Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

LATAR BELAKANG

Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang


secara aktif terhadap suatu penyakit tertentu, sehingga bila suatu saat terpapar dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Beberapa penyakit menular yang
termasuk ke dalam Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) antara lain TBC,
difteri, tetanus, hepatitis B, pertusis, campak, rubella, polio, radang selaput otak, dan radang
paru-paru. Di Indonesia, setiap bayi (usia 0-11 bulan) diwajibkan mendapatkan imunisasi dasar
lengkap yang terdiri dari 1 dosis Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-HiB, 4 dosis polio
tetes, dan 1 dosis campak/MR (Kemenkes RI, 2018).

Dari imunisasi dasar yang diwajibkan tersebut, campak/MR menjadi salah satu jenis
imunisasi yang mendapat perhatian lebih, hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia pada global
untuk turut serta dalam eliminasi campak dan pengendalian rubela pada tahun 2020 dengan
mencapai cakupan campak minimal 95% di semua wilayah secara merata. Hal ini terkait dengan
realita bahwa campak menjadi salah satu penyebab utama kematian pada balita dan infeksi
rubela menyebabkan cacat bawaan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi
rubella (Kemenkes RI, 2018).

Rubela pada ibu hamil dapat mengakibatkan komplikasi yang serius pada janin berupa
kematian janin, kelahiran prematur, cacat bawaan atau sindrom rubela kongenital terutama bila
ibu hamil terinfeksi pada trimester pertama kehamilan (Cherry, 2004). Rubela merupakan
penyakit yang bersifat epidemik. Pada tahun 1993 Centers for Disease Controland Prevention
(CDC) mencanangkan eliminasi rubela di Amerika Serikat pada tahun 2000, tetapi pada tahun
2001-2004 masih dilaporkan 9 kasus rubela dan 4 kasus sindrom rubela kongenital. Oleh karena
itu, rubela merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara.4-7 World Health
Organization (WHO) memperkirakan 100.000 kasus sindrom rubela kongenital terjadi setiap
tahunnya terutama di negara berkembang (WHO, 2000).

Imunisasi terhadap rubela bertujuan untuk mencegah lahirnya bayi dengan sindrom
rubela kongenital dan telah dimulai sejak tahun 1969 (Cutts, 1997). Negara yang sudah
memasukkan vaksin rubela dalam program imunisasi rutinnya telah berhasil menurunkan angka
kejadian rubela sekaligus kasus sindrom rubela kongenital (Kremer, 2006).

Ketidaktahuan orang tua, pengertian yang salah, dan dipengaruhi oleh isu-isu yang
disebarkan dengan tidak bertanggung jawab membuat beberapa orang tua tidak mau anaknya
diimunisasi. Dampaknya anak tidak diimunisasi dan mudah diserang penyakit berbahaya, terjadi
wabah, sakit berat, cacat, hingga kematian khususnya akibat penyakit rubella.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit tertentu, sehingga bila suatu saat terpapar dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Beberapa penyakit menular yang
termasuk ke dalam Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) antara lain TBC,
difteri, tetanus, hepatitis B, pertusis, campak, rubella, polio, radang selaput otak, dan radang
paru-paru. Anak yang telah diberi imunisasi akan terlindungi dari berbagai penyakit berbahaya
tersebut, yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian. Imunisasi merupakan salah satu
intervensi kesehatan yang terbukti paling cost-effective (murah), karena dapat mencegah dan
mengurangi kejadian kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat PD3I yang diperkirakan 2
hingga 3 juta kematian tiap tahunnya (Kemenkes RI, 2018).
Berdasarkan jenis penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan menjadi imunisasi
program dan imunisasi pilihan. Imunisasi program adalah imunisasi yang diwajibkan kepada
seseorang sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan
masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Sedangkan imunisasi
pilihan adalah imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya
dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit tertentu (Kemenkes RI, 2018).
Imunisasi Program terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi
khusus. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan. Imunisasi dasar
diberikan pada bayi sebelum berusia satu tahun, sedangkan imunisasi lanjutan diberikan pada
anak usia bawah dua tahun (Baduta), anak usia sekolah dasar dan wanita usia subur (WUS).
Imunisasi tambahan merupakan jenis Imunisasi tertentu yang diberikan pada kelompok umur
tertentu yang paling berisiko terkena penyakit sesuai dengan kajian epidemiologis pada periode
waktu tertentu. Imunisasi khusus dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat
terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu seperti persiapan keberangkatan calon jemaah
haji/umroh, persiapan perjalanan menuju atau dari negara endemis penyakit tertentu, dan kondisi
kejadian luar biasa/wabah penyakit tertentu (Kemenkes RI, 2018).
2.1.1 Imunisasi Dasar pada Bayi
Penentuan jenis imunisasi didasarkan atas kajian ahli dan analisis epidemiologi atas
penyakit-penyakit yang timbul. Di Indonesia, setiap bayi (usia 0-11 bulan) diwajibkan
mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 1 dosis Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis
DPT-HB-HiB, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis campak/MR.
Cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia dalam lima tahun terakhir selalu di atas
85%, namun masih belum mencapai target Renstra Kementerian Kesehatan yang ditentukan.
Pada tahun 2017 imunisasi dasar lengkap di Indonesia sebesar 91,12%. Angka ini sedikit di
bawah target Renstra tahun 2017 sebesar 92%. Sedangkan menurut provinsi, terdapat 15 provinsi
yang mencapai target Renstra tahun 2017 (Kemenkes RI, 2018)

Gambar 2.1 Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Tahun 2013-2017

Dari imunisasi dasar yang diwajibkan tersebut, campak/MR menjadi salah satu jenis
imunisasi yang mendapat perhatian lebih, hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia pada global
untuk turut serta dalam eliminasi campak dan pengendalian rubela pada tahun 2020 dengan
mencapai cakupan campak minimal 95% di semua wilayah secara merata. Hal ini terkait dengan
realita bahwa campak menjadi salah satu penyebab utama kematian pada balita dan infeksi
rubela menyebabkan cacat bawaan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi
rubela. Dengan demikian pencegahan campak dan rubela memiliki peran signifikan dalam
penurunan angka kecacatan dan kematian pada balita. Tren cakupan imunisasi campak di
Indonesia cenderung menurun meskipun tetap berusaha mencapai target sebesar 95% seperti
yang disajikan pada Gambar 2.2 berikut (Kemenkes RI, 2018).

Gambar 2.2 Persentase Cakupan Imunisasi Campak Pada Bayi Di Indonesia Tahun 2008-2017

Gambar 2.3 Persentase Cakupan Imunisasi Campak Pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2017
2.1.2 Imunisasi Lanjutan pada Anak Baduta
Dalam upaya mempertahankan tingkat kekebalan agar tetap tinggi sehingga dapat memberikan
perlindungan dengan optimal, maka pemberian imunisasi pada seorang anak perlu ditambah
dengan dosis lanjutan (booster) untuk meningkatkan kekebalannya yang diberikan pada usia 18
bulan. Perlindungan optimal dari pemberian imunisasi lanjutan ini hanya didapat apabila anak
tersebut telah mendapat imunisasi dasar secara lengkap. Karena itu, sejak tahun 2014, secara
nasional program imunisasi lanjutan masuk ke dalam program imunisasi rutin dengan
memberikan 1 dosis DPT-HB-HiB(4) dan campak/MR(2) kepada anak usia 18-24 bulan
(Kemenkes, 2018).

2.1.3 Imunisasi Anak Sekolah


Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar diberikan pada kegiatan Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang diintegrasikan dengan kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS). Imunisasi yang diberikan adalah imunisasi campak, tetanus dan difteri. Dengan
berlakunya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi, maka pemberian imunisasi pada BIAS yang sebelumnya diberikan pada anak kelas 1,
2 dan 3 SD berubah menjadi diberikan pada kelas 1 (campak dan DT), 2 (Td) dan 5 SD (Td).
Pada tahun 2017-2018, pemberian imunisasi pada BIAS hanya dilakukan pada kelas 1 dan 2 saja,
sedangkan kelas 5 SD akan dilakukan mulai tahun 2019 (Kemenkes, 2018).

2.2 Sindrom Rubella Kongenital (SRK)


2.2.1 Definisi
Sindrom rubela kongenital (SRK) adalah suatu kumpulan gejala penyakit terdiri dari
katarak (kekeruhan lensa mata), penyakit jantung bawaan, gangguan pendengaran, dan
keterlambatan perkembangan, termasuk keterlambatan bicara dan disabilitas intelektual
(IDAI, 2016).

2.2.2 Etiologi
Sindrom rubela kongenital disebabkan infeksi virus rubela pada janin selama masa
kehamilan akibat ibu tidak mempunyai kekebalan terhadap virus rubela (IDAI, 2016).
2.2.3 Perjalanan Penyakit
Bayi dengan rubella kongenital dapat mengalami infeksi kronik sampai beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Sebagian besar bayi ini dapat menyebarkan virus sampai usia lebih
kurang 4 bulan, selanjutnya pada usia 1 tahun imunoglobulin serum akan kembali ke pola
normal. Waktu merupakan faktor penting pada patogenesis rubella kongenital. Keadaan ini dapat
terjadi bila infeksi didapat selama kehamilan 8 – 12 minggu (Gershon, 2004). Tidak seperti pada
rubella yang didapat pasca natal dengan cara transmisi infeksi melalui sekresi nasofaring, rubella
kongenital ditularkan dari ibu yang mengalami viremia. Maternal viremia akan diikuti oleh
infeksi plasenta dan selanjutnya terjadi viremia pada fetus. Keadaan ini menyebabkan
penyebaran infeksi pada banyak organ fetus (Gershon, 2004).

Gambar 2.1 Perjalanan penyakit rubella kongenital

2.2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang klasik pada sindrom rubella kongenital adalah pertumbuhan
terlambat intrauterin (IUGR), katarak, mikrosefal, tuli, penyakit jantung bawaan (PJB), dan
retardasi mental. Manifestasi sindrom rubella kongenital sangat bervariasi, dapat dilihat pada
tabel 2.1 (IDAI, 2014).
Tabel 2.1. Manifestasi klinis rubella kongenital

2.2.5 Penegakkan diagnosis


1. Anamnesis (Leung, 2003) :
- Adanya riwayat terkena infeksi rubella atau terpapar rubella pada masa kehamilan trimester
pertama,
- Adanya satu atau lebih manifestasi rubella kongenital seperti pada table 2.1.
2. Pemeriksaan fisik (Leung, 2003) : terdapat kelainan jantung bawaan dan katarak.
3. Pemeriksaan penunjang (Whitcomb, 2007) :
- Ditemukan IgM spesifik rubella dalam 3 bulan setelah kelahiran. Ada dan menetapnya IgG
spesifik rubella pada usia 4-6 bulan merupakan indikasi kuat adanya infeksi kongenital.
- Pemeriksaan PCR RNA virus pada urin, sediaan apus tenggorok, cairan serebro spinal.
2.2.6 Terapi
Terapi pada SRK meliputi (Ezike, 2017) :
1. Bayi baru lahir asimtomatik Diberikan terapi suportif, tidak ada terapi khusus. Dilakukan
uji tapis pemeriksaan mata dan pendengaran.
2. Sindrom rubella kongenital (SRK)
- Melakukan pemeriksaan evaluasi mata dengan teliti, dan bila terdapat perkabutan kornea,
katarak, dan retinopati rujuk ke dokter mata. Perkabutan kornea mengindikasikan adanya
glaukoma infantil.
- Terapi suportif di NICU mungkin diperlukan apabila bayi dengan SRK mengalami
distres pernafasan.
- Hepatosplenomegali harus dipantau secara klinis, tidak memerlukan intervensi tertentu.
- Pasien dengan hiperbilirubinemia memerlukan fototerapi, atau tranfusi tukar bila ikterus
berat, untuk mencegah terjadinya kernikterus.
- Kelainan hematologi umumnya tidak berat, tetapi seandainya bayi mengalami
trombositopenia yang berat dapat dipertimbangkan pemberian imunoglobulin intra vena
(IVIG). Kortikosteroid tidak diberikan karena bukan merupakan indikasi.
- Bayi dengan kelainan jantung perlu dilakukan pemantauan adanya tanda-tanda gagal
jantung kongestif. Pemeriksaan ekhokardiografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
kelainan jantung.
- Isolasi kontak diperlukan selama perawatan di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI; 2018.

2. IDAI. Practical Management in Pediatrics. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia


Cabang DKI Jakarta; 2014.

3. World Health Organization (WHO). Report of a meet-ing on preventing congenital


rubella sindrome: immu-nization strategies, surveillance needs. Geneva Switzer-land:
Department of Vaccines and Biologicals, WHO;2000.

4. Cherry JD. Rubella virus. Dalam: Feigin RD, CherryJD, Demmier GJ, Kaplan SL,
penyunting. Textbook ofPediatric Infectious Diseases Volume 2. Edisi ke-5. Phila-
delphia: WB Saunders;2004.h.2134-62.

5. Gershon AA. Rubella (German measles). Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL,
penyunting.Krugman’s Infectious diseases of children. Edisi ke-11. Philadelphia: Mosby,
2004. h.531-43.

6. Cutts FT, Robertson SE, Diaz JL, Samuel R. Control ofrubella and congenital rubella
syndrome (CRS) in de-veloping countries. Part 1: Burden of disease from CRS.Bull
World Health Organ 1997;75:55-68.

7. Kremer JR, Scneider F, Muller CP. Waning antibodiesin measles and rubella vaccinees-a
longitudinal study.Vaccine 2006;24:2594-601.

8. Leung AK, Sauve RS, Davies HD. Congenital Cytomegalovirus infection. J Natl Med
Assoc. 2003;95:213-8.

9. Ezike E, Steele RW. Pediatric rubella treatment and management. Diunduh dari
emedicine.medscape.com. Diakses pada 20 Maret 2019.

Anda mungkin juga menyukai