Disusun oleh :
FARHAN ERENST SUNE
1710839032
KELAS A
Gorontalo dikenal dengan berbagai macam kekayaan Budaya dan beragam Bahasa. Salah
satu kekayaan budaya yang masih bertahan dan semakin berinovasi hingga saat ini adalah
kerajinan tangan, sulaman “Karawo". Kerajinan sulaman karawo adalah salah satu jenis ragam
hias sulaman yang tembus pandang dengan media berupa kain serta menggunakan benang polos
maupun warna-warni, sulaman ini dikerjakan secara manual dengan tingkat ketelitian tinggi
(Yunginger, 2007:32)’.
Karawo adalah kain tradisional khas Gorontalo yang merupakan hasil kerajinan
tangan.Karawo berasal dari kata "Mokarawo" yang dapat diartikan“mengiris atau melubang”,
dengan cara menyulam kain dengan berbagai jenis warna benang. Karawo atau kerawang adalah
sulaman khas yang hanya ada di Gorontalo, cara pembuatannya memerlukan ketelitian luar
biasa, tidak hanya butuh kesabaran tetapi butuh kecermatan dan ketelitian dengan cara satu demi
satu serat kain dipotong. Pemotongan ini menghasilkan serat kain yang jarang, terhitung dan
terukur antara yang horizontal dan vertikal, sebelum aneka warna benang disulam.
Karawo digunakan juga untuk menamakan cara mengerjakan kerajinan tangan tersebut.
Kerajinan sulam ini hanya dilakukan oleh kaum wanita di sela kesibukannya mengurus rumah
tangga dan hanya dilakukan pada siang hari, karena membutuhkan pencahayaan yang terang,
apalagi jika kain yang akan disulam berwarna gelap.Orang orang di luar Gorontalo mengenalnya
dengan sebutan “Kerawang”.
Karawo lahir dari proses panjang yang merupakan buah dari ketekunan para perajin. Seni
membuat Kerawang atau Karawo disebut “Makarawo”.Seni ini telah diturunkan dari generasi ke
generasi sejak masa Kerajaan Gorontalo masih berjaya. Keindahan motif, keunikan cara
pengerjaan, dan kualitas yang bagus membuat Kerawang atau Karawo bernilai sangat tinggi.
Maka tak mengherankan jika keunikan dan kualitas tersebut diminati oleh banyak kalangan, baik
dari dalam maupun luar negeri.
BAB II
Pembahasan
A. Sejarah Karawo
Tradisi mokarawo atau membuat sulaman merupakan sepenggal sejarah yang
diselamatkan kaum perempuan Gorontalo.Sulam Karawo diyakini sudah ada sejak abad 17,
sejak tahun 1600-an, jauh sebelum Belanda berkuasa di wilayah Gorontalo tahun
1889.Kerajinan karawo berkembang pada tahun 1713. Awalnya dilakukan oleh perempuan
di daerah Ayula, Para perempuan menjelang masa dewasanya diberikan kesibukan untuk
membuat sulam karawo, tradisi ini kemudian berlanjut untuk mereka yang dipingit
menjelang pernikahannya.yang saat itu berada di bawah pengaruh kerajaan Bulango,
sekarang berada di provinsi Gorontalo.
Saat Belanda masuk ke
wilyah gorontalo pada tahun 1889,Belanda
berupaya menghilangkan berbagai tradisi
dan identitas lokal, ada dua peristiwa
penting yang mewarnai sejarah Gorontalo.
Pertama, banyaknya warga masuk dan
menetap di hutan dan wilayah terpencil
karena enggan membayar pajak kepada
Pemerintah Belanda.Keturunan orang-orang
ini hingga kini masih berdiam di hutan dan
wilayah terpencil, yang oleh warga
Gorontalo dikenal dengan sebutan Polahi.
Kedua, upaya penghapusan segala bentuk
tradisi, adat, dan hal-hal terkait berkesenian
atau kebudayaan yang ada pada
masyarakatGorontalo. Saat itu Belanda
melihat kekuatan orang Gorontalo terletak
pada adat,
budaya, dan tradisi.Karena itu, dilaranglah berbagai aktivitas yang terkait
dengan adat dan tradisi.
Sejarawan dari Universitas Negeri Gorontalo,” Alim Niode”, mengatakan,
satu-satunya tradisi saat itu yang tidak berhasil dihilangkan oleh Belanda adalah
Mokarawo.Ini terjadi karena memang tradisi menyulam dilakukan perempuan di tempat
tersembunyi di dalam rumah dan dilakukan dengan diam. Hingga Belanda meninggalkan
Gorontalo, mereka tidak pernah tahu soal tradisi ini.Itu pula sebabnya mengapa catatan
tentang karawo tidak pernah ditemukan dalam sejarah infansi Belanda di wilayah
Gorontalo. ”Dengan kata lain, karawo adalah tradisi yang pernah menjadi silent culture di
Gorontalo,” (Tekno.Kompas.com. 15/12/2012),” Hengkangnya Belanda tidak serta-merta
membuat karawo keluar dari ”persembunyian”. Situasi saat itu dan trauma membuat
tradisi mokarawo tetap dilakukan di dalam ruang tersembunyi. Karawo mulai kembali
muncul sekitar akhir tahun 1960-an, tapi belum merupakan produk yang dijual secara
bebas seperti barang lain. Saat itu jika ada yang berminat pada karawo, mereka akan
datang langsung ke penyulam dan memesan. Karawo kerap dibayar menggunakan uang,
kerap pula dibarter dengan barang kebutuhan lain.
Awalnya mokarawo dilakukan oleh perempuan di daerah Ayula, yang saat
itu berada di bawah pengaruh kerajaan Bulango, sekarang berada di provinsi
Gorontalo.Para perempuan menjelang masa dewasanya diberikan kesibukan untuk
membuat sulam karawo, tradisi ini kemudian berlanjut untuk mereka yang dipingit
menjelang pernikahannya. Hasil sulaman ini pun hanya untuk keperluan pribadi sang
pengrajin, selembar kain dengan motif yang sederhana, bisa bentukbentuk geometri dan
dedaunan.
Dalam perkembangannya, sulaman ini kemudian dimanfaatkan untuk menghiasi
baju koko yang lazim dikenakan kaum pria ke masjid atau acarakeagamaan dan
kematian.Karawo dengan motif sederhana juga menghiasi taplak meja dan sapu tangan
(lenso). Bertahun-tahun karawo hidup tanpa perkembangan yang berarti, motif yang
sederhana, jenis kain yang terbatas, dan penggunaan yang ala kadarnya.
Memasuki era tahun 1980-an sulam Karawo ini sudah lazim dipakai masyarakat
untuk baju-baju yang dipakai ke masjid (koko) warna putih, juga saat menghadiri upacara
kematian (takziyah). Penggunaan baju sulam karawo ini juga dilakukan kaum perempuan
pada acara yang sama. Dirasakan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, pada masa
selanjutnya sulam karawo diperdagangkan dalam pasar yang terbatas, masyarakat sekitar
pengrajin.Lambat laun pedagang desa ini menawarkan ke pasar yang lebih luas dengan
tujuan meningkatkan omzet penjualan.
Saat itu Gorontalo yang masih menjadi bagian dari Sulawesi Utara tidak memiliki
pasar yang baik di wilayahnya. Para pedagang Gorontalo menjadikan kota Manado
sebagai tempat berdagang yang prospektif, hasil bumi seperti produk pertanian,
perikanan, perkebunan dibawa ke Manado. Lambat laun kerajinan juga dibawa ke tanah
Wenang ini. Menjadi bagian dari Sulawesi Utara membuat sulaman asli Gorontalo ini
dikenal sebagai produk asal Manado.Para pelancong dan penggemar sulaman mengerti
jika untukmendapatkan sulam kerawo (saat itu dikenal sebagai kerawang) harus datang
ke Manado.Ketika itu Gorontalo belum ramai dikunjungi wisatawan.Di Manado, sulam
Karawo dipajang di toko-toko besar di kawasan jalan BW Lapian, beserta kerajinan dan
makanan tradisional dari Minahasa. Kawasan ini memang dikenal sebagai pusat oleh-
oleh di Sulawesi Utara.Dari toko-toko yang berderet ini karawo muncul di masyarakat
luas sebagai sulam yang khas.Para Kawanua (orang Minahasa) dan juga masyarakat
Gorontalo yang tinggal di Manado membawa sulam ini ke dunia yang lebih luas. Saat
Gorontalo berdiri sebagai provinsi yang ke-32di Indonesia pada 22 Desember 2000
melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, nasib sulam karawo tidak berubah.
Ribuan potong sulaman karawo masih ditransaksikan di Manado, meskipun di kota
Gorontalo sendiri mulai tumbuh perdagangan karawo dengan manajemen yang lebih
baik.
Kesadaran pemerintah provinsi Gorontalo untuk menghargai sulam Karawo
sebagai “karya asli” daerah ini baru tercetus tahun 2006, saat Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Hak Paten tentang Sulam Karawo sebagai
kerajinan milik masyarakat Gorontalo. Plakat hak paten ini disampaikan saat Sidang
Paripurna Istimewa DPRD Provinsi Gorontalo memperingati HUT Provinsi Gorontalo,
16 Februari 2006. Dalam upaya melestarikan, membudayakan dan mengembangkan
sulaman karawo, pada tanggal 17 Desember 2011 Bank Indonesia Cabang Gorontalo
bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Gorontalo menyelenggarakan Festival Karawo
2011.
Pernah diselamatkan dari ancaman kepunahan saat agresi Belanda dan mengalami
masa jaya, karawo kembali berada di bawah bayang-bayang kepunahan.Penyebabnya
adalah kurangnya generasi muda yang berminat memakai karawo sebagai pakaian,
apalagi sebagai penyulam.Saat ini karawo umumnya dilakukan ibu rumah tangga yang
menyebar di sejumlah wilayah di Gorontalo.Tercatat saat ini ada sekitar 10.000 ibu
rumah tangga yang masih menekuni karawo.
Selain itu juga dengan adanya Festival Karawo, diharapkan pengrajin karawo bisa
mengembangkan motif karawo menjadi lebih bervariasi agar angka penjualan atau minat
pembeli produk karawo dapat meningkat. Pengrajin Karawo juga dihadirkan di event
Festival Karawo untuk menunjukkan pada masyarakat cara membuat Karawo seperti
yang terlihat pada gambar-gambar berikut ini.
Promosi dan Pemasaran Produk Karawo juga dilakukan melalui acara-acara fash-
ion show yang diliput oleh berbagai media seperti televisi, radio, surat kabar, media sosial
dan media-media lainnya. Contoh Promosi Produk Karawo melalui media social seperti
instalgram, facebook, web, dan lain-lain. Pemerintah dan pihak terkait telah
melaksanakan berbagai pelatihan kepada pengrajin dan pengusaha Produk Karawo dalam
rangka peningkatan kualitas promosi seperticara menggunakan web untuk melakukan
penjualan.
Daftar Pustaka