Anda di halaman 1dari 11

Pengembangan Pola Pikir (Kognitif)

A. Pengertian Perkembangan
Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai
akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Seperti yang dikatakan oleh Van Den Daele
“perkembangan berarti perubahan secara kualitatif”. Ini berarti bahwa perkembangan bukan
sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan
kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang
kompleks.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) “perkembangan” adalah perihal
berkembang. Selanjutnya, kata “berkembang” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini
berarti mekar terbuka atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi
bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.
Perkembangan ialah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi
organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ jasmaniahnya itu sendiri. Dengan kata lain,
penekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang
disandang oleh organ-organ fisik. Perkembangan akan berlanjut terus hingga manusia
mengakhiri hayatnya.

B. Pengertian Guru Profesional


Guru sekolah dan madrasah harus berkualifikasi akademik dan memiliki kompetensi
sebagai agen belajar (learning agent), sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sebagai learning agent, seorang guru harus
memiliki kompetensi memicu kegiatan belajar siswa.
Secara sederhana kompetensi guru (teacher competency) dapat didefinisikan sebagai
kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung
jawab dan layak. Selanjutnya, kompetensi profesionalisme guru dapat dimaknai sebagai
kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Alhasil, guru
yang piawai dalam melaksanakan profesinya (terutama dalam merancang pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasil belajar siswa) dapat disebut sebagai guru yang
kompeten dan profesional.
Lebih lanjut, secara umum kata “profesionalisme” (professionalism) yang sering
mengiringi kata kompetensi itu dapat dipahami sebagai kualitas dan tindak-tanduk khusus
yang merupakan ciri orang professional. Adapun kata “profesionalitas” yang terkadang
diucapkan dan ditulis sebagian orang itu sesungguhnya tidak ada, karena kata professionality
yang dianggap sebagai bentuk asli dari profesionalitas itu tidak dikenal kecuali mungkin
dalam perkiraan sebagian orang itu saja. Oleh karenanya, marilah kita tinggalkan istilah
profesionalitas dan kita gunakan istilah profesionalisme saja! Istilah
“profesional”(professional) aslinya merupakan kata sifat dari kata profession (pekerjaan)
yang berarti sangat mampu melakukan pekerjaan. Selain sebagai kata sifat, professional juga
merupakan kata benda yang lebih kurang berarti orang yang melaksanakan sebuah profesi
dengan menggunakan profisiensi (kemampuan tinggi di bidang tertentu) sebagai mata
pencaharian yang relatif menetap.
Berdasarkan pertimbangan arti-arti di atas, maka pengertian guru profesional adalah
guru yang melaksanakan tugas keguruan dengan kemampuan tinggi (proficiency) sebagai
pengabdian sekaligus sumber kehidupannya. Kebalikannya, guru amatir, yang di Barat
disebut sub-professional seperti teacher-aide (asisten guru atau guru bantu). Di Australia,
asisten guru ini dikaryakan untuk membantu guru profesional dalam mengelola kelas, tetapi
tidak mengajar. Kadang-kadang, guru amatir itu ditugasi menangani keperluan belajar
kelompok siswa tertentu, misalnya kelompok siswa imigran.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang
merupakan hasil belajar dapat berbentuk :
1) Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis
maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan
sebagainya.
2) Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan
lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol
matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan
(discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan
ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3) Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan
keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu
kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang
efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi
kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4) Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam
tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu
yang akan memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau
peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan
kesiapan untuk bertindak.
5) Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol
oleh otot dan fisik.
C. Ragam Kompetensi Psikologis Guru Profesional
Selanjutnya, dalam menjalankan kewenangan profesionalnya guru dituntut memiliki
aneka ragam kecakapan psikologis (psychological competencies) yang meliputi:
1. Kompetensi kognitif (kecakapan ranah cipta), yakni: memiliki pelbagai pengetahuan
kependidikan/ keguruan dan pengetahuan mengenai materi bidang studi/mata
pelajaran pegangan/vaknya;
2. Kompetensi afektif (kecakapan ranah rasa), yakni memiliki: konsep diri dan harga
diri, keyakinan akan kemampuan dirinya dalam mengatasi keterbatasan ruang dan
waktu pembelajaran, dan sikap penerimaan yang positif terhadap diri sendiri dan siswa;
3. Kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa), yakni memiliki: kecakapan fisik
berupa kecakapan verbal dan nonverbal baik yang bersifat umum maupun khusus
seperti: kefasihan dalam menguraikan materi, kepiawaian dalam menulis, menggambar, dan
memeragakan keterampilan membuat/melakukan sesuatu yang berkaitan dengan materi
pelajaran.
Di sini pembahasan terbatas pada ranah kognitif saja.
D. Teori Perkembangan Kognitif
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog
Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam
lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep
kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan
dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana
seseorang mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat
seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini
digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang
menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan
bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui
tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan
teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak
untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan
semakin canggih seiring pertambahan usia:

1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)

2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)

3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)

4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

E. Pendidikan dan Pengembangan Pola Pikir

Aspek Dasar Pendidikan


Dari manusia dilahirkan hingga nafas terakhirnya diudara kehidupan, ada satu
aktifitas yang tidak pernah berhenti dilakukannya, yakni pembelajaran. Pembelajaran dalam
kaitannya dengan bahasan ini adalah sebuah aspek dasar dari sistem pendidikan yang sampai
saat ini terus berkembang.
Pembelajaran adalah sebuah proses dimana manusia melihat sekitarnya, melihat
kedalam dirinya, medapatkan pemahaman atasnya dan menjadi dasar setiap aktifitas yang
berikut akan dikerjakannya.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berkelanjutan, pembelajaran yang
selalu bersiklus, yakni pembelajaran yang selalu dimulai dari setiap akhir pemahaman yang
diperolehnya. Sehingga pemahaman yang didapatkan oleh setiap individu akan berbeda satu
sama lainnya. Dan hal ini adalah wajar karena ilmu (yang sedikit Allah berikan kepada
masing-masing kita) sungguh melimpah.

Jalan Pintas Pembelajaran


Membaca pemahaman seseorang berikut konklusi dan analisisnya adalah salah satu
cara mendapatkan pemahaman melalui jalan pintas. Proses yang pemilahan terhadap suatu
fenomena akan menjadi lebih mudah dengan melihat bagaimana seseorang menyelesaikan
masalah, bagaimana seseorang memiliki sebuah kerangka pemecahan masalah yang dinamis,
bagaimana seseorang memandang sebuah permasalahan dan menyimpulkan faedah yang
didapatkannya.
Membaca pemahaman seseorang dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimulai dari
melihat tindakan, membaca biografi, membaca buku, hingga pada tahapan interaksi frontal
dengan individu tertentu.
Semakin banyak sang individu melakukan jalan pintas dalam Pembelajaran semakin
banyak pula pola pikir yang menumpuk dalam pikirannya, sehingga terkadang bila ia tidak
berusaha mensinergikan dengan pola pikirnya sendiri, membuatnya lebih beralur, menjadi
pemahaman yang berkelanjutan atau hanya memahami tanpa berusaha menyesuaikan dengan
kondisi realita yang sedang dihadapinya. Hal ini yang menyebabkan “linglung”, proses yang
sama dialami oleh Freud (Bapak Psikologi) ketika mencoba menganalisis dirinya dengan
berbagai kepribadian.

Pembelajaran dan Pendidikan


Pendidikan adalah suatu upaya sistematis dalam mendistribusikan ilmu pengetahuan.
Bila pembelajaran adalah suatu upaya untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka
pendidikan adalah suatu alur untuk menciptakan pembelajaran.
Sehingga pendidikan selalu mempunyai tujuan dan arahan. Sering kali kita melihat
bahawa arahan pendidikan sering kali mengenai sesuatu yang abstrak seperti kualitas,
kompeten, dan lain sebagainya. Dalam realita patut kita mensederhanakan konsep teoritis
tersebut atau memberi penjelasan lanjutan seperti, berkualitas dalam kelimuan tertentu,
berkualitas dalam aspek tertentu, sehingga hal tersebut bisa lebih mudah diaplikasikan untuk
menopang pembangunan masyarakat, yang agraris, yang hi-tec, atau yang lain sebagainya.

Pengembangan Pola Pikir


Pada dasarnya pengembangan pola pikir adalah hasil reaktif dari adanya pembelajaran
yang berkelanjutan, sistem pendidikan yang terarah dan pemahaman sang individu yang
mendalam akan nilai-nilai yang essensial dalam kehidupan, yang menyangkut nilai-nilai
humanity yang universal.
Pengembangan pola pikir adalah suatu hal yang mahal yang dapat disuguhkan oleh
pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah. Pengembangan pola pikir bukanlah
suatu hal yang bisa dituntut dari seorang individu, karena hal tersebut berasal dari hasil
reaktif terhadap kegiatan pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah. Yang
berarti bagaimana pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah dapat
disinkronkan dalam aspek-aspek tertentu, sehingga tidak keseluruhan sistem pendidikan
dimonopoli untuk kebutuhan sang pendididik, atau negara yang mensistematisasi pendidikan,
ambillah sebagian kecil dari pendidikan untuk kepentingan masyarakat, negara dan bangsa
dan berikan sebagian besarnya untuk menopang pembelajaran berkelanjutan sang individu.
F. Pengembangan Pola Pikir (Kognitif)
Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya Knowing, berarti
mengetahui. Dalam arti yang luas, Cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan
penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif
menjadi popular sebagai suatu domain atau wilayah ranah psikologis manusia yang meliputi
wilayah psikologis manusia yang meliputi setiap prilaku mental yang berhubungan dengan
pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan
keyakinan. Ranah kejiwaan yang berhubungan dengan otak ini juga berhubungan dengan
konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian degan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Sebagian besar psikolog terutama kognitivis (ahli psikolog kognitif) berkeyakinan
bahwa proses perkembangan manusia dimulai sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar
perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori, ternyata pada batas
tertentu, juga dipengaruhi oleh ranah kognitif, campur tangan sel-sel otak terhadap
perkembangan bayi baru dimulai sejak ia berusia 5 bulan saat kemampuan sensorinya (seperti
melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak.
Keberhasilan Pengembangan ranah kognitif tidak hanya mengembangkan kecakapan
kognitif, tetapi juga menggembangkan ranah afektif, sebagai contoh, seorang guru agama
yang piawai mengembangkan kecakapan kognitif, akan berdampak positif terhadap ranah
afektif para siswa. Dalam hal ini pemahaman yang mendalam terhadap arati penting materi
pelajaran agama yang disajikan guru serta preferensi kognitif yang mementingkan aplikasi
prinsip-prinsip akan meningkatkan kecakapan afektif para siswa. Peningkatan kecakapan
afektif ini antara lain, berupa kesadaran beragama yang mantap.
Dampak positif lainnya ialah dimilikinya sikap mental keagamaan yang lebih tegas
dan lugas sesuai dengan tuntunan ajaran agama yang telah ia fahami dan yakini secara
mendalam. Sebagai contoh, apabila seorang siswa di ajak kawannya untuk tidak senonoh
seperti melakukan seks bebas, meminum-minuman keras dan “pil setan”, ia akan serta merta
menolak bahkan berusaha mencegah perbuatan asusila itu dengan segenap daya dan
upayanya.
Pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap perkembangan
ranah psikomotor. Kecakapan psikomotor ialah segala amal jasmaniah yang kongkret dan
mudah diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka. Namun,
disamping kecakapan psikomotorik itu tidak terlepas dari kecakapan kognitif ia juga banyak
terikat oleh kecakapan afektif. Jadi, kecakapan psikomotor siswa merupakan manifestasi
wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya.
Banyak contoh yang membuktikan bahwa kecakapan kognitif itu berpengaruh besar
terhadap berkembangnya kecakapan psikomotor. Para siswa yang berprestasi baik (dalam
arti yang luas dan ideal) dalam bidang pelajaran agama misalnya sudah tentu akan lebih rajin
beribadah shalat, puasa dan mengaji. Dia juga akan tidak segan-segan memberi pertolongan
atau bantuan kepada orang yang memerlukan. Sebab, ia merasa memberi bantuan itu adalah
kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang ber kaitan dengan kebajikan tersebut berasal
dari pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran agama yang ia terima dari
gurunya (kognitif).
Sebagai guru harus ahli di berbagai hal. Guru itu mempunyai banyak keahlian dari
mulai menjadi fasilitator, mediator, orang tua, pemimpin dan lain-lainnya. Tujuan utama
seorang guru mengharuskan dapat mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada siswa. Guru
harus tahu apa yang harus diajarkan kepada siswa sesuai dengan perkembangan psikologis
anak (siswa). Tak ketinggalan pula guru harus dapat memahami kondisi siswa saat ia akan
mentransferkan ilmunya atau pelajaran. Disinilah terlihat peran guru yang sesungguhnya,
guru sebagai “pelayan” siswa dalam mendapatkan kenikmatan belajar akan dapat teralisasi
dan tentunya akan merealisasikan tujuan yang ingin dicapai.

Selain itu guru harus mengetahui proses perkembangan anak dengan mempelajari
psikologi anak. Dengan mengetahui proses perkembangan peserta didik guru dapat
mentransfer ilmunya dengan mengetahui perkembangan yang sedang dialami anak (peserta
didik). Kedua hal tersebut saling keterkaitan yang sangat memiliki peran penting dalam
proses belajar anak.

Maka guru wajib memiliki kompetensi dalam mengetahui perkembangan pola pikir
anak. Perkembangan pola pikir sering pula disebut perekembangan kognitif anak.
Berdasarkan para ahli perkembangan kognitif anak dapat dibagi menjadi empat tahapan.

1. Sensory motor. Tahapan ini terjadi pada anak yang baru lahir hingga usia dua tahun. Daya
pikirnya cenderung berkutat pada belajar bagaimana menghasilkan apa yang dia mau dan
belajar menimbulkan efek tanpa memahami apa yang diperbuatnya. Makanya, pada anak usia
seperti ini menangis menjadi cara belajar andalannya. Ia menangis ketika pipis. Menangis
ketika lapar. Menangis juga ketika ngantuk atau kepanasan. Ia hanya cenderung berpikir
dengan rasa.

2. Properasional. Tahapan ini terjadi pada anak usia 2-7 tahun. Gaya berpikirnya sudah mulai
berkembang. Ia sudah bisa meminta dan mengingat apa yang dimilikinya. Ia telah dapat
belajar merasa mempunyai. Hal ini tampak ketika dia memiliki mainan sudah hafal nama,
warna, dan bentuknya.

3. Konkret-operasional. Tahapan ini terjadi pada anak usia 7 sampai 11 tahun. Gaya
berpikirnya makin berkembang dan mulai kreatif. Ia sudah mengenal dan mengetahui bahwa
benda padat tidak dapat berubah jenis. Misalnya kelereng yang dimilikinya sudah diyakini
bentuknya bulat dan tak akan pernah berubah lagi. Bukti pada tahapan ini mulai kreatif.
Misal, anak sudah dapat menggambar yang ada di depannya atau situasi yang pernah
dialaminya.

4. Formal-operasional. Tahapan ini terjadi pada anak usia 11 hingga 15 tahun. Pola pikir
anak pada usia ini, anak telah dapat berpikir analisis. Ia sudah mengenal malu, sudah ada rasa
tertarik pada lawan jenis. Bahkan adapula yang sudah berpikir kritis. Dan inilah yang
menyebabkan mereka sudah disebut awal memasuki masa remaja.

Dengan mengetahui perkembangan kognitif anak. Guru akan lebih mendapat


kemudahan dalam pola belajar yang akan dikembangkan di kelas nantinya. Pola belajar
tersebut dapat berupa teori-teori belajar seperti teori belajar behavioralisme, teori belajar
kognitivisme, teori belajar humanistik, teori belajar kontruktivisme, dan teori belajar
kontruktivisme sosial.

Antara perkembangan kognitif anak saling keterkaitan dalam teori belajar yang akan
dikembangkan oleh guru. Maka guru wajib memiliki kedua kompetensi tersebut.
Pembinaan pola pikir, yakni pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas
dan mendalam sebagai penjabaran dari pada sifat Fathonah Rasulullah. Seseorang yang
memiliki sifat fathonah tidak saja disebut cerdas tapi memiliki kebijaksanaan dalam berfikir
dan bertindak. Mereka mampu belajar dan menangkap peristiwa yang terjadi disekitarnya,
kemudian menjadikannya sebagai pengalaman dan pelajaran yang berharga serta
memperkaya khazanah pengetahuan.
Berkenaan dengan pengembangan pola pikir, Kenneth dalam Rosyada, (2004:140)
mengurut indikator-indikator kecakapan pada aspek kognitif dengan level kecakapan:
1) mengetahui dan mengingat;
2) pemahaman;
3) penerapan;
4) kemampuan menguraikan;
5) unifikasi;
6) menilai.
Pengaturan kegiatan kognitif merupakan suatu kemahiran tersendiri; orang yang
mempunyai kemahiran ini, mampu mengontrol dan menyalurkan aktivitas kognitif yang
berlangsung dalam dirinya sendiri. Sasaran dari belajar pengaturan kegiatan kognitif adalah
sistematisasi arus pikiran sendiri dan sistematisasi proses belajar dalam diri sendiri. Dalam
psikologi modern sistematisasi dan pengaturan kegiatan mental yang kognitif ini dipandang
sebagai suatu proses kontrol.
Tujuan-tujuan pembelajaran kerap mengandung sasaran supaya siswa belajar berpikir.
Sasaran ini secara teoritis dibenarkan, tapi persoalannya bagaimana cara mengelola
pengajaran kearah itu?. Berikut beberapa pemasukan bagi guru dalam mengembangkan
kecakapan belajar berdasarkan fase belajar yang telah dikemukakan oleh Gagne (1988).
1. Guru membuat perhatian siswa terpusat pada tugas belajar yang dihadapi. Hal-hal tersebut
dapat diusahakan melalui penjelasan kegunaan materi bahasan, dengan memberikan contoh
tentang tujuan yang akan dicapai sehingga siswa mau belajar dan berminat.
2. Guru mengarahkan perhatian siswa kepada unsur-unsur pokok dalam materi pelajaran. Hal
ini dapat dilakukan dengan menunjukkan kejadian tertentu dalam suatu demonstrasi, dengan
menunjukkan bagian dari buku pelajaran misalnya, menguraikan pendahuluan dan
sebagainya.
3. Peran guru dalam hal ini adalah membantu siswa untuk mencerna materi pelajaran dan
menuangkannya ke dalam bentuk suatu rumusan verbal, skema atau bagan, dan guru
memberikan petunjuk bagaimana mengambil inti atau membuat skema atau merumuskan
konsep dan kaidah. Bila perlu guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terarah guna
membantu siswa menggali informasi yang telah tersimpan dalam memori.
4. Guru harus dengan segera memberikan umpan balik terhadap prestasi yang ditunjukkan
siswa.
Seorang yang memiliki kemampuan kognitif yang baik, tidak hanya menguasai
bidangnya, tetapi memiliki dimensi ruhani yang kuat. Keputusan-keputusannya menunjukkan
warna kemahiran seorang profesional yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang
luhur.
2. Perkembangan Keberagamaan Manusia
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan lemah baik secara pisik maupun psikis, namun
memiliki potensi-potensi yang sebagian bersifat terbuka dan mudah diamati dan sebagian
lainnya bersifat latent (tersembunyi). Potensi yang bersikap terbuka misalnya indera
pendengaran dan penglihatan, sedangkan yang bersifat tersembunyi misalnya akal dan
perasaan.
Banyak ahli yang percaya bahwa potensi tersembunyi manusia itu terdapat
kecendrungan untuk meyakini sesuatu yang serba unggul diluar diri dan lingkungannya.
Kecendrungan ini dalam agama Islam disebut fitrah yaitu kecendrungan menjadi muslim
yang mengakui ketuhanan Allah. Namun apabila orang tua dan lingkungannya tidak
mendidik anak (baik langsung maupun tidak) untuk menjadi seorang muslim, maka boleh
jadi anak tersebut menjadi pemeluk agama lain atau mempertuhankan benda-benda tertentu.
Secara teoritis-psikologis, sebagian ahli percaya bahwa setiap anak yang dilahirkan
kedunia ini memiliki kebutuhan-kebutuhan yang mencakup: 1) kebutuhan
perlindungan/keamanan (security); 2) kebutuhan memperoleh pengalaman baru (new
experience); 3) kebutuhan memperoleh tanggapan (respon); dan 4) kebutuhan pengakuan
(recognition). Aneka ragam kebutuhan ini mencerminkan kebergantungan, yang pada
gilirannya, melalui interaksi dengan lingkungan keluarga dengan masyarakat, menimbulkan
perasaan keberagamaan.
3. Perkembangan Moral Dan Sosial Manusia
perkembangan sosial dan moral manusia juga selalu berkaitan dengan proses belajar.
Konsekwensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung kepada kualitas
proses belajar (khususnya belajar social) baik dilingkungan sekolah dan keluarga maupun
dilingkungan yang lebih luas. Ini bermakna bahwa proses belajar siswa dalam bersikap dan
berprilaku social yang selaras dengan norma moral agama, moral tradisi, moral hukum, dan
norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan. Dalam dunia
psikologi belajar, terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan
perkembangan sosial. Diantara ragam mazhab, perkembangan social ini yang paling
menonjol dan dapat dijadikan rujukan ialah, 10 aliran teori cognitive psychology dengan
tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg; 20 aliran teori sosial Learning dengan
tokoh utama Albert Bandura dan R.H.Walters. tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak
melakukan penelitian dan pengkajian perkembangan social anak-anak usia sekolah dasar dan
menengah dengan penekanan khusus pada perkembangan moralitas mereka. Maksudnya,
setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan prilaku
moral, yakni perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Perkembangan Sosial dan Moral Versi Piaget dan Kohlberg
Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan sama dengan perkembangan moral,
sebab prilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku
sosial. Seorang siswa hanya akan hanya akan mampu berprilaku sosial dalam situasi sosial
tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma prilaku moral yang diperlukan
dalam situasi sosial tersebut
Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama
ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sementara itu,lingkungan sosial
merupakan pemasok materi mentah yang akan di diolah oleh ranah kognitif anak tersebut
secara aktif. Dalam interaksi sosial dengan teman-teman sepermainan sebagai contoh,
terdapat dorongan sosial menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.
Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap sikap dan
egosentrisme seorang anak berkurang, lazimnya perkembangan moral (moral reasoning)
anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-anak yang masih diliputi sikap
mementingkan diri sendiri hanya akan mampu memahami kaidah social yang hanya akan
menguntungkan diri sendiri. Oleh karenanya, agar anak-anak yang egois menyadari
kesalahan sosialnya dan sekaligus berprilaku moral secara memadai, pengenalan mereka
terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu
ditanamkan.
Ada dua macam metode yang diaplikasikan piaget untuk melakukan studi mengenai
perkembangan moral anak dan remaja, yaitu:
1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai
mereka tentang aturan yang mereka ikuti.
2. Melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisahyang menceritakan perbuatan salah
dan benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang terdiri dari anak dan
remaja) untuk menilai kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan mereka sendiri.
Berdasarkan data studinya diatas, Piaget menggunakan dua tahap perkembangan
moral anak. dan remaja diantara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi,
yakni pada usia 7-10 tahun.

Anda mungkin juga menyukai