LP Stroke Non Hemoragik
LP Stroke Non Hemoragik
Disusun oleh:
SURAKARTA
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
3. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik klien yang terkena serangan stroke menurut
(Black & Hawk, 2009), bervariasi tergantung pada penyebabnya,
luas area neuron yang rusak, lokasi neuron yang terkena serangan,
dan kondisi pembuluh darah kolateral di serebral. Manifestasi dari
stroke iskemik termasuk hemiparesis sementara, kehilangan fungsi
wicara dan hilangnya hemisensori (Black & Hawk, 2009). Stroke dapat
dihubungkan dengan area kerusakan neuron otak maupun defisit
neurologi, menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari
stroke meliputi:
1) Kehilangan Motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas
dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik. Disfungsi motor yang paling umum adalah Hemiparesis
(kelemahan) dan hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) sering
terjadi setelah stroke, yang biasanya desebabkan karena stroke pada
bagian anterior atau bagian tengah arteri serebral, sehingga memicu
terjadinya infark bagian motorik dari kortek frontal.
2) Aphasia, klien mengalami defisit dalam kemampuan
berkomunikasi, termasuk berbicara, membaca, menulis dan
memahami bahasa lisan. Terjadi jika pusat bahasa primer yang
terletak di hemisfer yang terletak di hemisfer kiri serebelum tidak
mendapatkan aliran darah dari arteri serebral tengah karena
mengalami stroke, ini terkait erat dengan area wernick dan brocca.
3) Disatria, dimana klien mampu memahami percakapan tetapi sulit
untuk mengucapkannya, sehingga bicara sulit dimengerti. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara.
4) Apraksia yaitu ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya, seperti terlihat ketika klien mengambil sisir
dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
5) Disfagia, dimana klien mengalami kesulitan dalam menelan
karena stroke pada arteri vertebrobasiler yang mepengaruhi saraf
yang mengatur proses menelan, yaitu N V (trigeminus), N VII
(facialis), N IX (glossofarengeus) dan N XII (hipoglosus).
6) Pada klien stroke juga mengalami perubahan dalam penglihatan
seperti diplopia.
7) Horner’s syndrome, hal ini disebabkan oleh paralisis nervus simpatis
pada mata sehingga bola mata seperti tenggelam, ptosis pada kelopak
mata atas, kelopak mata bawah agak naik keatas, kontriksi pupil dan
berkurangnya air mata.
8) Unilateral neglected merupakan ketidak mampuan merespon stimulus
dari sisi kontralateral infark serebral, sehingga mereka sering
mengabaikan salah satu sisinya.
9) Defisit sensori disebabkan oleh stroke pada bagian sensorik dari lobus
parietal yang disuplai oleh arteri serebral bagian anterior dan medial.
10) Perubahan perilaku, terjadi jika arteri yang terkena stroke bagian otak
yang mengatur perilaku dan emosi mempunyai porsi yang bervariasi,
yaitu bagian kortek serebral, area temporal, limbik, hipotalamus,
kelenjar pituitari yang mempengarui korteks motorik dan area bahasa.
11) Inkontinensia baik bowel ataupun kandung kemih merupakan
salah satu bentuk neurogenic blader atau ketidakmampuan kandung
kemih, yang kadang terjadi setelah stroke. Saraf mengirimkan pesan
ke otak tentang pengisian kandung kemih tetapi otak tidak dapat
enginterpretasikan secara benar pesan tersebut dan tidak
mentransmisikan pesan ke kandung kemih untuk tidak mengeluarkan
urin. Ini yang menyebabkan terjadinya frekuensi urgensi dan
inkontinensia.
Factor-faktor resiko
stroke
Aterosklerosis (A. karotis Katup jantung rusak,
interna) miokard infark, fibrilasi,
hiperkoagulasi
Thrombosis serebral endokarditis
Penyumbatan pembuluh
Penyempitan pembuluh darah otak oleh lemak,
darah atau stenosis udara, bekuan darah
Emboli serebral
Aliaran darah lebih cepat
melalui lumen yang lebih
Deficit neurologis tiba-tiba,
kecil Hemiparesis/hemiplegia
Penurunan gradient tekanan tiba-tiba, afasia, kehilangan
di tempat kontriksi kesadaran (related to causa
jantung),
Tingkat kritis Serangan biasanya terjadi
saat beraktifitas
tertentu
Bervariasi sesuai Turbulensi aliran
dengan lokasi darah
sumbatan
hemiplegic/pareste Thrombus pecah Oklusi/sumbatan pembuluh darah
sia setengah tubuh
Pasokan darah berkurang
Afasia
Kerusakan neuron irreversible
Ketidakseimban Ketidakefektifan
Gangguan Hambatan gan nutrisi: bersihan jalan
kurang dari napas
eliminasi mobilitas
urin/defekasi fisik kebutuhan
tubuh
5. Komplikasi
Komplikasi stroke meliputi Hipoksia Serebral, penurunan aliran darah
serebral, dan luasnya area cedera.
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi
darah adekuat ke otak.
b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung,
dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat
(pemberian intarvena) harus menjamin penurunn viskositas darah
dan memperbaiki aliran darah serebral.
c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi
atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik.
6. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab
stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang
menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang
dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan
leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings.
Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke
membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli,
perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer
(palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan gangguan
kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya
sendiri.
2) Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi
gejala stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki
gejala seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk
mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting dalam
pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan
tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan
sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak
dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus
pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus
dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya
ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau
mengerutkan dahinya.
3) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran
dan mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti
polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan leukemia).
Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang
sedang diderita saat ini seperti anemia.
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi
kelainan yang memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia,
hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang diderita
pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan
koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika
digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara
stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga
mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung
dengan hasil yang buruk dari stroke.
4) Pemeriksaan Radiologi
a. CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien
stroke non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera
mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk
menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi
kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan
stroke (hematoma, neoplasma, abses). Adanya perubahan hasil CT
scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam
setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat
daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan
ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya
stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense
MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan
gray-white matter.
b. CT perfusion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk
mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan
melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region
otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya
iskemik di daerah tersebut.
c. CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT
angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek
pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari
pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat
memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami
hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.
d. MR Angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan
oklusi lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini
dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit
serta waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI
memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2
standar dapat dikombinasikan dengan protokol lain
seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted
imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat
mendeteksi stroke non hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi
iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI
juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat
mengukur langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa
dengan CT perfusion. Kontras dimasukkan dan beberapa gambar
dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.
e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika
dicurigai stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan
pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna
untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut
termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri
vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan
pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai
mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan
untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini
juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri.
Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan
jantung adalah EKG dan foto thoraks.
7. Penatalaksanaan
1) Terapi Trombolitik
Tissue plasminogen activator (recombinant t-PA) yang
diberikan secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi
plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin,
fibrinogen dan protein pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS
(National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di Amerika
Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah
onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari
dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan
dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati
pasien tidak mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari
rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang diperkirakan sekitar
6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah mendapat
pengakuan FDA pada tahun 1996.
2) Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke
yang mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak
banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu
berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan
yang memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri
basilaris, trombosis arteri karotis dan infark serebral akibat
kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai
terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin
tersebut.
a. Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein
plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati,
ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah
48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang
merugikan: hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.
b. Heparin
Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas
lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin.
Waktu paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau
infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus
initial 50 mg diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis
atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting
Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin:
memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi,
alopesia, osteoporosis dan diare.
3) Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu
peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas
trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal
eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran
darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi
hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi
jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen
plasma. Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah.
Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200
mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.
4) Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
a. Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara
menurunkan sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang
mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan
obat pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai
bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari samapi
1.300 mg/hari. Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali
sehari. Aspirin harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi
yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah
diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise
ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein
plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam.
Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan
glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen
dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis.
Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan,
hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.
b. Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi
aspirin, dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini
bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan
melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran
platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-platelet yang
diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Efek
samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4
persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel
darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih
serius, teyapi jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik
dan anemia aplastik.
5) Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi.
Jika kondisi pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak
yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari jaringan yang
mengalami infark harus dilakukan.
a. Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis
interna yang mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami
stroke di daerah sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis
arteri karotis interna yang sedang hingga berat. Karotis
Endarterektomi adalah prosedur bedah untuk membersihkan plak
dan membuka arteri karotis yang menyempit di leher.
Endarterektomi dan aspirin lebih baik digunakan daripada
penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke.
Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah
vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas
akibat prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5
persen. (Simon, Harvey. Stroke – Surgery)
b. Angioplasti dan Sten Intraluminal
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan
vertebral serta pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga
patensi lumen pada stenosis arteri serebri masih dalam
penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti
lebih aman dilaksanakan dibandingkan endarterektomi namun
juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih besar. Carotid
angioplasty dan stenting (CAS) digunakan sebagai alternative
dari carotid endarterectoomi untuk beberapa pasien. CAS
berdasarkan pada prinsip yang sama seperti angioplasty untuk
penyakit jantung.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
- Identitas klien
- Identitas penangung jawab
b. Riwayat keperawatan
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit sekarang
- Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat penyakit keluarga
c. Pengkajian pola fungsional (GORDON)
1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
2. Pola nutrisi/metabolik
3. Pola eliminasi
4. Pola aktivitas dan latihan
5. Pola istirahat tidur
6. Pola kognitif perseptual
7. Pola persepsi konsep diri
8. Pola hubungan peran
9. Pola seksualitas reproduksi
10. Pola mekanisme koping
11. Pola nilai dan keyakinan
d. Pemeriksaan fisik
1. Keadaaan/penampilan umum
a. Kesadaran
b. Tanda-tanda vital
2. Kepala
3. Muka
4. Leher
5. Dada
6. Jantung
7. Abdomen
8. Genetalia
9. Rektum
10. Ekstremitas
e. Pemeriksaan penunjang
f. Terapi medis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot (00085)
b. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan (00201)
3. Intervensi
1) Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharap mobilitas fisik
teratasi.
Kriteria Hasil:
- ekstermitas atas 5/5
- ekstermitas bawah 5/5
Intervensi:
- monitor tanda-tanda vital
- dorong keluarga / orang yang penting untuk bicara pada pasien
- ajarkan / lakukan latihan ROM aktif
- kolaborasikan dengan dokter saraf dan ahli terapi
2) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharap ketidakefektifan
perfusi jaringan dapat teratasi.
Kriteria Hasil:
- TTV normal
- Berfungsinya syaraf dengan baik
Intervensi:
- Monitor kompikasi dari tira baring, tonus otot, nyeri puggung
- Gunakan alat di tempat tidur degan cara yang tepat
- Ajarkan keluarga latihan ROM di tempat tidur dengan tepat
- Kolaborasikan dengan keluarga dalam latihan tirah baring
4. Implementasi
Implementasi Keprawatan merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh perawat maupun dengan tenaga medis lain untuk
membantu pasien dalam penyembuhan dan perawatan serta masala
kesehatan yang di hadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam rencana
keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Nurssalam (2011), evaluasi keperawatan terdiri dari dua
jenis yaitu :
a. Evaluasi formatif : evaluasi yang di lakukan sampai dengan tujuan
tercapai
b. Evaluasi Sumatif : evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini
menggunakan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA
Bowman, Lisa. (2009). Management Of Client With Acute Stroke. In: Black, Joice M.
& Jane Hokanson Hawks, Medical Surgical Nursing: Clinical Management For
Positive Outcome (8th ed., pp 1843-1871). Philadelpia: WB. Saunders Company
Goldszmidt, Adrian J & Caplan, Louis R. (2011). Esensial Stroke. Jakarta: EGC
Go, Alan S., Mozaffarin, D., Roger, Veronique L., Benjamin, Emelia J., Berry, Jarett
D., Borden, William D. (2013). Heart Disease and Stroke Statistics—2013
Update: A Report From the American Heart Association. 127, e132-e139.
Smelzer, Suzanne C dan Brenda Bare. (2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th ed. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Zomorodi, Meg. (2011). Nursing Management Stroke. In: Lewis, Sharon L et al,
Medical Surgical Nursing: Assessment And Management Of Clinical Problem
(8th ed., pp. 1459-1484). United States of America: Elsevier Mosby