Anda di halaman 1dari 3

SEJARAH GILI TUGEL – TEGAL

Alkisah pada akhir tahun 1670 beberapa saat sebelum Amangkurat I meninggal tahun
1677, situasi Mataram kacau balau dengan merebaknya pemberontakan yang dipimpin
Trunojoyo. Terjadi perang saudara yang luar biasa. Ditengah kekacauan itu, Amangkurat I
terdesak dan menyingkir ke arah Barat. Kemudian Mataram dikuasai Trunojoyo, yang
menjarah keraton Mataram di Plered. Dan kekacauan terus berlanjut tidak terkendali.
Dalam kebingungannya, Amangkurat I bersekutu dengan Belanda (VOC) untuk meredam
kekacauan yang terus tidak terkendali.

Dengan campur tangan VOC, perang pun berakhir, tetapi setelah perang saudara usai,
justru inilah menjadi awal dari penjajahan. Atas jasanya meredakan kekacauan di wilayah
Mataram, VOC meminta bayaran yang sangat mahal dan tak mungkin terbayarkan oleh
pihak kerajaan. Inilah yang menjadi beban Amangkurat I sampai dengan akhir hayatnya.
Pemerasan VOC terhadap kerajaan Mataram, berlanjut sampai Amangkurat II
menggantikan Sunan Tegalarum menjadi raja. Amangkurat II menjadi bingung karena
harus melunasi ‘hutang’ yang tertunda kepada VOC. Padahal setelah pemberontakan
Trunojoyo, keuangan kerajaan habis dan nyaris bangkrut.

Dalam kebingungan yang memuncak, Amangkurat II terpaksa merelakan wilayah pesisir


utara Jawa dikuasai oleh VOC. Kendatipun mereka tetap membayar uang sewa tiap
tahunnya, tetapi VOC tidak pernah mengembalikan wilayah pesisir utara kepada kerajaan.
Hal ini membuat Mataram kehilangan pendapatan penting, dan Mataram semakin terisolasi
dari kerajaan-kerajaan di wikayah Asia Tenggara. Komunikasi dengan pusat-pusat studi di
Asia Selatan menjadi sulit, dan kian meningkatnya ketergantungan terhadap Belanda.

Pada masa itu Tegal dibawah pemerintahan Adipati Martoloyo. Melihat Amangkurat II
begitu lemah kepada VOC, Adipati Martoloyo menjadi tidak respek dan tidak patuh kelada
Amangkurat II. Sang Adipati selalu membangkang dan tidak sudi memberikan upeti
kepada Mataram. Walaupun daerah kekuasaan Martoloyo telah diperluas dari pantai Jepara
ke Barat hingga wilayah Tegal, Brebes dan Losari. Dalam pandangan Martoloyo,
Amangkurat II itu benar-benar telah menjadi boneka VOC. Karena itu dia tak mau
membayar pajak, situasi ini menyebabkan hubungan antara Adipati Martoloyo dan
Amangkurat II tidak mulus dan semakin besitegang. Belanda ingin memanfaatkan keadaan
ini untuk menyingkirkan Martoloyo, agar penguasannya di pantai utara tidak ada
terganggu.

VOC kemudian menjalankan taktiknya. Gubernur Jendral Belanda Mr. Maetsuyke lalu
mengutus Laksamana Cornelis Speelman dari VOC untuk menemui Amangkurat II.
Tujuannya asalah bagaimana melenyapkan Martoloyo. Adipati Tegal selain sakti, juga
paling ngotot, pembangkang dan selalu bersitegang dengan rajanya. Politik devide et
impera kemudian digunakan Belanda untuk melenyapkan Adipati Martoloyo. Caranya
Belanda meminta agar Amangkurat II mengadakan pertemuan agung, para Adipati se-Jawa
bertempat di Kadipaten Jepara.

Adapun topik utama pertemuan adalah penandatanganan ‘Naskah Kerjasama’ dengan


imbalan tanah-tanah milik Kerajaan Mataram. Maka pada tanggal 17 Januari 1678
berlangsung pertemuan agung itu, dihadiri semua adipati termasuk Adipati Martoloyo dan
Adipati Martopuro. Pada pertemuan itu Adipati Martoloyo yang memegang dengan teguh
prinsipnya, menentang keras kesepakatan itu dan menolak untuk berkerjasama. Dia lalu
pergi, menyingkir meninggalkan pertemuan agung.
Kesempatan itu dipakai oleh Belanda untuk menekan Amangkurat II agar menangkap
Martoloyo. Tetapi Amangkurat II mengerti bahwa Adipati Martoloyo itu berilmu tinggi
dan tak tertandingi. Satu-satunya adipati yang mampu bertarung melawan Martoloyo,
hanya Adipati Martopuro dari Kadipaten Jepara yang memiliki kesaktian yang setara, yang
diperoleh dari guru dan ilmu yang sama.

Versi Satu
Amangkurat II lalu memerintahkan Adipati Martopuro untuk memaksa Adipati Martoloyo
kembali menghadap dalam keadaan hidup atau mati. Adipati Martopuro pun segera
bergegas menyusul Adipati Martoloyo. Ketika berhadapan dengan Martoloyo, ternyata
Martopuro tidak sampai hati menyatakan maksud tujuannya. Meskipun begitu, Martoloyo
tahu apa yang ingin dikatakan Martopuro. Oleh karenanya lalu Adipati Martoloyo memberi
penjelasan dan nasehat. Tetapi tidak tercapai kata sepakat, justru terjadi perselisihan karena
perbedaan prinsip diantara keduanya. Dan perselisihan itu telah berubah menjadi perang
tanding.

Martoloyo tetap berpegang teguh pada idealismenya untuk tidak memihak penjajah,
sedangkan Martopuro bersikeras menjunjung pengabdian dan kesetiaannya pada rajanya,
Amangkurat II. Pertarungan antara keduanya tak terelakkan. Karena bukan disebabkan
dendam atau permusuhan, mereka benar-benar menunjukkan jiwa dan etika ksatria dalam
pertarungan. Sebagai adik, Martopuro bahkan meminta ijin untuk menyerang Martoloyo
terlebih dahulu. Tragis, tidak ada pemenang dalam pertempuran itu. Martoloyo dan
Martopuro gugur membela prinsip masing-masing. Mereka saling tikam dengan
menggunakan pusaka keris sakti. Kedua adipati yang sakti itu tewas sampyuh. Adipati
Martoloyo mati karena tikaman keris Ki Kasur, sedang Adipati Martopuro mati karena
keris Ki Sepuh.

Kematian sampyuh kedua Adipati yang sakti diketahui oleh Gendowor, plekatik (juru
kuda) Adipati Martoloyo yang setia. Dia bergegas meninggalkan tempat dimana dia
bekerja sebagai pencari rumput untuk kuda majikannya. Dengan sabit ditangan, perasaan
gerah dan dongkol, kuda tunggangannya dipacu kencang menuju ke pendopo. Di sana
dilihatnya rakyat Tegal berjubel-jubel. Gending lara tangis menyayat hati. Turun dari kuda,
Gendowor bergegas berjalan menuju pendopo. Betapa terkejutnya ketika mendapatkan
junjungannya telah tewas sampyuh di samping Adipati Martopuro.

Di sisi mayat majikannya, Gendowor bersimpuh. Dia bersumpah akan menumpas semua
Kompeni Belanda. Setelah dia memacu kudanya memburu orang-orang Kompeni,. Orang-
orang Kompeni yang berpapasan dengannya ditebas batang lehernya. Puluhan kepala
bergelimpangan dan darah berceceran. Tempat pemenggalan dan kepala yang putus dan
tubuh bergelimpangan itu terjadi di sebuah pertigaan. Pertigaan itu kemudian dinamakan
Gili Tugel. Mungkin karena banyaknya Gulu (leher) yang Tugel (putus).
Ketika kecil dulu saya pernah menonton wayang orang. Adegan perang tanding antara
Adipati Martoloyo dan Adipati Martopuro ini sungguh sangat membekas sebgai kenangan
yang mendalam. Ternyata inilah penjelasannya.

Versi Kedua
Gubernur Jenderal Bekanda Mr. Herman William Daendels membuat jalan dari Anyer
(Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810.
Sebetulnya disebut Jalan Pos. Tujuannya adalah untuk mempercepat penerimaan surat-
surat yang dikirim antar Anyer sampai Panarukan. Jalan-jalan itu dalam perkembangan
selanjutnya telah berubah fungsinya mejadi jalan ekonomi. Jakan itu dapat memotong
waktu tempuh antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari, menjadi hanya
7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat, oleh Daendels kemudian dikelola
dalam dinas pos. Pembangunan jakan iru memakan banyak korban rakyat pribumi akibat
kerja rodi. Jugabrakyat Tegal yang tanahnya dilalui proyek pembuatan jalan ini.

Pada waktu itu Kabupaten Tegal dipimpin Raden Mas Tumenggung Panji Haji
Cokronegoro. Bupati setiap hari dibuat repot, karena harus menyediakan 1000 orang untuk
kerja paksa pembuatan jalan, Oleh karenanya Sang Bupati sangat prihatin dan sedih,
karena rakyat yang kurang patuh, harus mendapat hukum pancung dari Belanda. Hampir
setiap hari, Bupati Tegal menyaksikan peristiwa yang memedihkan itu. Tempat
pelaksanaan hukuman pancung bagi yang menentang kerja rodi, terjadi di sebuah pertigaan
jalan itu. Sejak itu, rakyat Tegal menamakan jalan tersebut dengan ‘Gilitugel’. Dalam
bahasa Tegal Gili artinya jalan, dan Tugel artinya putus. Barangkali karena pembangunan
Gili (jalan) mengakibatkan banyaknya gulu (leher) yang tugel (putus). Sampai sekarang
jalan itu masih disebut dengan Gili Tugel, terutama disebut oleh generasi tua.

Anda mungkin juga menyukai