angularis Pembesaran kelenjar parotis yang tidak dapat
 Infeksi jamur pada kuku dijelaskan
Stadium III
 Penurunan berat badan derajat sedang yang  Oral hairy leukoplakia  Anemia yang tidak dapat dijelaskan (< 8 g/dL),
tidak dapat dijelaskan (< 10% BB)
 Tuberkulosis paru netropenia (< 1000/ mm3) dan/atau
 Diare kronik selama >1 bulan yang tidak dapat trombositopenia kronis (< 50.000/ mm3), > 1
dijelaskan  TB kelenjar bulan)
 Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (>  Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif  Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan
nekrotikan akut
37,5oC intermitten atau konstan, > 1 bulan)  Pneumonitis interstisial limfoid (PIL)
 Kandidiasis oral (di luar masa 6-8 minggu  Infeksi bakterial berat (seperti pneumonia, simtomatik
meningitis, empiema, piomiositis, infeksi tulang
pertama kehidupan)
atau sendi, bakteremia, radang panggul berat)  Penyakit paru berhubungan dengan HIV,
termasuk bronkiektasis
Stadium IV
 HIV wasting syndrome  Toksoplasmosis otak  Kriptokokosis ekstrapulmonar (termasuk
 Pneumonia Pneumocystis (PCP)  Ensefelopati HIV meningitis)
 Pneumonia bacterial berulang (episode saat ini  Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata  Karsinoma serviks invasif
ditambah satu episode atau lebih dalam 6 bulan
 Progressive multi focal leukoencephalopathy  Leishmaniasis diseminata atipikal
terakhir)
(PML)  Nefropati terkait HIV (HIVAN)
 Infeksi herpes simplex kronik (orolabial, genital,
atau anorektal selama > 1 bulan atau viseral tanpa  Kriptosporidiosis kronik  Kardiomiopati terkait HIV
melihat lokasi ataupun durasi)  Isosporiasis kronik  Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak
 Kandidiasis esofageal  Mikosis diseminata (histoplasmosis, dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap
terapi standar
 TB ekstraparu coccidiomycosis)
  Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya
 Sarkoma Kaposi Septikemi berulang (termasuk Salmonella non-
empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi,
tifoid)
 Infeksi Sitomegalovirus (retinitis atau infeksi CMV meningitis, kecuali pneumonia)
 Limfoma (Sel B non-Hodgkin atau limfoma
pada organ lain kecuali liver, limpa dan KGB)
serebral) atau tumor solid terkait HIV lainnya)  Kandidiasis esophagus (atau trakea, bronkus,
atau paru)
16

B. TUBERKULOSIS

1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex (PDPI, 2011) Berdasarkan

lokasi organ yang terkena, TB diklasifikasikan menjadi 1). TB paru

yaitu kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial.

TB miliar diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru.

2). TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar

parenkim paru, seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen,

saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. TB

limfadenopati intrathorakal atau TB efusi pleura tanpa adanya

kelainan pada paru termasuk dalam kasus TB ekstraparu (WHO,

2013).

2. Epidemiologi

Berdasarkan data dari Global Tuberculosis Report 2017,

Indonesia termasuk ke dalam 14 negara dengan angka kejadian

yang tinggi untuk TB, TB-HIV dan TB- MDR (Gambar 1) selain

Angola, Cina, Kongo, Ethiopia, India, Kenya, Mozambik, Myanmar,

Nigeria, Papua Nugini, Afrika Selatan, Thailand dan Zimbabwe

(Global Tuberculosis, 2017).


17

Gambar 2. Negara-negara dengan beban berat untuk TB, TB / HIV


dan MDR-TB (Global Tuberculosis, 2017)

Diperkirakan insiden TB di tahun 2016 sekitar 10,4 juta orang

(90% orang dewasa; 65% pria). Sebagian besar insiden terjadi di

wilayah Asia Tenggara (45%), Afrika (25%) dan Pasifik barat (17%);

proporsi kasus yang lebih kecil terjadi di wilayah Mediterania Timur

(7%), Eropa (3%) dan Amerika (3%). Lima negara dengan jumlah

kasus insiden tertinggi tahun 2016 berturut-turut adalah India,

Indonesia, Cina, Filipina dan Pakistan (Global Tuberculosis, 2017).

Diperkirakan 10% dari insiden kasus TB pada tahun 2016

berada di antara orang yang hidup dengan HIV. Proporsi kasus

koinfeksi HIV-TB adalah tertinggi di negara-negara di wilayah Afrika,

melebihi 50 % di bagian Afrika bagian selatan. Risiko terjadinya TB

pada 37 juta orang yang hidup dengan HIV adalah 21 kali lebih tinggi
18

daripada risiko pada seluruh penduduk dunia (Global Tuberculosis,

2017).

Gambar 3. Perkiraan prevalensi HIV pada kasus TB baru dan


kambuh, 2016 (Global Tuberculosis, 2017)

Estimasi jumlah kasus TB baru (mencakup HIV + TB) pada

tahun 2015 adalah 1.020.000 (658.000 - 1.450.000) dengan

notifikasi TB yang menurun secara keseluruhan tetapi terjadi

peningkatan kasus TB/ HIV +. Jumlah total kasus TB yang

dinotifikasi adalah 330.729 (93% paru) dan 11% diketahui status

HIV-nya (Global WHO TB report 2016).

Tuberkulosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

seluruh dunia, satu peringkat di atas HIV/ AIDS. Pada tahun 2016,

diperkirakan ada 1,3 juta kematian TB dengan HIV negatif (turun dari

1,7 juta dibandingkan tahun 2000) dan tambahan 374.000 kematian

di antara orang HIV positif (Global Tuberculosis, 2017).


19

Tabel 2. Notifikasi kasus koinfeksi TB HIV tahun 2009-2014. (Dinas

Kesehatan Jatim, 2015)

Tabel Notifikasi Kasus Koinfeksi TB HIV Tahun 2009-2014


NO VARIABEL 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 Pasien TB ternotifikasi 294.731 302.861 321.308 331.441 327.103 324.539
Pasien TB yang
2 2.393 2.751 6.003 6.317 10.497 16.135
mengetahui status HIV
3 Pasien TB yang HIV positif 1.007 1.106 2.547 2.089 2.438 2.399
Pasien TB yang HIV positif
4 102 325 990 1.063 1.149 441
yang mendapatkan ART
Pasien TB yang HIV positif
5 0 693 1.702 1.138 1.274 561
yang mendapatkan PPK
Sumber : Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2016

Koinfeksi HIV dan TB adalah masalah yang terus berlanjut

bahkan hingga saat ini. Di Indonesia, meningkatnya epidemi TB

terbukti berpengaruh terhadap meningkatnya epidemi HIV, dan TB

menjadi penyebab kematian utama pada orang dengan HIV/AIDS.

Strategi manajemen TB-HIV dikenal sebagai kolaborasi TB-HIV, yang

dapat didefinisikan singkat sebagai upaya mengintegrasikan kegiatan

kedua program secara fungsional demi berkurangnya beban kedua

penyakit tersebut secara efektif. WHO juga memiliki program serupa

yang diadopsi oleh Indonesia sebagai salah satu negara dengan

beban TB-HIV yang tinggi.


20

3. Etiologi Mycobacterium tuberculosis

Dinding sel Mycobacterium merupakan struktur yang kompleks

yang terdiri dari beberapa komponen penting untuk imunogenitias.

Komponen tersebut terdiri dari peptidoglycan, arabinogalactan,

myocolic acid lipid, yang merupakan ciri khas dari sel Mycobacterium,

dan lapisan glikolipid yang merupakan lapisan teratas dari plasma

membran. LAM, lipomannan (LM), dan phosphatidylinositol (PI)

mannoside (PIMs) merupakan mannose dari glikolipid yang penting

pada pembungkus sel. Peptidoglycan secara umum dapat ditemukan

pada bakteri, sedangkan mycolic acid hanya ditemukan pada

Mycobacterium dan merupakan asam lemak yang merupakan bagian

unik dari Mycobacterium. (Fukuda dkk, 2013; Cheepsattayakorn,

2005; Stronhmeier, 1999).

Pembungkus dari MTb berguna untuk pertahanan dalam tubuh

pejamu yang terinfeksi dan terhadap beberapa obat anti

Mycobacterium yang menghambat biosintesis dan komponen dinding

sel. Lipoarabinomannan merupakan melokul non-peptida yang

mengatur respon imun pejamu, sedangkan ManLAM merupakan

molekul anti inflamasi yang kuat (Nigou, 2003).

Lipoarabinomannan berukuran 17.500 dalton, dilepaskan dari

metabolik aktif atau sel bakteri selama infeksi TB (Peter dkk, 2010).

Molekul-molekul LAM membentuk suatu ikatan non kovalen dengan

plasma Mycobacterium melalui glikofosfolipid dan permukaan


21

dinding sel. Molekul LAM memiliki tiga struktur utama yaitu

glikofosfolipid, mannan, dan arabinan. Glikofosfolipid umumnya

terdapat pada semua spesies Mycobacterium. Masing-masing

molekul LAM memiliki capping yang berbeda-beda tergantung jenis

spesiesnya. Molekul LAM dengn cap mannosylated (ManLAM)

terdapat pada spesies MTb, Mycobacterium lepra, Mycobacterium

bovis. Molekul LAM dengan cap fosfoinositol (PILAM) terdapat pada

Mycobacterium smegmatis. Sedangkan Mycobacterium chelonae

tidak memiliki cap mannose atau fosfoinositol, tetapi memiliki bentuk

cap molekul Ara LAM. (Lawn, 2012).

Lipoarabinomannan dapat menginduksi sitokin imunosupresif

termasuk TGF- B, menginduksi nitric oxide (NO), TNF-A, dan

melepaskan interleukin-12 (IL-12) ke dalam pembuluh darah perifer

pada tuberkulosis yang baru didiagnosis (Cheepsattayakorn, 2005).

Pada saat terjadi infeksi, pejamu akan mengeluarkan antibodi untuk

melawan antigen mikobakterium. Antigen humoral nonprotein tersebut

adalah LAM. Sirkulasi antibodi LAM dapat ditemukan pada penderita

tuberkulosis aktif (Stronheimerer., 1997).

Lipoarabinomannan tidak hanya terdapat pada MTb tetapi juga

ditemukan pada Mycobacterium leprae, Mycobacterium bovis,

Mycobacterium avium, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium

fortuitum, Mycobacterium smegmatis, dan Mycobacterium chelonae


22

(Mishra., 2011). . Gambar 3 menunjukkan struktur dinding sel

Mycobacterium (Velayati dan Parissa, 2016)

Gambar 4 . Struktur dinding sel Mycobacterium


(Velayati dan Parissa, 2016)

4. Patogenesis Tuberkulosis

Setelah infeksi pertama oleh MTb, makrofag akan bergerak

menuju tempat infeksi dan memfagosit basil MTb. Namun, karena

struktur dinding selnya, tuberkel basil dapat bertahan dan kemudian

menginfeksi makrofag dan tumbuh seperti biasa. (Irianti, Kuswandi,

Yasin, & Kusumaningtyas, 2016)

Untuk mengatasi infeksi MTb, sistem imun tubuh mencoba

strategi pertahanan lain. Sejumlah sel pertahanan sampai di kelenjar

limfe dan mengelilingi area infeksi. Sel-sel ini membentuk gumpalan


23

sel keras dengan sebutan tuberkel. Sel ini membantu untuk

membunuh basil melalui pembentukkan dinding untuk mencegah

penyebaran infeksi lebih lanjut. Pada beberapa kasus, sel pertahanan

dapat merusak semua tuberkel basil secara permanen. (Irianti et al.,

2016). Bila sel pertahanan tidak mampu untuk merusak semua

tuberkel basil maka kuman akan mengalami dormat. Pasien tidak

menunjukkan gejala dan tidak dapat menularkannya ke orang lain.

Kondisi tersebut dikenal dengan TB laten. Bakteri dormant dapat aktif

kembali dan merusak dinding sel pertahanan dalam suatu proses

yang dikenal sebagai Secondary TB infection. Infeksi ini dapat terjadi

ketika sistem imun tubuh menjadi lemah dan tidak mampu melawan

bakteri. Secondary TB infection biasanya terjadi dalam 5 tahun dari

primary infection. Secondary TB infection sering dianggap sebagai

onset penyakit TB aktif (mulai menyebabkan gejala) (WHO, 2004).

Patogenesis LTBI dan penyakit TB dapat dilihat pada gambar.


24

Gambar 5. Patogenesis LTBI dan Penyakit TBC (CDC, 2016)

4.1 TUBERKULOSIS PRIMER

Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan

bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu

sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek

primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja

dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang

primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju

hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh

pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis


25

regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis

regional dikenal sebagai kompleks primer. (PDPI, 2011)

Kompleks primer ini akan mengalami salah satu kondisi

sebagai berikut: (PDPI, 2011)

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

(restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain

sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara:

a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu

contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian

dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus

lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar

sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas

bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman

tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan

peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang

dikenal sebagai epituberkulosis.

b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru

bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran

ini juga terjadi ke dalam usus.


26

c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian

penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan

tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang

ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi

bila tidak terdapat daya tahan tubuh yang adekuat,

penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat

seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat

menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,

misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan

sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin

berakhir dengan:

 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya

pertumbuhan terbelakang pada anak setelah

mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma), atau

 Meninggal.

4.2 TUBERKULOSIS POST PRIMER

Infeksi MTb post primer akan muncul beberapa bulan

atau tahun setelah terjadi infeksi primer karena reaktivasi atau

reinfeksi. Hal ini terjadi akibat daya tahan tubuh yang lemah.

Infeksi tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini yang

umumnya terdapat pada segmen apikal lobus superior atau


27

lobus inferior dengan kerusakan paru yang luas dan biasanya

pada orang dewasa (PDPI, 2011).

TB merupakan IO yang sering terdapat pada penderita

dengan HIV dan dapat terjadi pada stadium berapa pun dari

HIV. Terdapat hubungan antara HIV dan MTb. Makrofag dan

limfosit alveolar yang terdapat di permukaan epitel alveoli

adalah sel pertahanan utama parenkim paru. Terinfeksinya

makrofag dan limfosit ini merupakan proses utama

patogenesis penyakit paru pada HIV. lnfeksi TB paru berat

akan menurunkan kadar CD4 sehingga infeksi TB yang terjadi

pada penderita HIV akan meningkatkan angka kematian dua

kali lipat dalam setahun dan akan meningkatkan angka

kematian tiga kali lipat pada kadar CD4 dibawah 200 sel/µL

(Lee dkk, 2000; Jeong, 2008).


28

C. Koinfeksi HIV-TB

1. Patogenesis

Infeksi HIV adalah salah satu faktor risiko yang paling penting

untuk perkembangan penyakit TB. Menurunnya sistem kekebalan

tubuh yang disebabkan oleh HIV mendukung replikasi mikobakteri

(Feldman, Polverino, Ramirez, Feldman, & Polverino, n.d.). Secara

bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan

menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak sehingga penderita akan

menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik (Klatt Edward,

2016; Frontieres Medecins, 2016).

Dalam hal ini, infeksi oportunistik tuberkulosis pada pasien HIV

terjadi karena penurunan imunitas seluler tubuh. Penularan

tuberkulosis paru terjadi setelah kuman dibatukkan atau dibersinkan

keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Pada fase transisi

ini, partikel infeksi dapat menetap 1-2 jam dalam udara bebas. Infeksi

bisa terjadi disebabkan oleh infeksi primer atau infeksi laten. Infeksi

primer terjadi ketika kuman TB masuk dalam saluran pernapasan dan

berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan di sitoplasma

makofag alveoli, yang mengakibatkan peradangan. Kuman yang

membentuk lesi kecil di jaringan paru akan membentuk sarang

tuberculosis disebut ghon fokus. Infeksi berkembang melalui kelenjar

limfe hilus dan mediastinum untuk membentuk kompleks primer, dan

juga melalui peredaran darah sehingga menyebar masuk ke organ


29

tubuh lain. Infeksi tersebut terjadi dalam 3 minggu pasca infeksi primer.

Infeksi ini disebabkan karena imunitas tubuh menurun pada pasien

HIV sehingga kurangnya atau tidak adanya perlawanan terhadap

kuman TB. Sehingga kuman TB dengan mudahnya menyebabkan

infeksi primer pada pasien HIV-TB (Agbaji O et al, 2013).

Infeksi laten terjadi ketika kuman yang dormant teraktivasi setelah

beberapa bulan atau tahun pasca infeksi primer disebabkan karena

sistem imunitas seluler menurun. Pada infeksi HIV terjadi penurunan

signifikan sel limfosit T CD4 yang merupakan mediator utama

pertahanan imun melawan MTb. Hal ini menyebabkan infeksi

opurtunistik tuberkulosis yang akan meningkat seiring dengan derajat

beratnya imunosupresi yang terjadi pada infeksi HIV. Setelah

reaktivasi dorman akan terbentuk sarang dini kembali dan bisa

menyebabkan sembuh tanpa bekas, atau sembuh dengan bekas

(jaringan fibrotik), atau berkembang menjadi granuloma yang berisi

tuberkel (Manalu M dkk, 2012)

Saat terinfeksi kuman TB, imunitas non spesifik dan spesifik

melakukan perlawanan. Imun spesifik terdiri dari CMI (Cell mediated

Immunity) dan DTH (Delayed Type Hipersensitify). Cell mediated

Immunity akan mengaktifkan makrofag alveolar menjadi makrofag

teraktifasi sehingga bisa membunuh kuman intrasel, sedangkan DTH

karena rangsangan lesi yang luas membuat lisis makrofag yang

inkompeten reaksi ini membunuh secara ekstrasel, sehingga sel mati


30

ini mengeluarkan enzim hidrolitik yang menyebabkan nekrosis

kaseosa. (Subagyo A dkk, 2012; Manalu M dkk, 2012). Hal tersebut

merupakan mekanisme sistem imun dalam melakukan perlawanan

terhadap kuman TB, tetapi pada infeksi HIV deplesi limfosit inilah yang

menyebabkan suseptibilitas terhadap tuberkulosis meningkat sehingga

mudahnya terjadi infeksi oportunistik. (Amin Z dkk, 2013).

Pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah,

bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel yang

terbentuk bertambah banyak dan membentuk sebuah ruang di dalam

paru-paru yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak).

Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan

sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi

MTb (Subagyo A dkk, 2012; Melkamu H et al, 2013).

Disfungsi kekebalan bawaan dan adaptif dapat memungkinkan

replikasi mikobakteri dalam jaringan paru dan ekstraparu. Dalam kasus

imunodefisiensi yang parah, granuloma tidak dapat dibuat dan

mikobakteri menyebar menyebabkan kerusakan jaringan paru yang

serius (Kleinnijenhuis, Oosting, Joosten, Netea, & Van Crevel, 2011;

Urdahl, Shafiani, & Ernst, 2011). Hal Ini memiliki hubungan yang jelas

dengan penurunan jumlah CD4, namun paparan variabel lain yang

dapat meningkatkan kemungkinan penyakit TB dapat mendukung efek

sinergis atau tambahan, terlepas dari keparahan imunodefisiensi

(Creswell et al., 2011).


31

Gambar 6. Koinfeksi HIV-1 dan MTB meningkatkan risiko


perkembangan penyakit tuberkulosis aktif dan HIV-1.
(Bell & Noursadeghi, 2018)

Gambar (a) memperlihatkan risiko TB aktif meningkat hingga 2-

5 kali lipat di atas garis baseline segera setelah seseorang terinfeksi

HIV - 1 selama fase awal dan fase kronis infeksi. Seiring

perkembangan HIV-1 dan imunodefisiensi memburuk, risiko TB

selanjutnya akan meningkat hingga setidaknya 20 kali lebih besar

daripada populasi umum. Risiko TB diperoleh seiring rendahnya


32

jumlah sel T CD4+. Selain itu, terapi antiretroviral untuk HIV-1 tidak

sepenuhnya mengembalikan risiko ke baseline. Risiko TB aktif tetap

lebih dari empat kali lipat di atas baseline bahkan setelah jumlah

CD4+ sel T pulih. (Bell & Noursadeghi, 2018)

Pada gambar (b), Insiden koinfeksi M. tuberculosis pada individu

yang terinfeksi HIV-1 meningkatkan replikasi HIV-1 dan keragaman

virus. Hal ini juga dapat mengaktivasi kekebalan kronis dan

mempercepat perkembangan penyakit HIV-1. (Bell & Noursadeghi,

2018)

Disfungsi kekebalan progresif yang disebabkan oleh infeksi HIV

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi MTb serta perkembangan

dari infeksi laten menjadi TB aktif. Selanjutnya, saat orang dengan

koinfeksi HIV-TB diobati dengan ARV, maka Immune Reconstitution

Inflammatory Syndrome (IRIS) mungkin berkembang di mana sistem

kekebalan tubuh pulih untuk bereaksi terhadap infeksi bakteri sehingga

dapat meningkatkan morbiditas. Konsekuensi dari infeksi HIV dan atau

MTb diilustrasikan pada Gambar 1. (Sester et al., 2010)


33

Gambar 7. Penampilan skematis infeksi HIV dan/ atau Mycobacterium


tuberculosis (MTB) dan konsekuensinya.
(Sester et al., 2010)

Pada gambar di atas, HIV diilustrasikan sebagai titik biru dan MTB

diilustrasikan sebagai batang. Disfungsi kekebalan progresif pada TB

yang diinduksi HIV dan TB aktif ditandai dengan warna merah, dengan

warna yang diintensifkan mencerminkan kerusakan klinis yang lebih

parah. Tanda panah menandai transisi antara status infeksi sementara

garis putus-putus melambangkan infeksi atau perawatan yang

diberikan. Garis tebal menandakan peningkatan frekuensi transisi.

ART: Anti Retroviral Therapy; LTBI: latent MTB infection; IRIS: Immune

Reconstitution Inflammatory Syndrome. (Sester et al., 2010)

Koinfeksi dengan MTb adalah penyebab utama kematian orang

yang terinfeksi HIV-1. Imunodefisiensi terkait HIV dapat menghalangi

diagnosis TB, berkontribusi pada penundaan diagnosis: pasien sering


34

dengan hasil sputum BTA-negatif (Elliott et al., 1993). Selanjutnya,

tes imunologi (yaitu Tuberculin Skin Test (TST) dan IFN-c release

assays), yang dilakukan untuk menilai infeksi laten memiliki hasil

negatif, terutama dalam kasus imunodefisiensi berat; akibatnya,

diagnosis TB dapat terlewatkan (Leidl et al., 2010).

Sekitar sepertiga kematian di antara pasien HIV-seropositif di

seluruh dunia disebabkan oleh koinfeksi dengan MTb. Dengan

menginfeksi host yang sama, kedua patogen mereplikasi jauh lebih

baik daripada sendirian. Sindrom ini disebabkan oleh disfungsi

konvergen respon imun pejamu HIV dan MTb. (Kwan & Ernst, 2011)

HIV menginfeksi terutama limfosit T-helper sementara MTb secara

istimewa menginfeksi makrofag alveolar; ada kemungkinan bahwa

syndemy terjadi pada trans melalui faktor sirkulasi.

Ada tiga mekanisme yang menyebabkan terjadinya TB pada

penderita HIV, yaitu reaktivasi, adanya infeksi baru yang progresif

serta terinfeksi. Penurunan CD4 yang terjadi dalam perjalanan

penyakit infeksi HIV akan mengakibatkan reaktivasi kuman TB yang

dorman. Data dari Rwanda dan Zaire menunjukkan bahwa pengidap

HIV yang telah pernah terinfeksi TB (Mtx positif) ternyata 20 kali lebih

sering mendapat TB. (Mulyadi & Fitrika, 2010)

Pada penderita HIV jumlah serta fungsi sel CD4 menurun secara

progresif, serta gangguan pada fungsi makrofag dan monosit. CD4 dan

makrofag merupakan komponen yang memiliki peran utama dalam


35

pertahanan tubuh terhadap mikobakterium. Salah satu activator

replikasi HIV di dalam sel limfosit TB adalah Tumor Necrosis Factor

alfa (TNFα). Sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang aktif dan dalam

proses pembentukan jaringan granuloma pada TB. Kadar bahan ini 3-

10 kali lebih tinggi pada mereka yang terinfeksi TB dengan HIV-AIDS

dibandingkan dengan yang terinfeksi HIV saja tanpa TB. Tingginya

kadar TNFα ini menunjukkan bahwa aktivitas virus HIV juga dapat

meningkat, yang artinya memperburuk perjalanan penyakit AIDS. Pada

penelitian lain dijumpai adanya peningkatan kadar beta 2 mikroglobulin

pada penderita HIV/AIDS dengan TB.

Aspek molekuler dari koinfeksi HIV-TB dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Aktivasi HIV oleh MTb

Infeksi M. tuberculosis mendorong replikasi HIV-1 diduga

dengan memanipulasi faktor transkripsi seluler yang mengatur

transkripsi HIV-1 (Toossi, Xia, Wu, & Salvekar, 1999). Komponen

dinding sel dan molekul yang disekresikan MTb berinteraksi

dengan reseptor pengenalan pola yang diekspresikan pada sel

fagositik (misalnya Toll-like receptors (TLR)), memicu berbagai jalur

pensinyalan yang pada gilirannya mengaktifkan faktor transkripsi

seperti NF-kappaB (Kleinnijenhuis et al., 2011). Faktor-faktor

tersebut berikatan dengan daerah promotor-proksimal (enhancer)

dari HIV-1 Long Terminal Repeat (LTR) dan menginduksi ekspresi


36

gen HIV-1 (Falvo, Ranjbar, Jasenosky, & Goldfeld, 2011). Hal ini

mengakibatkan aktivasi provirus laten dalam sel yang dicapai oleh

molekul disekresikan MTb.

2. Aktivasi MTb oleh HIV

a) Clash of cytokines: kontra regulasi Interferon alpha dengan

sitokin anti bakteri

Interleukin-1 (IL-1), TNF-alpha dan interferon-gamma

adalah cytokines utama yang membantu pertahanan tubuh

terhadap MTb (MacMicking, 2014). Sitokin penting ini tidak

aktif pada replikasi HIV lokal (Waruk et al., 2015). Replikasi

virus memicu respon cGAS dependent type I interferon, yang

tidak efektif melawan virus (Vermeire et al., 2016). Adanya

upregulasi IFN tipe I, HIV menurunkan kekebalan tubuh host

terhadap aktivitas MTb. Jalur sitokin IFN tipe I dan interleukin-

1/ TNF-α menggambarkan respon inflamasi spesifik dan

mediator kunci inflamasi ini saling mengatur satu sama lain

(Cantaert, Baeten, Tak, & Baarsen, 2010; Guarda et al., 2011;

Mayer-Barber & Yan, 2017). Koinfeksi HIV juga mengurangi

kadar IFN gamma yang merupakan kunci dalam pengendalian

MTb oleh sistem kekebalan tubuh (Waruk et al., 2015).


37

b) Modulasi granuloma pulmonal yang dimediasi oleh MTb pada

koinfeksi HIV

Granuloma terjadi oleh infeksi MTb yang ditandai

dengan adanya makrofag, sel epitel dan sel giant multinuklear

yang dikelilingi oleh limfosit T. Koinfeksi HIV memodulasi

komposisi sel granuloma. De Noronha dkk. menunjukkan

bahwa HIV merusak produksi TNF-alpha oleh sel granuloma

(de Noronha, Báfica, Nogueira, Barral, & Barral-Netto, 2008).

Granuloma pada penderita koinfeksi HIV-TB memiliki limfosit

yang lebih rendah (Diedrich et al., 2016). Penelitian oleh

Walter et al. menunjukkan bahwa timbulnya infeksi HIV pada

pasien dengan tuberkulosis dikaitkan dengan penurunan

induksi dari MTb DosR regulon, yang memodulasi

pembentukan granuloma dan persistensi MTb (Walter et al.,

2016).

3. Penghambatan presentasi antigen host oleh HIV dan MTb

Pemrosesan dan presentasi antigen MTb merupakan tahapan

penting dalam respon imun terhadap MTb. Hal Ini distimulasi oleh

interferon gamma yang disekresikan berlebih oleh sistem

kekebalan tubuh akibat masuknya MTb. Tetapi pemrosesan

antigen terganggu baik oleh MTb maupun virus HIV. HIV

mengganggu presentasi antigen melalui protein modulasi yang

dimiliki host seperti vpu, dan nef (Singh et al., 2016). Komponen
38

dinding sel dan molekul yang disekresikan oleh MTb mampu

memodulasi sel imun dan menghambat sekresi IFN-gamma (Nigou,

Zelle-Rieser, Gilleron, Thurnher, & Puzo, 2001). Penelitian lain

menunjukkan bahwa beberapa lipoprotein MTb, termasuk LpqH,

LprG dan LprA merupakan inhibitor utama presentasi antigen MHC

kelas II, melalui aktivasi TLR2 (Harding & Boom, 2010). HIV juga

menghambat presentasi antigen dengan mengarahkan MHC ke

lisosom untuk dihancurkan.

Gambar 8. MTb dan HIV Syndemy. (https://viralzone.expasy.org/6836)


39

2. Manifestasi klinis

Gejala klinis TB pada ODHA tidak spesifik. Pada sebagian besar

ODHA, gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan

penurunan berat badan yang signifikan, sedangkan keluhan batuk

pada ODHA seringkali tidak spesifik seperti yang dialami terduga TB

pada umumnya. Oleh karena itu direkomendasikan bila ODHA datang

dengan keluhan batuk berapapun lamanya harus dievaluasi untuk

diagnosis TB. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014)

Tabel 3. Gambaran TB-HIV (Mulyadi & Fitrika, 2010)

Derajat imunosupresi dari HIV akan mempengaruhi gejala

klinis dari TB. Gambaran klinis TB pada HIV stadium awal mirip

dengan TB tanpa HIV. Batuk lama, demam, keringat malam atau

penurunan berat badan merupakan gambaran klinis yang khas

pada TB, dengan sensitivitas 79%, tetapi spesifisitasnya hanya

50%. Gambaran klinis TB pada kadar CD4 di bawah 200 sel/µL

menjadi tidak khas, 50% merupakan TB ekstraparu. Pada CD4 di

bawah 75 sel/µL gejala infeksi paru hampir tidak ditemukan, TB


40

diseminata dengan manifestasi tidak spesifik seperti demam lama

dengan penyebaran ke organ lain lebih sering ditemukan dengan

tingkat mortalitas yang tinggi (Sterling dkk, 2010). Asimptomatik TB

dengan hasil pemeriksaan foto thorax dan sputum BTA negatif

sering ditemukan pada TB-HIV dan 10% kasus ditemukan di

negara-negara endemik TB. Hampir 25% penderita HIV tidak

terdiagnosis adanya TB aktif, sehingga skrining TB

direkomendasikan pada seluruh penderita HIV (Lee dkk, 2000;

Zumla, 2013).

Selain TB, terdapat pula Mycocabterium Other Than

Tuberculosis (MOTT) yang umumnya muncul pada kadar CD4 kurang

dari 100 sel/µL. Mycocabterium Other Than Tuberculosis dapat

terdokumentasi dengan baik pada negara dengan angka TB yang

rendah, tetapi negara dengan angka koinfeksi TB-HIV tinggi

persentase MOTT tergolong rendah, hal ini disebabkan karena

sulitnya penegakan diagnosis (McCarthy dkk, 2011).

Gejala dan tanda infeksi MOTT mirip dengan gejala klinis TB,

yaitu batuk lama, keringat malam, dan penurunan berat badan.

Berdasarkan rekomendasi American Thoracic Society (ATS)/

Infectious Disease Society of America (IDSA), penegakan MOTT

berdasarkan (1) gejala klinis atau kelainan pada foto toraks, meliputi

nodul atau kavitas, atau multifokal bronkiektasis yang disertai multiple

noduk kecil pada pemeriksaan CT scan, (2) mengeksklusi diagnosis


41

lainnya, (3) hasil kultur positif MOTT melalui dua kali pemeriksaan

sputum atau melalui satu kali pemeriksaan bilasan bronkus. Beberapa

penelitian yang dilakukan di Vietnam, Thailand, dan Kamboja

menyebutkan kriteria yang diterapkan ATS/IDSA sering menghadap

kendala terutama pada pemeriksaan kultur yang sering kali

memberikan hasil negatif. Hal ini menyebabkan prevalensi MOTT paru

pada pasien HIV di daerah Asia Tenggara masih tergolong rendah.

Kultur yang memiliki sensitif yang tinggi untuk MOTT menurut

penelitian tersebut adalah melalui kulur media cair. Sebuah penelitian

di Nigeria juga mengungkapkan pernyataan yang sama, bahkan

pemeriksaan Xpert/MTB-Rif yang merupakan pemeriksaan

rekomendasi WHO dikatakan memiliki sensitivitas yang rendah untuk

mendiagnosis MOTT di negara dengan prevalensi TB yang tinggi.

Penegakkan diagnosis MOTT yang sulit inilah yang menyebabkan

MOTT jarang dijumpai sebagai IO pada infeksi HIV (Restiawati dkk,

2011; McCarthy dkk, 2011).

3. Diagnosis

Baik deteksi dini TB pada ODHA maupun deteksi dini HIV pada

pasien TB keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini

koinfeksi TB-HIV, sehingga dapat memulai pengobatan lebih cepat

agar keberhasilan pengobatan akan lebih baik (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2014).


42

Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu

berbeda dengan orang dengan HIV negatif. Diagnosis harus

ditegakkan terlebih dahulu dengan konfirmasi bakteriologis, yaitu

pemeriksaan mikroskopis langsung, tes cepat dan biakan. Apabila

pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan

diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil

pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto

toraks) yang sesuai (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

2014).

a. Pemeriksaan mikroskopis langsung

Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui

pemeriksaan uji dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS). Apabila

minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya

positif maka ditetapkan sebagai pasien TB (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Pemeriksaan sputum BTA memerlukan bahan spesimen

MTb sekitar 105 per mililiter untuk memberikan hasil yang positif.

Pasien dengan infeksi HIV positif jarang memberikan hasil positif

pada pemeriksaan BTA. Sulitnya mengeluarkan dahak

merupakan alasan yang paling sering dijumpai. Semakin rendah

sistem imun maka pemeriksaan sputum BTA akan memberikan

hasil negatif akibat sulitnya pembentukan granuloma atau bahkan

tidak terbentuk sama sekali (Swaminathan, 2002;


43

Padmapriyadarsini dkk, 2011; Singhal, 2011). Sensitivitas dan

spesifitas pemeriksaan sputum BTA pada penderita dengan

koinfeksi TB-HIV adalah 38,1% dan 74,5%. (Swai dkk, 2011)

Derajat imunodefisiensi ini juga berpengaruh pada gambaran

laboratoris (BTA pada sputum) dan histopatologis. Pada penderita

dengan fungsi imun yang masih intact lebih mudah didapatkan

adanya BTA pada sputum dan gambaran granulomatous secara

histopatologi. Seiring dengan menurunnya sistem imun maka

kemungkinan untuk didapatkan BTA pada sputum semakin kecil

dan secara histopatologi gambaran granuloma juga sulit

ditemukan (Amin Z dkk, 2013).

b. Pemeriksaan tes cepat TB

Oleh karena pemeriksaan mikroskopik dahak pada ODHA

sering memberikan hasil negatif, maka diperlukan penegakkan

diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat TB yang dilakukan

dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan menggunakan

sediaan dahak sewaktu pertama di fasilitas pelayanan kesehatan

(fasyankes) yang memiliki fasilitas/jejaring tes cepat TB

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Pemeriksaan tes cepat TB dilakukan dengan pemeriksaan

MTb/RIF. Selain ditemukan adanya MTb juga menentukan

apakah MTb tersebut sensitif atau resistan terhadap Rifampisin

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).


44

Gambar 9. Alur diagnosis TB paru pada ODHA di fasyaskes


dengan akses tes cepat Xpert MTB/RIF
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014)
c. Pemeriksaan biakan dahak

Biakan dahak merupakan pemeriksaan standar baku

untuk menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan biakan dahak

selain digunakan untuk identifikasi jenis Mycobacterium, juga

dapat mengetahui resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

World Health Organization merekomendasikan pemeriksaan

biakan dahak MTb pada pasien dengan BTA negatif, dan lebih

dianjurkan untuk pemeriksaan biakan dahak dengan media cair

karena sensitivitas dan hasil yang diperoleh lebih cepat

dibandingkan dengan kultur media padat (WHO, 2006).

Pemeriksaan biakan dahak harus dilakukan di sarana

laboratorium yang sudah tersertifikasi. Mengingat pemeriksaan ini


45

membutuhkan waktu, maka pemeriksaan biakan dahak hanya

dilakukan jika tidak tersedia fasilitas tes cepat TB (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Pada saat ini kementerian kesehatan menetapkan

penggunaan media Lowenstein-Jensen (LJ) sebagai

pemeriksaan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber

daya. Tidak satu pun uji tunggal yang dapat membedakan MTb

dan Mycobacterium lainnya, sehingga identifikasi MTb

didasarkan pada hasil pemeriksaan, kecepatan tumbuh,

morfologi koloni, uji Para Nitro Benzoic Acid (PNB), dan uji niasin

(Kemenkes, 2012).

Beberapa uji identifikasi yang dapat digunakan adalah:

(Swapna dkk, 2011; Kemenkes 2012)

1. Uji Niasin. Semua Mycobacterium dapat menghasilkan

asam nikotinal. MTb dan beberapa spesies seperti M.

simiae dan M. chelonae tidak dapat menghasilkan asam

nikotinal tersebut. Jumlah asam nikotinal yang dibentuk

terbanyak terbanyak ada pada media LJ, karena itu

pemeriksaan ini membutuhkan media LJ. Uji niasin dengan

paper strip merupakan pemeriksaan yang

direkomendasikan oleh WHO dengan hasil meta

analisisnya paling sensitif.


46

2. Uji PNB. Uji ini juga menggunakan media LJ. Pemeriksaan

ini membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 28 - 42

hari.

3. Uji mycobacterium tuberculosis protein 64 (MPT-64). MPT

merupakan antigen spesifik yang disekresikan oleh MTb

saat pertumbuhan bakeri. Antigen MPT-64 tidak ditemukan

pada M. bovis, M. leprae, dan Mycobacterium Other Than

Tuberculosis (MOTT). Keunggulan dari pemeriksaan ini

adalah hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk

mendeteksi MTb atau MOTT, dengan sensitivitas 96,5 -

100% dan spesifisitas 100%.

d. Pemeriksaan Foto Thorax

Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam

membantu diagnosis TB paru pada ODHA khususnya dengan

bakteriologis negatif dan ODHA yang tidak dapat mengeluarkan

dahak setelah dilakukan berbagai upaya untuk menginduksi

dahak (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu

memberikan gambaran yang spesifik untuk TB paru pada ODHA

sehingga dapat menyebabkan over-diagnosis atau

underdiagnosis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

2014).
47

Pada pemeriksaan foto toraks infiltrat umumnya terdapat

di apeks, namun pada ODHA dengan TB infiltrat seringkali

ditemukan di basal, terutama pada HIV stadium lanjut. Pada HIV

stadium awal gambaran foto toraks dapat sama dengan

gambaran foto toraks pada pasien TB umumnya. Pada ODHA

dengan TB tidak jarang ditemukan gambaran TB milier

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Pada pemeriksaan foto thorax, TB-HIV memiliki

gambaran yang beragam, tergantung dari stadium HIV.

Gambaran radiologis stadium awal HIV sama dengan penderita

non HIV, berupa kavitas pada lobus atas, infiltrat, dan nodul.

Pada stadium lanjut 80% gambarannya mirip infeksi primer TB.

Ada pula yang memberikan gambaran ekstraparu seperti efusi

pleura, limfadenopati hilus bahkan normal. Penelitian yang

dilakukan oleh Ong dkk (2008), gambaran radiologi pada

penderita HIV dengan kadar CD < 200 sel/µL berupa gambaran

infiltrat di daerah basal, tuberukulosa pneumonia, limfadenopati

mediastinum dan hilus, dan miliar. Beberapa studi di Kenya

menemukan 13% penderita dengan kultur BTA positif memiliki

foto thorax normal (Lee dkk, 2000; Zumla, 2013;

Hoffman,2014).
48

Gambaran radiologis pada kondisi infeksi HIV yang berat

sangat berbeda, dimana infiltrate dapat terlihat di lobus tengah

atau bawah paru, dapat berupa infiltrat milier (TB milier), namun

kavitas lebih jarang didapatkan. (Amin Z dkk, 2013).

e. Pemeriksaan Lipoarabinomannan

Mendeteksi antigen Mycobacterium merupakan salah

satu pilihan untuk mendiagnosis TB. LAM merupakan salah

satu pemeriksaan antigen yang dapat mendiagnosis TB paru

(Achkar, 2011).

Gambar 10. Deteksi LAM (Science, 2011.)


49

Pada tahun 2001, deteksi LAM ELISA dengan sampel urin

pertama kali dipublikasikan (Hamasur et al., 2001) dan diikuti

oleh sejumlah studi dengan menggunakan Lateral Flow (LF)

untuk deteksi LAM urin. (Lawn, Kerkhoff, Vogt, & Wood, 2012;

Peter et al., 2012) .

Boeme dkk (2005) melakukan kultur terhadap beberapa

bakteri gram positif dan negatif, seperti Klebsiella pneumoniae,

Streptococcus agalactiae, Stetococcus pnuemoniae,

Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Proteus

vulgaris, Escherichia coli, Neisseria meningitidis, dan

Haemophilus influenza. Tes dilakukan dengan menggunakan

LAM ELISA. Pemeriksaan juga dilakukan pada beberapa

Mycobacterium dengan melihat reaksinya terhadap LAM ELISA.

Hasil yang diperoleh adalah LAM ELISA tidak memiliki reaksi

terhadap bakteri gram positif dan negatif sedangkan pada

spesies Mycobacterium, MTb dan M. bovis memiliki sensitivitas

tertinggi terhadap LAM ELISA (Beohme dkk, 2005).


50

Gambar 11. Reaksi LAM (Boehme dkk., 2005)


A. Membandingkan antibodi LAM dengan bakteri gram positif
dan gram negatif
B. Reaksi LAM ELISA terhadap berbagai spesies
Mycobacterium
51

LAM dapat dideteksi pada sputum, cairan serebrospinal,

urin dan cairan pleura sehingga LAM dapat digunakan untuk

mendiagnosis infeksi Mycobacterium paru maupun ekstraparu

(Boehme dkk, 205; Peter, 2010).

Hasil pemeriksaan LAM urin memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang berbeda-beda. Dari beberapa studi diketahui

LF-LAM dengan menggunakan urin memiliki sensitivitas

sebesar 44%, namun hal ini bervariasi secara signifikan sesuai

dengan layanan kesehatan (54% pada pasien rawat inap dan

21% pada pasien rawat jalan) dan jumlah CD4 (15% pada CD4

>200, 48% pada CD4 < 200 dan 56% pada CD4 < 100 sel/µL).

World Health Organization melarang penggunaannya sebagai

alat skrining (di antara pasien HIV positif tanpa memperhatikan

gejala) karena spesifisitasnya kurang dari 92%. Spesifisitas

rendah ini sangat menentukan karena hasil LAM 'positif palsu'

dapat menandakan kasus TB dengan benar walaupun hasil

sputum negatif (Lawn et al., 2013).

Beberapa penelitian menyebutkan sensitivitas dan

spesifisitas LAM urin lebih baik dibandingkan sputum BTA,

tetapi tidak lebih baik dibandingkan Xpert MTB/Rif, tetapi

apabila pemeriksaan sputum BTA digabungkan dengan LAM

urin sensitivitas dan spesifisitasnya hampir sama dengan

Xpert MTb. LAM urin memiliki sensitivitas dan spesifisitas


52

yang baik pada penderita HIV dengan CD4 yang rendah. Pada

beberapa penelitian lain menyebutkan sensitivitas dan

spesifisitas LAM urin tidak lebih baik dibandingkan sputum BTA

dan Xpert MTb/Rif, sehingga tidak dapat digunakan dalam

mendiagnosis penderita HIV dengan kecurigaan TB. (Gaunder

dkk, 2011; Lawn dkk, 2012a)

Kepekaan LAM menunjukkan korelasi langsung yang kuat

dengan tingkat keparahan dan kematian. Tes ini ditargetkan

pada pasien HIV yang dicurigai menderita TB tetapi memiliki

risiko penundaan diagnostik yang lebih lama (sputum negatif

atau tidak dapat berdahak) dan penderita yang sangat

immunocompromised. Pada tahun 2016, uji klinis acak di 10

rumah sakit di 4 negara Afrika menunjukkan penurunan risiko

relatif mortalitas sebesar 17% tanpa memperhatikan jumlah

CD4 ketika inisiasi pengobatan dilakukan dengan penambahan

tes LF-LAM ke diagnostik standar. Dengan demikian, LF-LAM

adalah satu-satunya tes diagnostik TB dengan bukti manfaat

penurunan mortalitas (García-Basteiro et al., 2018).

Studi yang dilakukan oleh Lamont, et al (2014) pada 55

hewan dengan metode ELISA menunjukkan bahwa LAM

memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 91,7% untuk deteksi

bovine tuberculosis (bTB).


53

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

A. Kerangka Teori

Infeksi
HIV
Replikasi HIV ↑

↑ IFN oleh sel T


Berkurangnya jumlah sel CD4 dan makrofag

Resiko TB aktif Destruksi MTb


berkembangnya ↓ IFN γ
AIDS ↑↑
Sekresi LAM
Reaktivasi TB laten & sistemik
TB aktif progresif

Infeksi Mtb Deteksi Mtb


54

B. Kerangka Konsep

Sputum Mikroskopis

Suspek koinfeksi
HIV + TB Kultur sputum Mtb

LAM Serum

Foto Thorax

= Variabel bebas

= Variabel tergantung
55

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross sectional.

Pada penelitian ini, akan dilakukan pemeriksaan kadar

Lipoarabinomannan (LAM) serum pada sampel serum simpan pasien

koinfeksi HIV-TB di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

a. Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo untuk pengambilan sampel (serum).

b. Unit Penelitian FK-UNHAS/ Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri

Universitas Hasanuddin (RSPTN UH) untuk pemeriksaan kadar

Lipoarabinomannan serum dengan metode Enzyme-linked

Immunosorbent assay (ELISA).

c. Instalasi Rekam Medik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo untuk

pencatatan hasil pemeriksaan sputum mikroskopis, kultur sputum

dan hasil foto thorax radiologi.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2018 sampai jumlah

sampel mencukupi.
56

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua sisa spesimen (serum) pasien

suspek HIV dan suspek Tuberkulosis yang berusia ≥ 18 tahun di

poliklinik dan bangsal rawat inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah sisa spesimen (serum) penderita suspek HIV

dan suspek TB yang diduga memiliki koinfeksi HIV-TB yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi.

3. Perkiraan Besar Sampel

Perkiraan besar sampel dihitung berdasarkan rumus berikut :

(Zα) 2 sen (1- sen)


n=
d2 P
N = besar sampel

Zα = derivat baku dari tingkat kesalahan sebesar 1,96

Sen = sensitivitas alat yang diinginkan, sebesar 90 %

d = simpang baku sebesar 20%

P = prevalensi HIV-TB, sebesar 12 %

Berdasarkan rumus diatas didapatkan sampel sebesar 72,0.

Estimasi besar sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini

adalah 72 sampel.
57

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi:

a. Semua sisa spesimen (serum) penderita yang dicurigai menderita

koinfeksi HIV-TB yang berusia ≥ 18 tahun di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar.

b. Dokumentasi hasil rekam medis lengkap, yaitu hasil pemeriksaan

antibodi HIV, sputum mikroskopis, kultur sputum dan foto thorax.

2. Kriteria Ekslusi:

a. Pasien riwayat putus Obat Anti Tuberkulosis

b. Data pemeriksaan tidak lengkap, yaitu hasil pemeriksaan antibodi

HIV, sputum mikroskopis, kultur sputum dan foto thorax.

c. Sampel pemeriksaan ikterik, hemolisis, lipemik.

E. Izin Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan setelah dinyatakan memenuhi

persyaratan etik untuk dilaksanakan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan

(KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin - RSPTN UH -

RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.


58

F. Cara Kerja

1. Alokasi subjek

Penelitian dilakukan pada serum simpan semua pasien yang datang

ke Rumah Sakit dan diduga menderita TB dengan HIV dan pasien

yang diduga ODHA dengan TB dan dilakukan pemeriksaan

antibodi HIV, pemeriksaan sputum mikroskopis, kultur sputum dan

foto thorax di Poliklinik dan Bangsal Rawat Inap Infection Centre -

RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.

2. Cara Penelitian

a. Dilakukan penyaringan pada semua serum simpan pasien yang

diduga menderita TB dengan HIV dan pasien yang diduga

ODHA dengan TB di poliklinik dan bangsal rawat inap Infection

Centre RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang telah

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

b. Dilakukan tes LAM serum dengan kit ELISA Cat.No E1441Hu di

Unit Penelitian FKUH/ Rumah Sakit Pendidikan Tinggi Negeri

Universitas Hasanuddin (RSPTN UH) Makassar.

c. Analisis data mencakup hasil LAM serum serta pemeriksaan

pendukung lainnya yang diperoleh melalui Rekam Medis pasien,

yaitu data hasil sputum mikroskopis, kultur sputum dan foto thorax.
59

3. Prosedur pemeriksaan kadar LAM Serum dengan Human

Lipoarabinomannan (LAM) ELISA kit Cat.No E1441Hu

a. Persiapan sampel

Keluarkan sampel serum dari freezer -20°C. Biarkan pada suhu

ruang. Hindari siklus pembekuan / pencairan berulang.

b. Alat dan Bahan Penelitian

Alat

a. Pipet Presisi dan tip pipet sekali pakai

b. Inkubator 37 °C ± 0,5 °C

c. Tabung bersih

d. Absorbent paper

e. Air suling

f. Spektrofotometer panjang gelombang 450±10 nm.

Bahan

1. Spesimen serum

2. Reagen Human Lipoarabinomannan (LAM) ELISA (Bioassay

Technology Laboratory, China)

a. 96 well microtiter plates

b. Enzyme conjugate

c. Standard A

d. Standard B

e. Standard C

f. Standard D
60

g. Standard E

h. Standard F

i. Substrate A

j. Substrate B

k. Stop solution

l. Wash solution

m. Balance solution

n. Biotin-conjugate anti-human MICA Antibody

o. Coated ELISA plate

Persiapan Reagen

a. Semua reagen harus didiamkan pada suhu kamar sebelum

digunakan.

b. Larutan standar:

1) Mencampurkan 120 μL standar (4800 pg/mL) dengan 120 μL

pengencer standar untuk menghasilkan larutan stok standar

2400 pg/mL (Standar no.5). Biarkan larutan selama 15 menit

dengan dikocok halus.

2) Menyiapkan larutan standar selanjutnya (Standar no. 4, 3, 2 dan

1) dengan melakukan pengenceran larutan standar no. 5 (2400

pg/mL) secara berturut-turut dengan pengenceran 1:2 dengan

pengencer standar untuk menghasilkan larutan standar no. 4

(1200 pg/mL), 3 (600 pg/mL), 2 (300 pg/mL) dan 1 (150 pg/mL)


61

(Tabel 4). Pengencer standar selanjutnya disebut standar 0 (0

mg/L).

3) Larutan standar yang tersisa harus dibekukan pada suhu -20oC

dan harus digunakan dalam waktu satu bulan.

Tabel 4. Komposisi dan konsentrasi larutan standar


Larutan Konsentrasi Komposisi

Standar no. 5 2400 pg/mL 120 μL larutan standar + 120 μL pengencer

Standar no. 4 1200 pg/mL 120 μL larutan standar no. 5 + 120 μL pengencer

Standar no. 3 600 pg/mL 120 μL larutan standar no. 4 + 120 μL pengencer

Standar no. 2 300 pg/mL 120 μL larutan standar no. 3 + 120 μL pengencer

Standar no. 1 150 pg/mL 120 μL larutan standar no. 2 + 120 μL pengencer

Gambar 12. Pengenceran larutan standar


(Sumber: Bioassay Technology Laboratory, China)

c. Buffer pencuci: Encerkan 20 mL konsentrat buffer pencuci 30x

dengan air suling untuk menghasilkan 500 mL buffer pencuci 1x.

Jika kristal terbentuk dalam konsentrat, kocok dengan lembut

sampai butiran kristal terlarut.


62

c. Prinsip kerja

Tes ini menggunakan teknik immunoassay enzim yang kompetitif

memanfaatkan antibodi anti-LAM monoklonal dan konjugasi LAM-HRP.

Sampel pengujian dan buffer diinkubasi bersama dengan LAM-HRP

konjugat dalam pre-coated plate selama satu jam. Setelah diinkubasi, well

dicuci lima kali. Well kemudian diinkubasi dengan substrat untuk enzim

HRP. Produk dari reaksi substrat-enzim membentuk kompleks berwarna

biru. Akhirnya, ditambahkan stop solution untuk menghentikan reaksi,

yang kemudian akan mengubah larutan menjadi kuning. Intensitas warna

diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 450nm.

Intensitas warna berbanding terbalik dengan LAM karena LAM dari

sampel dan LAM-HRP konjugat bersaing untuk berikatan dengan antibodi

anti-LAM binding site. Karena jumlah site terbatas, karena lebih banyak

site yang ditempati oleh LAM dari sampel, lebih sedikit site yang tersisa

mengikat konjugasi LAM-HRP. Kurva standar diplot berdasarkan

intensitas dari warna (O.D.) terhadap konsentrasi standar. Konsentrasi

LAM dalam setiap sampel diinterpolasi dari kurva standar ini.

d. Cara Kerja

1. Letakkan reagen dan sampel pada suhu kamar (18°C - 25°C) selama

30 menit sebelum memulai prosedur pengujian. Tidak boleh

menggunakan air panas untuk mencairkan sampel atau reagen. Jika

perlu, lakukan sentrifugasi berkecepatan rendah selama satu atau dua


63

detik untuk menyatukan standard ke bagian bawah botol. Microelisa

Strip plate dapat dilepas, lepaskan strip yang tidak terpakai dari plate,

kembalikan ke kantong foil dengan desiccant pack, dan tutup kembali

untuk mencegah penguapan.

2. Siapkan standard wells, sample wells dan blank/ control wells,

tambahkan standard 50μl ke setiap standard well, tambahkan sampel

50μl untuk masing-masing sample well, tambahkan sample diluent

50μl ke setiap blank/control well. Dianjurkan agar standard, sampel

dan sample diluent ditambahkan sekali lagi ke dalam plate.

3. Tambahkan 100μl reagen HRP-conjugate ke setiap well, tutup dengan

closure plate membrane dan inkubasi selama 60 menit pada suhu

37°C.

4. Cuci plate sebanyak 4 kali.

5. - Manual Washing - Buang campuran inkubasi dari well ke dalam bak

cuci atau wadah limbah yang tepat. Dengan menggunakan pipet atau

botol semprot, isi masing-masing well dengan wash solution (1×),

setelah sekitar satu menit, balikkan dan tekan plate ke kertas penyerap

atau tisu sampai tidak ada uap air yang muncul. Ulangi prosedur ini

sebanyak empat kali. Catatan: Pegang sisi plate dengan kuat saat

mencuci plate untuk memastikan bahwa semua strip tetap aman pada

tempatnya

- Automated Washing - Aspirasi semua well, lalu cucilah plate empat

kali menggunakan Wash Buffer (1 ×). Aspirasi cairan sebanyak


64

mungkin dan atur volume isian 350μl/ well/ wash. Setelah pencucian

akhir, balikkan plate, dan keringkan dengan menekan plate ke kertas

penyerap sampai tidak ada uap air yang muncul.

6. Tambahkan Chromogen Solution A 50μl dan Chromogen Solution B

50μl ke masing-masing well. Kemudian lindungi dari cahaya, dan

inkubasi selama 15 menit pada 37°C.

7. Tambahkan 50 μl Stop Solution ke setiap well. Warna di dalam well

harus berubah dari biru menjadi kuning.

8. Baca Optical Density (O.D.) pada 450 nm menggunakan ELISA reader

dalam waktu 15 menit setelah menambahkan Stop Solution (5 menit

adalah waktu terbaik).

e. Perhitungan Hasil

Buatlah kurva standar dengan memasukkan nilai OD rata-rata untuk

setiap standar pada sumbu vertikal (Y) terhadap konsentrasi pada sumbu

horizontal (X) dan menggambar kurva yang paling sesuai melalui titik-titik

pada grafik. Perhitungan ini dapat dilakukan dengan perangkat lunak

berbasis komputer yang sesuai untuk kurva dan garis kecocokan terbaik

dapat ditentukan dengan analisis regresi.

f. Nilai Rujukan

Nilai rujukan kadar Lipoarabinomannan dalam serum 10pg/ml -

4000pg/mL (Laboratory BioassayTechnology, n.d.)


65

G. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Pasien suspek koinfeksi HIV-TB adalah pasien yang datang ke

Rumah Sakit dan diduga menderita TB dengan HIV dan pasien

yang diduga ODHA dengan TB dan dilakukan pemeriksaan

antibodi HIV, pemeriksaan sputum mikroskopis, kultur sputum dan

foto thorax.

2. Kelompok HIV (+) TB (+) adalah kelompok subjek yang terdiagnosis

HIV dan TB berdasarkan hasil pemeriksaan anti HIV dan hasil kultur

sputum.

3. Kelompok HIV (+) TB (-) adalah kelompok subjek yang terdiagnosis

HIV tetapi TB negatif berdasarkan hasil pemeriksaan anti HIV dan

hasil kultur sputum.

4. Kelompok HIV (-) TB (+) adalah kelompok subjek yang tidak

terdiagnosis HIV tetapi TB positif berdasarkan hasil pemeriksaan anti

HIV dan hasil kultur sputum.

5. Kelompok HIV (-) TB (-) adalah kelompok subjek yang tidak

terdiagnosis HIV maupun TB berdasarkan hasil pemeriksaan anti HIV

dan hasil kultur sputum.

6. Pemeriksaan sputum BTA adalah data hasil pemeriksaan Basil Tahan

Asam secara mikroskopik dari sediaan sputum yang dibuat sesuai

standar WHO dan diwarnai dengan Ziehl-Neelsen. Sputum BTA positif

apabila minimal 1 dari 2 spesimen didapatkan BTA minimal 1 dalam


66

100 lapang pandang. Sputum BTA negatif apabila tidak ditemukan

BTA pada minimal 100 lapang pandang.

7. Kultur sputum MTb merupakan data yang diperoleh dari pemeriksaan

standar baku yang digunakan untuk mendiagnosis TB paru. Media

yang digunakan adalah Lowenstein–Jensen (LJ) dan Mycobacteria

Growth Indicator Tube (MGIT). Hasil kultur yang positif menandakan

adanya kuman Mycobacterium.

8. Lipoarabinomannan serum adalah lapisan lipid dari Mycobacterium

tuberculosa yang dapat dideteksi melalui serum sehingga dapat

digunakan sebagai pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB paru.

Pemeriksaan LAM serum dilakukan dengan metode ELISA

menggunakan Bioassay Technology Laboratory Shanghai China.

9. Sensitivitas adalah proporsi subjek sakit yang memberikan hasil uji

diagnostik positif (positif benar) dibandingkan dengan seluruh subjek

sakit (positif benar + negatif semu)

10. Spesifisitas adalah proporsi subjek sehat yang memberikan hasil uji

diagnostik negatif (negatif benar) dibandingkan dengan seluruh subjek

tidak sakit (negatif benar + positif semu)

11. Nilai Duga Positif (NDP) adalah probabilitas seseorang menderita

penyakit dengan uji diagnostik positif.

12. Nilai Duga Negatif (NDN) adalah probabilitas seseorang tidak

menderita penyakit dengan hasil uji diagnostik negatif.


67

13. Akurasi adalah proporsi dari hasil benar (positif dan negatif) dari

sebuah pemeriksaan pada satu populasi.

H. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 22. Analisis

statistik yang dilakukan adalah perhitungan statistik deskriptif, sebaran

frekuensi dan analisis ROC (Receiver Operating Characteristic).


68

I. Skema Alur Peneltian

Suspek Koinfeksi HIV-TB

Kriteria Inklusi

Sampel penelitian

Kriteria Eksklusi

Pemeriksaan LAM serum

Analisis data

Hasil Penelitian

Keterangan:

MTb = Mycobacterium Tuberculosis

LAM = Lipoarabinomannan
69

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2018 dengan

menggunakan sampel simpan yang dikumpulkan sejak April - Juli 2018.

Penelitian dilakukan terhadap 72 sampel serum simpan pasien suspek

koinfeksi HIV – TB yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 5. Subjek penelitian

berusia 20-87 tahun, sebagian besar subjek adalah laki-laki (70,8%).

Berdasarkan hasil kultur sputum dan antibodi HIV maka subjek

kemudian dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu subjek dengan

koinfeksi HIV-TB sebesar 2,8%, subjek dengan HIV (+) TB (-) sebanyak

6,9%, subjek dengan HIV (-) TB (+) sebanyak 18,1% dan subjek HIV (-)

dan TB (-) sebesar 72,2%. Berdasarkan metode deteksi TB

pemeriksaan sputum mikroskopis dan radiologis menunjukkan hasil

yang hampir sama, sedangkan pada hasil pemeriksaan radiologis

menunjukkan sebagian besar kesan TB (55,6%) dibandingkan dengan

non TB (44,4%).
70

Tabel 5. Sebaran Karakteristik Subjek

Variabel n %
Laki-Laki 51 70,8
Jenis Kelamin
Perempuan 21 29,2
HIV (+) TB (+) 2 2,8
HIV (+) TB (-) 5 6,9
Kelompok Subjek
HIV (-) TB (+) 13 18,1
HIV(-) HIV (-) TB (-) 52 72,2
Metode Deteksi TB
Positif 15 20,8
Kultur
Negatif 57 79,2
Positif 14 19,4
Mikroskopis
Negatif 58 80,6
TB 40 55,6
Radiologis
Non TB 32 44,4

Tabel 6 menggambarkan kadar LAM dari semua kelompok

subjek. Dari data tersebut diperoleh kadar LAM terendah dari kelompok

HIV (-) TB (+) sementara kadar tertinggi didapatkan dari kelompok HIV

(-) TB (-). Hal ini memperlihatkan bahwa kadar LAM dapat ditemukan

pada semua kelompok subjek.

Tabel 6. Kadar LAM menurut Kelompok Subjek


Kadar LAM (pg/mL)
Kelompok n
Min Maks Mean SD
HIV(+) TB (+) 2 755,4 1999,8 1377,6 879,9
HIV(+) TB (-) 5 1760,1 3497,4 2413,0 663,5
HIV(-) TB (+) 13 236,7 2432,5 1470,9 759,0
HIV(-) TB (-) 52 248,3 3886,1 1760,6 924,2

Tabel 7 menggambarkan sebaran hasil sputum mikroskopis

menurut kelompok subjek. Didapatkan bahwa hasil mikroskopis positif


71

didapatkan lebih banyak pada kelompok HIV (-) TB (+) dan hasil

sputum mikroskopis yang negatif pada kelompok HIV (-) TB (-).

Tabel 7. Sebaran Hasil Sputum Mikroskopis menurut Kelompok


Mikroskopis
Kelompok Total
Positif Negatif
HIV(+) TB(+) n 1 1 2
% 50,0% 50,0% 100,0%
HIV(+) TB(-) n 0 5 5
% 0,0% 100,0% 100,0%
HIV(-) TB(+) n 12 1 13
% 92,3% 7,7% 100,0%
n 1 51 52
HIV(-) TB(-)
% 1,9% 98,1% 100,0%
n 14 58 72
Total
% 19,4% 80,6% 100,0%

Tabel 8 menggambarkan sebaran hasil radiologis menurut

kelompok subjek. Didapatkan bahwa hasil radiologis dengan gambaran

TB didapatkan lebih banyak pada kelompok HIV (-) TB (+) dan hasil

radiologis dengan gambaran non TB pada kelompok HIV (+) TB (-).

Tabel 8. Sebaran Hasil Foto Thorax Radiologis menurut Kelompok


Radiologis
Kelompok Total
TB Non TB
n 1 1 2
HIV (+) TB (+)
% 50,0% 50,0% 100,0%
n 2 3 5
HIV (+) TB (-)
% 40,0% 60,0% 100,0%
n 11 2 13
HIV (-) TB (+)
% 84,6% 15,4% 100,0%
n 26 26 52
HIV (-) TB (-)
% 50,0% 50,0% 100,0%
n 40 32 72
Total
% 55,6% 44,4% 100,0%
72

2. Perbandingan Kadar LAM Serum

Rerata kadar LAM serum ditemukan lebih rendah pada hasil

kultur, sputum mikroskopis dan radiologis yang positif dibandingkan

hasil negatif. Dengan menggunakan uji statistik Independent-t

menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan (p>0,05)

(Tabel 9).

Tabel 9. Perbandingan kadar LAM Serum menurut metode deteksi TB

Kadar LAM serum


Variabel p
n Mean SD
Metode Deteksi TB
Positif 15 1458,5 741,7 0,167
Kultur
Negatif 57 1817,8 918,7
Positif 14 1387,8 771,9 0,097
Mikroskopis
Negatif 58 1828,7 903,8
TB 40 1658,7 845,7 0,374
Radiologis
Non TB 32 1848,3 949,8

3. Penentuan Nilai Cutoff LAM Serum

Untuk menilai apakah kadar LAM serum bisa digunakan untuk

memprediksi TB dan nilai cutoffnya, maka dilakukan analisis kurva

ROC seperti dibawah ini.


73

Gambar 13. Kurva ROC LAM Serum terhadap Kultur

Hasil analisis kurva ROC, menunjukkan kadar LAM serum

mempunyai nilai AUC (Area Under Curve) yang rendah yaitu 0,592

(p=0,276) dan tidak signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

kadar LAM serum tidak bisa digunakan untuk memprediksi TB pada

subjek penelitian ini. Dengan demikian, nilai diagnostik tidak bisa

digunakan oleh karena pasti sangat rendah.


74

B. Pembahasan

Lipoarabinomannan adalah faktor virulensi utama dalam patologi

infeksi Mtb dan telah berhasil terdeteksi dalam cairan tubuh orang yang

terinfeksi TB; Namun, sensitivitasnya untuk mengidentifikasi pasien

dengan infeksi aktif masih dipertanyakan (Laurentius et al., 2017). Pada

penelitian ini, pemeriksaan TB paru dilakukan dengan menggunakan

LAM serum dengan modalitas kultur sputum Mtb sebagai pemeriksaan

gold standard, selain itu juga diambil data pemeriksaan mikroskopis

sputum dan foto thorax radiologis.

Pada penelitian ini didapatkan mikroskopis sputum dengan hasil

positif 19,4%, hasil radiologis yang memberikan gambaran TB sebesar

55,7% sedangkan kultur sputum Mtb dengan hasil positif sebesar 20,8%.

Hasil ini tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan LAM serum

kuantitatif.

Hasil yang berbeda diperoleh Hesa elatty dkk (Egypt, 2013) yang

menunjukkan bahwa tes LAM ELISA dengan sampel serum menunjukkan

positifitas tinggi pada pasien TB terkonfirmasi; sputum mikroskopis

dikombinasikan dengan uji LAM dapat mendiagnosis 95% dari kasus

yang TB terkonfirmasi; Tes kulit tuberkulin, peningkatan Laju Endap Darah

(LED), dan tes radiologis telah menunjukkan perbedaan signifikan dari

LAM serum kualitatif dan kuantitatif. Sensitivitas, spesifisitas, akurasi, nilai

prediksi positif, dan nilai prediksi negatif dari LAM serum masing-masing
75

adalah 90, 100, 93,3, 100, dan 83,3%. (El-kalashy, Abd el-Atty,

MohamadBakr, El-Helbawy, & Fathyabbass, 2014).

Study oleh Lawn et al. (2012) meneliti faktor patogen dan host

yang berpotensi memiliki dampak pada deteksi LAM. Dari studi tersebut

dilaporkan bahwa 32/199 (16,1%) memiliki hasil LAM ELISA positif. Hasil

LAM yang positif LAM dikaitkan dengan hasil sputum mikroskopis positif,

kultur sputum positif, dan penurunan kekebalan host faktor dengan

jumlah CD4 yang rendah. Shah et al. juga melaporkan bahwa infeksi

HIV, mikobakteremia, dan dahak positif adalah faktor risiko untuk tes

LAM positif (Shah et al., 2009).

Selain itu, Lawn menyatakan bahwa uji ini memiliki sensitivitas

yang baik untuk diagnosis TB terkait HIV pada pasien dengan defisiensi

imun lanjut. LAM terkait dengan faktor kekebalan tubuh host. Jumlah

bakteri TB pada individu dengan defisiensi imun lanjut cenderung lebih

tinggi, menghasilkan peningkatan antigen LAM dalam cairan biologis.

Rendahnya hasil positif pada penelitian ini dapat disebabkan

karena pemeriksaan sputum BTA memerlukan bahan spesimen sputum

sekitar 105 untuk memberikan hasil positif pada Mycobacterium. Hasil

negatif yang diperoleh mungkin terkait dengan imunosupresi dan

ketidakmampuan tubuh untuk mendegradasi mikobakteri dan selanjutnya

melepaskan antigen ke dalam sirkulasi (El-kalashy et al., 2014).

Perbedaan karakteristik uji LAM mungkin berhubungan dengan

metode pengujian LAM atau populasi pasien yang berbeda.


76

Pengumpulan dan pemrosesan serum dapat mempengaruhi akurasi,

namun tidak ada perbedaan signifikan antara penggunaan sampel serum

segar maupun yang telah dibekukan sebelumnya. (El-kalashy et al.,

2014)

Hasil analisis kurva ROC, menunjukkan kadar LAM serum

mempunyai nilai AUC yang rendah yaitu 0,592 (p=0,276) dan tidak

signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kadar LAM serum tidak

bisa digunakan untuk memprediksi TB pada subjek penelitian ini. Dengan

demikian, nilai diagnostik tidak bisa digunakan oleh karena pasti sangat

rendah.

Hasil yang sama diperoleh Mukundan et al (2012) yang

menggambarkan hubungan LAM dengan High Density Lipoprotein (HDL)

dalam darah sebagai implikasi dari diagnosis TB. Meskipun LAM sebagai

Indikator awal TB yang dapat diandalkan, sangat sulit untuk mendeteksi

LAM terutama dalam darah. (Mukundan et al., 2012).

Rendahnya sensitivitas LAM sebagai marker TB disebabkan oleh

kompleksasi LAM dengan protein dan komponen lainnya dalam serum.

Situasi ini mengharuskan pre-treatment terhadap sampel yang dapat

meningkatkan deteksi, mengurangi efek matriks dengan menghilangkan

atau menutupi interferensi, melawan reaksi silang, imunokompleksasi, dan

efek matriks lainnya (Laurentius et al., 2017).

Penelitian ini, sepengetahuan peneliti, merupakan penelitian yang

pertama di Indonesia, khususnya Makassar yang melakukan uji diagnostik


77

tes Lipoarabinomannan serum pada pasien suspek koinfeksi HIV-TB.

Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan sampel simpan, tidak

dilakukannya pre-treatment terhadap sampel, pengambilan sampel yang

tidak memperhatikan onset TB dan pemberian terapi antibiotik serta

penggunaan parameter pemeriksaan yang tidak seragam.

C. Ringkasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dirangkum sebagai berikut:

Hasil analisis kurva ROC, menunjukkan kadar LAM serum

mempunyai nilai AUC yang rendah yaitu 0,592 (p=0,276) dan tidak

signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kadar LAM serum tidak

bisa digunakan untuk memprediksi TB pada subjek penelitian ini. Dengan

demikian, nilai diagnostik tidak bisa digunakan oleh karena pasti sangat

rendah.
78

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Modalitas sputum mikroskopis untuk diagnosis TB paru dipengaruhi

oleh status immunodeficiency.

2. Modalitas pemeriksaan foto thorax radiologis untuk diagnosis TB paru

dipengaruhi oleh status immunodeficiency.

3. Kadar Lipoarabinomannan (LAM) serum tidak dapat digunakan

sebagai marker untuk mendeteksi TB pada pasien koinfeksi HIV-TB.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan persiapan sampel

yang lebih baik yaitu dengan dengan pre-treatment sampel serta

memperhatikan hasil kultur, onset TB dan pemberian terapi antibiotik

subjek penelitian.
79

DAFTAR PUSTAKA

Bell, L. C. K., & Noursadeghi, M. (2018). Pathogenesis of HIV-1 and


mycobacterium tuberculosis co-infection. Nature Reviews
Microbiology. https://doi.org/10.1038/nrmicro.2017.128
Cantaert, T., Baeten, D., Tak, P. P., & Baarsen, L. G. van. (2010). Type I
IFN and TNFα cross-regulation in immune-mediated inflammatory
disease: basic concepts and clinical relevance. Arthritis Research &
Therapy. https://doi.org/10.1186/ar3150
CDC. (2016). chapter2 TRANSMISION. Transmission and Pathogenesis
of Tuberculosis.
Creswell, J., Raviglione, M., Ottmani, S., Migliori, G. B., Uplekar, M.,
Blanc, L., … Lönnroth, K. (2011). Series: “Update on tuberculosis” -
Tuberculosis and noncommunicable diseases: Neglected links and
missed opportunities. European Respiratory Journal.
https://doi.org/10.1183/09031936.00084310
de Noronha, A. L. L., Báfica, A., Nogueira, L., Barral, A., & Barral-Netto,
M. (2008). Lung granulomas from Mycobacterium tuberculosis/HIV-1
co-infected patients display decreased in situ TNF production.
Pathology Research and Practice.
https://doi.org/10.1016/j.prp.2007.10.008
Diedrich, C. R., O’Hern, J., Gutierrez, M. G., Allie, N., Papier, P., Meintjes,
G., … Wilkinson, R. J. (2016). Relationship between HIV Coinfection,
Interleukin 10 Production, and Mycobacterium tuberculosis in Human
Lymph Node Granulomas. Journal of Infectious Diseases.
https://doi.org/10.1093/infdis/jiw313
Dinas Kesehatan Jatim. (2015). InfoDatin: Tuberkulosis. Pusat Data Dan
Inforasi Kementerian Kesehatan RI. https://doi.org/24442-7659
El-kalashy, M., Abd el-Atty, H.-S., MohamadBakr, R., El-Helbawy, R., &
Fathyabbass, H. (2014). The value of serum lipoarabinomannan in
the diagnosis of pulmonary tuberculosis. Menoufia Medical Journal,
27(4), 733. https://doi.org/10.4103/1110-2098.149720
Elliott, A. M., Namaambo, K., Allen, B. W., Luo, N., Hayes, R. J., Pobee, J.
O. M., & McAdam, K. P. W. J. (1993). Negative sputum smear results
in HIV-positive patients with pulmonary tuberculosis in Lusaka,
Zambia. Tubercle and Lung Disease. https://doi.org/10.1016/0962-
8479(93)90010-U
Falvo, J. V., Ranjbar, S., Jasenosky, L. D., & Goldfeld, A. E. Arc of a
vicious circle: Pathways activated by Mycobacterium tuberculosis that
target the HIV-1 long terminal repeat, American Journal of Respiratory
Cell and Molecular Biology (2011). https://doi.org/10.1165/rcmb.2011-
0186TR
Feldman, C., Polverino, E., Ramirez, J. a, Feldman, C., & Polverino, E.
(n.d.). Pulmonary Complications of HIV. (L. K. Bush Andrew ,
80

Calverley Peter, Kolb Martin, Ed.). Norwich, UK: Page Bros Ltd.
Retrieved from
https://web.telegram.org/#/im?p=c1013866696_96742881206220112
09
García-Basteiro, A. L., DiNardo, A., Saavedra, B., Silva, D. R., Palmero,
D., Gegia, M., … Theron, G. (2018). Point of care diagnostics for
tuberculosis. Revista Portuguesa de Pneumologia (English Edition),
24(2), 73–85. https://doi.org/10.1016/j.rppnen.2017.12.002
Getahun, H., Gunneberg, C., Granich, R., & Nunn, P. (2010). HIV
Infection–Associated Tuberculosis: The Epidemiology and the
Response. Clinical Infectious Diseases, 50(s3), S201–S207.
https://doi.org/10.1086/651492
Global Tuberculosis. (2017). https://doi.org/10.1001/jama.2014.11450
Guarda, G., Braun, M., Staehli, F., Tardivel, A., Mattmann, C., Förster, I.,
… Tschopp, J. (2011). Type I Interferon Inhibits Interleukin-1
Production and Inflammasome Activation. Immunity.
https://doi.org/10.1016/j.immuni.2011.02.006
Hamasur, B., Bruchfeld, J., Haile, M., Pawlowski, A., Bjorvatn, B.,
Källenius, G., & Svenson, S. B. (2001). Rapid diagnosis of
tuberculosis by detection of mycobacterial lipoarabinomannan in
urine. Journal of Microbiological Methods.
https://doi.org/10.1016/S0167-7012(01)00239-1
Harding, C. V., & Boom, W. H. (2010). Regulation of antigen presentation
by Mycobacterium tuberculosis: A role for Toll-like receptors. Nature
Reviews Microbiology. https://doi.org/10.1038/nrmicro2321
Havlir, D. V, Getahun, H., Sanne, I., & Havlir, D. V. (2008). Opportunities
and Challenges for HIV Care. https://doi.org/10.1001/jama.300.4.423
Irianti, Kuswandi, Yasin, N. M., & Kusumaningtyas, R. A. (2016). Anti-
tuberkulosis, 225.
Kemenkes RI. (2015). Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB-HIV 2015-
2019.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Pedoman
pengobatan antiretroviral. Peraturan Meteri Kesehatan Republik
Indonesia, Nomor 87 Tahun 2014, 1–121.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Kleinnijenhuis, J., Oosting, M., Joosten, L. a B., Netea, M. G., & Van
Crevel, R. (2011). Innate immune recognition of Mycobacterium
tuberculosis. Clinical & Developmental Immunology.
https://doi.org/10.1155/2011/405310
Kwan, C., & Ernst, J. D. (2011). HIV and tuberculosis: A deadly human
syndemic. Clinical Microbiology Reviews, 24(2), 351–376.
https://doi.org/10.1128/CMR.00042-10
Laboratory BioassayTechnology. (n.d.). Human-
LipoarabinomannanLAMELISA-Kit-4800-1. Shanghai, China:
Bioassay Technology Laboratory.
Lamont, E. A., Ribeiro-Lima, J., Waters, W. R., Thacker, T., & Sreevatsan,
81

S. (2014). Mannosylated lipoarabinomannan in serum as a biomarker


candidate for subclinical bovine tuberculosis. BMC Research Notes.
https://doi.org/10.1186/1756-0500-7-559
Laurentius, L. B., Crawford, A. C., Mulvihill, T. S., Granger, J. H.,
Robinson, R., Spencer, J. S., … Porter, M. D. (2017). Importance of
specimen pretreatment for the low-level detection of mycobacterial
lipoarabinomannan in human serum. Analyst, 142(1), 177–185.
https://doi.org/10.1039/c6an02109c
Lawn, S. D., Dheda, K., Kerkhoff, A. D., Peter, J. G., Dorman, S., Boehme,
C. C., & Nicol, M. P. (2013). Determine TB-LAM lateral flow urine
antigen assay for HIV-associated tuberculosis: Recommendations on
the design and reporting of clinical studies. BMC Infectious Diseases.
https://doi.org/10.1186/1471-2334-13-407
Lawn, S. D., Kerkhoff, A. D., Vogt, M., & Wood, R. (2012). Diagnostic
accuracy of a low-cost, urine antigen, point-of-care screening assay
for HIV-associated pulmonary tuberculosis before antiretroviral
therapy: A descriptive study. The Lancet Infectious Diseases.
https://doi.org/10.1016/S1473-3099(11)70251-1
Leidl, L., Mayanja-Kizza, H., Sotgiu, G., Baseke, J., Ernst, M., Hirsch, C.,
… Lange, C. (2010). Relationship of immunodiagnostic assays for
tuberculosis and numbers of circulating CD4+ T-cells in HIV infection.
European Respiratory Journal.
https://doi.org/10.1183/09031936.00045509
Lubis, R. (n.d.). Ko-Infeksi Hiv/Aids Dan Tb.
MacMicking, J. D. (2014). Cell-autonomous effector mechanisms against
Mycobacterium tuberculosis. Cold Spring Harbor Perspectives in
Medicine. https://doi.org/10.1101/cshperspect.a018507
Mayer-Barber, K. D., & Yan, B. (2017). Clash of the Cytokine Titans:
Counter-regulation of interleukin-1 and type i interferon-mediated
inflammatory responses. Cellular and Molecular Immunology.
https://doi.org/10.1038/cmi.2016.25
McNerney, R., & Daley, P. (2011). Towards a point-of-care test for active
tuberculosis: Obstacles and opportunities. Nature Reviews
Microbiology. https://doi.org/10.1038/nrmicro2521
Mukundan, H., Kumar, S., Price, D. N., Ray, S. M., Lee, Y. J., Min, S., …
Swanson, B. I. (2012). Rapid detection of Mycobacterium tuberculosis
biomarkers in a sandwich immunoassay format using a waveguide-
based optical biosensor. Tuberculosis, 92(5), 407–416.
https://doi.org/10.1016/j.tube.2012.05.009
Mulyadi, & Fitrika, Y. (2010). HUBUNGAN TUBERKULOSIS DENGAN
HIV / AIDS Correlation between Tuberculosis with HIV / AIDS. Idea
Nursing Journal, 2(2), 163–166.
Nigou, J., Zelle-Rieser, C., Gilleron, M., Thurnher, M., & Puzo, G. (2001).
Mannosylated Lipoarabinomannans Inhibit IL-12 Production by
Human Dendritic Cells: Evidence for a Negative Signal Delivered
Through the Mannose Receptor. The Journal of Immunology.
82

https://doi.org/10.4049/jimmunol.166.12.7477
Norbis, L., Alagna, R., Tortoli, E., Codecasa, L. R., Migliori, G. B., & Cirillo,
D. M. (2014). Challenges and perspectives in the diagnosis of
extrapulmonary tuberculosis. Expert Review of Anti-Infective Therapy.
https://doi.org/10.1586/14787210.2014.899900
Padmapriyadarsini, C., Narendran, G., & Swaminathan, S. (2011).
Diagnosis & treatment of tuberculosis in HIV co-infected patients. The
Indian Journal of Medical Research. https://doi.org/10.4103/0971-
5916.92630
PDPI. (2011). Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 1–55.
https://doi.org/10.5860/CHOICE.41-4081
Perkins, M. D., & Cunningham, J. (2007). Facing the Crisis: Improving the
Diagnosis of Tuberculosis in the HIV Era. The Journal of Infectious
Diseases. https://doi.org/10.1086/518656
Peter, J. G., Theron, G., Van Zyl-Smit, R., Haripersad, A., Mottay, L.,
Kraus, S., … Dheda, K. (2012). Diagnostic accuracy of a urine
lipoarabinomannan strip-test for TB detection in HIV-infected
hospitalised patients. European Respiratory Journal.
https://doi.org/10.1183/09031936.00201711
Piccini, P., Chiappini, E., Tortoli, E., de Martino, M., & Galli, L. (2014).
Clinical peculiarities of tuberculosis. BMC Infectious Diseases.
https://doi.org/10.1186/1471-2334-14-S1-S4
Reither, K., Saathoff, E., Jung, J., Minja, L. T., Kroidl, I., Saad, E., …
Hoelscher, M. (2009). Low sensitivity of a urine LAM-ELISA in the
diagnosis of pulmonary tuberculosis. BMC Infectious Diseases.
https://doi.org/10.1186/1471-2334-9-141
Science, A. (n.d.). Urine lipoarabinomannan assays for paediatric
tuberculosis, 2–4.
Sester, M., Giehl, C., McNerney, R., Kampmann, B., Walzl, G., Cuchí, P.,
… Meyerhans, A. (2010). Challenges and perspectives for improved
management of HIV/Mycobacterium tuberculosis co-infection.
European Respiratory Journal, 36(6), 1242–1247.
https://doi.org/10.1183/09031936.00040910
Shah, M., Variava, E., Holmes, C. B., Coppin, A., Golub, J. E., McCallum,
J., … Susan E. Dorman, MD,* and Neil A. Martinson, MBBCh, M.
(2009). Diagnostic accuracy of a urine lipoarabinomannan test for
tuberculosis in hospitalized patients in a high HIV prevalence setting.
Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes, 52(2), 145–151.
https://doi.org/10.1097/QAI.0b013e3181b98430
Singh, S. K., Andersson, A. M., Ellegård, R., Lindestam Arlehamn, C. S.,
Sette, A., Larsson, M., … Blomgran, R. (2016). HIV Interferes with
Mycobacterium tuberculosis Antigen Presentation in Human Dendritic
Cells. American Journal of Pathology.
https://doi.org/10.1016/j.ajpath.2016.08.003
Singhal, R., & Myneedu, V. P. (2015). Microscopy as a diagnostic tool in
83

pulmonary tuberculosis. International Journal of Mycobacteriology.


https://doi.org/10.1016/j.ijmyco.2014.12.006
Sonnenberg, P., Glynn, J. R., Fielding, K., Murray, J., Godfrey-faussett, P.,
& Shearer, S. (2005). How Soon after Infection with HIV Does the
Risk of Tuberculosis Start to Increase ? A Retrospective Cohort Study
in South African Gold Miners, 191.
Toossi, Z., Xia, L., Wu, M., & Salvekar, a. (1999). Transcriptional
activation of HIV by Mycobacterium tuberculosis in human
monocytes. Clinical and Experimental Immunology.
Tucci, P., Gonz??lez-Sapienza, G., & Marin, M. (2014). Pathogen-derived
biomarkers for active tuberculosis diagnosis. Frontiers in
Microbiology. https://doi.org/10.3389/fmicb.2014.00549
United States Environmental Protection Agency. (2015). Policy &
Guidance. https://doi.org/978 92 4 150963 3
Urdahl, K. B., Shafiani, S., & Ernst, J. D. (2011). Initiation and regulation of
T-cell responses in tuberculosis. Mucosal Immunology.
https://doi.org/10.1038/mi.2011.10
Vermeire, J., Roesch, F., Sauter, D., Rua, R., Hotter, D., Van Nuffel, A., …
Verhasselt, B. (2016). HIV Triggers a cGAS-Dependent, Vpu- and
Vpr-Regulated Type I Interferon Response in CD4+T Cells. Cell
Reports. https://doi.org/10.1016/j.celrep.2016.09.023
Walter, N. D., De Jong, B. C., Garcia, B. J., Dolganov, G. M., Worodria,
W., Byanyima, P., … Schoolnik, G. K. (2016). Adaptation of
Mycobacterium tuberculosis to Impaired Host Immunity in HIV-
Infected Patients. Journal of Infectious Diseases.
https://doi.org/10.1093/infdis/jiw364
Wang, S., Lifson, M. A., Inci, F., Liang, L. G., Sheng, Y. F., & Demirci, U.
(2016). Advances in addressing technical challenges of point-of-care
diagnostics in resource-limited settings. Expert Review of Molecular
Diagnostics. https://doi.org/10.1586/14737159.2016.1142877
Waruk, J. L. M., Machuki, Z., Mesa, C., Juno, J. A., Anzala, O., Sharma,
M., … Kiazyk, S. (2015). Cytokine and chemokine expression profiles
in response to Mycobacterium tuberculosis stimulation are altered in
HIV-infected compared to HIV-uninfected subjects with active
tuberculosis. Tuberculosis. https://doi.org/10.1016/j.tube.2015.05.001
84

LAMPIRAN
Lampiran 1. Persetujuan Etik
85

Lampiran 2. Data Dasar Penelitian


Hasil
Jenis
No Nama No. RM Umur Sputum Mikroskopis
Kelamin Kultur Sputum anti HIV Foto Thorax
I II III
Scanty (1 Bronchopneumonia suspek spesifik, cardiomegaly
1 E-S 381557 P 68 Positif MTb Non Reactive Negatif Negatif
BTA/100 LPB) disertai dilatatio aortae
2 B-- 838910 L 39 Positif MTb Non Reactive Positif 2 Negatif Negatif TB paru aktif lesi luas
3 M-U 839708 L 32 Positif MTb Reactive Positif 3 Positif 3 Positif 1 TB paru lama aktif lesi luas
4 N-- 839215 P 44 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Pneumonia D, Cor dalam batas normal
5 L-- 834619 L 67 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Bronchopneumonia bilateral, efusi pleura D
6 A-K 846710 L 76 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas, efusi pleura D
7 M-- 838389 L 32 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Pneumothorax S, Efusi Pleura S, Pneumonia S
Efusi pleura bilateral, infected bronchiectasis,
8 T-- 732217 L 72 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
cardiomegaly disertai tanda-tanda edema paru
9 M-- 208682 L 58 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru aktif lesi luas
TB paru lama aktif lesi luas, dilatatio et elongatio
10 V-- 826587 L 64 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
aortae
11 AKR 798330 L 21 Positif MTb Non Reactive Positif 3 Positif 3 Positif 3 TB paru lama aktif lesi luas
12 A-U 838280 L 38 Positif MTb Non Reactive Positif 1 Positif 1 Positif 1 TB paru aktif lesi luas, encapsulated efusi pleura D
13 D-- 841345 L 61 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas, dilatatio aortae
14 SBA 820225 L 70 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi minimal
15 R-L 841394 L 25 Negatif Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru aktif
16 N-- 838047 P 58 Negatif Non reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura S
TB paru lama aktif lesi luas, Emfisema pulmonum,
17 U-M 840397 L 43 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
Efusi pleura bilateral
Scanty (6
18 R-S 700062 P 31 Positif MTb Non reactive Negatif Positif 1 TB paru lama aktif lesi luas
BTA/100 LPB)
19 S-- 839610 L 55 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas
Pneumonia S, elevasi diafragma S, Scoliosis Lumbalis
20 MMD 836789 P 21 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
sinistroconvex
TB paru lama aktif, efusi pleura D, dilatatio et
21 M-- 839057 P 72 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
elongatio aortae
22 A-A 840721 P 20 Positif MTb Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru aktif lesi luas, Cor dalam batas normal
23 M-P 840228 L 38 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura D,dilatatio aortae
TB paru aktif lesi luas, efusi pleura bilateral terutama
24 S-- 843835 L 62 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
kanan
TB paru lama aktif lesi luas disertai multilple cavitas,
25 M-Y 843147 L 25 Negatif Non Reactive Positif 1 Negatif Positif 1
efusi pleura S
86

TB paru aktif lesi luas, efusi pleura S, suspek massa


26 E-S 842780 L 20 Negatif Non reactive Negatif Negatif Negatif
paru S
27 R-- 843704 P 59 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura bilateral, Infected bronchiectasis
Multiple lesi noduler suspek tumor metastasis ke
28 L-D 802274 L 44 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
paru
29 I-T 843431 L 63 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas, efusi pleura D
30 L-B 842041 L 56 Negatif Non reactive Negatif Negatif Negatif TB milier + Efusi pleura D/S
31 S-M 841703 P 68 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Pneumonia bilateral, efusi pleura D
32 JDJ 843426 P 68 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura S, TB paru lama aktif lesi luas
33 D-S 783076 L 87 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas, efusi pleura minimal S
34 K-- 842753 L 58 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas
35 M-- 680637 L 58 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura S DD/ Hemothorax
TB paru lama aktif lesi luas disertai infected
36 H-A 348362 L 64 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
bronchiectasis
37 G-- 841696 L 27 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura D, dilatatio aortae
38 S-- 827492 P 43 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura bilateral terutama D, Aspek Bronchitis
39 D-- 844712 P 36 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Pneumomediastinum, TB paru lama aktif lesi luas
Observasi multiple lesi noduler suspek metastasis
40 K-- 844773 L 61 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
paru, efusi pleura S
41 S-- 845209 L 22 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru aktif lesi luas
Hidropneumothorax S, efusi pleura D, Emphysema
42 A-- 787862 L 64 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
subcutis
43 R-- 845463 P 63 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura D
44 S-R 845798 L 50 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Bronchopneumonia suspek spesifik, efusi pleura D
TB paru lama aktif lesi luas, efusi minimal pleura
45 D-J 606923 L 43 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
bilateral
46 M-A 845686 L 62 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Bronchiectasis
47 S-- 845528 L 50 Positif MTb Non Reactive Positif 1 Positif 2 Positif 2 TB paru lama aktif lesi luas
Bronchopneumonia bilateral suspek spesifik,
48 S-- 845948 L 48 Negatif Reactive Negatif Negatif Negatif
infected bronchiectasis
49 N-- 846356 P 21 Positif MTb Non reactive Positif 3 Positif 3 Positif 3 TB paru lama aktif lesi luas
50 A-S 846146 L 73 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Pneumonia bilateral suspek spesifik, efusi pleura S
51 M-R 846518 L 20 Positif MTb Non reactive Negatif Negatif Positif 1 Pneumonia D
52 T-- 846369 L 48 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Infected bronchiectasis, efusi minimal pleura S
53 SLP 846517 L 70 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Bronchopneumonia D suspek spesifik
TB paru lama aktif lesi luas, pneumonia D, efusi
54 M-- 846085 L 20 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
pleura S
55 N-W 848675 L 43 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Tanda-tanda edema paru
56 T-M 848890 P 66 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas, efusi pleura bilateral
87

TB paru lama aktif lesi luas disertai infected


57 H-- 848684 P 53 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif
bronchiectasis, efusi pleura bilateral
58 I-S 850736 L 52 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas
59 M-H 847208 L 67 Negatif Non reactive Negatif Negatif Negatif Pneumothorax D
60 UDB 612319 L 72 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama tenang
61 N-K 850371 P 53 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Hidropneumothorax S
Multiple pulmonary bullae bilateral, TB paru lama
62 M-- 771409 L 25 Negatif Non reactive Negatif Negatif Negatif
aktif lesi luas disertai atelektasis pulmo S
63 N-- 836820 P 32 Positif MTb Reactive Negatif Negatif Negatif Tidak tampak kelainan radiologik pada foto thorax ini
64 M-F 846124 L 34 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif Efusi pleura D, cardiomegaly
65 M-A 846065 L 57 Positif MTb Non Reactive Negatif Positif 1 Negatif TB paru lama aktif lesi luas
66 S-- 837598 L 49 Negatif Non Reactive Negatif Negatif Negatif TB milier
67 M-S 823917 P 34 Negatif Reactive Negatif Negatif Negatif TB paru lama aktif lesi luas, efusi pleura S
Scanty (5
68 S-L 847992 P 38 Positif MTb Non Reactive Positif 1 Positif 1 TB paru lama aktif lesi luas
BTA/100 LPB)
69 UFU 647053 P 21 Positif MTb Non Reactive Positif 1 Positif 1 Positif 1 TB paru lama aktif lesi luas
70 A-- 845409 L 30 Negatif Reactive Negatif Negatif Negatif Pneumocystis pneumonia carinii
71 S-- 845948 L 48 Negatif Reactive Negatif Negatif Negatif Bronchopneumonia bilateral suspek spesifik
72 FPR 698486 L 22 Positif MTb Non Reactive Positif 2 Positif 3 Positif 2 TB paru aktif lesi luas
88

Lampiran 3. Curriculum Vitae


CURRICULUM VITAE
A. DATA PRIBADI
Nama : dr. Fatmawaty Ahmad
Tempat dan tanggal lahir : Ujung Pandang, 19 September 1983
Agama : Islam
Pekerjaan : Dokter
NIP : -
Pangkat : -
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan III, BTN Hamzy
Blok S/1 Makassar

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

TAHUN
NO. STRATA INSTITUSI TEMPAT
TAMAT
1 SD SD Islam Athirah Makassar 1995
2 SMP SLTP Negeri 7 Makassar 1998
3 SMA SMA Negeri 17 Makassar 2001
4. Dokter FK Unhas Makassar 2007
Spesialis Bagian Patologi
5 Makassar 2014-sekarang
(sementara) Klinik FK Unhas

C. RIWAYAT PEKERJAAN
No Kedudukan Instansi Tempat Periode
RSUD Lanto Dg
1 Dokter Umum Jeneponto 2007-2008
Pasewang
2 Dokter PTT Puskesmas Barana Jeneponto 2008-2010
3 Dokter PTT Puskesmas Bangkala Jeneponto 2009-2010
4 Dokter Umum RS Antam Pomalaa 2010-2011
Research Eijkman Institute for Sumba Barat Januari –
5
Assistant Molecular Biology Daya Juli 2012
Research 2012 -
6 Ina Respond Makassar
Assistant sekarang

Anda mungkin juga menyukai