Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Setiap ibu yang hamil rentan terkena perdarahan saat menjelang persalinan.
Persalinan merupakan bagian tahap dalam proses kehamilan, dimana hasil dari konsepsi
akan dikeluarkan dari ibu yang berbentuk bayi. Perdarahan merupakan penyebab
kematian ibu. Pekerjaan melayani perempuan melahirkan sunggu pekerjaan yang tidak
terhindar dari berlumuran darah. Sampai sekarang dalam obstetrik masih memegang
peran penting sebagai penyebab utama kematian maternal, sekalipun dinegara maju
terutama pada kelompok sosio ekonomi lemah.
Kematian ibu paling sering perdarahan, terutama perdarahan akibat dari atonia uteri
inversio uteri, perobekan jalan lahir dan sebagainya. kehilangan darah yang banyak pada
ibu ini akan menyebabkan syok sampai kematian. Jika perdarahan obstetrik yang tidak
dengan cepat diatasi dengan transfusi darah atau cairan infus dan fasilitas
penanggulangan lainnya (semisal upaya pencegahan dan/ atau mengatasi syok, seksio
sesarea atau histerektomi dan terapi antibiotika yang sesuai), prognosisnya akan fatal
bagi penderitanya.

1.2 MANFAAT PENULISAN

Dengan mempelajari tentang perdarahan kita bisa mengetahui penyebab atau kausal
dari kematian ibu dan bisa menegakkan diagnosis serta mengetahui penatalaksanaan dan
pencegahannya.

1
BAB II
ISI
2.1 SKENARIO
GAWAT DARURAT

Ny. Susi (41tahun) tiba di rumah sakit diantar oleh keuarganya yang merupakan pasien
rujukan dari bidan. Waktu datang pasien terlihat pucat dan lemas serta mengeluh pusing dan
mual. Pemeriksaan tanda vital menunjukan tekanan darah 90/60mmHg, denyut nadi teraba
kecil 100x/menit, pernapasan 24x/menit dan akral teraba dingin.
Dari pengantar rujukan diketahui Ny.Susi telah melahirkan anak ke-6 melalui persalinan
spontan pervaginam dengan berat lahir 3500 gram dan panjang 50cm. namun setelah lahirnya
plasenta hingga 1 jam pasca persalinan, pasien telah mengalami perdarahan sampai kira-kira
1000cc. bidan yang turut mengantarkannya mengatakan bahwa ia sudah melakukan
penatalaksanaan dengn pemberian suntikan uterotonika dan masase uterus.
Dokter mendapatkan rahim teraba lembek dan kontraksi uterus lemah. Saat melakukan
pemeriksaaan, tidak didapatkan adanya robekan jalan lahir maupun sisa plasenta. Doter
kemudian melakukan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadinya omplikasi
perdarahan pasca persalinan.

2.2 STEP 1 IDENTIFIKASI ISTILAH SULIT


1. Akral : berkenaan dengan ekstremitas dari ujung tangan sampai ujung kaki
2. Uterotonika: obat untuk merangsang kontraksi uterus, contohnya oksitosin.
3. Masase uterus: pemijatan uterus untuk merangsang kontraksi, apabila salah diberikan
pada kala II maka akan mengganggu kala III
4. Perdarahan Pasca Persalinan: perdarahan massif setelah persalinan dengan darahan
yang keluar lebih dari 500ml. Terbagi atas primer dan sekunder. Bisa berasal dari
daerah implantasi, perlukaan jalan lahir, dan gangguan koagulasi

2.3 STEP 2 IDENTIFIKASI MASALAH


1. Apakah hubungan Ny. Susi melahirkan anak ke – 6 dengan Perdasahan post partum
1000cc?
2. Mengapa tanda vital Ny. Susi bisa terjadi seperti di scenario?
3. Apa saja komplikasi perdarahan post partum?

2
4. Apa saja penyebab dari perdarahan post partum selain perlukaan jalan lahir dan sisa
plasenta dan bagaimana patofisiologinya?
5. Bagaimana patofisiologi dari perdarahan post partum sesuai scenario?

2.4 STEP 3 CURAH PENDAPAT


1. Ny. Susi mengalami Atonia Uteri dimana salah satu factor penyebabnya adalahan
grande multipara. Pada grande multipara, uterus didapatkan lebih teregang dari
normalnya. Karena uterus nya teregang, maka kontraksi yang didapatkan lemah
sehingga uterus tidak dapat menekan pembuluh darah sehingga lumennya tidak
menyempit dan terjadilah perdarahan terus menerus. Darah dapat sudah keluar dari
pembuluh darah namun masih terperangkap di uterus sehingga menambah beban dari
uterus dan dapat terjadi komplikasi.

2. Pada Atonia Uteri, maka seseorang akan mengalami hipovolumia maka akan terjadi
kompensasi kompensasi. Awalnya tekanan darah akan meningkat, namun karena
cardiac output menurun maka tekanan darah akan menurun, pada sistolik
menggambarkan cardiac outputnya sedangkan diastoliknya menggambarkan
resistensinya. Pernapasan meningkat merupakan upaya untuk mengambil oksigen
lebih banyak lagi diiringi dengan denyut nadi meningktan agar suplai oksigen
tercukupi. Awalnya, suplai oksigen akan diutamakan ke organ-organ vital, maka
suplai di perifer berkurang yang menyebabkan akral teraba dingin.

3. Komplikasinya antara lain


 Perdarahan intraabdomen yang dapat menyebabkan infeksi
peritoneum dan perdarahan dalam
 Apabila ibu mengalami kehilangan darah yang banyak dapat
menyebabkan syok
 Komplikasi paling parah pada perdarahan post partum adalah apabila
ibu jatuh dalam syok maka pada ibu juga dapat mengalami anemia,
dapat juga terjadi infeksi, sepsis, dan bahkan kegagalan organ.
 Uterus mengalami iskemia yang disebabkan oleh nekrosis jaringan
sekitar

3
 Kesulitan laktasi akibat hipoksia pada otak dan akan mempengaruhi
kelenjar pituari

4. Penyebab dari perdarahan post partum selain robekan jalan lahir dan sisa plasenta:
 Gangguan pembekuan darah : bisa disebabkan oleh solusio plasenta,
eklampsia, sepsis, emboli caira ketuban, kematian janin dalam kandungan, dan
adanya riwayat post partum sebelumnya. Ditandai dengan waktu perdarahan
dan pembekuan darah yang memangjang, trombositopenia, hipofibrinugenia,
adanya FDP (fibrin degradation product), dan perpanjangan tes protrombin
dan PTT (Partial tromboplastin time)
 Atonia uteri: tidak kuatnya kontraksi uterus untuk menutupi perdarahan di
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir di akibatkan
kontraksinya tidak cukup kuat untuk menekan pembuluh darah sehingga
lumen pembuluh darah tidak tertutup.
 Inversio uteri: kedaaan lapisan dalam endometrium urun dan keluar lewat
ostium uteri externum, bisa komplit bisa inkomplit. Disebabkan oleh atonia
uteri, serviks yang masih terbuka lebar, adanya kekuatan yang menarik fundus
kebawah seperti pada plasenta inkreta dimana plasenta tidak mau keluar dan
tali pusat ditarik ke bawah, tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver
crede), tekanan intra abdominal yang keras dan tiba tiba seperti batuk dan
mengejan.

5. Karena uterus nya teregang, maka kontraksi yang didapatkan lemah sehingga uterus
tidak dapat menekan pembuluh darah sehingga lumennya tidak menyempit dan
terjadilah perdarahan terus menerus. Darah dapat sudah keluar dari pembuluh darah
namun masih terperangkap di uterus sehingga menambah beban dari uterus dan dapat
terjadi komplikasi.

4
2.5 STEP 4 STRUKTURISASI KONSEP

GEJALA &
PERDARAHAN PASCA
KELUHAN PERSALINAN

ETIOLOGI PATOFISIOLOGI DIAGNOSIS DIAGNOSIS


BANDING

1. Atonia ATONIA
UTERI 1. Atonia Uteri
Uteri 2.. Retentio
2. Retentio Plasenta
Plasenta 3.Inversio
3. Inversio Uteri
Uteri 4. Gangguan
4. Gangguan Koagulasi
Koagulasi 5. Robekan
5. Robekan 1. Pemeriksaan Jalan Lahir
Jalan Lahir 2. Komplikasi
3.Penatalaksanaan
4.Pencegahan

5
2.6 STEP 5 MERUMUSKAN SASARAN PEMBELAJARAN

Kami menentukan beberapa tujuan dan hal – hal lain yang perlu dipelajari lebih lanjut
secara mandiri, yaitu sebagai berikut:
1. Atonia Uteri
2. Ruptur jalan lahir :
- Ruptur Serviks,
- Ruptur Uterus,
- Ruptur Perineum
3. Retensi Plasenta
4. Inversi uterus
5. Gangguan pembekuan darah

2.7 STEP 6 BELAJAR MANDIRI


Belajar mandiri dilaksanakan dari hari Senin tanggal 3 November 2014 sampai dengan
hari Kamis tanggal 6 November 2014.

2.8 STEP 7 SINTESIS


ATONIA UTERI
 Definisi

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang


menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Wiknjosastro, 2010, hlm. 524)

 Etiologi
Atonia uteri memiliki faktor predisposisi yaitu:
 Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau
anak terlalu besar.
 Kelelahan karena persalinan lama.
 Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.

6
 Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
(Wiknjosastro, 2010, hlm. 524-525)
 Epidemiologi
Insiden perdarahan pascapersalinan sebesar 2,7 persen adalah empat kali lebih
tinggi dibandingkan insiden pada populasi obstetrik umum. Insiden perdarahan
postpartum adalah 0,3 persen pada perempuan dengan paritas rendah, tetapi 1,9
persen pada mereka dengan para 4 atau lebih. (Cunningham, 2009, hlm. 814)

 Patogenesis
Setelah melewati kala III, uterus berkontraksi dengan lemah. Hal ini bisa
disebabkan oleh distensi uterus yang berlebihan karena kehamilan gemeli,
polihidramnion, atau anak yang terlalu besar sehingga terjadi hipotonus setelah
pelahiran. Dapat juga disebabkan karena kelelahan akibat persalinan lama
sehingga uterus tidak dapat berkontraksi dengan maksimal. Sebab lainnya adalah
mioma uteri dan infeksi intrauterine yang mengganggu kontraksi uterus. Karena
terjadi penurunan tonus uteri atau lemahnya kontraksi uterus, uterus tidak mampu
menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir. (Wiknjosastro, 2010, hlm. 524)

 Tanda dan Gejala


Pada atonia uteri, dapat dijumpai tanda dan gejala sebagai berikut.
 Setelah bayi dan plasenta lahir, perdarahan masih aktif, banyak, dan
bergumpal.
 Fundus uteri masih setinggi umbilikus atau lebih tinggi.
(Wiknjosastro, 2010, hlm. 525)

7
 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan
bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah
sebanyak 500 – 1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih
terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian
darah pengganti. (Wiknjosastro, 2010, hlm. 525)

 Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium


Pada pemeriksaan fisik:
 Dilakukan inspeksi. Pada inspeksi didapatkan setelah bayi dan plasenta lahir
perdarahan masih aktif, banyak, dan bergumpal.
 Dilakukan palpasi. Pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi
umbilikus atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Pada pemeriksaan laboratorium:
 Dilakukan pemeriksaan darah untuk menghitung berapa banyak volume darah
yang keluar.
(Wiknjosastro, 2010, hlm. 525)

 Diagnosis Banding
 Ruptur uteri
 Robekan jalan lahir
 Gangguan koagulasi
 Retensio plasenta
(Wiknjosastro, 2010, hlm. 524)

 Penatalaksanaan
Menurut Buku Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo:
 Sikap Tredelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
 Merangsang kontraksi uterus dengan cara:

8
- Masase fundus uteri dan merangsang putting susu.
- Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m., i.v.,
atau s.c.
- Memberikan derivate prostaglandin F2α (carboprost tromethamine) yang
kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah,
febris, dan takikardia.
- Pemberian misoprostol 800 – 1.000 µg per-rektal.
- Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.
- Kompresi aorta abdominalis.
- Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam kavum uteri disambung
dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml
yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.
 Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan
uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa:
- Ligasi arteria uterina atau arteria ovarika
- Operasi ransel B Lynch
- Histerektomi supravaginal
- Histerektomi total abdominal
(Wiknjosastro, 2010, hlm. 525-526)

Kompresi Bimanual Kompresi Aorta Abdominalis

Menurut Buku Obstetri William volume 2:


1. Mulai kompresi bimanual uterus, prosedur sederhana yang dapat
mengendalikan sebagian besar perdarahan uterus. Teknik ini terdiri atas
pemijatan sisi posterior uterus dengan tangan yang diletakkan pada abdomen

9
dan pemijatan dinding anterior uterus melalui vagina dengan tangan lain yang
dikepalkan.
2. Panggil bantuan.
3. Pasang kanula intravena berdiameter besar kedua sehingga kristaloid dan
oksitosin dapat dilanjutkan bersama-sama dengan pemberian darah.
4. Mulai transfusi darah. Golongan darah setiap pasien obstetric harus diketahui,
sedapat mungkin, sebelum persalinan, dan uji Coombs indirek dilakukan
untuk mendeteksi antibodi eritrosit. Jika hasil uji negatif, uji silang darah tidak
diperlukan. Pada keadaan kedaruratan ekstrem, diberikan darah “donor
universal”, tipe O, D-negatif.
5. Eksplorasi kavitas uteri secara manual untuk mencari fragmen plasenta yang
tertinggal atau laserasi.
6. Inspeksi serviks dan vagina secara menyeluruh untuk mencari laserasi setelah
divisualisasikan setelah adekuat.
7. Pasang kateter Foley untuk memantau keluaran urin, yang merupakan ukuran
yang baik untuk perfusi ginjal.
8. Mulai resusitasi volume.
(Cunningham, 2009, hlm. 814-815)

 Pencegahan
Agar atonia uteri tidak terjadi, maka dapat dilakukan langkah-langkah
pencegahan sebagai berikut.
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi
setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan
persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal.
2. Mengenal faktor predisposisi seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidramnion, bekas seksio, ada riwayat atonia uteri sebelumnya, dan kehamilan
risiko tinggi lainnya yang akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun.

10
6. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insiden perdarahan pascapersalinan
akibat atonia uteri.
7. Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (400 – 600 µg) segera setelah bayi
lahir.
(Wiknjosastro, 2010, hlm. 524 dan 529)

 Komplikasi
 Inversi uterus
 Syok hipovolemik

 Prognosis
Prognosisnya baik jika segera dilakukan penanganan dengan tepat, sedangkan
prognosisnya buruk jika lambat ditangani sehingga menyebabkan perdarahan yang
sangat banyak yang bisa menuju kematian. (Wiknjosastro, 2010, hlm. 525)

RETENSIO PLASENTA

Dalam persalinan kala III atau kala uri atau kala plasenta, normalnya sebuah plasenta
akan lepas dengan sendirinya (otomatis) dalam beberapa menit pasca melahirkan bayi, atau
setelah kala II (kala ekspulsi janin) selesai. Namun pada beberapa wanita hamil, plasenta ini
sulit lahir. Hal yang paling berpengaruh disini adalah kontraksi uterus yang kurang memadai
ataupun perlekatan plasenta itu sendiri yang terlalu kuat dengan dinding endometrium uterus
(abnormal). Kedua hal ini, terutama yang kedua, merupakan penyebab dari retensio plasenta.
 Definisi

Definisi dari retensio plasenta ini adalah semua keadaan dimana plasenta tidak lahir
setelah setengah jam kala dua selesai. Dari definisi ini dapat dibedakan 2 kondisi
dimana plasenta belum lepas dari dinding uterus dan plasenta yang sudah lepas namun
belum dilahirkan keluar. Biasanya jika plasenta belum lepas, tidak akan terjadi
perdarahan namun jika sudah terlepas semua ataupun sebagian, akan terjadi
perdarahan dimana ini adalah tanda agar plasenta segera harus dilahirkan.
(Martohoesodo dan Marsianto dalam Prawirohardjo, 2005 : 656)
Beberapa faktor yang menyebabkan plasenta tidak mudah lepas dari perlekatannya

11
adalah :
- Tidak adanya desidua basalis
- Kelainan dari perkembangan fibrinoid baik parsial maupun total
- Kurangnya kontraksi uterus untuk melepaskan plasenta (Plasenta Adhesiva)
- Vilus melekat ke miometrium (Plasenta Akreta)
- Vilus menginvasi miometrium (Plasenta Inkreta)
- Vilus menembus miometrium dan bahkan melekat hingga perimetrium (Plasenta
Perkreta)

Perlekatan abnormal ini dapat melibatkan seluruh kotiledon (Plasenta Akreta Totalis),
sebagian kotiledon (Plasenta Akreta Parsialis), dan hanya satu kotiledon (Plasenta
Akreta fokal). (Cunningham, F. Gary [et al.], 2005: 709)

 Etiologi
Ada beberapa kemungkinan penyebab dari terjadinya retensio plasenta ini, beberapa
diantaranya diuraikan sebagai berikut :
- Implantasi vili – vili plasenta terjadi di bagian bawah dari uterus. Dan hal ini
biasanya menyebabkan plasenta previa
- Implantasi terjadi di atas jaringan parut yang merupakan bekas dari seksio
caesaria dari kehamilan sebelumya.
- Implantasi di atas bekas incisi lainnya ataupun di atas bekas kuretase uterus
- Kehamilan pada seorang wanita dengan riwayat grande multipara.
- Kesalahan penanganan kala III, plasenta sudah lahir namun tidak bisa dikeluarkan
karena kontraksi uterus kurang memadai akibat adanya interupsi dengan tindakan
memijat atau menekan uterus oleh penolong
- Terbentuknya ring kontraksi pada uterus
(Cunningham, F. Gary [et al.], 2005: 709)

 Patogenesis

Perlekatan blastokista pada bagian bawah segmen uterus akan berdampak


besar pada masa kehamilan lanjutan, karena akan terbentuk plasenta previa yang
menutupi ostium serviks interna dan akan menjadi penyulit dalam persalinan plasenta
dan dapat menimbulkan perdarahan post-partum. Selain itu implantasi blastokista di

12
permukaan jaringan parut, baik bekas seksio caesaria ataupun bekas insisi dan
kuretase, akan menimbulkan perlekatan yang lebih dalam dari normalnya. Normalnya
biasanya vili-vili dari plasenta akan melekat di lapisan desidua basalis pada lapisan
kompaktum dan spongiosa endometrium. Namun pada kasus ini vili – vili plasenta ini
akan melekat sampai miometrium (Plasenta Akreta) atau hingga perimetrium
(Plasenta Perkreta). Hal inilah yang nantinya akan mempersulit lepasnya plasenta dari
uterus. Hal ini mungkin diperparah dengan terjadinya atonia uteri yang dibahas pada
bahasan sebelumnya. Dan apabila terjadi bersamaan, resiko terjadinya inversio uteri
juga meningkat karena uterus tidak memiliki cukup kekuatan kontraksi untuk
mempertahankan posisi dan bentuknya. (Cunningham, F. Gary [et al.], 2005: 709 -
710)

 Diagnosis

Diagnosis dari retensio plasenta adalah dari :


- perdarahan yang mungkin terjadi pada kala III
- Selain itu kadar serum plasma alfafetoprotein ibu mungkin juga meningkat
(Pemeriksaan Laboratorium)
- Dari USG tidak ditemukan adanya ruang sonolusen (ruang yang terdiri dari
desidua basalis dan jaringan miometrium dibawahnya), hal ini dikhususkan untuk
melihat plasenta inkreta yang vili-vili plasentanya menginvasi miometrium
sehingga tidak terlihat ruang sonolusen seperti pada perlekatan plasenta normal.
(Cunningham, F. Gary [et al.], 2005: 710)

 Penatalaksanaan

Sebelum mengetahui penatalaksanaan dari retensio plasenta kita harus tahu terlebih
dahulu apa saja yang memengaruhi perlekatan plasenta. Hal – hal yang
mempengaruhinya antara lain adalah :
- Tali pusat yang menghubungkan bayi dan plasenta cukup kuat
- Tali pusat tidak mudah lepas dari plasenta
- Kontraksi uterus yang lemah atau tidak adekuat
- Plasenta akreta
(Cunningham, F. Gary [et al.], 2005: 710-711)

13
Untuk penatalaksanaannya meliputi :
- Cara Brandt, salah satu tangan memegang tali pusat dekat vulva dan tangan yang
lain memegang dinding abdomen di atas simfisis.
- Pengeluaran plasenta dengan tangan penolong dan pasien sebelumnya sudah di
beri anestesi dan analgesik, tangan kiri menekan fundus, sedangkan tangan kanan
masuk ke dalam uterus dan mencari sisi terluar plasenta dan mengupasnya beserta
kotiledonnya satu persatu lalu dikeluarkan melalui vagina.
- Pada plasenta inkreta dan perkreta dilakukan histerektomi (lebih efektif) karena
perlekatan plasenta terlalu dalam ke dinding uterus dan tidak dapat dilakukan
pengeluaran plasenta secara manual.
- Jika terdapat cincin konstriksi bantu dengan anestesi untuk relaksasikan,
masukkan cunam ovum untuk memegang plasenta lalu tarik plasenta keluar.
- Jika terjadi perdarahan usahakan berikan infus darah dan RL terlebih dahulu
sebelum tindakan yang lain.
(Martohoesodo dan Marsianto dalam Prawirohardjo, 2005 : 657-659)

Sebelumnya cara yang sering digunakan adalah pengeluaran secara manual


sebanyak mungkin plasenta lalu menampon uterus untuk mengurangi perdarahannya.
Namun sekarang jarang digunakan karena 25% wanita yang diterapi dengan cara ini
akhirnya meninggal. (Cunningham, F. Gary [et al.], 2005: 711)

 Prognosis

Dengan penanganan yang tepat, retensio plasenta ini dapat diatasi. Namun, jika tidak
segera ditangani oleh seorang ahli, hal ini dapat menyebabkan komplikasi seperti
misalnya inversio uteri dan syok apabila terjadi perdarahan masif.

INVERSI UTERUS

 Definisi

Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan
keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit
(Sarwono,2014)

14
 Etiologi
- Atonia uteri
- Serviks yang masih terbuka lebar
- Adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah
- Adanya tekanan dari fundus uteri berasal dari atas
- Adanya tekanan intraabdominal (mengejan, batuk, bersin)

 Epidemiologi

Kematian ibu dengan perdarahan post partum karena inversi uterus memiliki presentasi 19%
dari angka kematian ibu dengan PPP sebesar 3.114 yaitu jumlah dengan inversi uteri sebesar
591 ibu
Patogenesis :
Dikarenakan dari etiologi-etiologi tersebut sehingga bagian dalam uterus atau yang disebut
dengan endometrium akan terbalik dan dapat masuk ke dalam ostium uteri eksternum, namun
ada juga yang masih belum masuk ke dalam ostium uteri eksternum tetapi fundus sudah
terbalik didalam kavum uteri. Ada beberapa klasifikasi :
1. Ringan : Bagian dari fundus uteri sudah terbalik dan menonjol dalam kavum uteri,
namum belum keluar dari rongga rahim.
2. Sedang : Bagian dari fundus uteri sudah terbalik dan sudah masuk ke dalam vagin.
3. Berat : Bagian dari fundus hingga keseluruhan uterus telah terbalik dan keluar dari
vagina.

Klasifikasi berdasarkan anatominya :


1. Inkomplit : Bagian dari fundus uteri menekuk ke dalam dan tidak keluar dari ostium
uteri eksternum atau serviks.
2. Komplit : Bagian dari seluruh uterus telah terbalik keluar dan menonjol keluar dari
serviks uteri.

 Penegakan diagnosis
- Pasien syok karena kesakitan
- Perdarahan yang banyak dan bergumpal
- Pada pemeriksaan pervaginam, pada vulva tampak endometrium terbalik

15
 Diagnosis banding

Adanya mioma uteri submukosa namun pada mioma uteri fundus tetap berada dalam
bentuk yang sesuai dan tidak terbalik seperti inversi uterus, dan bila disentuh akan terasa
keras tidak seperti kasus inversi uterus biladisentuh akan terasa lebih lembek.
Penatalaksanaan :
1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan / darah pengganti
dan pemberian obat.
2. Beberapa senter memberikan tokolitik / MgSO4 untuk melemaskan uterus yang
terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas
masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam
uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah
terlepas atau tidak.
3. Di dalam uterus, plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan
dari rahin dan sambil memeberikan uterotonika lewat infus atau intramuskular .
tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan
operator baru dilepaskan.
4. Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya.
5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan
manuver di atas tidak bisa dilakukan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi
dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi
dan nekrosis.

 Prognosis

Bila baru terjadi, maka prognosisnya cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup
lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia,
nekrosis, dan infeksi.
Pencegahan :
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk kasus inversi uteri dapat berupa mengenali faktor
predisposisi untuk terjadinya inversi, dapat juga dilakukan pada tenaga medis yang
menangani agar menghindari traksi umbilikus yang terlalu kuat, serta agar diusahakan
persalinan selesai sebelum 24 jam.

16
RUPTUR SERVIKS

Serviks merupakan jaringan yang mudah mengalami perlukaan pada waktu


persalinan. Akibat perlukaan itu pada seorang multipara pars vaginalis cervicis uteri ( portio
uteri ) sudah terbagi menjadi bibir depan dan bibir belakang serviks. Robekan serviks bisa
menimbulkan banyak perdarahan, khususnya bila robekan serviks yang meluas ke arah
kranial dan mencapai dinding vagina di daerah forniks lateralis perlu diwaspadai sebagai
ruptura uteri karena robekan dapat terus meluas ke atas dan menyebabkan putusnya arteri
uterina. Robekan serviks yang meluas ke arah kranial dan mencapai dinding vagina di daerah
forniks lateralis perlu diwaspadai sebagai ruptur uteri karena robekan dapat terus meluas
kearah atas dan menyebabkan putusnya arteria uterina. Pelukaan ini dapat terjadi pada
persalinan normal, tetapai yang paling sering ialah akibat upaya melahirkan anak ataupun
persalinan buatan pervaginam pada pembukaan yang belum lengkap.
Dapat pula terjadi robekan pada persalinan buatan dengan vakum ekstraktot akibat
terjepitnya serviks anatara mangkok vakum dengan kepala anak yang tidak terdeteksi
sehingga serviks robek pada saat dilakukan tarikan pada mangkok vakum ekstraktor.
Penyebab lain robekan srviks ialah partus presipitatus; pada partus ini kontraksi rahim kuat
dan sering, sehingga janin didorong ke luar dengan kuat dan cepat, sebelum pembukaan
lengkap. Diagnosis perlukaan serviks dapat diketahui dengan pemeriksaan in spekulo.
Setelah dilakukan pemasangan Sims spekulum, portio dilihat secara a vue.
Selanjutnya bibir serviks yang utuh (bila mungkin sebaiknya pada daerah jam 06.00 dan jam
12.00) dijepit dengan cunam atraumatik atau Fenster klem, portio ditarik hati-hati ke luar;
kemudian diperiksa secara cermat tempat dan sifat-sifat robekan yang terjadi. Bila diperlukan
penjahitan pada serviks, maka luka dijahit mulai dari 1 cm proksimal dari ujung robekan
yang paling atas (cranial), dibuat simpul mati; kemudian jahitan diteruskan secara jelujur
interlocking ke bawah sampai pinggir serviks dan dibuat simpul mati pada ujung jahitan.

17
RUPTUR UTERI
 Definisi :

Rupture uteri terbagi menjadi tiga antara lain rupture uteri komplit,inkomplit dan
rupture uteri pada parut.
a. Ruptur uteri komplit
Merupakan keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung
antara ronngga amnion dan rongga peritoneum. Yang mengakibatkan peritoneum
visceral dan kantung amnion juga ikut mengalami rupture sehingga jani sebagian
atau seluruhnya keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum
peritoneum atau rongga abdomen.
b. Rupture uteri inkomplit
Merupakan keadaan robekan pada rahim dimana hubungan kedua rongga atau
rongga rahim dan rongga abdomen masih dibatasi oleh peritoneum visceral
sehingga, jika terjadi hal ini, jain tidak msuk kedalam rongga abdomen.
c. Rupture uteri pada parut
Merupakan keadaan robekan terjadi pada bekas bedah sesar yang dahulu.
Dehisens biasa berubah menjadi rupture pada waktu partus atau akibat manipulasi
lain pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah caecar pada persalinan yang
lalu.

Berdasarkan aspek anatomis rupture uteri terbagi menjadi 2 yaitu


a. Rupture uteri komplit
Dimana terjadi robekan pada lapisan endometrium, miometrium dan perimetrium.
b. Rupture uteri inkomplit
Robekan yang terjadi pada dua lapisan uteri yaitu endometrium, miometrium
sedangan lapisan serosa atau perimetrium masih utuh.

Berdasarkan aspek sebab rupture uteri terbagi menjadi 3 yaitu


a. Rupture uteri spontan
Rupture uteri yang terjadi pada rahim yang utuh oleh karena kekuatan his .
b. Rupture uteri violent
Rupture uteri yang di sebabkan oleh manipulasi tenaga tambahan seperti induksi
oksitosin atau dorongan yang kuat pada fundus dalam persalinan.
c. Rupture uteri traumatic

18
Rupture uteri yang diseababkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan
dalam rumah tangga atau kecelakaan

 Etiologi

Klasifikasi rupture uteri menurut sebabnya antara lain


a. Kerusakan uterus yang telah ada sebelum hamil
- Pembedahan pada miometrium
- Trauma uterus koinsidental
Seperti kuret dalam penanganan abortus, trauma benda tumpul atau tajam
seperti pada kecelakaan.
- Kelainan bawaan
Anomali bentuk uterus sehingga kehamilan dalam rahim terganggu atau tidak
berkembang.

b. Kerusakan uterus dalam masa kehamilan


- Sebelum kelahiran anak
Dimana terjadi his spontan yang kuat dan terus menerus, pemakaian oksitosin
dan prostaglandin dalam menginisiasi pelahiran, atau terjadinya peleberan
rahim atau distensi rahim yang berlebihan seperti pada kehamilan
polihidramnion atau kehamilan ganda.
- Dalam periode intrapartum
Bisa karena anomaly dari posisi janin yang mengakibakan distensi rahim yang
berlebihan, adanya bantuan eksternal dalam persalinan misalnya penggunann
cunam, versi-ekstraksi, atau tekanan kuat pada uterus dalam persalinan .
- Cacat rahim yang didapat
Biasanya terjadi apabila terjadi gangguan implantasi plasenta yaitu seperti
plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas gestasional.

Adapun criteria wanita atau ibu hamil yang memiliki resiko tinggi terkena rupture uteri ketika
persalinan antara lain :
a. Persalinan yang mengalami distosia
b. Grande-multipara
c. Penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan
d. Pasien yang memiliki riwayat persalinan sesar
19
e. Pasien yang memiliki panggu sempit
f. Pernah mengalami miomektomi
g. Ekstraksi cunam
h. Ekstraksi bokong

 Epidemologi

Tragedy rupture uteri di Negara berkembang masih cukup tinggi . Di Indonesia


sendiri kejadian ruptut uteri sekitar 1 dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93 persalinan.
Sedangkan angka di Negara maju mengalami penurunan di laporkan kejadian rupture uteri di
Negara maju yaitu 1 dalam 1.280 persalinan ( 1931-1950 ) menjadi 1 dalam 2.250 persalinan
( 1973-1983) dan pada tahun 1996 menjadi 1 dalam 15.000 persalinan.

 Patofisiologis

Pada keadaan normal persalinan, terjadi kontraksi uteri sehingga korpus uteri akan
mengalami kontraksi dan retraksi. Hal ini juga bersamaan terjadinya penipisan pada bagian
ismus uteri yag di akibtkan oleh pendatran serviks pada kala sebelumnya, sehingga munculla
cincin kontraksi fisiologis. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengecilan volume uteri
sehingga tubuh jani akan terdorong ke arah jalan lahir. Namun, akan terjadi manifestasi yang
lain , apabila terjadi hambtan kelahiran misalkan bayi terlalu besar atau panggul yang sempit ,
maka volume korpus yang semakin mengecil diikuti dengan perluasan segmen bagian atas
yang mengakibatkan peninggian cincin retraksi fisiologis melebihi batasnya sehingga akan
berubah menjadi cincin retraksi patologis yang disebut dengan lingkaran Bandl . apabila his
berlangsung kuat terus menerus , tetapi bahian bawah tubu janian tudak kunjung turun maka
lingkaran rekratsi patologis semakin meninggi dan segmen bawah rahim semkin tertarik
keatas sembari dindingnya menjadi semkain tipis hanya beberpa millimeter saja. Ini
menandakan telah terjadi tanda-tanda terjainya rupture uteri . pada saat dinding segmen
bawah rahim itu akan robek secara spontan pada tempat yang tertipis ketika his selanjutnya
datang dan terjadillah perdarahan yang banyak bergantung kepada luas robekan terjadi dan
pembuluh darah yang terputus. Umumnya robekan terjadi pada dinding depan segmen bawah
rahim, luka robekan bisa meluas secara melintang atau miring. Bila mengenenai daerah yang
ditutupi ligamentum latum terjadi robekan yang meluas kesamping . robekan bisa juga
meluas ke korpus atau ke serviks atau terus ke vagina dan bahkan kala bisa mencederai
kandung kemih. Pertumpahan darah sebagian besar mengalir ke dalam rongga peritoneum
20
dan sebagian laian mengalir mealui pembukaan serviks ke vagina.
Rupture uteri yang tidak mengakibatkan robekan peritoneum sering terjadi pada bagian rahi
yang longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada bagian samping dan dekat denga
kandung kemih. Di sii dinding serviks yang meregang kaena ikut tertarik bisa ikut robek.
Robekan pada bagian samping dapat melukai pembuluh-pembuluh besar pada ligamentum
latum. jika robekan terjasi pada bagian bawah ligamentum latum, arteri uterine atau cabang-
cabangnya terlukai maka akn terjadi perdarahan yang banyak dan bisa mengakibtkan
terbentuknya hematima dan menimbulkan syok.
Komplikasi yang bisa terjadi adalah terjadinya syok hipovolemik berat akibat dari keurangan
darah yang banyak dan penanganan yang lambat serta terjadinya infeksi berat khusunya pada
pasien rujukan yang apbila tidak di berikan antibioika spektrm luas maka bisa menimbulkan
peritonitis dan adanya sepsis pascabedah.

 Diagnosis

Rupture uteri iminens dapat mudah dikenali dengan semakin meningginya lingkara
retraksi dan segmen bawah rahim yang semakin menipis dan keadaan ibu yang gelisah takut
karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan . untuk dapa menegakkn rupture utri
maka diperluka adanya periksa dalam . pada rupture uteri kompli jari-jari tangan pemeriksa
dapat melakukan beberapa hal berikut antara lain :
1. Jari-jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang licin.
2. Meraba bagian yang robek yang biasanya terdapat di bagian depan segmen bawah
rahim.
3. Tangan pemeriksa bisa memegang atau merasakan adanya usus halus atau
omentum meaui robekan
4. Dinding perut ibu dapat di tekan menonjol ke atas oleh ujung jari-jari tangan
dalam sehingga ujung-ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba ujung jari-
jari tanagn dalam.

Pada rupture uteri komplit t rjadi perdarahan yang banyak sehingga pada pasien
terdapat tanda-tanda syok seperti pucat, tekanan darah menurun, nadi cepat dan kelihata
anemis dan terdapa tanda-tanda hipovolemik seperti nafas yang sullit dan disertai dengan
nyeri abdomen akibat robekan rahim yang mengikutsertakan peritoneum vicerale robek dan
merangsang saraf sensorik.

21
 Penanganan

Apabila menghadapi pasien denga rupture uteri maka dilakukan rujukan ke rumah
sakit yang memiliki perlengkapan yang lengkap serta petugas medis yang berpenglaman dan
memiliki dedikasi yang kuat. Bila terjadi rupture maka penanganan yang tepat adalah
histerektomi dan resusitas serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan cairan infuse kristaloid
dan transfuses darah yang banya , tindakan antisyok.

 Prognosis

Prognosis bergantung pada kondisi uteri yang masih utuh atau bekas dari robekan
operasi sesar atau suatu dehisens. Bila terjadi pada bekas sesio sesar atau pada dehisens
perdarahan yang terjadu minimal sehingga tidak sampai mempengaruhi kematian maternal
atau perinatal. . rupture uteri yang spontan dalam persalinan pada rahim yang tadinya utuh
mengakibatkna rupture yang luas sehingga dapat meningkatkan resiko kematian meaternal
dan perinatal Kecepatan penanganan juga mempengaruhi prognosis dan resiko kematian
maternal dan perinatal

RUPTUR PERINEUM.
 Patogenesis
Laserasi Perineum - Laserasi bilateral ke dalam vagina biasanya memiliki
panjang yang tidak sama dan dipisahkan oleh bagian mukosa vagina yang
berbentuk lidah. Perbaikan laserasi ini harus menjadi bagian setiap operasi untuk
memperbaiki laserasi perineum. Apabila otot dan fasia vagina serta perineum di
bawahnya tidak dijahit, pintu keluar vagina dapat mengendur dan memudahkan
terbentuknya rektokel dan sistokel. (Cunningham, 2009, hlm. 821)

 Tanda & Gejala


 Pada laserasi perineum dapat cukup dalam untuk mencapai sfingter anus dan
meluas menembus dinding vagina dengan kedalaman bervariasi. Laserasi
bilateral ke dalam vagina biasanya memiliki panjang yang tidak sama dan
dipisahkan oleh bagian mukosa vagina yang berbentuk lidah. (Cunningham,
2009, hlm. 821)

22
 Diagnosis
Laserasi Perineum - Diagnosis ditegakkan secara langsung yaitu dengan
melihat sejauh mana terjadi ruptur.

 Pemeriksaan
 Pemeriksaan pada Laserasi Perineum yaitu memantau keadaan umum dan
tanda-tanda vital pasien. Melakukan inspeksi untuk melihat sejauh mana
rupture mengenai daerah-daerah apa saja. Memasukkan jari yang bersarung
tangan ke anus untuk mengidentifikasi sfingter dan merasakan tonus sfingter.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui derajat rupture. (Depkes RI,2008)

 Diagnosis Banding
 Diagnosis banding dari laserasi perineum adalah perlukaan pada vagina,
rupture uteri, perlukaan pada jalan lahir lainnya.

 Penatalaksanaan
 Pada kasus laserasi perineum, Penatalaksanaan tergantung pada tingkatan
robekan perineum. Untuk tingkat I, penjahitan robekan perineum dapat
dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur
(continous suture) atau dengan cara angka delapan. Sebelum dilakukan
penjahitan pada robekan perineum tingkat II maupun tingkat III, jika dijumpai
pinggir yang tidak rata, maka harus diratakan dahulu. Setelah pinggir robekan
rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Awalnya otot-otot dijahit dengan
catgut kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-
putus. Terakhir kulit perineum dijahit dengan silk secara terputus-putus. Untuk
tingkat III, mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit kemudian
fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik
sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah karena
robekan diklem kemudian dijahit dengan catgut kromik sehingga bertemu
kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan
perineum tingkat II. (Wiknjosastro, 2010, hlm. 526). Untuk tingkat IV, pasien
dirujuk ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai. (Depkes RI,2008)

23
Derajat Robekan Perineum
Komplikasi
Perdarahan pada ruptur perineum dapat menjadi hebat khususnya pada ruptur derajat dua dan
tiga atau jika ruptur meluas ke samping atau naik ke vulva mengenai clitoris. Laserasi
perineum dapat dengan mudah terkontaminasi feses karena dekat dengan anus. Infeksi juga
dapat menjadi sebab luka tidak segera menyatu sehingga muncul jaringan parut.

 Pencegahan
 Pasien risiko tinggi harus dirujuk agar persalinannya berlangsung dalam
rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan diawasi dengan penuh
dedikasi oleh petugas berpengalaman. (Wiknjosastro, 2010, hlm. 520)
 Kerjasama dengan Ibu dan penggunaan perasat manual yang tepat dapat
mengatur ekspulsi kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah
laserasi atau meminimalkan robekan pada perineum. (Depkes RI,2008)
 Dengan mempertimbangkan frekuensi terjadinya robekan pada pelahiran
pervaginam dengan bantuan alat, serviks harus diinspeksi rutin pada akhir kala
III setelah semua pelahiran sulit, bahkan jika tidak ditemukan perdarahan.
(Cunningham, 2009, hlm. 822)

 Prognosis.
 Pada laserasi perineum, menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan
prognosis lebih baik. Untuk mendapat hasil yang baik pada robekan perineum
total perlu tindakan penangan pasca pembedahan yang sempurna.
(Sumarah,2009)

24
GANGGUAN KOAGULASI

Hipofibrinogenemia adalah kekurangan fibrinogen yang beredar dalam darah.


Fibrinogen dihabiskan oleh koagulasi diseminata intravaskular. Penyakit ini ditandai dengan
pengaktifan jenjang koagulasi, sehingga terjadi pembentukan trombus di seluruh
mikrosirkulasi. Akibat trombosis yang meluas tersebut, terjadi konsumsi trombosit dan faktor
pembekuan, dan karenanya mengaktifkan fibrinolisis. (Aster, 2007: 498)
Fibrinolisis yang teraktivasi secara patologis menimbulkan banyaknya mikrotrombus
sehingga terjadi hipoksia jaringan dan mikroinfark. Hal ini menjadi penyebab lebih sering
terjadinya pedarahan dibanding dengan penyebab-penyebab yang lain.
Pada keadaan normal, pembekuan darah dipicu oleh salah satu dari dua jalur yaitu jalur
ekstrinsik dan jalur intrinsik. Jalur ekstrinsik, pengaktifan dari faktor jaringan. Sedangkan
intrinsik, pengaktifan dari faktor XII dalam darah. Sedangkan faktor yang memicu koagulasi
diseminata intravaskular yaitu pembebasan faktor jaringan atau zat tromboplastik ke dalam
sirkulasi dan cedera luas pada sel endotel. Pada kehamilan, dihasilkannya zat tromboplastik
dapat berasal dari masalah pada plasenta.
Koagulasi diseminata intravaskular kemungkinan besar timbul salah satunya pada proses
obstetrik yang bermasalah. Pada gangguan obstetrik, faktor jaringan yang berasal dari
plasenta, janin mati yang tertinggal, atau cairan amnion dapat masuk ke sirkulasi. Namun,
syok, hipoksia, dana sidosis sering terjadi bersama-sama dan dapat menyebabkan jejas
endotel yagn luas. (Aster, 2007: 500)
Koagulasi diseminata intravaskular memiliki dua akibat: pertama, fibrin mengalami
pengendapan luas pada mikrosirkulasi sehingga terjadinya iskemia. Kedua, terjadi diatesis
perdarahan akibat terpakainya trombosit dan faktor pembekuan serta terlepas pelepasan
sekunder aktivator plasminogen. Plasmin tidak hanya memecah fibrin, tapi juga faktor V dan
VIII, sehingga konsentrasi keduanya menurun. (Aster, 2007: 500)

25
BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang masif yang berasal dari tempat
implantasi plasenta, robekan pada janin lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah
satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.
Definisi PPP adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada
praktisinya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan normal, apalagi telah menyebabkan
perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak
napas, serta tensi <90 mmHg dam nadi >100/menit.
Perdarahan dari tempat implantasi plasenta seperti hipotoni dan atonia uteri keadaan
dimana lemahya tonus/kontraksi otot rahim yang tidak mampu menutup perdarahan terbuka
dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Robekan jalan lahir
biasanya akibat esiotomi, robekan spontan, perinium, trauma forceps atau vakum ekstraksi,
atau versi ekstraksi.
Retensio plasenta bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setelah anak lahir disebut
sebagai retensio plasenta.
Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan
keluar lewat ostium uteri eksternum, yang bersifat inkomplit sampai komplit.

Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan
materi kuliah, dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini.

26
Daftar Pustaka

Cunningham, F. Garry. 2009. Obstetri William Edisi 23 Volume 2. Jakarta:Penerbit Buku


Kedokteran EGC.
Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan (4th ed.). (A. B. Saifuddin, Ed.) Jakarta: P.T. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

27

Anda mungkin juga menyukai