Anda di halaman 1dari 11

ABSTRAK

Penyakit Hirschsprung ditandai dengan tidak adanya ganglia enterik di usus distal dan disebabkan oleh
kegagalan sel-sel yang berasal dari enterik saraf untuk melakukan migrasi kraniokaudal di sepanjang usus
selama masa embriogenesis. Neonatus dengan Hirschprung biasanya tidak mengeluarkan mekonium
dalam 48 jam pertama setelah lahir. Meskipun terdapat kemajuan dalam diagnosis dan penatalaksanaan
penyakit, pasien tetap berisiko untuk mengalami morbiditas gastrointestinal jangka panjang, termasuk
gejala obstruktif, inkontinensia fekal, dan enterokolitis, dengan implikasi negatif pada kualitas
hidup. Terapi berbasis stem sel neuron sedang dieksplorasi sebagai pengobatan baru untuk penyakit ini.

TUJUAN
1. Mengidentifikasi presentasi klinis penyakit Hirschsprung.
2. Menjelaskan manajemen neonatus preoperatif dengan penyakit Hirschsprung.
3. Mendiskusikan tanda dan gejala enterokolitis terkait Hirschsprung.
4. Mengenali potensi komplikasi pasca operasi dan pahami manajemennya.
5. Menjelaskan dampak jangka panjang dari penyakit Hirschsprung pada kualitas hidup
pasien.

PENGANTAR
Penyakit Hirschsprung (HSCR) pertama kali dijelaskan oleh Harald Hirschsprung pada tahun
1886, tetapi patofisiologi penyakit ini kurang dipahami sampai tahun 1940-an. Pada saat itu, Orvar
Swenson mengidentifikasi tidak adanya sel-sel ganglion dalam usus distal dan secara fungsional
terhambat. Orvar Swenson menyimpulkan bahwa reseksi segmen aganglionik adalah pengobatan pilihan
dan melakukan prosedur pull-through pertama yang berhasil pada tahun 1948.
(1) Selama 2 dekade berikutnya, Orvar Swenson, Bernard Duhamel, dan Franco Soave
mengembangkan pendekatan bedah yang paling umum digunakan saat ini.
(2) Sementara pengobatan HSCR membutuhkan reseksi bedah dari segmen aganglionik,
diagnosis dini dan inisiasi terapi medis yang cepat sangat penting.
Neonatologis dan dokter pediatrik lainnya karena itu harus terbiasa dengan HSCR dan
mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi untuk diagnosis untuk mengurangi risiko komplikasi
yang terkait dengan penyakit ini. Ulasan ini akan menyoroti patofisiologi, presentasi klinis, diagnosis, dan
manajemen HSCR.
EPIDEMIOLOGI HSCR
Terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan merupakan penyakit neurointestinal kongenital
yang paling umum. (3) (4) Insiden bervariasi di antara etnis: 1 dalam 10.000 Hispanik, 1,5 dalam 10.000
kulit putih, 2,1 dalam 10.000 kulit hitam, dan 2,8 dalam 10.000 orang Asia. (5) 90% kasus HSCR
ditemukan pada periode bayi baru lahir. Sisanya terdiagnosis di kemudian hari, kadang-kadang selama
masa remaja atau dewasa, meskipun frekuensi ini telah menurun dengan meningkatnya keawasan akan
penyakit tersebut. HSCR ditandai oleh aganglionosis usus yang dimulai di ujung distal usus dan
memanjang secara proksimal dengan panjang yang bervariasi. Bentuk yang paling umum, ditemukan
adalah "Hirschsprung segmen pendek," mempengaruhi 80% pasien, dan terbatas pada rektosigmoid. Pada
Hirschprung segmen panjang aganglionosis meluas ke proksimal kolon sigmoid, dengan total
aganglionosis kolon terjadi pada 5% kasus, (6) sering meluas ke ileum terminal. Sekitar 1% dari pasien
memiliki aganglionosis usus total yang melibatkan usus kecil dan besar. Laki-laki mendominasi di antara
pasien dengan HSCR segmen pendek, dengan rasio pria-wanita 4: 1, (7) (8) sementara aganglionosis
segmen panjang mempengaruhi jenis kelamin secara setara.

PATOFISIOLOGI
HSCR merupakan penyakit bawaan sistem saraf enterik (ENS), yang berkaitan dengan jaringan
saraf kompleks yang ada di dinding saluran pencernaan. ENS adalah persarafan intrinsik usus yang
mampu berfungsi secara otonom dengan tidak adanya input sistem saraf pusat. ENS mengontrol banyak
aspek fungsi usus, termasuk motilitas, sensasi, penyerapan, sekresi, integritas barier, dan kekebalan. (9)
ENS muncul secara embriologis dari sel-sel krista neural yang memisah dari tabung saraf dorsal dan
bermigrasi ke foregut pada sekitar minggu ke 4 perkembangan manusia. Sel-sel ini bermigrasi secara
kraniokaudal untuk mengisi seluruh panjang saluran gastrointestinal pada minggu ke 7, (10) membentuk
pola 2 cincin konsentris ganglia enterik yang saling berhubungan, disebut pleksus submukosa (Meissner)
dan mienterik (Auerbach). HSCR merupakan hasil dari kegagalan sel-sel ini untuk bermigrasi,
menjadikan usus bagian distal menjadi aganglionik dan akibatnya secara fungsional terhambat. Penyebab
yang mendasari HSCR terutama tampaknya kelainan dalam proliferasi, migrasi, dan diferensiasi sel-sel
yang diturunkan dari neural crest enteral. Penelitian pada embrio burung dan hewan pengerat telah
menunjukkan bahwa proliferasi atau kelangsungan hidup sel yang tidak memadai, migrasi sel yang
tertunda, dan diferensiasi neuron prematur semuanya dapat berkontribusi pada penghentian migrasi sel
dan kegagalan sel-sel yang diturunkan dari krista neural enterik untuk mencapai ujung distal dari
usus. (11) Segmen aganglionik yang dihasilkan menjadi berkontraksi, kemungkinan karena
ketidakseimbangan inervasi persarafan ENS yang lebih bersifat kolinergik yang berakibat
eksitasi. Segmen aganglionik menghasilkan obstruksi, dengan karakteristik "megakolon" di
proksimal. HSCR memiliki pola pewarisan non-mendelian kompleks yang lebih rumit oleh penetrasi
variabel dan ekspresi fenotipik yang tidak lengkap. (12), reseptor tirosin kinase hadir pada sel-sel turunan
saraf enterik dan diperlukan untuk kelangsungan hidup, proliferasi, migrasi, dan diferensiasi
mereka. Hampir semua pasien memiliki mutasi coding atau noncoding pada gen RET. Gen lain yang
terkait dengan penyakit ini ditunjukkan pada Tabel 1. (13) Sebagian besar kasus HSCR bersifat sporadis,
dengan sekitar 20% bersifat familial. (14) Kasus familial lebih sering dikaitkan dengan HSCR segmen
panjang dan identifikasi mutasi urutan pengkodean dalam RET. Beberapa sindrom genetik juga dikaitkan
dengan HSCR. Yang paling umum di antara ini adalah trisomi 21, yang mempengaruhi 10% dari semua
anak-anak dengan HSCR. 30% kasus HSCR lainnya dikaitkan dengan sindrom lain (Tabel 2). (14)

DIAGNOSIS
Kegagalan bayi untuk mengeluarkan mekonium dalam waktu 48 jam harus dipikirkan
kemungkinan HSCR. Dalam sebuah artikel penting pada tahun 1955, Sherry dan Kramer melaporkan
bahwa 94% dari bayi cukup bulan akan buang air besar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran, dan
99,8% akan mengeluarkan tinja dalam waktu 48 jam. (15) Di antara bayi baru lahir dengan HSCR, hanya
6% yang mengeluarkan meconium dalam 24 jam, tetapi 37% hingga 54% akan mengeluarkan meconium
hingga 48 jam. (16) (17) Oleh karena itu, kegagalan untuk mengeluarkan meconium dalam waktu 48 jam
setelah kelahiran tentu harus dipikirkan kemungkinan HSCR, faktor kelainan pada jalan keluar feses juga
dapat dipikirkan. Selain tertundanya mekonium, tanda-tanda klinis penting lainnya dari HSCR pada
neonatus termasuk distensi abdomen, emesis bilious atau nonbilious, kesulitan makan, dan
pneumoperitoneum atau tanda-tanda peritonitis. Sekitar 10% hingga 24% anak-anak dengan HSCR akan
datang dengan diare, seringkali dengan perut kembung, muntah, atau demam, yang kemudian dapat
dipikirkan diagnosis Hirschsprung Associated Enterocolitis (HAEC). (18) (19) (20) (21) HAEC dapat
terjadi sebagai pendukungj HSCR atau dapat terjadi setelah diagnosis pasti telah dibuat, baik sebelum
atau setelah pembedahan. Oleh karena itu, dokter harus mempertahankan keawasan yang tinggi untuk
diagnosis HSCR, bahkan ketika pasien datang dengan diare. Ketika berhadapan dengan bayi baru lahir
dengan obstipasi, ahli neonatologi harus mempertimbangkan diagnosis lain yang mungkin selain
HSCR. Ini termasuk sindrom plug meconium, sindrom kolon kiri kecil, meconium ileus, malformasi
anorektal, dan atresia kolorektal. Oleh karena itu pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian adanya,
posisi, dan ukuran anus, serta evaluasi untuk sindrom yang menyertai (Tabel 2). Jika kecurigaan klinis
untuk HSCR berlanjut, maka direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan kontras enema, kontras
yang digunakan biasanya larut dalam air. Diagnosis sindrom meconium plug atau kolon kiri kecil pada
studi kontras tidak dapat menyingkirkan diagnosis HSCR, karena kedua kondisi ini dapat dikaitkan
dengan HSCR. (22) (23) HSCR memiliki beberapa karakteristik pada kontras enema. Temuan klasik yang
dapat ditemui adalah rasio rectosigmoid. Biasanya, diameter rektum kira-kira sama dengan diameter usus
sigmoid. Ketika rasio rectosigmoid kurang dari 1, kecurigaan untuk HSCR meningkat. Temuan lain
adalah adanya zona transisi, yang terlihat sebagai perubahan kaliber tiba-tiba antara dilatasi kolon
proksimal dan kolon / rektum distal yang sempit.(24) Gambaran sawtooth appearance (gigi gergaji) atau
berbintik-bintik pada mukosa anus juga menimbulkan kecurigaan. Karakteristik enema kontras pada bayi
baru lahir dengan HSCR ditunjukkan pada Gambar. Namun, penting untuk dicatat bahwa kelainan
radiografi mungkin tidak terdapat pada bayi baru lahir karena usia mereka yang muda dan waktu yang
tidak cukup untuk terjadinya pelebaran usus proksimal. Dalam studi terbaru tentang kontras enema pada
neonatus dengan HSCR, 75% memiliki rasio rectosigmoid abnormal, 85% memiliki zona transisi, dan
hanya 50% memiliki spikulasi mukosa. (25) Bahkan ketika terdapat zona transisi, kontras enema tidak
dapat memprediksi panjang aganglionosis, terutama dalam kasus HSCR segmen panjang, di mana
sensitivitas kontras enema telah dilaporkan hanya 62,5%, dibandingkan dengan 91,7% untuk pasien
dengan penyakit segmen pendek.(26) Ketika terdapat kecurigaan untuk HSCR dengan adanya temuan pada
kontras enema, evaluasi tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Standar emas untuk
mendiagnosis HSCR adalah biopsi rektal untuk konfirmasi histologis dengan tidak didapatkannya sel
ganglion di rektum distal. Dr Swenson membuat pengamatan ini ketika dia menggambarkan kegunaan
biopsi rektal untuk diagnosis penyakit.(27) Biopsi rektal fullthickness paling sering digunakan untuk
diagnosis sampai pertengahan 1960-an, ketika Dobbins dan Bill menunjukkan bahwa sel ganglion dapat
terlihat pada sampel biopsi aspirasi rektum.(28) Saat ini, 80% dokter di seluruh dunia mengandalkan biopsi
aspirasi untuk mendiagnosis HSCR. (29) Manfaat dari teknik ini adalah dapat dilakukan tanpa anestesi
dengan rasa sakit minimal, dan tidak perlu penjahitan di daerah biopsi. Satu kelemahan dari biopsi
aspirasi rektum adalah ukuran sampel yang kecil dibandingkan dengan spesimen biopsi dengan biopsi
full-thickness. Namun selama submukosa yang cukup dapat terambil pada sampel, pleksus submukosa
dapat diperiksa menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E). Ahli patologi umumnya
memindai 50 hingga 100 bagian sampel untuk mengkonfirmasi tidak adanya sel ganglion. Terdapatnya
serabut saraf hipertrofik yang berasal dari persarafan ekstrinsik ke usus di lamina propria dikaitkan
dengan suatu HSCR.(29) Di beberapa pusat kesehatan, pewarnaan asetilkolinesterase (AChE) terus
digunakan sebagai tambahan untuk pewarnaan H&E, dengan adanya serabut saraf positif AChE yang
lebih tebal dan lebih padat, khususnya pada mukosa muskularis yang mendukung diagnosis HSCR. (30) (31)
Namun pewarnaan AChE membutuhkan jaringan beku, secara teknis menantang, dan dikaitkan dengan
variabilitas interobserver yang signifikan dalam interpretasi. Selama beberapa tahun terakhir, telah diganti
oleh calretinin yang merupakan pewarnaan yang lebih dapat diandalkan dan dapat dilakukan pada
jaringan parafin. Tidak adanya calretinin dalam lamina propria merupakan diagnostik untuk HSCR. (31)(32)
Tes diagnostik tambahan lainnya yang dapat dipertimbangkan pada pasien yang diduga menderita HSCR
adalah anorectal manometry (ARM). Distensi anus dengan Balon biasanya dapat mengakibatkan relaksasi
refleks dari sfingter anal internal yang disebut sebagai rectoanal inhibitory reflex (RAIR). Pada pasien
dengan HSCR, RAIR tidak ada. (33) Anak dengan konstipasi parah tidak dibiopsi rektal kemudian dapat
dilakukan ARM dan menunjukkan RAIR normal. (3) Usia untuk menentukan tes ini dapat dilakukan masih
menadi kontroversi, beberapa penulis menyatakan bahwa neonatus mungkin tidak menunjukkan RAIR
akibat dari ketidakmatangan fungsi fisiologis anorektal. Namun tinjauan sistematis tes diagnostik yang
digunakan untuk HSCR termasuk analisis kelompok usia menemukan bahwa sensitivitas ARM pada bayi
di bawah 6 bulan adalah 88% dibandingkan dengan sensitivitas kelompok total 91%, menunjukkan bahwa
bahkan pada bayi di bawah 6 bulan, tes ini mungkin dapat bermanfaat. Benninga dkk dan de Lorijn dkk
menunjukkan bahwa bayi cukup bulan dan prematur yang berusia lebih dari 26 minggu memiliki RAIR
yang berkembang dengan baik pada distensi rektum dan dengan demikian dapat menjalani ARM untuk
diagnosis. (34) (35)
HSCR merupakan penyakit yang membutuhkan kepekaan klinis yang tinggi untuk
membuat diagnosis yang tepat waktu, sehingga meminimalkan risiko komplikasi seperti HAEC atau
perforasi usus. Dokter harus waspada dalam mengevaluasi neonatus yang gagal mengeluarkan mekonium
dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, sambil tetap mengingat bahwa hingga 54% anak-anak dengan
HSCR dapat mengeluarkan meconium secara normal. Dengan demikian, jika bayi mengeluarkan
meconium sebelum 48 jam, dan dari temuan klinis didapatkan distensi abdomen, disertai/tanpa disertai
muntah yang berat, dan kesulitan makan harus dipertimbangkan diagnosis HSCR.

MANAJEMEN KLINIS PREOPERATIF


Setelah diagnosis HSCR dikonfirmasi secara histologis, penatalaksanaan awal meliputi pelebaran
anus dan/atau pencucian anus untuk mengevakuasi feses, mendekompresi kolon/rektum, dan
meminimalkan stasis tinja yang dapat meningkatkan risiko untuk jatuh ke kondisi HAEC. (36)
Dekompresi kolon juga penting untuk menghindari dilatasi kolon yang berlebihan, yang memperumit
prosedur pull-through dan dapat mempengaruhi fungsi kolon pasca operasi. Pelebaran anus dengan
meregangkan sfingter ani cukup dapat mendorong evakuasi pada anak-anak dengan HSCR segmen
pendek. Hal ini dilakukan sekali atau dua kali sehari menggunakan dilator. Dilatasi anus harus ditunda 24
jam setelah biopsi rektal untuk meminimalkan risiko cedera. Jika pelebaran tidak efektif mengevakuasi
usus besar, dapat dilakukan irigasi rektal sekali atau dua kali sehari dengan memasukkan 20-30 mL saline
menggunakan kateter rektal sampai bersih. (37) Pada HSCR segmen panjang, terutama ketika
aganglionosis melebar proksimal ke fleksura lien, irigasi sering tidak memadai untuk mengevakuasi isi
usus besar dan pasien perlu menjalani diverting ostomi. Dalam prosedur ini dilakukan dengan anestesi
umum dan ahli bedah melakukan biopsi serial serta analisis sampel beku dilakukan oleh ahli patologi
yang berpengalaman sampai tingkat usus normal yang memiliki ganglion teridentifikasi. Kolostomi atau
ileostomi dilakukan pada level tersebut, oleh karena itu dinamakan leveling ostomy. Jika bayi memiliki
tanda atau gejala HAEC, termasuk diare eksplosif, perut kembung, lesu, demam, atau sepsis, pengobatan
harus segera dimulai, karena HAEC adalah penyebab paling umum kematian akibat HSCR. (38) (39) (40)

Dokter dan orang tua perlu menyadari diagnosis ini sehingga keterlambatan dalam pengobatan dapat
dihindari. Pengobatan HAEC termasuk mengistirahatkan usus, hidrasi cairan intravena, koreksi
ketidakseimbangan elektrolit, irigasi rektal, dan antibiotik spektrum luas. (41) Jika bayi tidak membaik
walaupun telah menjalani perawatan ini, harus dipertimbangkan untuk segera membuat ostomi.(3) Jika
pelebaran anus dan/atau irigasi rektal efektif untuk mendekompresi usus besar, pengasuh anak dapat
diajarkan untuk melakukan teknik ini dan bayi dapat dipulangkan. Waktu optimal untuk intervensi operasi
pada HSCR segmen pendek masih diperdebatkan dan bervariasi tergantung pada preferensi dokter
bedah. Secara umum banyak ahli bedah anak melakukan prosedur pull-through dalam 6 bulan pertama
kehidupan.

MANAJEMEN BEDAH
Prinsip yang mendasari pengobatan operasi HSCR adalah untuk menghilangkan segmen
aganglionik dan anastomosis usus proksimal, biasanya usus ganglion ke saluran anal, dan berhati-hati
untuk tidak melukai kompleks sfingter anal atau persarafan pelvis. Penentuan di mana batas usus dengan
ganglion enterik normal membutuhkan biopsi intraoperatif dengan evaluasi jaringan oleh ahli
patologi. Aganglionosis segmen pendek biasanya diobati dengan prosedur transanal satu tahap
menggunakan prosedur Swenson atau Soave. (42) (43)
Dalam prosedur pull-through Soave otot dubur
dibiarkan pada tempatnya dan usus ganglionik yang lebih proksimal ditarik ke bawah dan dianastomosis
ke anus. Hal ini dilakukan untuk menghindari diseksi di sekitar dubur, tempat persarafan pelvik
berada. Sebaliknya, prosedur Swenson mengandalkan diseksi full-thickness. Prosedur lain yang umum
digunakan adalah operasi Duhamel, yang melibatkan diseksi retorektal dan mempertahankan rektum
aganglionik. Usus berganglion diproksimal diturunkan di belakang rektum dan dilakukan anastomosis sisi
ke sisi. Hal ini menciptakan neorektum yang dapat berfungsi sebagai reservoir untuk tinja yang terdiri
dari kolon yang dipersarafi secara normal di posterior dan rektum aganglionik di bagian
anterior. Meskipun setengah bagian dari neorektum adalah aganglionik, namun masih mampu menyerap
air dan dengan demikian dapat mengurangi volume dan frekuensi tinja. Ketika memikirkan komplikasi
pasca operasi (kebocoran anastomosis, striktur, atau enterokolitis) dan fungsi anorektal pasca operasi
(konstipasi atau fecal incontinence), tampaknya tidak ada perbedaan yang signifikan antara prosedur
Soave, Swenson, dan Duhamel. (44) HSCR segmen panjang biasanya memerluka pendekatan
bertahap. Pada operasi pertama dilakukan leveling ostomi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Operasi
kedua, dilakukan pada usia 1 hingga 3 tahun tergantung pada preferensi ahli bedah, termasuk
menghilangkan usus aganglionik, menurunkan ostomi dan menganastomosis ke anus. Anastomosis usus
proksimal yang berganglion dapat dilakukan langsung dengan anastomosis ileoanal menggunakan teknik
Swenson atau Soave. Untuk kasus aganglionosis kolon total penulis lebih suka prosedur Duhamel, karena
itu membawa ileum berganglion ke anus dan menciptakan neorektum yang dapat berfungsi sebagai
reservoir dan mampu menyerap air, sehingga mengurangi morbiditas yang sering dikaitkan dengan
seringnya buang air besar.

Operasi yang dijelaskan di sini mengandalkan keahlian ahli patologis dalam evaluasi ganglia
enterik untuk menentukan di mana batas usus dengan ganglion normal. Jika ahli patologi atau ahli bedah
tidak yakin tentang level aganglionosisnya, pilihan teraman adalah melakukan beberapa biopsi,
meninggalkan ileostomi, dan menunggu diagnosis patologis yang pasti sebelum melanjutkan dengan
prosedur pull-through. Bahkan ketika ahli patologis mengidentifikasi di mana sel-sel ganglion hadir,
direkomendasikan untuk ahli bedah anak menghilangkan usus sepanjang 5 cm proksimal dari titik
tersebut. (45) Hal ni akan mengurangi risiko menciptakan "zona transisi", yang terjadi ketika segmen usus
yang relatif hipoganglionik terletak di antara usus aganglionik dan normoganglionik yang digunakan
untuk pull-through, sehingga mengakibatkan gejala obstruktif pascaoperasi yang sering membutuhkan
operasi ulang.

MANAJEMEN KLINIS POSTOPERATIF


Untuk pasien dengan HSCR, manajemen pasca operasi berfokus terutama untuk mengendalikan
rasa sakit, memantau output tinja, dan melanjutkan pemberian makanan enteral setelah fungsi usus
kembali. Mulai 1 minggu pasca operasi akan sering dilakukan dilatasi anal harian untuk mencegah
perkembangan dari striktur anastomosis. (3) Beberapa ahli bedah menganjurkan irigasi rectum rutin pasca
operasi mulai 1 hingga 2 minggu pasca operasi dan berlanjut selama 3 bulan karena terbukti mengurangi
risiko HAEC pasca operasi. (46) Pada akhirnya perawatan kulit perianal menjadi prioritas tinggi karena
kerusakan kulit akibat tinja, frekuensi buang air besar yang tinggi dapat menjadi tantangan utama bagi
anak-anak dan orang tua mereka. Krim sebagai barier harus dimulai segera setelah operasi penarikan dan
sebelum buang air besar pasca operasi pertama untuk membantu mencegah kerusakan kulit perianal
sekunder akibat sering buang air besar.

HASIL / PROGNOSIS
Hasil klinis setelah manajemen bedah HSCR dapat dibagi menjadi komplikasi awal pasca
operasi, fungsi usus jangka panjang, dan kualitas hidup. Komplikasi awal sama dengan yang biasa
ditemui setelah operasi kolorektal termasuk perdarahan, infeksi, dehiscence anastomosis, komplikasi
stoma, dan prolaps mukosa anus. Komplikasi jangka panjang seperti gejala obstruktif, inkontinensia
fekal, dan HAEC merupakan penyebab utama morbiditas pada pasien. (47) Gejala obstruktif ditandai
dengan kesulitan mengevakuasi feses dan perut kembung. Insiden gejala obstruktif adalah sekitar 5%
hingga 33% dan dapat bertahan hingga remaja dan dewasa. (48) Penyebabnya dapat dikategorikan ke
dalam 5 kategori, dengan tindakan yang disesuaikan untuk masing-masing(49) (50):
1. Obstruksi mekanik. Dapat disebabkan oleh striktur anastomosis pada anastomosis coloanal,
memutar usus yang tertarik, atau kegagalan untuk membagi otot dalam prosedur
Soave. Penyempitan kadang-kadang dapat diobati dengan dilatasi, tetapi masing-masing
komplikasi ini memerlukan operasi revisi.

2. Disfungsi sfingter anal internal. Seperti dibahas sebelumnya, tidak adanya RAIR dalam HSCR
membuat sphincter yang tidak relaks sulit mengevakuasi feses. Ini sering diobati dengan injeksi
toksin botulinum untuk mengendurkan sfingter anal internal dan menurunkan tekanan
istirahatnya.

3. Penarikan zona transisi. Jika usus aganglionik, hipoganglionik, atau persarafan yang tidak
normal dipertahankan, motilitasnya mungkin terganggu. Diperlukan biopsi rektal untuk
menegakkan diagnosis ini, dan dilakukan penarikan ulang.

4. Dismotilitas kolon. Bahkan ketika sel-sel ganglion tampak normal, motilitas kolon mungkin
tidak normal, dan patofisiologinya masih belum diketahui. Penyebabnya mungkin karena
rusaknya neuron enterik, ketidakseimbangan subtipe neuron, (51) (52) atau sel interstitial Cajal yang
abnormal. (53) Operasi ulang, diverting ostomi, atau manajemen usus yang agresif harus
dipertimbangkan.

5. Konstipasi fungsional. Anak-anak dengan riwayat operasi anal, manipulasi anorektal berulang,
atau buang air besar yang menyakitkan engganan untuk buang air besar dan hal ini menyebabkan
perilaku menahan dan konstipasi. Perawatan termasuk manajemen usus dan intervensi perilaku.
Inkontinensia fekal relatif umum teradi pada pasien dengan HSCR, dengan persen laporan dari
36%-48%. Hanya sekitar setengah dari semua remaja dan orang dewasa yang pernah menjalani operasi
HSCR saat masa kanak-kanak memiliki fungsi usus yang sebanding dengan subyek kontrol. (48) Beberapa
kasus Inkontinensia fekal disebabkan oleh pseudoinkontinensia, yang terjadi karena luapan tinja di sekitar
massa tinja yang terkena dampak; hal ini perlu diperlakukan sebagai konstipasi berat. Salah satu
penyebab inkontinensia fekal adalah pengangkatan rektum, yang merupakan bagian dari prosedur Soave
atau Swenson. Rektum memiliki fungsi penting sebagai reservoir untuk tinja. Rektum juga menghentikan
kontraksi tinggi High Amlitude Propagating Contraction (HAPC) yang mendorong tinja di sepanjang
usus besar. Setelah proktektomi, reservoir feses hilang dan kontraksi yang tinggi dapat berkembang
hingga ke saluran anus, yang secara signifikan berkontribusi terhadap risiko inkontinensia fekal. Trauma
iatrogenik pada sphincter anal atau persarafan pelvis juga dapat berkontribusi. Pilihan terapi dengan agen
antimotilitas, amitriptyline untuk mengurangi frekuensi dan amplitudo HAPC, (54) diet konstipasi, atau
antegrade enema untuk mengosongkan usus besar (55) dan dengan demikian mencegah inkontinensia
fekal. HAEC tetap menadi resiko bahkan setelah operasi HSCR berhasil. Kasus HAEC yang dilaporkan
sangat bervariasi karena kurangnya konsensus tentang definisi dan variabilitas yang signifikan untuk
mendiagnosis. HAEC diperkirakan terjadi pada 6% hingga 60% pasien sebelum operasi dan pada 2%
hingga 42% setelah operasi pull-through. (38) (39) (56) Faktor resiko HAEC termasuk diantaranya anak-
anak dengan riwayat keluarga dengan HSCR, trisomi 21, aganglionosis segmen panjang, pra operasi
HAEC, dan obstruksi pasca operasi dari penyebab apa pun. (38) (39) (40) (56) (57) Etiologi HAEC masih
banyak diperdebatkan dan diinvestigasi. Bukti menunjukkan bahwa hal ini bersifat multifaktorial dengan
adanya kombinasi dari perubahan dalam sistem kekebalan tubuh bawaan, fungsi barier epitel usus,
dan/atau mikroba usus. (38) (57) (58) Manajemen HAEC ringan termasuk pengobatan rawat jalan dengan
metronidazole oral dan irigasi rektal. Kasus yang lebih parah memerlukan rawat inap untuk antibiotik
spektrum luas, cairan intravena, dan irigasi rektal. Strategi pengobatan yang agresif dapat menurunkan
mortalitas terkait dengan HAEC secara substansial dari 3%-30% menjadi kurang dari 1% selama
beberapa dekade terakhir. (56) Kualitas hidup dapat berpengaruh pada pasien dengan
HSCR. Dibandingkan dengan anak-anak yang sehat, banyak anak-anak dengan diagnosis HSCR
menunjukkan penurunan kualitas hidup psikososial. Memburuknya fungsi psikososial dikaitkan dengan
bertambahnya usia dan dengan adanya inkontinensia fekal. (59) Anak-anak dengan sering kehilangan
kepercayaan diri, menghindar dari hubungan sosial, dan tidak mau pergi ke sekolah. (44) Orang dewasa
dengan HSCR juga dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup dan keterbatasan dalam hubungan
pribadi dan seksual mereka sekunder karena adanya inkontinensia. (60) Adanya kesadaran akan
komplikasi jangka panjang dari penyakit ini dan dampaknya pada kualitas hidup menyoroti perlunya
peningkatan manajemen HSCR dengan tujuan mengurangi morbiditas yang terkait dengan penyakit ini
dan perawatannya.

PENGEMBANGAN MASA DEPAN DALAM MANAJEMEN HSCR


Beberapa penelitian sedang dikembangkan dengan pendekatan nonoperatif untuk terapi HSCR. Penelitian
tersebut termasuk pengembangan transplantasi sel induk neuron untuk HSCR dan penyakit
neurointestinal lainnya. (52) Dengan mengidentifikasi dan mengisolasi sel-sel progenitor neuron dari usus
manusia, (61) dimungkinkan untuk mentransplantasikan sel-sel ini ke area usus yang hilang atau memiliki
neuron abnormal. Penelitian tersebut baru-baru ini berhasil dilakukan pada tikus dimana peneliti
mengisolasi sel progenitor sel neuron enterik dari usus atau mendeferensiasi dari stem sel kemudian
mentransplantasikan pada tikus dengan HSCR. (62) (63) Namun peningkatan fungsi usus belum bisa
dibuktikan pada penelitian tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan untuk mengurangi morbiditas terkait
dengan HSCR adalah pendekatan untuk HAEC. Tantangan klinis yang terkait dengan HAEC adalah
kurangnya kriteria klinis untuk membuat diagnosis. (39) Akibatnya, kejadian dan penyebab HAEC tetap
tidak diketahui meskipun diakui pertama kali hampir 60 tahun yang lalu. Mengingat bahwa HAEC
menjadi penyebab kematian paling umum pada anak-anak dengan HSCR, (38) (39) (40) memahami
etiologinya tetap menjadi prioritas. Literatur terbaru telah meneliti mikroba pada anak-anak dengan
HSCR selama dan di antara episode HAEC (64) (65) untuk mengidentifikasi kelompok bakteri yang
mungkin bertanggung jawab terhadap kasus HAEC. Namun belum ada bukti yang menunjukkan
hubungan sebab akibat yang pasti antara kelompok bakteri tertentu yang menyebabkan HAEC. Beberapa
publikasi terbaru membahas kebutuhan untuk mengatasi penurunan kualitas hidup yang dialami pasien
dengan HSCR. Satu studi menunjukkan bahwa keterlibatan psikolog atau ahli kesehatan mental sangat
penting untuk meningkatkan kualitas sosial dan emosional untuk manajemen jangka panjang HSCR pada
anak-anak. (59) Publikasi terbaru lainnya berfokus pada kebutuhan untuk mengatasi masalah pada masa
transisi dari perawatan anak/remaja ke perawatan orang dewasa. (66) Penelitian ini mengidentifikasi
gejala berkelanjutan yang berhubungan dengan fungsi usus abnormal dan kualitas hidup yang dihasilka
karena sering terdapat kesalahan dalam perawatan selanjutnya yang dapat menurunkan kualitas hidup
pasien. (66)

KESIMPULAN
HSCR merupakan penyakit neurointestinal bawaan paling umum yang memengaruhi neonatus. Kemajuan
yang signifikan telah dibuat selama beberapa dekade terakhir dalam pemahaman tentang penyakit,
diagnosisnya, dan manajemennya. Beberapa poin jyang ditinjau dalam artikel ini adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis HSCR pada neonatus dimulai dengan kecurigaan klinis yang tinggi dan mencakup enema
kontras dan biopsi rektum.

2. Setelah HSCR didiagnosis, dekompresi kolon dicapai dengan dilatasi anal dan / atau irigasi rektal
untuk meminimalkan stasis fekal dan dilatasi kolon sampai operasi dilakukan.

3. Pembedahan HSCR melibatkan pengangkatan segmen aganglionik usus dan anastomosis usus
proksimal, biasanya usus berganglion ke saluran anus. Hasil awal dan jangka panjang dari 3 prosedur
yang paling umum (Soave, Swenson, dan Duhamel) serupa.

4. HAEC membutuhkan diagnosis dan pengobatan segera dengan irigasi rektal, antibiotik, dan resusitasi
cairan pada mereka dengan enterokolitis berat.

5. Tindak lanjut jangka panjang pasien dengan HSCR sangat penting untuk meningkatkan fungsi
pencernaan dan meningkatkan kualitas hidup.

Anda mungkin juga menyukai