Anda di halaman 1dari 21

Analisis Pemetaan Pola Spasial Nilai NJOP

untuk Penentuan Lokasi Prioritas Prona-PTSL

Studi pada Kecamatan Kayen dan Sukolilo Kabupaten Pati

Oleh

Catur Kuat Purnomo


Analis Kendali Mutu Survei, Pengukuran dan Pemetaan
Kantor Pertanahan Kabupaten Pati

Lokasi kegiatan Prona dan/atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap


Prona-PTSL dapat ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain
usulan dari kantor desa setempat, ketersediaan data pendukung seperti jumlah
bidang tanah terdaftar, ketersediaan data citra dan ketersediaan peta dasar
pertanahan. Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP pada lokasi Prona-PTSL
diperlukan untuk melakukan identifikasi pola spasial nilai NJOP yang dapat
digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi Prona-
PTSL pada masa yang akan datang.
Penelitian ini menggunakan metode indeks Global Moran’s I, regresi
maximum likelihood spasial lag dan spasial error serta Moran’s I Scatterplot
untuk mengidentifikasi pola spasial nilai NJOP untuk penentuan lokasi Prona-
PTSL.
Pola spasial nilai NJOP teridentifikasi memiliki pola sistematik atau
mengelompok. Model spasial error lebih menjelaskan variasi nilai NJOP pada
lokasi Prona-PTSL, koefisien lag ρ rho 31,97% dan λ lambda 39,79% belum
cukup kuat dalam menunjukkan pengaruh spatial dependence. Variabel yang
dapat memengaruhi pola dan nilai NJOP pada lokasi Prona-PTSL yaitu variabel
kepadatan penduduk dan variabel jumlah bidang tanah terdaftar HM, HGB, Hak
Pakai dan Hak Wakaf. Lokasi Prona-PTSL pada tahun pertama dapat
dilaksanakan di Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk Kecamatan Sukolilo dan
Desa Sundoluhur, Boloagung, Rogomulyo untuk Kecamatan Kayen.

Kata kunci: njop, regresi spasial, spatial dependence

1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional pada
tahun ini sedang melaksanakan program pensertipikatan 5 juta bidang tanah di
seluruh Indonesia. Target masih akan dilanjutkan pada tahun 2018 dengan 7 juta
bidang, 9 juta untuk tahun 2019 dan seterusnya. Diharapkan pada tahun 2025
seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar. Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap PTSL mulai bergulir sejak disahkannya Peraturan Menteri ATR/BPN
No. 35 Tahun 2016 mengenai Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap.
Tujuan dari program ini adalah percepatan pemberian kepastian hukum
dan perlindungan hukum hak atas tanah secara adil dan merata, serta
mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan ekonomi rakyat. konsideran
bagian menimbang Peraturan Menteri ATR/ BPN No. 35 Tahun 2016.
Pelaksanaannya dapat melalui beberapa jalur antara lain PRONA/PRODA
Proyek Operasi Nasional Agraria/Proyek Operasi Daerah Agraria, program lintas
sektor, kegiatan lintas sektor, kegiatan dari dana desa, swadaya masyarakat atau
kegiatan massal lain yang sesuai dengan peraturan perundangan. Pada
dasarnya sistem administrasi pertanahan Land Administration System adalah
pekerjaan yang rumit karena melibatkan berbagai aspek antara lain: politik,
hukum dan teknologi Enemark, Williamson, & Wallace,
2005. Oleh karena itu, program PTSL yang dikerjakan oleh Kementerian
ATR/BPN adalah upaya membangun sistem administrasi pertanahan modern
yang bertujuan akhir pada pembangunan berkelanjutan, untuk memudahkan
perencanaan pembangunan bangsa dan Negara.
Lokasi kegiatan Prona dan/atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Prona-PTSL dapat ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain
usulan dari kantor desa setempat, ketersediaan data pendukung seperti jumlah
bidang tanah terdaftar, ketersediaan data citra dan ketersediaan peta dasar
pertanahan. Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP pada usulan lokasi
Prona-PTSL diperlukan untuk melakukan identifikasi pola spasial nilai NJOP
yang dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan
lokasi Prona-PTSL pada masa yang akan datang.

2
1.2 Rumusan Masalah
Adanya perbedaan informasi tentang ketersediaan data citra,
ketersediaan data peta dasar pendaftaran dan informasi spasial nilai NJOP pada
lokasi penerima Prona-PTSL dapat menyebabkan kekeliruan dalam menentukan
lokasi prioritas desa penerima program Prona-PTSL. Penentuan lokasi prioritas
desa penerima Prona-PTSL yang kurang tepat dapat menyebabkan tidak
tercapainya target jumlah bidang Prona-PTSL. Oleh sebab itu diperlukan
informasi lokasi prioritas yang akurat, perencanaan yang tepat dan pengambilan
keputusan yang tepat agar target Prona-PTSL dapat tercapai sesuai dengan
waktu yang tersedia.
1.3 Tujuan Penulisan
a. Menyediakan informasi pola spasial nilai NJOP untuk penentuan
lokasi prioritas Prona-PTSL
b. Menyediakan informasi variabel yang dapat memengaruhi nilai
NJOP
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat bagi institusi Kementerian ATR/BPN:
a. Sebagai model alternatif perencanaan pada Kegiatan Prona-PTSL
b. Sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan lokasi
prioritas desa penerima program Prona-PTSL
Manfaat bagi Pemda:
a. Sebagai identifikasi dan proyeksi potensi penerimaan pajak
daerah
b. Sebagai pertimbangan lokasi dalam pemberian bantuan/hibah.
2. Tinjauan Pustaka
Johann Heinrich von Thünen 1783-1850 memaparkan ide tentang kota
monosentris dalam bukunya Der Isolierte Staat The Isolated State pada tahun
1826. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Von
Thünen’s Isolated State pada tahun 1966. Oleh karena penulis belum
mendapatkan buku terjemahan tersebut, penulis menggunakan pandangan
Grotewold 1959 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Von Thünen.
Ide kota monosentris von Thünen sebenarnya merupakan ide mengenai
monocentric space pada produksi barang pertanian. Dengan kata lain, kota
monosentris von Thünen merupakan teori mengenai lokasi produksi barang
pertanian. Ide tersebut terlihat dalam konsep isolierte staat isolated state yang

3
terdiri dari beberapa hal diantaranya; a Terdapat satu kota ditengah suatu
wilayah, b Pasar berada di kota, c Wilayah di luar kota merupakan tanah
pertanian dan ciri fisik tanah bersifat homogen, c Wilayah kota dan pertanian
dilayani oleh satu moda transportasi, dan d Petani mendiami lahan pertanian,
menyuplai kota, serta mampu beradaptasi terhadap semua perubahan kondisi
ekonomi.
Isolated State juga melihat hubungan dari tiga hal yaitu jarak lahan
pertanian dari pasar, harga jual barang pertanian yang diterima petani dan land
rent. Hubungan antara jarak lahan pertanian dari pasar dengan harga jual barang
pertanian yang diterima petani cukup sederhana. Harga yang diterima petani
adalah harga jual barang pertanian di pasar dikurangi dengan biaya transportasi
barang tersebut ke pasar. Biaya transportasi meningkat seiring dengan
peningkatan jarak dari pasar. Dengan demikian, barang pertanian memiliki nilai
lebih tinggi bagi petani yang berlokasi dekat pasar daripada petani yang berlokasi
lebih jauh dari pasar.
Hubungan antara land rent dengan jarak lahan pertanian dari pasar dapat
dilihat dengan memperhatikan definisi land rent, yaitu return dari investasi pada
tanah dimana return merupakan hasil penjualan barang pertanian dikurangi biaya
produksi dan dikurangi biaya angkut ke pasar. Hubungan antara land rent
dengan jarak ke pasar adalah semakin dekat suatu lahan dengan pasar maka
rent lahan tersebut semakin besar. Karena nilai lahan ditentukan dari besaran
rent lahan tersebut, maka semakin dekat suatu lahan dengan pasar maka nilai
lahan akan semakin tinggi. Hubungan tersebut dapat dilihat dengan
mempertimbangkan pola perkembangan isolated state. Pada saat isolated state
masih kecil, hanya butuh sedikit lahan di sekitar kota untuk memenuhi kebutuhan
barang pertanian di kota.
Hasil penelitian von Thünen tentang bentuk kota tidak cukup berkembang
di luar Jerman. Salah satu alasannya yaitu bahasa, buku Der Isolierte Staat
ditulis dalam bahasa Jerman. Pada tahun 1940, ahli ekonomi Jerman bernama
August Lösch 1906-1945 menyederhanakan ide von Thünen dalam buku Die
Raumliche Ordnung der Wirischaft Baumont dan Huriot, 1998. Buku Lösch
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1954 dengan judul The
Economics of Location. Meskipun demikian, ide von Thünen kembali
berkembang pada ilmu ekonomi setelah diterapkan pada wilayah perkotaan

4
urban area oleh William Alonso 1933-1993, sehingga muncul aliran pemikiran
bernama New Urban Economics Baumont dan Huriot, 1998.
Alonso menggunakan ide von Thünen untuk menjelaskan fenomena
pembentukan kota, kemudian memaparkan ide kota monosentris dalam buku
Location and Land Use pada tahun 1964. Penulis menggunakan pandangan
Wheaton 1977 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Alonso. Model Alonso
selanjutnya dikembangkan oleh Richard Muth dan Edwin S. Mills. Muth
memaparkan ide kota monosentris dalam bukunya Cities and Housing pada
tahun 1969 dan Mills memaparkan ide kota monosentris dalam buku Studies in
the Structure of the Urban Economy pada tahun 1972. Oleh karena penulis
belum mendapatkan buku tersebut, penulis menggunakan pandangan Brueckner
1987 dalam Cahjadi 2013 untuk menjabarkan ide Muth dan Mills.
 William Alonso
Ide kota monosentris Alonso pada dasarnya merupakan penerapan ide
von Thünen pada konsumsi tempat tinggal di perkotaan. Alonso mengubah sudut
pandang von Thünen dari fenomena produksi menjadi fenomena konsumsi.
Wilayah kota digambarkan sebagai sebuah lingkaran dengan satu pusat kota dan
pusat kota tersebut berada di tengah wilayah perkotaan. Wilayah di luar pusat
kota digunakan sebagai tempat tinggal. Setiap bidang tanah memiliki sifat sama
untuk seluruh wilayah perkotaan. Semua tempat bekerja berada di pusat kota
dan transportasi bersifat kontinu. Dalam kota monosentris, harga tanah akan
semakin rendah bila semakin jauh dari pusat kota.
Model kota monosentris Alonso dibangun dengan menggunakan
pendekatan bid price dikenal juga dengan nama bid rent pada pasar tanah di
kota. Dengan melihat pasar sebagai tempat pelelangan, konsumen memberikan
harga penawaran bids untuk menggunakan atau membeli tanah. Karena pemilik
tanah memiliki monopoli atas tanahnya dan setiap konsumen bertindak sendiri-
sendiri, maka setiap bidang tanah akan diberikan kepada penawar tertinggi.
Jika tanah, dalam jangka panjang dialokasikan kepada penawar tertinggi,
maka rumah tangga dengan kurva bid price lebih datar angka slope lebih besar
akan berada pada lokasi yang berjarak lebih jauh daripada rumah tangga dengan
kurva bid price lebih curam angka slope lebih kecil. Kondisi tersebut bukan hanya
kondisi keseimbangan atau ekuilibrium tetapi juga efisien karena kurva bid price
lebih curam berarti individu memberikan nilai marginal yang lebih tinggi pada
pusat kota.

5
Pada Gambar 1. menunjukkan kurva bid price dari tiga rumah tangga.
Rumah tangga pertama memiliki kurva bid price Bid 1 paling curam sehingga
mendapat lokasi paling dekat dengan pusat kota 0 − 𝑡1 . Rumah tangga ketiga
memiliki kurva bid price Bid 3 paling landai sehingga mendapatkan lokasi paling
jauh dari pusat kota 𝑡2 − 𝑡3 . Sementara itu, rumah tangga kedua memiliki
kemiringan kurva bid price Bid 2 di antara rumah tangga pertama dan rumah
tangga kedua sehingga menempati lokasi di antara rumah tangga pertama dan
rumah tangga kedua 𝑡1 − 𝑡2 .

Bid 1

Bid 2

Bid 3

0 𝑡1 𝑡2 𝑡3
Jarak dari pusat kota (t)

Gambar 1. Kurva Bid Price


Sejumlah rumah tangga harus menerima kesejahteraan lebih rendah agar
dapat menawar tanah lebih tinggi. Hal ini memungkinkan kelompok rumah
tangga tersebut untuk mengambil tanah dari kelompok rumah tangga lain.
Karena tingkat utilitas lebih rendah menghasilkan bid price lebih tinggi, mereka
juga harus mengurangi jumlah konsumsi tanah. Solusi pada kondisi ekuilibrium
adalah sejumlah tingkat utilitas sehingga wilayah dengan bid price tertinggi dari
kelompok rumah tangga tertentu sama dengan total konsumsi tanah yang
diinginkan.
Pola penggunaan tanah pada model Alonso berbentuk lingkaran lihat
Gambar 2 yang menunjukkan pola penggunaan tanah untuk tiga kelompok
rumah tangga. Setiap kelompok menempati wilayah berbentuk cincin. Luas
setiap cincin sama dengan jumlah permintaan lahan untuk setiap kelompok
rumah tangga. Rumah tangga 1 memiliki bid price tertinggi sehingga menempati
lokasi paling dekat dengan pusat kota. Rumah tangga 3 memiliki bid price
terendah sehingga menempati lokasi paling jauh dari pusat kota.

6
Legenda:

Pusat kota Rumah tangga 2

Rumah tangga 1 Rumah tangga 3

Gambar 2. Pola Penggunaan Tanah Alonso


Penelitian Empiris mengenai Harga Tanah
Penelitian mengenai harga tanah telah beberapa kali dilakukan
diantaranya oleh Brigham di LA, Weiss et al., di North Carolina USA, Johnson
and Ragas, Vandeveer et al., Millen et al., Akhtar, Goffette-Nagot et al.
Eugene F. Brigham 1965 melakukan penelitian tentang The determinant
of residential land value di Los Angeles dengan metode analisis regresi
berganda beberapa variabel aksesibilitas terhadap fasilitas, topografi dan
historical faktors menyimpulkan bahwa jarak ke CBD bertanda negatif, variabel
neighborhood bertanda negatif, nilai bangunan bertanda positif, topografi
bertanda negatif dan sangat signifikan.
Pendapat Brigham tersebut diperkuat oleh penelitian F. Weiss; Thomas G
Donnely; dan Edward J. Kaiser 1966 yang menyimpulkan bahwa variabel spasial
jarak bertanda negatif, meneliti tentang Land value and land development
influence faktor:An analytical Approach for Examining Policy Alternatives di North
Carolina’s Piedmont Crescent, USA, dengan metode regresi berganda dan 14
variabel independen yaitu accessibility to work area, availability to work sewage,
distance to major street, distance to nearest elementary school, land not suitable
for building purpose, zoning protection, residential amenity, availability of city
water, dwelling density, total travel distance, proximity to blighted area, proximity
to non white area, distance to recreation area and distance to shopping area.
Hasilnya terdapat empat variabel yang konsisten signifikan yaitu: accessibility to
work area bertanda positif, availability of public sewerage bertanda positif,
distance to major street bertanda negatif dan distance to nearest elementary

7
school bertanda negatif. Kedua penelitian ini belum menggunakan model regresi
spasial dalam pendekatan analisisnya.
Untuk menyempurnakan kelemahan penelitian harga tanah oleh Brigham
1965; Kaiser et al. 1966, Johnson and Ragas 1983, maka Lonnie R. Vandeveer,
Steven A. Henning, Huizhen Niu, Gary A. Kennedy 1998 meneliti tentang A
Spatial Analysis of Land Values At The Rural Urban Fringe dengan
menggunakan model OLS dan model maximum likelihood spatial error,
sedangkan model ml spasial lag digunakan untuk menganalisa kontur harga/ nilai
tanah. Data penjualan harga tanah yang digunakan, dikumpulkan menggunakan
teknik mail survey dari periode Januari 1993 sampai Juni 1998. Variabel
independen yang digunakan sebanyak 9 variabel yaitu ukuran tanah, persentase
cropland, persentase padang rumput, selisih kenaikan harga, jarak ke pusat kota
terdekat, waktu penjualan, jalan diperkeras, komersial, dan residensial. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa model spasial error lebih superior dalam
menjelaskan variasi estimasi perkiraan harga daripada model regresi ols.
Sementara itu model ml spasial lag dapat digunakan untuk menjelaskan batasan
kontur isoline harga tanah dengan interval harga tanah sebesar $200. Penelitian
ini sudah menggunakan model spasial sehingga dapat mengidentifikasi pengaruh
dependensi spasial, hasil analisis juga lebih rinci dalam menggambarkan variasi
estimasi harga tanah.
Berbeda dengan model yang digunakan Vandeveer et all 1998,
Shamshad Akhtar 2004 meneliti tentang Spatial Distribution of Land Value in
Karachi City dengan menggunakan 3 model jarak yang terkenal yaitu model
Knos, model Alonso dan model Mills, data primer didapatkan melalui metode
kuesioner pada tiga area di perkotaan yaitu residensial area, komersial area dan
industrial area. Digunakan metode sampling, sampel dipilih secara acak
sehingga terpilih dari area residensial sebanyak 200 sampel, komersial sebanyak
100 sampel dan industri sebanyak 50 sampel. Data primer tersebut kemudian
dihitung secara statistik dan kartografi pada berbagai penggunaan tanah. Penulis
menggunakan modifikasi model regresi berganda dengan 6 variabel yaitu jarak
dari kantor SITE pusat industri dan perdagangan, jarak dari fasilitas tansportasi
utama, lebar jalan, jarak ke jalan didepan letak tanah, jarak dari pusat industri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jarak dari kantor SITE, jarak dari
fasilitas transportasi utama, lebar jalan, jarak ke jalan dan jarak dari pusat industri
memiliki hubungan yang signifikan. Semakin jauh dari SITE dan transportasi

8
utama harga tanah semakin turun, semakin jauh dari pusat industri, harga tanah
semakin tinggi, semakin lebar jalan dan road frontage maka harga tanah semakin
tinggi.
Penelitian tersebut memiliki keunggulan dalam kontribusi penggunaan
konsep spasial dalam analisa harga tanah dan hasilnya semakin menjelaskan
bahwa harga tanah berkorelasi negatif terhadap jarak ke pusat kota, distribusi
spasial juga dapat menjelaskan fenomena spillover effect dari berbagai jenis
penggunaan tanah terhadap harga tanah baik di area residensial, komersial
maupun industrial.
Untuk menyempurnakan hasil penelitian Vandeveer et al. 1998, Millen et
al. 2001, dan Akhtar 2004, maka Florence Goffette-Nagot, Isabelle Reginster,
Isabelle Thomas 2009 kemudian melakukan penelitian tentang A spatial analysis
of residential land prices in Belgium: accessibility, linguistic border and
environmental amenities menggunakan 3 model yaitu OLS, spatial error model
SEM, dan spatial lag model SLM. Data rata–rata harga jual tanah/ nilai tanah
yang digunakan berasal dari Belgian National Institute for Statistics selama 3
tahun yaitu tahun 1999, 2000, dan 2001 dengan menggunakan variabel
lingkungan, aksesibilitas pekerjaan dan sosial ekonomi. Variabel dependen yaitu
harga jual tanah dan variabel independen yang digunakan sebanyak 13 tiga
belas variabel yaitu access intra, access inter, access bxl, jobs, popdens,
income, wallonia, coast, coastprox, slope, water, forest ln dan agriculture ln.
Hasilnya menunjukkan bahwa pada level negara secara keseluruhan
variasi harga tanah ditentukan dari faktor jarak suatu faktor yang bergantung
pada unit biaya transportasi dan trade off antara biaya transportasi dan harga
tanah, natural amenities tidak memiliki peran yang stabil terhadap harga tanah.
Variabel lingkungan dan natural amenities lebih berpengaruh pada tingkat lokal.
Seperti pada penelitian Akhtar 2004, Gofette-Nagot et all 2009 dan penelitian
sebelumnya dapat diketahui bahwa dengan penggunaan model regresi berganda
maupun model regresi spasial, variabel jarak memiliki pengaruh yang konsisten
terhadap harga tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan penggunaan
model regresi spasial dapat lebih menunjukkan perbedaan pengaruh terhadap
variasi estimasi harga tanah pada tingkat global maupun lokal.
Secara umum masih relatif sedikit penggunaan model regresi spasial
untuk analisis pola spasial harga tanah, sehingga dari berbagai penelitian
tentang harga tanah tersebut penulis terinspirasi untuk melengkapi penelitian

9
tentang nilai NJOP dengan penekanan analisa dan metode yang berbeda yaitu
menggunakan model regresi spasial. Penulis terinspirasi menggunakan dua
model yaitu model spasial lag dan model spasial error pada spesifikasi yang
sama Mallios et al., 2009; Breustedt and Habermann, 2011. dengan
menggunakan empat variabel independen yaitu jarak ke pusat kota, jarak ke
puskesmas, kepadatan penduduk dan jumlah bidang tanah terdaftar.
3. Metode Penelitian
Menurut Lembo 2006 dalam Kartika 2007 autokorelasi spasial adalah
korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau dapat
juga diartikan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam suatu ruang jarak,
waktu dan wilayah. Jika terdapat pola sistematik di dalam penyebaran sebuah
variabel, maka terdapat autokorelasi spasial. Adanya autokorelasi spasial
mengindikasikan bahwa nilai atribut pada daerah tertentu terkait oleh nilai atribut
tersebut pada daerah lain yang letaknya berdekatan bertetangga. Matrik
pembobot spasial dapat ditentukan dengan beragam metode, yaitu weight matrik
dengan metode persinggungan sisi-sisi/ Rooks Case, persinggungan sudut-
sudut/ Bishops Case dan persinggungan sudut sisi/ Queen’s Case. Pada
penelitian ini akan menggunakan penghitungan weight matrix metode
persinggungan sisi-sisi Rooks Case
Indeks Global Moran’s I
Global Moran's I mengukur korelasi satu variabel misal x adalah 𝑥𝑖 dan 𝑥𝑗
dimana i ≠ j, i=1,2,...n, j=1,2,...n dengan banyak data sebesar n, maka formula
dari Moran’s I adalah pada persamaan 1. Paradis, 2010
n n
N  w ij (x i  x)(x j  x)
i 1 j 1
I n
S0  (x i  x) 2
i 1

𝑥̅ pada persamaan 1 merupakan rata-rata dari variabel x, 𝑤𝑖𝑗 merupakan elemen


dari matrik pembobot, and 𝑆0 adalah penjumlahan dari elemen matrik pembobot,
dimana 𝑆0 = ∑𝑖 ∑𝑗 𝑤𝑖𝑗 . Nilai dari indeks I ini berkisar antara -1 dan 1. Identifikasi
pola menggunakan kriteria nilai indeks I, jika 𝐼 > 𝐼0 , maka mempunyai pola
sistematik atau mengelompok cluster, jika 𝐼 = 𝐼0 , maka berpola menyebar tidak
merata tidak ada autokorelasi, dan 𝐼 < 𝐼0 ,, memiliki pola tidak sistematik atau
menyebar disperse. 𝐼0 merupakan nilai ekspektasi dari I yang dirumuskan E I= 𝐼0
= −1/n − 1 Lee dan Wong, 2001.

10
Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai
berikut:
𝐻0 : tidak ada autokorelasi spasial
𝐻1 : terdapat autokorelasi positif indeks Moran’s I bernilai positif
𝐻1 : terdapat autokorelasi negatif indeks Moran’s I bernilai negatif
Lee dan Wong 2001 menyebutkan bahwa Moran’s Scatterplot adalah
salah satu cara untuk menginterpretasikan statistik Indeks Global Moran’s I.
Moran’s Scatterplot merupakan alat untuk melihat hubungan antara nilai
pengamatan yang sudah distandarisasi dengan nilai rata-rata daerah tetangga
yang telah distandarisasi.
Kuadran I terletak di kanan atas disebut High-High HH, menunjukkan
daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang
mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II terletak di kiri atas disebut Low-
High LH, menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi daerah
dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III terletak di kiri bawah disebut Low-
Low LL, menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah dan dikelilingi
daerah yang juga mempunyai nilai pengamatan rendah. Kuadran IV terletak di
kanan bawah disebut High-Low HL, menunjukkan daerah dengan nilai
pengamatan tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah
Kartika, 2007.
Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran
HH dan kuadran LL akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang
positif cluster. Sedangkan Moran’s Scatterplot yang banyak menempatkan
pengamatan di kuadran HL dan LH akan cenderung mempunyai nilai
autokorelasi spasial yang negatif.
Local Indicator of Spatial Autocorrelation LISA
Pengidentifikasian koefisien autocorrelation secara lokal dalam artian
menemukan korelasi spasial pada setiap daerah, dapat digunakan Moran’s I.
Berbeda dengan Global Moran’s I sebelumnya, Moran’s I pada LISA
mengindikasikan local autocorrelation. LISA disini mengidentifikasi bagaimana
hubungan antara suatu lokasi pengamatan terhadap lokasi pengamatan yang
lainnya. Adapun indeksnya adalah sebagai berikut Lee dan Wong, 2001.
𝐼𝑖 = 𝑧𝑖 ∑𝑖 𝑤𝑖𝑗 𝑧𝑗

𝑧𝑖 dan 𝑧𝑗 pada persamaan diatas merupakan deviasi dari nilai rata-rata.


𝑧𝑖 = 𝑥𝑖 − 𝑥̅ 2 /𝛿

11
𝛿 adalah nilai standar deviasi dari 𝑥𝑖
Pengujian terhadap parameter 𝐼𝑖 dapat dilakukan sebagai berikut.
𝐻0 : tidak ada autokorelasi spasial
𝐻1 : terdapat autokorelasi spasial
Statistik uji:
𝐼𝑖 − Ɛ𝐼𝑖
𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
√𝑣𝑎𝑟𝐼𝑖

dengan 𝐼𝑖 merupakan indeks LISA, 𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 merupakan nilai statistik uji indeks
LISA, Ɛ𝐼𝑖 merupakan nilai ekspektasi indeks LISA, dan 𝑉𝑎𝑟𝐼𝑖 merupakan nilai
varians dari indeks LISA.
𝐸(𝐼𝑖 ) = −𝑤𝑖 /𝑛 − 1
𝑚4 2𝑚4
𝑛− −𝑛
𝑚22 𝑚22 𝑤𝑖.2
𝑉𝑎𝑟(𝐼𝑖 ) = 𝑤𝑖.2 − 2𝑤𝑖𝑘ℎ −
𝑛−1 (𝑛 − 1)𝑛 − 2 𝑛 − 12
Dimana:
𝑤𝑖.2 = ∑𝑗 𝑤𝑖𝑗
2
,𝑖≠𝑗
𝑤𝑖𝑘ℎ = ∑𝑘≠𝑖 ∑ℎ≠𝑖 𝑤𝑖𝑘 𝑤𝑖ℎ
2
𝑤𝑖.2 = ∑𝑗 𝑤𝑖𝑗

Pengujian ini akan menolak hipotesis awal jika nilai 𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 terletak pada
pada |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 | > 𝑍𝛼
2

Model Empiris dan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
meliputi peta batas administrasi desa di Kecamatan Sukolilo dan Kayen
Kabupaten Pati dengan unit Desa dalam bentuk digital dan data sekunder yang
diperoleh dari berbagai instansi Pemerintah. Adapun data jarak antara dua lokasi
titik diperoleh dari internet melalui situs Google Maps. Bentuk data yang
digunakan merupakan data cross section pada 33 wilayah administrasi desa.
Sumber data nilai NJOP serta data pada variabel penjelas yang digunakan pada
penelitian ini yaitu data sekunder yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Pati, Daftar Nominatif pemohon Prona-PTSL dan Google Maps.
Ada dua alasan penggunaan model regresi spasial. Pertama, karena
penggunaan model regresi Ordinary Least Square OLS untuk melakukan analisis
harga tanah kurang tepat sebab pada model OLS mensyaratkan bahwa tidak
adanya korelasi antar error sementara itu pada analisis spasial mensyaratkan
adanya korelasi antar error spatial autocorrelation sehingga penggunaan model
OLS untuk analisis harga tanah akan melanggar asumsi yang disyaratkan pada

12
model regresi spasial. Kedua, sesuai dengan kaidah hukum geografi pertama
Tobler 1970, harga tanah pada wilayah tertentu akan sangat dipengaruhi oleh
harga tanah di wilayah sekitarnya atau adanya efek spatial dependence.
Sebagian penelitian harga tanah menggunakan salah satu dari kedua
model yaitu spasial lag Pykkonen, 2005; Huang et al., 2006 atau spasial error
Hardie et al., 2001; Bell and Bockstael, 2000, sementara sebagian yang lain
menggunakan kedua model spasial yaitu spasial lag dan spasial error dalam
spesifikasi yang sama Mallios et al., 2009; Breustedt and Habermann, 2011.
Pada penelitian ini, penulis memilih untuk menggunakan kedua model spasial
yaitu model spasial lag dan spasial error, penggunaan model spasial lag
ditujukan untuk mengidentifikasi adanya efek spatial dependence, sedangkan
penggunaan model spasial error ditujukan untuk mengidentifikasi adanya faktor
lain di luar faktor spatial dependence.
Penggunaan metode indeks Moran’s I sebelum dilakukan regresi spasial
ditujukan untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial. Kedua estimasi
model spasial lag dan spasial error akan dibandingkan untuk memberikan
konfirmasi bukti yang jelas mengenai ada atau tidaknya efek spatial dependence
serta ada atau tidaknya faktor lain selain efek spatial dependence seperti faktor
eksternalitas maupun faktor penentuan harga tanah oleh Pemerintah.
Untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-1 tentang bagaimana pola
spasial nilai NJOP dilakukan penghitungan nilai indeks Moran’s I, dengan terlebih
dahulu membuat matrik pembobot spasial weight matrix menggunakan metode
rook contiguity 33 baris x 33 kolom yang dianggap lebih sesuai untuk
menggambarkan korelasi spasial atau pengaruh dependensi spasial
ketetanggaan di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen.
Sementara itu, untuk menjawab tujuan penelitian ke-2, digunakan model
regresi Maximum Likelihood Spatial Lag Model, dan Maximum Likelihood Spatial
Error Model, sebelum dilakukan analisis menggunakan model regresi spasial
terlebih dahulu akan dilakukan uji Lagrange Multiplier untuk mengetahui model
mana yang dapat lebih menjelaskan variasi estimasi harga tanah apakah model
spasial lag atau spasial error, sehingga model empiris yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Model Spasial Lag untuk nilai NJOP
𝐿𝑜𝑔𝑃𝑚 = 𝜌𝑊𝐿𝑜𝑔𝑃𝑚 + 𝛽1 𝐿𝑜𝑔𝐶𝐵𝐷𝑖 + 𝛽2 𝐿𝑜𝑔𝐹𝑎𝑐𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦𝑖 + 𝛽3 𝐿𝑜𝑔𝐾𝑃𝐷𝑇𝑖 + 𝛽4 𝐿𝑜𝑔𝐵𝑇𝑖 + 𝜀𝑖
Model 1
Dimana:

13
𝐿𝑜𝑔𝑃𝑚 : Nilai NJOP dalam bentuk logaritma
𝜌 : Koefisien spatial autoregressive
𝑊𝐿𝑜𝑔𝑃𝑚 : Spasial lag nilai NJOP
𝛽1 sd 𝛽5 : Koefisien regresi
𝐿𝑜𝑔𝐶𝐵𝐷𝑖 : Jarak dari desa 𝑖 ke pusat kota dalam bentuk logaritma
𝐿𝑜𝑔𝐹𝑎𝑐𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦𝑖 : Jarak dari desa 𝑖 ke puskesmas terdekat dalam bentuk logaritma
𝐿𝑜𝑔𝐾𝑃𝐷𝑇𝑖 : Kepadatan penduduk pada desa 𝑖 dalam bentuk logaritma
𝐿𝑜𝑔𝐵𝑇𝑖 : Banyaknya bidang tanah terdaftar pada desa 𝑖 dlm bentuk logaritma
𝜀𝑖 : Galat i
Model 1. digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 yaitu
mengidentifikasi faktor spasial nilai NJOP, dari hasil regresi ml spasial lag
tersebut dilakukan uji Breush-Pagan untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas dan uji Likelihood Ratio untuk melihat adanya korelasi spasial
atau efek dependensi spasial pada model.
b. Model Spasial Error untuk nilai NJOP
𝐿𝑜𝑔𝑃𝑚 = 𝛽1 𝐿𝑜𝑔𝐶𝐵𝐷𝑖 + 𝛽2 𝐿𝑜𝑔𝐹𝑎𝑐𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦𝑖 + 𝛽3 𝐿𝑜𝑔𝐾𝑃𝐷𝑇𝑖 + 𝛽4 𝐿𝑜𝑔𝐵𝑇𝑖 + 𝜀𝑖
Model 2 dimana 𝜀𝑖 = 𝜆𝑊𝜀𝑖 + 𝜉
𝜀𝑖 = 𝐼 − 𝛾𝑊 −1 𝜉
Dimana:
𝐿𝑜𝑔𝑃𝑚 : Nilai NJOP dalam bentuk logaritma
𝜆 : Koefisien spatial autoregressive
𝑊𝜀 : Spatial lag for the error nilai NJOP
𝛽1 sd 𝛽5 : Koefisien regresi
𝐿𝑜𝑔𝐶𝐵𝐷𝑖 : Jarak dari desa 𝑖 ke pusat kota dalam bentuk logaritma
𝐿𝑜𝑔𝐹𝑎𝑐𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦𝑖 : Jarak dari desa 𝑖 ke puskesmas terdekat dalam bentuk logaritma
𝐿𝑜𝑔𝐾𝑃𝐷𝑇𝑖 : Kepadatan penduduk pada desa 𝑖 dalam bentuk logaritma
𝐿𝑜𝑔𝐵𝑇𝑖 : Banyaknya bidang tanah terdaftar pada desa 𝑖 dlm bentuk logaritma
𝜀𝑖 : Galat i
𝜉 : Distribusi normal dengan mean 0 dan varians σ2I
Model 2. ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 yaitu
mengidentifikasi faktor spasial dari nilai NJOP, dari hasil regresi ml spasial error
tersebut dilakukan uji Breush-Pagan untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas dan uji Likelihood Ratio untuk melihat adanya korelasi spasial
atau efek dependensi spasial pada model.
Metode Analisis
Secara detail, langkah dan metode analisis yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Melakukan pengumpulan data penelitian
2. Membuat matrik pembobot spasial Weight Matrix berdasarkan metode
rook contiguity
3. Menghitung nilai dan uji indeks Moran’s I I dan z value
4. Melakukan analisis pola spasial nilai NJOP menggunakan hasil dari nilai
indeks Moran’s I
5. Menentukan model spasial yang lebih menjelaskan variasi estimasi harga
tanah menggunakan uji Lagrange Multiplier dengan tools ols regression

14
6. Melakukan regresi spasial lag dan atau spasial error nilai NJOP
7. Melakukan uji model regresi spasial menggunakan uji Breush-Pagan dan
uji Likelihood Ratio
8. Melakukan analisis faktor yang memengaruhi nilai NJOP secara spasial
9. Melakukan interpretasi, pembahasan dan penarikan kesimpulan.
Uji signifikansi model regresi spasial yang digunakan pada penelitian ini
diantaranya adalah uji Lagrange Multiplier untuk menentukan pilihan model mana
yang lebih menjelaskan adanya korelasi spasial atau efek dependensi spasial
pada penelitian harga tanah secara empiris, apakah model spasial lag atau
spasial error Fingleton and Le Gallo, 2008; Goffette-Nagot et al., 2009;
Feichtinger and Salhofer, 2013, karena spesifikasi model spasial lag harga tanah
dihasilkan dari interaksi ekonomi spasial antara fungsi permintaan tanah dan
penawaran tanah yang tersedia.
Hipotesisnya adalah 𝐻0 : 𝜌 = 0 tidak terdapat efek korelasi spasial atau
efek dependensi spasial dan 𝐻1 : 𝜌 ≠ 0 terdapat efek korelasi spasial atau efek
2
dependensi spasial, 𝐻0 akan ditolak apabila 𝐿𝑀 > 𝜒𝛼,1 atau p-value lebih kecil
dari nilai α Anselin, 1999
Selanjutnya, uji Breush-Pagan digunakan untuk mengidentifikasi apakah
terjadi masalah heteroskedastisitas dalam model spasial. Vandeveer, et al.,
1998; Akhtar, 2004; Goffette-Nagot et al., 2009; Stephanie and Miller, 2011.
Prosedur Breusch-Pagan 1980 mengasumsikan bahwa ketika varians residual
adalah tidak konstan maka ia akan berhubungan dengan satu atau lebih variabel
dalam spesifikasi yang linier.
Hipotesisnya adalah 𝐻0 : 𝛿1 = 𝛿2 = ⋯ = 𝛿𝑘 = 0 dan 𝐻1 : 𝛿1 ≠ 0 Paling tidak
satu 𝛿1 ≠ 0. Hipotesis null yang digunakan adalah tidak terdapat
heterokedastisitas residual memiliki pola homoskedastis. Jika hipotesis null tidak
dapat ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi yang dimiliki tidak
mengalami masalah heterokedastisitas. Sedangkan penolakan terhadap
hipotesis null memberikan indikasi bahwa model mengalami heterokedastisitas
dan perlu dilakukan koreksi.
Uji ketiga yaitu uji Likelihood Ratio untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh variabel penjelas terhadap variabel respon secara spasial. Kleinbaum
and Klein, 2002; Goffette-Nagot et al., 2009; Stephanie and Miller, 2011. Prinsip
dari uji likelihood ratio atau uji simultan ini adalah membandingkan nilai observasi
dari variabel respon dependent dengan nilai prediksi yang diperoleh dari model

15
dengan variabel independent dan tanpa variabel independent untuk kasus
univariat atau membandingkan persamaan model yang memasukkan variabel
tertentu dengan yang tidak untuk kasus multivariat
Hipotesisnya adalah 𝐻0 : 𝛽𝑔𝑘 = 0 tidak ada pengaruh antara variabel
penjelas terhadap variabel respon dan 𝐻1 : 𝛽𝑔𝑘 ≠ 0 minimal ada satu variabel
penjelas yang berpengaruh terhadap variabel respon, untuk g = 1, 2, ....., N-1
dan k = 1, 2, .... , n dan dengan tingkat signifikansi alfa 0.05. Penarikan
kesimpulannya, jika 𝐻0 ditolak maka secara bersama-sama ada beberapa
variabel penjelas yang tidak signifikan berada dalam model atau ada beberapa
variabel penjelas yang berpengaruh terhadap variabel respon.
4. Pembahasan
4.1 Analisis pola spasial nilai NJOP untuk penentuan lokasi prioritas
Prona-PTSL
Lokasi penelitian ini yaitu 33 desa di Kecamatan Sukolilo dan Kecamatan
Kayen Kabupaten Pati seperti pada Gambar 3. Data yang digunakan yaitu data
nilai NJOP, data jarak ke pusat kota, data jarak ke puskesmas, data kepadatan
penduduk dan data jumlah bidang tanah terdaftar.

Gambar 3. Batas administrasi desa penelitian


Spatial pattern analysis pada penelitian ini menggunakan metode
penilaian indeks Global Moran’s I dimana metode ini menggunakan nilai statistik
z untuk mengevaluasi keberadaan pola spasial dari populasi dan menunjukkan
tingkat signifikansi, jika nilai statistik z hitung lebih dari 1.96 z-tabel maka tingkat
signifikansinya sebesar 5% dan jika nilai statistik z hitung lebih dari 2.57 z-tabel
maka tingkat signifikansinya sebesar 1%.

16
Tabel 1. Nilai Global Moran’s I nilai NJOP
Nilai Morans Estimasi
Moran’s Index 0.3918
Expected Index -0.0161
Variance 0.0066
z-score 4.6768
p-value 0.0000***
Penelitian ini menggunakan contiguity weight matrix berdasarkan metode
penghitungan rook contiguity dimana kelurahan yang bertetangga langsung
diberikan nilai 1 dan kelurahan yang tidak bertetangga secara langsung diberikan
nilai 0. Hasil analisis pola spasial nilai NJOP disajikan pada Tabel 1. Nilai indeks
Global Moran’s I yaitu 0.3918, sedangkan nilai expected index 𝐸(𝐼) = 𝐼0 =
1
− 𝑛−1 = −0,0161 sehingga dapat disimpulkan 0.3918 > -0.0161 atau 𝐼 > 𝐼0, pola

spasial nilai NJOP memiliki pola yang sistematik atau mengelompok cluster.
Nilai z-score = 4.676851 dan p-value = 0.0000 menunjukkan bahwa
estimasi pola spasial nilai NJOP tersebut signifikan pada level 1%, artinya nilai
NJOP pada daerah penelitian memiliki autokorelasi spasial yang kuat.

Gambar 4. Pola spasial nilai NJOP

Berdasarkan analisa indeks LISA, didapatkan pola spasial nilai NJOP


yang disajikan pada Gambar 4. Lokasi prioritas prona-PTSL tahun pertama dapat
dilaksanakan pada desa dengan tingkat signifikansi 1%, tahun kedua untuk
tingkat signifikansi 5% dan 10 % dan lokasi desa sisanya dapat dilaksanakan
pada tahun ketiga. Sehingga pada tahun pertama, kegiatan prona-PTSL dapat
dilaksanakan pada 6 desa yaitu Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk Kecamatan
Sukolilo dan Desa Sundoluhur, Boloagung, Rogomulyo untuk Kecamatan Kayen.
Kegiatan Prona-PTSL pada tahun kedua dapat dilaksanakan pada 10
desa yaitu Desa Prawoto, Baleadi, Kedungwinong, Sukolilo, Wotan pada
Kecamatan Sukolilo dan Desa Talun, Pesagi, Pasuruhan, Trimulyo, Jatiroto pada

17
Kecamatan Kayen. Sedangkan pada tahun ketiga dapat dilaksanakan pada 17
desa sisanya.
4.2 Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP
Analisis variabel yang dapat memengaruhi nilai NJOP disajikan pada
Tabel 1. Ada 4 faktor yang digunakan pada penelitian ini yaitu jarak ke pusat kota
(LogCBD), jarak ke puskesmas terdekat (LogFacility), tingkat kepadatan
penduduk (LogKPDT) dan jumlah bidang tanah terdaftar (LogBT). Dengan
menggunakan model spasial lag, dapat disimpulkan bahwa dari keempat faktor
tersebut, hanya faktor jumlah bidang tanah terdaftar LogBT yang tingkat
signifikansinya mencapai 95%, sedangkan ketiga faktor lainnya hanya memiliki
tingkat signifikansi dibawah 80%. Model spasial lag nilai NJOP pada penelitian ini
yaitu
𝐿𝑜𝑔𝑁𝐽𝑂𝑃 = 0.3197𝑊𝐿𝑜𝑔𝑁𝐽𝑂𝑃 + −0.5039𝐿𝑜𝑔𝐶𝐵𝐷 + −0.2060𝐿𝑜𝑔𝐹𝑎𝑐𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦
+ 0.5331𝐿𝑜𝑔𝐾𝑃𝐷𝑇 + 0.0055𝐿𝑜𝑔𝐵𝑇

Model regresi spasial lag NJOP menghasilkan nilai estimasi yang disajikan pada
Tabel 1, terlihat bahwa nilai R-square 0.3527, artinya variasi nilai variabel independen
secara spasial dapat menjelaskan variasi nilai NJOP sebesar 35.27 % sedangkan
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar model. Faktor lag atau ketetanggaan pada
model spasial lag memberikan pengaruh sebesar 31,97%, faktor lag ini lebih rendah dari
model spasial eror yang sebesar 39,79%. Hal ini menunjukkan bahwa model spasial error
lebih menjelaskan variasi nilai NJOP, faktor penentuan nilai NJOP oleh Pemerintah
diindikasikan sebagai penyebab kuatnya pengaruh spasial error daripada faktor
permintaan dan penawaran tanah oleh mekanisme pasar.

Tabel 1. Hasil Regresi Model Spasial Lag dan Spasial Error


Nilai NJOP
Spatial Lag Spatial Error
Variabel Koefisien Koefisien
Std.Error Std.Error
W_Lag Rho 0.3197
0.2018
CONSTANT 3.7467 5.6615
1.4220 0.9912
LOGCBD -0.5039 -0.6573
0.3790 0.4484
LOGFacility -0.2060 -0.3160
0.17.92 0.2082
LOGKPDT -0.5331 0.1467*
0.1699 0.1640
LOGBT 0.0055 0.0151
0.0892** 0.0867*
ErrorLambda 0.3979
0.1942*
R-square 0.3527 0.3702
*sig 0.1, **sig 0.05, ***sig 0.01

18
Koefisien variabel jarak ke pusat kota sebesar -0.5039 bernilai negatif artinya
semakin dekat jarak dari desa ke pusat kota sebesar 1% maka nilai NJOP akan naik
sebesar 50,39% demikian pula sebaliknya. Interpretasi ini juga berlaku untuk variabel lain
yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.2060, kepadatan penduduk sebesar -
0.5331, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0055, variabel tersebut secara spasial
berpengaruh terhadap nilai NJOP.
Sementara itu untuk model spasial error nilai NJOP pada penelitian ini
yaitu
𝐿𝑜𝑔𝑁𝐽𝑂𝑃 = −0.6573𝐿𝑜𝑔𝐶𝐵𝐷 + −0.3160𝐿𝑜𝑔𝐹𝑎𝑐𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 + 0.1467𝐿𝑜𝑔𝐾𝑃𝐷𝑇 + 0.0151𝐿𝑜𝑔𝐵𝑇
+ 0.3979𝑊Ɛ

Koefisien variabel jarak ke pusat kota sebesar -0.6573 bernilai negatif artinya
semakin dekat jarak dari desa ke pusat kota sebesar 1% maka nilai NJOP akan naik
sebesar 65,73% demikian pula sebaliknya. Interpretasi ini juga berlaku untuk variabel lain
yaitu variabel jarak ke puskesmas terdekat -0.3160, kepadatan penduduk sebesar -
0.1467, dan jumlah bidang tanah terdaftar 0.0151, variabel tersebut secara spasial
berpengaruh terhadap nilai NJOP. Sementara itu, variabel yang berpengaruh signifikan
terhadap nilai NJOP baik pada model spasial lag maupun model spasial eror yaitu jumlah
bidang tanah terdaftar (LogBT). Model Spasial Error lebih menjelaskan variasi nilai NJOP
daripada model spasial lag ditunjukkan dengan koefisien R-square 0.3702 > 0.3527 dan
koefisien lambda yang lebih tinggi daripada koefisien lag rho yaitu 0,3979 > 0,3197.
Temuan ini menunjukkan bahwa variabel jumlah bidang tanah terdaftar dan
variabel tingkat kepadatan penduduk lebih memengaruhi nilai NJOP daripada variabel
jarak ke pusat kota dan variabel jarak ke puskesmas terdekat.

Gambar 5. Diagram pencar Morans I

5. Simpulan
Pola spasial nilai NJOP teridentifikasi memiliki pola sistematik atau
mengelompok. Model spasial error (SEM) lebih menjelaskan variasi nilai NJOP

19
daripada model spasial lag (SLM), akan tetapi koefisien lag ρ rho 31,97% dan λ
lambda 39,79% belum cukup kuat dalam menunjukkan pengaruh spatial
dependence. Variabel yang dapat memengaruhi pola dan nilai NJOP yaitu
variabel tingkat kepadatan penduduk dan variabel jumlah bidang tanah terdaftar
HM, HGB, Hak Pakai dan Hak Wakaf.
Analisis pemetaan pola spasial nilai NJOP dengan menggunakan model
spasial lag (SLM) dan model spasial error (SEM) dapat digunakan sebagai salah
satu pertimbangan dalam penentuan lokasi prioritas Prona-PTSL.
Lokasi prioritas kegiatan Prona-PTSL tahun pertama dapat dilaksanakan
pada Desa Wegil, Pakem, Kuwawur untuk Kecamatan Sukolilo dan Desa
Sundoluhur, Boloagung, Rogomulyo untuk Kecamatan Kayen. Lokasi Prona-
PTSL pada tahun kedua dapat dilaksanakan pada 10 desa yaitu Desa Prawoto,
Baleadi, Kedungwinong, Sukolilo, Wotan pada Kecamatan Sukolilo dan Desa
Talun, Pesagi, Pasuruhan, Trimulyo, Jatiroto pada Kecamatan Kayen.

Daftar Pustaka

Akhtar, Shamshad 2004. Spatial Distribution of Land Value in Karachi City. A Thesis
Submitted to The Department of Geography, University of Karachi for The Degree of
Doctor of Philosophy

Alonso, William, 1964. A Theory of the urban land market. Paper in Regional Science. Vol
6, Issue 1. pp.149-157 Baumont, Catherine dan Jean-Marie Huriot. 1998. “The
monocentric model and after”. Recherches Economiques de Louvain / Louvain Economic
Review 64, 23-43

Brigham, Eugene F. Nov 1965. The Determinant of Residential Land Value. Land
Economics, Vol. 41 No. 4, pp. 325-334.

Cahjadi, P. 2013. Penerapan Agent-Based Computational Economics pada Model


Monocentric City. Thesis. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi. FEUI.

Enemark, S. 2005. A Cadastral Tale. Proceedings of Week of Geomatics, Bogota,


Columbia, 8-13 August 2005.

Fingleton, B. and J. Le Gallo 2008. “Estimating spatial models with endogenous


variables, a spatial lag and spatially dependent disturbances: Finite sample properties”,
Papers in Regional Science, Vol. 87, No. 3, pp. 319-339

Friedmann, John., 1964. Regional planning as a field of study. In John Friedmann and
William

Goffette-Nagot, Florence, et all 2009. A spatial analysis of residential land prices in


Belgium: accessibility, linguistic border and environmental amenities.

Grotewold, Andreas. 1959. “Von Thunen in Retrospect”. Economic Geography 35: 346-
355. http://www.jstor.org/stable/142467

20
Hall, Peter, ed., 1966 Von Thunen's Isolated State. Oxford: Pergamon, Hardie, I. W., T.A.
Narayan and B. L. Gardner 2001, “The Joint Influence of Agricultural and Nonfarm
Factors on Real Estate Values: An Application to the Mid-Atlantic Region”, American
Journal of Agricultural Economics, Vol. 83, No. 1, pp. 120–132.

Huang, H., Miller, G.Y., et all. 2006. “Factors influencing Illinois farmland values”,
American Journal of Agricultural Economics, Vol. 88, No. 2, pp. 458-470.

Kleinbaum, David G and Klein, Mitchel. 2002. Logistic Regression. New York: Springer-
Verlag

Johnson, Michael S., et all, Nov 1997. CBD Land Value and Multiple Externalities, Land
Economics, Vol. 63 No.4, pp.337-347

Kartika Yoli, 2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor
tahun 2005. [Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor

Lee Jay & Wong S W David. 2000. Statistical Analysis with Arcview GIS. John Willey &
Sons, INC: United Stated of America

Paradis, Emanuel. 2010. Moran's Autocorrelation, http://hosho.ees.hokudai.ac.jp/


~kubo/Rdoc/library/ape/html/MoranI.html [22 September, 2010]

Pyykkönen, P. 2005, “Spatial analysis of factors affecting Finnish farmland prices”, Paper
presented at the XIth Congress of the EAAE, Copenhagen, 22-27.8.2005

Von Thünen, J. 1826, The Isolated State, English edn, London, Pergamon Press

Wheaton, William C. 1977. “Income and Urban Residence: An Analysis of Consumer


Demand for Location”. The American Economic Review 67:620-631.
http://www.jstor.org/stable/1813394

Biodata Penulis
Catur Kuat Purnomo, pegawai pada Kantor Pertanahan Kabupaten Pati
sebagai Analis Kendali Mutu Survei, Pengukuran dan Pemetaan. Lulusan
Sarjana/ S1 pada Jurusan Teknik Geodesi-Geomatika, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta pada tahun 2004. Lulusan Pendidikan S2 Manajemen Keuangan
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007 dan Lulusan Pendidikan Magister/ S2
pada PPIE Konsentrasi Studi Perkotaan dan Wilayah, Universitas Indonesia,
Jakarta pada tahun 2013. Saat ini aktif sebagai pelaksana survei, pengukuran
dan pemetaan kadastral kegiatan Prona-PTSL Kabupaten Pati. Kontak melalui
email caturku@gmail.com

21

Anda mungkin juga menyukai