Anda di halaman 1dari 16

PENIUPAN PELUIT SEBAGAI PERILAKU TERENCANA – SURVEI TERHADAP

PARA POLISI KOREA SELATAN


[Park, Heungsik dan Blenkinsopp, John (2009), Journal of Business Ethics, 85:545–556]

ABSTRAK. Artikel ini mengeksplorasi Teori Perilaku Terencana pada penelitian peniupan peluit
(whistleblowing, pengaduan atas tindakan yang salah), dan mempertimbangkan apakah
validitasnya teruji secara luas sebagai model mengenai kaitan antara sikap, intensi, dan perilaku
mungkin membuatnya sebagai calon yang tepat sebagai teori umum untuk menjelaskan peniupan
peluit. Proposisi ini dikembangkan melalui uji empiris atas validitas prediktif teori itu untuk
intensi (niat) peniupan peluit. Dengan menggunakan 296 petugas kepolisian Korea Selatan,
analisis menunjukkan bahwa sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dipersepsi
memiliki dampak utama yang positif dan signifikan terhadap intensi peniupan peluit internal,
tapi untuk intensi peniupan peluit eksternal hanya norma subyektif yang signifikan. Implikasi
penemuan mengenai penerapan Teori Perilaku Terencana pada penelitian peniupan peluit
didiskusikan.

KATA-KATA UTAMA: peniupan peluit, teori perilaku terencana

Pengantar

Ketiadaan teori umum mengenai peniupan peluit (whistleblowing) dicatat pertama kali sebagai
masalah yang signifikan bagi para peneliti salama 20 tahun yang lalu (Miceli dan Near, 1988)
dan, walaupun ada volume pertumbuhan penelitian yang berkualitas tinggi, masalahnya tetap. Ini
merupakan masalah teoritis maupun praktis. Para pembuat keputusan, keorganisasian maupun
pemerintahan, memiliki minat mengimplementasikan secara berhasil sistem hukum dan
keorganisasian yang akan mendorong pelaporan perilaku yang ilegal atau tidak etis, namun tanpa
kerangka kerja teoritis yang komprehensif untuk menjelaskan perilaku peniupan peluit, para
peneliti dapat menawarkan hanya saran yang terbatas mengenai desain sistem-sistem yang
demikian.

Sebagian masalah mengenai pengembangan teori muncul dari kesulitan-kesulitan yang melekat
dalam meneliti secara langsung perilaku peniupan peluit, yang mengerahkan para peneliti untuk
menggunakan ukuran-ukuran tak langsung seperti sikap. Sikap, tapi, merupakan ukuran yang
bermasalah; walaupun banyak pekerja memiliki sikap yang positif terhadap peniupan peluit
(mereka memikirkannya secara moral benar dan perlu) tapi sedikit yang secara nyata melakukan
tindakan ketika waktunya tiba untuk melakukannya. Bukti ketidakterkaitan antara sikap dan
perilaku itu mengarahkan beberapa peneliti untuk menggunakan intensi sebagai ukuran untuk
mendekati perilaku peniupan peluit, karena intensi telah teruji sebagai prediktor yang lebih baik
daripada sikap atas perilaku (Ajzen, 1987).

Artikel yang sekarang dimaksudkan untuk menggunakan secara bersama-sama keduanya – teori
umum yang tidak ada serta kaitan antara sikap, intensi, dan perilaku dalam peniupan peluit –
melalui pengujian Teori Ajzen mengenai Perilaku Terencana (TPB, Theory of Planned
Behavior). TPB sejauh ini merupakan teori yang paling luas diterapkan mengenai kaitan antara
sikap, intensi, dan perilaku sehingga para peneliti peniupan peluit memiliki kegagalan besar. TPB

1
telah ditunjukkan sebagai kerangka kerja teoritis yang efektif untuk memprediksi intensi
keperilakuan yang etis (Buchan, 2005; Chang, 1998; McMillan dan Conner, 2003; Randall dan
Gibson, 1991), dan artikel yang sekarang dimaksudkan untuk memperluas penerapannya pada
penelitian mengenai peniupan peluit. Pada artikel ini kami berusaha menunjukkan manfaat
penerapan TPB pada peniupan peluit melalui pengujian dua hipotesis yang dihasilkan dari teori
itu.

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyelidiki prediktor-prediktor intensi peniupan peluit
dan membandingkan perannya dalam dua tipe peniupan peluit – internal dan eksternal. Pertama,
kami menguji efek sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dipersepsi terhadap intensi
peniupan peluit, semuanya, yang diajukrn pada teori itu, untuk menentukan intensi dan perilaku
manusia. Kedua, kami membandingkan efek ketiga komponen itu pada intensi dalam perilaku
peniupan peluit internal dan eksternal. Jika kita dapat memprediksi secara berhasil bagaimana
intensi pekerja untuk meniupkan peluit diaktivasi, itu akan sangat membantu para pemimpin
organisasi dalam tuntutan mereka untuk membangun budaya yang etis dan memantapkan
program-program pelatihan yang dapat mempengaruhi secara lebih efektif para pekerja untuk
berperilaku secara etis.

Pada artikel ini pertama ditelaah TPB sebagai kerangka kerja teoritis untuk memprediksi intensi
peniupan peluit, kemudian dikembangkan hipotesis-hipotesis penelitian yang berfokus pada
intensi peniupan peluit. Pada fasal-fasal selanjutnya disajikan metode pengumpulan data dan
ukuran variabel, serta pengujian hasil-hasil analisis data. Terakhir, kami mendiskusikan
implikasi-implikasi penemuan-penemuan kami untuk penelitian yang akan datang.

Penerapan TPB Ajzen (1991) pada peniupan peluit telah teruji sebagai alat teoritis yang sangat
berhasil untuk memprediksi perilaku yang etis atau tidak etis (Carpenter and Reimers, 2005;
Chang, 1998; McMillan and Conner, 2003; Randall and Gibson, 1991). Misalnya, untuk
memprediksi pembajakan perangkat lunak, Chang (1998) mengevaluasi efek ketiga komponen
teori itu (sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dipersepsi) terhadap intensi untuk
berperilaku secara tidak etis, dengan menggunakan data dari 181 mahasiswa/i universitas. Ia
menemukan TPB sebagai kerangka teoritis yang efektif untuk memprediksi pembuatan
keputusan perilaku yang tidak etis. Randall dan Gibson (1991) menerapkan TPB untuk
memprediksi pembuatan keputusan yang etis dalam profesi medis dan menemukan bahwa teori
itu menjelaskan secara berhasil intensi untuk melaporkan perbuatan yang salah. Pada penelitian
mereka, sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dipersepsi menjelaskan porsi yang
signifikan (61%) variansi intensi untuk membuat keputusan yang etis. Fukukawa (2002)
menerapkan TPB pada perilaku konsumen yang dapat dipertanyakan secara etis untuk
menjelaskan kerumitannya, dan Bobek dan Hatfield (2003) menggunakan teori itu sebagai
kerangka kerja teotitis untuk mengeksplorasi intensi para pembayar pajak untuk mematuhi
hukum perpajakan. Parker dkk. (1992) menerapkan TPB untuk memprediksi intensi para
pengemudi untuk menghindari pelanggaran dalam mengemudi, dan penemuan mereka
mendukung teori itu untuk memprediksi intensi itu. Selain itu, sejumlah penelitian telah
menggunakan teori itu untuk memprediksi perilaku untuk mempertahankan isu-isu yang etis,
misalnya perilaku yang salah dari konsumen (Tonglet, 2002), tindakan yang tidak jujur (Beck
dan Ajzen, 1991), dan perilaku yang boros (Teo dan Loosemore, 2001).

2
TPB tampak secara khusus sesuai untuk menjelaskan intensi peniupan peluit, dalam hal TPB itu
merupakan tindakan yang dilakukan berdasarkan proses psikologis yang rumit (Gundlach dkk.,
2003). Selain itu, teori Ajzen telah diterima secara luas sebagai alat untuk menganalisis
perbedaan-perbedaan antara sikap dan intensi seperti juga intensi dan perilaku. Terkait dengan
itu, usaha untuk menggunakan TPB sebagai pendekatan untuk menjelaskan peniupan peluit dapat
membantu mengatasi beberapa keterbatasan penelitian-penelitian sebelumnya, dan menghasilkan
alat untuk memahami kesenjangan yang diobservasi secara luas antara sikap dan perilaku.

TPB mempostulatkan bahwa intensi menghasilkan perilaku sebagai fungsi dari tiga tipe
keyakinan yang melatarinya, yang secara konseptual bersifat independen satu sama lain, yaitu:
(1) sikap terhadap perilaku, yang ditentukan oleh keyakinan-keyakinan mengenai konsekuensi-
konsekuensi perilaku itu, (2) norma subyektif mengenai itu, yang ditentukan oleh keyakinan-
keyakinan normatif, dan (3) kontrol keperilakuan yang dipersepsi, yang ditentukan oleh
keyakinan-keyakinan mengenai sumber-sumber daya dan peluang-peluang yang tersedia untuk
melakukan perilaku itu (Ajzen, 1991). Sikap merupakan penilaian individual mengenai seberapa
banyak ia mendukung atau tidak mendukung perilaku khusus. Secara umum, orang
mengembangkan sikap berdasarkan keyakinannya mengenai perilaku yang dipertimbangkan
melalui pengasosiasian perilaku itu dengan konsekuensi-konsekuensi yang tertentu. Pada TPB
diasumsikan bahwa keyakinan mengenai konsekuensi dari perilaku tertentu berkontribusi untuk
membentuk sikap terhadap perilaku itu.

Derajat keyakinan dalam, dan kepentingan subyektif dari, konsekuensi tertentu berinteraksi
untuk menentukan sikap terhadap perilaku itu. Jadi, sikap merupakan penjumlahan dari hasil
perkalian antara kekuatan tiap keyakinan yang menonjol (dalam konsekuensi dari perilaku
khusus) dan evaluasi subyektif mengenai seberapa banyak atribut-atribut tiap keyakinan
tergolong penting (untuk individu itu). Sikap terhadap peniupan peluit (terhadap mana individu
memiliki evaluasi yang positif atau negatif atas peniupan peluit) merupakan jumlah dari hasil
perkalian antara keyakinan pekerja mengenai konsekuensi peniupan peluit dan evaluasi
subyektifnya atas konsekuensinya. Konsekuensi peniupan peluit, sebagaimana diimplikasikan
dalam tujuan ketentuan perlindungan terhadap peniup peluit (Callahan dan Dworkin, 2000),
mencakup pencegahan pencederaan organisasi, pengendalian atas korupsi, peningkatan
kepentingan publik, pelaksanaan tugas pekerja, kepuasan moral, dll. Ini merupakan konsekuensi-
konsekuensi positif, dalam hal peniupan peluit secara luas dipandang sebagai perilaku yang
positif untuk didorong di tempat kerja.

Norma subyektif didefinisikan sebagai ‘‘the perceived social pressure to perform or not to
perform the behavior’’ (Ajzen, 1991: 188). Itu didasarkan pada keyakinan normatif, yang
merupakan pemikiran (keyakinan) orang mengenai ‘‘kemungkinan bahwa para individu atau
kelompok-kelompok acuan yang penting mendukung atau tidak mendukung pelaksanaan
perilaku tertentu’’ (Ajzen, 1991: 195), dan direpresentasikan melalui hasil penjumlahan
keyakinan-keyakinan normatif yang berbeda dan motivasi orang untuk memenuhi harapan atas
“pihak-pihak lain yang penting”, yang untuk peniup peluit merupakan para anggota keluarga,
para rekan kerja, pengawas (atasan) langsung, para teman, dan para tetangga.

Penentu ketiga intensi, kontrol keperilakuan yang dipersepsi, mengacu pada “the perceived
ease or difficulty of performing the behavior” (Ajzen, 1991: 188). Menurut teori itu, perilaku

3
atau intensi bergantung pada sumberdaya dan peluang yang tersedia bagi individu untuk
melakukan perilaku khusus (Ajzen, 1991). Hambatan-hambatan atau risiko-risiko yang melekat
dalam melakukan suatu perilaku disebut faktor-faktor kontrol, dan diasumsikan bahwa keyakinan
atasnya dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu seperti juga informasi dari pihak kedua
mengenai perilaku itu, yang diperoleh dari pengalaman para kerabat dan teman-teman, atau
lainnya (Ajzen, 1991). Jadi, kontrol keperilakuan yang dipersepsi lebih sebagai konstrak
psikologis daripada ukuran kontrol yang aktual, walaupun Ajzen (1991) mencatat bahwa melalui
pengalaman, kontrol keperilakuan yang dipersepsi akan sering sangat mendekati kontrol
keperilakuan yang aktual; dengan pernyataan lain, kita menjadi penilai atas kendala-kendala
yang kita hadapi. Kontrol keperilakuan yang dipersepsi dalam peniupan peluit dapat diestimasi
melalui alat mengenai faktor-faktor kontrol maupun evaluasi mengenai pentingnya. Satu dari
faktor kontrol peniupan peluit berasal dari keyakinan mengenai hambatan keorganisasian, yakni,
peniadaan secara sengaja pelaporannya.

Yang lainnya diasosiasikan dengan keyakinan negatif pribadi, seperti ketidakmungkinan yang
dipersepsi untuk memperbaiki secara berhasil perbuatan yang salah melalui pelaporannya dalam
organisasinya, dan perhatian mengenai pembalasan yang terkait dengan pelaporan itu, dengan
yang kemudian sedang dipertimbangkan satu dari faktor kontrol yang paling penting yang
mendorong para pekerja dari pelaporan kegiatan-kegiatan yang melanggar (Mesmer-Magnus dan
Viswesvaran, 2005; Miceli dan Near, 1992). Untuk pekerja yang bermaksud untuk meniupkan
peluit itu mungkin penting seberapa besar ia dilindungi dari pembalasan dendam (Gorta dan
Forell, 1995) dan para legislator yang secara pasti telah berasumsi bahwa perlindungan hukum
atas para peniup peluit merupakan satu dari cara yang paling efektif untuk mendorong pekerja
untuk melaporkan perbuatan yang salah dalam organisasinya.

Pada TPB dinyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut melalui
pengaruhnya terhadap pembentukan intensi individual untuk melakukan perilaku itu (Ajzen,
1987, 1991). Intensi, yang didefinisikan pada teori itu sebagai terhadap mana individu
berkeinginan untuk melakukan perilaku khusus, merupakan variabel sentral untuk
memotivasinya untuk melakukan perilaku itu. Pada Gambar 1 ditunjukkan bagaimana intensi
peniupan peluit akan diprediksi melalui TPB.

Isu utama yang muncul dalam pengujian intensi peniupan peluit adalah bahwa peniupan peluit
bukan perilaku yang tunggal – ada beberapa cara dalam mana pekerja individual mungkin
meniupkan peluit dan tak ada alasan untuk mengasumsikan bahwa tiap cara akan diasosiasikan
dengan sikap yang sama, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dipersepsi. Park dkk.
(2008) mengajukan enam cara yang berbeda untuk meniupkan peluit berdasarkan tiga pilihan
yang dihadapi peniup peluit, yaitu: internal versus eksternal, anonim versus teridentifikasi, serta

4
formal versus informal. Dari berbagai cara itu, perbedaan antara peniupan peluit internal dan
eksternal adalah yang paling luas didiskusikan dalam literatur (Callahan dan Dworkin, 2000;
Dworkin dan Baucus, 1998; Dworkin dan Callahan, 1991; Miceli dan Near, 1992) dan akan
dapat juga menjadi yang paling mungkin diasosiasikan dengan sikap, norma subyek yang
berbeda dll. Dworkin dan Baucus (1998) melaporkan bahwa para peniup peluit eksternal
cenderung mengalami balas dendam keorganisasian yang lebih ekstensif daripada para peniup
peluit internal. Peniupan peluit eksternal cenderung menyebabkan kerusakan yang lebih besar
bagi para rekan kerja pekerja dan majikan daripada peniupan peluit internal, karena yang
belakangan dapat memberikan peluang bagi organisasi untuk memperbaiki praktik-praktik yang
tidak tepat (Miceli and Near, 1988). Untuk membenarkan peniupan peluit eksternal, pekerja
mungkin diharapkan untuk menjelaskan sepenuhnya prosedur internal yang tersedia untuk
melaporkan perilaku yang salah sebelum ia meniupkan peluitnya ke luar (Grant, 2002). Peniup
peluit eksternal, yang mungkin dilihat sebagai penghancur oleh majikan dan rekan kerjanya
(Dworkin dan Callahan, 1991), lebih mungkin mengalami balas dendam daripada peniup peluit
internal.

Peniupan peluit eksternal dan internal harus, karena itu, diperlakukan sebagai perilaku yang
berbeda secara kualitatif. Misalnya, akan cukup mungkin bagi individu yang sama untuk
memandang peningkatan perhatian mengenai masalah dalam organisasi sebagai secara
keseluruhan tepat, kemudian mempertimbangkan tindakan untuk pergi ke pihak-pihak eksternal
sebagai pengaduan. Secara sama, dengan bukti tertentu bahwa para peniup peluit eksternal
mengalami jauh lebih besar kebencian dan balas dendam, kami mungkin memperkirakan ada
norma subyektif yang jauh lebih negatif dan kontrol keperilakuan yang dipersepsi untuk jenis
peniupan peluit ini. Berdasarkan semua alasan itu, kami menyatakan bahwa efek ketiga penentu
itu (sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dipersepsi) akan berbeda secara
signifikan dalam memprediksi intensi untuk kedua tipe peniupan peluit itu.

Premis yang melatari penelitian ini adalah bahwa TPB dapat merepresentasikan kerangka kerja
teoritis yang lebih efisien/sederhana untuk memprediksi intensi peniupan peluit. Kami telah
menunjukkan bagaimana kerangka kerja ini mungkin diterapkan pada peniupan peluit, dan
kenapa kami memperkirakan ketiga variabel tersebut (sikap, norma subyektif, dan kontrol
keperilakuan yang dipersepsi) menunjukkan perbedaan tingkat pengaruh terhadap intensi
peniupan peluit internal dan eksternal. Kami memperkirakan sikap sebagai prediktor yang
signifikan untuk kedua tipe peniupan peluit, tapi kami menyatakan bahwa kontrol keperilakuan
yang dipersepsi dan norma subyektif mungkin memiliki tingkat perbedaan pengaruh untuk
peniupan peluit internal versus eksternal. Melalui pemilihan untuk meniupkan peluit secara
eksternal, individu menghindari banyak hambatan keorganisasian yang ada untuk peniup peluit
eksternal, dan karena itu kontrol keperilakuan yang dipersepsi mungkin menjadi faktor yang
kurang signifikan untuk peniupan peluit eksternal. Tapi, para peniup peluit eksternal menyadari
bahwa tindakan mereka mungkin dipandang oleh para majikan sebagai penghancuran, dan kami
karena itu dapat memperkirakan bahwa kepemilikan dukungan dari pihak-pihak acuan yang
signifikan akan dianggap sebagai penting. Berdasarkan alasan itu, kami menyatakan bahwa
norma subyektif akan menjadi variabel yang lebih signifikan untuk peniupan peluit eksternal.

Hipotesis 1: Kontrol keperilakuan yang dipersepsi akan menjadi prediktor yang lebih baik atas
intensi untuk peniupan peluit internal daripada peniupan peluit eksternal.

5
Hipotesis 2: Norma subyektif akan menjadi prediktor yang lebih baik atas intensi untuk
peniupan peluit eksternal daripada peniupan peluit internal.

Pengujian kedua hipotesis itu akan berkontribusi pada perluasan pengetahuan yang diperlukan
untuk perbaikan sistem perlindungan peniup peluit, saluran-saluran untuk pelaporan perbuatan
yang salah, dan program pelatihan untuk manajemen yang etis.

Metodologi

Pengumpulan Data

Data untuk penelitian ini dikumpulkan dari para polisi Korea Selatan antara November 2003 dan
Mei 2004. Para polisi itu merupakan peserta program-program pelatihan-jabatan di lembaga-
lembaga kebijakan regional dan pos-pos di seluruh negeri. Kuestioner didistriusikan ke 16
tempat yang dipilih secara acak, dengan 20-30 kuesioner dialokasikan ke tiap tempat, bergantung
pada ukuran kelas. Lima penyelidik, yang telah diberi instruksi mengenai tujuan dan isi
penelitian ini, mengunjungi tempat-tempat dengan kerjasama kepala departemen personalia
polisi. Kuesioner mencakup surat, yang berisi penjelasan singkat mengenai penelitian, menjamin
responden bahwa tanggapan mereka adalah untuk tujuan penelitian saja dan akan dijaga
kerahasiaannya.

Kuesioner dikumpulkan secara langsung dari para partisipan, dan diperoleh 400 sampel polisi di
16 tempat, 296 polisi secara sukarela menyelesaikan kuesioner itu, sekitar 74% tingkat
tanggapannya. Para responden terdiri atas 217 pria (73.3%) dan 79 perempuan (26.7%). Empat
puluh persen berusia antara 30 dan 39 tahun, sementara 39% berusia 40 tahun atau lebih.
Sebanyak 75% lulusan perguruan tinggi. Hampir setengah (46.3%) telah menjadi polisi selama
10 tahun atau kurang, dengan rata-rata selama 11.65 tahun bekerja.

Desain kuesioner

Kuisioner terdiri atas dua bagian. Bagian pertama mengukur intensi peniupan peluit dan tiga
penentu TPH, yakni, sikap, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dipersepsi. Intensi
peniupan peluit diukur melalui delapan butir, yang menanyakan “Apakah Anda menemukan
perbuatan yang salah di tempat kerja Anda, seberapa serius Anda berusaha untuk melakukan hal-
hal berikut?” Skala Likert dengan lima-nilai digunakan untuk menilai pernyataan-pernyataan
yang bergerak dari “Tidak sama sekali” (1) hingga “Berusaha sangat keras” (5). Analisis faktor
aksis utama dengan rotasi varimaks atas kedelapan butir menghasilkan dua faktor, masing-
masing empat untuk peniupan peluit internal dan eksternal, dan menjelaskan 72.3% variansi
dengan muatan-muatan utama faktor lebih besar daripada 0.65 dan tidak ada muatan-silang yang
signifikan. Butir-butirnya, rata-rata tanggapan dan nilai Cronbach untuk kedua skala disajikan
pada Tabel I, dan analisis faktor menunjukkan solusi dua-faktor yang jelas disajikan pada Tabel
II.

6
Sikap terhadap peniupan peluit diukur dengan menanyakan seberapa benar responden melalui
lima pernyataan yang dikaitkan dengan konsekuensi-konsekuensi yang menonjol karena
pelaporan pekerja atas perbuatan yang salah dalam satu organisasi. Selain itu, para responden
diminta untuk menilai kepentingan konsekuensi-konsekuensi itu, dengan pertanyaan, “Apakah
Anda melaporkan perbuatan yang salah, seberapa penting menurut Anda konsekuensi-
konsekuensi berikut untuk Anda?” Kelima konsekuensi yang menonjol itu bagi peniupan peluit
oleh pekerja adalah: pencegahan penyerangan terhadap organisasi; pengendalian korupsi;
peningkatan kepentingan publik; pelaksanaan tugas seseorang sebagai pekerja; dan kepuasan
moral pada seseorang. Pernyataan-pernyataan atau butir-butir pada kedua pertanyaan di atas
dinilai pada skala Likert lima-nilai. Skala pertanyaan pertama bergerak dari “Tidak benar” (1)
hingga “Sangat benar” (5), dan untuk pertanyaan kedua, kepentingan kelima konsekuensi dinilai
pada skala yang sama dari “Sangat tidak penting” (1) hingga “Sangat penting” (5). Tanggapan-
tanggapan pada tiap pernyataan yang diberikan pada pertanyaan pertama dikalikan dengan tiap
evaluasi atas kelima konsekuensi masing-masing, dan dijumlahkan untuk rata-rata sampelnya.

Pernyataan-pernyatan, rata-rata dan nilai Cronbach-nya disajikan pada Tabel III. Rata-rata
menyeluruh butir-butir hasil maupun evaluasinya lebih besar daripada 3.50 secara rata-rata,
yang menunjukkan bahwa para responden lebih atau kurang setuju bahwa peniupan peluit
memiliki dampak yang positif dan bahwa mereka adalah penting.

7
Norma subyektif diukur dengan dua pertanyaan. Yang pertama mengukur keyakinan-keyakinan
normatif, yang merupakan pemikiran seseorang mengenai kemungkinan bahwa orang-orang
acuan yang penting akan mendukung atau tidak mendukung pelaporan yang dilakukan oleh
responden mengenai perbuatan yang salah dalam satu organisasi, dengan menanyakan “Seberapa
bangga Anda menurut Anda mengenai orang-orang berikut jika Anda melaporkan perbuatan
yang salah?” Ada lima kelompok acuan yang menonjol, yaitu: para anggota keluarganya, para
rekan kerja, pengawas langsung, teman-teman, dan para tetangga. Motivasi responden untuk
memenuhi harapan kelompok-kelompok acuan itu diukur dengan pertanyaan kedua, “Seberapa
banyak Anda memberikan perhatian mengenai apakah orang-orang berikut akan mendukung atau
tidak mendukung pelaporan Anda mengenai perbuatan yang salah?” Pada kedua pertanyaan, para
responden dinilai pada skala Likert lima-nilai yang bergerak dari “Tidak banyak” (1) hingga
“Sangat banyak” (5) untuk pertanyaan pertama dan dari “Sangat sedikit” (1) hingga “Sangat
banyak” (5) untuk pertanyaan kedua. Keyakinan-keyakinan yang normal atas dukungan dari para
acuan, yang diyakini para responden, dikalikan dengan motivasi responden untuk memenuhi
tuntutan-tuntuan para acuan, dirata-ratakan dan dijumlahkan untuk menghasilkan norma
subyektif.

Butir-butir dan rata-ratanya dilaporkan pada Tabel IV. Rata-rata keyakinan normal pada
pertanyaan pertama adalah yang tertinggi (3.07, SD = 1.27) untuk para anggota satu keluarga,
dan terendah (2.32, SD = 1.10) untuk pengawas langsung. Rata-rata motivasi responden pada
pertanyaan kedua (3.31, SD = 1.22) untuk para anggota satu keluarga, dibandingkan dengan 2.90
untuk para tetangga.

Kontrol perilaku yang dipersepsi diukur dengan menggunakan delapan butir: empat butir
untuk faktor-faktor kontrol dan empat butir untuk kekuasaan yang dipersepsi. Empat butir faktor
kontrol merupakan pernyataan mengenai keyakinan atau persepsi atas kesulitan yang dihadapi
dalam proses pelaporan seperti juga hasil pelaporan oleh pekerja. Kekuasaan yang dipersepsi
mengenai empat faktor kontrol diukur sebagai berikut: pelaporan dihalangi oleh organisasi (atau
peniadaan laporan itu); kesulitan yang akan dihadapi dalam proses pelaporan; tak ada
kesempatan untuk memperbaiki perbuatan yang salah; dan balas dendam oleh organisasi. Para
responden menilai berdasarkan butir-butir itu pada skala Likert lima-nilai. Butir-butir faktor
kontrol dinilai melalui skala yang bergerak dari “Tidak mungkin” (1) hingga “Sangat mungkin”

8
(5), dan butir-butir kekuasaan yang dipersepsi melalui skala yang bergerak dari “Sangat tidak
penting” (1) hingga “Sangat penting” (5).

Kontrol keperilakuan yang dipersepsi dihitung dengan mengalikan tiap faktor kontrol dengan
kekuasaan yang dipersepsi atas tiap faktor kontrol, dan menjumlahkan hasil-hasilnya lintas
empat faktor kontrol. Untuk butir-butir pada faktor-faktor kontrol diundang para responden
untuk menyatakan ukuran seberapa sulit untuk meniupkan peluitnya, dan karena itu tanggapan
yang lebih tinggi menunjukkan kontrol keperilakuan yang dipersepsi lebih rendah. Kami dengan
sengaja merancang survei dengan cara ini, karena para partisipan tampaknya lebih mudah untuk
menyampaikan ukuran kesulitan daripada kemudahan untuk melapor, tapi untuk analisis data,
tanggapan-tanggapannya dicatat sedemikian sehingga skor yang tinggi pada tabel-tabel
menunjukkan kontrol keperilakuan yang dipersepsi tinggi.

Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel V, rentang nilai untuk kontrol keperilakuan yang dipersepsi
relatif sempit, yakni dari 2.61 untuk “kesulitan yang akan dihadapi dalam proses saya melapor”
hingga 3.08 untuk “organisasi akan mengabaikan atau menghalangi laporan saya pada tiap
langkah di perjalanan”, dan ada sedikit perbedaan dalam kepentingan yang dievaluasi antara
keempat butir.

9
Analisis dan hasil

Penggunaan Teori Perilaku Terencana sebagai dasar untuk pengeksplorasian bagaimana intensi
peniupan peluit ditentukan oleh sistem keyakinan, kami melakukan analisis korelasi atas intensi
peniupan peluit dan tiga penentu teori Ajzen.

Pada Tabel VI disajikan statistik deskriptif dan korelasi antara variabel-variabel. Hasil pada Tabel
I menunjukkan bahwa intensi untuk meniupkan peluit secara internal (M = 3.01) lebih tinggi
daripada untuk peniupan peluit eksternal (M = 2.13). Intensi peniupan peluit internal maupun
eksternal secara signifikan terkait dengan ketiga dimensi pada TPB dengan arah yang diprediksi,
dengan pengecualian kaitan-kaitan antara peniupan peluit eksternal dan kontrol keperilakuan
yang dipersepsi, yang ada dengan arah yang diprediksi tapi tidak signifikan. Pada penelitian
mereka mengenai penyimpangan para pengemudi, Parket dkk. (1992) menemukan bahwa kaitan
antara norma subyektif dan intensi lebih kuat daripada antara sikap dan intensi.

Demikian juga, pada penelitian ini, korelasi norma subyektif dengan peniupan peluit internal
(0.419, p < 0.000) dan peniupan peluit eksternal (0.328, p < 0.000) lebih kuat daripada korelasi
sikap dengan peniupan peluit internal dan eksternal (0.374, p < 0.000 dan 0.252, p < 0.000,
masing-masing).

Untuk menguji lebih rinci peran ketiga dimensi yang diajukan melalui TPB, dua analisis regresi
dilakukan dengan menggunakan intensi peniupan peluit sebagai variabel dependen. Pada Tabel
VII ditunjukkan hasil-hasil regresi ganda atas intensi peniupan peluit.

Sebagaimana dapat dilihat untuk kedua tipe peniupan peluit, daya penjelas ketiga penentu lebih
lemah daripada yang perkirakan. Untuk analisis regresi atas intensi peniupan peluit internal,
variabel-variabel independennya menjelaskan 24.9% variansinya (F = 33.577, p = 0.000),
dengan ketiga penentu sebagai prediktor yang signifikan. Untuk intensi peniupan peluit
eksternal, variabel-variabel independennya menjelaskan 10.8% variansinya (F = 12.828, p <
0.000) tapi hanya norma subyektif yang merupakan prediktor yang signifikan pada model
regresinya. Jadi, secara keseluruhan, hasil-hasilnya menunjukkan bahwa TPB memiliki kapasitas
yang signifikan untuk memprediksi intensi peniupan peluit, tapi dampak variabel-variabel
independennya pada intensi pekerja untuk meniupkan peluit berbeda, yakni bergantung pada tipe
peniupan peluit.

10
Hipotesis 1 adalah bahwa dampak kontrol perilaku yang dipersepsi akan lebih besar pada intensi
peniupan peluit internal daripada untuk peniupan peluit eksternal, dan ini jelas teruji. Dampak
kontrol keperilakuan yang dipersepsi adalah signifikan untuk intensi peniupan peluit internal tapi
tidak untuk eksternal.

Hipotesis 2, norma subyektif akan memiliki dampak yang lebih besar terhadap intensi untuk
peniupan peluit eksternal daripada untuk peniupan peluit internal, tidak secara jelas teruji
maupun ditolak berdasarkan hasil-hasil analisis regresinya; dampak norma subyektif secara
positif adalah signifikan untuk peniupan peluit internal mapun eksternal, dengan nilai B dan beta
yang mirip. Tapi, apa yang dapat kami katakan adalah bahwa norma subyektif itu secara jelas
merupakan prediktor yang lebih penting untuk peniupan peluit eksternal; sementara untuk
peniupan peluit, ketiga prediktor TPB adalah signifikan, untuk intensi peniupan peluit eksternal
hanya sikap dan norma subyektif yang menunjukkan korelasi yang signifikan, dan hanya norma
subyektif yang signifikan pada analisis regresinya.

Diskusi

Ada dua penemuan-penemuan utama penelitian ini: (1) TPB valid dalam memprediksi intensi
untuk meniupkan peluit. Walaupun daya penjelasnya tidak setinggi yang diperkirakan, TPB
masih memberi tambahan pemahaman kita mengenai apa yang mendorong para pekerja untuk
meniupkan peluit, dan menunjukkan bahwa TPB memiliki potensi yang baik sebagai teori umum
parsimoni (yang efisien) untuk menjelaskan peniupan peluit; (2) peran dan dampak ketiga
penentu teori Ajzen adalah berbeda, yakni bergantung pada tipe peniupan peluit.

Keterbatasan penelitian

Pemilihan para polisi Korea Selatan sebagai sampel adalah dalam sampel itu sendiri memiliki
kontribusi yang bernilai untuk penelitian peniupan peluit – dalam hal pekerjaan maupun
nasionalitas mereka mewakili populasi yang sangat berbeda untuk yang secara normal diteliti
oleh para peneliti peniupan peluit. Kami menyadari bahwa ini merupakan sampel yang sangat
spesifik, yang merendahkan validitas eksternal penelitian ini, tapi penelitiannya mungkin relevan
untuk jasa-jasa yang belum dialami (tidak cerdas, uninformed), atau karena itu tiap pekerjaan di

11
mana ada penekanan yang kuat atas jenjang maupun semangat (etos) kelompok. Tapi, sebelum
berusaha untuk menggeneralisasikan hasil-hasil itu, seseorang akan perlu untuk mengulangi
penelitian itu untuk rentang pekerja yang lebih luas.

Walaupun penggunaan intensi sebagai ukuran yang mendekati perilaku peniupan peluit
menyajikan perbaikan yang dapat didemonstrasikan pada penggunaan sikap sebagai ukuran
pendekatan, tapi kita harus selalu menyadari bahwa kegagalan untuk menggunakan perilaku
peniupan peluit itu sendiri sebagai variabel dependen merupakan satu keterbatasan, walaupun
ada tantangan-tantangan bahwa itu akan dialami peneliti.

Implikasi untuk praktik

Penemuan-penemuannya memiliki implikasi untuk para pembuat kebijakan guna memperbaiki


pelindungan atas peniup peluit dan para manajer dalam memperbaiki perilaku yang etis dan
manajemen risiko dalam organisasinya. Saluran-saluran yang formal untuk pelaporan praktik-
praktif yang tidak legal dan tidak memadai dalam organisasi, seperti hotlinis telepon rahasia
(now mandatory under the Sarbanes-Oxley Act), dapat dilihat sebagai bentuk peniupan peluit
internal, dan penemuan-penemuan kami menunjukkan bahwa ketiga prediktor merupakan faktor
penting untuk meningkatkan intensi untuk meniupkan peluit secara internal. Ini menunjukkan
bahwa intervensi-intervensi yang dimaksudkan untuk mengubah sikap para pekerja terhadap
peniupan peluit, norma yang yang dapat dilakukan mengenai itu, dan terhadap mana mereka
mempersepsi mereka akan dapat berbuat demikian secara efektif dapat menghasilkan kontribusi
yang signifikan untuk perbaikan etika bisnis.

Untuk organisasi-organisai, strategi untuk meningkatkan peniupan peluit internal memiliki dua
manfaat lebih jauh. Pertama, peniupan peluit memperbaiki manajemen risiko sehingga
mengurangi kemungkinan praktik-praktik yang tidak dapat diterima akan terjadi tidak dideteksi.
Kedua, melalui peningkatan kemungkinan peniupan peluit internal akan mengurangi
kemungkinan peniupan peluit eksternal, yang secara umum dipandang oleh organisasi-organisasi
sebagai memiliki konsekuensi-konsekuensi negatif untuk reputasi. Jika organisasi telah
menggunakan prosedur yang efektif untuk pelaporan internal, itu dapat menjadi resmi untuk
organisasi guna mendorong peniupan peluit eksternal, dan penemuan-penemuan kami juga
menunjukkan di mana intervensi-intervensi manajemen mungkin dijadikan sasaran, misalnya
pada norma subyektif dan sikap terhadap peniupan peluit eksternal (seperti kontrol keperilakuan
yang dipersepsi tampaknya tidak menjadi variabel yang signifikan).

Implikasi teoritis

Kami mencatat pada awalnya bahwa ketergantungan pada sikap sebagai pendekatan untuk
pengukuran telah menjadi kelemahan dalam penelitian peniupan peluit, dan dalam penelitian ini
penggunaan TPB telah memungkinkan kami untuk mengembangkan analisis yang tidak
diagregasi sangat berguna, dengan pemisahan sikap dari intensi dan berkontribusi pada
pemahaman atas kesenjangan antara sikap terhadap peniupan peluit dan intensi aktualnya untuk
meniupkan peluit. Hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan antara sikap dan intensi mungkin
dijelaskan melalui ketiga penentu TPB. Peran sikap terhadap peniupan peluit cukup berbeda
dalam mempengaruhi intensi untuk peniupan peluit internal versus eksternal.

12
Sebagai contoh, untuk peniupan peluit eksternal, satu-satunya variabel yang signifikan untuk
memprediksi intensinya adalah norma subyektif. Ini menunjukkan satu cara dengan mana
kesenjangan antara sikiap dan intensi diciptakan untuk perilaku-perilaku yang berbeda pada
peniupan peluit internal dan eksternal.

Pengaruh sikap dalam penjelasan intensi peniupan peluit eksternal tidak sebesar untuk peniupan
peluit internal, yang menjelaskan kenapa perbedaan yang secara luas diobservasi antara sikap
dan intensi adalah lebih besar untuk peniupan peluit eksternal daripada untuk internal. Satu cara
untuk menginterpretasikan ini adalah dengan memikirkan sifat keputusan untuk meniupkan
peluit (Blenkinsopp dan Edwards, 2008). Sementara para peniup peluit internal mungkin
dikejutkan pada tanggapan atas pelaporannya (Alford, 2001), para peniup peluit eksternal
mengetahui mereka sedang melakukan satu langkah utama yang tidak akan diterima dengan baik
oleh organisasinya. Bagi mereka, keputusannya menjadi kurang “haruskah aku melakukan ini?”
(sikap) atau “apakah saya akan dapat unguk melalukan ini?” (kontrol keperilakuan yang
dipersepsi) tapi lebih sebagai “apakah saya akan bertahan karena melakukan ini?” [“will I
survive doing this?”] Keputusan yang demikian akan menjadi sangat krusial dipengaruhi oleh
apa yang diyakininya akan dipikirkan pihak-pihak yang signifikan atas tindakan-tindakan
mereka.

Kami mungkin berspekulasi apakah juga ada isu metodologis di sini, dalam hal karena peniupan
peluit eksternal secara jelas secara bersama-sama kurang mungkin bertindak, para partisipan
sedang menjawab satu pertanyaan yang jauh lebih hipotetis; keempat butir untuk intensi
peniupan peluit eksternal menunjukkan tanggapan yang lebih rendah daripada bahkan butir yang
peling rendah untuk intensi peniupan peluit internal.

Implikasi untuk penelitian yang akan datang

Penelitian ini memiliki sejumlah implikasi untuk penelitian yang akan datang. Pertama, dan
yang paling jelas, ada kebutuhan untuk melakukan penelitian sejenis dengan rentang sampel-
sampel yang representatif. Tak ada alasan yang jelas untuk membayangkan bahwa TPB akan
berfungsi sebagai teori umum untuk para polisi Korea Selatan dan tak ada lagi, tapi penemuan-
penemuan yang berkaitan dengan penentu mana yang terbaik untuk memprediksi tipe peniupan
peluit memerlukan penelitian lebih lanjut; Ajzen (1991: 188) mencatat bahwa kepentingan relatif
penentu-penentu itu akan bervariasi sesuai dengan perilaku dan situasi. Misalnya, Chang (1998)
menemukan prediksi atas pembajakan perangkat lunak, bahwa kontrol keperilakuan yang
dipersepsi merupakan penentu yang lebih baik dalam memprediksi intensi keperilakuan daripada
sikap, dan norma subyektif tidak memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap intensi
keperilakuan, tapi dampak tak langsung melalui sikap sangat signifikan. Untuk penelitian-
penelitian berikutnya, adalah penting untuk mengeksplorasi apakah faktor-faktor seperti
pekerjaan (jabatan) atau organisasi dapat mempengaruhi peran dari ketiga penentu itu dalam
menjelaskan intensi peniupan peluit.

Wated dan Sanchez (2005) menyatakan bahwa peran ketiga penentu itu dapat juga bervariasi
secara signifikan berdasarkan dimensi-dimensi budaya nasional seperti individualisme atau
kolektivisme. Misalnya, norma subyektif mungkin lebih penting dalam masyarakat yang

13
kolektif. Jadi, penelitian lintas-budaya mengenai peniupan peluit dengan menggunakan teori
perilaku terencana dapat berkontributi pada eksplorasi peran-peran faktor-faktor latar belakang
yang berbeda dalam memotivasi para individu dari budaya-budaya yang berbeda untuk
meniupkan peluit.

Kesimpulan

Tiadanya teori yang umum telah menjadi keterbatasan pada pemahaman kami mengenai
peniupan peluit. Pada penelitian ini telah diusahakan untuk mengeksplorasi validitas Teori
Perilaku Terncana Ajzen, yang secara luas diterima sebagai kerangka kerja yang umum untuk
memprediksi intensi keperilakuan tapi jarang digunakan dalam penelitian peniupan peluit.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TPB adalah valid sebagai teori umum untuk
menjelaskan intensi peniupan peluit, yang menghasilkan tambahan pada pemahaman kita
mengenai pendekatan-pendekatan umum pada peniupan peluit yang diuraikan pada penelitian-
penelitian sebelumnya, walaupun kami menyadari bahwa (paling sedikit dalam penelitian ini)
teori itu lebih efektif dalam menjelaskan intensi peniupan peluit internal daripada eksternal. Di
antara ketiga penentu teori yang digunakan untuk menjelaskan, sikap dan kontrol keperilakuan
yang dipersepsi tampaknya menjadi variabel yang paling penting untuk dipertimbangkan jika
kita berusaha untuk meningkatkan peniupan peluit internal. Penemuan-penemuannya dapat
memperluas kemampuan organisasi untuk memprediksi intensi peniupan peluit dalam dunia
yang nyata, dan memedomani usaha-usaha manajerial untuk memperbaiki keefektivan saluran-
saluran pelaporan yang dimaksudkan untuk menjamin pelaporan praktek-praktek yang tidak etis
dalam organisasi.

Referensi

Ajzen, I.: 1987, ‘Attitudes, Traits, and Actions: Dispositional Prediction of Behavior in Social
Psychology’, Advances in Experimental Psychology 20, 1–63

Ajzen, I.: 1991, ‘The Theory of Planned Behavior’, Organizational Behavior and Human
decision Processes 50, 179–211

Alford, C. F.: 2001, Whistleblowers: Broken Lives and Organizational Power (Cornell
University Press, London)

Beck, L. and I. Ajzen: 1991, ‘Predicting Dishonest Actions Using the Theory of Planned
Behavior’, Journal of Research in Personality 25(3), 285–301

Blenkinsopp, J. and M. S. Edwards: 2008, ‘On Not Blowing the Whistle: Quiescent Silence as an
Emotion Episode’, in W. J. Zerbe, C. E. J. Hartel and N. M. Ashkanasy (eds.), Research
on Emotions in Organizations Volume 4: Emotions, Ethics and Decision-Making
(Bradford, Emerald)

14
Bobek, D. D. and R. C. Hatfield: 2003, ‘An Investigation of the Theory of Planned Behavior and
the Role of Moral Obligation in Tax Compliance’, Behavioral Research in Accounting
15, 13–38

Buchan, H. F.: 2005, ‘Ethical Decision Making in the Public Accounting Profession: An
Extension of Ajzen’s Theory of Planned Behavior’, Journal of Business Ethics 61, 165–
181

Callahan, E. S. and T. M. Dworkin: 2000, ‘The State of State Whistleblower Protection’,


American Business Law Journal 38(1), 99–175

Carpenter, T. D. and J. L. Reimers: 2005, ‘Unethical and Fraudulent Financial Reporting:


Applying the Theory of Planned Behavior’, Journal of Business Ethics 60, 115–129

Chang, M. K.: 1998, ‘Predicting Unethical Behavior: A Comparison of the Theory of Reasoned
Action and the Theory of Planned Behavior’, Journal of Business Ethics 17(16), 1825–
1834

Dworkin, T.M.andM. S.Baucus: 1998, ‘Internal vs. External Whistleblowers: A Comparison of


Whistleblowing Processes’, Journal of Business Ethics 17(12), 1281–1298

Dworkin, T. M. and E. S. Callahan: 1991, ‘Internal Whistleblowing: Protecting the Interests of


the Employee, the Organization and Society’, American Business Law Journal 29(2),
267–308

Fukukawa, K.: 2002, ‘Developing a Framework for Ethically Questionable Behavior in


Consumption’, Journal of Business Ethics 41(1/2), 99–119

Gorta, A. and S. Forell: 1995, ‘Layers of Decision: Linking Social Definitions of Corruption and
Willingness to Take Action’, Crime, Law & Social Change 23, 315–343

Grant, C.: 2002, ‘Whistle Blowers: Saints of Secular Culture’, Journal of Business Ethics 39(4),
391–399

Gundlach, M. J., S. C. Douglas and M. J. Martinko: 2003, ‘The Decision to Blow the Whistle: A
Social Information Processing Framework’, Academy of Management Review 28, 107–
123

McMillan, B. and M. Conner: 2003, ‘Applying an Extended Version of the Theory of Planned
Behavior to Illicit Drug Use Among Students’, Journal of Applied Social Psychology
33(8), 1662–1683

Mesmer-Magnus, J. R. and C. Viswesvaran: 2005, ‘Whistleblowing in Organizations: An


Examination of Correlates of Whistleblowing Intentions, Actions, and Retaliation’,
Journal of Business Ethics 62, 277–297

15
Miceli, M. P. and J. P. Near: 1988, ‘Individual and Situational Correlates of Whistleblowing’,
Personnel Psychology 41, 267–281

Miceli, M. P. and J. P. Near: 1992, Blowing the Whistle – The Organizational and Legal
Implications for Companies and Employees (Lexington Books, New York, NY)

Park, H., J. Blenkinsopp, M. K. Oktem and U. Omurgonulsen: 2008, ‘CulturalOrientation


andAttitudes Toward Different Forms of Whistleblowing: A Comparison of South Korea,
Turkey, and the UK’, Journal of Business Ethics

Parker, D., A. S. R. Manstead, S. G. Strading, J. T. Reason and J. S. Baxter: 1992, ‘Intentions to


Commit Driving Violations: An Application of the Theory of Planned Behavior’, Journal
of Applied Psychology 77, 94–101

Randall, D. M. and A. M. Gibson: 1991, ‘Ethical Decision Making in the Medical Profession: An
Application of the Theory of Planned Behavior’, Journal of Business Ethics 10(2), 111–
122

Teo, M. M. M. and M. Loosemore: 2001, ‘A Theory of Waste Behavior in the Construction


Industry’, Construction Management and Economics 19(7), 741–751

Tonglet, M.: 2002, ‘Consumer Misbehavior: An Exploratory Study of Shoplifting’, Journal of


Consumer Behavior 1(4), 336–354

Wated, G. and J. I. Sanchez: 2005, ‘The Effects of Attitudes, Subjective Norms, Attributions, and
Individualism-Collectivism on Managers’ Responses to Bribery in Organizations:
Evidence from a Developing Nation’, Journal of Business Ethics 61, 111–127

Heungsik Park
College of Political Science & Economics, Chung-Ang University, 221, Heukseok-dong,
Dongjak-gu, Seoul 156-756, Korea
E-mail: hspark@cau.ac.kr

John Blenkinsopp
Teesside Business School, University of Teesside, Middlesbrough TS1 3BA, U.K.
E-mail: john.blenkinsopp@tees.ac.uk

16

Anda mungkin juga menyukai