Anda di halaman 1dari 29

Hukum dan Etika Rumah Sakit

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia


(PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan
atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini meyangkut hak dan kewajiban segenap
lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, saranan, pedoman standar pelayanan
medik , ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.

Hukum Kesehatan terdiri dari banyak disiplin diantaranya: hukum kedokteran/ kedokteran gigi,
hukum keperawatan, hukum farmasi klinik, hukum apotik, hukum kesehatan masyarakat, hukum
perobatan, hukum rumah sakit, hukum kesehatan lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI,
1993).

Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor:


159b/Men.Kes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit adalah ”Sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan
tenaga kesehatan dan penelitian”.

Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya sebagian besar tenaga hukum kedokteran yaitu
ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau pemeliharaan kesehatan
dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, nutrisionis,
fisioterapis, ahli rekam medik dan lain-lain.

Sedangkan menurut WHO, Rumah Sakit adalah suatu badan usaha yang menyediakan
pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka panjang yang
terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terpeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang
menderita sakit, terluka, mereka yang mau melahirkan dan menyediakan pelayanan berobat
jalan.

Masing-masing disiplin ini umunnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan
anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan juga
telah mempunyai etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).

Dengan demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing profesi harus


berpedoman pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya
apalagi dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar tidak saling berbenturan.

Etik dan Hukum

Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan
morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan
pelayanan jasa kepada masyarakat.
Hukum adalah pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuaaan, dalam mengatur
pergaulan hidup masyarakat.

Etik dan hukum memeiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan tentramnya
pergaulan hidup dalam masyarakat.

Persamaan etik dan hukum adalah sebagai berikut:

1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.


2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat agar tidak saling merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
5. Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.

Sedangkan perbedaan Etik dan hukum adalah sebagai berikut:

1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi . Hukum berlaku untuk umum.


2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum disusun oleh badan
pemerintah.
3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-undang
dan lembaran/berita negara.
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan. Sanksi terhadap pelanggaran hukum
berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang
dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu diteruskan kepada Panitia
Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan
(DEPKES). Pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik. Penyelesaian pelanggaran
hukum memerlukan bukti fisik.

Etika Rumah Sakit

Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical ethics), yaitu
moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti perlakuan terhadap etnik-
etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan, penggunaan hewan untuk bahan makanan atau
penelitian, pelestarian lingkungan hidup, aborsi, etanasia, kewajiban bagi yang mampu untuk
membantu yang tidak mampu, dan sebagainya. Jadi, etika rumah sakit adalah etika umum yang
diterapkan pada (pengoperasian) rumah sakit.

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari
istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas
adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan
perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai
ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Peter Singer, filusf kontemporer dari
Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia
menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
profesional dan terhormat.

Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab
khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan
profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap
masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk
eksekutif lain di rumah sakit.

Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan
dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan
pelayanan profesi itu.

Etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah Sakit sebagai
suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan kehadiran etika biomedis. Atau
dapat juga dikatakan etika institusional rumah sakit adalah pengembangan dari etika biomedika
(bioetika). Karena masalah-masalah atau dilema etika yang baru sama sekali sebagai dampak
atau akibat dari penerapan kemajuan pesat ilmu dan teknologi biomedis, justru terjadi di rumah
sakit. Sebagai contoh, dapat disebut kegiatan reproduksi dibantu transplantasi organ.

Etika rumah sakit terdiri atas dua komponen :

v Etika administratif

v Etika biomedis

Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur adalah tentang:

1. Rekam medis

2. Keperawatan

3. Pelayanan laboratorium

4. Pelayanan pasien dewasa


5. Pelayanan kesehatan anak

6. Pelayanan klinik medik

7. Pelayanan intensif, anestesi dan euthanasia

8. Pelayanan radiologi

9. Pelayanan kamar operasi

10. Pelayanan rehabilitasi medik

11. Pelayanan gawat darurat

12. Pelayanan medikolegal dan lain-lain

Isu-isu etika administratif

Potensi isu etika administratif yang pertama terkait dengan kepemimpinan dan manajemen di
rumah sakit. Fungsi manajemen mencakup antara lain kegiatan menentukan obyektif,
menentukan arah dan memberi pedoman pada organisasi. kegiatan-kegiatan kepemimpinan dan
manajemen ini paling sensitif secara etis. Artinya dalam pelaksanaannya seorang pemimpin yang
manajer puncak sangat mudah disadari atau tidak melanggar asas-asas etika beneficence,
nonmaleficence, menghormati manusia dan berlaku adil. Apalagi jika Direktur Rumah Sakit
berprilaku diskrimatif dan menerapkan standar ganda. Ia menuntut orang lain mematuhi standar-
standar yang ditetapkan. Sedangkan ia sendiri tidak mau memberi teladan sesuai dengan standar-
standar itu

Potensi isu etika administratif berikutnya adalah tentang privasi. Privasi menyangkut hal-hal
konfidensial tentang pasien, seperti rahasia pribadi, kelainan atau penyakit yang diderita,
keadaan keuangan, dan terjaminnya pasien dari gangguan terhadap ketersendirian yang menjadi
haknya. Adalah kewajiban etis rumah sakit untuk menjaga dan melindungi privasi dan
kerahasiaan pasiennya. Harus di akui, hal itu tidak selalu mudah. Misalnya kerahasiaan rekam
medis pasien sukar dijaga, karena rumah sakit modern data dan informasi yang terdapat di
dalamnya terbuka bagi begitu banyak petugas yang karena kewajibannya memang berhak punya
akses terhadap dokumen tersebut. Dapat juga terjadi dilema etika administratif, jika terjadi
keterpaksaan membuka kerahasiaan karena suatu sebab di satu pihak lain kewajiban moral untuk
menjaganya

Persetujuan tindakan medis (Informed consent). Masalah etika administratif dapat terjadi, jika
informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya, yaitu persetujuan yang diberikan
secara sukarela oleh pasien yang kompeten kepada dokter untuk melakukan tindakan medis
tertentu pada dirinya, setelah ia diberi informasi yang lengkap dan dimengerti olehnya tentang
semua dampak dan resiko yang mungkin terjadi sebagai akibat tindakan itu atau sebagai akibat
sebagai tidak dilakukan tindakan itu. Dalam banyak hal, memang tidak terjadi banyak masalah
etika, jika intervensi medis berjalan aman dan outcome klinis sesuai dengan apa yang diharapkan
semua pihak.

Tetapi, dapat saja terjadi suatu tindakan invansif ringan yang rutin dikerjakan sehari-hari
misalnya pendektomi erakibat fatal. Kasus demikian dapat menjadi penyesalan berkepanjangan.
Dapat juga terjadi dilema etik pada dokter dirumah sakit, yang tega mengungkapkan informasi
yang selengkapnya kepada pasien, karena ia tahu jika itu dilakukan pasien akan jadi bingung,
panik, dan takut sehingga ia minta dipulangkan saja untuk mencari pengobatan alternatif.
padahal dokter percaya bahwa tindakan medik yang direncanakan masih besar kemungkinannya
untuk menyelamatkan pasien.

Dilema etika administratif berikutnya di rumah sakit dapat terjadi berhubung dengan faktor-
faktor situasi keuangan. Contoh-contoh berikut ini terjadi sehari-hari.

1. Apakah kemampuan pasien membayar uang muka adalah faktor yang mutlak bagi rumah sakit
untuk memberikan pertolongan kepadanya. karena pertimbangan tertentu, pemilik atau
manajeman rumah sakit mengalokasikan dana yang terbatas untuk proyek tertentu,dan dengan
demikian mengakibatkan kebutuhan lain yang mungkin lebih mendesak, lebih besar manfaatnya,
dan lebih efektif biaya.

2. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap dokter tertentu sangat tinggi tarif jasanya. Jika ditegur
ia pasti akan marah, dan mungkin akan hengkang kerumah sakit lain. padahal ia patient getter
yang merupakan ‘telur emas’bagi rumah sakit.

3. Bagaimana sikap terhadap pasien yang kurang tepat waktu melunasi piutang periodiknya,
padahal ia sangat memerlukan tindakan khusus lanjutan.

4. Untuk rumah sakit milik pemodal, bagaimana sikap manajemen jika ada konflik kepentingan
antara kebutuhan pasien dengan keingginan pemegang saham yang melihat sesuatu hanya dari
perhitungan bisnis.

5. Bagaimana jika ada konflik kepentingan antara pemilik, manajemen dan para klinis yang akar
masalahnya adalah soal keuangan dan pendapatan. Bagaimana sikap manajemen terhadap dokter
tertentu yang dapat diduga melakukan moral hazard dengan berkolusi dengan PBF.

6. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap teknologi mahal; disatu pihak diperlukan untuk
meningkatkan posisi dan citra rumah sakit, di pihak lain potensi moral hazard juga tinggi demi
untuk membayar cicilan kredit atau/ easing.

Isu-isu Etika Biomeidis


Isu etika biomedis di rumah sakit menyangkut persepsi dan perilaku profesional dan instutisional
terhadap hidup dan kesehatan manusia dari sejak sebelum kelahiran, pada saat-saat sejak lahir,
selama pertumbuhan, jika terjadi penyakit atau cidera, menjadi tua, sampai saat-saat menjelang
akhir hidup, kematian dan malah beberapa waktu setelah itu.

Sebenarnya pengertian etika biomedis dalam hal ini masih perlu dipilah lagi dalam isu-isu etika
biomedis atau bioetika yang lahir sebagai dampak revolusi biomedis sejak tahun 1960-an, yang
antara lain berakibat masalah dan dilema baru sama sekali bagi para dokter dalam menjalankan
propesinya. Etika biomedis dalam arti ini didefinisikan oleh International association of
bioethics sebagai berikut; Bioetika adalah studi tentang isu-isu etis,sosial,hukum,dan isu-isu
lainyang timbul dalam pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biolagi (terjemahan oleh penulis).

Pengertian etika biomedis juga masih perlu dipilah lagi dalam isu-isu etika medis’tradisional’
yang sudah dikenal sejak ribuan tahun, dan lebih banyak menyangkuthubungan individual dalam
interaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Kemungkinan adanya masalah etika medis
demikianlah yang dalam pelayanan di rumah sakit sekarang cepat oleh masyarakat (dan media
masa) ditunding sebagai malpraktek.

Isu-isu Bioetika

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam arti pertama
(bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa genetik,teknologi
reproduksi,eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ, penggantian kelamin, eutanasia, isu-
isu pada akhir hidup, kloning terapeutik dan kloning repraduktif. Sesuai dengan definisi di atas
tentang bioetika oleh International Association of Bioethics ,kegiatan-kegiatan di atas dalam
pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biologi tidak hanya menimbulkan isu-isu etika,tapi juga isu-
isu sosial, hukum, agama, politik, pemerintahan, ekonomi,kependudukan,lingkungan hidup,dan
mungikin juga isu-isu di bidang lain.

Dengan demikian,identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam arti tidak hanya
terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite Etika Rumah Sakit dan para
dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah etika medis ‘tradisional’- melainkan
kepedulian dan bidang kajian banyak ahlimulti- dan inter-displiner tentang masalah-masalah
yang timbul karena perkembangan bidang biomedis pada skala mikro dan makro,dan tentang
dampaknya atas masyarakat luas dan sistemnilainya,kini dan dimasa mendatang
(F.Abel,terjemahan K.Bertens).

Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika yang sekarang sudah
banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia.Dengan demikian,identifikasi dan pemecahan
masalah etika biomedis dalam arti pertama tidak dibicarakan lebih lanjut pada presentasi ini.
yang perlu diketahui dan diikuti perkembangannya oleh pimpinan rumah sakit adalah tentang
‘fatwa’ pusat-pusat kajian nasional dan internasional,deklarasi badan-badan internasional seperti
PBB, WHO, Amnesty International, atau’fatwa’ Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional
(diIndonesia;AIPI) tentang isu-isu bioetika tertentu, agar rumah sakit sebagai institusi tidak
melanggar kaidah-kaidah yang sudah dikonsesuskan oleh lembaga-lembaga nasional atau
supranasional yang terhormat itu. Dan jika terjadi masalah bioetika dirumah sakit yang belum
diketahui solusinya,pendapat lembaga-lembaga demikian tentu dapat diminta.

Isu-isu Etika Medis

Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam pelayanan medis dirumah
sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya malpraktek, terutama oleh
dokter. Padahal, etika disini terutama diartikan kewajiban dan tanggung jawab institusional
rumah sakit. Kewajiban dan tanggung jawab itu dapat berdasar pada ketentuan hukum (Perdata,
Pidana, atau Tata Usaha Negara) atau pada norma-norma etika.

Hukum Rumah Sakit

Hukum kesehatan eksistensinya masih sangat relatif baru, dalam perkembangannya di Indonesia,
semula dikembangkan oleh Fred Ameln dan Almarhum Prof. Oetama dalam bentuk ilmu hukum
kedokteran. Perkembangan kehidupan yang pesat di bidang kesehatan dalam bentuk sistem
kesehatan nasional mengakibatkan di perlukannya pengaturan yang lebih luas, dari hukum
kedokteran ke hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan (hukum kesehatan).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan
hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi penerima jasa pelayanan
kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi pembangunan di
bidang kesehatan diperlukan adanya perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi
perubahan terhadap kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak
yang terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.

Sesuai dengan pengertian hukum kesehatan, maka hukum rumah sakit dapat disebut sebagai
semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan
kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai
penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu
rumah sakit dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum
lainnya.

Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit
dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu :

a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak
rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga perawatan melakukan tindakan
perawatan.

b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien
bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan
pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln, 1991: 75-76).
Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/ tenaga kesehatan agar tidak
menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien, sekaligus pasien mendapatkan
perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab rumah sakit dan dokter/ tenaga kesehatan.

Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit
bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga
bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365
KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).

Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan
(YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang terdiri dari :

1) Unsur mutu yang dijamin kualitasnya;

2) Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan

3) Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan atau medik
khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).

Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya landasan hukum
dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien (kontrak-terapetik), mengetahui dan
memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter dan adanya wajib simpan
rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan (M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999: 29).

Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter rumah sakit memiliki
hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI), Surat Edaran
Dirjen Yan Med No: YM 02.04.3.5.2504 tentang Pedoman Hak & Kewajiban Pasien, Dokter dan
Rumah Sakit

Panitia Etika Rumah Sakit (PERS)

Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) disusun oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI). ERSI ini memuat tentang kewajiban umum rumah sakit, kewajiban rumah sakit
terhadap masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban rumah sakit terhadap
staf dan lain-lain.

Pada saat ini beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah badan yang
menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah sakit besar di Indonesia telah
ada badan yang dibentuk di bawah nama Panitia Etika Rumah Sakit (PERS) yang di luar negeri
disebut Hospital Ethical Commitee dimana anggotanya terdiri dari staf medis, perawatan,
administratif dan pihak lain yang berkaitan dengan tugas rumah sakit.
Fungsi Panitia Etika Rumah Sakit

Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat atau konsultasi melalui diskusi atau berperan dalam
menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada lingkungannya dan memberikan
anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.

Dengan demikian PERS dapat memberikan manfaat :

1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di rumah sakit.

2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan memberikan pendapat untuk
penyelesaian.

3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau tidak, perkara
pelanggaran etik ke MKEK.

Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di rumah sakit
dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik maupun pemantapan pengalaman kode
etik masing-masing profesi.

Hospital Bylaw

Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’ mungkin
sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata ‘Bylaw’ terdapat
beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford Illustrated Dictionary:Bylaw
is regulation made by local authority or corporation. Pengertian lainnya, Bylaws means a set of
laws or rules formally adopted internally by a faculty, organization, or specified group of
persons to govern internal functions or practices within that group, facility, or
organization (Guwandi, 2004). Dengan demikian, pengertian Bylaw tersebut dapat disimpulkan
sebagai peraturan dan ketentuan yang dibuat suatu organisasi atau perkumpulan untuk mengatur
para anggota-anggotanya. Keberadaan Hospital Bylaw memegang peranan penting sebagai tata
tertib dan menjamin kepastian hukum di rumah sakit. Ia adalah ‘rules of the game’ dari dan
dalam manajemen rumah sakit.

Ada beberapa ciri dan sifat Hospital Bylaw yaitu pertama tailor-made. Hal ini berarti bahwa isi,
substansi, dan rumusan rinci Hospital Bylaw tidaklah mesti sama. Hal ini disebabkan oleh karena
tiap rumah sakit memiliki latar belakang, maksud, tujuan, kepemilikan, situasi, dan kondisi yang
berbeda. Adapun ciri kedua, Hospital Bylaw dapat berfungsi sebagai ‘perpanjangan tangan
hukum’. Fungsi hukum adalah membuat peraturan-peraturan yang bersifat umum dan yang
berlaku secara umum dalam berbagai hal. Sedangkan kasus-kasus hukum kedokteran dan rumah
sakit bersifat kasuistis. Dengan demikian, maka peraturan perundang-undangannya masih harus
ditafsirkan lagi dengan peraturan yang lebih rinci, yaitu Hospital Bylaw. Sebagaimana diketahui,
hampir tidak ada kasus kedokteran yang persis sama, karena sangat tergantung kepada situasi
dan kondisi pasien, seperti kegawatannya, tingkat penyakitnya, umur, daya tahan tubuh,
komplikasi penyakitnya, lama pengobatan yang sudah dilakukan, dan sebagainya. Ketiga,
Hospital Bylaw mengatur bidang yang berkaitan dengan seluruh manajemen rumah sakit
meliputi administrasi, medik, perawatan, pasien, dokter, karyawan, dan lain-lain. Keempat,
rumusan Hospital Bylaw harus tegas, jelas, dan terperinci. Hospital Bylaw tidak membuka
peluang untuk ditafsirkan lagi secara individual. Kelima, Hospital Bylaw harus bersifat
sistematis dan berjenjang.

Hospital Bylaw merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: tata tertib rawat
inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit, informed
consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia kedokteran, komite medik,
panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses dokter terhadap fasilitas rumah sakit,
persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan
dan rekanan. Adapun bentuk HBL dapat merupakan kumpulan dari Peraturan Rumah
Sakit, Standar Operating Procedure(SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman,
Pemberitahuan dan Perjanjian (MOU). Namun demikian, peraturan internal rumah sakit tidak
boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan Presiden,
Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut harus
selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan
pelaksanaannya.

Belakangan ini tidak jarang keluhan masyarakat bahwa rumah sakit tidak melayani masyarakat
dengan baik. Bahkan beberapa rumah sakit saat ini telah dituntut karena pelayanan yang tidak
sesuai harapan. Ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa masih ada rumah sakit yang belum
mempunyai aturan rumah sakit yang jelas, sistematis, dan rinci. Karena itu, sesuai prinsip tailor
made rumah sakit seharusnya mempunyai Hospital Bylaw yang disesuaikan dengan situasi dan
kondisi.

Banyaknya kasus malapraktik di negara ini merupakan salah satu bentuk dari kurang
demokratisnya dokter dalam melayani pasien. Tidak dapat disangkal bahwa di negara ini masih
banyak rumah sakit yang menerapkan doctor-oriented. Padahal, seharusnya manajemen rumah
sakit menetapkan patient-oriented.

Akibat manajemen rumah sakit yang kerap kali ”menganakemaskan” para dokternya, dalam
artian mengelola rumah sakit berdasarkan keinginan para dokter, telah menjadi bumerang bagi
perkembangan rumah sakit di negara ini. Contoh kecil berkembangnya sikap doctor-oriented
dapat dilihat dari perekrutan dokter oleh pihak pengelola rumah sakit. Dalam hal ini, pihak
manajemen akan mempekerjakan dokter-dokter yang sudah terkenal dan mempunyai pasien
tetap.

Secara ekonomis, praktik seperti ini memang menguntungan. Pasien-pasien dokter yang direkrut
tersebut akan berpindah ke rumah sakit di mana si dokter berpraktik, selain berpraktik secara
pribadi. Padahal, hal seperti ini tidak boleh dilakukan karena dokter dengan kemampuannya yang
terbatas, tidak mungkin bisa menangani begitu banyak pasien. Otak dan tubuh kita perlu istirahat
setelah digunakan dalam jangka waktu tertentu. Tapi, hal ini sering diabaikan karena sejumlah
dokter lebih mementingkan nilai material yang dapat diraihnya.

Dengan demikian, kepentingan Hospital Bylaw dapat dilihat dari tiga sudut yaitu pertama, untuk
kepentingan peningkatan mutu pelayanan. Dalam hal ini Hospital Bylaw dapat menjadi
instrumen akreditasi rumah sakit. Rumah sakit perlu membuat standar-standar yang berlaku baik
untuk tingkat rumah sakit maupun untuk masing-masing pelayanan misalnya pelayanan medis,
pelayananan keperawatan, administrasi dan manajemen, rekam medis, pelayanan gawat darurat,
dan sebagainya. Standar-standar ini terdiri dari elemen struktur, proses, dan hasil. Adapun
elemen struktur meliputi fasilitas fisik, organisasi, sumber daya manusianya, sistem keuangan,
peralatan medis dan non-medis, AD/ART, kebijakan, SOP/Protap, dan program. Proses adalah
semua pelaksanaan operasional dari staf/unit/bagian rumah sakit kepada
pasien/keluarga/masyarakat pengguna jasa rumah sakit tersebut. Hasil (outcome) adalah
perubahan status kesehatan pasien, perubahan pengetahuan/pemahaman serta perilaku yang
mempengaruhi status kesehatannya di masa depan, dan kepuasan pasien.

Kepentingan yang kedua, dilihat dari segi hukum Hospital Bylaw dapat menjadi tolak ukur
mengenai ada tidaknya suatu kelalaian atau kesalahan di dalam suatu kasus hukum kedokteran.
Di dalam Hukum Rumah Sakit pembuktian yang lebih rinci harus terdapat dalam Hospital
Bylaw. Ketiga, dilihat dari segi manajemen risiko, maka HBL dapat menjadi alat (tool) untuk
mencegah timbulnya atau mencegah terulangnya suatu risiko yang merugikan. Dengan demikian,
pasien akan semakin terlindungi sesuai prinsip patient safety. Hospital Bylaw juga akan
memperjelas fungsi dan kedudukan dokter dalam sebuah rumah sakit . Sebagai tenaga medis,
dokter dituntut melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi yang ditetapkan dalam
upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan. Apalagi, berdasarkan strategi WTO pada tahun 2010
Indonesia akan membuka peluang dokter asing untuk berpraktik. Sementara itu, ASEAN
bersepakat dua tahu lebih cepat yaitu pada tahun 2008 membuka peluang yang sama untuk
tenaga kesehatan.

Masalah Etika dan Hukum di Rumah Sakit

Masalah etika dan hukum di rumah sakit yang paling marak saat ini adalah
malpraktek. Malpraktek (medis) sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti kesalahan dalam
menjalankan profesi. Berkhouwer dan Borstman (dikutip oleh Veronica Komalawati)
mengatakan, seorang dokter melakukan kesalahan profesi, apabila ia tidak memeriksa, tidak
membuat penilaian, tidak melakukan tindakan atau tidak menghindari tindakan (tertentu),
sedangkan dokter-dokter yang baik pada umumnya pada situasi yang sama akan melakukan
pemeriksaan, membuat penilaian, melakukan tindakan atau menghindari tindakan (tertentu).

Kita dapat melihat bahwa: Pertama, definisi ini bersifat relatif. Baik buruknya seorang dokter
menjalankan profesinya dibandingkan dengan rata-rata dokter lain. Tentu ini ada kelemahan-
kelemahannya, dapat saja seorang dokter yang inovatif di tuduh melakukan malpraktek karena ia
melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan kebanyakan dokter lain, padahal yang ia lakukan
adalah baik dan bermanfaat bagi pasien. Soal standar profesi tidak disinggung dalam devinisi
itu,mungkin karena belum ada, karena buku dua ahli hukum Belanda itu diterbitkan lebih
daripada setengah abad yang lalu dalam tahun 1950.

Kedua, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, dalam definisi ini dengan kesalahan
profesional ditonjolkan tentang kelainan; dokter tentu tidak melakukan pemeriksaan. tidak
membuat penilaian, tidak melakukan tindakan, dan tidak menghindari tindakan tertentu. Ini
sesuai dengan pemahaman, bahwa malpraktek adalah sama dengan negligence.

Sesuai dengan konteks makalah ini, tentang malpraktek dengan latar belakang pelanggaran
hukum tidak dibicarakan lebih jauh. Fokus utama adalah pada masalah etika medis di rumah
sakit.

1. Etika dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.

2. Etika rumah sakit adalah etika institusi, jadi kewajiban dan tanggng jawab itu adalah
institusional, bukan individual.

3. Namun, eksekutif puncak rumah sakit- sebagai yang oleh pemilik melalui Governing Body
(Badan Pengampu, Majelis Wali Amanah, Dewan Pembina, atau nama jenis yang lain) diberi
kekuasaan mengelola dan tanggung jawab rumah sakit, dengan sendirinya juga adalah
penanggung jawab moral dan etika institusional.

4. Etika medis berhubungan dengan hidup dan kesehatan. Objek kewajiban dan tanggung jawab
pada etika medis adalah hidup dan kesehatan manusia dan kelompok manusia dilingkungan luar
rumah sakit. itu berarti pasien staf serta karyawan rumah sakit,dan masyarakat.

5. Masalah etika rumah sakit timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap asas-asas etika
(umum)dan Kode Etik Rumah Sakit, yang adalah uraian lebih operasional dari asas-asas etika.

6. Asas-asas etika yang diterapkan pada etika rumah sakit sebagai etika praktis adalah:

 o Rumah sakit berbuat kebaikan (benifecence) dan tidak menimbulkan mudharat atau cidera
(nonmalifecence) pada pasien, staf dan karyawan,masyarakat umum,serta lingkungan hidup.
Dua asas etika klasik ini sudah ada dalam lafal Sumpah Hipprokrates sejak lebih 23 abad
yang lalu. Dua asas ini adalah juga ajaran semua agama. Ajaran islam hampir selalu
menyebut dua asas itu dalam satu kalimat (Amar ma ‘arupnahi mungkar).dalam ajaran agama
hindu, nonmaleficence adalah Ahimsa.
 o Asas menghormati manusia (respect for persons) berarti menghormati pasien,staf dan
karyawan,serta masyarakat dalam hal hidup dan kesehatan mereka. itu berarti menghormati
otonomi (hak untuk mengambil keputusan tentang diri sendiri),hak-hak asasi sebagai warga
negara, hak atas informasi,hak atas privasi,hak atas kerahasiaan,seta harkat dan mertabat
mereka sebagai manusia dan lain-lain.
 o Asas keadilan (justice): keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perlakuan yang
‘fair’terhadap pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum.
Identifikasi Masalah Etika Di Rumah Sakit

Kurt Darr mengatakan, bahwa seorang eksekutuf rumah sakit tidak perlu sampai mengikuti
kursus tentang pilosofi atau etika untuk dapat mengidentifikasikan masalah etika, walaupun
kursus-kursus demikian akan banyak menolong. yang penting,harus ada kepekaan, kebiasaan
melakukan refleksi (an inquiring mind), dan etika pribadi (personal etics)yang cukup baik. tiga
pertanyaan berikut ini dianjurkan diajukan pada diri sendiri untuk mengidentifikasikan
kemungkinan adanya etika pada kasus tertentu.

 Apakah pasien, staf dan karyawan, atau masyarakat umum dalam kasus tertentu itu
diperlakukan seperti saya ingin diperlakukan dalam kasus seperti itu? ini dinamakan The
Golden Rule.
 Apakah pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum cukup dilindungi terhadap
kemungkinan cidera dalam keberadaan dan pelayanan di rumah sakit?
 Apakah penjelasan tentang informed conset kepada pasien cukup memberi informasi baginya
tentang apa yang akan dilakukan pada dirinya?

Jika salah satu atau lebih dari tiga pertanyaan itu terjawab dengan “tidak”,ada indikasi masalah
etika pada kasus yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah:

 Adakah pasal-pasal dalam Kode Etik Rumah Sakit yang dilanggar?


 Adakah asas-asas etika umum yang dilanggar?
 Jika masih perlu untuk lebih memastikan: Teori etika mana yang dapat dipakai untuk
pembenaran keputusan atau tindakan rumah sakit yang menimbulkan masalah etika
administratif atau etika biomedis.

Sama halnya dengan proses pemecahan masalah secara umum, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang tepat adalah bagian penting proses itu.

Pemecahan Masalah Etika Di Rumah Sakit

Setelah berhasil mengidentifikasikan adanya masalah etika administratif, masalah bioetika,


masalah medis tradisional, atau gabungan berbagai masalah etika itu dirumah sakit, langkah
berikutnya adalah mencari solusi untuk masalah-masalah itu. Perlu segera ditambahkan, bahwa
pemecahan masalah etika secara umum tidak mudah. Pada dasarnya ada dua model untuk
pemecahan masalah secara umum; model terprogram (rasional) dan model tak terprogram.

Model rasional terprogram mungkin dapat diterapkan pada pemecahan banyak masalah
manajemen umum, tetapi rasio saja tidak selalu berhasil diterapkan pada pemecahan masalah
etika. Masalah etika administratif tertentu di rumah sakit yang menyangkut proses atau prosedur
mungkin dapat lebih mudah dipecahkan secara rasional. Tetapi, masalah etika biomedis yang
menyangkut substansi atau prinsif sering kali sangat sensitif, karena itu rasio saja tidak selalu
efektif. Diperlukan kebijaksanaan yang umumnya tidak dapt diprogramkan.
Dianjurkan langkah langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah etika rumah sakit:

1. Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-komponennya,


menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar masalah.Akar masalah adalah
penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi. Ia dapat berupa kelemahan pada manusia,
kepemimpinan, manajemen, budaya organisasi, sarana, alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor
lain.

2. Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root cause
analysis),untuk menetapkan arah pemecahannya.

3. Menetapkan beberapa alternatif untuk pemecahan akar masalah.

4. Memilih alternatif yang situasional terbaik untuk pemecahan masalah itu.

5. Memantau dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan yang sudah dilaksanakan.

6. Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang lagi terjadi.
Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika manusia sebagai
penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah sakit.

Kesimpulan

1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap
lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman medik
serta sumber-sumber hukum lainnya.

2. Rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan telah mempunyai etika yang di
Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).

Saran

Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, masing-masing profesi harus berpedoman pada etika
profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya apalagi dalam wadah dimana
mereka berkumpul (rumah sakit) agar tidak saling berbenturan.

Referensi

Guwandi, J. 2005. Rahasia Medis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI


Hanafiah, M.Jusuf dan Amri Amir. 1998. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Medan:
EGC

Hukum dan Etika Rumah Sakit


November 26, 2008dr. Cinta

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia


(PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini meyangkut hak
dan kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya,
organisasi, saranan, pedoman standar pelayanan medik , ilmu pengetahuan kesehatan
dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.

Hukum Kesehatan terdiri dari banyak disiplin diantaranya: hukum kedokteran/


kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi klinik, hukum apotik, hukum
kesehatan masyarakat, hukum perobatan, hukum rumah sakit, hukum kesehatan
lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor:


159b/Men.Kes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit adalah ”Sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian”.

Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya sebagian besar tenaga hukum kedokteran
yaitu ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau
pemeliharaan kesehatan dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi,
apoteker, perawat, bidan, nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik dan lain-lain.

Sedangkan menurut WHO, Rumah Sakit adalah suatu badan usaha yang menyediakan
pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka
panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terpeutik dan rehabilitatif untuk
orang-orang yang menderita sakit, terluka, mereka yang mau melahirkan dan
menyediakan pelayanan berobat jalan.

Masing-masing disiplin ini umunnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan
anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan
kesehatan juga telah mempunyai etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah
Sakit Indonesia (ERSI).
Dengan demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing profesi
harus berpedoman pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi
disiplin lainnya apalagi dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar
tidak saling berbenturan.

Etik dan Hukum

Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik
merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.

Hukum adalah pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuaaan,


dalam mengatur pergaulan hidup masyarakat.

Etik dan hukum memeiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan tentramnya
pergaulan hidup dalam masyarakat.

Persamaan etik dan hukum adalah sebagai berikut:

1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.


2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat agar tidak saling merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
5. Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.

Sedangkan perbedaan Etik dan hukum adalah sebagai berikut:

1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi . Hukum berlaku untuk umum.


2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum disusun oleh badan
pemerintah.
3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-undang
dan lembaran/berita negara.
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan. Sanksi terhadap pelanggaran hukum
berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang
dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu diteruskan kepada Panitia
Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan
(DEPKES). Pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik. Penyelesaian pelanggaran
hukum memerlukan bukti fisik.

Etika Rumah Sakit

Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical
ethics), yaitu moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti
perlakuan terhadap etnik-etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan, penggunaan
hewan untuk bahan makanan atau penelitian, pelestarian lingkungan hidup, aborsi,
etanasia, kewajiban bagi yang mampu untuk membantu yang tidak mampu, dan
sebagainya. Jadi, etika rumah sakit adalah etika umum yang diterapkan pada
(pengoperasian) rumah sakit.

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem
tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk.
Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus
hidup dan bertindak? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika
dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya
secara tertukar-tukar.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi)
profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika
adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan
penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.

Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap
diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak
langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat
tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.

Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk


diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan
buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.

Etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah Sakit
sebagai suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan kehadiran
etika biomedis. Atau dapat juga dikatakan etika institusional rumah sakit adalah
pengembangan dari etika biomedika (bioetika). Karena masalah-masalah atau dilema
etika yang baru sama sekali sebagai dampak atau akibat dari penerapan kemajuan
pesat ilmu dan teknologi biomedis, justru terjadi di rumah sakit. Sebagai contoh, dapat
disebut kegiatan reproduksi dibantu transplantasi organ.

Etika rumah sakit terdiri atas dua komponen :

v Etika administratif
v Etika biomedis

Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur adalah tentang:

1. Rekam medis

2. Keperawatan

3. Pelayanan laboratorium

4. Pelayanan pasien dewasa

5. Pelayanan kesehatan anak

6. Pelayanan klinik medik

7. Pelayanan intensif, anestesi dan euthanasia

8. Pelayanan radiologi

9. Pelayanan kamar operasi

10. Pelayanan rehabilitasi medik

11. Pelayanan gawat darurat

12. Pelayanan medikolegal dan lain-lain

Isu-isu etika administratif

Potensi isu etika administratif yang pertama terkait dengan kepemimpinan dan
manajemen di rumah sakit. Fungsi manajemen mencakup antara lain kegiatan
menentukan obyektif, menentukan arah dan memberi pedoman pada organisasi.
kegiatan-kegiatan kepemimpinan dan manajemen ini paling sensitif secara etis. Artinya
dalam pelaksanaannya seorang pemimpin yang manajer puncak sangat mudah
disadari atau tidak melanggar asas-asas etika beneficence, nonmaleficence,
menghormati manusia dan berlaku adil. Apalagi jika Direktur Rumah Sakit berprilaku
diskrimatif dan menerapkan standar ganda. Ia menuntut orang lain mematuhi standar-
standar yang ditetapkan. Sedangkan ia sendiri tidak mau memberi teladan sesuai
dengan standar-standar itu
Potensi isu etika administratif berikutnya adalah tentang privasi. Privasi menyangkut
hal-hal konfidensial tentang pasien, seperti rahasia pribadi, kelainan atau penyakit yang
diderita, keadaan keuangan, dan terjaminnya pasien dari gangguan terhadap
ketersendirian yang menjadi haknya. Adalah kewajiban etis rumah sakit untuk menjaga
dan melindungi privasi dan kerahasiaan pasiennya. Harus di akui, hal itu tidak selalu
mudah. Misalnya kerahasiaan rekam medis pasien sukar dijaga, karena rumah sakit
modern data dan informasi yang terdapat di dalamnya terbuka bagi begitu banyak
petugas yang karena kewajibannya memang berhak punya akses terhadap dokumen
tersebut. Dapat juga terjadi dilema etika administratif, jika terjadi keterpaksaan
membuka kerahasiaan karena suatu sebab di satu pihak lain kewajiban moral untuk
menjaganya

Persetujuan tindakan medis (Informed consent). Masalah etika administratif dapat


terjadi, jika informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya, yaitu
persetujuan yang diberikan secara sukarela oleh pasien yang kompeten kepada dokter
untuk melakukan tindakan medis tertentu pada dirinya, setelah ia diberi informasi yang
lengkap dan dimengerti olehnya tentang semua dampak dan resiko yang mungkin
terjadi sebagai akibat tindakan itu atau sebagai akibat sebagai tidak dilakukan tindakan
itu. Dalam banyak hal, memang tidak terjadi banyak masalah etika, jika intervensi medis
berjalan aman dan outcome klinis sesuai dengan apa yang diharapkan semua pihak.

Tetapi, dapat saja terjadi suatu tindakan invansif ringan yang rutin dikerjakan sehari-hari
misalnya pendektomi erakibat fatal. Kasus demikian dapat menjadi penyesalan
berkepanjangan. Dapat juga terjadi dilema etik pada dokter dirumah sakit, yang tega
mengungkapkan informasi yang selengkapnya kepada pasien, karena ia tahu jika itu
dilakukan pasien akan jadi bingung, panik, dan takut sehingga ia minta dipulangkan
saja untuk mencari pengobatan alternatif. padahal dokter percaya bahwa tindakan
medik yang direncanakan masih besar kemungkinannya untuk menyelamatkan pasien.

Dilema etika administratif berikutnya di rumah sakit dapat terjadi berhubung dengan
faktor-faktor situasi keuangan. Contoh-contoh berikut ini terjadi sehari-hari.

1. Apakah kemampuan pasien membayar uang muka adalah faktor yang mutlak bagi
rumah sakit untuk memberikan pertolongan kepadanya. karena pertimbangan tertentu,
pemilik atau manajeman rumah sakit mengalokasikan dana yang terbatas untuk proyek
tertentu,dan dengan demikian mengakibatkan kebutuhan lain yang mungkin lebih
mendesak, lebih besar manfaatnya, dan lebih efektif biaya.

2. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap dokter tertentu sangat tinggi tarif jasanya.
Jika ditegur ia pasti akan marah, dan mungkin akan hengkang kerumah sakit lain.
padahal ia patient getter yang merupakan ‘telur emas’bagi rumah sakit.

3. Bagaimana sikap terhadap pasien yang kurang tepat waktu melunasi piutang
periodiknya, padahal ia sangat memerlukan tindakan khusus lanjutan.
4. Untuk rumah sakit milik pemodal, bagaimana sikap manajemen jika ada konflik
kepentingan antara kebutuhan pasien dengan keingginan pemegang saham yang
melihat sesuatu hanya dari perhitungan bisnis.

5. Bagaimana jika ada konflik kepentingan antara pemilik, manajemen dan para klinis
yang akar masalahnya adalah soal keuangan dan pendapatan. Bagaimana sikap
manajemen terhadap dokter tertentu yang dapat diduga melakukan
moral hazard dengan berkolusi dengan PBF.

6. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap teknologi mahal; disatu pihak diperlukan
untuk meningkatkan posisi dan citra rumah sakit, di pihak lain potensi moral hazard juga
tinggi demi untuk membayar cicilan kredit atau/ easing.

Isu-isu Etika Biomeidis

Isu etika biomedis di rumah sakit menyangkut persepsi dan perilaku profesional dan
instutisional terhadap hidup dan kesehatan manusia dari sejak sebelum kelahiran, pada
saat-saat sejak lahir, selama pertumbuhan, jika terjadi penyakit atau cidera, menjadi
tua, sampai saat-saat menjelang akhir hidup, kematian dan malah beberapa waktu
setelah itu.

Sebenarnya pengertian etika biomedis dalam hal ini masih perlu dipilah lagi dalam isu-
isu etika biomedis atau bioetika yang lahir sebagai dampak revolusi biomedis sejak
tahun 1960-an, yang antara lain berakibat masalah dan dilema baru sama sekali bagi
para dokter dalam menjalankan propesinya. Etika biomedis dalam arti ini didefinisikan
oleh International association of bioethics sebagai berikut; Bioetika adalah studi tentang
isu-isu etis,sosial,hukum,dan isu-isu lainyang timbul dalam pelayanan kesehatan dan
ilmu-ilmu biolagi (terjemahan oleh penulis).

Pengertian etika biomedis juga masih perlu dipilah lagi dalam isu-isu etika
medis’tradisional’ yang sudah dikenal sejak ribuan tahun, dan lebih banyak
menyangkuthubungan individual dalam interaksi terapeutik antara dokter dan pasien.
Kemungkinan adanya masalah etika medis demikianlah yang dalam pelayanan di
rumah sakit sekarang cepat oleh masyarakat (dan media masa) ditunding sebagai
malpraktek.

Isu-isu Bioetika

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam arti
pertama (bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa
genetik,teknologi reproduksi,eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ,
penggantian kelamin, eutanasia, isu-isu pada akhir hidup, kloning terapeutik dan
kloning repraduktif. Sesuai dengan definisi di atas tentang bioetika oleh International
Association of Bioethics ,kegiatan-kegiatan di atas dalam pelayanan kesehatan dan
ilmu-ilmu biologi tidak hanya menimbulkan isu-isu etika,tapi juga isu-isu sosial, hukum,
agama, politik, pemerintahan, ekonomi,kependudukan,lingkungan hidup,dan mungikin
juga isu-isu di bidang lain.

Dengan demikian,identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam arti tidak
hanya terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite Etika
Rumah Sakit dan para dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah etika
medis ‘tradisional’- melainkan kepedulian dan bidang kajian banyak ahlimulti- dan inter-
displiner tentang masalah-masalah yang timbul karena perkembangan bidang biomedis
pada skala mikro dan makro,dan tentang dampaknya atas masyarakat luas dan
sistemnilainya,kini dan dimasa mendatang (F.Abel,terjemahan K.Bertens).

Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika yang sekarang
sudah banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia.Dengan demikian,identifikasi dan
pemecahan masalah etika biomedis dalam arti pertama tidak dibicarakan lebih lanjut
pada presentasi ini. yang perlu diketahui dan diikuti perkembangannya oleh pimpinan
rumah sakit adalah tentang ‘fatwa’ pusat-pusat kajian nasional dan
internasional,deklarasi badan-badan internasional seperti PBB, WHO, Amnesty
International, atau’fatwa’ Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional (diIndonesia;AIPI)
tentang isu-isu bioetika tertentu, agar rumah sakit sebagai institusi tidak melanggar
kaidah-kaidah yang sudah dikonsesuskan oleh lembaga-lembaga nasional atau
supranasional yang terhormat itu. Dan jika terjadi masalah bioetika dirumah sakit yang
belum diketahui solusinya,pendapat lembaga-lembaga demikian tentu dapat diminta.

Isu-isu Etika Medis

Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam pelayanan
medis dirumah sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya
malpraktek, terutama oleh dokter. Padahal, etika disini terutama diartikan kewajiban
dan tanggung jawab institusional rumah sakit. Kewajiban dan tanggung jawab itu dapat
berdasar pada ketentuan hukum (Perdata, Pidana, atau Tata Usaha Negara) atau pada
norma-norma etika.

Hukum Rumah Sakit

Hukum kesehatan eksistensinya masih sangat relatif baru, dalam perkembangannya di


Indonesia, semula dikembangkan oleh Fred Ameln dan Almarhum Prof. Oetama dalam
bentuk ilmu hukum kedokteran. Perkembangan kehidupan yang pesat di bidang
kesehatan dalam bentuk sistem kesehatan nasional mengakibatkan di perlukannya
pengaturan yang lebih luas, dari hukum kedokteran ke hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan (hukum kesehatan).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan
perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi
penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan
memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya
perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap kaidah-
kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terkait di
dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.

Sesuai dengan pengertian hukum kesehatan, maka hukum rumah sakit dapat disebut
sebagai semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan
atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek organisasi, sarana,
pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.

Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah
sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu :

a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien
bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga
perawatan melakukan tindakan perawatan.

b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan
pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk
menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln,
1991: 75-76).

Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/ tenaga kesehatan agar
tidak menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien, sekaligus pasien
mendapatkan perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab rumah sakit dan dokter/
tenaga kesehatan.

Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit
bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah
sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243,
1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).

Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan
(YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang
terdiri dari :

1) Unsur mutu yang dijamin kualitasnya;

2) Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan
3) Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan atau
medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).

Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya landasan
hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien (kontrak-terapetik),
mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter
dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan (M.Jusuf
Hanafiah dan Amri Amir, 1999: 29).

Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter rumah
sakit memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik Rumah Sakit
(KODERSI), Surat Edaran Dirjen Yan Med No: YM 02.04.3.5.2504 tentang Pedoman
Hak & Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit

Panitia Etika Rumah Sakit (PERS)

Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) disusun oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). ERSI ini memuat tentang kewajiban umum rumah sakit, kewajiban
rumah sakit terhadap masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban
rumah sakit terhadap staf dan lain-lain.

Pada saat ini beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah badan
yang menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah sakit besar di
Indonesia telah ada badan yang dibentuk di bawah nama Panitia Etika Rumah Sakit
(PERS) yang di luar negeri disebut Hospital Ethical Commitee dimana anggotanya
terdiri dari staf medis, perawatan, administratif dan pihak lain yang berkaitan dengan
tugas rumah sakit.

Fungsi Panitia Etika Rumah Sakit

Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat atau konsultasi melalui diskusi atau
berperan dalam menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada
lingkungannya dan memberikan anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.

Dengan demikian PERS dapat memberikan manfaat :

1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di rumah
sakit.

2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan memberikan pendapat


untuk penyelesaian.
3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau tidak,
perkara pelanggaran etik ke MKEK.

Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di
rumah sakit dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik maupun
pemantapan pengalaman kode etik masing-masing profesi.

Hospital Bylaw

Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’
mungkin sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata
‘Bylaw’ terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford
Illustrated Dictionary:Bylaw is regulation made by local authority or corporation.
Pengertian lainnya, Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a
faculty, organization, or specified group of persons to govern internal functions or
practices within that group, facility, or organization (Guwandi, 2004). Dengan demikian,
pengertian Bylaw tersebut dapat disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang
dibuat suatu organisasi atau perkumpulan untuk mengatur para anggota-anggotanya.
Keberadaan Hospital Bylaw memegang peranan penting sebagai tata tertib dan
menjamin kepastian hukum di rumah sakit. Ia adalah ‘rules of the game’ dari dan dalam
manajemen rumah sakit.

Ada beberapa ciri dan sifat Hospital Bylaw yaitu pertama tailor-made. Hal ini berarti
bahwa isi, substansi, dan rumusan rinci Hospital Bylaw tidaklah mesti sama. Hal ini
disebabkan oleh karena tiap rumah sakit memiliki latar belakang, maksud, tujuan,
kepemilikan, situasi, dan kondisi yang berbeda. Adapun ciri kedua, Hospital Bylaw
dapat berfungsi sebagai ‘perpanjangan tangan hukum’. Fungsi hukum adalah membuat
peraturan-peraturan yang bersifat umum dan yang berlaku secara umum dalam
berbagai hal. Sedangkan kasus-kasus hukum kedokteran dan rumah sakit bersifat
kasuistis. Dengan demikian, maka peraturan perundang-undangannya masih harus
ditafsirkan lagi dengan peraturan yang lebih rinci, yaitu Hospital Bylaw. Sebagaimana
diketahui, hampir tidak ada kasus kedokteran yang persis sama, karena sangat
tergantung kepada situasi dan kondisi pasien, seperti kegawatannya, tingkat
penyakitnya, umur, daya tahan tubuh, komplikasi penyakitnya, lama pengobatan yang
sudah dilakukan, dan sebagainya. Ketiga, Hospital Bylaw mengatur bidang yang
berkaitan dengan seluruh manajemen rumah sakit meliputi administrasi, medik,
perawatan, pasien, dokter, karyawan, dan lain-lain. Keempat, rumusan Hospital Bylaw
harus tegas, jelas, dan terperinci. Hospital Bylaw tidak membuka peluang untuk
ditafsirkan lagi secara individual. Kelima, Hospital Bylaw harus bersifat sistematis dan
berjenjang.

Hospital Bylaw merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: tata
tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah
sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia
kedokteran, komite medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses
dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan
kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan. Adapun bentuk HBL
dapat merupakan kumpulan dari Peraturan Rumah Sakit, Standar Operating
Procedure (SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman, Pemberitahuan
dan Perjanjian (MOU). Namun demikian, peraturan internal rumah sakit tidak boleh
bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan
Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan
pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.

Belakangan ini tidak jarang keluhan masyarakat bahwa rumah sakit tidak melayani
masyarakat dengan baik. Bahkan beberapa rumah sakit saat ini telah dituntut karena
pelayanan yang tidak sesuai harapan. Ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa masih
ada rumah sakit yang belum mempunyai aturan rumah sakit yang jelas, sistematis, dan
rinci. Karena itu, sesuai prinsip tailor made rumah sakit seharusnya mempunyai
Hospital Bylaw yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Banyaknya kasus malapraktik di negara ini merupakan salah satu bentuk dari kurang
demokratisnya dokter dalam melayani pasien. Tidak dapat disangkal bahwa di negara
ini masih banyak rumah sakit yang menerapkan doctor-oriented. Padahal, seharusnya
manajemen rumah sakit menetapkan patient-oriented.

Akibat manajemen rumah sakit yang kerap kali ”menganakemaskan” para dokternya,
dalam artian mengelola rumah sakit berdasarkan keinginan para dokter, telah menjadi
bumerang bagi perkembangan rumah sakit di negara ini. Contoh kecil berkembangnya
sikap doctor-oriented dapat dilihat dari perekrutan dokter oleh pihak pengelola rumah
sakit. Dalam hal ini, pihak manajemen akan mempekerjakan dokter-dokter yang sudah
terkenal dan mempunyai pasien tetap.

Secara ekonomis, praktik seperti ini memang menguntungan. Pasien-pasien dokter


yang direkrut tersebut akan berpindah ke rumah sakit di mana si dokter berpraktik,
selain berpraktik secara pribadi. Padahal, hal seperti ini tidak boleh dilakukan karena
dokter dengan kemampuannya yang terbatas, tidak mungkin bisa menangani begitu
banyak pasien. Otak dan tubuh kita perlu istirahat setelah digunakan dalam jangka
waktu tertentu. Tapi, hal ini sering diabaikan karena sejumlah dokter lebih
mementingkan nilai material yang dapat diraihnya.

Dengan demikian, kepentingan Hospital Bylaw dapat dilihat dari tiga sudut yaitu
pertama, untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan. Dalam hal ini Hospital Bylaw
dapat menjadi instrumen akreditasi rumah sakit. Rumah sakit perlu membuat standar-
standar yang berlaku baik untuk tingkat rumah sakit maupun untuk masing-masing
pelayanan misalnya pelayanan medis, pelayananan keperawatan, administrasi dan
manajemen, rekam medis, pelayanan gawat darurat, dan sebagainya. Standar-standar
ini terdiri dari elemen struktur, proses, dan hasil. Adapun elemen struktur meliputi
fasilitas fisik, organisasi, sumber daya manusianya, sistem keuangan, peralatan medis
dan non-medis, AD/ART, kebijakan, SOP/Protap, dan program. Proses adalah semua
pelaksanaan operasional dari staf/unit/bagian rumah sakit kepada
pasien/keluarga/masyarakat pengguna jasa rumah sakit tersebut. Hasil (outcome)
adalah perubahan status kesehatan pasien, perubahan pengetahuan/pemahaman serta
perilaku yang mempengaruhi status kesehatannya di masa depan, dan kepuasan
pasien.

Kepentingan yang kedua, dilihat dari segi hukum Hospital Bylaw dapat menjadi tolak
ukur mengenai ada tidaknya suatu kelalaian atau kesalahan di dalam suatu kasus
hukum kedokteran. Di dalam Hukum Rumah Sakit pembuktian yang lebih rinci harus
terdapat dalam Hospital Bylaw. Ketiga, dilihat dari segi manajemen risiko, maka HBL
dapat menjadi alat (tool) untuk mencegah timbulnya atau mencegah terulangnya suatu
risiko yang merugikan. Dengan demikian, pasien akan semakin terlindungi sesuai
prinsip patient safety. Hospital Bylaw juga akan memperjelas fungsi dan kedudukan
dokter dalam sebuah rumah sakit . Sebagai tenaga medis, dokter dituntut melakukan
tindakan medis sesuai dengan standar profesi yang ditetapkan dalam upaya
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan. Apalagi, berdasarkan strategi WTO pada tahun
2010 Indonesia akan membuka peluang dokter asing untuk berpraktik. Sementara itu,
ASEAN bersepakat dua tahu lebih cepat yaitu pada tahun 2008 membuka peluang
yang sama untuk tenaga kesehatan.

Masalah Etika dan Hukum di Rumah Sakit

Masalah etika dan hukum di rumah sakit yang paling marak saat ini adalah
malpraktek. Malpraktek (medis) sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti
kesalahan dalam menjalankan profesi. Berkhouwer dan Borstman (dikutip oleh
Veronica Komalawati) mengatakan, seorang dokter melakukan kesalahan profesi,
apabila ia tidak memeriksa, tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan atau
tidak menghindari tindakan (tertentu), sedangkan dokter-dokter yang baik pada
umumnya pada situasi yang sama akan melakukan pemeriksaan, membuat penilaian,
melakukan tindakan atau menghindari tindakan (tertentu).

Kita dapat melihat bahwa: Pertama, definisi ini bersifat relatif. Baik buruknya seorang
dokter menjalankan profesinya dibandingkan dengan rata-rata dokter lain. Tentu ini ada
kelemahan-kelemahannya, dapat saja seorang dokter yang inovatif di tuduh melakukan
malpraktek karena ia melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan kebanyakan dokter
lain, padahal yang ia lakukan adalah baik dan bermanfaat bagi pasien. Soal standar
profesi tidak disinggung dalam devinisi itu,mungkin karena belum ada, karena buku dua
ahli hukum Belanda itu diterbitkan lebih daripada setengah abad yang lalu dalam tahun
1950.

Kedua, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, dalam definisi ini dengan kesalahan
profesional ditonjolkan tentang kelainan; dokter tentu tidak melakukan pemeriksaan.
tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan, dan tidak menghindari tindakan
tertentu. Ini sesuai dengan pemahaman, bahwa malpraktek adalah sama dengan
negligence.

Sesuai dengan konteks makalah ini, tentang malpraktek dengan latar belakang
pelanggaran hukum tidak dibicarakan lebih jauh. Fokus utama adalah pada masalah
etika medis di rumah sakit.

1. Etika dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.

2. Etika rumah sakit adalah etika institusi, jadi kewajiban dan tanggng jawab itu adalah
institusional, bukan individual.

3. Namun, eksekutif puncak rumah sakit- sebagai yang oleh pemilik melalui Governing
Body (Badan Pengampu, Majelis Wali Amanah, Dewan Pembina, atau nama jenis yang
lain) diberi kekuasaan mengelola dan tanggung jawab rumah sakit, dengan sendirinya
juga adalah penanggung jawab moral dan etika institusional.

4. Etika medis berhubungan dengan hidup dan kesehatan. Objek kewajiban dan
tanggung jawab pada etika medis adalah hidup dan kesehatan manusia dan kelompok
manusia dilingkungan luar rumah sakit. itu berarti pasien staf serta karyawan rumah
sakit,dan masyarakat.

5. Masalah etika rumah sakit timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap asas-asas
etika (umum)dan Kode Etik Rumah Sakit, yang adalah uraian lebih operasional dari
asas-asas etika.

6. Asas-asas etika yang diterapkan pada etika rumah sakit sebagai etika praktis adalah:

 o Rumah sakit berbuat kebaikan (benifecence) dan tidak menimbulkan mudharat atau
cidera (nonmalifecence) pada pasien, staf dan karyawan,masyarakat umum,serta
lingkungan hidup. Dua asas etika klasik ini sudah ada dalam lafal Sumpah Hipprokrates
sejak lebih 23 abad yang lalu. Dua asas ini adalah juga ajaran semua agama. Ajaran islam
hampir selalu menyebut dua asas itu dalam satu kalimat (Amar ma ‘arupnahi
mungkar).dalam ajaran agama hindu, nonmaleficence adalah Ahimsa.
 o Asas menghormati manusia (respect for persons) berarti menghormati pasien,staf dan
karyawan,serta masyarakat dalam hal hidup dan kesehatan mereka. itu berarti menghormati
otonomi (hak untuk mengambil keputusan tentang diri sendiri),hak-hak asasi sebagai warga
negara, hak atas informasi,hak atas privasi,hak atas kerahasiaan,seta harkat dan mertabat
mereka sebagai manusia dan lain-lain.
 o Asas keadilan (justice): keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perlakuan yang
‘fair’terhadap pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum.

Identifikasi Masalah Etika Di Rumah Sakit


Kurt Darr mengatakan, bahwa seorang eksekutuf rumah sakit tidak perlu sampai
mengikuti kursus tentang pilosofi atau etika untuk dapat mengidentifikasikan masalah
etika, walaupun kursus-kursus demikian akan banyak menolong. yang penting,harus
ada kepekaan, kebiasaan melakukan refleksi (an inquiring mind), dan etika pribadi
(personal etics)yang cukup baik. tiga pertanyaan berikut ini dianjurkan diajukan pada
diri sendiri untuk mengidentifikasikan kemungkinan adanya etika pada kasus tertentu.

 Apakah pasien, staf dan karyawan, atau masyarakat umum dalam kasus tertentu itu
diperlakukan seperti saya ingin diperlakukan dalam kasus seperti itu? ini dinamakan The
Golden Rule.
 Apakah pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum cukup dilindungi terhadap
kemungkinan cidera dalam keberadaan dan pelayanan di rumah sakit?
 Apakah penjelasan tentang informed conset kepada pasien cukup memberi informasi
baginya tentang apa yang akan dilakukan pada dirinya?

Jika salah satu atau lebih dari tiga pertanyaan itu terjawab dengan “tidak”,ada indikasi
masalah etika pada kasus yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah:

 Adakah pasal-pasal dalam Kode Etik Rumah Sakit yang dilanggar?


 Adakah asas-asas etika umum yang dilanggar?
 Jika masih perlu untuk lebih memastikan: Teori etika mana yang dapat dipakai untuk
pembenaran keputusan atau tindakan rumah sakit yang menimbulkan masalah etika
administratif atau etika biomedis.

Sama halnya dengan proses pemecahan masalah secara umum, mengajukan


pertanyaan-pertanyaan yang tepat adalah bagian penting proses itu.

Pemecahan Masalah Etika Di Rumah Sakit

Setelah berhasil mengidentifikasikan adanya masalah etika administratif, masalah


bioetika, masalah medis tradisional, atau gabungan berbagai masalah etika itu dirumah
sakit, langkah berikutnya adalah mencari solusi untuk masalah-masalah itu. Perlu
segera ditambahkan, bahwa pemecahan masalah etika secara umum tidak mudah.
Pada dasarnya ada dua model untuk pemecahan masalah secara umum; model
terprogram (rasional) dan model tak terprogram.

Model rasional terprogram mungkin dapat diterapkan pada pemecahan banyak


masalah manajemen umum, tetapi rasio saja tidak selalu berhasil diterapkan pada
pemecahan masalah etika. Masalah etika administratif tertentu di rumah sakit yang
menyangkut proses atau prosedur mungkin dapat lebih mudah dipecahkan secara
rasional. Tetapi, masalah etika biomedis yang menyangkut substansi atau prinsif sering
kali sangat sensitif, karena itu rasio saja tidak selalu efektif. Diperlukan kebijaksanaan
yang umumnya tidak dapt diprogramkan.

Dianjurkan langkah langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah etika
rumah sakit:
1. Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-
komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan
akar masalah.Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang
terjadi. Ia dapat berupa kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya
organisasi, sarana, alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.

2. Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root
cause analysis),untuk menetapkan arah pemecahannya.

3. Menetapkan beberapa alternatif untuk pemecahan akar masalah.

4. Memilih alternatif yang situasional terbaik untuk pemecahan masalah itu.

5. Memantau dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan yang sudah


dilaksanakan.

6. Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang lagi
terjadi. Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika
manusia sebagai penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah
sakit.

Kesimpulan

1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam
segala aspek organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.

2. Rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan telah mempunyai
etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).

Saran

Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, masing-masing profesi harus berpedoman


pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya apalagi
dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar tidak saling berbenturan.

Referensi

Anda mungkin juga menyukai