Anda di halaman 1dari 50

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1. Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 25 Januari 2018, anamnesis dilakukan pada
tanggal 28 Februari 2018 pukul 20.00 wita. Anamnesis yang dilakukan berupa
autoanamnesa dan alloanamnesa.
Identitas
Nama : Tn. DL
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Jl. Naha Aruq RT 02 Mahakam Ulu, Samarinda
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
MRS : 25 Januari 2018
Keluhan Utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki-laki berusia 58 tahun, dirawat di bangsal Seruni kamar 5003
Penyakit Dalam RSUD AWS Samarinda sejak tanggal 25 Januari 2018. Pasien
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang semakin memberat. Nyeri tersebut
hilang timbul dan sudah dirasakan selama kurang lebih 2 bulan. Nyeri dada
tersebut dirasakan disebelah kanan dan tembus hingga ke punggung, tidak
menjalar ke dada kiri. Nyeri dirasakan tajam seperti ditusuk-tusuk dan dapat
berlangsung selama setengah jam. Nyeri tersebut memberat jika pasien menarik
napas dalam dan pada saat batuk. Keluhan tersebut dapat sedikit mereda saat
pasien membungkuk. Keluhan nyeri dada tersebut disertai dengan batuk yang
sudah berlangsung selama kurang lebih 1 bulan. Batuk berdahak putih kental dan
pernah disertai dengan bercak darah. Batuk terutama memberat saat malam hari
hingga mengganggu tidur pasien. Saat batuk memberat terkadang pasien
merasakan sesak napas. Sesak dirasakan hlang timbul, tidak disertai dengan napas

1
berbunyi, maupun nyeri dada kanan dan tidak disertai nyeri ulu hati. Pasien
merasa sesaknya memberat jika tidur terlentang. Pasien mengaku pernah demam
selama satu minggu saat awal batuk. Selama ini pasien hanya mengkonsumsi obat
warung untuk meredakan batuknya dan tidak kunjung membaik. Riwayat asma,
TB, hipertensi, dan penyakit jantung disangkal. Pasien mengaku memiliki riwayat
diabetes mellitus sejak 2 tahun yang lalu, dan tidak rutin menggunakan obat oral.
BAB hitam (-), muntah hitam (-), diare (-), BAB seperti dempul (-), BAK seperti
teh (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
 Tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
 Riwayat tekanan darah tinggi dan penyakit jantung disangkal.
 Terdapat riwayat DM
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat penyakit hati/sakit kuning disangkal
 Riwayat transfusi darah sebelumnya disangkal
 Riwayat konsumsi obat TB disangkal
 Riwayat penggunaan obat-obatan diabetes mellitus tidak rutin
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat TB disangkal
 Riwayat Ca disangkal
 Riwayat diabetes melitus
 Riwayat hipertensi dan penyakit jantung disangkal
 Riwayat asma dan alergi lain disangkal
Riwayat Kebiasaan
Riwayat menggunakan jarum suntik, merokok dan konsumsi alkohol disangkal

2.2 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 25 Februari 2018
Kesadaran : Komposmentis, E4V5M6
Keadaan umum : Sakit sedang
Berat badan : 58 kg

2
Tinggi badan : 160 cm
IMT : 22,56 kg/m2
Tanda Vital
 TD : 110/80 mmHg (lengan kanan, berbaring)
 HR : 82 x/menit regular, isi cukup, kuat angkat
 RR : 22x/menit, torakoabdominal
 T : 36,8 0C (axila)
Kepala/leher
 Umum
Ekspresi : sakit sedang
Rambut : tidak ada kelainan
Kulit muka : tidak ada kelainan
 Mata
Palpebra : udema (-/-)
Konjungtiva : anemis (+/+)
Sklera : ikterus (-/-)
Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
 Hidung
Septum deviasi (-)
Sekret (-)
Nafas cuping hidung (-)
Terpasang nasal kanul (-)
 Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal, sekret (-)
Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
 Mulut
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Gusi : perdarahan (-)
Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)
Faring : hiperemis (-)

3
 Leher
Kelenjar limfe : pembesaran kelenjar limfatik (-)
Trakea : di tengah, deviasi (-)
Tiroid : membesar (-)
JVP : bendungan (-)
 Axilla
Pembesaran KGB (-)
Thorax
 Pulmo:
1. Inspeksi : Gerakan dada tertinggal pada hemithoraks dextra,
pernapasan torakoabdominal
2. Palpasi
Fremitus Raba Paru Kanan Paru Kiri

Lap. Paru Atas Menurun Positif

Lap. Paru Tengah Menurun Positif

Lap. Paru Bawah Menurun Positif

3. Perkusi

Paru Kanan Paru Kiri

Lap. Paru Atas Redup Sonor

Lap. Paru Tengah Redup Sonor

Lap. Paru Bawah Redup Sonor

4. Auskultasi
Paru Kanan Paru Kiri

Lap. Paru Atas Suara nafas Vesikuler(+),


menurun,

4
Rhonki (+), Rhonki (-),
Wheezing (-) Wheezing (-)

Lap. Paru Tengah Suara nafas Vesikuler(+),


menurun, Rhonki (-),
Rhonki (+), Wheezing (-)
Wheezing (-)

Lap. Paru Bawah Suara nafas Vesikuler(+),


menurun, Rhonki (-),
Rhonki (+), Wheezing (-)
Wheezing (-)

Cor:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 midclavicula line sinistra, teraba
kuata angkat, diameter 1 jari, reguler, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung atas : setinggi ICS II, midclavicula line sinistra
Batas jantung kanan : ICS II, III, IV, parasternal line dextra
Batas jantung kiri : ICS V midclavicula line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:
Inspeksi : flat, venektasi (+), asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), Asites (-)
Palpasi : Nyeri tekan hepar (-), nyeri tekan epigastrium (+), defans
muscular (-)

Ekstremitas:
Superior
Ekstremitas hangat
Edema (-/-)
Eritematosa (-)
Sianosis (-)

5
Clubbing finger (-)
Palmar eritema (-)
Inferior
Ekstremitas hangat
Edema tungkai (-)
Sianosis (-)

2.3 Pemeriksan penunjang

2.3.1 Foto Thorax

1. Tidak ada Identitas Tn. DL, 58 tahun


2. Marker R pada posisi yang benar
3. Exposure sinar X-ray terlalu tinggi. Ditandai dengan tidak
tampaknya os torakalis ke-5.
4. Posisi foto rontgen PA
5. Inspirasi toraks cukup tidak dapat dievaluasi
6. Jalan napas tampak di tengah
7. Tidak tampak fraktur pada tulang klavikula, skapula, sternum, dan
iga. ICS tampak tidak simetris dextra et sinistra. ICS kiri tampak
lebih menyempit dibandingkan dextra.

6
8. Posisi diafragma simetris, sudut kostofrenikus dekstra tidak dapat
dievaluasi, sinistra tampak tajam. Terdapat perselubungan
homogen pada hampir seluruh hemitoraks dekstra. Menunjukkan
kesan penumpukan cairan pada paru dekstra.
9. Tampak corakan bronkovasikular yang meningkat pada
hemithoraks sinistra.
10. Cardiac Thoracic Ratio < 50%

2.3.2 Pemeriksaan Darah

Darah Lengkap, 24 februari 2018

HB 12,2 Leukosit 13.520

HCT 38,3 PLT 442.000

MCV 83,1 MCHC 31,7

MCH 26,4

Hasil Pemeriksaan BTA, 26 febuari 2018

BTA I Negatif

BTA II Negatif

BTA III Negatif

Hasil Pemeriksaan Urinalisis, 26 Februari 2018

Protein +2 Sel epitel +

Glukosa +2 Leukosit 2-4

Bilirubin - Eritrosit 0-1

Urobilinogen - Silinder Hyalin

7
Kimia Klinik, 26 Februari 2018

Glukosa Puasa 127 Nilai rujukan 70-100

Glukosa 2 jam PP 131 Nilai rujukan 70-150

HbA1c 13,9 Nilai rujukan 4,5-4,6

Bilirubin Total 0,3 Nilai rujukan 0,3-1,2

Bilirubin Direct 0,1 Nilai rujukan <0,2

Bilirubin Indirect 0,2 Nilai rujukan 0-0,8

Total Protein 5,6 Nilai rujukan 5,7-8,2

Albumin 1,8 Nilai rujukan 3,2-4,8

Cholesterol 107 Nilai rujukan <200

Asam urat 3,2 Nilai rujukan 3,4-7,0

Ureum 20,5 Nilai rujukan 19,3-49,2

Creatinin 0,5 Nilai rujukan 0,7-1,3

Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap, 26 Februari 2018

Leukosit 9.360 Nilai rujukan 4.800-10.800

Eritrosit 4.380 Nilai rujukan 4.700-6.100

Hb 11,7 Nilai rujukan 14,0-18,0

Hct 35,8 Nilai rujukan 37,0-54,0

PLT 402.000 Nilai rujukan 150.000-450.000

MSCT guiding FNAB, 1 Maret 2018

Aspirat : pus
Kesimpulan : Radang supurativa (abses)

8
2.4 Diagnosis
Pneumonia + DM tipe 2

2.5 Penatalaksanaan
 IVFD NaCl 0,9% + 1 ampul santagesic
 Tab NAC 2x1
 Codein 3x1
 Nebu combivent/12 jam
 Inus ceftriaxone 1 gr/12 jam

2.6 Prognosis
1. Quo ad vitam : dubia ad malam
2. Quo ad functionam : dubia ad malam
3. Quo ad sanactionam : dubia ad malam

9
2.7 Follow Up
Tanggal S O A P R

25/2/18  Nyeri  Kesadaran : E4V5M6  Efusi pleura  Oksigen nasal kanul - Cek sputum
Seruni dada  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9% BTA
 Codein 3x1
kanan  N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia dd - Pungsi
 Nac 2x1
 Sesak Pemeriksaan Fisik TB + DM tipe 2  Nebu combivent/ 12 jam - Kultur
napas Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-)  Ceftriaxone inj. 1gr/12 - CT Scan
 Batuk Leher : pemb KGB (-/-) jam - GDS/hari
 Injeksi Levemir 12 unit
Toraks: - Glukosa
extra
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal puasa
P: fremitus raba dekstra menurun - G2PP
P: Redup pada paru dekstra - HbA1c
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
Foto thorax : Efusi Pleura Dextra
Laboratorium
GDS : 351 mg/dL
Leukosit : 13.520
Hb : 12,2
Neutrofil : 11,0
26/2/18  Sesak  Kesadaran : E4V5M6  Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
 IVFD NaCl 0,9%

10
Ruangan napas  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  Codein 3x1
 Nac 2x1
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia +
 Nebu combivent/ 12 jam
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM
 Ceftriaxone inj. 1gr/12
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2 jam
 Injeksi Levemir 12 unit
Leher : pemb KGB (-/-)
extra
Toraks:
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal
P: fremitus raba dekstra menurun
P: Redup pada paru dekstra
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
Foto thorax : Efusi Pleura Dextra
Laboratorium
Darah lengkap
GDS : 340 mg/dL
Glukosa puasa : 127
G2PP : 131
HbA1c : 13,9
Leukosit : 9.360
Hb : 11,7
Neutrofil : 7,1

11
Urinalisis
Protein +2
Glukosa +2
BTA
I : Negatif
II : Negatif
III : Negatif
CT-Scan + FNAB
Abses
27/2/18  Sesak (-)  Kesadaran : E4V5M6  Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
Ruangan  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
 Codein 3x1
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia +
 Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12 jam
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2  Ceftriaxone inj. 1gr/12
jam
Leher : pemb KGB (-/-)
 Levemir 0-0-6
Toraks:  Novorapid 6-6-6
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal
P: fremitus raba dekstra menurun
P: Redup pada paru dekstra
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)

12
GDS : 310 mg/dL

28/1/18  Sesak (-)  Kesadaran : E4V5M6  Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
Ruangan  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
 Codein 3x1
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia +
 Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12 jam
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2  Ceftriaxone inj. 1gr/12
jam
Leher : pemb KGB (-/-)
 Levemir 0-0-6
Toraks:  Novorapid 6-6-6
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal
P: fremitus raba dekstra menurun
P: Redup pada paru dekstra
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
GDS : 332 mg/dL
29/1/18  Sesak  Kesadaran : E4V5M6 Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
Ruangan napas  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
o  Codein 3x1
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 C pneumonia +
 Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2 jam
Leher : pemb KGB (-/-)  Ceftriaxone inj.
1gr/12 jam

13
Toraks:  Levemir 0-0-6
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal  Novorapid 6-6-6
P: fremitus raba dekstra menurun
P: Redup pada paru dekstra
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
GDS :
30/1/18  Sesak napas  Kesadaran : E4V5M6 Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
berkurang  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
 Codein 3x1
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia +
 Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12
Mata: anemis (-/-) ikterik (+/+) tipe 2 jam
Leher : pemb KGB (-/-)  Ceftriaxone inj.
1gr/12 jam
Toraks:
 Levemir 0-0-6
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal  Novorapid 6-6-6
P: fremitus raba dekstra menurun
P: Redup pada paru dekstra
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
GDS : 347 mg/dL

14
31/1/18  Sesak napas  Kesadaran : E4V5M6 Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
berkurang  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
Ruangan  Codein 3x1
 Nyeri jika  N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia +
 Nac 2x1
klem Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12
dibuka Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2 jam
Leher : pemb KGB (-/-)  Ceftriaxone inj.
1gr/12 jam
Toraks:
 Levemir 0-0-6
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal  Novorapid 6-6-6
P: fremitus raba dekstra menurun
P: Redup pada paru dekstra
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
GDS : 350 mg/dL
1/2/18  Sesak napas  Kesadaran : E4V5M6 Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
 Lemas  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
Ruangan  Codein 3x1
o
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 C pneumonia +
 Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2 jam
Leher : pemb KGB (-/-)  Levemir 0-0-6
 Novorapid 6-6-6
Toraks:
 Ceftriaxone inj.
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal 1gr/12 jam

15
P: fremitus raba dekstra menurun
P: Redup pada paru dekstra
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
GDS :
2/2/18  Sesak napas  Kesadaran : E4V5M6 Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
 Lemas  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
Ruangan  Codein 3x1
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia +
 Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12 jam
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2  Ceftriaxone inj. 1gr/12
Leher : pemb KGB (-/-) jam
 Domperidon 2x1
Toraks:
 Drip metronidazole 500
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal mg/8 jam
P: fremitus raba dekstra menurun  Drip ciprofloxacin 200
P: Redup pada paru dekstra mg/12 jam
 Novorapid 10-10-10
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
 Levemir 0-0-10
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
GDS : 378
3/2/18  Sesak napas  Kesadaran : E4V5M6 Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
berkurang  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
Ruangan  Codein 3x1

16
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia +  Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12 jam
 Ceftriaxone inj. 1gr/12
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2
jam
Leher : pemb KGB (-/-)  Domperidon 2x1
Toraks:  Drip metronidazole 500
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal mg/8 jam
 Drip ciprofloxacin 200
P: fremitus raba dekstra menurun
mg/12 jam
P: Redup pada paru dekstra  Novorapid 10-10-10
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-  Levemir 0-0-10
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
GDS : 354 mg/dL
4/2/18  Sesak napas  Kesadaran : E4V5M6 Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
 TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
Ruangan  Codein 3x1
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 oC pneumonia +
 Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12 jam
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2  Ceftriaxone inj. 1gr/12
Leher : pemb KGB (-/-) jam
 Domperidon 2x1
Toraks:
 Drip metronidazole 500
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal mg/8 jam
P: fremitus raba dekstra menurun  Drip ciprofloxacin 200
P: Redup pada paru dekstra mg/12 jam
 Novorapid 10-10-10

17
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-  Levemir 0-0-10
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)
GDS : 354 mg/dL
5/2/18  Sesak napas  Kesadaran : E4V5M6 Efusi pleura  Oksigen nasal kanul
berkurang  TD: 110/70 mmHg RR : 20x/i, SpO2 98% masif dextra e.c  IVFD NaCl 0,9%
Ruangan  Codein 3x1
o
 N: 90x/i, regular Temp: 37,0 C pneumonia +
 Nac 2x1
Pemeriksaan Fisik abses paru+DM  Nebu combivent/ 12 jam
Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-) tipe 2  Ceftriaxone inj. 1gr/12
Leher : pemb KGB (-/-) jam
 Domperidon 2x1
Toraks:
 Drip metronidazole 500
I: Asimetris, Dextra<Sinistra, Hemithorax Dextra tertinggal mg/8 jam
P: fremitus raba dekstra menurun  Drip ciprofloxacin 200
P: Redup pada paru dekstra mg/12 jam
 Novorapid 10-10-10
A: VES menurun/+, Rh -/-, Wh -/-
 Levemir 0-0-10
Abdomen: distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: edema (-/-)

18
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Kanker Paru


Menurut World Health Organization (WHO), kanker paru merupakan
penyebab kematian utama dalam kelompok kanker baik pada pria maupun wanita.
Kanker paru adalah semua penyakit keganasan pada jaringan paru. Merupakan
abnormalitas dari sel-sel yang mengalami proliferasi dalam paru. Pertumbuhan sel
kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru yang dapat disebabkan oleh
sejumlah karsinogen lingkungan, terutama asap rokok. Dalam pengertian klinik
yang dimaksud dengan kanker paru primer adalah tumor ganas yang berasal dari
epitel bronkus (karsinoma bronkus) (PNPK, 2017).

3.2 Epidemiologi

Kanker paru merupakan penyebab utama keganasan di dunia, mencapai


hingga 13 persen dari semua diagnosis kanker. Selain itu, kanker paru juga
menyebabkan 1/3 dari seluruh kematian akibat kanker pada laki-laki. Di Amerika
Serikat, diperkirakan terdapat sekitar 213.380 kasus baru pada tahun 2007 dan
160.390 kematian akibat kanker paru pada tahun 2007. Berdasarkan data WHO,
kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak pada laki-laki di Indonesia, dan
terbanyak kelima untuk semua jenis kanker pada perempuan. Kanker paru juga
merupakan penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada laki-laki dan kedua
terbanyak pada perempuan.

Hasil penelitian berbasis rumah sakit dari 100 RS di Jakarta menunjukkan


bahwa kanker paru merupakan kasus terbanyak pada laki-laki dan nomor 4
terbanyak pada perempuan dan merupakan penyebab kematian utama pada laki-
laki dan perempuan. Berdasarkan data hasil pemeriksaan di laboratorium Patologi
Anatomi RSUP Persahabatan, lebih dari 50 persen kasus dari semua jenis kanker
yang didiagnosis adalah kasus kanker paru. Data registrasi kanker Rumah Sakit
Dharmais tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa kanker trakea, bronkus dan paru
merupakan keganasan terbanyak kedua pada pria (13,4%) setelah kanker

19
nasofaring (13,63 dan merupakan penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada
pria (28,94%).

Insiden kanker paru termasuk rendah pada usia di bawah 40 tahun, namun
meningkat sampai dengan usia 70 tahun. Faktor risiko utama kanker paru adalah
merokok. Secara umum, rokok menyebabkan 80% kasus kanker paru pada laki-laki
dan 50% kasus pada perempuan. Faktor lain adalah kerentanan genetik, polusi
udara, pajanan radon, dan pajanan industri (asbes, silika, dan lain-lain) (PNPK,
2017).

3.3 Etiologi Kanker Paru


3.3.1 Merokok

Merupakan penyebab utama kanker paru. Suatu hubungan statistik yang


definitif telah ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari)
dari kanker paru (karsinoma bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai
kecenderungan sepuluh kali lebih besar dari pada perokok ringan. Selanjutnya
orang perokok berat yang sebelumnya dan telah meninggalkan kebiasaannya akan
kembali ke pola resiko bukan perokok dalam waktu sekitar 10 tahun. Hidrokarbon
karsinogenik telah ditemukan dalam tembakau rokok yang jika dikenakan pada
kulit hewan, menimbulkan tumor.

3.3.2 Radiasi.

Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg


dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker
paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini
diduga merupakan agen etiologi operatif.

3.3.3 Zat-zat yang terhirup ditempat kerja.

Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil
nikel (pelebur nikel) dan arsenikum (pembasmi rumput). Pekerja pemecah
hematite (paru – paru hematite) dan orang – orang yang bekerja dengan asbestos
dan dengan kromat juga mengalami peningkatan insiden. Contoh : radon, nikel,
radiasi dan arsenikum.

20
3.3.4 Polusi Udara

Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih
tinggi dari pada mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya
karsinogen dari industri dan uap diesel dalam atmosfer di kota. Contoh: Polusi
udara, pemaparan gas RT, asap kendaraan atau pembakaran.

3.3.5 Genetik.

Terdapat perubahan atau mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker
paru, yakni:

i. Proton oncogen.

ii. Tumor suppressor gene.

iii.Gene encoding enzyme

3.4 Manifestasi Klinis

Kanker paru tidak memiliki gejala klinis yang khas, tetapi batuk, sesak
nafas, atau nyeri dada (gejala respirasi) yang muncul lama atau tidak kunjung
sembuh dengan pengobatan biasa pada pasien “kelompok risiko” harus
ditindaklanjuti untuk prosedur diagnosis kanker paru. Gejala yang berkaitan
dengan pertumbuhan tumor langsung misalnya batuk, hemoptisis, nyeri dada dan
sesak nafas. Batuk merupakan gejala tersering (60-70%) pada kanker paru.

Gejala lain berkaitan dengan pertumbuhan regional, seperti efusi pleura,


efusi perikard, sindrom vena kava superior, disfagia, sindrom Pancoast, dan
paralisis diafragma. Sindrom pancoast merupakan kumpulan gejala dari kanker
paru yang tumbuh di sulkus superior, yang menyebabkan invasi pleksus brakial
sehingga menimbulkan nyeri pada lengan dan munculnya sindrom Horner (ptosis,
miosis, hemifacial anhidrosis).

Keluhan serak menandakan telah terjadinya kelumpuhan saraf atau


gangguan pada pita suara. Gejala klinis sistemik yang juga kadang menyertai

21
yaitu penurunan berat badan dalam waktu yang singkat, nafsu makan menurun,
dan demam yang hilang timbul. Gejala yang berkaitan dengan gangguan
neurologis (sakit kepala, lemah) sering terjadi jika terdapat penyebaran ke otak
atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala awal pada kanker yang
telah menyeba ke tulang. Gejala lainnya yaitu gejala paraneoplastik, seperti nyeri
muskuloskeletal, hematologi, vaskuler, neurologi, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan fisik, tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru
dapat bervariasi tergantung pada letak, besar tumor, dan penyebarannya.
Pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula, leher, dan aksila menandakan
telah terjadi penyebaran ke KGB atau tumor di dinding dada, kepala, atau lokasi
lain juga menjadi petanda penyebaran. Sesak nafas dengan temuan suara nafas
yang abnormal pada pemeriksaan fisik didapat jika terdapat massa yang besar,
efusi pleura, atau atelektasis. Venektasi (pelebaran vena) di dinding dada dengan
pembengkakakn (udema) wajah, leher dan lengan berkaitan dengan bendungan
pada vena kava superior (SVKS). Sindrom Horner yang sering terjadi pada tumor
yang terletak di apeks (Pancoast tumor). Trombus pada vena ekstremitas, yang
ditandai dengan udema disertai nyeri pada anggota gerak dan gangguan sistem
hemostasis (peningkatan kadar D-dimer), menjadi gejala telah terjadinya
bendungan vena dalam (DVT). Tanda-tanda patah tulang patologik dapat terjadi
pada kanker yang bermetastasis ke tulang. Tanda-tanda gangguan neurologis akan
didapat jika kanker sudah menyebar ke otak atau tulang belakang (PNPK, 2017).

3.5 Klasifikasi Kanker Paru

Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small lung cancer,
SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC).
Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk di dalam golongan
kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel
besar, atau campuran dari ketiganya.

Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) merupakan tipe histologik kanker


paru yang paling sering ditemukan berasal dari permukaan epitel bronkus.

22
Perubahan epitel termasuk metaplasia atau displasia akibat merokok jangka
panjang secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa
bisasanya terletak sentral di sekitar hilus dan menonjol ke dalam bronki besar.
Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan cenderung menyebar
secara langsung ke kelenjar bening hilus, dinding dada, dan mediasternum.
Karsinoma ini lebih sering pada laki -laki daripada perempuan.

Adenokarsinoma memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus


dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian
perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut
lokal pada paru dan fibrosis interstitial kronik. Lesi sering kali meluas ke
pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh
sebelum lesi primer menyebabkan gejala -gejala.

Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma


dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel
ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar
dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan
paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-
tempat yang jauh.

Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang
terletak di sentral dengan peluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini
kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor
dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular.
Gambaran mitotik sering ditemukan. Bia sanya ditemukan nekrosis dan mungkin
luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush
artifact” pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang
paling jelas pada pemeriksaan sitologik adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel
tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan.

Karsinoma sel besar adalah sel -sel ganas yang besar dan berdiferensiasi
sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam -macam.

23
Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan
penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat -tempat yang jauh.

Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan
mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor -tumor ini penting karena dapat
menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam jiwa.

Ada dua tipe utama kanker paru:

• Small cell lung cancer (SCLC): kanker paru jenis karsinoma sel kecil
(KPKSK)

• Non-small cell lung cancer (NSCLC): kanker paru jenis karsinoma bukan
sel kecil (KPKBSK) yaitu terdiri dari :

- Adenokarsinoma yang mencakup 40% kanker paru, lebih banyak


muncul pada wanita.

- Skuamous sel karsinoma lebih jarang dijumpai, dan mencakup 25%


dari kasus kanker paru serta paling banyak terjadi pada pria dan orang
tua.

KPKBSK adalah tipe yang paling umum dari kanker paru, mencakup 75-
80% dari semua kasus. Membedakan KPKBSK and KPKSK sangatlah penting
karena kedua tipe kanker ini memerlukan terapi yang berbeda.

Gambar 3.1 Tipe Kanker Paru

24
Tahapan perkembangan kanker paru dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Tahap Kanker Paru Jenis Karsinoma Sel Kecil (KPKSK)

• Tahap terbatas, yaitu kanker yang hanya ditemukan pada satu bagian
paru-paru saja dan pada jaringan disekitarnya.

• Tahap ekstensif, yaitu kanker yang ditemukan pada jaringan dada di


luar paru -paru tempat asalnya, atau kanker ditemukan pada organ -
organ tubuh yang jauh.

b. Tahap Kanker Paru Jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK)

• Tahap tersembunyi, merupakan tahap ditemukannya sel kanker pada


dahak (sputum) pasien di dalam sampel air saat bronkoskopi, tetapi
tidak terlihat adanya tumor di paru-paru.

Pembagian stadium klinis kanker paru berdasarkan sistem TNM


International menurut Union Against ( IUAC/The American Joint Comittee on
Cancer (AJCC ) 1997 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 : Stadium Klinis Kanker Paru

STADIUM TNM

Karsinoma Tersembunyi Tx, N0, M0

Stadium 0 Tis, N0, M0

Stadium IA T1, N0, M0

Stadium IB T2, N0, M0

Stadium IIA T1, N1, M0

Stadium IIB T2, N1, M0

Stadium IIIA T3, N0, M0 ; T3, N1, M0

Stadium IIIB T berapa pun, N3, M0 T4, N berapa pun, M0

25
Stadium IV T berapa pun, N berapa pun, M1

3.6 Patofisiologi

Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen subbronkus


menyebabkan silia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan
karsinogen. Pengendapan karsinogen ini menyebabkan metaplasia, hiperplasia
dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hiperplasia dan
displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti
invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.

Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang
terbesar. Lesi ini menyebabkan obstruksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti
dengan supurasi di bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk,
hemoptisis, dyspnea, demam, dan dingin. Wheezing unilateral dapat terdengar
pada auskultasi.

Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan


adanya metastasis, khususnya pada hati. Metastasis kanker paru dapat terjadi ke
struktur – struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, perikardium,
otak, tulang rangka.

3.7 Diagnosis Kanker Paru

 Anamnesis

Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit
paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis
akan didapat keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktor –faktor lain
yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :

26
 Batuk-batuk dengan atau tanpa dahak (dahak putih, dapat juga
purulen)

 Batuk darah

 Sesak napas

 Suara serak

 Sakit dada

 Sulit atau sakit menelan

 Benjolan di pangkal leher

 Sembab muka dan leher dapat terjadi dan kadang -kadang


disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat.

Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di
otak, pembesaran hepar atau patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak
khas seperti :

 Berat badan berkurang

 Nafsu makan hilang

 Demam hilang timbul

 Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic Pulmonary


Osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia.

27
Gambar 3.2 : Alur Deteksi Dini Kanker Paru

 Manifestasi Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-
gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium
lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat :

- Lokal (tumor tumbuh setempat) :

• Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis

• Hemoptisis

• Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas

• Kadang terdapat kavitas seperti abses paru

• Ateletaksis

- Invasi lokal :

28
• Nyeri dada

• Dispnea karena efusi pleura

• Invasi ke perikardium → terjadi tamponade atau aritmia

• Sindrom vena cava superior

• Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis )

• Suara serak, karena penekanan pada nervous laryngeal recurrent

• Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf


simpatis servikalis

 Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang


yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis,
serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan
radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin tomografi komputer
toraks, skintigrafi tulang, bone survey, sonografi abdomen dan tomografi
komputer pada otak dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor
dan metastasis.

A) Foto toraks

Pemeriksaan foto toraks PA/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk


menilai pasien dengan kecurigaan terkena kanker paru. Tanda yang mendukung
keganasan adalah tepi yang irreguler, disertai indentasi pleura dan satelit tumor.
Jika pada foto toraks ditemukan lesi yang dicurigai sebagai keganasan, maka
pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk mengevaluasi lesi tersbeut.
Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura,
efusi perikardia dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk
menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja. Kewaspadaan dokter
terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita penyakit paru dengan

29
gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan. Seorang penderita
yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit
paru, harus disertai rujukan yang seterusnya yang teliti. Pemberian OAT yang
tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus
menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain masalahnya pengobatan
pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1 minggu juga
harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut bila
foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan
pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan
ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan. Keganasan
harus difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan atau cairan serohemoragik.

B.) CT scan Toraks

CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting


untuk mendiagnosis, menentukan stadium penyakit, dan menentukan segmen
paru yang terlibat secara tepat. CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar
adrenal untuk menilai kemungkinan metastasis hingga regio tersebut. CT scan
kepala/MRI kepala dengan kontras diindikasikan bila penderita mengeluh nyeri
kepala hebat untuk menilau kemungkinan adanya metastasis ke otak.

C.) Pemeriksaan khusus

Bronkoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis kanker paru.


Prosedur ini dapat membantu menentukan lokasi lesi primer, pertumbuhan tumor
intrakranial dan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dan
histopatologi, sehingga diagnosis dan stadium kanker paru dapat ditentukan.
Salah satu metode terkini adalah bronkoskopi fleksibel yang dapat menilai paru
hingga sebagian besar bronkus derajat keempat, dan kadang hingga derajat
keenam. Spesimen untuk menghasilkam pemeriksaan sitologi dan histologi
didapat melalui bilasan bronkus, sikatan bronkus dan biopsi bronkus. Prosedur ini
dapat memberikan hingga >90% diagnosis kanker paru dengan tepat, terutama
kanker paru dengan lesi pada regio sentral. Kontraindikasi prosedur bronkoskopi
ini yaitu hipertensi pulmoner berat, instabilitas kardiovaskular, hipoksemia

30
refrakter akibat pemberian oksigen tambahan, perdarahan yang tidak dapat
berhenti, dan hiperkapnia akut. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain
pneumotoraks dan perdarahan.

Bila tersedia, pemeriksaan Endobrachial Ultrasound (EBUS) dapat


dilakukan untuk membantu menilai kelenjar getah bening mediastinal, hilus,
intrapulmoner juga untuk penilaian lesi perifer dan saluran pernafasan, serta
mendapatkan jaringan sitologi dan histopatologi pada KGB yang terlihat pada CT
scan toraks maupun PET scan.

Biopsi transtorakal (TTB) merupakan tindakan biopsi paru transtorakal


yang dapat dilakukan tanpa tuntunan radiologic (blinded TTB) maupun dengan
tuntunan USG atau CT scan toraks untuk mendapatkan sitologi atau histopatologi
kanker paru.

Tindakan biopsi lain, seperti aspirasi jarum halus kelenjar untuk


pembesaran KGB, maupun biopsi pleura dapat dilakukan bila diperlukan.

3.8 Pentalaksanaan

Tujuan pengobatan kanker dapat berupa :

a) Kuratif

Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan


hidup klien.

b) Paliatif.

Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.

c) Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.

Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien


maupun keluarga.

d) Suportif

31
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal seperti pemberian
nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi.

Pilihan terapi pada pasien Kanker Paru :

A) Pembedahan

Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain,
untuk mengangkat semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan
sebanyak mungkin fungsi paru – paru yang tidak terkena kanker.

 Toraktomi eksplorasi.

Untuk mengkonfirmasi diagnosis tersangka penyakit paru atau toraks


khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsi.

 Pneumonektomi pengangkatan paru

Karsinoma bronkogenik bila aman dengan lobektomi tidak semua lesi


bisa diangkat.

 Lobektomi (pengangkatan lobus paru).

Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiektasis


atau bula emfisematosa, abses paru, infeksi jamur dan tumor jinak
tuberkulosis.

 Resesi segmental.

Merupakan pengangkatan atau atau lebih segmen paru.

 Dekortikasi.

Merupakan pengangkatan bahan -bahan fibrin dari pleura Viseral

B.) Radiasi

Radioterapi dilakukan pada beberapa kasus, sebagai pengobatan kuratif


dan bisa juga sebagai terapi adjuvant atau paliatif pada tumor dengan komplikasi,
seperti mengurangi efek obstruksi atau penekanan terhadap pembuluh darah atau

32
bronkus. Tindakan radiasi sering merupakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superior, nyeri tulang
akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau otak.

Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor:

1. Stadium penyakit

2. Stadium tampilan

3. Fungsi paru

Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui:

1. Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan

2. Penilaian batas sayatan oleh ahli patologi anatomi. Dosis radiasi yang
diberikan secara umum adalah 5000-6000 cGy, dengan cara pemberian 200
cGy/x, 5 hari perminggu.

3. Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah:

a) Hb>10g%

b) Trombosit > 100.000/mm3

c) Leukosit > 3000/dl

4. Radiasi paliatif diberikan pada grup yang kurang baik, yakni:

a) PS <70

b) Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan

c) Fungsi paru buruk

C.) Kemoterapi

Pemberian kemoterapi pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus
ditentukan. Jenis histologis tumor dan tampilan (performance status) harus lebih
dari 60 menurut skala Karnofsky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi

33
dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi
regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker
dapat dilakukan.

 Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen


kemoterapi adalah:

1. Platinum based therapy (sisplatin atau karboplastin)

2. Respon obyektif satu obat antikanker 15%

3. Toksisitas obat tidak melebihi grade 3 skala WHO

4. Harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 siklus pada


penilaian terjadi tumor progresif

 Regimen untuk KPKBSK adalah:

1. Platinum based therapy (sisplatin atau karboplastin)

2. PE (sisplatin atau karboplastin + etoposid)

3. Paklitaksel + sisplatin atau karboplastin

4. Gemsitabin + sisplatin atau karboplastin

5. Dosetaksel + sisplatin atau karboplastin

 Persyaratan pasien kemoterapi

Pasien dengan keganasan memiliki kondisi dan kelemahan - kelemahan


yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi efek samping yang tidak dapat
dielakkan, sebelum memberikan kemoterapi harus dipertimbangkan:

1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group


(ECOG) yaitu status penampilan <2

2. Jumlah leukosit > 3000/ml

3. Jumlah trombosit >120.000/ul

34
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misalnya Hb >10gr%

5. Kliren kreatinin di atas 60 ml/menit (dalam 24 jam)

6. Bilirubin < 2 ml/dl, SGOT dan SGPT dalam batas normal

7. Elektrolit dalam batas normal

8. Mengingat toksisitas obat sebaiknya tidak diberikan di atas umur


70 tahun.

Kemoterapi dapat diberikan jika memenuhi syarat antara lain:

1. Keadaan umum baik skala Karnofsky > 70

2. Fungsi hati, ginjal dan homeostatik baik

Syarat homeostatik baik:

a. Hb > 10gr%

b. Leukosit > 4000/dl

c. Trombosit > 100.000/dl

Tabel 3.2 Tabel skor karnofsky

35
Status penampilan penderita ini mengambil indikator kemampuan pasien,
dimana penyakit kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan
pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan
pilihan terapi yang tepat pada pasien sesuai dengan status penampilannya.

 Skala status penampilan menurut ECOG adalah:

1. Grade 0

Masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas


dan pekerjaan sehari-hari

2. Grade 1

Hambatan pada pekerjaan berat, namun masih mampu bekerja


kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan

3. Grade 2

Hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50% waktunya untuk


tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat
melakukan pekerjaan lain

4. Grade 3

Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50%


waktunya untuk tiduran

5. Grade 4

Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktivitas apapun, hanya dikursi


atau tiduran terus

Pemberian umum kemoterapi adalah sampai 6 siklus atau sekuen, bila


penderita menunjukkan respon yang memadai. Pengevaluasian respon terapi
dilakukan dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA setelah
pemberian (siklus) ke-2 dan apabila memungkinkan menggunakan tomografi
komputer toraks setelah 4 kali pemberian.

36
D.) Imunoterapi

Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada
hasil penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya

E.) Hormonoterapi

Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada
hasil penelitian di Indonesia yang menyokong manfaatnya

F.) Terapi gen

Metode dan manfaat pengobatan ini masih dalam penelitian

3.9 Efusi Pleura

Rongga pleura pada orang sehat berisi sekitar 20 ml cairan, biasanya


bersih tidak berwarna, mengandung < 1,5 gr protein / 100 ml dan 1.500 sel /
mikroliter. Efusi pleura dapat dideteksi pada foto toraks bila >50 ml. Efusi pleura
ganas didefinisikan sebagai efusi yang terjadi berhubungan dengan keganasan
yang dibuktikan dengan penemuan sel ganas pada pemeriksaan sitologi cairan
pleura atau biopsi pleura. Kenyataannya sel ganas tidak dapat ditemukan pada
sekitar 25% kasus efusi pleura yang berhubungan dengan penyakit keganasan,
sehingga jika hanya menggunakan definisi di atas dapat terjadi kekeliruan pada
kasus dengan sitologi atau histologi negatif. Pada kasus efusi pleura bila tidak
ditemukan kanker primer di paru atau organ lain, Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
memasukannya sebagai EPG. Pada beberapa kasusm diagnosis EPG didasarkan
pada sifat keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang serohemoragik atau
hemoragik, berulang, masif, tidak respon terhadap antiinfeksi atau sangat
produktif meskipun telah dilakukan torakosintesis untuk mengurangi volume
cairan intrapleura (Syahruddin, E., Hudoyo, A., Arief N, 2013). Efusi pleura dapat
terjadi pada penyaki tumor ganas intratoraks, organ ekstratoraks maupun
keganasan sistemik. Efusi pleura ganas sering menimbulkan masalah di bidang

37
diagnostik maupun penatalaksanaan. Masalah yang perlu ditanggulangi adalah
mencari dan mengobati tumor primer, serta mengatasi gangguan pernapasan
akibat akumulasi cairan pleura, yang mugkin dapat mengancam hidup penderita
(PDPI, 2003).

Seperti pada penderita efusi pleura lain, efusi pleura ganas memberikan
gejala sesak napas, napas pendek, batuk, nyeri dada dan isi dada yang terasa
penuh. Gejala ini sangat bergantung pada jumlah cairan dalam rongga pleura
(PDPI, 2003). Pada anamnesis kecuali gejala klinis seperti sesak napas yang
berkaitan dengan volume cairan atau keluhan lain maka riwayat perjalanan klinis
yang mengarah ke penyakit keganasan rongga toraks dan organ luar toraks lain
harus dapat digali secara baik, sistemik dan tepat. Faktor risiko untuk penyakit
keganasan lain yang dipunyai pasien dapat memperkuat analisis, misalnya laki-
laki usia lebih dari 40 tahun dan perokok atau perempuan dengan riwayat pernah
dikemoterapi untuk kanker payudara. Kebanyakan kasus EPG simptomatis
meskipun sekitar 15% datang tanpa gejala, terutama pasien dengan volume cairan
kurang dari 500ml. Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus EPG terutama
jika volume cairan sangat banyak. Sesak napas terjadi karena refleks neurogenik
paru dan dinding dada karena penurunan keregangan paru (compliance),
penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum ke arah
kontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral. Meskipun terjadi perubahan
fungsi paru pada penderita EPG misalnya perubahan volume ekspirasi paska detik
pertama (VEP1) tetapi perubahan itu saja belum memadai untuk dapat
menjelaskan mekanisme sesak. Hipotesis lain yaitu sesak napas terjadi karena
berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi restriksi toraks
oleh cairan. Gejala lain adalah nyeri dada sebagai akibat reaksi inflamasi pada
pleura parietal terutama pada mesotelioma, batu, batuk darah (pada karsinoma
bronkogenik), anoreksia dan berat badan turun (Syahruddin., et al, 2013).

Pemeriksaan fisis bukan hanya berguna untuk menentukan lokasi dan


perkiraan volume cairan saja, tetapi untuk menemukan kelainan lain di tubuh
penderita, misalnya tumor di daerah leher, supraklavikula, aksila, payudara,
dinding dada, intraabdomen atau pembesaran prostat pada laki-laki. Dengan

38
pemeriksaan yang teliti juga dapat memprediksi kegawatan, misalnya tanda-tanda
sindrom vena kava superior (SVKS), karena penekanan oleh tumor. Tanda-tanda
yang dapat ditemukan antara lain edema pada wajah dan lengan kanan disertai
peningkatan tekanan vena jugularis dan tampak venektasi di dada. Masalah SVKS
sering terjadi pada tumor paru dan mediastinum yang kadang membutuhkan
penatalaksanaan segera meskipun diagnosis pasti belum dapat ditegakkan
(Syahruddin., et al, 2013). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gerakan
diafragma berkurang dan deviasi trakes dan/atau jantung ke arah kolateral,
fremitus melemah, perkusi redup dan suara napas melemah pada sisi toraks yang
sakit (PDPI,2003).

Patofisiologi EPG masih belum jelas belum jelas benar tetapi berkembang
beberapa hipotesis untuk menjelaskan mekanisme EPG itu. Akumulasi efusi di
rongg pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah karena
reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel kanker pada pleura parietal
dan/atau viseral. Pendapat lain menyatakan bahwa pada kasus tumor dengan
perluasan langsung, tumor ditemukan pada pleura parietal tetapi tidak pada
viseral. Berdasarkan hasil itu disimpulkan bahwa implikasi sel ganas di pleura
viseral terjadi akibat emboli tumor ke paru sedangkan pada pleura parietal adalah
akibat kelanjutan proses yang terjadi di pleura viseral. Mekanisme lain yang
mungkin adalah invasi langsung tumor yang berdekatan dengan pleura, obstruksi
pada kelenjar limfe, penyebaran hematogen atau tumor primer pleura
(mesotelioma). Gangguan penyerapan cairan oleh pembuluh limfe pada pleura
parietal akibat deposit sel kanker itu menjadi penyebab akumulasi cairan di
rongga pleura. Teori lain menyebutkan terjadi peningkatan permeabilitas yang
disebabkan oleh gangguan fungsi beberapa sitokin antara lain tumor necrosing
factor-α (TNF-α), tumor growth factor-β (TGF-β) dan vascular endothelial
growth factor (VEGF). Mekanisme lain EPG dikaitkan dengan gangguan
metabolisme, menyebabkan hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotik
yang memudahkan perembesan cairan ke rongga pleura (Syahruddin., et al, 2013).

Diagnosis dapat ditegakan bila didapatkan sel ganas dari hasil


pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Meski terkadang sulit

39
didapatkan dan dugaan berdasarkan sifat dna produktifili cairan yang dihasilkan.
Menegakkan diagnosis efusi pleura ganas serta menetapkan tumor primer yang
menjadi penyebabnya merupakan langkah pertama penanggulangan efusi pleura
ganas. Seperti penyakit lain, anamnesis yang sistematis dan teliti dapat menuju ke
pencarian tumor primer. Pemeriksaan fisik perlu untuk menentukan lokasi dan
tingkat berat ringannya keluhan dan perlu tidaknya tindakan segera untuk
mengurangi keluhan dan terkadang untuk menyelamatkan nyawa penderita.
Pemeriksaan fisik menyeluruh perlu dilakukan untuk mencari tumor primer.
Pemeriksaan laboratorium cairan pleura dapat memastikan cairan adalah eksudat.
Pemeriksaan sitologi cairan pleura adalah hal yang tidak boleh dilupakan jika kita
menduga efusi pleura ganas. Pemeriksaan radiologik dengan foto toraks
PA/Lateral untuk menilai masif tidaknya cairan yang terbentuk, juga
kemungkinan melihat terdapatnya tumor primer. Untuk mendapatkan data yang
informatif, pemeriksaan CT scan toraks sebaiknya dilakukan setelah cairan dapat
dikurangi semaksimal mungkin. Pemeriksaan penunjang lain seperti biopsi pleura
akan sangat membantu. Tindakan bronkoskopi, biopsi transtorakal, USG toraks,
dan torakotomi eksplorasi adalah prosedur tindakan yang terkadang perlu
dilakukan untuk penegakan diagnosis (PNPK, 2017).

Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam penatalaksanaannya


yaitu pengobatan lokal dan pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan
dengan stage dan jenis tumor. Tidak jarang tumor primer sulit ditentukan, maka
aspek pengobatan lokal menjadi pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak
napas yang sangat mengganggu, terutama bila produksi cairan berlebihan dan
cepat. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, punksi pleura, pemasangan
WSD dan pleurodesis untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat
dipakai, antara lain, talk, tetrasiklin, mitomisin-C, adriamisin, dan bleomisin. Bila
tumor primer berasal dari paru dan dari cairan pleura ditemukan sel ganas maka
efusi pleura ganas termasuk T4, tetapi bila ditemukan sel ganas pada biopsi pleura
termasuk stage IV. Bila setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer
paru tidak ditemukan, dan tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan,
maka efusi dianggap berasal dari paru. Apabila tumor primer ditemukan di luar
paru, maka efusi ini termasuk gejala sistemik tumor tersebut dan pengobatan

40
disesuaikan dengan penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya
(PDPI,2003).

Gambar 3.3 Alur diagnosis efusi pleura

Gambar 3.4 Alur penatalaksanaan efusi pleura

41
3.10 Sindrom Vena Kava Superior

Sindrom ini muncul bila terjadi gangguan aliran oleh berbagai sebab, di
antaranya tumor paru dan tumor mediastinum. Gangguan ini pada penderita
kanker paru muncul akibat penekanan atau invasi massa ke vena kava superior,
sehingga menimbulkan gejala SVKS.

Keluhan yang ditimbulkan tergantung berat ringannya gangguan, sakit


kepala, sesak napas, batuk, sinkop, sakit menelan, dan batuk darah. Pada keadaan
berat selain gejala sesak napas yanng hebat dapat dilihat pembengkakan leher dan
lengan kanan disertai pelebaran vena-vena subkutan leher dan dada. Keadaan ini
kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi untuk mengatasi keluhan.

Bila keadaan umum penderita baik (PS>50) maka harus dilakukan


prosedur diagnostik untuk mendapatkan jenis sel kanker. Namun, tindakan radiasi
cito harus segera diberikan bila keluhan sesak napas sangat berat dan setelah
gejala berkurang, prosedur diagnostik harus dilakukan. Tindakan radioterapi
selanjutnya tergantung dari kondisi berikut:

 Bila belum ada hasil PA: radiasi 2-3 Gy perfraksi, dengan penilaian klinis
setiap hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila respon tidak memuaskan

 Bila hasil PA sudah ada:

 Untuk keadaan gawat darurat penyinaran dapat diberikan dengan dosis 3


Gy/fraksi

 Bila tidak gawat darurat, dosis radiasi berdasarkan staging penyakit

 Untuk stage IV, dosis 3 Gy/fraksi sampai 10 kali atau dosis 4 Gy/fraksi
sampai 5 kali

42
Gambar 3.5 Alur penatalaksanaan SVKS

43
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Analisa Kasus Dan Teori
Tn. HM (48 tahun) didiagnosis Kanker paru dengan komplikasi efusi
pleura post WSD dan sindrom vena kava superior berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis

Fakta Teori
 Pasien datang dengan keluhan sesak Gejala yang ditemukan pada kanker
napas, nyeri dada kanan, dan batuk paru:
 Batuk-batuk dengan atau tanpa dahak
sejak 3 bulan SMRS.
(dahak putih, dapat juga purulen)
 nafsu makannya menurun sejak 3
bulan yang lalu disertai penurunan  Batuk darah
berat badan.
 Sesak napas
 Keluarga pasien mengaku bahwa
pasien sebelumnya sempat  Suara serak
mengkonsumsi OAT selama sebulan
 Sakit dada
kemudian badannya menguning
 Sulit atau sakit menelan

 Benjolan di pangkal leher

 Sembab muka dan leher dapat


terjadi dan kadang -kadang disertai
sembab lengan dengan rasa nyeri yang
hebat.

Gejala yang ditemukan pada efusi


pleura:

 Sesak napas

 Napas pendek

44
 Batuk

 Nyeri dad

 Isi dada yang terasa penuh

Gejala yang ditemukan pada SVKS:

 Sakit kepala

 Sesak napas

 Batuk

 Sinkop

 Sakit menelan

 Batuk darah

Pada pasien ini didapatkan anamnesis yang sesuai dengan teori kanker paru yaitu
sesak napas, nyeri dada, batuk, anoreksia, berat badan menurun. Gejala yang
sesuai teori dengan efusi pleura berupa nyeri dada. Gejala yang sesuai dengan
teori SVKS berupa sesak napas, batuk, batuk darah. Namun, kanker paru sendiri
memiliki gejala yang mirip dengan gejala penyakit lainnya sehingga selain
anamnesis dibutuhkan pemeriksaan penunjang lain yang mendukung.

45
Pemeriksaan Fisik

Fakta Teori
 Kesadaran : E4V5M6 Pemeriksaan fisik kanker paru:
 TD: 110/70 mmHg RR : 28x/i, SpO2  Inspeksi tergantung besarnya tumor,
98% cenderung tidak terlihat dari luar
 N: 80x/i, regular Temp: 37,6 Co
 Perkusi redup pada massa
Pemeriksaan Fisik
 Auskultasi suara napas dapat menurun
Mata: konjungtiva palpebra pucat (-/-) ikterik
(+/+) Pemeriksaan fisik efusi pleura:
Leher : pemb KGB(+/-)  Inspeksi tergantung banyaknya cairan
Toraks: Tidak simetris, retraksi (-), chest tube:
 Palpasi fremitus dapat menurun
undulasi (+), expiratory bubble (-),
 Perkusi redup
P: VES -/+, Rh -/-, Wh -/-
C: S1S2 tgl,m(-), g(-)  Auskultasi suara napas menurun
Abdomen: venektasi (+) Pemeriksaan fisik SVKS:
Ekstremitas superior: udema (+/+), akral hangat
 Udema leher dan lengan
Ekstremitas inferiot: udema (-/-), akral hangat
 Venektasi

Pemeriksaan Penunjang
.
Fakta Teori

46
Hasil pem. BTA BTA I Negatif Pemeriksaan penunjang
BTA II Negatif BTA III Negatif
 Pemeriksaan rontgen toraks
PA/Lateral

 CT scan toraks

 Bronkoskopi

47
Penatalaksanaan

Fakta Teori

 Infus RL 1500 cc/24 jam Tatalaksana Kanker Paru:


 Ranitidin inj. 1amp/12 jam  Kuratif
 Ketorolac inj. 1 amp/12 jam bila  Paliatif
nyeri  Suportif
 Tramadol drip 1 amp dalam PBNS Tatalaksana Efusi pleura
/ 8jam  WSD
 Furosemid inj. 1amp / 12 jam jika Tatalaksana SVKS
TD >=100 mmHg sistol
 Radiasi
 Cefixime sirup 100 mg / 12 jam
 Codein tablet 1 tab/8 jam
 MST tablet 10 mg / 24 jam
(malam)
 Rawat luka / 2hari
 Chest fisioterapi
 Produksi drain dievaluasi tiap 24
jam

48
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Diagnosis pada kasus ini adalah Kanker paru dengan komplikasi efusi
pleura dan sindrom vena kava superior dan telah dilakukan penanganan sesuai
dengan literatur.

5.2. Saran
1. Pentingnya promotif dalam masyarakat agar mengurangi konsumsi rokok
yang merupakan suatu faktor risiko utama kejadian kanker paru.
2. Dilakukan suatu autopsi klinis guna mempertegas diagnosis mengingat
pada pasien ini belum dilakukan CT scan yang direncanakan sebelum meninggal.

49
DAFTAR PUSTAKA

Aliyah, NS., Emmy, H., Andriyoko, B (2016) Kanker Paru: Sebuah Kajian
Singkat. Ina J Chest Crit and Emergency Med, Vol. 4, No 1. Jakarta.

Infodatin (2015) Situasi Penyakit Kanker. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Komite Penanggulangan Kanker Nasional (2017) Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Kanker Paru. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) Pedoman Diagnosis &


Penatalaksanaan Kanker Paru di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.

Syahruddin, E., Hudoyo, A., Arief N (2013) Efusi Pleura Ganas pada Kanker
Paru. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

50

Anda mungkin juga menyukai