Anda di halaman 1dari 31

Membangun Budaya Anti Korupsi dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Madrasah

I. Definisi Budaya Anti Korupsi

Korupsi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan “penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keperluan pribadi”. Sedangkan
dalam undang-undang No. 20 tahun 2001 dapat diambil pengertian bahwa korupsi adalah
“Tindakan melanggar hokum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.

Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan
efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan
kesehatan yang tidak memadai. Di lingkungan sekolah sangat banyak ditemui praktek-praktek
korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan
sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang pembangunan sekolah.
Di madrasah/ sekolah, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dikenalkan, dikembangkan,
dibina bahkan dihilangkan. Karena hal itulah, salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai
pendidikan antikorupsi di negeri ini adalah dengan memberikan perhatian terhadap pendidikan
antikorupsi sejak dini di lembaga pendidikan.

Sebagai salah satu jalur pendidikan formal, keberadaan Madrasah pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi;
meningkatkan pengetahuan siswa untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian yang dijiwai ajaran Islam, dan meningkatkan
kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya yang dijiwai ajaran agama Islam.

II. Pentingnya Budaya Anti Korupsi Bagi Pendidikan

Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 September tahun 2002 merupakan
sebuah itikad baik dari pemerintahan saat itu. KPK menjadi harapan baru bagi Indonesia untuk
mengobati penyakit bangsa yang sudah kronis. Sampai saat ini KPK sudah menunjukan prestasi
yang mengaggumkan ditengah dahaga akan pemberantasan korupsi bangsa ini.

Mengingat begitu beratnya tugas KPK dan besarnya akibat yang disebabkan oleh kasus korupsi,
maka diperlukan suatu sistem yang mampu menyadarkan semua elemen bangsa untuk sama-
sama bergerak mengikis karang korupsi yang telah menggurita. Cara yang paling efektif adalah
melalui media pendidikan.

Untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang bersih, diperlukan sebuah sistem pendidikan
anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan
pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus
ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti
korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis siswa.

Ada dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini, yaitu :
1. Untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan
ini, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan
tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga, pekerjaan membangun bangsa yang terseok-
seok karena adanya korupsi dimasa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah
diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal.

2. Untuk membangun nilai-nilai dan mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk


membentuk posisi sipil murid dalam melawan korupsi

3. Menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga


penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung
jawab setiap anak bangsa.

Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang
berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Dengan
begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi
dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan
mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi
koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan
dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.

Tidak hanya itu, pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik di semua tingkat
institusi pendidikan, diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa tentang korupsi. Selama
ini, sangat banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah lama diakui sebagai sebuah hal yang lumrah
dan bukan korupsi. Termasuk hal-hal kecil. Misalnya, sering terlambat dalam mengikuti sebuah
kegiatan, terlambat masuk sekolah, kantor dan lain sebagainya. Menurut KPK, ini termasuk salah
satu bentuk korupsi, korupsi waktu. Kebiasaan tidak disiplin terhadap waktu ini sudah menjadi
lumrah, sehingga perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat. Materi ini dapat diikutkan dalam
pendidikan anti korupsi ini. Begitu juga dengan hal-hal sepele lainnya.

Adapun usaha-usaha yang harus dilakukan siswa siswi untuk untuk dapat mencapai tujuan-
tujuan dari pendidikan anti korupsi, yaitu dengan :

1. Memahami informasi

Bahaya korupsi biasanya ditunjukkan menggunakan argument ekonomi, sosial dan politik. Siswa
tentunya akan sulit untuk memahami,untuk itu perlu ‘diterjemahkan’ ke dalam bahasa para siswa
dengan menunjukkan bagaimana korupsi mengancam kepentingan mereka dan kepentingan
keluarga dan temanteman.

2. Mengingat

Tidak diragukan lagi, dengan proses mengulang, anak akan ingat, namun jika yang sama diulang
lebih dari tiga kali, anak akan merasa jenuh dan merasa kehilangan hak untuk membuat pilihan
bebas. Jadi tidak ada salahnya mengubah bentuk penyediaan informasi dengan cara yang paling
tak terduga dan mengesankan (ada variasi)
3. Mempersuasi (Membujuk) diri sendiri untuk bersikap kritis

Sikap kritis menjadi sangat kuat bila tidak hanya diberikan, tetapi mengarahkan mereka untuk
mengembangkanya dengan penalaran intensif. Efeknya akan lebih kuat jika menggunakan
metode pembelajaran aktif.
Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini, diharapkan akan lahir generasi tanpa korupsi
sehingga dimasa yang akan datang akan tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi. Harapan
awal tentunya ini akan berdampak langsung pada lingkungan sekolah yaitu pada semua elemen
pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa. Lingkungan sekolah akan menjadi
pioneer bagi pemberantasan korupsi dan akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi
mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

III. Impelementasi Budaya Anti Korupsi Bagi Manajerial Madrasah

Pendidikan adalah usaha sadar yang membentuk watak dan prilaku secara sistematis, terencana,
dan terarah (Mahfudh,2003:251). Madrasah adalah lembaga pendidikan yang memasukan nilai-
nilai Islam baik dalam kurikulum pembelajarannya maupun dalam etika sehari hari. Untuk itu
Madrasah harus bisa menjadi model percontohan dalam menegakkan Amar ma’ruf nahi
munkar, khususnya untuk tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pendidikan.
Islam memerintahkan umatnya agar hanya memakan dan memakai harta yang halal. Halal dan
haram tidak hanya ditentukan dari dzatnya saja, melainkan juga bagaimana cara memperolehnya.
Korupsi menurut kesepakatan Ulama (ijma) merupakan suatu tindakan yang sangat diharamkan
oleh Islam. Maka dari itu sangatlah penting untuk menanamkan budaya anti korupsi di
lingkungan madrasah.
Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekedar penyajian mata pelajaran agama. Artinya, ciri khas
tersebut bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga
madrasah

tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan
madrasah. ciri khas tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (1) Perwujudan nilai-nilai
keislaman di dalam keseluruhan kehidupan lembaga madrasah; (2) Kedidupan moral yang
beraktuaisasi, dan (3) Manajemen yang profesional, terbuka, dan berperan aktif dalam
masyarakat (Tilaar, 2004: 179). Artinya mulai dari Kepala Madrasah hingga tukang sapu
madrasah bersama –sama menciptakan budaya anti korupsi di lingkungan madrasah.

Seorang kepala madrasah merupakan penentu kebijakan pada madrasah tempatnya bertugas.
Penerapan budaya anti korupsi di madrasah memang sudah seharusnya di laksanakan dan
seorang kepala madrasah wajib menjadi motor penggerak dan tauladan bagi segenap civitas
akademika madrasah. Peran penting seorang kepala madrasah menjadi tumpuan bagi gerakan
anti korupsi di madrasah. Tak hanya sebagai tauladan, seorang kepala madrasah juga beperan
sebagai pegendali sistem birokrasi di madrasah. Dituntut ketegasan dan kreatifitas seorang
kepala madrasah dalam menjalankan sistem dan kebijakan yang bebas dari korupsi. Hal tersebut
bisa di lakukan misalnya dengan melakukan kebijakan reward and punishment, sebagai stimulus
bagi seluruh murid, guru (ustadz) dan karyawan di madrasah. Dan untuk mengefektifkan
program tersebut dibutuhkan pula sistem pengawasan internal. Sebagai kepala madrasah
tentunya dibutuhkan pribadi yang jujur, bersih dan berani serta memiliki komitmen yang
kuat untuk membudayakan anti korupsi dalam menerapkan kebijakan – kebijakan tersebut di
madrasah.
Peran para guru (ustadz) juga tak kalah penting dalam membudayakan anti korupsi di lingkungan
madrasah. Karena mereka yang berhubungan langsung dengan para murid, setiap tindakan dan
ucapan mereka sangat berpengaruh terhadap tingkah laku serta pribadi murid – murid madrasah.
Maka dari itu peran seorang guru (ustadz) selain dituntut untuk mempropagandakan selogan-
selogan anti korupsi kepada murid – murid madrasah, mereka juga harus mengimplementasikan
dalam setiap pelaksanaan proses belajar mengajar dan dalam setiap prilaku sehari –hari. Dimulai
dari hal terkecil seperti kepatuhan terhadap peraturan yang dibuat oleh pihak madrasah, misalnya
tepat waktu, kehadiran dan lain sebagainya.

Hal selanjutnya yang juga tak kalah penting adalah birokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan
di madrasah. Hal yang sering terjadi adalah membudayanya pungutan – pungutan liar yang
dilakukan pihak sekolah, pemberian gratifikasi para wali murid kepada guru atau bahkan kepala
sekolah dengan modus mempermudah segala urusan yang membelit siswa. Disini peran orang
tua atau wali murid juga dibutuhkan agar tidak membudayakan kegiatan yang seperti itu. Peran
orang tua atau wali murid juga dibutuhkan untuk mengawasi segala bentuk kebijakan madrasah
yang merugikan pihak siswa.

Ada satu moment dimana madrasah justru menjadi pelaku tindak ketidak jujuran, yaitu saat
pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Pihak sekolah atau madrasah, dengan dalih agar para
siswanya dapat lulus seratus persen, melakukan praktik – yang tidak terpuji dan tidak mendidik,
dengan cara memberikan jawaban kepada siswa yang melakukan Ujian Nasional (UN). Dalam
hal ini madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan nilai – nilai ke Islaman harus
menjadi contoh untuk menghindari usaha-usaha yang tercela tersebut dengan meningkatkan
kualitas pengajaran agar para siswa bisa mencapai hasil maksimal tanpa melakukan praktik –
praktik tak terpuji tersebut, bukan justru ikut –ikutan melakukan hal serupa.

Dalam mewujudkan budaya anti korupsi di madrasah memang butuh dukungan dari semua
pihak. Mulai dari Kepala sekolah, Guru (Ustadz), pegawai, siswa dan orang tua atau wali murid,
bahkan sampai tukang sapu madrasah sekalipun. Karena bukan hanya membawa citra personal
dan madrasah itu sendiri, tapi juga citra Islam.

Sebagai langkah pemberantasan korupsi di negeri ini telah dibentuk Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang banyak melakukan penanggulangan korupsi secara represif. Namun
terbukti hingga saat ini tindakan represif masih belum memberikan efek jera terhadap para
pelaku korupsi. Agar perilaku korupsi tidak semakin meluas, diperlukan tindakan pencegahan
(preventif) terhadap potensi untuk melakukan tindakan korupsi. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan menanamkan budaya anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

Pada lingkungan Madrasah, penanaman budaya anti korupsi dapat dilaksanakan dalam tataran
pelaksanaan keadministrasian dan managerial di Madrasah. Disadari ataupun tidak, banyak
sekali potensi perilaku korupsi pada tataran managerial Madrasah yang. Beberapa kegiatan yang
mungkin dapat dilakukan untuk menanamkan budaya anti korupsi adalah:
1. Transparansi: a). APBS dibuat secara bersama dengan melibatkan guru, komite Madrasah,
orang tua, dan staf TU. b). Pamflet-pamflet serta laporan-laporan yang dibuat secara tertulis
oleh Madrasah secara formal. Selama proses penyusunan RPS dan APBS, para guru,
perwakilan orang tua, pengurus komite Madrasah dan staf Madrasah selalu dilibatkan secara
aktif, meskipun tidak semua guru dan staf dilibatkan secara total.
2. Partisipasi: para warga Madrasah dan stakeholders lainnya harus berpartisipasi aktif dalam
pengelolaan Madrasah dalam berbagai bentuk semisal sumbangsih pemikiran, keterlibatan
guru, staf, dan orang tua siswa dalam kegiatan Madrasah. Secara formal penyampaian aspirasi
(sebagai salah satu bentuk partisipasi) dilakukan melalui rapat, sedangkan secara informal
dilakukan dengan bertatap muka dengan kepala Madrasah ataupun melalui surat.
3. Akuntabilitas: perlu dimilikinya standar kerja yang jelas dalam bentuk TUPOKSI (tugas
pokok dan fungsi), evaluasi kinerja melalui pemeriksaan dokumen rencana pembelajaran,
kunjungan kelas oleh kepala Madrasah, dan konsultasi individu antara guru dan kepala
Madrasah.
Implementasi dari transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas akan berjalan dengan baik bila
didukung dengan: a). dorongan dari orang tua siswa, b). personil Madrasah telah memiliki
kualifikasi yang cukup, d). adanya media komunikasi yang mampu menjadi penyalur berbagai
informasi perkembangan Madrasah, masukan serta kritikan dari stakeholder, dan e). program-
program Madrasah mendukung terhadap pengimplementasi-an pemberantasan korupsi, kolusi
dan nepotisme.

IV. Implementasi Budaya Anti Korupsi Bagi Siswa Didik


Pendidikan merupakan pilar pembangun karakter, dalam rangka menyiapkan generasi baru yang
anti korupsi dan membangun budaya anti korupsi adalah melalui implementasi pendidikan anti
korupsi pada setiap jenjang pendidikan daerah.

Berdasarkan aturan pemerintah antara lain:

1. TAP MPR RI Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari KKN;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari KKN;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
5. Instruksi Presiden RI Nomer 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pasal 13 tentang KPK memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan
Pemberantasan korupsi mesti sistematis dan masif. Pendidikan antikorupsi menjadi sarana sadar
untuk itu. Pendidikan antikorupsi baiknya menyentuh aspek kognitif, afektif, dan konasi. Tujuan
utama pendidikan antikorupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif.

Pendidikan antikorupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit


melawannya. Menjadi champion dalam pemberantasan korupsi. Pendidikan anti korupsi juga
berguna mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi kebaikan.
Seyogianya, pendidikan antikorupsi dikelola sebagai sebuah dialog, hingga tumbuh kesadaran
kolektif tiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi.

1. Memasukkan Nilai-nilai Anti Korupsi dalam Pelajaran


Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003
pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian
pendidikan berhasil jika tujuan dari pendidikan terlaksana. Untuk mencapainya diperlukan kerja
sama dari berbagai pihak.

Pendidikan Anti Korupsi mencakup aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Aspek
kognitif akan memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman kepada siswa tentang bahaya
korupsi, sehingga ia akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya Pemberantasan
korupsi. Aspek afeksi akan berkorelasi dengan pembentukan sikap, keasadaran, dan keyakinan
bahwa antikorupsi harus dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Adapun aspek
psikomotorik akan memberikan keterampilan dan perilaku kepada siswa bagaimana mengenali
korupsi. Keseluruhan aktivitas pendidikan ini akan memberikan pengalaman kepada siswa akan
pentingnya mengembangkan sikap, perilaku, dan kebiasaan yang beorientasi kepada kejujuran.

Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus
dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari
materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada
mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.

Pakar pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi
satu mata pelajaran khusus. Alasannya, karena siswa sekolah mulai SD, SMP, hingga SMA
sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi pemerintah, menurut Arief Rachman,
akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan, seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya
mencari guru antikorupsi.

Menyikapi kesulitan tadi, pendidikan antikorupsi, menurut Arief Rachman, lebih tepat dijadikan
pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Sebuah usulan yang mesti dicermati. Materi
pendidikan antikorupsi nantinya bisa saja diselipkan dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), Matematika, Bimbingan Karir, Bahasa. Pokok bahasan mencakup
kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu, juga nilai-nilai yang
mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang ada, dan kesadaran hukum yang
tinggi.

Untuk itu PAK yang akan didesain adalah pendidikan antikorupsi yang memuat keseluruhan
komponen di atas namun harus dilaksanakan secara kontekstual, dengan memperhatikan
kebutuhan siswa, kegiatan pembelajaran yang ada, kemampuan guru dan sekolah dalam
melaksanakan kegiatan PAK. Dari hasil diskusi dengan guru dan kepala sekolah serta konsultasi
dengan pakar maka disepakati bahwa implementasi PAK dilaksanakan secara inklusif, artinya
PAK akan disisipkan kepada mata pelajaran yang sudah ada dan dilaksanakan baik secara
intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.
 Program Kantin Kejujuran
Untuk mengetahui tingkat kejujuran para siswa dibentuklah kantin kejujuran. Barang-barang
yang disediakan juga disesuikan dengan kebutuhan pokok siswa seperti: makanan kecil, buku,
alat tulis, aksesoris, buku cerita, buku pelajaran dan lain-lain. Dalam Toko Kejujuran ini
diskenariokan self servis artinya tidak ada penjaga yang bertugas melayani pembeli. Siswa yang
menginginkan untuk membeli barang yang ada di Toko Kejujuran cukup dengan melihat harga
barang yang tertera dalam label kemudian pembeli tinggal menaruh uang di tempat yang telah
disediakan. Jika ada uang kembali maka siswa tinggal mengambil pada tempat di mana ia
menaruh uang. Jika uang kembalian tidak ada atau tidak cukup maka ia dapat menunggu.
Praktek kantin kejujuran dilaksanakan selama satu bulan dengan memanfaatkan Koperasi
Madrasah. Praktek ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur dan mencari data awal tentang
tingkat kejujuran di kedua sekolah tersebut.

 Membudayakan Kerja tanpa Pamrih


Praktek pemberian sesuatu baik dalam bentuk barang maupun uang dapat menjadi kebiasaan
yang baik. Namun di sisi lain

 Penerapan Reward and Punishment secara Tegas


Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan. Motivasi adalah dorongan untuk mencapai
tujuan tertentu. Dorongan itu bisa saja berbentuk antusiasme, harapan dan semangat. Salah satu
contoh dalam menumbuhkan motivasi, metode reward dan punishment seringkali digunakan oleh
para guru atupun orang tua. Reward & punishment merupakan teori psikologi tentang belajar.
Reward secara bahasa berarti hadiah dan punishment berarti hukuman. Dalam hal ini teori
reward & punishment dapat diaplikasikan dalam mendidik seseorang. Contohnya apabila
seorang anak mendapatkan peringkat dikelasnya maka ia akan diberi reward, tapi kalau ia
berbuat nakal maka ia akan diberi punishment.. Dengan begitu maka ia akan cenderung
berprestasi daripada

 Kegiatan pengabdian kepada masyarakat


Dalam kegiatan ini dilaksanakan melalui sebuah kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan dengan
materi yang disusun secara sistematis dan menggunakan metode permainan monopoli. Untuk
menjaga efektifitas kegiatan pengabdian ini, maka pelaksanaannya dilakukan secara bertahap
dengan urutan sebagai berikut:

1. tahap pengenalan dan pemahaman, yaitu tahap dimana para siswa diberikan pemahaman yang
tepat mengenai definisi dan aturan hokum tentang korupsi. Secara umum para siswa telah
mempunyai kesadaran (awareness) yang tinggi atas kasus korupsi yang mereka peroleh dari
beberapa media baik media cetak maupun elektronik. akan tetapi pemahaman mereka masih
rendah dalam hal definisi dan aturan hukum mengenai korupsi,
2. tahap pembentukan sikap, yaitu tahap dimana para siswa diberikan materi pendidikan
antikorupsi yang pada dasarnya berisi penanaman nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan
dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya mampu mewujudkan generasi yang
“bersih” dan “anti korupsi”, dan
3. tahap penerapan, yakni tahap dimana para siswa yang telah mendapat TOT (Training of
Trainer) diharapkan akan memiliki keberanian dan kebijaksanaan untuk memberantas
korupsi, sehingga terwujud generasi yang bersih, transparan, dan profesional.

Upaya pemberantasan korupsi – yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2)
pencegahan –tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa
melibatkan peran serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika mahasiswa –sebagai
salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan pewaris masa depan– diharapkan
dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan mahasiswa
dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan
kewenangan institusi penegak hukum. Peran aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada
upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat.
Mahasiswa diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan
anti korupsi di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif mahasiswa perlu dibekali dengan
pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya. Yang tidak kalah
penting, untuk dapat berperan aktif mahasiswa harus dapat memahami dan menerapkan nilai-
nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

JAKARTA, KOMPAS.com
- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Zulkarnain, mengatakan, penerimaan hadiah
atau gratifikasi berpotensi menjadi pintu menuju korupsi yang lebih besar. Menurut Zulkarnain,
gratifikasi tersebut dapat disebut suap jika pemberiannya kepada seseorang dimaksudkan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
"Gratifikasi merupakan akar dari korupsi. Gratifikasi bisa jadi permulaan dari korupsi oleh
pejabat negara yang lebih besar," ujar Zulkarnain dalam sambutannya di acara peluncuran
aplikasi GRATis di Kuningan, Jakarta, Rabu (1/10/2014).

Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, menambahkan, sikap kompromi pejabat publik
menerima gratifikasi terkait jabatannya akan mengantarkan pejabat tersebut pada risiko terpapar
korupsi yang lebih luas. Menurut Bambang, tidak berlebihan jika dikatakan gratifikasi sebagai
akar korupsi.

"Penyelenggara negara dan pegawai negeri harus lebih berhati-hati dengan praktik 'gratisan'
berupa fasilitas yang diberikan oleh pihak yang terkait dengan tugas dan kewenangannya.
Karena sesungguhnya penerimaan seperti itu bisa mengarah pada gratifikasi terlarang,” kata
Bambang.
Oleh karena itu, KPK meluncurkan aplikasi untuk menyosialisasikan hal-hal terkait gratifikasi.
Aplikasi itu bernama "GRATis", singkatan dari Gratifikasi Informasi dan Sosialisasi. Aplikasi
ini dapat diunduh secara gratis dari telepon pintar berbasis Android dan iOS. Isi aplikasi ini
digambarkan dalam sebuah Taman Gratifikasi yang memiliki sejumlah fitur, antara lain Apa
Gratifikasi, Hukum dan Batasan, Contoh Kasus, Pelaporan, Buku Pintar, Pengendalian
Gratifikasi, Peran Kita, serta Games.

Zulkarnain mengatakan, fungsi aplikasi ini untuk memberikan gambaran kepada masyarakat
maupun pejabat negara terkait gratifikasi beserta larangannya. Bagi pegawai negeri, kata
Zulkarnain, aplikasi ini berisi imbauan agar menolak gratifikasi yang diberikan kepadanya.

"Kalau terlanjur menerima gratifikasi, harus lapor ke KPK dalam waktu 30 hari. Kalau tidak,
gratifikasi dianggap suap," kata Zulkarnain.

Aplikasi tersebut juga berisi imbauan agar tidak memberi hadiah kepada pegawai negeri untuk
melakukan sesuatu terkait jabatannya. Zulkarnain menambahkan, aplikasi ini pun dimaksudkan
menggugah wawasan dan kesadaran masyarakat untuk mengawasi para pejabat publik agar tidak
meminta mau pun menerima gratifikasi.

Liputan6.com, Jakarta - Uang pelicin seringkali dianggap sebagai pemberian kecil, sehingga
banyak menganggapnya sepele. Padahal akar dari gratifikasi adalah pelicin yang kecil-kecil.
Karena kecil-kecil itu, 94 persen penerima uang pelicin dipenjara.

"Terbanyak 2013, 23 orang dari swasta. Dari yang ditangani KPK mayoritas penyuapan dan
pengadaan barang dan jasa. Akar korupsi itu gratifikasi dari yang kecil-kecil. Orang anggap
permisif, wajar. Kasus penghulu misalnya, bisa ratusan juta bahkan ratusan miliar (uang
pelicinnya)," papar Direktur Gratifikasi KPK Giri Supratdiono dalam acara peluncuran buku di
Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis (27/3/2014).

Giri juga menegaskan, korupsi dibangun dari sesuatu yang kecil dan ada pembiaran dari
masyarakat. "PNS gaji kecil, tapi kaya-kaya sehingga dari needs ke greed," kata dia.

Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, tantangan


terbesar untuk pemberantasan korupsi ialah mengoptimalkan capaian dan dampaknya bagi
perubahan tata kelola dan peningkatan layanan publik, bukan sekadar menjalankan. Salah satu
optimalisasi itu dapat dengan memberantas penggunaan uang pelicin antara pemberi dan
penerima.

"Uang THR, apel malang, apel washington, biaya entertainment, uang selimut, salam tempel,
dan seterusnya masih marak dipraktikan," ujar Dadang. Untuk mendukung pemberantasan uang
pelicin TII bekerja sama dengan KPK meluncurkan buku sebagai panduan, yakni buku
'Indonesia Bersih Uang Pelicin'.

Dadang mengatakan strategi pencegahan dalam buku tersebut dipaparkan pengembangan sistem
manajemen integritas yang potensial menjawab penyelesaian uang pelicin. Strateginya pun tak
terbatas pada aktor penerima uang pelicin yang selama ini dilekatkan dengan birokrasi
pemerintah.

"Inilah kunci dari strategi optimalisasi pemberantasan korupsi. Mengembangkan sistem


pencegahan untuk mengimbangi penindakan, dan mengajak kontribusi aktif masyarakat luas dan
kalangan dunia usaha," tegas Dadang.

Tak hanya mencegah, ada pula aturan yang mengatur soal uang pelicin, yakni Surat Ketua KPK
Nomor B33 tentang peran sektor swasta dalam pencegahan tindak pidana korupsi.

"Keberadaan buku panduan ini diharapkan dapat memberikan semangat bagi target pembaca
yang menjadi pemangku kepentingan bahwa Indonesia bisa menjawab tantangan terbesar
pemberantasan korupsi," jelas Dadang. Dalam peluncuran buku ini pula hadir Wamenkum dan
HAM Denny Indrayana. (Yus Ariyanto)

Gratifikasi selama ini sering dianggap hanya berupa oleh-oleh, cinderamata atau uang
terimakasih dalam nilai kecil. Pemahaman tersebut kurang tepat. Gratifikasi sejatinya adalah
segala bentuk pemberian, baik bernilai besar maupun bernilai kecil.
Gratifikasi memiliki karakteristik tidak transaksional, sehingga pemberi seolah-olah tidak
menginginkan imbal balik apapun dari penerima, padahal pemberian tersebut diberikan karena
melihat posisi ataupun jabatan penerima. Sebagian ahli menyebut gratifikasi sebagai "investasi",
upaya mencari perhatian dan bahkan "suap yang tertunda" kepada pejabat dengan tujuan dapat
mempengaruhi kebijakan dalam jangka panjang.

Dalam keseharian bermasyarakat, terdapat beberapa situasi dimana lazim terjadi kegiatan saling
memberi dan menerima hadiah. Misalnya pada saat perayaan hari raya, pernikahan serta momen
agama dan budaya lainnya. Para penyelenggara negara dan pegawai negeri diharapkan dapat
memahami pemberian yang merupakan gratifikasi dan pemberian yang merupakan bagian dari
aktivitas bermasyarakat. Salah satu indikator utamanya adalah adakah keterkaitan antara
pemberian dengan jabatan penerima. Sebab jika tidak berhati-hati, penerimaan gratifikasi dapat
dijerat pasal 12B UU Tipikor, yakni pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun
serta denda sebesar Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Pemidanaan gratifikasi pernah terjadi pada Gayus H Tambunan, seorang pegawai di Dirjen Pajak
Kementerian Keuangan. Pidana gratifikasi digunakan untuk memproses kekayaan yang tidak
dapat dijelaskan asal-usulnya secara wajar bila dibandingkan dengan penghasilan yang sah.
Pegawai negeri sebaiknya menolak pemberian gratifikasi pada kali pertama dengan menjelaskan
kepada pemberi bahwa dirinya tidak diperkenankan menerima hal tersebut. Namun jika dalam
keadaan tidak dapat menolak, penerimaan tersebut wajib dilaporkan kepada KPK dalam jangka
waktu maksimal 30 hari kerja. Dengan demikian pidana penjara dan denda tidak lagi dapat
menjerat penerima gratifikasi, karena dengan melaporkannya kepada KPK telah menggugurkan
ancaman pidana tersebut. Selanjutnya KPK yang akan menentukan status gratifikasi tersebut
menjadi milik negara atau milik penerima. Upaya mencegah korupsi dapat dimulai dengan
mengendalikan gratifikasi. Kegiatan ini dapat membentuk lingkungan pengendalian di instansi,
laporan gratifikasi yang disampaikan dapat dijadikan alat untuk mendeteksi kerawanan korupsi
dan potensi konflik kepentingan, langkah selanjutnya adalah membuat kebijakan untuk
mengatasi kerawanan korupsi tersebut.

Kegiatan pengendalian gratifikasi di instansi pemerintah telah dilakukan melalui penerapan


Sistem Pengendalian Gratifikasi (SPG). Sistem ini mendukung perwujudan good governance.
Sistem ini mendorong instansi mitra untuk menerapkan SPG secara aktif dengan asistensi KPK.
Sebagai program yang berkesinambungan, SPG terdiri dari beberapa tahapan kegiatan yakni
menganalisa tingkat kerawanan korupsi, menandatangani komitmen anti-gratifikasi, membuat
aturan pengendalian gratifikasi di internal instansi dan mendirikan Unit Pengendalian Gratifikasi
(UPG), setelah itu secara rutin melaksanakan monitoring dan evaluasi SPG.

Kesuksesan pelaksanaan setiap tahapan sangat menentukan tingkat pemahaman gratifikasi


pegawai/pejabat di instansi mitra, serta meningkatkan kepatuhan mereka dalam menolak atau
melaporkan penerimaan gratifikasi. Sampai dengan Desember 2015, terdapat 180 kementerian,
lembaga, organisasi pemerintah, termasuk KPK, yang telah menerapkan SPG dalam berbagai
tingkat tahapan. Termasuk di dalamnya adalah Kementerian, BUMN, Lembaga Tinggi Negara,
dan Pemerintah Daerah. Beberapa instansi yang lebih maju dalam penerapan SPG, telah
membentuk UPG sebagai wahana penerusan laporan gratifikasi kepada KPK dan diseminasi
informasi tentang gratifikasi kepada seluruh pegawai.

Kegiatan pengendalian gratifikasi merupakan aktivitas yang dinamis, hal ini berarti akan selalu
ada hal baru yang dapat menyempurnakan efektivitas kegiatan tersebut. Beberapa perbaikan
telah yang dilakukan untuk menutup celah gratifikasi, antara lain menentukan standar batasan
nilai gratifikasi yang dilarang diterima oleh penyelenggara negara dan pegawai negeri,
meningkatkan perlindungan hukum bagi pelapor gratifikasi serta menguatkan landasan hukum
lingkungan pengendalian gratifikasi di institusi pemerintahan.

Pada tahun 2015, KPK berinisiatif melakukan kajian urgensi penyusunan peraturan pemerintah
untuk mengurai gratifikasi dari beragam aspek yakni hukum pidana, budaya, keagamaan dan
adat-istiadat masyarakat Indonesia. Kajian ini juga bertujuan meletakkan ketentuan tentang
pengendalian gratifikasi secara terintegrasi dengan ketentuan disiplin pegawai seperti reward and
punishment, sebagai salah satu perangkat dalam menjalankan reformasi birokrasi. Kajian ini
disusun dengan pendekatan yuridis normatif melalui studi pustaka, wawancara ahli yang
memiliki kualifikasi di beberapa bidang. Pertemuan dengan para pakar sebagai narasumber juga
telah digelar sejak Mei-Juni 2015, antara lain dengan pakar hukum pidana, hukum tata negara,
ilmu perundang-undangan, hukum administrasi negara, filsafat hukum, antropologi hukum,
budayawan dan pihak lain yang terkait.

Dengan adanya peraturan pemerintah tentang gratifikasi ini, nantinya diharapkan agar pegawai
negeri, penyelenggara negara, masyarakat dan pelaku usaha dapat memahami dan menerapkan
pengendalian gratifikasi di institusi masingmasing. Kegiatan pengendalian gratifikasi tidak hanya
dilakukan bagi para penyelenggara negara dan pegawai negeri, melainkan juga melibatkan pihak
korporasi/swasta. Sebab, keterlibatan sektor swasta pada sejumlah kasus korupsi, seolah
menggambarkan fenomena supply dan demand.

Dua pihak yang melakukan korupsi tersebut berasal dari sektor publik dan sektor swasta.
Faktanya 24 persen pelaku korupsi yang ditindak oleh KPK pada 2015 berasal dari sektor
swasta. Fakta tersebut diamini Global Corruption Barometer Survey tahun 2013 yang
menyebutkan bahwa 30- 39,9 persen responden di Indonesia menyatakan pernah membayar suap
selama setahun terakhir terkait dengan pelayanan publik.

Karenanya, KPK menyadari bahwa pihak swasta juga harus dilibatkan dalam memberantas
praktik gratifikasi. Upaya itu dilakukan dengan melakukan sosialisasi materi pengenalan dan
pendalaman isu gratifikasi kepada lebih dari 720 pengusaha sektor sumber daya alam di 24
provinsi. Kegiatan sosialisasi dilaksanakan di kota Medan, Jakarta, Semarang, Gorontalo,
Makassar, dan Pontianak, yang diikuti para pengusaha yang bergerak di bidang mineral dan
batubara, kelautan, serta kehutanan dan perkebunan.

Dari sejumlah kegiatan sosialisasi itu, KPK mendapatkan apresiasi dari para peserta. KPK
mencatat harapan pengusaha tentang kesempatan usaha yang setara (same level playing field)
dalam berbisnis, dengan asumsi jika aturan mengenai gratifikasi dijalankan secara tegas.

Selain sosialisasi kepada pengusaha bidang mineral dan batu bara, sosialisasi gratifikasi juga
'menyentuh' dunia kesehatan. KPK bersama Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) berupaya mencari solusi agar profesi dokter, baik yang berstatus pegawai negeri sipil dan
swasta, tidak diperkenankan menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi.

Pelajari Gratifikasi Secara Mandiri


Salah satu solusi yang ditawarkan KPK untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
mengenai gratifikasi dengan meluncurkan E-learning Gratifikasi pada perayaan Festival
Antikorupsi di Bandung, 10 Desember 2015. Masyarakat dapat mengaksesnya melalui
situs www.kpk.go.id/gratifikasi. Di situs ini, tersedia 12 modul pembelajaran yang disediakan
untuk dipelajari secara mandiri oleh pengguna. Materi-materi itu mencakup definisi gratifikasi,
praktik dan batasan gratifikasi, hukum dan regulasi, pelaporan gratifikasi, pengendalian
gratifikasi, gratifikasi dalam persepektif pencegahan, penindakan gratifikasi, konsep dasar
antikorupsi, panduan analisis laporan gratifikasi, dan kerangka hukum internasional tentang
gratifikasi.

Yang menarik, tersedia pula layanan permainan peran (role playing) dalam situs e-learning.
Pengguna dapat menjadi mitra kerja KPK atau wakil lembaga swadaya, pegawai negeri, pegawai
KPK, pegawai swasta, tunas integritas, atau bahkan berperan sebagai Unit Pengendali Gratifikasi
(UPG). Bila setelah belajar mandiri pengetahuan tentang gratifikasi dirasa memadai, maka
pengakses e-learning dapat menguji pemahamannya lalu memperoleh sertifikasi.

Beragam pendekatan terhadap kegiatan pengendalian gratifikasi diharapkan memberikan dampak


positif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena memangkas gratifikasi merupakan
bagian dari kerja memotong akar korupsi.

Pendahuluan

Permasalahan korupsi merupakan permasalahan serius dalam suatu bangsa dan


merupakan kejahatan yang luar biasa serta dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan
korupsi telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai
salah satu agenda reformasi, tetapi hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini berdampak semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat, yang
tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap
hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan
yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan
bangsa.

Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat


sejak tahun 1957, sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa Indonesia untuk
memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana material maupun hukum
pidana formal (hukum acara pidana). Namun demikian, masih ditemui kelemahan yang
dapat disalahgunakan oleh pelaku korupsi untuk melepaskan diri dari jerat hukum.

Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan,


permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan
perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang
cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam
masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi
sebagai suatu hal yang wajar dan normal.
Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat tampil dalam bermacam-
macam bentuk. Secara umum bentuk ini mengandung karakteristik sebagai berikut :

a. Adanya pelaku, baik sendiri ataupun bersama-sama, baik yang berupa pegawai negeri
maupun non pegawai negeri.

b. Adanya penyimpangan/perbuatan melanggar hukum.

c. Adanya unsur merugikan negara (langsung maupun tak langsung), tangible maupun non
tangible.

d. Adanya unsur atau bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri/keluarga/ kroni.

Keprihatinan pemerintah dewasa ini dan peliknya karakteristik korupsi sebagaimana


diuraikan di atas sudah selayaknya disikapi secara bersama-sama oleh seluruh aparat
pemerintah, tulisan ini mencoba memberi sumbangan pada pembahasan itu dengan
mengangkat topik, sejauh mana pengawasan dapat berperan dalam pemberantasan korupsi.

II. Permasalahan

Penyebab korupsi dapat dikelompokkan ke dalam aspek institusi/ administrasi, aspek


manusia, dan aspek sosial budaya. Ketiga aspek penyebab tersebut saling berinteraksi satu
dengan lainnya sehingga menyebabkan terjadinya potensi dan kejadian korupsi.

Di dalam suatu organisasi, faktor pendorong korupsi antaralain termanifestasikan


dalam bentuk tekanan, pembenaran, serta kesempatan untuk melakukan korupsi. Dari luar
organisasi, dorongan dan pengaruh bagi tindak pidana korupsi akan dapat dijumpai dari
sikap publik yang permisif terhadap cara dan akibat korupsi sehingga secara relatif dapat
diartikan sebagai memfasilitasi pelaksanaan korupsi.

Dampak korupsi sangat berbahaya bagi individu, kelompok individu, organisasi,


masyarakat, institusi, bahkan bangsa dan negara. Dampak tersebut dapat dirasakan
seketika maupun secara perlahan-lahan, namun pasti. Secara

umum dampak itu dapat berupa kerugian negara, ekonomi berbiaya tinggi, inefisiensi dan
mis alokasi sumber daya negara, atau kompetisi yang tidak sehat. Selanjutnya, semua
dampak ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang tinggi tingkat risikonya
sehingga tidak menarik bagi dunia investasi global.
Akan tetapi, yang tak kalah memprihatinkan adalah dampak korupsi bagi
pembentukan sikap pandang masyarakat sehari-hari. Ditengarai, masyarakat dewasa ini
cenderung tidak berkeberatan atau setidaknya abai tentang perilaku korupsi. Akibatnya,
kondisi yang serba abai ini akan dapat menjelma menjadi serba mengijinkan (permisif).
Lama-kelamaan kondisi sosial ini akan berpotensi memberi ruang pembenaran bahkan
kesempatan bagi pelaksanaan korupsi. Karena, bukannya menjadi sumber nilai-nilai yang
benar, baik dan pantas, kondisi sosial yang serba mengijinkan ini justru akan dapat
menimbulkan kekaburan patokan nilai-nilai. Akibatnya korupsi pun menjadi hal yang biasa.
Termasuk didalam kebiasaan melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan
pembayaran pajak, perijinan, pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan
baik berupa barang atau uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun pegawai
negeri apabila ada kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat
dikategorikan penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 12b
pemberian gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk kategori korupsi.

III. Konsep Pemberantasan Korupsi

Dikaitkan dengan permasalahan korupsi yang telah diuraikan terdahulu, maka upaya
memberantas korupsi dilakukan dengan konsep yang mampu mencegah dan menanggulangi
korupsi. Konsep tersebut hendaknya meyakinkan bahwa :

a. Organisasi pemerintahan mampu mencegah, menangkal serta dapat denganmudah untuk


mendeteksi kejadian korupsi melalui serangkaian upaya kegiatan menurut
pendekatan preventif.

b. Jika belum dapat atau tidak dapat mencegah, setiap organisasi pemerintahan dapat segera
mendeteksi, mengungkapkan fakta kejadian, dan menindaklanjuti sesuai dengan
ketentuan yang berlaku melalui serangkaian kegiatan menurut
pendekatan investigatif/Represif.

c. Setiap organisasi pemerintahan perlu berupaya meningkatkan kepedulian individu di


dalam dan di luar organisasi untuk dapat mendorong peran memerangi korupsi sesuai
dengan kemampuan/peran yang dimiliki melalui upaya edukatif.

Pendekatan di atas itu kini kita kenal sebagai Pendekatan Tiga Pilar, yaitu Preventif,
Investigatif, dan Edukatif.

Kembali pada topik pengawasan, selama ini pengawasan lebih diartikan sebagai
pemeriksaan atau auditing yang per definisi merupakan kegiatan yang asosiatif dengan
pengumpulan bukti-bukti atas kejadian yang telah terjadi (post factum). Simpulan yang
diperoleh pun akan menjadi dasar bagi pemberian penilaian dan atau rekomendasi dengan
manfaat maksimal berupa pelaksanaan tindak lanjut yang tentu dari sudut pandang pihak
atau sistem yang menjadi objek tindak lanjut lebih bersifat represif.
Jika pihak yang menjadi objek tidak lanjut adalah koruptor, maka tindak lanjut
represif itu secara umum akan dapat berupa pengenaan kewajiban penyetoran uang ke kas
negara, pengenaan denda, atau bahkan kurungan. Jika yang menjadi objek tindak lanjut
adalah sistem yang telah membukakan kesempatan pelaksanaan korupsi maka tindak lanjut
itu akan dapat mengambil bentuk berupa pengubahan, penggantian, atau penghapusan sistem
dimaksud. Pada keduanya, represi lebih terlihat sebagai suatu represi formal. Akan tetapi,
jika dikembalikan betapa korupsi sangat terkait dengan kondisi sosial, represi dalam bentuk
sanksi sosial masih kurang terlihat signifikansinya. Bisa jadi, hal ini kembali disebabkan
masih lebih besarnya kesan bahwa masyarakat, sebagai sumber moralitas, cenderung
permisif, kurang atau bahkan tidak peduli terhadap korupsi.

Dengan demikian, keberhasilan kegiatan memerangi korupsi secara represif, yaitu


setelah korupsi terjadi, adalah bersifat paradoksal. Walaupun dari hasil pengawasan
semakin banyak tindak pidana korupsi yang dideteksi dan ditindaklanjuti, keduanya
sebenarnya bukan merupakan kondisi umum yang dikehendaki masyarakat. Pada dasarnya,
betapa banyaknya pun dideteksi dan ditindaklanjuti secara represif, korupsi bukan kejadian
yang dikehendaki masyarakat.

Selain itu data empiris menunjukkan bahwa :

a. Melakukan tindakan/upaya setelah korupsi terjadi berarti telah memberi peluang bagi
dampak korupsi untuk timbul (misalnya kerugian keuangan negara, mis alokasi sumber
daya, dll).

b. Waktu yang diperlukan untuk mendeteksi kejadian korupsi rata-rata adalah delapan belas
bulan, sebelum temuan pendeteksian itu ditindaklanjuti dengan audit yang mendalam dan
diproses dengan tindakan hukum. Lamanya waktu pendeteksian ini membawa
konsekuensi berupa biaya pengungkapan kegiatan yang semakin besar.

c. Semakin kecil selang waktu antara kejadian korupsi dengan upaya pengungkapan kejadian
korupsi, semakin besar kemungkinan keberhasilan pengungkapan kejadian korupsi.

d. Korupsi adalah kejahatan yang tersembunyi, sehingga semakin lama kejadian korupsi
tidak terungkap semakin memberi peluang pelaku korupsi untuk menutup-nutupi
tindakakannya dengan kecurangan yang lain.

Dengan demikian, kegiatan yang lebih memungkinkan pemberantasan korupsi yang


efektif dan efisien sehingga masuk akal adalah mencegah korupsi sebelum terjadi.
Implementasi dari konsepsi memerangi korupsi yang sistematis dan konkrit seperti tersebut
diatas memerlukan peran pengawasan yang dimaknai tidak sekedar pengawasan post factum.

Dengan demikian, agar terimplementasikan suatu peran pengawasan yang sistematis


dan konkrit untuk menjembatani antara komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi
dengan kegiatan organisasi sehari-hari dalam upaya mencapai tujuan organisasi, perlu
dikembangkan suatu mekanisme pengawasan yang dapat memfasilitasi penguatan sistem ata
kelola suatu organisasi. Karakteristik pengawasan seperti ini lazim dikenal dalam wacana
pengawasan sebagai pengawasan internal.

Mengingat bahwa korupsi adalah suatu masalah yang bersifat tersembunyi (sengaja
disembunyikan), maka mekanisme pengawasan tersebut ditandai dengan kemampuannya
meyakinkan pemantapan kualitas dari atribut-atribut yang spesifik dari sistem tata kelola
setiap organisasi pemerintah. Atribut-atribut tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kebijakan yang terintegrasi

b. Struktur pertanggung jawaban

c. Kajian risiko kejadian korupsi

d. Keperdulian pegawai

e. Keperdulian pelanggan dan masyarakat

f. Sistem pelaporan kejadian korupsi

g. Pengungkapan yang dilindungi

h. Pemberitahuan kepada pihak eksternal

i. Standar investigasi

j. Standar perilaku dan disiplin

Konkritnya, pengawasan dapat berperan dalam meyakinkan sejauh mana kesepuluh


atribut di atas telah terwujud dan diterapkan. Manfaat paling awal dari pengawasan internal
yang baik adalah bahwa ia dapat mengumpulkan informasi mengenai perkembangan
perwujudan dari masing-masing atribut.

IV. Simpulan

Apabila pengawasan yang handal, termasuk pengawasan internal diimplementasikan


secara konkrit dan sistematis, maka diharapkan upaya memerangi korupsi dapat berhasil
dengan indikator umum berupa :

a. Semakin banyak organisasi pemerintahan yang mengimplementasikan mekanisme anti


korupsi dengan atribut tersebut diatas.

b. Semakin meningkatnya jumlah dan cakupan informasi kejadian korupsi dari masyarakat.
c. Semakin banyak kejadian korupsi yang terungkap dan ditindaklanjuti dalam waktu relatif
singkat.

d. Semakin banyak tindakan represif atas kasus korupsi yang didukung dengan keahlian
pengawasan.

Lebih khusus lagi, pengawasan internal diharapkan dapat lebih berperan dalam
memberantas korupsi dengan penekatan preventif, investigatif/repreif dan edukatif.
Memang, dalam kondisi masyarakat yang membutuhkan terapi lanjut, efek demonstratif
pengawasan represif mungkin akan efektif meningkatkan citra keberhasilan pemberantasan
korupsi dalam jangka pendek. Akan tetapi, hal ini pun sebenarnya sangat bergantung pada
kerjasama para penyidik dan pengadilan untuk menindaklanjuti perkara sehingga dapat
menghasilkan keputusan hukum yang berkepastian dalam porsi yang lebih besar daripada
keputusa hukum yang sumir atau bahkan batal karena pembuktian yang lemah atau
dilemahkan.

Adanya mekanisme manajemen yang didukung oleh pengendalian intern yang


didukung oleh kepastian akan sangat memungkinkan menciptakan sistem yang mengurangi
kesempatan korupsi. Kemudian pada akhirnya niat sebagai faktor penimbul korupsi diyakini
akan terhambat oleh sistem yang baik.

Akan tetapi, dalam jangka panjang, keberhasilan pemberantasan ini akan lebih
bergantung pada keberhasilan mengurangi niat dan peluang pembenaran korupsi. Hal ini
secara subtil membutuhkan rekayasa tatanan sosial yang lebih beretika. Untuk itu, paradoks
keberhasilan represifharus diikuti dengan efektivitas pengawasan preventif dan edukatif.

Disini peran pengawas tidak akan maksimal tanpa diikuti oleh peran profesi lain
seperti sosiolog, politisi, pendidik, ulama dan masyarakat sendiri. Bagaimanapun,
kecenderungan masyarakat untuk abai dan permisif terhadap tindak korupsi membutuhkan
pembangunan mental lebih daripada sekedar penindakan. Jadi serangkaian kegiatan edukatif
dari pihak-pihak tersebut perlu untuk menumbuhkembangkan sikap yang peduli dan
mengarah pada keberpihakan akan nilai-nilai kebenaran berdasarkan hukum dan etika. Hal
ini diyakini akan mengurangi niat dan pembenaran korupsi. Niat dan pembenaran tindakan
korupsi akan tumbuh bersama sikap abai dan serba mengijinkan akan sangat mempengaruhi
secara negatif penciptaan insan yang berintegritas, baik pada manajemen di tingkatan
pemimpin, pelaksana, maupun masyarakat luas dan juga tentunya auditor. Integritas inilah
yang pada akhirnya, disamping kompetensi dan sumber daya, yang akan dapat memberi
kualitas pencapaian kinerja yang efektif dengan keyakinan bahwa kinerja itu terbebas dari
korupsi.

Bagi pengawas pada umumnya dan pengawas internal pada khususnya, integritas
jelas merupakan salah satu faktor di samping kompetensi dan akseptasi pimpinan yang akan
mendatangkan nilai audit. Tanpa integritas, pengawas yang berkompeten pun mungkin akan
terjebak pada kecenderungan pemenuhan kepentingan sendiri. Apabila jebakan ini
difasilitasi dengan kekuasaan yang kuat dan mentalitas mengawas demi untuk pengawas dan
lembaga pengawas sendiri, maka bukannya menjadi agen pemberantas korupsi, bisa jadi
pengawas sendiri akan menjadi kolutif antara pemerintah sebagai agen masyarakat yang
diawasi dan pengawas sendiri.

Akan lengkaplah kemusykilan bagi pengawasan untuk memberantas korupsi jika


masyarakat sendiri sebagai wadah sosial yang diwacanakan mendambakan kebersihan dan
sumber moralitas ternyata lebih digerakkan oleh sikap dan mentalitas yang permisif, tidak
perduli, dan bahkan aktif menyuburkan niat, kesempatan, dan pembenaran korupsi. Dalam
keadaan begini, mempersoalkan korupsi mungkin harus diawali dengan pertanyaan,
“Apakah kita, aparat pemerintah, pengawas atau bukan pengawas, dan masyarakat awam
secara keseluruhan memang masyarakat yang masih konsisten dan konsekuen perduli akan
korupsi?”

Sisi lain dari permasalahan perbatasan, Indonesia mencatat kerugian yangsangat besar dari sektor
kelautan, seperti yang dilansir oleh kementerianKelautan dan Perikanan RI yang menyatakan
bahwa Indonesia mengalamikerugian 9,4 Triliun Rupiah per tahun akibat pencurian ikan oleh
nelayan asing(www.tempointeraktif.com/hg/bisnis, 12 April 2011). Nelayan asing dariMalaysia,
Vietnam, Philipina, Thailand sering sekali melanggar Zona EkonomiEksklusif (ZEE) Indonesia
dan meneruk kekayaan laut yang ada di dalamnya.Hal ini terjadi berulang kali dan sepertinya
Indonesia belum mampu mengatasimasalah ini.Kondisi ini semakin jelas, bahwa negara seluas
1,9 juta km persegi ini ternyatahanya dijaga oleh
24 kapal saja, dan dari 24 kapal tersebut hanya 17 kapalyang dilengkapi dengan senjata
yang memadai
, seperti yang dijelaskan olehSyahrin Abdurahman, Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan
dan Perikanan(Ditjen PSDKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan
RI(www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/, 12 April 2011).Selain itu wilayah tapal batas ini sangat
rawan terhadap berbagai penyelundupanbarang-barang illegal dari dalam maupun luar negeri,
seperti bahan bakar, bahanmakanan, elektronik, sampai penyelundupan barang-barang terlarang
sepertinarkotika, dan senjata dan amunisi gelap. Selain itu juga sangat rawan terjadinyahuman
trafficking,
masuk dan keluarnya orang-orang yang tidak mempunyai izinmasuk ke wilayah Indonesia
atau sebaliknya dengan berbagai alasan.Kita bisa bayangkan,
andaikan kekayaan negara tidak dikorupsi
dandipergunakan untuk membangun daerah-daerah perbatasan, maka negara iniakan semakin
kuat dan makmur.3. Menguatnya Sisi Kekerasan Dalam MasyarakatKondisi kemiskinan pada
akhirnya memicu berbagai kerawanan sosial lainnyayang semakin membuat masyarakat frustasi
menghadapi kerasnya kehidupan.Kondisi ini membuat masyarakat secara alamiah akan
menggunakan instingbertahan mereka yang sering kali berakibat negatif terhadap orang lain
danlingkungan sekitarnya.

Masyarakat menjadi sangat apatis dengan berbagai program dan keputusanyang dibuat oleh
pemerintah, karena mereka menganggap hal tersebut tidakakan mengubah kondisi hidup mereka.
Hal ini mengakibatkan masyarakatcenderung berusaha menyelamatkan diri dan keluarga sendiri
dibanding dengankeselamatan bersama, dengan menggunakan cara-cara yang
negatif. Akumulasi dari
rasa tidak percaya, apatis, tekanan hidup, kemiskinan yangtidak berujung, jurang
perbedaan kaya dan miskin yang sangat dalam, sertaupaya menyelamatkan diri sendiri
menimbulkan efek yang sangat merusak
,yaitu
kekerasan
. Setiap orang cenderung keras yang pada akhirnya perkelahianmasal pemuda, mahasiswa dan
anak sekolah setiap hari kita dapatkan beritanyadi koran dan televisi. Penyelesaian berbagai
masalahpun pada akhirnya lebihmemilih kekerasan dari pada jalur hukum, karena sudah tidak
ada lagikepercayaan kepada sistem dan hukum. Belum lagi permasalahan lain yanglebih dahsyat
yang dihubungkan dengan agama dan kepercayaan. Kekerasanseperti ini mengakibatkan perang
saudara yang sangat merugikan baik materialmaupun bahkan berimbas kepada budaya dan
tatanan masyarakat, seperti yangpernah terjadi di Ambon, Poso dan beberapa wilayah
di Indonesia.
2.3. Dampak Korupsi Bagi Kualitas Pendidikan
INDONESIA Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa anggaranpendidikan Indonesia
rawan dikorupsi. Berdasarkan data ICW, selama tahun2012 ada 40 kasus korupsi bidang
pendidikan. Modusnya pun bermacam-macam. Mulai dari laporan kegiatan dan proyek fiktif 8
kasus. Markup 7 kasus,pungli/pemotongan/pemerasan 4 kasus. Penggelapan 18 kasus,
danpenyalahgunaan/penyelewenangan anggaran 6 kasus. Akibatnya negaradirugikan hingga
Rp138 miliar. Ditinjau dari tempat terjadinya korupsi, dari 40kasus, paling banyak terjadi di
dinas pendidikan sebanyak 20 kasus, kemudiandiikuti perguruan tinggi, dan sekolah. Hal ini
memperlihatkan bahwa korupsi disektor pendidikan terjadi dari tingkat paling kecil hingga
paling tinggi.Berdasarkan angka, tercatat korupsi pendidikan di Dinas Pendidikan ada 20kasus,
DPRD 1 kasus, Kanwil Kemenag 2 kasus, Perguruan Tinggi 9 kasus dansekolah 8 kasus. Khusus
di sekolah, biasanya terjadi penyalaahgunaan danaBOS yang dilakukan Kepsek, dan bendahara
sekolah.

Kasus terbaru di bidang pendidikan yang melibatkan anggota Dewan PerwakilanRakyat (DPR)
Angelina Sondakh menjadi contohnya. Angelina, bekas ratukecantikan yang kemudian beralih
profesi menjadi politikus, dinyatakan bersalahkarena menyelewengkan anggaran negara tahun
2010-2011 untuk proyek-proyek universitas di bawah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan(Kemendikbud) yang saat itu bernama Kementerian Pendidikan
Nasional(Kemendiknas). Oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Angelinadivonis empat tahun enam bulan penjara karena menerima suap senilai totalRp2,5
miliar dan USD1,2 juta dari perusahaan konstruksi, Grup Permai. Angelinabertanggung jawab
atas pengadaan untuk 16 universitas di beberapa provinsi diSumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, dan Papuadengan proyek senilai Rp20 miliar dan Rp75 miliar.Bila
pendidikan terus terkontaminasi oleh korupsi maka tidak akan dipungkiriakan membuat
pendidikan menjadi bobrok dan kualitas pendidikannya tidak baik.Dan bila semua hal itu terjadi
maka akan dipastikan bibit

bibit yang dihasilkandari para pendidik tersebut akan memiliki kualitas yang sangat rendah baik
moraldan akademiknya.
1. Kualitas Pendidikan Rendah
Kurangnya fasilitas yang tersedia menjadi faktor utama terhadap baik atauburuknya kualitas
pendidikan di Indonesia. Bisa kita lihat banyak fasilitas yangsudah tidak layak dipakai masih
digunakan sebagai sarana pendidikan,contohnya pada lingkungan pedesaan banyak fasilitas yang
sudah tidak layakdipakai masih digunakan untuk sarana belajar mengajar sesuai
fungsinya.Fasilitas yang rusak ini mengakibatkan banyak anak- anak pedesaan tidak
bisamenggunakan fasilitas dengan baik. Fasilitas yang kurang dan rusak disebabkankarena
kurangnya dana yang diberikan oleh pemerintah. Menurut pasal 31 ayat 4
dengan bunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang
-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta darianggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelengaraan pendidikan nasional”.
Sesuai dengan apa yang termuat di dalam UUD 1945 sebanyak 20% keuangannegara itu
digunakan sebagai dana pendidikan. Namun saat ini sesuai dengan

PERANAN KELUARGA DALAM PEMBERANTASAN


DAN PENANGGULANGAN KORUPSI


PERANAN KELUARGA DALAM PEMBERANTASAN DAN

PENANGGULANGAN KORUPSI[1]

Sherly Adam

A. Pendahuluan

Korupsi merupakan kejahatan yang mendapat perhatian masyarakat luas. Sejak era reformasi, korupsi

menjadi kejahatan yang secara terus menerus mendapatkan perhatian untuk mendapatkan penanganan

secara serius. Keseriusan untuk memberantas korupsi karena korupsi merupakan kejahatan yang

mengurangi hak-hak warga negara dan menimbulkan kesengsaraan dikalangan masyarakat. Berbagai studi

menunjukkan bahwa korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat serta mengamputasi hak-

hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan.


Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah

meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara maupun dari

segi kualitas tindakk pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh

aspek kehidupan masyarakat.(Evi Hartanti : 2002)

Tindak pidana korupsi juga merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung

tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Korupsi

merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga

memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan

berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan

manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset

yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat

pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan

makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi

selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan

dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia

seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945; untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara

terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya

serta tindak pidana korupsi pada khususnya.

Korupsi akan menyuburkan jenis kejahatan lain di masyarakat. Melalui korupsi, masyarakat biasa, pejabat

negara, birokrat bahkan aparat penegak hukum sekalipun dapat membengkokkan hukum. Di Indonesia,

korupsi sudah harus dilihat sebagai kejahatan yang luar biasa, bersifat sistemik, serta sudah menjadi

epidemik yang berdampak luas.(Juniver Girsang : 2012)

Apabila Korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa yang dpat disebut sebagaiextraordinary crimes maka

upaya pemberantasannya seharusnya bersifat luar biasa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah

mendorong agar hukum mampu berperan dalam upaya menciptakan kontrol guna memperoleh informasi
dan transparansi terhadap perilaku birokrasi yaitu mencoba mengubah birokrasi yang tertutup menjadi

terbuka dan transparan. (Mien Rukmini : 2006)

Diperlukan upaya yang komperehensif untuk menanggulangi korupsi yaitu melalui upaya pengembangan

sistem hukum, karena pada dasarnya korupsi merupakan kejahatan sistematik yang berkaitan erat dengan

kekuasaan sebagimana dijelaskan Indriyanto Seno Adji,( Indriyanto Seno Adji : 2001) “Bentuk kejahatan

struktural inilah yang memasukkan format korupsi sebagai bagian dari kejahatan terorganisir. Korupsi yang

melanda hampir seluruh dunia ini merupakan kejahatan struktural yang meliputi sistem, organisasi, dan

struktur yang baik sehingga korupsi menjadi sangat kuat dalam konteks perilaku politik dan sosial.”

Korupsi yaitu perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan

pribadi atau golongan. Korupsi dapat terjadi karena berbagai faktor misalnya pendapatan yang rendah,

adanya kesempatan, dan ada juga faktor dari luar yaitu bujukan oranglain, atau kurangnya control diri.

Korupsi sangat merugikan rakyat maupun negara. Sebagian besar para koruptor adalah para pejabat

pemerintah yang diberi kepercayaan dan wewenang tetapi banyak yang menyelewengkan. Dampak korupsi

yaitu dapat mengubah segala tatanan kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, sosial dan budaya

masyarakat. Upaya pemberantasan dan penanggulangan korupsi harus dimulai dari diri sendiri melalui

lingkup keluarga sampai pada masyarakat agar taat terhadap aturan yang dibuat pemerintah.

Salah satu cara melibatkan masyarakat, mulai dari keluarga, LSM. penyelenggara negara, penegak hukum

pencinta anti korupsi adalah dengan mengetahui secara dini bagaimana teknik korupsi (modus operandi)

korupsi itu dilakukan. Sehingga menurut pendapat Surachmin dan Suhandi Cahaya, pencegahan dan

pemberantasan korupsi bisa semakin efektif karena orang kebanyakan akan mengetahui gejala-gejala atau

indikasi sesuatu perbuatan dalam pengelolaan keuangan negara atau keuangan publik maupun keuangan

privat akan menuju kepada perbuatan korupsi. (Surachmin dan Suhandi Cahaya : 2010).

Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam masyarakat, karena dalam

keluargalah manusia dilahirkan, berkembang menjadi dewasa. Bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan di

dalam keluarga akan selalu mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya watak, budi pekerti dan

kepribadian tiap-tiap manusia. Pendidikan yang diterima dalam keluarga inilah yang akan digunakan oleh

anak sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan selanjutnya di sekolah.(Ihsan, Fuad : 2003), Pendidikan

anti korupsi sudah layaknya ditanamkan dalam diri setiap anggota keluarga.

Korupsi yaitu perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan

pribadi atau golongan. Korupsi dapat terjadi karena berbagai faktor misalnya pendapatan yang rendah,
adanya kesempatan, dan ada juga faktor dari luar yaitu bujukan oranglain, atau kurangnya control diri.

Korupsi sangat merugikan rakyat maupun negara. Sebagian besar para koruptor adalah para pejabat

pemerintah yang diberi kepercayaan dan wewenang tetapi banyak yang menyelewengkan. Dampak korupsi

yaitu dapat mengubah segala tatanan kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, sosial dan budaya

masyarakat. Upaya pemberantasan dan penanggulangan korupsi harus dimulai dari diri sendiri melalui

lingkup keluarga sampai pada masyarakat agar taat terhadap aturan yang dibuat pemerintah. Sehingga

dalam penulisan ini yang dikaji adalah Peran Keluarga dalam Pemberantasan dan Penanggulangan

Korupsi.

B. Pembahasan

Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan membentuk berbagai

macam unit khusus dan mengatur berbagai kebijakan dalam rangka mempersempit kesempatan bagi

siapapun untuk melakukan korupsi. Namun setelah lebih satu dekade upaya pemberantasan korupsi,

indeks persepsi korupsi yang menggambarkan tingkat korupsi di Indonesia menunjukkan angka yang

sangat fantastis. Indonesia masih menempati urutan pertama negara terkorup di kawasan asia tenggara.

Ancaman hukuman mati bagi koruptor bahkan saat ini didengungkan namun bila melihat data statistik yang

ada, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi bahkan semakin terang-terangan dari mulai pelayanan

masyarakat di tingkat kelurahan hingga tingkat pusat.

Korupsi diibaratkan sebagai mata rantai yang saling berhubungan satu sama lain dan hal itu juga yang

menyebabkan korupsi seakan-akan tidak memiliki ujung pangkal. Untuk memudahkan pemahaman kita

agar dapat mengetahui penyebab-penyebab terjadinya korupsi, maka perlu dibuat rumusan yang agar

dapat memudahkan kita dalam memahami dan mengerti faktor penyebab korupsi.

1. Niat dan Kesempatan

Niat akan dilakukan apabila terdapat suatu suasana yang kondusif, sehingga terbuka kesempatan

untuk melakukan perbuatan korupsi. Sebaliknya, suasana yang kondusif dapat menimbulkan niat untuk

melakukan pebuatan melanggar hukum termasuk perbuatan korupsi.

Niat adalah faktor internal yang ada di dalam hati atau diri seseorang. Faktor tersebut disebabkan

karena lemahnya mental seseorang yaitu terdapat ketidakjujuran, tamak dan sombong dalam hati

orang tersebut, dan terkait dengan lemahnya tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang terhadap

Tuhan Yang Maha Esa.


Selain faktor internal dari diri seseorang, terdapat juga faktor yang ada diluar diri seseorang yang bisa

menyebabkan orang tersebut melakukan perbuatan korupsi, yaitu :

a. Lemahnya peraturan perundang-undangan sehingga banyak celah-celah yang dimanfaatkan

para koruptor, sehingga tidak khawatir dijerat oleh hukum dan dikarenakan ringannya hukuman

yang dijatuhkan kepada para koruptor;

b. Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwajib melakukan pengawasan

baik pengawasan yang dilakukan di dalam instansi maupun pengawasan yang dilakukan di luar

instansi, dan juga lemahnya pengawasan publik; dan

c. Dimonopolinya kekuasaan oleh para koruptor yang kebanyakan adalah orang-orang yang

memimpin atau yang bekerja disebuah instansi pelayanan publik.

Faktor yang menyebabkan celah-celah atau hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan

perbuatan korupsi, yaitu faktor internal dari seseorang (iman dan moral) dan faktor eksternal yaitu

dari lingkungan sekitar, aspek politik, aspek ekonomi dan juga sosial budaya, dan juga aspek

hukum. Faktor yang paling utama adalah terdapatnya celah untuk melakukan perbuatan tersebut.

2. Kekuasaan Monopili dan Kewenangan, serta Pertanggungjawaban yang Lemah

Kekuasaan cenderung dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan korupsi. Kekuasaan

yang absolut akan menimbulkan menjamurnya perbuatan korupsi. Absolutisme tidak akan lahir jika

tingkat kesadaran sosial masyarakat tinggi dan secara kritis melakukan berbagai upaya kontrol

kekuasaan.

Korupsi akan terjadi jika resiko yang ditanggung itu rendah. Peluang terjadinya perbuatan korupsi akan

terbuka lebar jika instrumen hukumnya lemah dan hukum yang ada tidak memiliki sanksi yang tegas

terhadap para pelanggarnya. Rendahnya sanksi hukum yang diberikan akan memberikan kesempatan

untuk setiap orang melakukan perbuatan korupsi.

3. Pendekatan Jaringan

Jaringan korupsi melibatkan para elit politik yang terdiri dari pimpinan eksekutif, elit partai politk, petinggi

lembaga pradilan dan kalangan bisnis.

Sulitnya pemberantasan korupsi, dikarenakan aparat penegak hukum sering berada di situasi yang

dilematis, oleh karena itu jaringan korupsi sulit untuk diterobos dari dalam, karena KKN antara
pengusaham, politikus dan penegak hukum sangat kuat, dan juga korupsi sulit diberantas dari luar

karena para aparat penegak hukum dapat menyediakan penjahat kelas teri untuk dikorbankan.

4. Pilar-Pilar Integrasi Nasional atau Bangsa

Integritas Nasional atau bangsa adalah proses penyatuan kembali kelompok budaya dan sosial kedalam

suatu wilayah nasional. Dalam sistem integrasi, aparat dan lembaga harus menjauhkan diri dari sistem

pengawasan atas bawah dan sistem ini harus diubah menjadi pengawasan horizontal, yaitu sistem

penyebaran kekuasaan dimana tidak adanya kekuasaan yang dimonopoli oleh orang-orang yang

berkepentingan.

Beberapa kajian mengenai tindak korupsi menyebutkan sejumlah sebab atau motivasi orang melakukan

korupsi. Satu diantaranya adalah tuntutan keluarga. Alasan tersebut menempati urutan pertama disusul

alasan tuntutan masyarakat dan alasan sistem. Pada posisi sebagai alasan pertama bagi seseorang

melakukan korupsi, keluarga menjadi entitas yang sangat penting dalam tindak korupsi. Ketika keluarga

menjadi alasan seseorang melakukan korupsi pada saat itu pula seharusnya keluarga memiliki peranan

sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi.

Bagaimana agar peran penting keluarga ini dapat optimal. Ada beberapa hal yang menjadi prasyarat

keluarga memainkan peran dalam pemberantasan korupsi. Saat ini yang menjadi hambatan terbesar dari

optimalisasi peran keluarga adalah minimnya pengetahuan tentang korupsi. Diakui atau tidak, masyarakat

umumnya mengetahui seseorang terlibat dalam kasus korupsi adalah ketika orang tersebut diberitakan oleh

media tersangkau masalah itu. Selama belum ada yang memberitakan hampir semua orang tidak tahu, pun

tahu hanya menduga dan tidak berani melaporkan ke yang berwenang karena tidak bisa memberikan bukti

yang kuat di mata hukum. Termasuk anggota keluarganya.

Minimnya pengetahuan masyarakat juga menjadi satu sebab tersendiri suburnya korupsi di negeri ini.

Masyarakat ternyata lebih menghormati orang yang kaya dibanding orang berprestasi. Mereka bahkan lebih

tidak peduli dari mana orang kaya itu mendapatkan kekayaannya. Selama orang kaya itu baik kepada

masyarakat, mau menyumbang lebih untuk membangun jalan, membangun mesjid, gereja dan acara-acara

seremonial dilingkungannya dengan korupsi sekalipun akan menempati kedudukan terhormat. Hal inilah

yang membuat sistem sanksi sosial tidak dapat berjalan semestinya. Sehingga yang korupsipun tenang-

tenang saja.

Untuk mengoptimalkan peran masyarakat terutama keluarga dalam pemberantasan korupsi, sangat perlu

sekali edukasi mengenai korupsi kepada masyarakat. Ini adalah pekerjaan rumah yang seharusnya
dikerjakan oleh KPK, di KPK ada komisi bidang pencegahan. Seharusnya bidang inilah yang secara

intensif mendidik masyarakat mengenai korupsi, bahaya dari korupsi, mengajarkan bagaimana

mengenali dan mengidentifikasi koruptor-koruptor dilingkungannya masing-masing dan

mengajarkan bagaimana seharusnya masyarakat bersikap kepada koruptor tersebut. Karena

koruptor saat ini banyak yang berlindung dibalik kebaikannya kepada masyarakat disekitarnya

padahal pasti hanya sebagian kecil dari yang ia korupsi yang dibagikan ke masyarakat.

Banyak orang yang mengatakan kalau korupsi ini adalah penyakit yang sudah akut, mendarah dan

mendaging dalam masyarakat kita bahkan disebut sebagai budaya. Namun yakin ketika masyarakat paham

mengenai korupsi, bahaya yang diakibatkannya mereka pasti akan membenci perbuatan korup itu. Maka

dari itu memberikan pemahaman yang benar tentang korupsi kepada masyarakat terutama yang awam

adalah hal yang mutlak untuk memberantas korupsi. Karena korupsi adalah budaya maka untuk

memeranginya mustahil tanpa melibatkan masyarakat secara langsung.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menegaskan, peran keluarga

sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Tidak hanya istri atau suami, anak dan orang tua juga

memegang peranan penting. "Kalau salah satu keluarga melakukan korupsi, siapa yang akan menanggung

malu. Semua akan terkena imbasnya, anak, suami, istri, orang tua juga kena". Menurut Busyro, yang paling

menonjol adalah peran istri, karena bisa saja suami yang semula anti korupsi, terjerumus karena

bujukannya. Sebagai istri menurut Busyro, harus bisa ikut menghalangi, mengingatkan, atau bahkan

mencegah jika suaminya akan melakukan tindakan korupsi.(Busyro Moqoddas: 2013)

Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam masyarakat, karena dalam

keluargalah manusia dilahirkan, berkembang menjadi dewasa. Bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan di

dalam keluarga akan selalu mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya watak, budi pekerti dan

kepribadian tiap-tiap manusia. Pendidikan yang diterima dalam keluarga inilah yang akan digunakan oleh

anak sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan selanjutnya di sekolah.(Ihsan, Fuad : 2003),

Untuk itu didalam keluarga (suami, istri, anak dan orang tua) perlu ditanamkan nilai-nilai anti korupsi yang

meliputi kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, pertanggungjawaban, kerja keras,

kesederhanaan, keberanian dan keadilan. Berikut dibawah ini penjelasan dari tiap-tiap nilai-nilai anti korupsi

yang dapat ditanamkan dalam diri setiap anggota keluarga, meliputi :

1. Kejujuran dapat didefinisikan sebagai lurus hati, tidak berbohong, dan tidak curang. Jujur adalah

salah satu sifat yang sangat penting bagi kehidupan keluarga, tanpa sifat jujur dalam keluarga diantara
suami, istri, anak dan orang tua, tidak akan dipercaya dalam kehidupan sosialnya. Nilai kejujuran dalam

keluarga yang diwarnai dengan rasa kebersamaan dan rasa memiliki satu sama lain sangatlah

diperlukan. Nilai kejujuran ibaratnya seperti mata uang yang berlaku dimana-mana termasuk dalam

kehidupan keluarga. Jika anggota keluarga terbukti melakukan tindakan yang tidak jujur, baik pada

lingkup rumah tangga maupun sosial, maka selamanya orang lain akan selalu merasa ragu untuk

mempercayai anggota keluarga tersebut. Sebagai akibatnya anggota keluarga akan selalu mengalami

kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini juga akan menyebabkan

ketidaknyamanan bagi orang lain karena selalu merasa curiga terhadap orang tersebut yang terlihat

berbuat curang atau tidak jujur.

2. Nilai kepedulian sangat penting bagi anggota keluarga dan di masyarakat. Apabila anak sebagai

salah satu anggota keluarga merupakan calon pemimpin masa depan memiliki rasa kepedulian

terhadap lingkungannya, baik di dalam keluarga maupun diluar lingkungan keluarga. Rasa kepedulian

seorang anak harus ditumbuhkan sejak anak itu tumbuh dan berkembang dalam keluarga, anak

diajarkan untuk peduli kepada ayah, ibu maupun saudara-saudaranya, peduli terhadap lingkungan

disekitarnya. Bentuk kepeduliannya dengan cara tidak berbuat kecurangan bagi orang lain,

misalnya pada saat berada di sekolah tidak mencontek waktu ujian, seorang anak dalam membuat

laporan keuangan kelas dengan jujur.

3. Nilai kemandirian dapat diartikan sebagai proses mendewasakan diri yaitu dengan tidak bergantung

pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini penting untuk masa

depannya dimana masing-masing anggota keluarga tersebut harus mengatur kehidupannya dan orang-

orang yang berada dibawah tanggung jawabnya sebab tidak mungkin orang tidak dapat mandiri

(mengatur dirinya sendiri) akan mampu mengatur hidup orang lain. Dengan karakter kemandirian

tersebut setiap anggota keluarga dituntut untuk mengerjakan semua tanggung jawab dengan usahanya

sendiri dan bukan orang lain yang mengerjakan tanggung jawab itu.

4. Kedisiplinan. Dalam mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat perlu hidup disiplin. Hidup

disiplin tidak berarti harus hidup seperti pola militer, namun hidup disiplin dalam keluarga dimana setiap

anggota keluarga dapat mengatur dan mengelola waktu yang ada digunakan dengan sebaik-baiknya.

Misalnya orang tua akan lebih percaya dengan anaknya yang hidup disiplin untuk belajar.

5. Tanggung jawab. Apabila dalam keluarga setiap anggota memiliki rasa tanggung jawab dalam

melaksanakan tugas masing-masing, misalkan seorang anak diberikan tanggung jawab oleh orang tua
dalam mengerjakan pekerjaan rumah rumah, maka anak tersebut melaksanakan tugas itu dengan baik

dan penuh rasa tanggung jawab.

6. Sederhana. Gaya hidup yang tidak mewah, menjaga hati dan jiwa dari sifat pamer, iri hati, ingin

dipuji, sombong dan lain sebagainya dengan cara tidak melakukan perbuatan yang bisa menimbulkan

kata-kata sombong, pamer, iri seperti sering mengonta-ganti mobil.

7. Keberanian. Untuk mengembangkan sikap keberanian demi mempertahankan pendirian dan

keyakinan anggota keluarga dibutuhkan kerja keras, melakukan sesuatu menghargai proses bukan hasil

semata, tidak melakukan jalan pintas dalam mempeoleh sesuatu, belajar dengan sungguh-sungguh

dalam mempeoleh apa yang ingin dicapai.

8. Keadilan. Berdasarkan arti katanya, adil adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak.

Nilai keberanian dapat dikembangkan oleh mahasiswa dalam kehidupan di kampus dan di luar kampus.

Antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk berani mengatakan dan membela kebenaran, berani

mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab, dan lain sebagainya.

Disamping itu, bentuk dari peran keluarga dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai individu-

individu harus dimulai dari diri pribadi dengan cara meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, agar tidak terjerumus dan berniat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang

dari norma-norma yang ada terutama norma agama, karena semua kejadian atau perbuatan berawal dari

niat di dalam diri pribadi (masyarakat). Apabila benteng keimanan dan ketakwaan sudah sangat kokoh,

serta niat yang telah bulat untuk tidak malakukan hal-hal yang berbau korupsi, maka semua bentuk

kejelekan atau keburukan yang ada dan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang terkait dengan

perbuatan korupsi akan sulit masuk ke dalam diri kita yang dikarenakan telah tertanam keimanan dan

ketakwaan, serta niat yang baik karena Tuhan Yang Maha Esa dan takut kepada-Nya.

Dalam kaitannya dengan Norma Agama, kontrol internal dalam diri pribadi sangat diperlukan agar

seseorang tidak melakukan hal-hal yang buruk dalam kehidupan bermasyarakat. Kontorl internal yaitu

kontrol dari dalam diri sendiri. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kontrol internal seperti

beribadah menurut agama masing-masing, menambah pemahaman terhadap korupsi, mengetahui dampak

dari perbuatan korupsi, resiko yang harus dihadapi jika melakukan korupsi dan bahaya korupsi bagi diri kita,

keluarga kita dan masyarakat luas.

Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya komitmen dari

seluruh masyarakat, mulai dari keluarga, LSM. penyelenggara negara, penegak hukum untuk tidak
melakukan tindakan tidak terpuji telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan

perundang-undangan.Tetapi pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen

semata karena pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah. Komitmen

tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan aspek

penyebab dan dampak dari korupsi tersebut. Strategi itu mencakup aspek preventif, detektif, dan represif,

yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus serta konsisten tanpa pandang bulu. Strategi

Preventive, diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau memindahkan

faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi Detektif, diarahkan untuk mengidentifikasi

terjadinya perbuatan korupsi, Strategi Represif, dimana penanggulangan secara represif pada dasarnya

merupakan tindak lanjut atas penyimpangan yang ditemukan dari langkah-langkah detektif.

C. Penutup

Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang berlaku di

masyarakat. Korupsi di Indonesia telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi memiliki dampak

yang masif dalam segala bidang, baik dalam penyelenggaraan negara maupn ekonomi masyarakat maka

sangat diperlukan peranan dari segala pihak utnuk memeranginya. Keluarga sebagai komponen

masyarakat yang akan meneruskan kelangsungan penyelenggaraan negara dan masyarakat dimasa yang

akan datang harus dipersiapkan sejak dini untuk memiliki sikap anti korupsi mulai dari lingkungan

pendidikannya. Untuk itu didalam keluarga (suami, istri, anak dan orang tua) perlu ditanamkan nilai-nilai anti

korupsi yang meliputi kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, pertanggungjawaban, kerja keras,

kesederhanaan, keberanian dan keadilan. Disamping itu, bentuk dari peran keluarga dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi sebagai individu-individu harus dimulai dari diri pribadi dengan cara meningkatkan

iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar tidak terjerumus dan berniat untuk tidak melakukan

tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang ada terutama norma agama, karena semua

kejadian atau perbuatan berawal dari niat di dalam diri pribadi (masyarakat). Memang melihat fenomena

korupsi yang ada saat ini sepertinya sangat sulit untuk memberantas korupsi yang menggurita dinegeri ini,

namun ini adalah tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia untuk memberantasnya karena pemberantasan

korupsi bukan hanya tanggung jawab KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) .

Sifat pengaruh dan mempengaruhi itu menurut saia seperti efek-domino. Tahukan artinya efek-
domino? Ketika ada seseorang yang berbuat A, yang lain secara sadar maupun tidak sadar ikut
melakukan perbuatan A. Mungkin lebih tepatnya kita mengekor alias ikut-ikutan bin jadi bebek buat
figur yang bersangkutan. Ini jelas dapat dilakukan oleh kita secara sadar ataupun tidak sadar. Istilah
lain mungkin sudah terjadi interaksi sosial antara kita.

Interaksi sosial dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Contohnya: kawan kerja atau kawan
kuliah kita yang sedang berada tak jauh dari kita, kemudian ia melantunkan satu bait lagu yang enak
didengar.Tebak apa yang terjadi pada kita, secara sadar ataupun tidak pasti entar kita bakal
melantunkan lagu yang sama dengan kawan kita. Lama atau tidaknya tergantung dari seberapa kuat
pikiran kita untuk dipengaruhi. Setidaknya itu yang terjadi sama saia dan melihat gejala yang serupa
pada kawan-kawan saia. Tapi memang faktanya bahwa interaksi sosial antar sesama ini tidak bisa
dihindarin. Kecuali kalau kita seorang yang mengalami gangguan psikologis penyendiri atau anti-
sosial.

Anda mungkin juga menyukai