A. Pengertian Perkembangan
Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai
akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Seperti yang dikatakan oleh Van Den Daele
“perkembangan berarti perubahan secara kualitatif”. Ini berarti bahwa perkembangan bukan
sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan
kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang
kompleks.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) “perkembangan” adalah perihal
berkembang. Selanjutnya, kata “berkembang” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini
berarti mekar terbuka atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi
bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.
Perkembangan ialah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi
organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ jasmaniahnya itu sendiri. Dengan kata lain,
penekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang
disandang oleh organ-organ fisik. Perkembangan akan berlanjut terus hingga manusia
mengakhiri hayatnya.
Selain itu guru harus mengetahui proses perkembangan anak dengan mempelajari
psikologi anak. Dengan mengetahui proses perkembangan peserta didik guru dapat
mentransfer ilmunya dengan mengetahui perkembangan yang sedang dialami anak (peserta
didik). Kedua hal tersebut saling keterkaitan yang sangat memiliki peran penting dalam
proses belajar anak.
Maka guru wajib memiliki kompetensi dalam mengetahui perkembangan pola pikir
anak. Perkembangan pola pikir sering pula disebut perekembangan kognitif anak.
Berdasarkan para ahli perkembangan kognitif anak dapat dibagi menjadi empat tahapan.
1. Sensory motor. Tahapan ini terjadi pada anak yang baru lahir hingga usia dua tahun. Daya
pikirnya cenderung berkutat pada belajar bagaimana menghasilkan apa yang dia mau dan
belajar menimbulkan efek tanpa memahami apa yang diperbuatnya. Makanya, pada anak usia
seperti ini menangis menjadi cara belajar andalannya. Ia menangis ketika pipis. Menangis
ketika lapar. Menangis juga ketika ngantuk atau kepanasan. Ia hanya cenderung berpikir
dengan rasa.
2. Properasional. Tahapan ini terjadi pada anak usia 2-7 tahun. Gaya berpikirnya sudah mulai
berkembang. Ia sudah bisa meminta dan mengingat apa yang dimilikinya. Ia telah dapat
belajar merasa mempunyai. Hal ini tampak ketika dia memiliki mainan sudah hafal nama,
warna, dan bentuknya.
3. Konkret-operasional. Tahapan ini terjadi pada anak usia 7 sampai 11 tahun. Gaya
berpikirnya makin berkembang dan mulai kreatif. Ia sudah mengenal dan mengetahui bahwa
benda padat tidak dapat berubah jenis. Misalnya kelereng yang dimilikinya sudah diyakini
bentuknya bulat dan tak akan pernah berubah lagi. Bukti pada tahapan ini mulai kreatif.
Misal, anak sudah dapat menggambar yang ada di depannya atau situasi yang pernah
dialaminya.
4. Formal-operasional. Tahapan ini terjadi pada anak usia 11 hingga 15 tahun. Pola pikir
anak pada usia ini, anak telah dapat berpikir analisis. Ia sudah mengenal malu, sudah ada rasa
tertarik pada lawan jenis. Bahkan adapula yang sudah berpikir kritis. Dan inilah yang
menyebabkan mereka sudah disebut awal memasuki masa remaja.
Antara perkembangan kognitif anak saling keterkaitan dalam teori belajar yang akan
dikembangkan oleh guru. Maka guru wajib memiliki kedua kompetensi tersebut.
Pembinaan pola pikir, yakni pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas
dan mendalam sebagai penjabaran dari pada sifat Fathonah Rasulullah. Seseorang yang
memiliki sifat fathonah tidak saja disebut cerdas tapi memiliki kebijaksanaan dalam berfikir
dan bertindak. Mereka mampu belajar dan menangkap peristiwa yang terjadi disekitarnya,
kemudian menjadikannya sebagai pengalaman dan pelajaran yang berharga serta
memperkaya khazanah pengetahuan.
Berkenaan dengan pengembangan pola pikir, Kenneth dalam Rosyada, (2004:140)
mengurut indikator-indikator kecakapan pada aspek kognitif dengan level kecakapan:
1) mengetahui dan mengingat;
2) pemahaman;
3) penerapan;
4) kemampuan menguraikan;
5) unifikasi;
6) menilai.
Pengaturan kegiatan kognitif merupakan suatu kemahiran tersendiri; orang yang
mempunyai kemahiran ini, mampu mengontrol dan menyalurkan aktivitas kognitif yang
berlangsung dalam dirinya sendiri. Sasaran dari belajar pengaturan kegiatan kognitif adalah
sistematisasi arus pikiran sendiri dan sistematisasi proses belajar dalam diri sendiri. Dalam
psikologi modern sistematisasi dan pengaturan kegiatan mental yang kognitif ini dipandang
sebagai suatu proses kontrol.
Tujuan-tujuan pembelajaran kerap mengandung sasaran supaya siswa belajar berpikir.
Sasaran ini secara teoritis dibenarkan, tapi persoalannya bagaimana cara mengelola
pengajaran kearah itu?. Berikut beberapa pemasukan bagi guru dalam mengembangkan
kecakapan belajar berdasarkan fase belajar yang telah dikemukakan oleh Gagne (1988).
1. Guru membuat perhatian siswa terpusat pada tugas belajar yang dihadapi. Hal-hal tersebut
dapat diusahakan melalui penjelasan kegunaan materi bahasan, dengan memberikan contoh
tentang tujuan yang akan dicapai sehingga siswa mau belajar dan berminat.
2. Guru mengarahkan perhatian siswa kepada unsur-unsur pokok dalam materi pelajaran. Hal
ini dapat dilakukan dengan menunjukkan kejadian tertentu dalam suatu demonstrasi, dengan
menunjukkan bagian dari buku pelajaran misalnya, menguraikan pendahuluan dan
sebagainya.
3. Peran guru dalam hal ini adalah membantu siswa untuk mencerna materi pelajaran dan
menuangkannya ke dalam bentuk suatu rumusan verbal, skema atau bagan, dan guru
memberikan petunjuk bagaimana mengambil inti atau membuat skema atau merumuskan
konsep dan kaidah. Bila perlu guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terarah guna
membantu siswa menggali informasi yang telah tersimpan dalam memori.
4. Guru harus dengan segera memberikan umpan balik terhadap prestasi yang ditunjukkan
siswa.
Seorang yang memiliki kemampuan kognitif yang baik, tidak hanya menguasai
bidangnya, tetapi memiliki dimensi ruhani yang kuat. Keputusan-keputusannya menunjukkan
warna kemahiran seorang profesional yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang
luhur.
2. Perkembangan Keberagamaan Manusia
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan lemah baik secara pisik maupun psikis, namun
memiliki potensi-potensi yang sebagian bersifat terbuka dan mudah diamati dan sebagian
lainnya bersifat latent (tersembunyi). Potensi yang bersikap terbuka misalnya indera
pendengaran dan penglihatan, sedangkan yang bersifat tersembunyi misalnya akal dan
perasaan.
Banyak ahli yang percaya bahwa potensi tersembunyi manusia itu terdapat
kecendrungan untuk meyakini sesuatu yang serba unggul diluar diri dan lingkungannya.
Kecendrungan ini dalam agama Islam disebut fitrah yaitu kecendrungan menjadi muslim
yang mengakui ketuhanan Allah. Namun apabila orang tua dan lingkungannya tidak
mendidik anak (baik langsung maupun tidak) untuk menjadi seorang muslim, maka boleh
jadi anak tersebut menjadi pemeluk agama lain atau mempertuhankan benda-benda tertentu.
Secara teoritis-psikologis, sebagian ahli percaya bahwa setiap anak yang dilahirkan
kedunia ini memiliki kebutuhan-kebutuhan yang mencakup: 1) kebutuhan
perlindungan/keamanan (security); 2) kebutuhan memperoleh pengalaman baru (new
experience); 3) kebutuhan memperoleh tanggapan (respon); dan 4) kebutuhan pengakuan
(recognition). Aneka ragam kebutuhan ini mencerminkan kebergantungan, yang pada
gilirannya, melalui interaksi dengan lingkungan keluarga dengan masyarakat, menimbulkan
perasaan keberagamaan.
3. Perkembangan Moral Dan Sosial Manusia
perkembangan sosial dan moral manusia juga selalu berkaitan dengan proses belajar.
Konsekwensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung kepada kualitas
proses belajar (khususnya belajar social) baik dilingkungan sekolah dan keluarga maupun
dilingkungan yang lebih luas. Ini bermakna bahwa proses belajar siswa dalam bersikap dan
berprilaku social yang selaras dengan norma moral agama, moral tradisi, moral hukum, dan
norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan. Dalam dunia
psikologi belajar, terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan
perkembangan sosial. Diantara ragam mazhab, perkembangan social ini yang paling
menonjol dan dapat dijadikan rujukan ialah, 10 aliran teori cognitive psychology dengan
tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg; 20 aliran teori sosial Learning dengan
tokoh utama Albert Bandura dan R.H.Walters. tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak
melakukan penelitian dan pengkajian perkembangan social anak-anak usia sekolah dasar dan
menengah dengan penekanan khusus pada perkembangan moralitas mereka. Maksudnya,
setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan prilaku
moral, yakni perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Perkembangan Sosial dan Moral Versi Piaget dan Kohlberg
Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan sama dengan perkembangan moral,
sebab prilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku
sosial. Seorang siswa hanya akan hanya akan mampu berprilaku sosial dalam situasi sosial
tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma prilaku moral yang diperlukan
dalam situasi sosial tersebut
Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama
ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sementara itu,lingkungan sosial
merupakan pemasok materi mentah yang akan di diolah oleh ranah kognitif anak tersebut
secara aktif. Dalam interaksi sosial dengan teman-teman sepermainan sebagai contoh,
terdapat dorongan sosial menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.
Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap sikap dan
egosentrisme seorang anak berkurang, lazimnya perkembangan moral (moral reasoning)
anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-anak yang masih diliputi sikap
mementingkan diri sendiri hanya akan mampu memahami kaidah social yang hanya akan
menguntungkan diri sendiri. Oleh karenanya, agar anak-anak yang egois menyadari
kesalahan sosialnya dan sekaligus berprilaku moral secara memadai, pengenalan mereka
terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu
ditanamkan.
Ada dua macam metode yang diaplikasikan piaget untuk melakukan studi mengenai
perkembangan moral anak dan remaja, yaitu:
1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai
mereka tentang aturan yang mereka ikuti.
2. Melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisahyang menceritakan perbuatan salah
dan benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang terdiri dari anak dan
remaja) untuk menilai kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan mereka sendiri.
Berdasarkan data studinya diatas, Piaget menggunakan dua tahap perkembangan
moral anak. dan remaja diantara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi,
yakni pada usia 7-10 tahun.