15213089
Pendahuluan
Masjid Pusat Dakwah Islam Jawa Barat atau dikenal dengan Masjid Pusdai merupakan salah satu
bangunan peribadatan umat Islam yang beralamat di Jalan Diponegoro No. 63, Kota Bandung.
Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 4,5 hektar ini, mulai dibangun pada tahun 1992 dan
dirancang oleh seorang arsitek ternama, Slamet Wirasonjaya. Masa pembangunannya memakan
waktu kurang lebih sekitar 5 tahun hingga diresmikan pada tahun 1997.
Menurut sejarah yang dituturkan oleh Ir. Taufiq Rahman, Kepala Bidang Informasi dan Teknologi
PUSDAI Jawa Barat, pembangunan Masjid Pusdai ini berawal dari gagasan para Ulama di Jawa Barat
(1977) yang hendak mendirikan Islamic Centre sebagai tonggak kebangkitan. Hal ini guna menyambut
datangnya Abad ke 15 Hijriah yang diyakini sebagai Abad Kebangkitan Umat Islam di dunia. Gagasan
tersebut disambut baik oleh Gubernur Jawa Barat pada saat itu, Aang Kunaefi. Lima belas tahun
kemudian, gagasan tersebut baru terealisasi bersamaan dengan dibangunnya Monumen Perjuangan
Jawa Barat yang juga dirancang oleh Slamet Wirasonjaya.
Gambar 1. Masjid Pusdai Tahun 2010 (Kiri) (Google, 2010) dan Masjid Pusdai Tahun 2016 (Kanan) (Dokumentasi Pribadi,
2016)
Masjid ini dapat dikatakan cukup berbeda dengan masjid pada umumnya. Jika biasanya masjid
identik dengan ornamen yang indah, berbeda halnya dengan Masjid Pusdai yang tampilannya
sederhana meskipun tetap menggunakan relung-relung dan kolom yang menjadi ciri khas masjid.
Bangunan ini juga menggunakan atap limas bertumpuk yang sering digunakan pada atap masjid di
Indonesia, namun tidak menerapkan prinsip saka guru yang umumnya sering dijumpai pada masjid-
masjid nusantara. Penggunaan prinsip modular dan material beton juga menunjukkan kebaruan dari
Masjid Pusdai sebagai bangunan yang didirikan pada masa pasca kemerdekaan dan sejatinya banyak
menggunakan langgam arsitektur modern. Akan tetapi, sebenarnya belum jelas langgam apa yang
digunakan pada masjid ini. Banyak spekulasi yang menyebutkan bahwa Masjid Pusdai menggunakan
langgam arsitektur modern dengan sentuhan arsitektur sunda, namun tidak ada bukti bahwa sang
arsitek membenarkan hal tersebut. Lalu, apakah terjadi pencampuran langgam pada bangunan ini
sehingga menjadikan suatu bangunan yang eklektik? Hal tersebut akan dibahas pada tulisan ini.
Selain itu, jika membahas mengenai masjid maka akan berbicara mengenai ruang, karena awal
mula berdirinya masjid hanyalah berupa ruang yang dibatasi oleh dinding tanpa atap maupun lantai
keramik. Seiring berkembangnya waktu, penafsiran ruang tersebut kian bermacam-macam dan
semakin megah. Meskipun begitu, setiap masjid ingin menciptakan ruang yang baik bagi umat Islam
untuk beribadah. Oleh karena itu banyak arsitek yang menciptakan berbagai pengalaman ruang pada
bangunan masjid, salah satunya pada Masjid Pusdai ini. Melalui pengalaman ruang tersebut, maka
akan timbul ekspresi bangunan yang ingin dihadirkan.
Beberapa hal menarik tersebut, akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan kritik ini. Tulisan ini
menggunakan metode deskriptif dengan terlebih dahulu mencari informasi melalui wawancara
kepada salah satu staf pengurus Masjid Pusdai. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa
korektor akan mengungkapkan interpretasinya terhadap rancangan ini, sebagai bentuk opini dari
sudut pandang korektor.
Pembahasan
Berdasarkan pendahuluan tersebut, maka terdapat beberapa topik secara garis besar yang akan
dibahas pada kritik ini. Pertama, mengenai langgam yang digunakan pada bangunan Masjid Pusdai.
Apakah sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh narasumber atau justru menggunakan
elemen-elemen yang baik dari beberapa langgam sehingga dapat dikatakan sebagai suatu karya
eklektik? Kemudian, dengan menggunakan struktur modul yang tidak biasa dari bangunan masjid
lainnya maka akan menampilkan ekspresi yang berbeda pula. Apakah ekspresi bangunan yang
dimaksud tersebut? Bagaimana ekspresi yang ingin ditampilkan pada setiap ruangnya melalui
berbagai pengalaman ruang?
Gambar 2. Modul Arch pada Eksterior (Kiri) (Google, 2010) dan Modul Arch pada Interior (Kanan) Masjid Pusdai
(Dokumentasi Pribadi, 2016)
Penerapan arsitektur sunda pada bangunan Masjid Pusdai memang tepat karena bangunan
ini terletak di tanah sunda, namun peletakkan massa bangunan cenderung lebih menyerupai tata
masa bangunan arsitektur masjid Timur Tengah, yang memiliki banyak selasar serta menyediakan
halaman di tengah. Halaman tersebut biasanya ditanami dengan tanaman dan terdapat kolam.
Berdasarkan hasil pengamatan, bangunan Masjid Pusdai ini justru cenderung mengadopsi ciri khas
arsitektur masjid Timur Tengah tersebut, hanya saja halaman tidak serupa dengan masjid-masjid
di Timur Tengah sana yang ditumbuhi banyak tanaman, namun justru diganti dengan material
keramik sebagai analogi dari kolam air dan menimbulkan suasana berbeda dengan masjid Timur
Tengah yang lebih alami dengan tumbuh-tumbuhannya.
Penggunaan atap juga cenderung mengikuti atap-atap bangunan masjid nusantara lainnya
yang berbentuk limas bertumpul karena berada di daerah tropis yang membutuhkan atap miring
untuk mengalirkan air hujan dan konon mendapat pengaruh dari bangunan hindu sehingga atap
dibuat seperti berundak-undak. Penerapan selasar juga dirasa sangat tepat untuk bangunan yang
berada di daerah tropis karena dapat menghalau cahaya matahari langsung masuk ke dalam
bangunan. Hal itu membuktikan bahwa selasar yang biasa digunakan pada arsitektur masjid di
Timur Tengah tepat diterapkan pada masjid yang berada di daerah tropis, tidak hanya sebagai
ruang perantara namun bermanfaat untuk membentuk ruang yang terlindungi dari cahaya
matahari.
Penjelasan di atas telah menyinggung berbagai langgam yang mungkin digunakan pada Masjid
Pusdai, sehingga sulit disimpulkan bahwa masjid ini hanya menganut kepada satu langgam
tertentu saja. Pengaplikasian elemen-elemen yang baik dari setiap langgam dan disatukan pada
suatu bangunan lebih tepat jika disebut dengan suatu bentuk eklektisisme. Hal itu, didukung
dengan pengakuan arsitek Slamet Wirasonjaya dalam bukunya SLW (2006:4), di mana beliau
mengungkapkan bahwa dirinya adalah seorang penganut paham eklektisisme; mencari hal-hal
yang baik dari kebudayaan masa lalu tetapu bukana anti fungsi dan anti dekor murni karena
kegagalan mencari bentuk-bentuk baru yang belum pernah ditemukan. Berdasarkan pengakuan
di atas, diperoleh suatu benang merah antara paham eklektisisme yang dianut oleh Slamet
Wirasonjaya selaku arsitek dan hasil karyanya yang juga ekletik. Akan tetapi, apakah eklektisisme
itu muncul dari keinginan perancangnya atau merupakan penyatuan berbagai gagasan orang yang
terlibat dalam tahap pembangunannya? Hal itu mengingat banyak pihak yang terlibat pada proses
pembangunan Masjid Pusdai. Pernyataan tersebut masih dapat dipertanyakan dan dikaji lebih
lanjut ke depannya.
Gambar 5. Relung-relung Modul Setengah Arch pada Masjid Pusdai (Dokumentasi Pribadi. 2016)
Lalu bagaimana dengan ruang-ruang lainnya? Ruang luar yang tidak menggunakan modul
seperti halaman luar dan halaman tengah. Berdasarkan hasil pengamatan dan interpretasi, ruang
tersebut kurang mengekspresikan sisi religius tersebut. Berawal dari pintu masuk ke area
lingkungan Pusdai, terdapat tangga-tangga yang akan mengantarkan kepada ruang yang lebih
utama, hal itu dapat bermakna untuk mengantarkan manusia ke tempat yang lebih tinggi dan suci
derajatnya. Akan tetapi memasuki halaman tengah, makna tersebut hilang karena munculnya
lantai beralaskan keramik. Meskipun dapat mencerminkan bangunan dan terlihat seperti kolam,
namun secara fisik tidak terasa istimewa. Berbeda dengan taman-taman islami yang ada di masjid
Timur Tengah, karena memiliki banyak tanaman, terdapat unsur alam seperti batu dan air.
Ekspresi religius kurang terasa meskipun terdapat hirarki berupa satu modul yang lebih tinggi dari
modul lainnya, namun rasanya hampa karena ruang dibawahnya juga bukan merupakan pintu
masuk yang difungsikan untuk masuk ke dalam bangunan.
Ekspresi yang ingin dihadirkan pada bangunan Masjid Pusdai dapat dikatakan kurang
menyeluruh, sehingga pengunjung tidak memperoleh pengalaman spiritual secara maksimal.
Halaman tersebut lebih berfungsi seperti lapangan saja, di mana banyak anak berlari ke sana
kemari. Secara fungsional, halaman tersebut memang dapat digunakan sebagai tempat beribadah
tambahan apabila ruang utama sudah tidak cukup, serta dapat digunakan sebagai tempat
melaksankan kegiatan manasik haji atau yang lainnya. Akan tetapi, akan lebih baik apabila
menggunakan material alami seperti rumput. Hanya saja jika menggunakan rumput,
perawatannya juga harus lebih intensif, namun dapat memberikan dampak lingkungan yang lebih
baik.
Gambar 6. Tangga menuju Masjid (Kiri) dan Halaman Tengah (Kanan) (Dokumentasi Pribadi, 2016)
Penutup
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, telah dikemukakan bahwa terdapat banyak langgam yang
ingin dihadirkan pada bangunan Masjid Pusdai, namun pencampuran tersebut menghasilkan suatu
karya arsitektur yang luar biasa dan saling berkesinambungan. Daripada berusaha untuk menafsirkan
bangunan tersebut dalam satu langgam, maka akan lebih baik jika menyebut bangunan Masjid Pusdai
sebagai bangunan yang eklektik karena berusaha menghadirkan berbahgai elemen yang baik dari
setiap langgam. Bangunan eklektik dapat menjadi bagus apabila mampu menyatukannya dengan baik,
namun akan menjadi buruk jika tidak mampu menafsirkannya secara benar. Hal itulah yang ingin
dihadirkan oleh sang arsitek pada bangunan ini, bahwa dengan menyatukan berbagai elemen yang
unik dan eklektik, dapat dihadirkan suatu karya yang baik tanpa menghilangkan nilai dari arsitektur
masjid itu sendiri sebagai rumah Tuhan dan tempat perlindungan bagi umatnya.
Secara keseluruhan Masjid Pusdai telah berhasil menampilkan sisi eklektisisme tersebut,
meskipun terdapat beberapa bagian yang masih kurang tepat penerapannya, seperti keberadaan
halaman tengah yang beralaskan keramik. Akan lebih baik jika halaman tersebut, berisikan taman yang
dirancang seperti taman-taman islami yang berada di masjid-masjid Timur Tengah. Dengan begitu,
suasana akan menjadi lebih sejuk dan semakin banyak pengunjung yang dapat menikmatinya, Tidak
hanya pengunjung yang berupa umat Islam tetapi pengunjung secara universal dapat mengunjunginya
sehingga lingkungan masjid ini lebih maksimal penggunaannya sebagai ruang publik dan mampu
menghadirkan ekspresi ruang yang lebih nyata. Tidak hanya ruang yang didefinisikan dengan modul
setengah arch, tetapi juga ruang secara keseluruhan. Dengan begitu, ekspresi eklektik tidak hanya
secara penafsiran langgam saja, namun juga eklektik dan beragam pengalaman ruangnya.
Daftar Pustaka
Ching, Francis.D.K. 1996. Arsitektur : Bentuk, Ruang dan Susunannya. Jakarta: Erlangga.
Damajani, R.R. Dhian. 2006. S L W. Bandung: Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung.
Kustianingrum, D. et al., Oktober 2014, “Kajian Tatanan Massa dan Bentuk Bangunan Pusat Dakwah
Islam Bandung”.Jurnal Reka Karsa. Volume 2, No.3.
Hanan, Himasari. 2016. Silabus Kuliah AR3232 Arsitektur Indonesia Pasca Kemerdekaan.
Parliana, Dewi, et al., Januari 2014, “Kajian Fungsi Ruang Luar pada Pusat Dakwah Islam di Kota
Bandung”.Jurnal Reka Karsa. Volume 1, No.4.
Online
Pusat Dakwah Islam Jawa Barat. http://www.pusdai.or.id diakses pada tanggal 25 Maret 2017.
Narasumber
Ir. Taufiq Rahman, Kepala Bidang Informasi dan Teknologi Pusat Dakwah Islam Jawa Barat.