Anda di halaman 1dari 16

A.

DEFINISI SLE
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik
yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan
kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke
dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati,
sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.

B. PENYEBAB SLE
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka
kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada
saudara kembar non-identik (2-9%).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar
UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit.
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada
sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral
sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu
terjadinya SLE.

C. PATOFISIOLOGI SLE
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan
aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks
imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen
spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri,
antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein
DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau
berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh
sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA
yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin

Gambar Patofisiologi SLE


yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen.
Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan
sitokin, molekul CD 40, CTLA-4
Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada
satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel
sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3
mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak
dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen
jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan
teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah
autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke
dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya
fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan.

D. MANIFESTASI KLINIS SLE


Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE
adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan. Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia
umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena
adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki.
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus
pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari
dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas
(photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE.
Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis,
alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud.
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis,
miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk
gejala endokarditisLibman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan
hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga
dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE.
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang
meliputi pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam,
sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun
mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25%
kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering

timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi
vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali.
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer
berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara.
Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi,
kejang, dan stroke.
Gambar Pembagian Manifestasi Klinis pada Penderita SLE

Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat


inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada
pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik.
Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan
terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5%
pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi.
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka
dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan
dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi
secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya
preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat
memperparah penyakitnya.
Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum
kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering
disebut lupus nefritis. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika –
Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin, penurunan respon
terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik yang
persisten

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SLE


Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini
bervariasi,diantaranya :
- Pemeriksaan Darah Lengkap
- Tes Darah ANA (Anti Nuclear Antibody). Tes ini akan
mengidentifikasi antibody (autoantibody) yang memakan sel-sel
berguna bagi tubuh. Hasil positif tes ANA tersebut belum bisa
dikatakan seseorang menderita Lupus. Perlu dibutuhkan data lain
seperti gejala, catatan fisik pasien dan tes lengkap laboratorium
hingga dipastikan si pasien apakah menderita Lupus.
- Ruam kulit atau lesi yang khas
- Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
- Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan
adanya gesekan pleura atau jantung.
- Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih
dari 0,5 mg/hari atau +++
- Hitung Jenis Darah menunjukkan adanya penurunan beberapa
jenis sel darah.
- Biopsi ginjal
- Anibodi anti doublestranded-DNA, antibody antifosfolipid,antibody
lain (anti-Ro,anti-La,anti-RNP), factor Rheumatoid, titer komplemen
C3,C4 dan CH50, titer IgM,IgG,dan IgA, Uji Coombc, Kreatin,
Ureum darah, Protein urin>0,5 gram/24 jam (Nefritis), dan encitraan
(foto Rontgen Toraks), USG ginjal, MRI kepala.

F. DIAGNOSIS BANDING SLE


Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA)
menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun
1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat
ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih
kriteria dari 11 kriteria yaitu :
(1) Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah
hidung dan pipi.
(2) Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik
keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan
parut.
(3) Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya
matahari.
(4) Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
(5) Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh
nyeri, bengkak, atau efusi.
(6) Serositis
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi
gesekan pleura atau adanya efusi pleura.
b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi
gesekan perikard atau efusi perikard.
(7) Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
b.Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
(8) Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
(9) Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari
400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm 3), atau
trombositopenia (kurang dari 100.000/mm 3) tanpa ada obat
penginduksi gejala tersebut.
(10) Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya
antibodi antifosfolipid
(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap
saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus

G. PENATALAKSANAAN SLE
Tujuan pengobatan LES adalah mengontrol manifestasi penyakit,
sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi
berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan
kematian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:

a. Antiinflamasi non-steroid
Untuk pengobatan simptomatik artralgia nyeri sendi.
b. Antimalaria
Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang
memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.
c. Kortikosteroid
- Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam
dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu minimal
sebelum dilakukan penyapihan.
- Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan
anemi hemolitik.
d. Obat imunosupresan/sitostatika
Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP,
nefritis difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan kasus
yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
e. Obat antihipertensi
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
f. Kalsium
Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi
prednison berisiko untuk mengalami osteopenia, karenanya
memerlukan suplementasi kalsium.
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar
pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan
adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam.
Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat
tradisional.
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan
untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak
boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan
kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila
terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung
matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat
meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien LES.

H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan Klien, meliputi :
- Biografi Klien (nama, alamat, jenis kelamin, status pernikahan,
pekerjaan, dan etnis klien)
- Keluhan utama klien
- Riwayat kesehatan yang lampau (riwayat imunisasi, alergi, penyakit
dan pemeriksaan diagnostic yang pernah dijalani klien)
- Riwayat kesehatan keluarga (penyakit yang diidap anggota
keluarga yang lain)
- Profil klien (pengetahuan,lingkungan,factor spiritual, gaya hidup,
seksualitas, dan respon stress dari klien)
b. Pengkajian Keperawatan (bisa dengan metode head to toe atau
system by system)
- Inspeksi area kulit terutama bagian wajah/inspeksi adanya butterfly
rash
- Palpasi area abdomen, apakah terdapat nyeri abdomen
- Perkusi bagian abdomen untuk mengkaji adanya gas pada GI Tract
klien
- Auskultasi dada dan punggung klien untuk memastikan kebersihan
jalan nafas klien
- TTV, meliputi suhu tubuh, nadi, kecepatan pernafasan, dan tekanan
darah.
c. Rekam medis
2. Diagnosis Keperawatan,Intervensi, Rasional, dan Evaluasi
- Dx : Nyeri akut b.d inflamasi/kerusakan jaringan
Tujuan : Setelah diberikan askep 1x24 jam inflamasi berkurang
KH : Nyeri berkurang diukur melalui skala nyeri
Tanda inflamasi berkurang
INTERVENSI RASIONAL
1. Selidiki keluhan nyeri 1. Membantu dalam
(PQRST). Catat respon menentukan kebutuhan
nonverbal manajemen nyeri
2. Berikan matras/kasur 2. Memberikan
busa, bantal, tinggikan kenyamanan.
linen tempat tidur sesuai
kebutuhan. 3. Mencegah terjadinya
3. Dorong untuk sering
kelelahan umum dan
mengubah posisi. Bantu
kekakuan sendi.
pasien untuk bergerak di
tempat tidur, hindari
4. Meningkatkan relaksasi,
gerakan keras.
membeikan rasa control
4. Dorong penggunaan
dan meningkatkan
teknik manajemen stress.
kemampuan koping.
Misalnya : relaksasi
progresif, sentuhan
terapeutik, biofeedback,
visualisasi, pedoman 5. Meningkatkan relaksasi,
imajinasi, hypnosis diri, mengurangi spasme,
pengendalian nafas. memudahkan untuk turut
5. Beri obat sebelum
serta dalam terapi.
aktivitas/latihan yang 6. Megurangi nyeri otot,
direncanakan sesuai jaringan lain.
petunjuk.
6. Berikan NSAID sesuai
order
Evaluasi : Klien menunjukkan tanda-tanda sesuai dengan KH yang
telah dijabarkan sebelumnya.

- Dx : Kerusakan Integritas kulit b.d perubahan fungsi barier kulit


Tujuan : Pemeliharaan Integritas kulit
KH : Tidak ada laserasi
Integritas kulit baik

INTERVENSI RASIONAL
1. Lindungi kulit yang 1. Mencegah
sehat terhadap kemungkinan
kemungkinan laserasi. terjadinya laserasi.
2. Beritahu pasien untuk 2. Mengurangi/
penggunaan tabir mencegah
surya. photosensitivity.
3. Kolaborasi pemberian 3. NSAID atau
NSAID atau kortikosteroid adalah
kortikosteroid. anti-inflamasi.
Evaluasi : Klien menunjukkan tanda-tanda sesuai dengan KH yang
telah dijabarkan sebelumnya.

- Dx : Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d


factor biologis.
Tujuan : Setelah diberikan askep selama 1x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi klien terpenuhi secara adekuat.
KH : Mempertahankan BB dalam batas normal
Klien mampu menghabiskan ½ porsi makanan yang
disediakan
Klien mengalami peningkatan nafsu makan
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji pemenuhan 1. Mengetahui
kebutuhan nutrisi kekurangan nutrisi
klien klien.
2. Kaji penurunan 2. Agar dapat dilakukan
nafsu makan klien. intervensi dalam
pemberian makanan
3. Jelaskan pada klien.
3. Dengan pengetahuan
pentingnya makan
yg baik tentang nutrisi
bagi proses
akan memotivasi
penyembuhan.
untuk meningkatkan
4. Ukur tinggi dan BB
pemenuhan nutrisi.
klien. 4. Membantu dalam
identifikasi malnutrisi
protein-kalori
5. Ciptakan suasana
khususnya bila BB
makan yang
kurang dari normal.
menyenangkan. 5. Membuat waktu
makan lebih
6. Berikan makanan menyenangkan, yang
dengan jumlah dapat mengingkatkan
kecil dan bertahap. nafsu makan.
7. Kolaborasi dengan 6. Untuk memudahkan
ahli gizi untuk proses makan.
membantu
7. Ahli gizi adalah
memiliki makanan
spesialisasi ilmu gizi
yang dapat
yang membantu klien
memenuhi
memilih makanan
kebutuhan gizi
sesuai dengan
selama sakit.
keadaan sakitnya,
usia,tinggi,berat
badannya.
Evaluasi : Klien menunjukkan tanda-tanda sesuai dengan KH yang
telah dijabarkan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Joe. Systemic Lupus Eritematosus (SLE) atau Lupus Eritmatosus


Sistemik (LES). 2009.
(http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-
erytematosus-sle-atau-lupus-eritematosus-sistemik-les/, diakses tanggal
30 Oktober 2011, jam 17.42)
2. Gopar,Adul. Lupus Eritematosus Sistemik.2009.
(http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/lupus-eritematosus-
sistemik.pdf, diakses tanggal 27 Oktober 2011, jam 21.43)
3. Nanang. Lupus Eritematosus Sistemik.
(http://staff.ui.ac.id/internal/140067028/material/LupusEritematosusSistemi
kpendidikan-drnanang.pdf, diakses tanggal 24 Oktober 2011, jam 21.45)
4. Judith M, Wilkinson. Nursing Diagnosis Hand Book. 2005. New Jersey :
Pearson Education,Inc.
5. Nanda International. Nursing Diagnoses : Definition And Classification
2009-2011. 2011. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
PROJECT BASED LEARNING
(PJBL) 2
SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS
(SLE)

NAMA ANGGOTA KELOMPOK :

1. DESAK GEDE PREMA WAHINI (105070201131010)


2. ANGGRAENI CITRA S. (105070200131007)
3. VINA NUR PUSPITASARI (105070201131004)
4. SHINDY ANGGRAENI PUTRI (105070201131001)
5. MUHAMMAD HAFIDL HASBULLAH (1050701131016)
6. DIANITA AYU RETNANI (105070201131006)
7. TITIK TRI ARDIANI (105070207131001)
8. ANISFUL LAILI MUNAWAROH (105070201131005)
9. I PUTU RYAN ARISTYA PUTRA (105070207131004)
10. ALFAT AYU MARGA (105070200131009)
11. SABITA NORMALIYA (105070201131012)

JURUSAN : PSIK-K3LN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011

Anda mungkin juga menyukai