Anda di halaman 1dari 13

IV.4.

Pemisahan Anomali Bouguer Lengkap Regional – Residual


Anomali Bouguer lengkap merupakan perpaduan antara anomali regional
dan anomali residual / lokal. Anomali regional menggambarkan kondisi geologi
secara umum dari daerah penelitian yang dicirikan oleh anomali berfrekuensi
rendah, sedangkan anomali residual / lokal lebih cenderung menggambarkan
kondisi geologi setempat yang dicirikan dengan frekuensi tinggi. Untuk
menganalisa anomali akibat efek struktur geologi lokal maka harus dilakukan
pemisahan terhadap anomali regionalnya. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan untuk melakukan pemisahan anomali regional – residual, antara lain
metode continuasi ke atas (upward continuation), metode pencocokan polinomial
(polynomial fitting) dan metode filtering.

a. Metode kontinuasi ke atas (Upward Continuation).


Metode ini pada dasarnya adalah untuk menghilangkan pengaruh
lokal dan menajamkan anomali regionalnya. Proses penghitungannya
menggunakan program komputer dalam bahasa fortran yang dibuat dalam
beberapa subroutine oleh Blakely (1995) atau menggunakan bantuan dari software
yang sudah ada misalkan Magpick ataupun Oasis Montaj. Sebagai data masukan
diambil dari anomali Bouguer lengkap di bidang datar hasil proyeksi dengan
menggunakan metode pendekatan deret Taylor. Persamaan yang digunakan untuk
kontinuasi ke atas adalah (Blakely, 1995) :
∞ ∞
∆𝑧 𝑈 (𝑥 ′ , 𝑦 ′ , 𝑧0 )
𝑈(𝑥, 𝑦, 𝑧0 − ∆𝑧) = ∫ ∫ 𝑑𝑥′𝑑𝑦 ′
2𝜋 [(𝑥 − 𝑥 ′ )2 + (𝑦 − 𝑦 ′ )2 + ∆𝑧 2 ]3/2
−∞ −∞

dengan U(x’,y’,z0) adalah anomali Bouguer lengkap di bidang datar.

Proses pengangkatan anomali Bouguer lengkap dilakukan setahap demi


setahap sampai diperoleh kontur anomali regional yang cenderung tetap. Pola
kontur yang dihasilkan memiliki pola yang halus dan tidak lagi terdapat pola-
pola lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi dari efek-efek lokal sudah
tereduksi dan hanya menunjukkan kondisi regional dari daerah penelitian yang
disebabkan oleh anomali yang dalam saja.
b. Metode pencocokan polinomial.
Metode pemisahan anomali Bouguer lengkap regional – residual yang
lain adalah metode pencocokan polinomial. Pada metode ini komponen anomali
regional dimisalkan dengan melakukan pendekatan matematis terhadap medan
potensial gravitasi yaitu dalam bentuk polinomial dua dimensi (Abdelrahman,
1985). Dimisalkan komponen anomali regional tersebut dinyatakan dalam fungsi
polinomial R(xi,yi) dan anomali Bouguer lengkap pada setiap titik grid (xi,yi)
adalah G(xi,yi), maka anomali residual pada setiap titik didefinisikan sebagai :

L(xi,yi) = G(xi,yi) - R(xi,yi) (IV.21)

Dari persamaan (6) selanjutnya fungsi polinomial R(xi,yi) dicocokkan


dengan anomali Bouguer lengkap pada titik (xi,yi). Untuk memperoleh kecocokan
antara R(xi,yi) dan G(xi,yi) kita harus cocokkan untuk beberapa derajat polinomial,
karena tingkat kecocokan itu sendiri tergantung dari derajat polinomial yang
diambil. Konstanta-konstanta polinomial ditentukan dengan prinsip kuadrat
terkecil, dimana persamaan (6) harus minimum.

c.Metode pencocokan permukaan (Surface Fitting)


Metode pencocokan permukaan (Surface Fitting). Surface Fitting adalah
suatu metode yang menggunakan operasi least square yaitu menentukan potensial
permukaan dari harga-harga gravitasi yang diamati. Surface fitting dapat
dikembangkan untuk mendapatkan informasi yang maksimal, yaitu dengan
menaikkan orde polinomial surface fitting. Pemilihan orde dilakukan dengan
pertimbangan keadaan geologi daerah survei yaitu dengan mengkorelasikan nilai
anomali gravitasi regional dengan anomali Bouguer. Teknik surface fitting secara
umum dapat digambarkan dalam Gambar IV.8.
Gambar IV.8. Penggunaan surface fitting pada beberapa orde yang
Berbeda (Nettleton, 1991).

Gambar IV.8 melukiskan suatu profil medan gravitasi beserta beberapa


orde polinomial. Dimana, K adalah kurva gravitasi, 1 adalah surface fitting orde 1,
2 adalah surface fitting orde 2, 3 adalah surface fitting orde 3, 4 adalah surface
fitting orde 4.
Surface fitting orde 2 merupakan garis lengkung yang memotong dua
titik pada garis lurus tersebut. Surface fitting orde 3 merupakan garis lengkung
yang memotong ditiga buah titik pada garis lurus. Surface fitting orde 4
merupakan garis lengkung yang memotong garis lurus di empat buah titik.
Gambar IV.9 menggambarkan anomali Bouguer surface fitting orde 7, orde 10,
orde 13.
Gambar IV.9. Penggunaan surface fitting untuk mendapatkan anomali residual
dan Regional
(Nettleton, 1991).

Gambar IV.9 memperlihatkan anomali residual dan regional, anomali


regional adalah selisih antara harga anomali gravitasi dengan surface fittingnya.

Gambar IV.10. Keterangan profil dari Gambar IV.7 (Nettleton, 1991).

Gambar IV.10 merupakan penampang pada satu line profil dari Gambar
IV.9 memberikan gambaran bahwa semakin besar orde, maka semakin mendekati
kurva gravitasi (Klett et. al., 2000). Jika diselisihkan kurva gravitasi dengan
surface fittingnya akan memberikan residual, makin tinggi orde surface fitting
maka akan diperoleh makin tinggi daya pisah anomali residualnya yang berarti
akan memberikan informasi yang lebih banyak lagi. Pada anomali residual orde
10 dan orde 13, dimana bagian central dari anomali residual pada orde 10 belum
terpisahkan menjadi 2 bagian sedangkan pada orde 13 telah terpisahkan.
Pemisahan anomali regional dan residual menggunakan program surface
fitting, sedangkan untuk proses griding menggunakan program USGS.
1. Proses griding dengan program USGS dilakukan dengan langkah-langkaH
sebagai berikut:
a) Menentukan file data dalam ASCII yang terdiri dari :
X = Longitude (dalam satuan derajat atau meter)
Y = Lattitude (dalam satan derajat atau meter)
Z = Anomali Bouguer (mGal)
b) Menentukan interval grid.
c) Menentukan command file yaitu minc.cmd
Dilanjutkan dengan :
 Input file : *.dat
 Output file : *.grd
 Titik awal, yaitu :
-longitude minimum (X0) = 105.0000
-lattitude minimum (Y0) = -5.0000
 Nilai Interval = 0,01°
 Jumlah Baris = nR
 Jumlah Kolom = nC

2. Proses pemisahan anomali menggunakan surface fitting (surfit) dilakukan


Dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Data dikonversi ke program surfit yaitu:
 Input file : *.grd

 Menentukan orde awal, orde akhir, interval Yaitu : orde awal = 1,


orde akhir = 16, interval =1
Hasilnya adalah :
Residual: *.R01, *.R02,…,*.R16.

Surface: *.S01, *.S02,…, *.S16.


b) Mengubah menjadi ASCII
 Memberikan command g2xyz yang akan merubah ekstensi R dan S
menjadi ekstensi xyz. Langkahnya sebagai berikut:
Input : *.R01 atau *S01
Output : *.xyz
Menuliskan perintah xyz2a yang akan merubah data ASCII agar
dapat digunakan pada proses selanjutnya:
Input : *.xyz
Output : *.dat
 Menggunakan surfer untuk memperoleh peta anomali regional dan
residual dengan input file *.dat.

d. Metode Analisis Spektrum


Analisa spektrum dilakukan untuk melihat respon anomali yang berasal
dari zona regional, residual, dan noise, sehingga kedalaman dari anomali gravitasi
dapat diestimasi. Analisa spektrum dilakukan dengan mentransformasi Fourier
lintasan-lintasan yang telah ditentukan.

𝐹(𝑘) = ∫−∞ 𝐹(𝑥) 𝑒 −𝑖𝑘𝑥 dx
dimana k adalah bilangan gelombang, yang nilainya didapatkan dari
persamaan berikut:
2𝜋
𝑘= ≈ 2𝜋𝑓
𝛼

Transformasi Fourier F(k)merupakan suatu fungsi kompleks yang terdiri


dari bilangan real dan imajiner, yaitu :
𝐹 = 𝑅𝑒 𝐹(𝑘) + 𝑙𝑚 𝐹(𝑘)
2 1/2
|𝐹(𝑘) | = [(𝑅𝑒 𝐹(𝑘) ) + (𝑙𝑚 𝐹(𝑘) )2 ]

𝐹(𝑘) = 𝐴𝑚𝑝𝑙𝑖𝑡𝑢𝑑𝑜
Spektrum diturunkan dari potensial gravitasi yang teramati pada suatu
bidang horizontal dimana transformasi Fouriernya menurut Blakely (1996)
adalah:

1
𝐹(𝑈) = 𝐺𝜇𝐹 ( )
𝑟
Dengan :

1 𝑒 |𝑘|(𝑧0−𝑧 )
𝐹 ( ) = 2𝜋 |𝑘|
𝑟

dengan :
U = potensial gravitasi
G = konstanta gravitasi µ
𝜋 = anomali densitas
r= jarak
k= bilangan gelombang
z0 & z’ = ketinggian titik pengukuran dan kedalaman anomali


𝑒 |𝑘|(𝑧0 −𝑧 )
𝐹(𝑈) = 2𝜋 𝐺𝜇
|𝑘|

Berdasarkan pada persamaan di atas, transformasi Fourier anomali


gravitasi yang diamati pada bidang horisontal adalah:

𝐴 = 𝐶𝑒 |𝑘|(𝑧0−𝑧 )

dengan :
A = Amplitudo
C = Konstanta

Dengan melogaritmakan spektrum amplitudo yang dihasilkan dari


transformasi Fourier, maka didapatkan hubungan langsung antara amplitudo (A)
dengan bilangan gelombang (k) dan kedalaman (z0-z’), sehingga memberikan
hasil persamaan garis lurus, yaitu:
𝐼𝑛 𝐴 = |𝑘|(𝑧0 − 𝑧′ )
Estimasi kedalaman tiap anomali dapat dilakukan dengan melakukan
regresi linear pada masing-masing zona, seperti yang terlihat pada Gambar
dibawah. Kedalaman regional akan didapatkan dengan melakukan regresi linear
pada zona regional, dan begitu juga dengan zona residual dan noise.
Gambar IV.11. Pembagian zona anomali melalui grafik lnA terhadap k

IV.5. Total Horizontal Derrivative (THD)


Total Horizontal Derrivative (THD) merupakan salah satu filter yang
digunakan untuk merepresentasikan batas-batas dari tubuh anomali. Batas
tersebut diasumsikan sebagai struktur geologi berupa sesar/patahan. Sesar adalah
rekahan dimana terjadi pergeseran massa batuan secara relatif satu bagian
terhadap yang lainnya. Filter THD dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
1/2
𝛿𝐻 2 𝛿𝐻 2
∇(𝑥, 𝑦) = [( ) + ( ) ]
𝛿𝑥 𝛿𝑦

𝛿𝐻 𝛿𝐻
Dimana, ( 𝛿𝑥 ) dan ( 𝛿𝑦 ) horizontal derivative data gravitasi pada arah x

dan y. Sedangkan x dan y adalah data anomali gravitasi kearah 0° dan 90°
(Muhammad Kamal dkk, 2017).
Asep Sugioanto dkk (2017) berpendapat bahwa magnitudo gradien
horizontal data gaya berat dihitung dari anomali Bouguer pada domain frekuensi.
Struktur sesar yang ditandai dengan adanya kontras densitas batuan umumnya
memiliki magnitudo gradien horizontal yang maksimum. Akan tetapi, menurut
Grauch dan Cordell (1987) magnitudo maksimum gradien horizontal tersebut
dapat bergeser dari posisi sebenarnya apabila struktur sesar memiliki kemiringan
yang landai (tidak mendekati vertikal) atau berdekatan dengan struktur sesar yang
lainnya.
IV.6. Permodelan Geofisika
a. Pemodelan ke Depan (Forward Modelling)
Jika diketahui nilai parameter model bawah permukaan tertentu maka
melalui proses pemodelan ke depan (forward modelling) dapat dihitung data yang
secara teoritik akan teramati di permukaan bumi. Konsep tersebut digunakan
untuk menginterpretasi atau menafsirkan data geofisika. Jika respon suatu model
cocok (fit) dengan data maka model yang digunakan untuk memperoleh respon
tersebut dapat dianggap mewakili kondisi bawah permukaan tempat data diukur.
Untuk itu dilakukan proses coba-coba (trial and error) nilai parameter model
hingga diperoleh data teoritik yang cocok dengan data pengamatan. Seringkali
istilah pemodelan data geofisika dengan cara coba-coba tersebut. Dengan kata
lain, istilah pemodelan ke depan tidak hanya mencakup perhitungan respon model
juga proses coba-coba untuk memperoleh model yang memberikan respon yang
cocok dengan data.
Kecepatan dan keberhasilan metode pemodelan ke depan dengan cara
coba-coba sangat bergantung pada pengalaman subjektif seorang interprener
dalam menebak nilai awal parameter model serta dalam memperkirakan
perubahan nilai parameter model tersebut untuk memperoleh respon yang
semakin dekat dengan data. Semakin kompleks hubungan antara data dengan
parameter model maka semakin sulit proses coba-coba tersebut. Adanya informasi
tambahan dari data geologi atau data geofisika lainnya dapat membantu penentuan
model awal. Secara umum metode pemodelan ke depan membutuhkan waktu
yang cukup lama karena sifatnya tidak otomatis. Namun pada kasus-kasus tertentu
pemodelan ke depan cukup efektif untuk interpretasi data geofisika. Misal jika
data mengandung noise yang cukup besar sehingga metode yang sifatnya otomatis
dan objektif akan menghasilkan solusi yang tidak dikehendaki atau kurang layak
secara geologi (Lewerissa, 2011).

b. Pemodelan Inversi (Inverse Modelling)


Pemodelan inversi (inverse modelling) sering dikatakan sebagai
“kebalikan” dari pemodelan ke depan karena dalam pemodelan inversi parameter
model diperoleh langsung dari data. Teori inversi didefinisikan sebagai suatu
kesatuan teknik atau metode matematika dan statistika untuk memperoleh
informasi yang berguna mengenai suatu sistem fisika berdasarkan observasi
terhadap sistem tersebut. Sistem fisika yang dimaksud adalah fenomena yang
ditinjau, hasil observasi terhadap sistem adalah data sedangkan informasi yang
ingin diperoleh dari data adalah model atau parameter model. Pemodelan inversi
pada dasarnya adalah proses mekanisme modifikasi model agar diperoleh
kecocokan data perhitungan dan data pengamatan yang lebih baik dilakukan
secara otomatis.
Pemodelan inversi sering pula disebut sebagai data fitting karena dicari
parameter model yang menghasilkan respon yang fit dengan data pengamatan.
Kesesuaian antara respon model dengan data pengamatan umumnya dinyatakan
oleh suatu fungsi objektif yang harus diminimumkan. Dalam kalkulus suatu
fungsi mencapai minimum jika turunannya terhadap parameter atau variabel yang
tidak diketahui bernilai nol. Secara lebih umum, model dimodifikasi sedemikian
hingga respom menjadi fit dengan data. Dalam proses tersebut diperlukan respom
model yang diperoleh melalui pemodelan ke depan sehingga pemodelan inversi
dapat dilakukan jika hubungan antara data dan parameter model (pemodelan ke
depan) telah diketahui (Grandis, 2002).

c. Pemodelan Gravitasi
Menurut Lillie (1999) Pemodelan ke depan atau forward modelling dari
suatu distribusi massa merupakan alat yang sangat berguna untuk
menggambarkan anomali Bouguer dan udara bebas yang dihasilkan dari
perbedaan struktur geologi bawah permukaan bumi. Untuk aktivitas tektonik yang
besar, pemodelan gravitasi dapat lebih memberikan pengertian atau pertimbangan-
pertimbangan dari fungsi isostasi suatu wilayah.
Metode ini umumnya digunakan untuk pemodelan data gravitasi secara
dua dimensi (2D) yang dikembangkan oleh Talwani et al (1959). Anomali
gravitasi dihasilkan dari model komputasi sebagai jumlah dari distribusi suatu
benda dengan densitas (ρ) dan volume (V) dimana massa benda setara dengan ρ x
V. Benda dua dimensi dapat diperkirakan pada pempang melintang sebagai
poligon, ditunjukkan pada gambar IV.6.
Gambar IV.13. Pemodelan gravitasi dua dimensi dari distribusi
massa bawah permukaan bumi (Grandis, 2002)

d. Pemodelan Tiga Dimensi (3D)


Tahapan setelah data gravitasi sudah terkoreksi dan dipisahkan antara
anomali lokal dan anomali regional adalah pemodelan. Pada tahap pemodelan,
data gravitasi tersebut ditafsirkan agar mendapat gambaran mengenai struktur
bawah permukaan berdasarkan distribusi rapat massa batuannya. Secara teknik
pemodelan dilakukan dengan membandingkan nilai anomali gravitasi hasil
pengamatan dengan nilai anomali gravitasi dari model geometri yang dibuat.
Pemodelan tiga dimensi dianggap pemodelan yang lebih realistis
dibandingkan dengan pemodelan dua dimensi karena bentuk model geometri
dibuat dapat disesuaikan dengan bentuk benda yang ada di alam. Hasil
perhitungannya pun lebih akurat. Kelemahan dari pemodelan tiga dimensi adalah
pada proses perhitungan yang lama. Namun seiring perkembangan teknologi
dengan bantuan komputer proses perhitungan dapat dilakukan dengan cepat. Pada
penelitian ini model tiga dimensi (3D) yang digunakan adalah model prisma
segiempat (Grandis, 2002).
Gambar IV.14. Perkiraan massa benda tiga dimensi oleh kumpulan prisma
segiempat (Grandis, 2002)

Kumpulan prisma segiempat ini memberikan solusi sederhana untuk


memperkirakan volume dari massa benda tertentu. Jika cukup kecil, setiap prisma
dapat diasumsikan memiliki densitas yang konstan, sehingga dengan prinsip
superposisi, maka anomali gravitasi dari benda pada tiap titik dapat diperkirakan
sebagai jumlahan dari gaya total prisma. Sebagai contoh, prisma segiempat
dengan densitas ρ seragam dengan dimensi yang dibatasi oleh x< x < x2, y1< y <
y2, z1< z < z2, maka gaya vertikal pada sumber diberikan oleh:
𝑧2 𝑦2 𝑥2 𝑧
𝑔 = 𝛾 𝑝 ∫𝑧1 ∫𝑦1 ∫𝑥1 [𝑥 ,2 +𝑦 ′2 +𝑧 ′2 ]3/2
𝑑𝑥′𝑑𝑦′𝑑𝑧′

Dengan γ merupakan konstanta gravitasi dalam satuan Nm2/kg2 (Grandis, 2002).

Contoh Perhitungan :
Diagram alir tahapan pemrosesan data gayaberat secara keseluruhan dapat
dilihat Diagram Alir Pengolahhan Data Gravity halaman 25.
Contoh Perhitungan:

1. Stasiun Base 00
Skala Pembacaan : 1708,1
Konversi Skala Pembacaan : 1700 + 8,1 (Konstanta Konversi)
: 1735,54 + 8,1 (1,02113)
: 1743,81115

Konversi FB (Feed Back) : 1.02113 x (1 / 1064,7) x (40,7)


: 0,03903439

Koreksi Tinggi Alat : 0.3086 x 0.026 m


: 0,080236

Koreksi Pasut : 51,5 x 10-3


: 0,0515

G : 1743,81115 + 0,03903439 + 0,080236 – 0,0515


: 1743,87892

G Absolut : 978125,06600

2.5 Metode Looping


Sehingga dapat disimpulkan lokasi titik acuan harus berupa titik/tempat yang
stabil dan mudah dijangkau. Penentuan titik acuan sangat penting karena
pengambilan data lapangan harus dilakukan secara looping, yaitu dimulai pada
suatu titik yang telah ditentukan, dan berakhir pada titik tersebut. Titik acuan
tersebut perlu diikatkan terlebih dahulu pada titik ikat yang sudah terukur
sebelumnya. Dalam alur pengambilan data dilakukandengan proses looping.
Tujuan dari sistem looping tersebut adalah agar dapat diperoleh nilai koreksi
apungan alat (dirft) yang disebabkan oleh adanya perubahan pembacaan akibat
gangguan berupa guncangan alat selama perjalanan. Dalam pengukuran gaya
berat terdapat beberapa data yang perlu dicatat meliputi waktu pembacaan (hari
jam dan tanggal) dn ketinggian titik ukur. Pengambilan data dilakukan dititik yang
telah direncanakan pada peta topografi dengan interval jarak pengukuran tertentu.

Anda mungkin juga menyukai