OLEH :
SAIDAH
19149011100071
B. Klasifikasi
Stroke dibagi 2 jenis yaitu: stroke iskemik dan stroke hemoragik (Nurarif &
Kusuma, 2015).
1. Stroke iskemik (non hemoragik) yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% adalah
stroke iskemik. Stroke iskemik ini dibagi 3, yaitu :
C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan stroke (Nurarif & Kusuma, 2015):
1. Faktor yang tidak dapat dirubah (Non Reversible)
a. Jenis kelamin : Pria lebih sering ditemukan menderita stroke dibanding wanita.
b. Umur : makin tinggi usia makin tinggi pula resiko terkena stroke.
c. Keturunan : adanya riwayat keluarga yang terkena stroke.
2. Faktor yang dapat dirubah (Reversible)
a. Hipertensi,
b. Penyakit jantung,
c. Kolestrol tinggi,
d. Obesitas,
e. Diabetes Melitus.
f. Polisetemia,
g. Stress emosional.
3. Kebiasaan hidup.
a. Merokok,
b. Peminum alkohol,
c. Obat-obatan terlarang,
d. Aktivitas yang tidak sehat: kurang olahraga, makanan berkolestrol.
D. Patofisiologi
Setiap kondisi yang meyebabkan perubahan perfusi darah pada otak yang
menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang berlangsung lama dapat menyebakan
iskemik otak. Iskemik yang terjadi dalam waktu yang singkat kurang dari 10-15 menit
dapat menyebabkan defisit sementara dan bukan defisit permanen. Sedangkan iskemik
yang terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan sel mati permanen dan
mengakibatkan infark pada otak.
Setiap defisit fokal permanen akan bergantung pada daerah otak mana yang
terkena. Daerah otak yang terkena akan menggambarkan pembuluh darah otak yang
terkena. Pembuluh darah yang paling sering mengalami iskemik adalah arteri serebral
tengah dan arteri karotis interna. Defisit fokal permanen dapat diketahui jika klien
pertama kali mengalami iskemik otak total yang dapat teratasi.
Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat karena trombus atau emboli,
maka mulai terjadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan otak. Kekurangan okigen
dalam satu menit dapat menunjukan gejala yang dapat pulih seperti kehilangan
kesadaran. Sedangkan kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama menyebabkan
nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area yang mengalami nekrosis disebut infark.
Gangguan peredaran darah otak akan menimbulkan gangguan pada metabolisme
sel-sel neuron, dimana sel-sel neuron tidak mampu menyimpan glikogen sehingga
kebutuhan metabolisme tergantung dari glukosa dan oksigen yang terdapat pada
arteri-arteri menuju otak.
Perdarahan intrakranial termasuk perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau
ke dalam jaringan otak sendiri. Hipertensi mengakibatkan timbulnya penebalan dan
degeneratif pembuluh darah yang menyebabkan rupturnya arteri serebral sehingga
perdarahan menyebar dengan cepat dan menimbulkan perubahan setempat serta iritasi
pada pembuluh darah otak.
Perdarahan biasanya berhenti karena pembentukan trombus oleh fibrin trombosit
dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu, darah mulai direabsorbsi. Ruptur ulangan
merupakan resiko serius yang terjadi sekitar 7-10 hari setelah perdarahan pertama.
Ruptur ulangan mengakibatkan terhentinya aliran darah kebagian tertentu,
menimbulkan gegar otak dan kehilagan kesadaran, peningkatan tekanan cairan
serebrospinal (CSS), dan menyebabkan gesekan otak (otak terbelah sepanjang serabut).
Perdarahan mengisi ventrikel atau hematoma yang merusak jaringan otak.
Perubahan sirkulasi CSS, obstruksi vena, adanya edema dapat meningkatkan
tekanan intrakranial yang membahayakan jiwa dengan cepat. Peningkatan tekanan
intrakranial yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebellum.
Disamping itu, terjadi bradikardia, hipertensi sistemik, dan gangguan pernafasan.
Darah merupakan bagian yang merusak dan bila terjadi hemodialisa, darah dapat
mengiritasi pembuluh darah, menigen, dan otak. Darah dan vasoaktif yang dilepas
mendorong spasme arteri yang berakibat menurunnya perfusi serebral. Spasme serebri
atau vasospasme biasa terjadi pada hari ke-4 sampai ke-10 setelah terjadinya
perdarahan dan menyebabkan vasokonstriksi arteri otak. Vasospasme merupakan
kompikasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan fokal neurologis, iskmik otak
dan infark.
PATHWAY
Faktor Pencetus/Penyebab
Terjadi trombus
Resiko
Suplai jaringan
darah dan O2 keotak
cerebral tidak efektif
menurun Penurunan kapasitas Penekanan
adaptif intrakranial saluran
pernafasan
Iskemik/infark
Pola nafas
tidak efektif
Area brocca Defisit neurologis
Nyeri akut
Kerusakan N. VII Disfungsi N.XI
dan N. IX
Hemisfer kiri/kanan
Gangguan
komunikasi verbal
Hemiparese/plegi Hambatan
kanan&kiri mobilitas fisik
E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul tergantung dari jenis stroke (Nurarif & Kusuma, 2015).
1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul
mendadak,
2. Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik),
3. Perubahan mendadak pada status mental (kesadaran menurun),
4. Mulut mencong atau tidak simetris ketika menyeringai,
5. Gangguan penglihatan,
6. Gangguan daya ingat,
7. Bicara pelo atau cadel,
8. Mual dan muntah,
9. Nyeri kepala hebat,
10. Vertigo
11. Gangguan fungsi otak.
F. Komplikasi
1. Kecacatan fisik
2. Kelumpuhan
3. Mata tidak tertutup rapat
4. Sering tersedak saat makan
5. Bicara cadel
6. Kematian (Sulansi, 2015).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada stroke, meliputi:
1. Angiografi serebral: membantu menemukan penyebab stroke secara spesifik,
seperti perdarahan atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur.
2. CT Scan: memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan infark.
3. Fungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis,
emboli serebral, dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya hemoragik subaraknoid atau perdarahan intrakranial. Kadar
protein meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi.
4. MRI (Magnetic Resonance Imagging): menunjukkan daerah yang mengalami
infark, hemoragik, malformasi arterivena (MAV).
5. Utrasono Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah system arteri
karotis [aliran darah atau muncul plak], arteriosklerotik).
6. EEG (Elektroensefalogram): mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang
otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7. Sinar X tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari massa yang meluas; kalsifikasi parsial dinding aneurisma
pada perdarahan subaraknoid.
8. Diffusion-weighted imaging (DWI): memperlihatkan daerah- daerah yang
mengalami infark sebagai daerah putih terang.
9. Perfussion-weight imaging (PWI): pemindaian sekuansial selama 30 detik setelah
penyuntikan gadolinium. Daerah-daerah otak yang kurang mendapatkan perfusi
akan lambat memperlihatkan pemunculan zat warna kontras yang disuntikan
tersebut, dan aliran darah yang lambat tampak putih. Pemindahan serial dapat
mengungkapkan tiga tipe pola yang berlainan: repefusi dini, reperfusi lambat dan
defisit perfusi persisten.
10. Pemeriksaan laboratorium standar mencakup urinalisis, HDL, laju endap darah
(LED), panel metabolik dasar (natrium, kalium, klorida, bikarbonat, glukosa, dan
serologi untuk sifilis. Pada klien yang dicurigai mengalami stroke iskemik, panel
laboratorium mengevaluasi keadaan hiperkoagulasi termasuk perawatan dasar.
Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah protombin dengan rasio normalisasi
internasional (INR), waktu tromboplastin parsial; dan hitung trombosit.
Pemeriksaan lain yang mungkin dilakukan adalah antibody antikardiolipin, protein
C dan S, antitrombin III, plasminogen, faktor V Leiden, dan resistensi protei C
aktif.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan stroke di unit gawat darurat meliputi:
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
Oleh karena jendela terapi stroke akut sangat pendek, evaluasi dan diagnosis klinik
harus cepat. Evaluasi gejala dan tanda klinik meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita
saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar,
kejang, gangguan visual, penuruanan kesadaran, serta factor resiko stroke.
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher, misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang,
bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif.
Pemeriksaan thorax (jantung dan paru), abdomen, kulit, dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologik dan skala stroke. Pemeriksaan neurologic terutama
pemeriksaan saraf kraniales, rangsang meningen, system motorik, sikap dan cara
jalan, reflex, koordinasi, sensorik, dan fungsi kognitif. Skala stroke yang
dianjurkan saat in adalah NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale)
d. Studi diagnostik stroke akut meliputi CT scan tanpa kontras, KGD, elektrolit
darah, tes fungsi ginjal, EKG, penanda iskemik jantung, darah rutin, PT/INR,
aPTT, dan saturasi oksigen.
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan
1) Perbaikan jalan nafas dengan pemasangan pipa orofaring.
2) Pada pasien hipoksia diberi suplai oksigen
b. Stabilisasi hemodinamik
1) Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari cairan hipotonik)
2) Optimalisasi tekanan darah
3) Bila tekanan darah sistolik < 120mmHg dan cairan sudah mencukupi, dapat
diberikan obat-obat vasopressor.
4) Pemantauan jantung harus dilakukan selama 24 jam pertama.
5) Bila terdapat CHF, konsul ke kardiologi.
c. Pemeriksaan awal fisik umum
1) Tekanan darah
2) Pemeriksaan jantung
3) Pemeriksaan neurologi umum awal
a) Derajat kesadaran
b) Pemeriksaaan pupil dan okulomotor
c) Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian peninggian TIK
1) Pemantauan ketat terhadap risiko edema serebri harus dilakukan dengan
memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologik pada hari pertama
stroke
2) Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9 dan pasien yang
mengalami penurunan kesadaran
3) Sasaran terapi TIK < 20 mmHg
4) Elevasi kepala 20-30º.
5) Hindari penekanan vena jugulare
6) Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
7) Hindari hipertermia
8) Jaga normovolemia
9) Osmoterapi atas indikasi: manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4-6 jam, kalau perlu diberikan furosemide dengan dosis inisial
1 mg/kgBB IV.
10) Intubasi untuk menjaga normoventilasi.
11) Drainase ventrikuler dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar
e. Pengendalian Kejang
1) Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20 mg dan diikuti phenitoin
loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
2) Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat antiepilepsi
profilaksis, selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila
kejang tidak ada.
f. Pengendalian suhu tubuh
1) Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika
dan diatasi penyebabnya.
2) Beri asetaminophen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5ºC
I. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan Peningkatan TIK
2. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan Peningkatan
TIK
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan neurovaskuler
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Peningkatan TIK
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan Kerusakan neurovaskuler
6. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injury biologis (Peningkatan TIK)
J. Penatalaksanaan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1 Penuruna Setelah dilakukan tindakan Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring
kapasitas keperawatan selama 3x 24 (monitor tekanan intracranial) :
adaptif jam, diharapkanmasalah Berikan informasi kepada keluarga
intrakranial teratasi, dengan kriteria Monitor tekanan perfusi serebral
b.d. hasil: Catat respon pasien terhadap stimulasi
Peningkatan Circulation status Monitor tekanan intracranial dan respon
TIK Tissue Prefusion : neurology terhadap aktivitas
Cerebral Monitor jumlah drainage cairan
Mendemonstrasikan cerebrospinal
status sirkulasi yang Monitor intake dan output cairan
ditandai dengan : Monitor suhu dan angka WBC
Tekanan systole dan Kolaborasi pemberian antibiotik
diastole dalam rentang
Posisikan pasien pada posisi semi fowler
yang diharapkan
Minimalkan stimulus dari lingkungan
120/80 mmHg
Peripheral sensation management
Tidak ada ortostatik
(manajemen sensasi perifer) :
hipertensi
Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
Tidak ada tanda-tanda
peka terhadap panas atau dingin, tajam atau
peningkatan tekanan
tumpul
intrakranial (tidak
Monitor adanya paretese
lebih dari 15 mmHg)
Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
Mendemonstrasikan
kulit jika ada isi atau laserasi
kemampuan kognitif
yang ditandai dengan : Gunakan sarung tangan untuk proteksi
Berkomunikasi Batasi gerakan pada kepala, leher dan
dengan jelas dan punggung
sesuai dengan Monitor kemampuan BAB
kemampuan Kolaborasi pemberian analgesik
Menunjukkan Monitor adanya tromboplebitis
perhatian, konsentrasi
dan orientasi
Memproses informasi
Membuka keputusan
dengan benar
Menunjukkan sensori
motorik cranial yang
utuh:
Tingkat kesadaran
membaikTidak ada
gerakan involunter
2 Resiko perfusi Setelah dilakukan tindakan Peripheral Sensation Management
jaringan keperawatan selama 3x 24 (Manajemen sensasi perifer)
serebral tidak jam, diharapkanmasalah Monitor adanya daerah tertentu yang
efektif b.d. teratasi, dengan kriteria hanya peka terhadap
Peningktan hasil: panas/dingin/tajam/tumpul
TIK NOC : Monitor adanya paretese
Circulation status Instruksikan keluarga untuk
Tissue perfusion : mengobservasi kulit jika ada Isi atau
cerebral laserasi
Mendemonstrasikan Gunakan sarun tangan untuk proteksi
status sirkulasi yang Batasi gerakan pada kepala, leher dan
ditandai dengan : punggung
Tekanan systole dan Monitor kemampuan BAB
diastole dalam rentang Kolaborasi pemberian analgetik
yang diharapkan Monitor adanya tromboplebitis
Tidak ada ortostatik Diskusikan menganai penyebab perubahan
hipertensi sensasi
Tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan
intrakranial (tidak
lebih dari 15 mmHg)
Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai dengan:
Berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai dengan
kemampuan
Menunjukkan
perhatian, konsentrasi
dan orientasi
Memproses informasi
Membuat keputusan
dengan benar
Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan
gerakan involunter
3 Hambatan Setelah dilakukan tindakan NIC :
mobilitas fisik keperawatan selama 3x24 Exercise therapy : ambulation
b.d Kerusakan jam, diharapkan klien dapat Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan
neurovaskuler melakukan pergerakan fisik dan lihat respon pasien saat latihan
dengan kriteria hasil : Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
1. Joint Movement : rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Active Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
Mampu berjalan dan cegah terhadap cedera
menggerakan Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
rahang tentang teknik ambulasi
Mampu Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
menggerakan leher Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
Mampu ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
menggerakan Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
tulang belakang dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
Mampu Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
menggerakan jari Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
kanan dan kiri dan berikan bantuan jika diperlukan
2. Mobility Level
Keseimbangan
Koordinasi
Gaya berjalan
3. Self care : ADLs
Mampu makan
sendiri
Mampu berpakaian
sendiri
Mampu toileting
sendiri
4. Transfer performance
Berpindah dari satu
tempat ke tempat
lainnya
Berpindah dari
tempat tidur ke
kursi
4 Pola nafas Setelah dilakukan tindakan Airway Management
tidak efektif perawatan selama 3 x 24 Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
berhubungan jam, diharapkan pola nafas atau jaw thrust bila perlu
dengan pasien efektif dengan Posisikan pasien untuk memaksimalkan
penurunan kriteria hasil : ventilasi
kesadaran 1. Respiratory status : Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
Ventilation jalan nafas buatan
Tinkat pernafasan Pasang mayo bila perlu
membaik Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Ritme pernafasan Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
membaik Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
Kapasitas vital tambahan
membaik Lakukan suction pada mayo
2. Respiratory status : Berikan bronkodilator bila perlu
Airway patency
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Kedalaman Lembab
inspirasi
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
Mampu untuk keseimbangan.
membersihkan
Monitor respirasi dan status O2
sekresi
3. Vital sign Status
Oxygen Therapy
Tanda tanda vital
Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
dalam rentang
Pertahankan jalan nafas yang paten
normal
Atur peralatan oksigenasi
Monitor aliran oksigen
Pertahankan posisi pasien
Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
oksigenasi
5 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Comunication enchancement : Speech deficit
komunikasi keperawatan selama 3 x 24 Libatkan keluarga untuk membantu
verbal b.d jam, diharapkan klien memahami / memahamkan informasi dari /
Penurunan mampu untuk ke klien
sirkulasi berkomunikasi lagi dengan Dengarkan setiap ucapan klien dengan penuh
keotak kriteria hasil: perhatian
1. Anxiety self control Gunakan kata-kata sederhana dan pendek
Memantau inten dalam komunikasi dengan klien
sitas kecemasan Dorong klien untuk mengulang kata-kata
Menghilangkan Berikan arahan / perintah yang sederhana
precursor setiap interaksi dengan klien
kecemasan Programkan speech-language teraphy
Menggunakan Lakukan speech-language teraphy setiap
strategi koping interaksi dengan klien
yang efektif
2. Coping
Identifikasi pola
coping yang
efektif
Identifikasi pola
coping yang
inefektif
Melaporkan
penurunan stres
3. Sensory function:
hearing dan vision
Ketajaman
pendengaran
kanan kiri
Konduksi suara
udara kanan kiri
Respon terhadap
stimulasi
pendengaran
4. Fear self control
Monitor
intensitas
ketakutan
Menghilangkan
precursor
ketakutan
Control respon
ketakutan
6 Nyeri akut b.d. Setelah dilakukan tindakan NIC : Pain Management
Agen injury perawatan selama 3 x 24 Lakukan pengkajian nyeri secara
biologis jam, diharapkan pasien komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
(Peningkatan mampu mengetahui dan durasi frekuensi, kualitas dan faktor
TIK) mengontrol resiko dengan presipitasi
kriteria hasil : Observasi reaksi nonverbal dan
Pain Level, ketidaknyamanan
Pain control Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
Comfort level mengetahui pengalaman nyeri pasien
Mampu mengontrol Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
nyeri (tahu penyebab Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
nyeri, mampu Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan
menggunakan tehnik lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
nonfarmakologi untuk masa Iampau
mengurangi nyeri, Bantu pasierl dan keluarga untuk mencari
mencari bantuan) dan menemukan dukungan
Melaporkan bahwa Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri berkurang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
dengan menggunakan pencahayaan dan kebisingan
manajemen nyeri Kurangi faktor presipitasi nyeri
Mampu mengenali Pilih dan lakukan penanganan nyeri
nyeri (skala, (farmakologi, non farmakologi dan inter
intensitas, frekuensi personal)
dan tanda nyeri) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
Menyatakan rasa menentukan intervensi
nyaman setelah nyeri Ajarkan tentang teknik non farmakologi
berkurang Berikan anaIgetik untuk mengurangi nyeri
Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic Administration
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Berikan analgesik tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala
DAFTAR PUSTAKA
Ghani, Lannywati, Delima dan Mihardja, Laurentia K. 2016. Faktor Risiko Dominan
Penderita Stroke di Indonesia. Vol. 44 No. 01 : 49-58.
Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi, 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 3.
Mediaction. Yogyakarta.
Sulansi, 2015. Stroke Menurut Pasien di RSUD Ende. Vol. 07 No. 03 : 22-30.
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERTENSI
1. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik
160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer, 2001).
1.2 Etiologi
a. Usia
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia
hipertensi pada yang berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan
insiden penyakit arteri dan kematian premature.
b. Jenis Kelamin
Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih
tinggi daripada wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada
wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden
pada wanita lebih tinggi.
c. Ras
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada
yang berkulit putih.
d. Pola Hidup
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup
pasien telah diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah,
tingkat pendidikan rendah dan kehidupan atau pekerjaan yang penuh
stress agaknya berhubungan dengan insiden hipertensi yang lebih
tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan
penyakit arteri koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia
adalah faktor faktor utama untuk perkembangan arterosklerosis yang
berhubungan dengan hipertensi.
1.4 Patofisiologi
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras
saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis Mekanisme yang
mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi.
1.5 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hipertensi adalah sebagai berikut:
a. Gagal jantung
b. Stroke
c. Hipertensi maligna
d. Hipertensi ensefalopati
e. Gagal ginjal
1.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan atau pengobatan hipertensi adalah pengobatan
atau perawatan jangka panjang atau bahkan bisa seumur hidup. Jika
hipertensi jenis sekunder biasanya pengobatan dilakukan dengan
mengobati faktor penyebabnya dahulu kemudian hipertensinya.
Sedangkan untuk hipertensi esensial biasanya akan menggunakan
bantuan obat-obatan untuk menurunkan tekanan darah tinggi.
Kriteria Hasil
Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan /
diperlukan
Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat
diukur
2.3.4 Intervensi Keperawatan dan Rasional
1. Kaji respon klien terhadap aktifitas catat : denyut nadi, keluhan
sesak napas, nyeri dada, keletihan yang sangat, diaphoresis.
R/ Tanda dan gejala tersebut mengindikasikan penurunan curah
jantung da perfusi jaringan , akibat peningkatan preload dan
afterload ventrikel kiri.
2. Berikan dorongan untuk aktivitas / perawatan diri bertahap jika
dapat ditoleransi, berikan bantuan sesuai kebutuhan
R : kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja
jantung tiba – tiba, memberikan bantuan hanya sebatas
kebutuhan akan mendorong kemandirian dalam melakukan
aktivitas.
3. Instruksikan pasien tentang tekhnik penghematan energy
R : tekhnik menghemat energy mengurangi penggunaan energy,
dan juga membantu kesimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
4. Beri jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan
waktu istirahat sepanjang siang dan sore
R : istirahat memungkinkan penghematan energy
5. Kolaborasi pemberian obat digixin
R : pemberian digoxin untuk memperkuat kerja jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol
2, Jakarta, EGC,
Hamzah, : Ensiklopedia Artikel Indonesia, Surabaya.
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
pasien, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Goonasekera CDA, Dillon MJ, 2003. The child with hypertension. In:
Webb NJA, Postlethwaite RJ, editors. Clinical Paediatric
Nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River.
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika.
Smet, Bart.1994. Psikologi Kesehatan. Pt Grasindo:Jakarta.
Soeparman dkk,2007 Ilmu Penyakit Dalam , Ed 2, Penerbit FKUI, Jakarta.
Smeljer,s.c Bare, B.G ,2002 Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Imam, S Dkk.2005. Asuhan Keperawatan Keluarga.Buntara Media:malang