BAB I
KEPEMIMPINAN
“Beramal-lah kalian, karena semua akan dimudahkan menuju takdirnya” (HR. Bukhori)
Setiap kita dituntut untuk terus beramal. Amal, merupakan proses menuju takdir. Sehingga apapun amal
yang kita kerjakan hari ini akan menghantarkan kita menuju takdir masing-masing. Ke depan, pasti akan
ada amal yang tidak sederhana yang tetap harus kita kerjakan. Oleh sebab itu, ada ruang-ruang amal yang
kita harus nikmati di setiap sisinya. Karena dengan menikmati setiap amal, maka Allah lah yang
menunjukkan jalan terbaik menuju takdirnya.
Bicara amal tentu tidak jauh pembahasannya dari bicara tentang karya. Karena karya merupakan bagian
dari amal, sedangkan amal tidak selalu menghasilkan karya. Muslimin sejak dahulu diajarkan untuk terus
berkarya. Bahkan sejarah telah mengabadikan banyak sekali karya-karya muslimin yang manfaatnya
sangat besar bagi kebaikan bumi ini. Agama ini mengajarkan setiap ummatnya untuk menebar manfaat
bagi semua makhluk Allah di muka bumi ini. Sehingga setiap orang yang beriman pasti akan memiliki
dorongan yang sangat kuat untuk berkarya, karena hal itu akan membuat dirinya bermanfaat bagi orang
lain.
Kepemimpinan, bagian dari amal untuk menghasilkan karya-karya besar. Ketika bumi ini berada di bawah
kepemimpinan yang hebat, maka bersamanya lahir pula karya-karya besar bagi bumi ini. Untuk
menghasilkan karya besar, tentu tidak mungkin dilakukan dengan kerja-kerja yang berorientasi pendek
dan kecil. Bumi ini terlalu luas untuk diemban amanahnya dalam upaya menebar manfaat yang seluas-
luasnya. Begitulah agama ini mengajarkan, bahwa tugas utama khalifah (pemimpin) di bumi adalah untuk
memakmurkan bumi, dan ini bukan sesuatu yang sederhana. Pertanggung jawabannya bukan hanya di
dunia, namun hingga kelak saat kita ditanya di hadapan Allah.
Kita telah dipaparkan banyak sekali data sejarah bahwa kepemimpinan yang hebat di masa keajayaan
Islam selalu berawal dari seorang pemimpin yang hebat. Sebut saja salah satunya, Muawiyah, yang dalam
masa kepemimpinannya ia berhasil mengangkat harkat dan martabat kaum muslimin, juga mampu
membuat kekuasaan muslimin semakin meluas, dan seterusnya. Begitupun nama-nama pemimpin besar
lainnya, seperti Umar bin Abdul Azis, Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-Fatih, dan masih begitu
banyak yang lainnya. Begitulah pemimpin dalam Islam. Karenanya, kebesaran para pemimpin itu menjadi
teladan bagi setiap muslimin yang semangatnya harus terus dipegang dengan sangat kuat oleh setiap
pemimpin muslim hari ini.
Hari ini, sebenarnya umat ini bukan tanpa potensi, hanya saja umat ini tidak punya “pemimpin”nya
sendiri. Sehingga banyak sekali potensi yang tersia-siakan. Banyak pemimpin hari ini yang tidak dapat
melihat kebaikan dari agama, padahal kebaikan bumi ini tergantung pada kebaikan agamanya, Islam
tentunya. Sehingga pada umumnya orang-orang yang mumpuni di bidang agama tidak mendapat tempat
terbaik dan tidak pula memegang peran-peran penting dalam struktur kepemimpinan. Itulah masalahnya,
saat seorang pemimpin tidak bisa memilih orang-orang terbaik yang harus berada di sekelilingnya. Juga
menjadi sebuah masalah ketika seorang pemimpin tidak bisa mengatur sumber daya manusianya. Tugas
pemimpin itu adalah memimpin manusia, bukan memimpin benda. Pemimpin harus menjadi teladan,
karena itulah cara terbaik agar seorang pemimpin disegani oleh orang yang dipimpin. Dengan itu maka
akan mudah baginya untuk memilih, mengatur, dan memberdayakan potensi-potensi terbaik di bawah
kepemimpinannya.
Dalam Islam, seorang pemimpin harus menjadi orang yang paling ikhlas karena Allah. Cacian tak akan
pernah membuatnya lemah, dan pujian tak akan membuatnya lengah. Tidak ada pengaruh apapun meski
dicaci maupun dipuji. Pemimpin juga harus menjadi orang yang paling tahu cara atau jalan dalam
mencapai sebuah target / tujuan. Sehingga ketika yang dipimpin sudah mulai berbelok, maka pemimpin
tahu bagaimana cara meluruskannya kembali. Karenanya, pemimpin harus mempunyai kemampuan
untuk menggerakkan, menggugah kakaguman, juga mampu untuk terus menjaga semangat, agar yang
berbelok kembali bisa digerakkan menuju tujuan dengan semangat yang kembali bergelora. Dan semua
itu bisa dilakukan ketika seorang pemimpin meletakkan keteladanan tertinggi hanya pada Rasulullah.
BAB II
APLIKASI LAPANGAN
Kepala Kuttab Al-Fatih, adalah bagian dari kepemimpinan dalam Islam. Kuttab adalah hasil karya
peradaban Islam dan di dalamnya terdapat kepemimpinan. Bekerja dengan panduan Islam beserta
sejarahnya dalam memimpin Kuttab Al-Fatih tentu merupakan sebuah keniscayaan. Karena tujuan
Kuttab Al-Fatih adalah mengembalikan konsep Pendidikan Islam hari ini sebagaimana Pendidikan Islam
saat kebesaran Islam dulu pernah hadir di muka bumi ini. Ya, pendidikan yang pernah menghasilkan
peradaban yang sangat besar dan sangat dirindui kepemimpinannya oleh bumi ini dan penduduknya.
Namun, kondisi masyarakat hari ini berbeda dengan kondisi masyarakat Islam saat itu. Maka memang
harus banyak penyesuaian dalam pengaplikasiannya di lapangan. Tentu saja tanpa mengubah konsep
dan prinsip dasar yang menjadi fondasinya. Karenanya, Kuttab Al-Fatih hari ini menjadi jembatan yang
menghubungkan antara kondisi pendidikan hari ini menuju kondisi pendidikan Islam (Kuttab) yang ideal.
Mungkin akan sangat berat bagi masyarakat hari ini untuk menerima konsep Kuttab utuh sebagaimana
yang pernah ada. Seperti yang disampaikan Ustadz Budi Ashari, Lc, bahwa kuttab itu seperti Madu
Yaman. Tidak perlu diragukan khasiatnya, namun isinya yang sangat kental bahkan bisa sampai seperti
gulali, sehingga untuk melepaskan kekentalannya kadang harus dengan digunting. Jika orang belum
terbiasa mengkonsumsi Madu Yaman, maka ia akan kesusahan untuk menelannya. Maka harus
dicampur dengan air agar bisa ditelan oleh orang yang belum terbiasa mengkonsumsinya. Begitulah kira-
kira perumpamaannya.
Kepala Kuttab Al-Fatih sebagai pemimpinnya, memiliki tanggung jawab besar dalam memimpin gerbong
peradaban berbentuk Kuttab ini. Di lapangan, seorang Kepala Kuttab memiliki porsi terbanyak dalam
berinteraksi dengan berbagai pihak. Sehingga Kepala Kuttab dituntut untuk mampu mengayomi semua
orang yang terlibat di Kuttab Al-Fatih agar kondusifitasnya tetap terjaga. Berikut beberapa interaksi oleh
kepala Kuttab:
Memilih Kuttab Al-Fatih sebagai tempat berjuang dalam mengambil bagian demi tegakknya agama ini
ternyata menuntut konsekuensi yang sangat besar. Karena ternyata amanah membersamainya butuh
kesungguhan yang luar biasa. Dan begitulah peradaban besar Islam, tidak akan pernah besar hanya
dengan sekedar coba-coba, ataupun dengan sungguh-sungguh namun kesungguhan tanpa ilmu yang
mendasarinya.
Awalnya, masuk Kuttab Al-Fatih hanya ingin menjalani hidup sebagaimana agama ini memerintahkan,
yaitu mencari penghidupan. Namun mengenalnya lebih dalam, memahami konsepnya lebih jauh, dan
mengikuti budaya yang terbangun, cukup membuat terpana. Seolah terasa sangat segar di kepala
tersebab kehausan akan ilmu dan kekeringan akan konsep pendidikan yang selama ini ada. Seiring
berjalannya waktu, mengikuti setiap proses di dalamnya membuat hati semakin cinta. Terlebih saat
melihat hasil didikannya, walaupun masih sementara, namun sudah sangat terasa keistimewaannya.
Berusaha untuk melakukan peran terbaik di setiap amanah yang dilalui, kini amanah semakin meninggi.
Posisi yang sebelumnya tidak pernah terfikirkan sama sekali, kini sudah bertengger di atas pundak untuk
dipikul dengan tanggung jawab yang tinggi, semoga Allah selalu menguatkan pundak ini dan
membimbing langkah ini.
Tuntutan untuk mengikuti Dauroh Qiyadah selama 4 pekan 3 hari di Depok, tentu bukan hal yang ringan
untuk dilalui. Karena harus jauh meninggalkan seorang istri yang sedang mengandung dengan usia
kandungan yang cukup tua. Terlebih saat mendengar kabar kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi oleh
istri saat semuanya harus dikerjakan secara mandiri. Namun begitulah amanah menuntut, mudah-
mudahan bukan hanya ternilai sekadar menjalani amanah pekerjaan, namun lebih dari itu, yaitu bagian
dari mengilmui diri untuk mengemban amanah kepemimpinan dalam gerbong peradaban ini.
Menjalani dauroh selama kurang lebih 1 bulan hari membuat diri ini semakin menyadari bahwa memang
amanah ini sangat besar. Karenanya, Manajemen Kuttab Al-Fatih pusat seolah tidak ingin lalai dan asal
dalam memberikan amanah kepala Kuttab di setiap cabang tanpa membekalinya dengan ilmu yang
minimal mencukupi. Dihadirkanlah para petinggi Kuttab Al-Fatih sebagai narasumber untuk berdiskusi,
membahas semua sisi yang harus diperhatikan dengan cukup rinci. Hasilnya, membuat diri ini merasa
semakin tidak percaya diri, karena rasanya tidak layak dan seperti tidak cukup kuat untuk memikul
beban ini. Namun karena ini adalah sebuah amanah, maka semua hasil diskusi itu menciptakan sebuah
dorongan yang sangat kuat untuk terus belajar. Belajar agar bisa menjalankan peran dengan kontribusi
terbaik.
Masih tersimpan kuat dalam ingatan, bahwa ternyata kepemimpinan ini memiliki dua sisi yang berbeda.
Seperti sebuah koin, sisi yang satu adalah kepemimpinan secara umum (Qiyadah), sedangkan sisi
satunya adalah kemampuan manajerial (Idarah). Tentu akan sangat sempurna jika kedua hal tersebut
berada dalam diri satu orang. Namun sepertinya kemampuan yang dimiliki saat ini belum cukup untuk
memiliki keduanya. Oleh sebab itu, pesan dari Sang Guru, Ustadz Budi Ashari, Lc, adalah agar setiap
kepala Kuttab memaksimalkan terlebih dahulu kemampuan manajerial, karena memang itu tugas
utamanya.
Kembali kepada amal di Bab I, inilah bentuk ladang amal yang diberikan oleh Kuttab Al-Fatih. Sehingga
harus diupayakan dengan kerja-kerja terbaik. Semoga Allah mudahkan kita semua menuju takdir
masing-masing, dan mudah-mudahan itulah takdir yang akan membawa kebesaran Islam kembali hadir
di bumi ini.