Anda di halaman 1dari 14

DESAIN RESOLUSI KONFLIK

TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI


ASSESSMENT KONFLIK

A. Dinamika Konflik Taman Nasional Gunung Merapi

Keputusan pemerintah untuk menetapkan kawasan hutan di Gunung Merapi


sebagai taman nasional menuai badai konflik. Penolakan datang dari berbagai kalangan,
mulai dari kalangan masyarakat, ilmuwan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta.
Wacana penetapan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) sebenarnya sempat
terhenti satu tahun setelah mendapat kritik keras pada saat usulan itu pertama kali
dimunculkan pada tahun 2001. Setelah ditentang dari berbagai pihak, pada tahun 2002
pemerintah menjanjikan untuk membuat kajian kelayakan dan sosialisasi yang matang.
Namun, tiba-tiba pada 4 Mei 2004, surat keputusan (SK) tentang TNGM itu muncul
tanpa melalui prosedur yang dijanjikan. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor
134/Menhut-II/ 2004 itu, sebagian kawasan hutan Gunung Merapi seluas 6.410 hektar,
yang terletak di Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten, ditetapkan sebagai
Taman Nasional Gunung Merapi.
Keputusan Menteri Kehutanan M Prakosa itu menyentak banyak pihak dan
mengundang penolakan yang keras karena SK itu terkesan dibuat secara "sembunyi-
sembunyi" dan menunjukkan arogansi pemerintah pusat. Tetapi, tidak bagi Gubernur DI
Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X yang menyetujui penetapan TNGM itu.
Inisiatif TNGM, kabarnya, bahkan datang dari Gubernur DIY dan Gubernur Jateng
Mardiyanto, sebatas rekomendasi persetujuan.
Pemerintah Kabupaten Sleman, yang sebagian wilayahnya digunakan untuk
TNGM, juga diabaikan aspirasinya. Bupati Sleman Ibnu Subiyanto mengaku sangat
terkejut dengan munculnya SK itu, dan belum mendapat tembusannya.
Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Merapi tidak ada yang diajak bicara.
Padahal, menurut Peta Usulan TNGM dari Badan Planologi Kehutanan, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura, Departemen Kehutanan,
sedikitnya ada sembilan desa di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten yang berada
di dalam kawasan TNGM.

2
Wilayah TNGM yang masuk wilayah Kabupaten Magelang berada di dua
kecamatan, yaitu Kecamatan Dukun meliputi Desa Kemiren dan Desa Ngargosoko,
serta Kecamatan Srumbung meliputi Desa Ngablak. Di Kabupaten Boyolali, yang
masuk wilayah TNGM berada di Kecamatan Cepogo meliputi Desa Cluntang dan Desa
Wonodoyo, Kecamatan Musuk meliputi Desa Mriyan dan Desa Sangup. Sedangkan di
Kabupaten Klaten yang masuk wilayah TNGM berada di Kecamatan Kemalang,
meliputi Desa Tegalmulyo dan Desa Sidorejo. Semua desa yang masuk ke dalam
kawasan TNGM itu adalah desa yang berpenduduk rata-rata di atas 200 keluarga.
Sejumlah aparat desa dan wakil masyarakat lereng Merapi yang tinggal di
Kabupaten Klaten, Sleman, Boyolali, dan Magelang mengemukakan kekecewaan
terhadap pemerintah terkait penetapan TNGM. Mereka meminta agar pemerintah
mencabut ketetapan itu.
Penolakan tersebut wajar, mengingat warga desa di lereng Merapi memiliki
hubungan timbal balik dengan Merapi. Mereka membutuhkan Merapi karena
penghidupan mereka ada di Merapi, yaitu mencari rumput untuk pakan ternak. Namun,
mereka juga menjaga Merapi dengan tradisi yang sudah lama mengakar dalam hidup
mereka.
Desakan masyarakat yang semakin kuat itu mendorong DPRD DI Yogyakarta
dan DPRD Sleman menggelar dengar pendapat tentang TNGM. Dalam dengar pendapat
dengan berbagai komponen masyarakat, LSM, dan pakar, DPRD Sleman akhirnya
menyimpulkan bahwa TNGM harus ditolak karena tidak prosedural, dan konsepnya
tidak jelas. DPRD Sleman juga berjanji mendukung Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Yogyakarta yang berencana melakukan gugatan hukum (legal
standing) kepada Menteri Kehutanan.
Kuspriyadi, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY
menjelaskan, SK tersebut dikeluarkan setelah melalui pertimbangan yang matang untuk
mengonservasi Merapi. Salah satu dasar pertimbangannya adalah hasil studi kelayakan
yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang
merekomendasikan perlunya perlindungan dan pelestarian kawasan Merapi.

B. Analisa Konflik Taman Nasional Gunung MErapi


Untuk dapat menganalisa konflik yang terjadi pada isu Taman Nasional Gunung
Merapi, kami menggunkan data sekunder dari beberapa media massa dan dokumen-
dokumen elektronik lainnya. Kami dapat menyimpulkan analisa kami dalam tabel 1.
sebagai berikut :

3
TABEL 1. ANALISA KONFLIK

Signifikansi Sumber
No. Pihak yang berkonflik Isu/masalah Kepentingan Posisi/pilihan keterangan
isu/masalah Kekuasaan
pengelolaan TNGM adalah perlindungan
bagi sumber-sumber air, sungai dan
Pemerintah (Departemen SK Menhut Otoritas (aktor
1. penyangga sistem kehidupan Tinggi Setuju
Kehutanan) 134/Menhut-II/2004 Pemerintah utama)
kabupaten/kota-kota Sleman, Yogyakarta,
Klaten, Boyolali, dan Magelang
pengelolaan TNGM adalah perlindungan
bagi sumber-sumber air, sungai dan
Rekomendasi Otoritas (aktor
2. Gubernur DIY dan Jateng penyangga sistem kehidupan Tinggi Setuju
persetujuan TNGM Pemerintah utama)
kabupaten/kota-kota Sleman, Yogyakarta,
Klaten, Boyolali, dan Magelang
Ketidakterlibatan Mediasi
Wakil rakyat
DPRD I DIY dan DPRD II dalam proses kepentingan (aktor
3. Penyaluran aspirasi rakyat DIY/Sleman Medium dalam
Sleman pembuatan kebijakan Rakyat dengan sekunder)
Parlemen
TNGM Pemerintah
Kepala-kepala Desa
Kemiren, Ngargosoko, Pemimpin
Pengusiran warga Tetap hidup di lereng Merapi dan menjaga Tinggi
Ngablak, Kemiren, wilayah (aktor
4. dari wilayah yang merapi sebagai suatu tradisi (bagian dari (menyangkut Penolakan
Ngargosoko, Ngablak, sekaligus adat utama)
dijadikan TNGM hidup mereka) value)
Mriyan, Sangup, Desa.
Tegalmulyo, dan Sidorejo
Signifikansi Sumber
No. Pihak yang berkonflik Isu/masalah Kepentingan Posisi/pilihan keterangan
isu/masalah Kekuasaan

4
Konsevasi Hutan Mediasi antara
Jaringan
WALHI (Wahana yang tidak sungguh- kebijakan
Menjaga kelestarian lingkungan yang internasional (aktor
5. Lingkungan Hidup sungguh dan Tinggi pemerintah
berbasis masyarakat local dan akses utama)
Indonesia) melibatkan dengan
media massa
masyarakat lokal masyarakat lokal
Hasil
Rekomendasi hasil penelitian
penelitian UGM atas sebagai Netral (tidak (aktor
6. UGM (Fakultas Kehutanan) Konservasi hutan di Merapi Rendah
kondisi Hutan di rekomendasi berpihak) sekunder)
Merapi kebijakan
pemerintah

5
C. Cara yang Pernah Dilakukan Untuk Menyelesaikan Konflik

Selama ini, konflik atas penetapan Taman Nasional lebih banyak dilakukan
dengan pendekatan kewenangan. Artinya, dengan SK menteri maka ada sapek
mengikat secara hukum yang memaksa rakyat untuk dapat menerimanya. Dalam
konteks seperti ini, rakyat berada pada pihak yang lemah dan kalah. Akibat dari
penyelesaian konflik yang mengedepankan aspek kewenangan hukum, seringkali
rakyat melakukan perlawanan dengan cara-cara penjarahan hutan dan pengrusakan
hutan. Tentu saja, hal ini tidak produktif dalam mendukung pengelolaan Taman
Nasional.
Penyelesaian konflik juga dilakukan melalui jalur Peradilan Tata Usaha negara,
seperti yang dilakukan dalam konflik Taman Nasional Gunung Merapi. Dalam kasus
ini, WALHI Jogjakarta menggugat materi SK menteri Kehutanan Nomor 134/Menhut-
II/ 2004.
Namun beberapa cara penyelesaian tersebut ternyata tidak memberikan solusi
terbaik bagi penanganan konflik yang terjadi. Kedua pendekatan tersebut lebih
memberikan hasil win-lose ketimbang win-win solution. Dengan pendekatan win-lose
tentu saja bagi pihak yang kalah akan mengadakan perlawanan dan hal tersebut kontra
produktif dengan semangat pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan yang
diusung oleh konsep Taman Nasional.

D. Generalisasi Konflik Taman Nasional


Dari pengalaman konflik di Taman Nasional Gunung Merapi tersebut, pada
dasarnya juga di temukan di beberapa daerah lainnya. Pada intinya, konflik lebih
bersumber pada rendahnya tingkat penyertaan penduduk lokal dalam konseptualisasi
dan pengelolaan Taman Nasional. Penduduk lokal yang memiliki keterikatan budaya
dan nilai dengan kawasan hutan justru dipinggirkan demi alasan pelestarian dan
kesejahteraan yang lebih luas. Oleh karena itu, solusi atas konflik Taman Nasional
terletak pada bagaimana meberdayakan penduduk lokal dalam konseptualisasi dan
pelaksanaan Taman Nasional.

6
III. RANCANGAN PENYELESAIAN KONFLIK

Berdasarkan pada analisa konflik pada bagian sebelumnya, maka kami


mengusulkan beberapa disain penyelesaian konflik sebagai berikut :

1. KONSILIASI DAN FASILITASI


Mekanisme ini merupakan percampuran antara cara-cara konsilasi dengan Fasilitasi.
Hal ini dilakukan karena dengan konsiliasi, Pemda dapat mengetahui tuntutan-tuntutan
penduduk lokal sekaligus berupaya untuk melakukan pendidikan kepada penduduk
lokal dalam konflik ini. Setelah dilakukan upaya konsiliasi dengan menjembatani
komunikasi diantara dua pihak secara terpisah, maka upaya dilanjutkan dengan
fasilitasi untuk mendapatkan kesepakatan.

A. Sasaran :
mencapai kesepakatan atas substansi SK Menteri Kehutanan atas Penetapan dan
Pengelolaan Taman Nasional
B. Struktur Pertemuan :
Pertemuan dilakukan terhadap dua pihak, yaitu penduduk lokal dan pemerintah
pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan. Bagi penduduk lokal struktur
pertemuan berupa maka perlu dilakukan Public Meeting di tiap-tiap Desa yang
terkena dampak Taman Nasional. Sedangkan dengan Departemen Kehutanan
dilakukan melalui Rapat Koordinasi. Guna pembahasan feedback, maka digunakan
sturktur pertemuan Task Force.
C. Prosedur/Agenda Pertemuan
C.1. Public Meeting
Dalam pertemuan umum ini, Pemda akan bertindak sebagai mediator dengan
tahapan-tahapam agenda sebagai berikut :
I. Pemda menjelaskan substansi Taman Nasional versi Departemen Kehutanan
tanpa ada tendensi untuk berpihak pada Departemen Kehutanan. Hal ini
dimaksudkan agar penduduk lokal mengetahui tujuan dan mekanisme
pengelolaan Taman Nasional.

7
II. Pada sesi ke-2, para peserta diminta untuk memberikan tanggapan dan
tuntutan-tuntutannya atas Taman Nasional. Sesi ini bertujuan untuk
menginventarisir berbagai kepentingan penduduk lokal sehingga Pemda hanya
bertugas mencatat tanpa memberikan tanggapan.
III.Merumuskan kesimpulan atas tuntutan-tuntutan penduduk lokal yang dilakukan
oleh Pemda dan kemudian disepakati oleh para peserta dengan bukti tanda
tangan Kepala Desa setempat dan aparat Pemda sebagai mediator.

C.2. Rapat Koordinasi


Setelah terkumpul masukan-masukan dari penduduk lokal di sekitar Taman
Nasional, maka Pemda berkewajiban menyampaikannya dalam rapat koordinasi
dengan Departemen Kehutanan. Hasil rapat itu kemudian disosialisasikan kembali
ke penduduk lokal untuk mendapatkan feedback.

C.3. Task Force


Untuk mendapatkan feedback tersebut, struktur pertemuan masih menggunakan
Public Meeting seperti pertemuan sebelumnya. Namun, dalam pertemuan-
pertemuan selanjutnya setelah Departemen Kehutanan memberikan jawaban atas
feedback pertama, pertemuan akan berbentuk pertemuan kelompok kerja (Task
Force) dengan perwakilan masing-masing desa yang telah ditunjuk dalam Public
Meeting ke-2, aparat Departemen Kehutanan, dan aparat Pemda selagu mediator.
Hal ini dilakukan untuk lebih fokus dan efisien dalam perumusan tuntutan dengan
asumsi semua tuntutan pada dasarnya telah diketahui pada public meeting I dan II.

D. Peserta:
D.1. Public Meeting akan diikuti oleh semua warga desa dan harus dihadiri oleh
perangkat desa minimal Kepala Desa dan bertempat di Balai Desa.
D.2. Rapat koordinasi akan diikuti oleh aparat Pemda yang ditunjukkan dan telah
mengikuti public meeting di semua desa di sekitar Taman Nasional beserta aparat
Departemen Kehutanan yang berkompeten di Depatemen Kehutanan, Jakarta.
D.3. Rapat task Force diikuti oleh perwakilan-perwakilan dari tiap-tiap Desa,
aparat Departemen Kehutanan, dan aparat Pemda. Pertemuan bertempat di Kantor
Pemda.

8
E. Mekanisme Pencapaian Kesepakatan
Kesepakatan atas subtansi SK Menteri Kehutanan tetntang penetapan dan
pengelolaan Taman Nasional diambil dalam forum Task Force. Pada akhir sesi
akan dilakukan rumusan bersama atas subtansi pengelolaan dan dimintakan
persetujuan kepada semua peserta. Hasil pertemuan task force ini akan menjadi
bahan atas SK yang akan dikeluarkan Menteri Kehutanan berkiatan dengan
penetapan Taman Nasional.

F. Sosialisasi
Sosialisasi hasil kesepakatan akan dilakukan oleh masing-masing anggota Task
Force sesuai dengan desa yang ia wakili.

2. LOKAKARYA PROBLEM SOLVING

A. Sasaran :
Mendapatkan Beberapa Alternatif Solusi atas Substansi SK Menteri Kehutanan
atas Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional

B. Struktur Pertemuan :
Pertemuan dilakukan dalam bentuk Lokakarya yang dilaksanakan selama empat
hari, bertempat di Hotel di Kawasan Kaliurang.

C. Prosedur/Agenda Pertemuan
Lokakarya dilaksanakan selama empat hari dengan agenda sebagai berikut:
Hari Pukul Materi Sasaran/Tujuan Pemateri
I 09.00 – 11.00 Pembukaan dan Membangun Panitia dari
Penjelasan Tentang kesepahaman Pemda
Lokakarya tentang
mekanisme,aturan
main, dan tujuan
dari pelaksanaan
Lokakarya
11.00 – 12.00 Ice Breaking Membangun Panitia

9
semangat
kebersamaan agar
lokakarya dapat
berjalan optimal
12.00 – 13.00 Makan Siang - Panitia
13.00 – 15.00 Presentasi Memberikan Staff
Departemen penjelasan tentang Departemen
Kehutanan tentang perspektif Kehutanan
Taman Nasional pemerintah tentang
Taman Nasional
15.00 – 15.30 Istirahat - Panitia
15.30 – 17.00 Pandangan Normatif Memberikan Ahli
Tentang Pemanfaatan penjelasan tentang Kehutanan
Hutan makna hutan secara dari
normatif Universitas
17.00 – 06.00 Istirahat
II 06.00 – 07.00 Outbound Membangun Panitia
kebersamaan antar
peserta
07.00 – 09.00 Mandi dan makan
pagi
09.00 – 12.00 Sharing pengalaman Mencari alternatif 6 Orang
penduduk lokal yang penyelesaian perwakilan
pernah mengalami konflik yang pernah dari peserta.
Taman Nasional di lakukan di
beberapa Taman
Nasional.
12.00 – 13.00 Istirahat
13.00 – 15.00 Sharing pengalaman Mencari alternatif 4 Orang
penduduk lokal yang penyelesaian perwakilan
pernah mengalami konflik yang pernah dari peserta.
Taman Nasional di lakukan di
beberapa Taman
Nasional.
15.00 – 15.30 Istirahat
15.30 – 17.00 Sharing pengalaman Mencari alternatif 4 Orang
penduduk lokal yang penyelesaian perwakilan

10
pernah mengalami konflik yang pernah dari peserta.
Taman Nasional di lakukan di
beberapa Taman
Nasional.
17.00 – 06.00 Istirahat
III 06.00 – 07.00 Outbound Membangun Panitia
Kebersamaan dan
rekreasi
07.00 – 09.00 Mandi dan makan
pagi
09.00 – 12.00 Kajian Ilmiah Membangun Akademisi
tentang Dampak alternatif solusi Kampus dan
Taman Nasional yang normatif atas Peneliti
terhadap Penduduk permasalahan Kehutanan
Lokal Taman Nasional
12.00 – 13.00 Istirahat
13.00 – 15.00 Upaya advokasi Mencari alternatif Aktivis
terhadap penduduk penyelesaian lingkungan
lokal dalam konflik konflik yang pernah (WALHI,
kehutanan di lakukan di WWF) dan
beberapa Taman LSM
Nasional. lainnya yang
relevan
15.00 – 15.30 Istirahat
15.30 – 17.00 Pembentukan Untuk menentukan Panitia
kelompok perumus orang-orang yang
hasil lokakarya akan merumuskan
kesepakatan
lokakarya
17.00 – 06.00 Istirahat
IV 07.00 – 09.00 Mandi dan makan
pagi
09.00 – 12.00 Pleno terhadap Membangun Semua
semua alternatif alternatif solusi Peserta
solusi yang telah permasalahan Aktif
dibahas pada hari- Taman Nasional

11
hari sebelumnya
12.00 – 13.00 Istirahat
13.00 – 17.00 Perumusan Merumuskan Tim
Kesimpulan oleh Tim alternatif solusi Perumus
Perumus
17.00 – 18.00 Istirahat
18.00 – 19.30 Pembacaan Hasil
Rumusan dan
Penetapan
kesepakatan
19.30 – 22.00 Penutupan, makan
malam, dan hiburan

D. Peserta :
Peserta berjumlah 60 orang dengan perincian :
1. Satu orang perwakilan daerah-daerah yang mengalami Taman Nasional.
Sehingga jumlah perwakilan = 41 orang dari 41 Taman Nasional. Penentuan
wakil di serahkan kepada Pemda setempat.
2. Tiga orang dari Departemen Kehutanan.
3. Delapan orang dari akademisi yang akan ditunjuk oleh panitia berdasar pada
keahlian yang ditunjukkan dengan penelitian dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
4. Delapan orang dari aktivis lingkukngan dan LSM yang akan ditunjuk oleh
panitia.
E. Mekanisme Pencapaian Kesepakatan
Kesepakatan atas subtansi SK Menteri Kehutanan tentang penetapan dan
pengelolaan Taman Nasional diambil dalam forum Pleno terakhir. Rumusan
kesepakatan terlebih dahulu disusun oleh Tim Perumus. Pada akhir pertemuan,
akan dilakukan penandatanganan kesepakatan oleh semua peserta.

F. Sosialisasi
Sosialisasi hasil kesepakatan akan dilakukan oleh masing-masing peserta sesuai
dengan kapasitas dan tempat tugas.

3. PERADILAN TATA USAHA NEGARA

12
Cara ini diusulkan untuk menjadi pilihan terakhir ketika cara-cara Konsiliasi dan
Fasilitasi serta Evaluasi Netral Melalui Lokakarya tidak berhasil. Dalam upaya
peradilan ini, kami menyarankan kepada LSM untuk mendampingi penduduk lokal
agar lebih berdaya dalam menghadapi pemerintah pusat.

13
II. PENUTUP

Melihat dari seringnya muncul penentangan terhadap rencana pemerintah untuk


menetapkan kawasan hutan menjadi Taman Nasional, maka menjadi penting untuk
merumuskan bagaimana upaya pencegahan dan penyelesaian konflik akibat penentangan
tersebut. Desain penyelesaian yang kami tawarkan ini adalah salah satu upaya yang dapat
diambil oleh Pemda untuk mengelola konflik yang ada.
Desain ini lebih merekomendasikan untuk menyelesaikan setiap konflik yang
terjadi dengan pendekatan win-win solution. Cara ini diyakini paling efektif untuk
meyelesaikan konflik karena kemungkinan diterimasi solusi oleh kedua belah pihak sangat
besar. Oleh karena itu, meskipun energi dan perhatian harus banyak dicurahkan dalam
menemukan alternatif solusi yang win-win, namun hal tersebut harus menjadi alternatif
utama. Pencapain yang menguntungkan semua pihak ini, menurut kami bisa dilakukan
dengan Konsiliasi-fasilitasi dan Lokakarya Problem Solving. Namun demikian, ketika
kedua cara itu tidak membuahkan hasil, maka kami merekomendasikan untuk menempuh
jalan peradilan agar konflik dapat diselesaikan.

14

Anda mungkin juga menyukai