Artikel atau bagian artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya
sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan
referensi yang layak. Tulisan tanpa sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-
waktu oleh Pengurus.
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun
2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika
penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah
berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut
sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang
menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang
Tenaga kerja
Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan sanggup bekerja
jika tidak ada permintaan kerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja, mereka yang
dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai dengan
64 tahun.
Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak mau bekerja, meskipun
ada permintaan bekerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003, mereka
adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan berusia di atas
64 tahun. Contoh kelompok ini adalah para pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak.
Angkatan kerja
Angkatan kerja adalah penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun yang sudah
mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari
pekerjaan
Bukan angkatan kerja
Bukan angkatan kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas yang kegiatannya hanya
bersekolah, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Contoh kelompok ini adalah:
Berdasarkan kualitasnya
Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian atau kemahiran dalam
bidang tertentu dengan cara sekolah atau pendidikan formal dan nonformal. Contohnya:
pengacara, dokter, guru, dan lain-lain.
Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerjayang memiliki keahlian dalam bidang tertentudengan
melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja terampil ini dibutuhkan latihan secara berulang-ulang
sehingga mampu menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya: apoteker, ahli bedah, mekanik, dan
lain-lain.
Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja kasar yang hanya
mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan sebagainya
Masalah Ketenagakerjaan
Berikut ini beberapa masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
Kualitas tenaga kerja dalam suatu negara dapat ditentukan dengan melihat tingkat pendidikan
negara tersebut. Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, tingkat pendidikannya masih rendah.
Hal ini menyebabkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi rendah. Minimnya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja,
sehingga hal ini akan berpengaruh terhadaprendahnya kualitas hasil produksi barang dan jasa.
Meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tidak diimbangi oleh perluasan lapangan kerja akan
membawa beban tersendiri bagi perekonomian. Angkatan kerja yang tidak tertampung dalam
lapangan kerja akan menyebabkan pengangguran. Padahal harapan pemerintah, semakin
banyaknya jumlah angkatan kerja bisa menjadi pendorong pembangunan ekonomi.
Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia berada di Pulau Jawa. Sementara di daerah lain masih
kekurangan tenaga kerja, terutama untuk sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.Dengan
demikian di Pulau Jawa banyak terjadi pengangguran, sementara di daerah lain masih banyak
sumber daya alam yang belum dikelola secara maksimal.
Pengangguran
Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang
lowlife dan unskill yang bekerja di luar negeri (seperti Malaysia, Timur Tengah, Taiwan, uganda
dan somalia) dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun,
istilah TKI seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar karena TKI sejatinya memang adalah
kumpulan tenaga kerja unskill yang merupakan program pemerintah untuk menekan angka
pengangguran. TKI perempuan seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).
TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa 60
triliun rupiah (2006) [1], tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para pejabat
dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal tersendiri
(terminal III) yang terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk
melindungi TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti
punutan Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI yang
pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan Rp25.000. (saat ini pungutan
ini sudah dilarang)
Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar
negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan operasional
di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh
Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans.
Tenaga kerja global mengacu pada persediaan angkatan kerja internasional, termasuk orang-
orang yang dipekerjakan oleh perusahaan multinasional dan terhubung melalui sistem jaringan
global dan produksi, pekerja imigran, pekerja migran sementara, pekerja telekomuter, orang-
orang yang terlibat dalam pekerjaan berorientasi ekspor, pekerjaan kontingen, atau pekerjaan
berbahaya.[1] Per 2012, persediaan angkatan kerja global mencapai kurang lebih 3 miliar orang,
200 juta di antaranya menganggur.[2]
Pada dasarnya ketenagakerjaan dapat diklasifikasikan minimal menjadi tiga macam yakni
tenaga kerja terdidik (skill labour), tenaga kerja terlatih (trainer labour), tenaga kerja tidak
terlatih (unskill labour). Pada kesempatan ini akan dijelaskan mengenai pengertian dan contoh
tenaga kerja terdidik, terlati dan tidak terlatih beserta kelebihan dan kekurangannya.
1. Tenaga kerja yang sudah berpengalaman ini pada dasarnya lebih sulit diperoleh atau
didapat karena jumlahnya tidak banyak.
2. Tenaga kerja yang sudah berpengalaman mempunyai daya tawar tinggi terhadap balas
jasa atau upah yang diinginkan. Dengan demikian untuk mendapatkannya perusahaan
harus siap memberikan imbalan yang cukup besar.
3. Tenaga kerja yang sudah berpengalaman pada umumnya sudah terbentuk karakternya
dan sudah jadi sehingga jika terjadi ketidaksesuaian dengan keinginan perusahaan
biasanya sulit untuk diarahkan dan dibelokkan.
Keuntungan di dalam memilih tenaga kerja yang tidak terlatih antara lain:
1. Tenaga kerja yang tidak terlatih ini sangat murah harganya karena di samping tidak
mempunyai pendidikan formal tingkat tinggi juga keterampilan yang dimiliki tidak ada.
Dengan demikian posisi kekuatan tawar menawar menjadi sangat lemah dibanding
dengan tenga kerja terdidik dan tenaga kerja terlatih.
2. Tenaga kerja yang tidak terlatih ini paling banyak tersedia di masyarakat, bahkan
melebihi dari kapasitas tenaga kerja yang dibutuhkan, sehingga perusahaan akan sangat
leluasa sekali untuk memilih tenaga kerja yang dianggap benar-benar memenuhi
persyaratan dan berkomitmen untuk ikut mengembangkan perusahaan.
3. Tenaga kerja yang tidak terlatih ini sangat mudah untuk diarahkan sesuai tujuan
perusahaan.
Hanya berkisar 40 tahun sejak Hiroshima dan Nagasaki diluluhlantakan hancur berkeping-keping
oleh Nato, sekarang Jepang berubah 1800 menjadi negara adidaya dikawasan Asia bahkan dunia,
para pemimpin Jepang waktu itu telah berhasil melakukan perubahan hebat terutama dalam
pengembangan sumber daya manusia (SDM) nya. Mereka menyadari betul bahwa dengan
peningkatan kualitas SDM maka dapat segera melakukan restorasi dan percepatan pembangunan,
apalagi bangsa Jepang memaklumi kondisi negaranya yang kurang dalam kekayaan sumber daya
alamnya.
Jepang sekarang kita kenal sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki etos kerja yang
hebat. Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu dampak kemajuan teknologi dan penguasaan
teknologi, serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara Jepang itu sendiri. Semangat dan
pantang menyerah merupakan ciri khas orang Jepang, hal ini disimbolkan dengan berbagai
semboyan semacam “samurai” yang menyatakan “Lebih baik mati dari pada berkalang malu”,
ada juga istilah MAKOTO yang artinya “bekerja dengan giat,semangat, jujur serta ketulusan“.
Belum lagi semangat dan semboyan serta falsafah yang lain yang dapat memacu kerja dan
membentuk etos kerja para pekerja di luar negara Jepang. Sedangkan bila dilihat dari segi
kebudayaannya, kepemimpinan Jepang dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam
memajukan negara atau organisasi yang berada di dalamnya. Diambil dari sumber yang ditulis
oleh Ahmad Kurnia dari buku karya ANN WAN SENG, “RAHASIA BISNIS ORANG JEPANG
(Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia)”, diceritakan setelah bom atom Amerika
menghunjam Hiroshima dan Nagasaki yang merupakan jantung kota Jepang tahun 1945, semua
pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera mengalami kebangkrutan. Namun, dalam
kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang ternyata mampu bangkit dan bahkan menyaingi
perekonomian negara yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan tahunan negara Jepang bersaing
ketat di belakang Amerika Serikat. Apalagi di bidang perteknologian, Jepang menjelma menjadi
negara raksasa di atas negara-negara besar dan berkuasa lainnya. Dengan segala bentuk
kekurangan secara fisik, tidak fasih berbahasa Inggris, kekurangan sumber tenaga kerja, dan
selalu terancam bencana alam rupanya tidak menghalangi mereka menjadi bangsa yang
dihormati dunia.
Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran atau imbalan.
Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi
mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara
otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka,
hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh
komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja di Jepang adalah 2.450
jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu
masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika
(1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680
jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah
waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya
kerja orang atau bangsa Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang,
orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai
pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif.
Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan
ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negerinya sendiri. Mereka
juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba
mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia mulai dari makanan, teknologi sampai
tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas
dan jatidiri mereka. Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka
merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka
menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan “produk Barat”
demi memenuhi kepentingan pasar dan kebutuhan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar
meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang lebih tinggi. Pihak Barat memakai proses
logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang
melibatkan aspek “emosi dan intuisi” untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera
pasar.
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji semata. Tentu saja orang Jepang juga tidak
bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang
bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah
bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti,
terus bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan
kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam
permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang
saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa
pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work holic” oleh orang asing.
2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang
mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu” (Langganan
adalah tuhan.) Kata itu dikenal oleh semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis di Jepang.
Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan secepat mungkin, dan
berusaha mengembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang
melawan perusahaan lain. Untuk menang perang, perlu strategi dan pandangan jangka panjang.
Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang
seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang
tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu” (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh
karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk
bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap.
Untuk melancarkan urusan pekerjaannya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu
dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Untuk itu,
tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti Jepang. Indonesia memiliki sumber
alam melimpah dari pada Jepang, tenaga manusia murah, infrastruktur yang baik, dan kedudukan
geografis yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti pemerintah serta
masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula ekonomi yang ampuh tersebut. Jika bangsa
Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan
ada ditangan kita dan bukan terletak pada negara.
Produktivitas kerja jangan dipandang dari ukuran fisik saja. Dalam pemahaman tentang
produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek sistem nilai. Manusia produktif menilai
produktivitas dan produktif adalah berdasarkan sikap mental. “Hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini“. Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan
selalu berorientasi pada faktor produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar
kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental dengan
amanah. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan
mampu untuk bertindak produktif. Itulah yang disebut dengan budaya kerja positif (produktif).
Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen : (1) pemahaman
substansi dasar tentang bekerja. (2) sikap terhadap karyawan. (3) perilaku ketika bekerja. (4) etos
kerja. (5) sikap terhadap waktu. Pertanyaannya apakah semua kita (sebagai bangsa Indonesia)
sudah berbudaya kerja produktif ?
Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu
yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan
terutama bagi orang yang malas. Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih
lemah. Budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai. Hal ini jugalah
yang agaknya kurang mendukung terciptanya budaya produktivitas kerja. Perusahaan belum
mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki
sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang perusahaan yang
mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk upah minimumnya. Ditambah dengan rata-rata
pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak
heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk yang terendah dibanding dengan negara-negara
lain di Asia. Mengapa bisa seperti itu ?
Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana. Produktivitas kerja
merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan
jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah
dan gaji, teknologi yang dipakai dsan sebagainya. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi
oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif
rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan
tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia
di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara-negara
tetangga.
Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para karyawan mampu
mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan
disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan)
karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses
pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan. Etos kerja
orang Indonesia adalah :
3. Berjiwa feodal, gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih
mementingkan status daripada prestasi.
6. Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, ini merupakan kenyataan pahit,
yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan memang begitu adanya.
Namun lanjutnya, dari 240 juta jiwa rakyat Indonesia, tidak semua memiliki etos kerja yang
buruk seperti tersebut di atas. Masih ada organisasi yang peduli dan mau mengubah etos kerja
yang disematkan ke bangsa Indonesia saat ini. Kita harapkan etos kerja yang diterapkan tersebut
bisa diimplementasikan dalam kerja nyata dan akan lebih baik lagi jika hal positif tersebut
menyebar kepada semua Organisasi kerja di seluruh Indonesia.
Lebih jauh lagi, bangsa Indonesia adalah negara yang kaya dan merupakan bangsa yang besar.
Indonesia dikarunia sumber daya alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang besar.
Dan itu merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Namun
pada kenyataannya hingga saat ini rakyat miskin semakin bertambah banyak, pengangguran
semakin meningkat, dan banyak anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah.
Salah satu faktor rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu negatifnya
keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpinnya. Mereka merupakan model bagi
masyarakat yang bukan hanya memiliki kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal
yang justru sering disalahgunakan. Bukan bermaksud untuk membandingkan Negara kita dengan
Negara Jepang, tetapi saya berharap dengan adanya perbandingan ini diharapkan kita dapat
mengambil kebaikan didalamnya. Agar Negara kita bisa menjadi Negara yang memiliki etos
kerja yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan bisa membuat Negara kita menjadi Negara yang
maju sama seperti Negara Jepang tersebut. Tentunya itu semua akan terjadi apabila kita memiliki
kesadaran dari diri kita masing-masing.