Anda di halaman 1dari 153

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE ***46g

PT. THC Mandiri - Jakarta, Indonesia

HABIBIE & AINUN

Penulis: Bacharuddin Jusuf Habibie Desain Ku lit & Layout: Acorn Hamzah

Cetakan Pertama: November 2010, 25.000 eks Cetakan Kedua: December 2010, 50.000 eks Cetakan
Ketiga: April 2012, 50.000 eks

Diterbitkan oleh: PT. THC Mandiri

Jl. Kemang Selatan No. 98 Jakarta 12560- Indonesia Telp. 021-7817211, Fax. 021-7817212

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Habibie & Ainun / Bacharuddin Jusuf Habibie Jakarta, THC Mandiri, 2010 xxi + 323 hlm.; 14 cm x 21 cm

ISBN: 978-979-1255-13-4

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutipatau memperban yak sebagian atau seluruh
isi buku ini datum bentuk apa pun, balk secara etektronik maupun mekonik, termasuk memfotokopi,
merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tan pa izin tertulis dart Penerbit.

Buku ini dipersembahkan untuk isteri saya tercinta HASRI AINUN HABIBIE yang Jiwa, Roh, Batin dan
Nuraninya Manunggal di mana pun kami berada, sepanjang masa

Dr. Hj. Hasri Ainun Habibie (1937 - 2010)

Pengantar Penulis — IX

Prolog — XIII

BAB 1 : Sekali Peristiwa di Rangga Male la 11 B — 1

BAB 2 Harmoni dari Dua Dunia — 9

BAB 3 : Keseharian di Oberforstbach — 16

BAB 4 : Penantian Sepasang Mata yang Indah — 24

BAB 5 : Dia yang Memberi Ilham — 31

BAB 6 : Tidak Mengingkari “Sumpahku” — 37

BAB 7 : Mendapat Anugerah “Si Perintis yang Sempurna” — 45

BAB 8 : Setelah 6 Tahun, Ainun Kembali ke Indonesia — 52


BAB 9 : Mempersiapkan Kader Pembangunan — 58

BAB 10 : Pertemuan di Hotel Hilton Düsseldorf — 66

BAB 11 : Menjadi Tamu Ibnu Sutowo — 74

BAB 12 : 28 januari 1974 di jalan Cendana 8 — 78

BAB 13 Mendapat Restu Dr. Ludwig Bölkow — 90

BAB 14 : Welcome back to your people, Dr. Habibie! — 98

BAB 15 : Kembali ke Tanah Air Tercinta — 107

BAB 16 : Memberi Informasi pada Tokoh Nasional — 113

BAB 17 : Bersama Ainun Proaktif Ikut dalam Kabinet Pembangunan ke -3 — 119

BAB 18 : Ainun Ikut Berkarya dalam Organisasi Sosial — 124

BAB 19 : Jam Kerja — 130

BAB 20 : Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia - ICMI — 137

BAB 21 : Dampak dan Karya ICMI — 142

BAB 22 : ICMI dan Harapan ke Depan — 148

BAB 23 : Peran Wanita, Orbit dan Ainun — 155

BAB 24 : Pemunculan dan Terbang Perdana ”N250 Gatotkoco” — 162

BAB 25 : Bangsa Indonesia ”Melek Teknologi” — 168

BAB 26 : Sumber Daya Manusia Terbarukan — 177

BAB 27 : International Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development
(IIFTIHAR) — 187

BAB 28 : Indonesian Airshow 1996— 197

BAB 29 : Ainun Dirawat di Rumah Sakit Bad Oeynhausen — 206

BAB 30 : Kabinet Pembangunan ke VII — 213

BAB 31 : Reformasi Bergulir — 228

BAB 32 : The Habibie Center — 242

BAB 33 : Ainun Sakit dan 10 Tahun Proses Penyembuhan — 251


BAB 34 : Ainun Dirawat di LMU-Klinik Miinchen — 264

BAB 35 : Ainun Dioperasi — 281

BAB 36 : Perpisahan dengan Ainun — 297

BAB 37 : Ainun Pindah ke Alam dan Dimensi Baru” — 311

DENGAN mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, penulisan buku yang berjudul ”Habibie & Ainun” ini
akhirnya dapat saya selesaikan. Walaupun buku ini saya tulis mirip novel supaya enak dibaca, namun
saya berharap pembaca dapat lebih jauh mendalami apa yang saya kisahkan, apa hikmah dan maknanya.
Namun inilah yang sanggup saya berikan dengan rendah hati sebagai hadiah kepada isteri saya
almarhumah Hj. Hasri Ainun Habibie binti R. Mohamad Besari.

Bagi saya pribadi, hikmah menulis buku ini, telah menjadi terapi untuk mengobati kerinduan, rasa tiba-
tiba kehilangan oleh seseorang yang selama 48 tahun 10 hari berada dalam kehidupan saya, dalam
berbagi derita dan bahagia, karena antara saya dan Ainun adalah dua raga tetapi hanya satu jiwa. Se lain
itu, saya mencoba memenuhi anjuran dokter, baik di Hamburg, Muenchen dan di Indonesia, bahwa saya
harus terhindar dari gangguan psikosomatik, sebuah gejala penyakit yang sangat erat hubungannya
antara faktor fisik, psikologis, dan sosial. Dengan emosi saya yang tinggi dan berlebihan, bisa berdampak
negatif bagi kesehatan saya. Mungkin karena, sejak Ainun berpindah ke Alam Barzah, pada setiap
dimensi ruang dan waktu, saya masih merasa Ainun tetap ada di dekat saya. Setiap saya keluar dari
ruang kerja saya, saya tiba-tiba merasa berada pada sebuah dimenasi waktu dan ruang yang lain,
dimensi ruang dan waktu ketika Ainun belum berpindah ke Alam Barzah. Wajah Ainun, seperti sudah
melekat di setiap sudut mata saya, hadir di mana saya berada.

Karena itu, waktu yang saya gunakan untuk menulis buku ini, telah menutupi kekosongan jiwa yang saya
rasakan, dari hari demi hari, bulan demi bulan, mengikuti perjalanan waktu. Walaupun, di setiap
halaman naskah buku ini, saya tulis dengan getaran jiwa dan lautan emosi yang kadang-kadang sulit saya
bendung. Tiap halaman dalam buku ini, tidak berlebihan jika saya katakan penuh dengan tetesan air
mata.

Hikmah yang saya petik, ketika saya sedang mencoba mengembalikan semua jalinan peristiwa dalam
kehidupan saya bersama Ainun, saya mendapat hidayah untuk kembali merenungkan lebih jauh makna
kehidupan manusia di alam fana ini. Pada saat itu, saya selalu kembali mencari pegangan pada agama
yang saya anut, berbekal iman dan taqwa yang sudah ada dalam diri saya. Demikian pula mengenai
makna kehadiran seorang ayah dan ibu, makna kehadiran seorang suami dan isteri dalam kehidupan
sebuah rumah tangga. Akhirnya, tanpa mengingkari peranan besar kedua orang tua saya yang memberi
corak dan bekal kehidupan saya hingga seperti sekarang ini, dalam penghayatan saya, kehadiran Ainun
yang mendampingi saya selama 48 tahun 10 hari, telah menjadi api yang selalu membakar energi
semangat dan jiwa saya menjalani hidup ini dan sekaligus air yang sewaktu-waktu menyiram dan
meredahkan gejolak jiwa saya hingga kembali tenang.
Ainun selalu hadir memberikan keseimbangan dan menciptakan harmoni dalam kehidupan keluarga
kami, dengan kerendahan hati untuk memberi suaminya selalu berjalan di depan, seperti ungkapannya:
the big you and the small I. Lebih dari itu, dalam pribadi Ainun yang selalu memancarkan keteduhan,
ketulusan, kesenduhan, dengan ”mata yang indah” memukau, jadi penuntun biduk rumah tangga kami
bagaikan sebuah lagu yang nada, ritme dan syairnya, sudah diorkestra sedemikian rupa sehingga selalu
harmonis.

Di samping itu, saya juga ingin memenuhi permintaan dari berbagai kalangan, yang menganjurkan saya
menuliskan pengalaman dalam rumah tangga kami. khusus mengenai kehidupan Ainun yang
memberikan keteladanan dan inspirasi sebagai ”guru kehidupan”, yang mungkin akan berharga dan
bermakna bagi masyarakat untuk dipetik sari-patinya. Saat-saat, di mana kami lebih memaknai
kehidupan ini sebagai pasangan hidup sejati yang diberkahi Allah SWT, menjadi keluarga sakinah. Satu
jiwa, satu hati, Ainun yang ditakdirkan menjadi bagian pada diri saya dan diri saya yang sudah menjadi
bagian dari Ainun.

Semoga tulisan ini telah memberi hikmah bagi saya pribadi, semoga pula apa yang saya tulis dalam buku
ini bisa memenuhi harapan publik yang mendorong saya mengungkapkannya. Sejumlah fakta sejarah
dalam kehidupan saya yang saya ungkapkan dalam buku ini, memang seharusnya bukan milik saya
pribadi, bukan milik Ainun, tetapi menjadi milik publik, milik bangsa ini untuk dicatat dalam sejarah.

Terakhir, ingin saya sampaikan bahwa hasil penjualan buku ini sepenuhnya akan disumbangkan untuk
organisasi sosial yang ditujukan bagi pengembangan sumber daya manusia yang saya dirikan bersama
Ainun.

Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu, sehingga buku ini
dapat diterbitkan.

Jakarta, 30 Nopember 2010

Bacharuddin Jusuf Habibie

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE I Habibie & Ainun

The Power of Love: Mengapa dan Bagaimana ”Habibie & Ainun” Ditulisi

Ahmad Watik Pratiknya

KESEDIHAN yang dialami seorang suami (atau isteri) karena ditinggal oleh pasangan hidupnya yang amat
dicintainya, akan dialami oleh siapa pun. Namun, kepergian seorang Ainun (dr. Hj. Hasri Ainun Habibie,
HAH) menghadap Al-Khaliq meninggalkan prahara emosional yang amat mendalam, bahkan cenderung
”menghanyutkan” bagi sang suami, Habibie (Prof. Dr-Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, BJH). Itulah yang
oleh para Pujangga sering disebut sebagai ”kekuatan cinta”. Kekuatan yang mematri hubungan Ainun
dengan Habibie. Kekuatan yang dapat menghanyutkan hati manusia dalam kesedihan yang paling dalam,
namun juga kekuatan yang dapat mendorong semangat perjuangan hidup dan keberhasilan yang
cemerlang. Itulah sekelumit pesan yang dapat digali dari buku ”Habibie & Ainun” ini. Memang buku
”Habibie & Ainun” dapat mengantar kita untuk dapat lebih mamahami apa arti kekuatan cinta yang
sebenarnya, sebagai titipan dari Sang Maha Pencipta dan Maha Mencintai (al-Rahman & al-Rahiem).
Sebagai orang yang mendampingi dari dekat terutama pada saat-saat Penulis mengalami guncangan
emosi yang amat mengkhawatirkan keluarga dan teman-temannya secara pribadi saya menyaksikan
sendiri bagaimana ’perjuangan’ Penulis untuk menuangkan apa yang berkecamuk dalam benak pikiran
dan perasannya. Kalau pun pada akhirnya Penulis berhasil memenangkan’ perjuangan tersebut, dengan
selesainya penulisan naskah ”Habibie & Ainun” sebanyak 37 bab, bukan berarti proses penulisan
berjalan lancar, linier tanpa kesulitan. Bahkan, sebaliknya, penuh dengan dinamika dan gejolak dalam
situasi yang amat unik. Ada sejumlah ’keunikan’ menyangkut proses penulisan buku ”Habibie & Ainun’
yang kiranya dapat menambah pemahaman Pembaca untuk lebih memahami dan menghayati suasana
kebatinan Penulis. Beberapa ’keunikan’ yang dimaksud adalah:

Pertama, seperti dikemukakan oleh Penulis (BJH) dalam Kata Pengantar, penulisan buku ini lebih
merupakan upaya untuk melakukan terapi-diri (self-healing) terhadap kondisi emosional yang dialami
dan dirasakan BJH setelah almarhumah Ibu Ainun menghadap al-Khaliq. Bagi BJH, almarhumah Hasri
Ainun Habibie (HAH) binti Mohamad Besari bukan hanya sebagai isteri, melainkan juga sebagai: mitra,
sahabat dan ’penjaga’, yang selalu berdampingan dalam suka dan duka selama 48 tahun 10 hari.
Kepergian almarhumah HAH tersebut menjadikan BJH tiba-tiba ’terperangkap’ dalam samudera
emosional yang amat bergejolak, yang sewaktu-waktu dapat ’menghisap’ BJH ke pusaran yang amat
deras dan ganas. Menghadapi kondisi emosional pasca kepergian separuh jiwanya tersebut, BJH
dinasehati oleh tim dokter dari Jerman (Hamburg dan Munchen) maupun dari Indonesia untuk
mencegah dari apa yang oleh Prof. Dr. Mathay dari Hamburg sebutkan sebagai ”black hole”, yaitu suatu
kondisi ”psiko somatic malignan”, di mana gangguan emosional berdampak negatif pada sistim organ
vital manusia, sehingga menjadikan seseorang yang ditinggalkan pasangannya jatuh sakit yang progresif
dan terminal, dan kemudian ”menyusul” pasangannya menghadap Tuhan.

1 Tulisan ini adalah Pengantar penulis pada acara Peluncuran Buku ”Habibie & Ainun, tanggal 30
November 2010 di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Isi tulisan merupakan analisis dari ”rekaman” korespondensi
penulis dengan BJH dan pengamatan langsung penulis pada ’suasana’ BJH pada saat-saat menuliskan
naskah ”Habibie & Ainun”.

Ada tiga alternatif yang disarankan tim dokter untuk mencegah BJH jatuh pada hisapan black hole
tersebut, yaitu: (1) melakukan ”curhat” (menceritakan dan mendiskusikan perasaan dan permasalahan
yang dialami) kepada sejumlah teman dan sahabat BJH maupun HAH, agar tekanan emosional BJH dapat
release; (2) menjalani terapi psikiatris (dengan psikoterapi dan minum obat); dan (3) melakukan kegiatan
yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya, yaitu dengan menulis.

Ternyata kemudian BJH memilih alternatif ketiga, dengan pertimbangan tidak melibatkan orang lain,
bersifat from within, dan tidak perlu menggunakan obat-obat psikotropika yang dapat berdampak pada
kesehatan fisik. Dengan demikian, self-healing tersebut diharapkan dapat lebih mendalam dan lebih
permanen, tidak bersifat simtomatis. Dengan motivasi melaksanakan self-healing tersebut, maka jadilah
buku ”Habibie & Ainun” ini!
Kedua, dengan menulis buku ini ibarat BJH menceriterakan kembali secara jujur dan faktual mengenai
kehidupan rumah tangganya bersama HAH selama 48 tahun dan 10 hari (12 Mei 1962 s.d. 22 Mei 2010),
bagaikan bahtera yang berlayar di tengah samudera yang penuh dengan dinamikanya sendiri. Diawali
dengan ”merangkak” dari bawah, dalam kondisi jauh dari sanak-keluarga di tanah air dan hidup serba
pas-pasan, bahtera Habibie & Ainun berhasil berlayar dengan penuh liku menuju pantai ”sakinah”.

Hidup serba pas-pasan tersebut sudah dialami BJH sejak menapakkan kaki belajar ke Jerman, sebelum
menikah. Sedikit orang yang mengetahui betapa sulitnya berlajar di luar negeri dengan biaya mandiri
dari Ibunya pada saat itu. Berbeda dengan semua kawan-kawannya yang lain yang mendapat beasiswa
dari pemerintah, memang untuk belajar di luar negeri BJH tidak mendapat beasiswa. Bukan karena BJH
tidak memenuhi persyaratan, bukan pula karena orang tuanya terbatas ekonominya, tetapi semata-mata
karena sumpah ibunya (yang diucapkan dihadapan jenazah almarhum ayahnya) untuk membesarkan BJH
dan saudara-sauaranya secara mandiri. Kesulitan timbul karena saat itu orang tuanya tidak dapat
membeli devisa asing secara bebas. Kalau pun pada akhirnya ibunya mendapat ijin khusus untuk
membeli devisa asing, namun kesulitan tetap ada karena proses pengirimannya ke Jerman sering
terhambat sehingga BJH terlambat menerima kiriman ibunya.

Namun, dengan keunggulan dan kreativitas BJH sebagai kapten dipadu dengan ketekunan serta
ketulusan HAH sebagai nahkoda, akhirnya bahtera Habibie-Ainun telah berhasil merubah keadaan, yang
dapat diibaratkan dari ”nothing” menjadi ”everything”, hampir dalam segalanya. Bayangkan, kalau tahun
1962 mereka berangkat dengan menjinjing ’dua koper’, maka sepuluh tahun kemudian (1972) mereka
telah mampu membangun rumah tangga yang berkecukupan dengan rumah tinggal yang asri dan
modern di Kakerbeck, sebagai hasil jerih payah ’murni’ dari BJH di tengah persaingan yang amat ketat
tidak mengenal koneksi) dengan para pakar Jerman.

Hal yang amat menonjol dari perjalanan bahtera HabibieAinun tersebut adalah bukan saja perubahan
kehidupan dan karir materi, keilmuan, profesi dan kedudukan) yang begitu spektakuler, melainkan juga
bagaimana pasangan ini seolah telah menyatu sebagaimana BJH sebutkan sebagai ”kemanunggalan”
dalam ”jiwa-ruh-batin-nurani” mereka -- yang terjadi karena cinta yang Tuhan anugerahkan kepada
mereka. Dari bibit cinta yang tertanam di silaturahim malam lebaran di jalan Rangga Malela Bandung
tanggal 7 Maret 1962, kemudian dikukuhkan dan dikonfirmasi pada ’perjalanan romantis’ dari seputar
Jalan Dago keesokan malamnya, mereka berdua berhasil menyiram bibit cinta dengan kebersamaan,
saling menjaga, saling mendukung dan menopang, di dalam bingkai nilai-nilai agama dan budaya,
akhirnya berkembanglah menjadi cinta yang BJH sebut sebagai ”murni-suci-sejatis empurna-abadi”.

Namun, kebahagiaan dan kedamaian bahtera yang telah berlayar selama 47 tahun 10 bulan, tiba-tiba
(pada tanggal 22 Maret 2010) memasuki samudera yang penuh dengan gelombang serta tiupan topan
dan petir yang menggema, yaitu pada saat diketahui bahwa HAH mengindap penyakit berat dan sudah
berada dalam stadium lanjut, yang merubah rencana pelayaran-terapis (dari Singapura ke
Southhampton) menjadi perjalanan menuju perawatan HAH di rumah sakit LMUMunchen. Sejak saat itu
BJH berfungsi ganda, sebagai kapten sekaligus sebagai nahkoda bahtera Habibie-Ainun Pelayaran
bahtera semakin hari semakin berat karena menghadapi cuaca yang semakin bergejolak, dengan
kenyataan bahwa HAH harus menjalani sampai 12 rangkaian operasi. Akhirnya ketentuan Allah SWT
untuk memanggil hamba-Nya, mengakhiri berbagai upaya yang tak kenal menyerah, yang disertai
dengan kesetiaan dan ketabahan BJH yang selalu mendampingi sang nahkoda sampai saat-saat ajal
menjemputnya.

Membaca buku ini, bagaikan kita mengikuti perpaduan antara ’dongeng’ dengan ’reportase’. Dongeng
karena penuh dengan peristiwa yang mencengangkan dan mencekam, reportase karena semuanya
berdasar pada fakta yang diungkapkan secara jujur, apa adanya.

Ketiga, gaya penulisan buku ”Habibie & Ainun” dapat dilukiskan sebagai ”BJH berdialog dengan dirinya”,
dan tulisan yang dihasilkan adalah cerminan dari hasil dialog antara ”ego-diri BJH dengan kesadaran,
pemikiran dan emosinya” yang tengah mengalami gejolak goncangan emosional yang dahsyat, pada saat
BJH berusaha menghindar dari tarikan pusaran black-hole. Seperti telah dikemukakan, BJH yang
berperan sebagai kapten sekaligus nahkoda bahtera, mamasuki keadaan yang semakin rumit dan
kompleks.

Kesedihan yang tak terlukiskan menjadikan BJH menulis dengan air mata”, bukan hanya dalam kiasan
namun dalam arti yang sesungguhnya. Ungkapan kesadaran, pemikiran dan emosinya tergambarkan
dengan jelas pada doa-doa yang dipanjatkan BJH pada ulang tahun perkawinan ke 40 (12 Mei 2010),
pada saat ’kepergian’ almarhumah HAH, dan pada penghujung naskah buku.

Selama masa penulisan sekitar 4 bulan (awal juni sampai dengan 11 November 2010), memang naskah
Habibie & Ainun ditulis dengan kucuran air mata. Bahkan tidak hanya sekali, BJH harus membersihkan
keyboard note-booknya akibat tetesan air mata yang tak terbendungkan. Bahkan dalam kurun waktu
tersebut, terdapat saat di mana BJH mengalami ”blocking” dan stagnasi dalam penulisan sampai 5 pekan
lebih.

Keempat, suatu hal yang unik yang tidak dijumpai pada tulisan sejenis adalah BJH mencoba
menyimpulkan” (pada bab 37) perjalanan bahtera Habibie-Ainun (bab 1 sampai dengan bab 36) dengan
mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu menghantui pikiran dan perasaannya, yaitu: ”di mana
Ainun berada saat ini? bagaimana keadaannya? dan ”bagaimana BJH dapat terhubung’ dengan Ainun?”
Pertanyaan-pertanyaan ini BJH jawab dengan melakukan ”dialog diri” dengan memanfaatkan
pengetahuan, pengalaman dan keyakinannya.

Kekayaan ilmu yang dimiliki diramu dengan pengalaman sebagai perekayasa teknologi canggih, disertai
pemahaman keyakinan agamanya, menjadikan BJH mengajukan berbagai asumsi dan penafsiran
mengenai ”keberadaan almarhumah Thu Ainun setelah mengalami ”perpmndahan” ke alam yang lain.

Analogi ’manusia’ sebagai ciptaan Allah SWT dengan ’komputer ciptaan manusia, menjadikan
pendekatan dan penafsiran BJH tentang alam dengan 6 dimensi (panjang, lebar, tinggi, waktu,
kecepatan, dan kuantum energi di mana manusia yang masih hidup maupun mereka yang sudah wafat
berada.
Perbedaannya adalah, mereka yang masih hidup masih menyatunya raga sebagai hardware dengan Jiwa-
ruh-batinnurani’ sebagai super-intelligent software -- tidak mampu mendeteksi dan ’memanfaatkan’ dua
dimensi terakhir, yaitu kecepatan (di atas kecepatan cahaya) dan dimensi kuantum energi.

Sementara mereka yang sudah wafat dengan berpisahnya iwa-ruh-batin-nurani’ (software) dengan
raganya (hardware) yang sudah rusak dan dikubur dapat memanfaatkan kedua dimensi terakhir.
Bagaimana kedua ”super-intelligent software” dapat saling terhubung, BJH dengan menggunakan
berbagai persamaan matematik tinggi, dan berbagai ”rumus” fisika, mekanika dan kuantum energi
kemudian mengajukan beberapa asumsi yang amat menarik dan menantang untuk dibuktikan
kebenarannya.

Kelima, pada suatu silaturahmi duka-cita (ta’ziah) di kediaman BJH pada akhir bulan Mei 2010 yang lalu,
Dr. Surin Pitsuan, Sekretaris Jendaral ASEAN mengemukakan bahwa: ”Now we have another ’Romeo &
Juliet’ in our region, that is Habibie & Ainun”. Sekilas tidak salah pendapat Dr. Surin tersebut. Akan tetapi
ada beberapa perbedaan, manakala kita membandingkan ”Habibie & Ainun” dengan ”Romeo & Juliet”.

Walaupun kedua kisah menggambarkan betapa besarnya ’kekuatan cinta’ (the power of love), namun
”Romeo & Juliet” menggambarkan ’kekandasan’ cinta dari dua remaja akibat kedua orang tua mereka
saling bermusuhan, yang digambarkan sebagai bunuh diri bersama. Sementara ”Habibie & Ainun” lebih
menggambarkan ’keberhasilan’ cinta yang terjalin dan berkembang sampai 48 tahun 10 hari dari
sepasang intelektual muda hingga lanjut usia, menjadi eyang dari 6 orang cucu.

Perbedaan lain adalah ”Romeo & Juliet” ditulis sebagai karya sastra tinggi oleh orang lain (William
Shakespeare) berdasar dongeng yang berkembang di Italia (yang kemudian dipentaskan dalam bentuk
drama, opera, film dan musikal). Sementara ”Habibie &Ainun”ditulis oleh ”Romeo”-nya sendiri, berdasar
kisah nyata yang dialaminya bersama pasangan hidupnya, Ainun. Shakespeare menulis penuh dengan
suguhan estetis dan artistik, sementara Habibie menulis dengan penuh gejolak rasa dan air mata.

Dengan demikian, dapat difahami kalau dalam ”Romeo & Juliet” lebih banyak mengungkapkan imajinasi
Shakespeare dengan kekayaan estetis sehingga dapat melukiskan dengan indah adegan-adegan tragedi
yang diselingi komedi serta diramu dengan ketegangan yang memuncak, dan menjadi amat menarik
untuk ditonton. Sebaliknya yang kita nikmati’ dalam ”Habibie & Ainun”adalah kisah nyata perjalanan
hidup sepasang manusia yang disuguhkan secara jujur, apa adanya, yang diwarnai oleh penulis dan
sekaligus pelakunya dengan pendekatan dan warna’ pengungkapan yang dialogis dengan dirinya.

Keenam, sebagai komentar penutup mengenai keunikan buku ”Habibie & Ainun”, kiranya dapat
dipinjam’ pendapat Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Dr. Franz MagnisSuseno. Pendapat Ahmad
Syafii Maarif, yang dikutip pada sampul belakang buku, menyebutkan:

”Ini adalah sebuah karya yang ditenun dan dibingkai dengan perasaan cinta suci yang mendalam, tulus,
dan sarat nilai. Suka-duka penulisnya berdampingan selama 48 tahun dengan Bu Ainun tertumpah-ruah
dengan penuh kejujuran dalam karya ini, sebuah karya yang dapat dijadikan ilham bagi para pencari
resep spiritual bagi bangunan rumah tangga sakinah, sesuatu yang tidak mudah bagi kebanyakan kita,
termasuk saya.”
Sementara pendapat Franz Magnis-Suseno, yang disampaikan langsung kepada BJH, kurang lebih sebagai
berikut:

”Tahukah Pak Habibie bahwa buku ’Habibie & Ainun’ merupakan karya yang akan dapat lebih bermakna
daripada ’Taj Mahal’, walaupun keduanya sama-sama melambangkan cinta seorang suami kepada
isterinya. Taj Mahal hanya dapat dinikmati keindahan dan keanggunannya, tetapi buku ”Habibie &Ainun”
di samping dapat dinikmati jalan ceritanya juga amat berguna bagi mereka yang ingin memahami pesan-
pesan moral di balik cerita tersebut”

Sekali Peristiwa di Rangga Malela 11 B

SEKITAR pukul 10 pagi hari Rabu tanggal 7 Maret 1962, Fanny (J.E.Habibie) adik kandung saya mengajak
untuk berkunjung ke Keluarga Besari. Terakhir saya berkunjung ke Keluarga Besari pada tahun 1954 di
rumah mereka di Ciumbuleuit Bandung. Pada waktu itu saya pertama kalinya melihat tanaman salak di
kebun mereka. Keluarga Besari dikenal sebagai keluarga yang ramah dan intelektual terpelajar.
Khususnya Bapak dan Ibu Besari terbuka bagi siapa saja tanpa membedakan siapapun. Putra-putri
Keluarga Besari bersekolah di SMA-Kristen di Jalan Dago, di mana saya juga bersekolah. Saya mengetahui
bahwa Sahari putra tertuanya dari kelas 2 SMA sebagai extrané langsung tamat SMA dan diterima di
Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung yang sekarang bernama ITB. Saya baru saja beberapa
hari di Indonesia dan sejak kemarin malam tiba dari Jakarta di rumah ibu saya di Jalan Imam Bonjol
Bandung. Dengan menggunakan mobil ifou, saya dan Fanny berangkat menuju rumah keluarga Besari.
Ternyata rumah keluarga Besari yang kami tuju, tidak lagi di Ciumbuleuit tetapi sudah pindah ke Jalan
Rangga Malela no. 11 B, yang hanya sekitar 15 menit dari rumah kami. Setibanya di rumah Keluarga
Besari, Fanny tanpa mengajak saya ikut ke dalam rumah, meninggalkan saya di mobil sambil mengatakan
agar saya tunggu di mobil. Nanti akan diajak masuk, jika ternyata tidak mengganggu persiapan untuk
malam Takbiran dan hari Idul Fitri. Tentunya Ibu Besari sibuk dengan berbagai kegiatan. Hampir setengah
jam saya menunggu, Fanny tidak kunjung datang. Dalam keadaan tidak menentu itu, saya ke luar dari
mobil dan mengetuk pintu sambil berucap Hallo,Hallo, Hallo, Namun tidak ada yang bereaksi. Saya lalu
memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah. Sewaktu saya memasuki ruang makan, ternyata Ainun
putri Bapak Besari duduk seorang diri, ia sedang menjahit dan bercelana panjang “blue jeans”. Saya tidak
menyangka bertemu dengan Ainun dan tampaknya demikian pula Ainun. Reaksi spontan saya: “Ainun,
kamu cantik, dari gula jawa menjadi gula pasir!” Ainun kaget pula melihat saya yang lebih dari 7 tahun
tidak pernah bertemu. Dengan tenang dan sambil tersenyum ia bereaksi: “Rudy, kapan kamu tiba dari
Jerman?”. Terkenang tujuh tahun yang lalu ketika Ainun sedang duduk bersama beberapa wanita dari
kelasnya menikmati sarapan pagi bersama, tiba-tiba saya datang mengucapkan kepada Ainun: “Mengapa
kamu begitu hitam dan gemuk?” Ainun pada waktu itu hanya kaget saya datangi dan mengucapkan
pertanyaan yang tidak sopan itu. Ia dan kawan-kawannya hanya tersenyum dan menggelengkan kepala
saja. Mengenai peristiwa tersebut, Ainun menulis dalam buku A. Makmur Makka ”Setengah Abad Prof.
Dr.-Ing. B.J.Habibie; Kesan & Kenangan” 1986 SABJH) sebagai berikut: „”Ada satu ucapannya yang tak
pernah saya lupakan „He, kenapa sih kamu kok gendut dan hitam? Kami gadis-gadis semuanya kaget: „Eh
kok begitu. Mau apa dia?” Saya dan teman-teman lagi duduk-duduk ngobrol waktu itu. Tiba-tiba saja ia
datang menghampiri dan mengatakannya. Mungkin ada maksudnya. Entahlah. Memang, kita berdua
sudah saling tahu-mengetahui sejak dari SMP 5 dan SMP 2 kita yang bersebelahan di Bandung itu.
Katakanlah saling kenal mata. Keluarga kami berkenalan baik dan saling datang ke rumah, keluarganya di
Jalan Imam Bonjol, orang tua saya di Ciumbuleuit.” „Namun dapat dikatakan bahwa kami baru saling
memperhatikan di SMA Kristen di Jalan Dago. Bagaimana tidak. Karena kita dua-duanya sama kecil dan
sama-sama paling muda dikelas masing-masing, kita selalu dijodoh-jodohkan oleh para guru: „Itu lho
yang cocok buat kamu.” Dia setahun lebih tua dan selalu satu kelas lebih tinggi. Tetapi kami tidak pernah
berpacaran. Maalh Fanny, adiknya lebih akrab dengan saya. Fanny kuanggap ”konco dia sendiri teman
biasa. Ia banyak disenangi gadis-gadis yang sedikit lebih tua. Saya ingot ia suka bersepatu roda. Saya
sendiri suka berolah-raga: softball, volley, berenang. Juga suka makan. Jadi kulit memang agak hitam;
badan memang berisi. Bukan dia satu-satunya lelaki yang menjadi perhatian saya; buat anak gadis umur
16 tahun para mahasiswa yang hebat-hebat dan gagah-gagah memakai sepeda motor Harley Davidson
tentu lebih menarik. Dia masih bersepeda waktu itu. Apakah ia minta lebih kuperhatikan lebih banyak?
Tidak tahulah.” „Sehabis SMA kami jalan sendiri-sendiri; dia ke Jerman belajar menjadi insinyur; saya ke
Jakarta masuk Fakultas Kedokteran UL Indekos mula-mula pada keluarga Harjono MT di Jalan Borobudur,
kemudian pada keluarga Abidin di Jalan Lembang. Hidup cepat berlalu; tahun 1961 saya lulus, lalu
bekerja di bagian Kedokteran Anak FKUL. Saya pindah rumah ke Jalan Kimia agar dekat ke tempat kerja.”
„Tahun 1960 ia selesai. Kata tante Habibie (saat itu belum saya panggil mama) ia baru sakit dua tahun
lamanya. Sudah tujuh tahun dia tidak pulang. Kata tante ada baiknya ia pulang berlibur dulu sebelum
meneruskan promosinya, siapa tahu ia bertemu jodohnya wanita Indonesia di sini.”

„Saya sakit waktu itu; mungkin karena bekerja terlalu keras, dan setelah masuk rumah sakit beberapa
lama, diberi cuti untuk istirahat. Maka pulanglah saya ke Bandung. Ke Rangga Malea, ke tempat mana
orang tua saya sementara itu sudah pindah. jahit-menjahit, ngobrol, istirahat.” „Suatu hari menjelang
lebran tahun 1962 Fanny ke rumah dan langsung masuk ke dapur mencari ibu saya. Rupanya ia sendiri
menunggu di mobil. Dan karena Fanny lama tidak keluar-keluar akhirnya ia sendiri masuk.” „Maka
bertemu kembalilah kami setelah sekian tahun tidak bertemu muka. Bertemu di kamar makan rumah
orangtua aoya. Dua-duanya sudah dewasa. Saling berpandang mata. Saling menegur; ”Kok gula jawa
sudah jadi gula pasir,” katanya.” Perilaku saya pada waktu itu, mungkin disebabkan karena Ainun yang
adik kelas saya mendapat perhatian khusus dari guru Ilmu pasti kami Bapak Gow Keh Hong, karena
keunggulannya dalam bidang ilmu pasti dan demikian pula halnya dengan saya. Sering guru tersebut
mengatakan bahwa sebaiknya wanita yang lain mengikuti jejak Ainun. Yang menyinggung perasaan saya
adalah terlalu sering diucapkan oleh guru di dalam kelas Ainun dan kelas saya bahwa saya dan Ainun
pantas kelak menjadi suami isteri sehingga keturunan kami menjadi pintar-pintar. Reaksi kami malu dan
kawan-kawan saya sering membuat komentar tambahan yang menyinggung perasaan. Sementara itu
Fanny bersama ibu Besari dan adik-adik Ainun masuk ke ruang makan dan mereka semua kaget melihat
saya dan Ainun yang sedang bercakap-cakap. Fanny menjelaskan bahwa saya baru beberapa hari di
Indonesia dan kemarin malam tiba di Bandung. Ibu Besari bertanya berapa lama saya tinggal di Indonesia
dan sedang berbuat apa di Jerman. Saya menjelaskan bahwa saya bekerja sebagai Asisten Peneliti
Professor Dr.-Ing. Hans Ebner di Institut Konstruksi Ringan, sambil membuat riset yang hasilnya dapat
dijadikan dasar tesis Dr.-Ing. pada Fakultas bagian Mesin Rheinisch Westfalische Technische Hochschule -
Aachen (RWTH-Aachen. Saya mendapat liburan 3 bulan. „Dan mulailah timbul perasaan-perasaan.
Barangkali perasaan-perasaan yang terpendam selama itu’ Demikian catatan Ainun dalam buku A.
Makmur Makka ”Setengah Abad Prof. Dr.-Ing. B.J.Habibie; Kesan & Kenangan” 1986, hal :383. Sewaktu
kami duduk sekitar meja makan, Bapak Besari dan anggota keluarga Ainun lainnya bergabung dan
mengajukan banyak pertanyaan baik mengenai pekerjaan saya, kehidupan dan budaya Jerman. Karena
latar belakang Bapak Besari sebagai dosen bidang perairan dan hydrodinamika dan perhatian beliau
sangat besar dalam segala bidang teknologi, maka banyak pertanyaan yang rinci dan kritis diajukan
dalam bahasa Belanda. Saya menjelaskan secara rinci, dalam bahasa Belanda pula. Tanpa disadari hari
mendekati shalat Ashar. Ainun yang duduk bersama anggota keluarga yang lain kadang-kadang
mengajukan pertanyaan dan pandangan mengenai budaya dan perilaku orang Jerman. Mungkin karena
Bapak Besari belum puas dengan jawaban-jawaban atas pertanyaan teknis yang beliau ajukan, beliau
mengajak saya ikut dengan keluarga besar Besari merayakan malam takbiran. Ajakan Bapak Besari saya
terima dan menyanggupi untuk datang setelah shalat Maghrib. Malam takbiran hari Rabu tanggal 7
Maret 1962 itu ternyata menjadi kenangan manis sepanjang masa untuk saya dan Ainun. Keluarga Besari
dari yang paling bungsu Melok sampai Bapak Besari dan Ibu Besari hadir, kecuali Sahari yang sedang
menganbil kuliah untuk mendapatkan Master di Universitas Cornell di USA. Mereka semua
mencerminkan suasana keterbukaan, kesetaraan dan telah memberi perasaan kekeluargaan yang hangat
pada diri saya. Pada silahturahmi yang berlanjut sampai jauh malam, kadang-kadang mata Ainun dan
saya bertemu tanpa komentar telah memberi dan menerima perasaan bagi saya yang belum pernah saya
rasakan dan alami! Sebelum malam takbiran itu diakhiri, saya sempat mengajak Ainun untuk bertemu
besok setelah shalat Maghrib di Rangga Malela no. 11 B. Ternyata sewaktu saya tiba di rumah jalan Imam
Bonjol, beberapa kawan dan mahasiswa yang tinggal di rumah Ibu saya menanti kedatangan saya setelah
kunjungan ke rumah Ainun. Banyak pertanyaan yang dilontarkan yang saya jawab apa adanya. „Rudy,
kamu mau jadikan Ainun pacarmu? Kamu harus tahu diri! Kamu sadar Ainun itu siapa? Sainganmu
anggota keluarga terkemuka di Indonesia, berpendidikan lebih tinggi dari kamu, kaya, ganteng dan lebih
besar dari kamu! Kamu siapa? Sepeda motor saja kamu tidak miliki. Paling banter naik becak. Harus
realistis! Jangan berkhayal dan mimpi.” „Terima kasih atas pandangan dan pendapat kalian. Saya percaya
bahwa takdir seseorang ditentukan oleh Allah SWT. Jikalau memang Ainun ditakdirkan untuk saya dan
saya untuk Ainun, maka apapun kalian katakan, Ainun Insya Allah akan menjadi Isteri saya dan saya
menjadi suami Ainun. Lihat saja nanti!”, demikian ucapan saya pada mereka. Memang saya tidak banyak
mengetahui mengenai perkembangan Ainun selama 7 tahun meninggalkan Indonesia. Ibu saya
sebelumnya telah menulis surat kepada saya bahwa Ainun sudah menjadi dokter dan beliau sangat
mengharapkan saya menulis kepada Ainun. Namun usul Ibu itu tidak dapat saya penuhi, karena
kesibukan dengan pekerjaan dan lagi pula saya tidak tahu bagaimana menulis sesuatu ke Ainun, setelah
kejadian yang jelas menyinggung perasaan Ainun, 7 tahun yang lalu. Saya sama sekali tidak terpikir dan
memiliki gambaran mengenai perkembangan Ainun selama 7 tahun. Wajah dan perilakunya hanya
terkenang seperti 7 tahun yang lalu. Bahwa Ainun telah berkembang menjadi seorang wanita yang cantik
dan dokter tamatan Universitas Indonesia, tidak saya sadari ketika saya diajak berkunjung ke rumah
keluarga Bapak R. Mohamad Besari. Saya samasekali tidak mengharapkan atau perkirakan akan bertemu
dengan Ainun. Yang saya harapkan adalah bersilaturahmi dengan Bapak dan Ibu Besari yang ramah dan
terbuka Apa yang disampaikan oleh kawan-kawan sewaktu saya kembali dari rumah Ainun mungkin
benar. Tetapi mereka tidak memperhitungkan bahwa keluarga Besari dan keluarga Habibie tergolong
keluarga intelektual, egaliter bebas, religius dan terbuka. Keesokan harinya setelah shalat Id, dan
menemani ibu berkunjung ke beberapa keluarga di Bandung, saya mendapat kesempatan berkunjung ke
Rangga Malela. Tanpa saya sadari pandangan mata semalam dengan Ainun telah menimbulkan perasaan
rindu untuk berpandangan lagi. Saya berusaha melupakan perasaan itu, karena telah memahami dan
mengerti pesan kawan-kawan di Imam Bonjol. Mereka bermaksud baik terhadap saya dan
mempersiapkan kekecewaan saya, jikalau kelak ditolak oleh Ainun. Tetapi mengapa pandangan mata itu
dapat memukau? Mengapa pandangan mata Ainun dan saya itu tanpa ucapan telah memberi perasaan
yang belum pernah saya alami? Apakah perasaan Ainun juga sama seperti saya? Ah, lupakan saja! Jangan
berkhayal dan berfantasi. Datang saja ke rumah Pak Besari untuk memohon maaf dan bersilaturahmi.

Di rumah Rangga Malela no. 11 B, banyak tamu yang hadir. Baik yang muda mau pun yang sudah lanjut
usianya. Saya sebenarnya bermaksud mengajak Ainun untuk nonton film, namun karena malam itu
kebetulan tidak hujan dan cuaca dibandingkan dengan cuaca di Jerman jika malam masih dingin, maka
saya mengajak Ainun untuk berjalan kaki dari rumah Rangga Malela ke kampus Fakultas Teknik
Universitas Indonesia, sekarang ITB, melewati bekas sekolah kami SMAK di Jalan Dago dan kembali ke
Rangga Malela. Setelah kami berjalan kurang lebih satu jam, saya memberanikan diri untuk mengajukan
pertanyaan sbb.: „Ainun maafkan sebelumnya, jikalau saya mengajukan pertanyaan yang mungkin dapat
menyinggung perasaanmu. Saya tidak bermaksud untuk mengganggu rencana masa depanmu. Apakah
Ainun sudah memiliki kawan dekat?” Ainun diam. Karena tidak mendapat jawaban, saya mengulangi
pertanyaan saya dengan menekankan pentingnya ketulusan mengemukakan isi hati kami apa adanya.
Setelah itu Ainun berhenti sejenak sambil memandang mata saya ia berkata: ”Saya tidak memiliki kawan
atau teman dekat dan khusus”. Hati saya berdebar mendengar jawaban Ainun dan mata saya bertemu
lagi dengan pandangan mata yang sejak kemarin beberapa kali bertemu. Mata Ainun yang sejak kemarin
telah memberi getaran jiwa saya dan saya rindukan sepanjang masa.

Tanpa kami sadari waktu begitu cepat berlalu dan kami berdua sambil berpegangan tangan tiba kembali
di rumah Rangga Malela. Masih banyak tamu dan beberapa pemuda duduk di depan rumah
memperhatikan kedatangan kami. Sejak itu saya secara batin tidak pernah berpisah dengan Ainun dan
demikian pula Ainun dengan saya.

BAB DUA

Harmoni dari Dua Dunia

SETELAH liburan Idul Fitri, semua kembali ke tempat bertugas masing - masing. Demikian pula Ainun
kembali ke Jakarta yang dalam rangka pendidikan dokter ahli penyakit anak, bekerja di RSCM Universitas
Indonesia di bawah pimpinan Prof. Dr. Soetedjo. Ainun tinggal di Asrama Wanita Universitas Indonesia, di
Jalan Kimia yang letaknya tidak jauh dari rumah kakak kandung tertua saya Titi Soebono binti Habibie di
Jalan Mendut. Di Jakarta saya tinggal di Jalan Mendut. Rumah Sakit tempat Ainun bekerja, letaknya tidak
jauh pula dari Jalan Mendut. Kendaraan yang paling murah dan cepat digunakan untuk menghubungi
Asrama Wanita, RSCM dan rumah di mana saya tinggal, adalah becak. Jikalau cuaca dan waktu
mengizinkan, saya berjalan kaki antara tiga alamat tersebut.

Catatan Ainun selanjutnya dalam buku A.Makmur Makka „SABJH” halaman 383 (1) sbb: „Entahlah, yang
jelas kita lalu berpacaran; malam-malam hari di dalam becak dengan jok tertutup walaupun tidak hujan.
Kami pacaran di Bandung. Kami pacaran di Jakarta; cuti saya tidak berlangsung selamanya. Ia rajin
datang; setiap hari saya pulang kantor selalu sudah menunggu di rumah. Rumahnya sendiri cukup dekat
di Jalan Mendut tempat tinggal kakaknya yang menikah dengan Subono Mantofan. Semuanya
berlangsung dengan cepat. Ia datang bulan Januari atau Februari. Kami menikah bulan Mei. Bulan Juni
kami mengurus cuti saya di luar tanggungan negara mengikuti suami ke Jerman. Ke Dekan Fakultas
Kedokteran. Ke Rektor Universitas Indonesia yang pada waktu itu dijabat Pak Sjarif Thayeb Ke Pak
Sudjono Djuned Pusponegoro yang waktu itu Menteri Riset NasionaL Ke Pak Toyib Hadiwidjaja selaku
Menteri PTIP Mata rantai ini harus ke semuanya dilalui. Akhirnya, dengan bekal masing-masing satu
koper, berangkatlah kami berdua ke Aachen”

Selama saya di Jakarta, hampir tiap hari kami bertemu dan makan di tempat yang menurut selera kami
enak. Kadang-kadang kami memanfaatkan becak, opelet atau menggunakan mobil Ibu atau mobil
keluarga Soebono yang dikemudikan oleh seorang pengemudi karena kami pada waktu itu belum
memiliki surat izin mengemudi. Hubungan kami makin dekat dan mesra dan merasakan waktu cepat
berlalu. Tiap pertemuan dan perpisahan yang disertai pandangan mata kami, mencerminkan kerinduan
untuk pertemuan yang akan datang dan perasaan yang menggetarkan hati. Mengapa semua ini terjadi?
Berapa lama kami dapat merasakan ini semua? Kapan perasaan ini berakhir? Beberapa minggu setelah
pertemuan pertama kami, saya jelaskan kepada Ainun bahwa akhir bulan Mei saya sudah harus kembali
ke Jerman. Cuti 3 bulan saya berakhir. Apakah Ainun bersedia mendampingi dan bersama di rantau
membangun keluarga sakinah, jauh dari pengaruh keluarga besar Habibie dan keluarga besar Besari? Di
rantau, di masyarakat yang berbudaya dan berperilaku lain, Kami beberapa kali diskusikan masa depan
kami dan berkesimpulan untuk menikah sebelum cuti 3 bulan saya berakhir. Kami menyanggupi bersama
untuk menghadapi segala tantangan di manapun kami berada. Kami berkeyakinan bahwa untuk cinta
yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi kami, Allah SWT selalu akan mendampingi kami dalam
perjalanan membangun keluarga sakinah. Kami sepakati untuk bersamaan masing-masing. Karena Ayah
saya sudah meninggal pada tahun 1950, ketika beliau sedang memimpin shalat Isya di atas sajadah, tiba-
tiba mendapat serangan jantung, 12 tahun yang lalu, maka saya harus nyekar ke makamnya di Makassar.
Semuanya membutuhkan persiapan dengan prasarana, dana dan waktu yang terbatas. Keyakinan kami
untuk menikah sebelum cuti saya berakhir disambut dengan baik oleh kedua keluarga besar Besari dan
Habibie. Kami ditugaskan untuk mengurus paspor, tiket dan izin Ainun untuk dapat menyertai suami ke
Jerman atas beban pribadi. Persiapan dan pelaksanaan akad nikah secara adat dan budaya Jawa hari
Sabtu tanggal 12 Mei 1962 di Rangga Malela, diserahkan kepada keluarga Besari. Sedangkan resepsi
dengan adat dan budaya Gorontalo, pada keesokan harinya tanggal 13 Mei 1962 di Hotel Preanger,
diserahkan kepada keluarga Habibie. Disepakati pula agar dalam waktu sesingkat-singkatnya
pertunangan kami, di rumah orang tua Ainun di Jalan Rangga Malela dapat dilaksanakan. Pertunangan
kami diumumkan melalui iklan beberapa surat kabar harian daerah dan nasional sebagai berikut:
„Bertunangan, Dokter Hasri Ainun Besari dengan Dipl.-Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, April 1962
Bandung/Indonesia Aachen/Jerman Barat”. Di Jakarta, saya tetap mengantar dan menjemput Ainun ke
dan dari bagian penyakit anak di RSCM sedapat mungkin saya laksanakan. Pakaian sehari-hari saya
celana biru „jeans”, kemeja biasa dengan penampilan tidak menyolok. Akibatnya orang tidak
memperhatikan saya. Yang diperhatikan adalah Ainun yang cantik dengan penampilan menarik dan
menyenangkan.
Sering saya disangka saudara kandung Ainun. Beberapa hari setelah iklan pertunangan Ainun dengan
saya diumumkan, kami mengalami suatu kejadian yang sangat menarik. Kejadian tersebut terjadi ketika
saya sedang berjalan bersama Ainun menuju bagian anak di RSCM. Sekelompok Dokter dan Sarjana yang
rata-rata lebih senior dan lebih besar dari saya, dengan penampilan yang meyakinkan menyapa Ainun
sambil bertanya: „Hebat, dokter Ainun bertunangan dengan seorang Diplomat (Dipl.) Inggris (Ing.) yang
tinggal di Jerman dan „berkaliber” Arab (Bacharuddin Jusuf Habibie). ”Kenalkan dengan „Arabiernya”
(orang Arab dalam bahasa Belanda)!” Ainun dengan tenang sambil tersenyum memperkenalkan saya
yang berdiri disampingnya sambil berkata: „Ini Javabier saya!” (Javabier adalah merk minuman bier
seperti sekarang Bir Bintang). Mereka memperhatikan saya dan tidak mengira Ainun bereaksi begitu
cepat, tenang dan tegas. Mereka senyum, lalu pergi! Saya baru mengerti pemikiran dan kata-kata yang
disampaikan beberapa kawan-kawan pada tanggal 7 Maret malam, sewaktu saya kembali dari rumah
Ainun. Memang Ainun sangat dikenal dan saya sama sekali tidak. Analisis mereka dengan masukan apa
adanya sesuai kenyataan yang objektif dan realistis, sangat tepat. Pertunangan kami, sangat
bertentangan dengan hasil analisis orang lain. Apakah ini namanya „takdir Allah”? Walaupun proses izin
ke luar negeri, paspor, visa, pembelian tiket pesawat dsb. sangat sulit diperoleh, ternyata semuanya
berjalan lancar. Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Syarif Thayeb, Menteri Riset Nasional Prof. Dr.
Djuned Pusponegoro dan Menteri Pendidikan Prof. Dr. Tojib Hadiwidjaja sangat kooperatif membantu
dan memberi rekomendasi seperlunya. Persiapan upacara di keluarga Besari maupun di keluarga
Habibie, berjalan lancar pula sesuai jadwal yang telah ditentukan. Akhirnya di Jalan Rangga Malela 11 B,
hari Sabtu pukul 08.00 pagi, tanggal 12 Mei 1962 berbusana tradisi pria Gorontalo saya dinikahkan
dengan Ainun sesuai agama Islam oleh Bapak R. Mohamad Besari, Ayah kandung Hasri Ainun Besari.
Selesai akad nikah saya kembali ke rumah Ibu di Jalan Imam Bondjol 24 untuk selanjutnya setelah
berbusana tradisi Jawa kembali ke Jalan Rangga Malela 11 B untuk melaksanakan acara pernikahan
tradisi Jawa. Temu kami berdua sambil melempar bunga berdasarkan keyakinan tradisi Jawa bahwa yang
akan dominan dalam kehidupan berumahtangga adalah siapa yang pertama mengenai sasaran. Ternyata
kami bersamaan serentak mengenai sasaran. Berarti kami Insya Allah akan selalu setara sebagai suami
dan isteri, akan setia bersama-sama membangun keluarga sakinah yang diilhami dan dikalbui oleh cinta
yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi! Selanjutnya kami berdua dipangku oleh Ayah kandung
Ainun dan dalam bahasa Jawa Ibu yang melahirkan Ainun bertanya kepada Bapak Besari: ”Siapa yang
berat?” Dijawab dalam bahasa Jawa pula ”Sama beratnya!”. Ini berarti mertua dan orang tua kami tidak
akan memihak dan menerima kami berdua sebagai anggota keluarga yang mendapatkan hak dan
kewajiban yang sama. Akhirnya, saya menumpahkan sebungkus uang logam, beras bunga dsb. di atas
pangkuan Ainun dengan ucapan: „Terimalah pendapatan saya ini”, mencerminkan transparansi
pendapatan kami yang diserahkan kepada isteri untuk dimanfaatkan dan dikelola. Semuanya itu
dilaksanakan dengan alunan gamelan budaya Jawa. Keesokan harinya, pada tanggal 13 Mei 1962 di Hotel
Preanger, resepsi menurut budaya Gorontalo dilaksanakan. Ainun berbusana Gorontalo dengan hiasan
rambut yang sangat ketat dan berat. Menurut tradisi ini adalah ujian bagi pengantin wanita apakah tetap
anggun dan tidak mengeluh, tegak, tersenyum walaupun rambut dan kepalanya sakit. Pengantin Pria
memukul gendang dan memberi irama gerakan pengantin wanita yang menari sesuai ritme yang
ditentukan oleh suami. Berarti dalam kehidupan berumahtangga, sang suami memberi irama pasang
surut kehidupan keluarga sakinah yang diikuti oleh gerakan isteri yang anggun, tegak, harmonis dalam
irama yang ditakdirkan oleh Allah SWT. Setelah acara pernikahan selesai, kami menyekar ke makam ayah
kandung saya di Makassar dan berbulan madu di Bali dan Yogja. Semuanya berjalan lancar dan memberi
kenangan manis dan abadi.

Dalam tiga bulan banyak terjadi perubahan dalam kehidupan saya, yang dapat disimpulkan sebagai
berikut:

Ibu yang melahirkan saya sangat berperan dalam proses pembudayaan dan pendidikan, lahir di Yogja,
berketurunan Jawa dan bernama R.A. Tuty Marini Puspowardojo. Adalah wajar sebagai Ibu, beliau
sangat mengenal karakter, perilaku dan bakat anaknya. Beliau sangat menyadari bahwa saya sering
menyendiri dan konsentrasi pada „lingkungan dunia saya”, lupa makan, lupa minum vitamin sehingga
sering sakit. Beliau sering memaksa saya untuk bermain di luar dengan anak-anak lain dan tidak
menyendiri di rumah. Ketergantungan pada Ibu saya sangat dirasakan dan ternyata dalam kehidupan
sehari-hari saya bergerak antara dua ”pusat yang menentukan”, ialah ”lingkungan pribadi saya” dan
”lingkungan dunia saya”. Perubahan yang sangat berdampak adalah pertama; ketika saya berusia 6 tahun
harus pindah ke kota lain untuk masuk sekolah yang lebih unggul. Kedua; pada tahun 1950 dalam usia 14
tahun setelah 40 hari Ayah kandung saya Alwi Abdul Djalil Habibie, meninggal dunia, saya harus berlayar
dengan kapal laut seorang diri dari Makassar ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Ketiga; hanya 5
tahun kemudian dengan usia 19 tahun ditugaskan seorang diri pula naik pesawat terbang ke Jerman
untuk meneruskan sekolah ke pendidikan tinggi.

Peran Ibu kandung saya sangat besar dalam melaksanakan perubahan ini. Beliau tidak saja mendorong
saya tetapi juga menyanggupi membiayai proses pendidikan dan kemandirian saya. Sekarang dalam 3
bulan peran dalam ”lingkungan pribadi” saya, telah diserahkan oleh Ibu yang melahirkan saya kepada Ibu
yang akan mendampingi saya sebagai isteri. Sedangkan ”lingkungan dunia” saya berubah pula dari masa
pendidikan ke masa pembangunan keluarga sakinah dalam arti yang luas di lingkungan masyarakat
Indonesia, Jerman dan internasional.

BAB Tiga

Keseharian di Oberforstbach

KAMI memiliki waktu kurang lebih 2 minggu untuk nyekar ke Makassar dan berbulan madu di Bali Yogja.
Sisa waktu hanya satu minggu sebelum cuti 3 bulan saya berakhir yang dapat kami manfaatkan untuk
acara perpisahan dengan keluarga dan kawan-kawan di Bandung dan Jakarta. Pada perpisahan dengan
beberapa kawan di Jakarta, salah seorang dokter yang dahulu sekelas dengan saya di SMA mengeluarkan
pernyataan sambil ketawa di depan para dokter dan sarjana lainnya di RSCM. „Hebat Rudy dapat
merebut Ainun begitu cepat, tentunya yang dimanfaatkan cara orang Eropa khususnya orang Jerman!”.
Pernyataan itu tidak saya mengerti dan membingungkan, sehingga tercengang dan hanya senyuman saja
yang saya berikan sebagai jawaban. Sementara itu, saya kirim telegram kepada kawan-kawan di Aachen
mengenai jadwal kedatangan Ainun dan saya di Düsseldorf. Kawan-kawan di Aachen sudah mendengar
mengenai pernikahan saya dengan Ainun dan telah merencanakan penjemputan kami. Para mahasiswa
di Aachen sangat kompak dan bersatu untuk menjemput dan berkenalan dengan isteri saya Ainun.
Penjemputan di lapangan terbang Düsseldorf sangat berkesan dan memberi perasaan kekeluargaan yang
akrab, sehingga Ainun menjadi kerasan. Kami diberi hadiah bunga dan Prin ten (kue yang hanya
diproduksi di Aachen) sebagai tanda selamat datang. Ketika itu pandangan mata dan senyuman Ainun
mencerminkan kebahagiaan, yang bagi saya selalu memukau, selalu merindukan pandangan selanjutnya
yang tak dapat saya lupakan sepanjang masa. Seperti pandangan mata Ainun pada malam takbiran
tanggal 7 Maret 1962 di sekitar meja makan keluarga Besari, di Rangga Malela 11 B- Bandung, yang telah
memberi perasaan yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Di Aachen saya tinggal di Jalan Preugweg
no 123, sebuah apartemen kecil terdiri dari kamar tidur, kamar tamu, dapur kecil dan kamar mandi, di
atas garasi untuk tiga mobil keluarga Goldman seorang pengusaha percetakan buku. Rumah keluarga
Goldman sangat indah dan halaman dan kebunnya besar dengan pemandangan yang indah pula. Daerah
rumah „Villa Goldman” termasuk mewah di daerah elit Aachen. Saya mendapat alamat tersebut atas
rekomendasi Professor Dr.-Ing. Hans Ebner di mana sejak bulan Agustus 1960, saya bekerja sebagai
asistennya selain sebagai peneliti. Gaji saya termasuk semua tunjangan DM 1.300,-- (sekitar

680 Euro) bersih. Jauh lebih dari cukup untuk hidup seorang diri tetapi sangat terbatas untuk sebuah
rumah tangga baru. Sesuai peraturan yang berlaku, saya harus segera mengsuransikan Ainun, yang 50%
biayanya ditanggung oleh kantor dan sisanya dipotong dari gaji saya. Saya asuransikan Ainun pada
perusahaan asuransi Deutsche Kranken Versicherung AG (DKV) atas rekomendasi kantor di mana saya
bekerja. Mengingat ruang gerak di apartemen sangat terbatas dan harga sewa per meter pesegi tinggi,
maka kami memutuskan untuk pindah ke luar kota Aachen di mana sewa per meter pesegi jauh lebih
rendah sehingga dengan biaya yang sama, kami dapat menyewa suatu apartemen yang lebih dari dua
kali besarnya dibandingkan dengan apartemen sebelumnya yang terdiri dari dua kamar tidur, kamar
tamu, kamar kerja, kamar mandi, dapur dan gudang kecil, termasuk pemanasan sentral di
Oberforstbach, sekitar 30 km dari Aachen. Apartemen tersebut baru saja dibangun dan kami adalah
salah satu penghuni pertama. Dalam catatan Ainun pada buku „SABJH, halaman 383, keadaan kami
ketika itu dilukiskannya sebagai berikut : „Di Aachen kami mula-mula menyewa suatu paviliun tiga kamar.
Pada permulaanya hidup tidak berat; saya dibantu seseorang pembersih rumah. Setelah pembersih
rumah tidak ada pun hidup tidak terasa berat karena dari kecil saya sudah diajari mengurus rumah
tangga; memasak, mencuci, membersihkan dsbnya. Waktu saya sudah hamil sekitar empat bulan, kami
merasa rumah yang kami tinggali akan terlalu kecil buat bertiga nanti.

Kami temukan sebuah rumah susun di luar Aachen. Letaknya di Oberforstbach. Besarnya lumayan; ada
kamar keluarga, kamar tidur, kamar anak-anak, dapur dan kamar mandi. Hidup mulai terasa agak berat.
Berat bukan karena beban pekerjaan di rumah tetapi karena rasa kesendirian. Oberforstbach sebuah
desa; kalau mau ke Aachen untuk keperluan tertentu seperti memeriksakan kandungan ke dokter, orang
harus naik bis. Bis hanya ada setiap dua jam pagi dan sore hari.

Hidup terasa sepi sekali; jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman, jauh dari segala-galanya. Tidak ada
yang dapat diajak ngobrol. Berbahasa Jerman pun waktu itu kurang disukai: bahasa Jerman ex-SMA
ternyata tidak begitu menolong. Yang ada hanya suami hanya tetapi suami pun pulang larut malam. Ia
harus bekerja, ia harus menyelesaikan promosinya. Penghasilan kami pas-pasan: mendapat setengah gaji
seorang Diplom Ingineur, oleh karena bekerja setengah hari sebagai Asisten pada Institut Konstruksi
Ringan Universitas, enam ratus DM lagi dari DAAD, Dinas Beasiswa Jerman. Untuk menambah
penghasilan, suami dengan mencuri-curi waktu bekerja sebagai ahli kontruksi pada pabrik kereta api
mendisain gerbong-gerbong berkonstruksi ringan. Waktu sangat berharga dan harus diatur ketat: pagi-
pagi ke pabrik dulu, kemudian sampai malam di Universitas. Pukul 10.00 atau pukul 11.00 malam baru
Sampai di rumah dan menulis disertasi. Kemanamana naik bis, malah karena kekurangan uang untuk
membeli kartu langganan bulanan, dua tiga kali seminggu ia jalan kaki mengambil jalan pintas sejauh
limabelas kilometer. Sepatunya berlobang-lobang; baru menjelang musim dingin lobangnya ditambal.

Soalnya pengeluaran tetap meningkat: di samping keperluan sehari-hari perlu ada tabungan untuk hari
depan. Harus dibayar asuransi kesehatan, dan ternyata asuransi kesehatan bagi wanita hamil cukup
tinggi karena memperhitungkan segala kemungkinan; rumah sakit, terjadinya komplikasi, dsb.-nya. Untuk
menghemat, sejauh mungkin semuanya dikerjakan sendiri: Mulailah saya belajar sendiri menjahit. Lama
kelamaan jahitan saya tidak terlalu jelek : memperbaiki yang rusak, membuat pakaian bayi, merajut, dan
menjahit pakaian dalam persiapan musim dingin. Maka tidak kebetulan bahwa yang pertama kami beli
sebelum Ilham lahir adalah mesin jahit. Bukan mesin cuci, bukan oven yang serba otomatis, bukan
perlengkapan lainnya. Tetapi mesin jahit. Itulah prioritasnya waktu itu. Mesin jahit diperlukan untuk
persiapan-persiapan. Dengan bertambahnya anggota keluarga, tentu biaya hidup meningkat : untuk
makanan bayi, untuk dokternya, obatnya, untuk ini dan itu.”

Yang menghubungkan Oberforstbach dengan Aachen adalah bus wilayah yang tidak sering datang. Di sini
rumah tangga kami mulai. Pagi sekali saya berangkat ke kantor dan meninggalkan Ainun seorang diri
dengan dana yang sangat terbatas. Saya kembali larut malam dan kadang-kadang berjalan kaki karena
tidak ada bus lagi atau harus menghemat. Untuk mempersingkat waktu, saya berjalan melalui kuburan.
Jikalau hujan dan dingin saya berjalan dengan payung, mantel dan sepatu yang diberi alas kertas sebagai
alas kaki yang dapat membantu isolasi. Jikalau saya pulang sering Ainun memandang ke luar dari jendela
menantikan kedatangan saya walaupun di luar hujan, dingin dan gelap. Setibanya di depan pintu Ainun
membukanya dan memandang mata saya dengan senyuman yang selalu saya rindukan. Rasa kedinginan,
letih dan lapar hilang terpukau oleh pandangan mata Ainun yang mencerminkan kebahagiaan dan cinta
yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi! Ainun yang merencanakan pengeluaran dan pemasukan
kami yang apa adanya. Semua saya serahkan dan percayakan padanya. Pada hari ulang tahun Ainun yang
ke- 25 pada tanggal 11 Agustus 1962, saya hadiahkan mesin jahit merek Singer, yang dalam rangka
promosi produk baru sedang ditawarkan dengan harga khusus dan boleh dicicil tanpa suku bunga. Mesin
itu saya serahkan kepada Ainun sambil berkata: „Maafkan kemampuan saya hanya ini saja. Ia mencium
saya dan menjawab: „Kamu sudah memberi saya yang lebih indah dari semuanya yang kamu tak dapat
bayangkan” „Apa maksud Ainun? Saya menjawab : „Senyuman manis dan pandangan matamu yang
selalu memukau dan merindu.” Ainun segera menjawab: „Itu sudah milikmu dan kuberikan untukmu
sepanjang masa sejak malam takbiran tanggal 7 Maret yang lalu”. Melihat mata saya, Ainun berkata:
„Supaya kamu tidak terlalu lama menerka, saya sampaikan saja. Yang kamu berikan kepada saya adalah
titipan Allah untuk kami berdua. Saya mengandung bayimu, anakmu dan keturunanmu! Itu yang paling
indah dan titipan Allah itu harus kami syukuri!” Saya memeluknya sambil memanjatkan doa bersama
membaca Al Faatihah.”

Semua ini ditulis dalam catatan Ainun dalam buku A.Makmur Makka „SABJH”, hal: 385 „Tidak ada uang
kecuali untuk membeli mesin jahit. Belinya tentu dengan menyicil dan karena mesinnya mesin Singer
yang bagus cicilannya lunas baru setelah satu setengah tahun. Hidup benar-benar prihatin. Hidup benar-
benar keras. Tetapi ada hikmahnya. Di masa-masa inilah saya belajar untuk hidup berdikari.”
Beberapa hari kemudian Ainun datang dengan membawa cangkir tempat ia meludah. Saya bertanya:
„Mengapa? Sakit?” Ainun menjelaskan ini pertanda bahwa bayi dalam kandungannya sudah melekat
pada rahim. „Saya perkirakan keadaan ini akan berlangsung sampai bayinya lahir!” „Kapan bayinya
lahir?” tanya saya. „Menurut perhitungan mungkin bulan Mei tahun depan” jawab Ainun. „Mudah-
mudahan tanggal 12 Mei 1963 bayi kita lahir, sekaligus hadiah HUT satu tahun pernikahan kita”
Sebenarnya saya hendak membicarakan persiapan lahirnya bayi kita. Banyak yang harus dibeli dan
dananya tidak mencukupi. ”Apakah tidak sebaiknya saya b ekerja sebagai dokter? Apakah kamu
mempunyai usul lain?” Tanya Ainun. Tetapi untuk mendapat lapangan kerja sebagai dokter dibutuhkan
pengakuan ijazah UI di Jerman dan izin dari Organisasi dokter ”Arztekammer” seperti ”Ikatan Dokter
Indonesia IDI)” di Indonesia. Untuk memperoleh itu semua, dibutuhkan waktu yang tidak menentu. Saya
lalu menimpali: Atau saya sebaiknya mencari pekerjaan tambahan dalam bidang konstruksi ringan dan
memang sudah lama saya pikirkan”. Saya mempelajari iklan lapangan kerja. Kebetulan di Aachen ada
suatu perusahaan pembuat gerbong kereta api bernama Talbot . Perusahaan ini mencari seorang ahli
konstruksi ringan untuk merekayasa gerbong yang ringan dan canggih sesuai persyaratan Deutsche
Bundesbahn, perusahaan Kereta Api Jerman. Saya bermaksud untuk menjelaskan kepada Professor Dr.-
Ing. Hans Ebner guna mendapat izin beliau untuk kerja tambahan di Talbot. Baru setelah saya diizinkan
bekerja, saya akan melamar. Setelah saya menjelaskan kepada Professor Ebner mengenai masalah dan
kendala keuangan yang saya hadapi dan memperhatikan pekerjaan yang ditawarkan dalam bidang
konstruksi ringan, maka Professor Ebner setuju saya bekerja di perusahaan gerbong kereta api Talbot.
Tugas dan pekerjaan saya di Institut Konstruksi Ringan tidak boleh dirugikan. Baik mengajar maupun
pelaksanaan riset harus diselesaikan sesuai rencana dan jadwal yang telah ditentukan. Jikalau masalah
keuangan dalam rumah tangga saya selesai, maka segera saya harus berhenti bekerja di Talbot.
Persetujuan Professor Ebner segera saya sampaikan kepada Ainun dan ia hanya prihatin mengenai
kesehatan saya. Dengan persetujuan Ainun dan sepengetahuan Professor Ebner saya negosiasi dengan
pimpinan Talbot dan disepakati bahwa saya akan menjadi penasehat Direktur Teknik dan Pengembangan
Dr. Stiefel, Kepala Pembangunan Kereta Dipl.-Ing. Makosch dan Kepala Konstruksi - Perhitungan Kereta
Dipl.-Ing. Weckmann yang ketiganya itu berusia di atas 55 tahun yang sangat konservatif pendapat dan
filsafat mereka mengenai konstruksi. Pemikiran baru khususnya konstruksi ringan yang diterapkan pada
konstruksi pesawat terbang tidak dipahami dan tidak begitu diperhatikan. Namun mereka sepakat
bahwa saya akan diikutsertakan untuk memenangkan tender pusat pengadaan gerbong kereta api
dengan memanfaatkan teknologi konstruksi ringan. Tender itu harus diserahkan dalam 6 bulan dan
pemenang tender akan ditugaskan untuk membuat prototipe yang akan ditest, baik kelayakan stabilitas
maupun kekuatan rangkanya di Pusat Percobaan dan Pengetesan milik Deutsche Bun desbahn (DB) di
kota Minden. Jika prototipe tersebut dapat mengatasi percobaan, maka pemenang diberi order yang
cukup besar. Biaya pembuatan, pengetesan dsb. prototipe tersebut dibebankan pada perusahaan Kereta
Api Jerman Deutsche Bundesbahn. Selama proses ini berlangsung, saya akan mendapat tunjangan bersih
sebesar gaji saya pada Institut Konstruksi Ringan. Disesuaikan dengan jumlah pesanan, saya akan
mendapat ”bonus”. Saya terima tawaran ini dan menyanggupi segera bekerja. Ainun terus menerus
dengan kesabaran dan ketabahan yang tulus memberi dorongan dan mengilhami saya dalam segala
pekerjaan - tugas, baik di Kantor Institut Konstruksi Ringan maupun di Perusahaan Talbot. Ainun tidak
pernah menuntut dan memberi persoalan, sehingga saya dengan tenang dapat konsentrasi pada
pelaksanaan tugas dan pekerjaan yang sedang saya hadapi. Yang diperhatikan Ainun adalah semua yang
berkaitan langsung dan tidak langsung dengan kesehatan saya. SeringAinun sebagai seorang dokter
memeriksa kesehatan saya termasuk denyutan dan getaran jantung dengan alat kedokteran yang dia
miliki. Dengan perkataan lain, Ainun bertindak tidak saja sebagai isteri namun juga sebagai dokter
pribadi. Jika saya lelah, Ainun selalu menyapa dengan senyuman dan pandangan mata yang memukau
dan saya rindukan selalu. Pada bulan Desember 1962, dalam rangka studi kelayakan sistem pendidikan
tinggi di luar negeri, Rheinisch Westfählische Technische Hochschule (RJWTH) Aachen mendapat
kunjungan tim pakar Indonesia yang dipimpin oleh Rektor Ul Prof. Dr. Syarif Thayeb. Dalam rangka
kunjungan tersebut diacarakan pertemuan dengan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di
Aachen. Ketika Pak Syarif Thayeb masuk ke dalam ruangan pertemuan, beliau menyapa saya dan
bertanya mengenai keadaan Ainun. Saya mengatakan bahwa Ainun sehat, tidak dapat ikut hadir karena
sedang hamil dan sering muntah. Profesor Syarif Thayeb dalam bahasa Belanda langsung mengatakan:
„Rudy kamu tidak perlu malu. Ini dapat terjadi pada tiap keluarga. Kapan bayinya lahir?” Saya menjawab
nanti pada bulan Mei tahun 1963. Pak Syarif Thayeb lalu bingung dan malu. Mengapa? Arti sindiran
kawan-kawan di Jakarta dan Bandung yang mengatakan saya „merebut Ainun dengan cara Eropa dan
Jerman” yang dahulu membingungkan saya, sekarang menjadi lebih jelas!

Penantian Sepasang Mata yang Indah

DALAM tiga bulan pertama saya bekerja di Talbot,saya hampir tidak ada waktu untuk tidur. Banyak
pengetahuan dan pandangan baru yang saya harus mengerti dan perhatikan. Ternyata jarak antara
sumbu roda Kereta Api (KA) tidak boleh melampaui jarak tertentu untuk memelihara stabilitas KA pada
tikungan dan kecepatan yang ditentukan. Beban pada tiap sumbu KA ditentukan 20 ton, sehingga
gerbong yang memiliki 2 sumbu atau 4 roda, mampu mengangkut muatan sebesar 40 ton dan gerbong
yang memiliki 2 satuan pasangan 2 sumbu atau 8 roda, mampu mengangkut 80 ton. Potongan KA tidak
boleh lebih besar dari potongan terowongan KA. Tiap gerbong harus mampu menahan gaya tekanan
horizontal sebesar 200 ton. Tinggi sumbu dari rel KA ditentukan dan harus konstan, sehingga tinggi dasar
Gerbong KA penumpang atau pengangkut barang sudah ditentukan pula, dst. Banyak sekali kendala baru
yang saya harus mengerti dan perhatikan sebelum saya mulai merekayasa. Setelah saya pahami dan
mengetahui kendala dan batasan bangun KA, maka dasar dan prinsip penerapkan teknologi kostruksi
ringan saya terapkan. Saya merubah konstruksi konvensional dan konservatif yang sejak puluhan tahun
diterapkan pada KA dengan prinsip dasar konstruksi ringan yang sudah diterapkan di Industri Dirgantara.
Saya mulai memengaruhi dan merubah konstruksi dan bentuk Gerbong KA. Para ahli konstruksi di Talbot
menggelengkan kepala dan memberi komentar yang sangat kritis. „Nanti lihat saja setelah semua diuji
oleh Balai Percobaan dan Pengujian KA milik Deutsche Bundesbahn di Minden, akan membuktikan
apakah anak muda ini mimpi atau membuat terobosan baru.” Hampir semua berpendapat bahwa
perubahan yang saya usulkan akan gagal. Sikap mereka yang usianya rata-rata duakali usia saya, sangat
konservatif. Apa yang tidak dikenal susah segera diterima tanpa ada bukti melalui suatu tes, yang dalam
hal ini masih harus dilaksanakan. Saya bersyukur bahwa justru Dr. Siefel dan Dipl.-Ing. Makosch setelah
saya jelaskan dengan perhitungan dan gambar yang meyakinkan, menerima saran dan usul saya. Tahap
demi tahap pekerjaan diselesaikan sesuai rencana loaik di Talbot maupun di Kantor Institut Konstruksi
Ringan. Ainun selalu mendampingi dan mengilhami saya. Ainun itu sangat berbakat dalam bidang ilmu
eksakta dan fisika, karena Ayah dan kakak kandung Ainun berpendidikan bidang ilmu rekayasa, sehingga
lingkungan kehidupan Ainun sangat dipengaruhi oleh bidang eksakta. Ibu Sadarmi Besari lointi Iskandar
Sosrowijoto yang melahirkan Ainun adalah seorang bidan berpendidikan Belanda yang sangat pragmatis,
sukses dalam pekerjaannya, tentu memengaruhi pula perilaku Ainun.

Ainun selalu mendengar pemikiran saya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan
menarik, selalu sabar, konsisten memberi semangat, dorongan dengan keyakinan bahwa apa yang saya
laksanakan itu adalah yang terbaik. Ainun sangat memperhatikan kesehatan saya. Ia tidak pernah
mengeluh karena tidak kebagian waktu. Ia mengisi waktunya dengan menjahit, untuk anak kami yang
sedang dalam kandungan. Memperhatikan gizi, vitamin dsb. baik untuk saya, bayi yang dikandung dan
dirinya. Ainun yang sangat berdisiplin itu, tidak pernah mengeluh atau membuat komentar yang
menjadikan saya gelisah. Yang sering diberikan adalah senyuman yang memukau hati dan yang selalu
saya rindukan.

Ainun kemudian menulis dalam buku A.Makmur Makka „SABJH”), hal : 385, sbb : „Saya belajar
menggunakan waktu secara maksimal sehingga semuanya dapat terselesaikan dengan baik, mengatur
menu murah tetapi sehat, membersihkan rumah, menjahit pakaian, melakukan permainan edukatif
dengan anak, menjaga suami, membuat suasana rumah yang nyaman; pendeknya semuanya yang harus
dilakukan agar suami dapat memusatkan perhatiannya pada tugas-tugasnya. Saya belajar tidak
mengganggu konsentrasinya dengan persoalan-persoalan di rumah.”

Tender yang kami menangkan adalah mengenai „Gerbong Ruang Luas atau Grofiraum Wagen” untuk
mengangkut muatan ringan seperti produk komponen elektronik. Volumina dari suatu gerbong dibatasi
oleh panjang gerbong yang ditentukan oleh stabilitas dan tikungan rel X potongan terowongan KA.
Karena muatannya ringan, gerbong yang kami rekayasa, cukup dengan memanfaatkan hanya dua sumbu
roda atau 4 roda saja. Berarti ruang antara 2 sumbu roda gerbong dapat dimanfaatkan, dengan
memperhatikan tekanan horizontal sebesar 200 ton yang disalurkan melalui seluruh „badan gerbong”,
membutuhkan perhitungan dan rekayasa tersendiri.

Bersama satu Tim Insinyur perusahaan Talbot yang diperbantukan pada saya, kami merekayasa,
membuat prototipe Gerbong Ruang Luas yang dites di Balai Percobaan dan Penelitian Perusahaan KA
Jerman Deutsche Bundesbahn di kota Minden.

Untuk pertama kalinya saya harus tinggalkan Ainun seorang diri dalam keadaan hamil tua tanpa
pembantu di desa kecil di luar kota Aachen. Tetangga Jerman kami menyatakan akan menjaga dan
memperhatikan Ainun, mencatat alamat - telepon kantor dan hotel di mana saya akan tinggal dan
bekerja di kota Minden. Ainun sama sekali tidak memperlihatkan keprihatinan dan kegelisahan untuk
tidak menggangu konsentrasi saya, pada pekerjaan dengan segala masalah yang sedang saya hadapi.
Ainun menyatakan keyakinannya bahwa semua yang saya hadapi Insya Allah akan selesai dengan baik
dan Allah SWT selalu akan melindungi kami. Ia mencium saya dan terus melihat dari jendela ketika saya
berjalan ke tempat pemberhentian bus. Bersama dengan Dipl.-Ing. Makosch dan Dipl.-Ing. Weckmann
saya berangkat naik mobil kantor ke Minden. Di Minden saya diperkenalkan dengan Pimpinan dan Tokoh
Industri MA, beberapa Pakar KA dan pakar yang bekerja di Balai Percobaan dan Pengujian KA di Minden.
Mereka semuanya ingin melihat dan menyaksikan penyaluran 200 ton gaya horizontal yang
pertamakalinya tidak disalurkan melalui batang profil yang letaknya horizontal pada platform MA, namun
melalui seluruh „badan” wagon termasuk atap, pintu dan jendela. Gaya 200 ton tersebut secara
bertahap disalurkan. Dimulai dengan 50 ton, 75, 100, 125, 150, 175 dan akhirnya 200 ton. Sewaktu
beban horizontal mendekati 200 ton, maka tiba-tiba atap dan beberapa bagian dinding Gerbang KA
berubah bentuknya menjadi bergelombang. Sambil menggelengkan kepala, komentar dari beberapa
pakar mulai keluar. Saya tenang saja karena gelombang - gelombang tersebut membuktikan bahwa
saluran 200 ton gaya horizontal tersebut, sesuai perhitungan, penyalurannya sudah harus melalui semua
komponen gerbong. Yang saya prihatinkan adalah apakah „gelombang” yang terjadi akan hilang jika
beban horizontal 200 ton tidak ada lagi. Harusnya gelombang - gelombang itu akan hilang karena semua
perhitungan masih dalam keadaan sifat material elastis.

Syukur alhamdullillah semua berjalan lancar dan tugas saya dapat selesai sesuai rencana, jadwal dan
kontrak dengan perusahaan Talbot. Kami bersyukur pada Allah SWT karena kepada Ainun dapat saya
serahkan pemasukan tambahan, untuk persiapan lahirnya bayi kami. Ainun akhirnya memiliki cukup
dana untuk membeli bahan pakaian dan perabot rumah tangga pada umumnya, khususnya untuk
menyempurnakan kamar tidur anak, tanpa mengorbankan makan sehat. Saya memiliki lebih banyak
waktu untuk menemani Ainun ke kota karena kewajiban saya di Talbot selesai. Kami sangat bahagia dan
sering ketawa sambil saya memegang perut Ainun, memanjatkan doa untuk bayi kami, titipan Allah yang
Insya Allah sebentar lagi akan memperkaya kami berdua. Pekerjaan kantor yang berkaitan dengan riset
S3 yang bersifat teoritis sedapat mungkin saya laksanakan di rumah untuk menemani Ainun. Buku,
makalah dan majalah ilmiah saya bawa ke rumah dan bertaburan di lantai atau di tempat tidur. Ainun
tidak pernah merubah letak bahan riset saya yang sering letaknya tersebar di mana-mana. Ia
membiarkan saya bergerak bebas dan tidak pernah mengganggu. Yang ia perhatikan hanya kesehatan
saya dan jikalau ada kesempatan diberikan, ia selalu memberi senyuman sambil memegang dan
mencium kepala saya. Suasana begitu indah, begitu tentram dan tenang mencerminkan kebahagiaan
kami dan mengilhami saya dalam melaksanakan tugas. Beberapa minggu kemudian Dipl.-Ing. Makosch
menelpon saya dan mengajak untuk bertemu di kantornya. Pada pertemuan tersebut saya diberitahu
bahwa perusahaan Talbot sedang mengadakan negosiasi akhir dengan Perusahaan Deutsche
Bundesbahn DB) mengenai penjualan beberapa ratus Gerbong KA yang „prototipe-nya” sudah selesai
diuji. Sesuai kontrak kerja dengan Talbot, saya akan menerima „bonus” yang jumlahnya masih akan
ditentukan.

Alasan utama bersilahturahmi adalah ajakan bergabung lagi dalam memenangkan tender baru. Menurut
informasi, dalam rangka modernisasi perusahaan DB, pengadaan beberapa tipe gerbong dalam jumlah
besar akan ditenderkan. Apresiasi perusahaan KA Jerman DB atas hasil tes dan percobaan Gerbong
Ruang Luas atau Grofgraumwagen dengan memanfaatkan Teknologi Konstruksi Ringan sangat baik. Oleh
karena itu Dipl.-Ing. Makosch mengajak saya ikut merekayasa dan memenangkan tender yang sebentar
lagi akan diumumkan.

„Tipe gerbong apa yang akan ditender”?Stoperzehrwagen atau „Gerbong yang dapat mengatasi dampak
tabrakan dengan gerbong lain”, atau dengan perkataan lain, jikalau muatannya telor, dampak tabrakan
tidak memecahkan telor, karena Energi Kinetik dimusnakan sebelumnya! Jikalau Talbot memenangkan
tender ini maka lebih mudah memenangkan tender yang lain! Demikian strategi Dipl.-Ing. Makosch.
Dipandang dari sudut teknologi, tawaran Dipl.-Ing. Makosch menarik, namun kendala utama saya adalah
waktu. Saya harus selesaikan pekerjaan di Institut Konstruksi Ringan yang membutuhkan banyak waktu
dan konsentrasi. Riset yang saya utamakan adalah berkaitan dengan program S3, ialah mengembangkan
suatu teori untuk dapat menghitung tegangan akibat pemanasan kinetik yang terjadi jikalau suatu benda
bergerak di udara lebih dari tigakali kecepatan suara. Pekerjaan rutin, memberi latihan dan kuliah khusus
yang ditugaskan oleh Professor Ebner membutuhkan waktu untuk persiapan seperlunya. Dipl.-Ing.
Makosch memahami dan mengusulkan untuk menasehati saja tim Insinyur yang telah membantu saya
memenangkan tender pertama. Mereka sudah mengenal anda dan waktu konsultasi disesuaikan dengan
pekerjaan di Kantor Institut Konstruksi Ringan, katanya. Saya akan menerima gaji tanpa bonus dan
diharapkan dapat segera mulai bekerja. Tender dimenangkan oleh Talbot dan prototipe-nya diuji di
Minden. Mengingat keadaan Ainun tidak mengizinkan saya tinggalkan seorang diri, maka saya tidak
diharuskan ke Minden.

Setelah tender selesai, Dipl.-Ing. Makosch mengajak santap siang bersama. Pada kesempatan tersebut ia
menawarkan menjadi karyawan Talbot, melanjutkan program S3 dan dipersiapkan untuk mengganti
posisi Dipl.-Ing. Makosch yang dalam 3 tahun mendatang akan memasuki masa pensiun. Setelah saya
diskusikan dengan Ainun, kami sepakat untuk tidak menerima tawaran Talbot dan tetap melaksanakan
tugas sesuai rencana untuk kelak ikut berperan aktif membangun Indonesia.

Dia yang Memberi Ilham

WALAUPUN Ainun sudah mengandung 7 bulan, ia tetap muntah, meludah dan sering susah makan.
Menurut Ibu Besari, sewaktu ia dulu mengandung,reaksinya seperti Ainun sekarang. Jikalau bayinya lahir
beliau tidak muntah lagi dan ludahnya juga berhenti. Oleh karena itu, kemanapun Ainun pergi, ia selalu
membawa tempat meludah. Professor Ebner memberi pengertian terhadap keadaan Ainun dan saya
diperkenankan bekerja di rumah. Jikalau saya harus membantu Professor Ebner atau memberi kuliah,
maka saya datang ke Institut Konstruksi Ringan. Secara teratur Ainun diperiksa oleh dokter kandungan.
Kami belum mengetahui jenis kelamin bayi. Kami telah sepakati bahwa jikalau bayi yang lahir itu
perempuan, maka Ainun yang memberinya nama. Jikalau pria, saya yang memberikan nama. Ainun
memilih nama „Nadia Fitri” sedangkan saya memberi nama „Ilham Akbar”. Nadia artinya ”embun pagi”
yang selalu murni. Fitri berarti „suci” Ketika saya harus memberi nama bayi kami, saya sedang
memikirkan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan program S3. Waktu mulai bekerja di
Institut Konstruksi Ringan atau „Lehrstuhl und Institut far Leichtbau” pada Rheinisch Westfählische
Technische Hochschule (RWTH) - Aachen, saya ditugaskan untuk mempelajari pengembangan kapal
selam laut dalam, berarti kapal selam yang mampu menyelam lebih dari 300 meter di bawah permukaan
laut. Setelah mempelajari konstruksi kapal selam, ternyata semuanya berbentuk ”selinder” dengan
penguat yang berbentuk selinder pula. Berbeda dengan balon udara yang dapat pecah jikalau tekanan
balon ditingkatkan karena tegangan kulit balon naik pula, maka pada kapal selam peningkatan tekanan
air di luar kapal selam akan berakibat ”runtuhnya” atau ”koleps-nya” kapal selam. Karena tekanan dari
luar selinder, mengakibatkan tegangan pada kulit selinder menjadi duakali lebih tinggi dibandingkan
dengan tekanan pada bola, maka rekayasa ruang kapal selam dengan memanfaatkan beberapa bola yang
saling berhubungan dan berbentuk ”ulat bulu ” dalam bahasa Jerman saya beri nama ”Kugel - Raupe”,
dapat menyelam dua kali lebih dibandingkan dengan kapal selam konvensional yang berbentuk selinder.
Dalam 18 bulan saya mengembangkan dasar perhitungan untuk merekayasa kapal selam „Kugel - Raupe
Pada tahap rekayasa rinci, atas permintaan penyandang dana proyek ini, Departemen Pertahanan
Jerman, saya harus serahkan semua catatan kepada orang Jerman. Saya menyampaikan kekecewaan
kepada Professor Ebner. Beliau menjelaskan secara rinci dengan alasan yang masuk akal dan
mengusulkan program baru yang sangat menarik. Mengembangkan metode perhitungan tegangan
akibat pemanasan kinetik pada sayap atau sirip suatu benda yang terbang lebih cepat dari 3 kali
kecepatan suara, ini sangat menarik dan suatu tantangan. Ia menjelaskan bahwa dua tim dari Eropa
(Broglio &Santini) dan dari USA (Heldenfels cs) telah mengembangkan cara perhitungannya yang kurang
memuaskan, sambil memberikan laporan hasil riset dari kedua tim tersebut untuk dipelajari. Akan saya
pelajari dengan catatan bahwa apa yang telah saya alami dengan kapal selam, tidak boleh terulang lagi
dan jikalau berhasil menemukan metode perhitungan yang lebih baik dari Broglio, Santini dan
Heldenfels, harus diakui sebagai karya S3. Usul saya diterima oleh Professor Ebner. Semuanya terjadi
sebelum saya bertemu dengan Ainun pada tahun 1961. Dengan semangat, motivasi dan dilhami oleh
Ainun produktifitas kerja saya terus meningkat dan semua berjalan lancar. Saya sangat memahami dan
mengerti baik keunggulan dan kelemahan perhitungan kedua tim Broglio &Santini yang hanya dapat
menghitung bagian ujung sayap atau sirip tanpa memperhatikan pengaruh pangkalnya, sedangkan
metode perhitungan tim Heldenfels cs., sebaliknya hanya dapat menghitung tegangan akibat pemanasan
kinetik pada pangkal tanpa memperhitungkan kendala ujung sayap atau sirip. Karena semua benda atau
proyektil yang terbang dengan kecepatan yang lebih tinggi dari 3 kali kecepatan suara, jarak antara
pangkal dan ujung sayap atau sirip pendek dibandingkan dengan lebarnya yaitu jarak antara garis depan
dan garis belakang sayap atau sirip, maka perhitungan tegangan akibat pemanasan kinetik, dengan cara
Broglio & Santini dan Heldenfels cs. tidak memberi hasil yang memuaskan. Saya menemukan metode
thermoelastisitas untuk menghitung tegangan akibat pemanasan kinetik yang dapat memperhatikan
semua kendala pangkal, batas garis depan, ujung dan batas garis belakang sayap dan sirip dengan
memperhatikan kekakuan yang tidak homogen. Hasil perhitungan dengan metode yang sudah ada,
ternyata hasilnya sama jikalau memanfaatkan metode saya dan menghiraukan kendala pangkal atau
ujung sayap dan sirip. Saya hampir tidak tidur dan terus bekerja saja. Bekal saya hanya kertas, alat tulis,
semangat dan perhatian dan senyuman Ainun yang selalu memukau dan saya rindukan. Coretan pada
kertas tersebar di atas tempat tidur dan di lantai bersama buku-buku dan majalah ilmiah yang saya
sedang baca. Ainun hanya melihat, memberi pengertian dan tidak mengganggu atau berkomentar
kecuali memberi vitamin, makan dan minuman apa adanya. Wajahnya bahagia dan menenangkan.
Setelah saya beberapa kali menghitung dan hasilnya tidak sesuai dengan teori thermo-elstisitas yang
mutlak harus dipenuhi, saya berkesimpulan bahwa teori yang sedang dikembangkan mungkin salah total.
Pekerjaan selama ini sia- sia. Kekecewaan begitu besar sehingga wajah saya sedih. Melihat itu, Ainun
datang dan sambil memeluk dan mencium pipi dan dahi saya ia berkata: ”Saya yakin bahwa semua yang
dipikirkan dan dikembangkan Rudy itu sudah benar dan tepat. Mungkin ada kesalahan pada angka
masukan yang begitu banyak. Mengenal kemampuanmu saya sangat yakin akan keunggulanmu”. Kata-
kata itu disampaikan dengan senyuman menenangkan saya. Semua coretan saya cek kembali satu demi
satu yang berlangsung beberapa jam sampai larut malam. Kesalahan masukan angka yang sudah diduga
oleh Ainun saya temukan. Setelah dikoreksi akhirnya semua berjalan lancar. Karena itu saya sampaikan
kepada Ainun, jikalau anak kami seorang pria, maka nama yang tepat adalah ”Ilham Akbar”. Ibu kandung
bayi kami ini, Ainun selalu mengilhami, menenangkan dan memberi semangat kepada saya, membuat
suasana tentram sehingga apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Oleh karena itu jikalau memang
ditakdirkan, anak pertama kami seorang pria maka saya mengusulkan namanya Ilham Akbar”.

Mendengar argumentasi saya, Ainun senyum dan menampilkan wajah seorang yang bahagia dengan apa
adanya dan bersyukur kepada Allah SWT atas pemberian dan perhatiannya kepada kami yang sebentar
lagi akan dititipi seorang anggota keluarga yang mungkin namanya ”Nadia Fitri” atau ”Ilham Akbar”.

Setelah beberapa kali memberikan penjelasan dan menjawab pertanyaan yang sangat kritis mengenai
pemikiran saya, Professor Ebner memutuskan untuk memberi copy coretan - coretan saya kepada
Professor Dr. Muller guru besar dalam bidang Ilmu pasti tinggi dan terapan untuk mendapat komentar
dan pendapat. Disamping itu beliau minta metoda perhitungan saya diterapkan pada sayap atau sirip
yang memiliki hasil percobaan dan dapat dilaksanakan oleh Institut Turbin Uap dan Gas bagian
peroketan. Mereka akan menerapkan dan mengecek metode saya dibawah pimpinan Professor Dr.-Ing.
Dettmering, yang dahulu bersama Wernherr von Braun mengembangkan Rocket V1 dan V2 di
Penemünde

Beliau sudah menyampaikan kepada Professor Dettmering dan mengusulkan untuk mempersingkat
tulisan saya. Semua coretan saya nanti sebagai lampiran saja. Sambil tersenyum beliau menceriterakan
bahwa laporan S3 Heisenberg yang diserahkan hanya beberapa lembar saja dan setahun setelah
menyerahkan karya S3 -nya, Heisenberg mendapat Hadiah Nobel

Saya sambil senyum menyampaikan bahwa saya bukan Heisenberg dan semua saran dan nasehat
Profesor akan saya laksanakan dan selesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Saya butuh waktu yang
berkisar antara 1 dan 2 tahun lagi. Professor Pembina saya itu menyetujui rencana yang baru saja kami
simpulkan bersama. Kesibukan di kantor dan di rumah meningkat dan waktu cepat berlalu. Ainun dalam
keadaan mengandung tua makin berat rasanya karena badan beliau kecil sedangkan rahimnya besar
mengandung anak pertama. Saya sedapat mungkin terus berada di sisinya dan Ainun tidak pernah
mengeluh dan setia mendampingi saya penuh dengan keyakinan bahwa semuanya itu akhirnya adalah
investasi untuk menjadi mandiri membangun keluarga sakinah, di rantau tanpa dipengaruhi oleh
keluarga besar Habibie dan Besari.

Kami mengharapkan bayi pertama kami akan lahir pada tanggal 12 Mei 1963, bersamaan dengan HUT
satu tahun pernikahan kami. Namun manusia berencana tetapi Allah menentukan. Tanggal 15 Mei 1963
pukul 20.00 Ainun merasa tanda - tanda bayi kami akan lahir. Tetangga kami sebelumnya telah
menawarkan untuk mengantar ke rumah sakit di Aachen. Dokter kandungan yang mendampingi Ainun
selama kehamilan, telah mendaftarkan Ainun di Rumah Sakit Umum Aachen. Data - data Ainun,
termasuk kartu dan nomor asuransi Deutsche Kranken Versicherung AG telah diberikan kepada yang
bersangkutan. Sekitar pukul 23.00 kami tiba di rumah sakit dan frekuensi denyutan disekitar rahim Ainun
meningkat. Ainun segera diopname, semua berjalan lancar dan sekitar pukul 01.00 sampai 01.30 bayi
kami lahir pada tanggal 16 Mei 1963. Ibu dan anak sehat, Ainun segera berhenti mengeluarkan ludah
dan titipan Allah SWT bayi kami adalah pria dan diberi nama „Ilham Akbar Habibie”.

BAB Empat
Tidak Mengingkari „Sumpahku”

SETELAH Ainun pulang, kehidupan di rumah kami sangat berubah dengan lahirnya Ilham yang memberi
kenikmatan tersendiri bagi kami berdua. Ainun tidak muntah, tidak meludah dan dapat makan apa saja
yang ia inginkan. Kesibukan saya bertambah karena dikejar oleh jadwal penyelesaian program S3 saya.
Kepada Professor Dr. Dettmering maupun Professor Dr. Milner saya harus sering jelaskan mengenai
pemikiran dan perhitungan dalam bentuk persamaan ilmu pasti tinggi dan canggih. Setelah beberapa kali
pertemuan, mereka memberi beberapa usul dan pertanyaan yang harus saya perhatikan dan laksanakan.
Mereka memang tokoh dan pakar dalam bidangnya masing-masing yang sangat berpengalaman dan saya
bersyukur dapat banyak belajar dari pertanyaan, saran dan pemikiran mereka. Di lain fihak kedua
Profesor tersebut menikmati pula melihat saya sebagai generasi penerus yang berusaha menekuni
bidang mereka. Karena pekerjaan kami menjadi kawan dan kadang - kadang diundang makan bersama
untuk melanjutkan diskusi.

Pada catatan Ainun dalam bulcu A. Makmur Makka(„SABM”) hal. 385, ia menulis sbb : „Saya belajar
menggunakan waktu secara maksimal sehingga semuanya dapat terselesaikan dengan baik mengatur
menu murah tetapi sehat, membersihkan rumah, menjahit pakaian, melakukan permainan edukatif
dengan anak, menjaga suami, membuat suasana rumah yang nyaman; pendeknya semuanya yang harus
dilakukan agar suami dapat memusatkan perhatiannya pada tugas-tugasnya. Saya belajar tidak
mengganggu konsentrasinya dengan persoalan-persoalan di rumah.”

„Dan ternyata hidup pas-pasan begitu ada kebahagiaannya tersendiri, kami bertiga semangkin erat. Erat
dalam perasaan, erat dalam pikiran. Kami berdua suami-isteri dapat menghayati pikiran dan perasaan
masing-masing tanpa bicara. Malah antara kami berdua terbentuk komunikasi tanpa bicara, semacam
telepati. Tanpa diberitahu sebelumnya, seringkali karena tidak sempat, kami masing-masing dengan
sendirinya melakukan tepat sesuatu yang diinginkan yang lainnya. Saya membuat masakan yang persis
saya butuhkan tetapi lupa untuk menitipkan padanya sewaktu berangkat pagi. Hidup berat tetapi manis
„Saya bahagia malam-malam hari berdua di kamar dia sibuk diantara kertas-kertasnya yang berserakan di
tempat tidur, saya menjahit, membaca atau berbuat yang lainnya. Saya terharu melihat ia pun banyak
membantu tanpa diminta: mencuci piring, mencuci popok bayi yang ada isinya.” Tahap demi tahap
dengan bekerja keras, dorongan, kasih sayang Ainun bersama putra kami Ilham menjelang hari ulang
tahunnya yang pertama, hasil penelitian saya dinilai sudah memenuhi persyaratan Fakultas Bagian Mesin
RWTH- Aachen, untuk diajukan sebagai karya S3 dalam waktu sesingkat-singkatnya. Ainun menulis
catatan pada buku A.Makmur Makka („SABRI”) hal. 386, sbb:

„Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu
itu. Namun saya pikir: buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu
jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri
kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya ketambahan uang dan kepuasan profesional jika
akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak
mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak,
dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan kerena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan
menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu.” Pada bulan September
1964 Karya tesis S3 saya resmi saya serahkan kepada Fakultas Bagian Mesin RWTH - Aachen untuk
disidangkan pada sidang paripurna fakultas yang akan datang. Sebagai pendamping utama atau Referent
Professor Dr.-Ing. Hans Ebner dan pendamping atau Co - Referent Prof. - Dr.-Ing. Wilhelm Dettmering
yang merekomendasi karya S3 saya. Bulan April 1965, saya menerima surat keputusan Sidang Paripurna
Fakultas Bagian Mesin RWTH - Aachen, yang menyatakan Karya S3 saya diterima setelah dipelajari oleh
pusat keunggulan ristek dunia yang sedang mengadakan penelitian di bidang Karya S3 saya. Saya
dipersilakan memberi kuliah umum mengenai Karya S3 saya pada hari Kamis tanggal 15 Juli 1965.

Ainun kembali menulis catatan dalam buku A.Makmur Makka („SABJH”) hal. 382, sbb: „Tahun 1965 ia Dr.-
Ing. Tahun itu juga memperoleh pekerjaan di Hamburg. Gaji bertambah. Dan impian kami berdua selama
bertahun-tahun terwujud, kami beli sebuah mesin cuci. Selesailah masa-masa membawa cucian besar
berkarung-karung naik bis ke Aachen untuk dimasukan mesin cuci sewaan dan dibawa pulang setelah
selesai belanja sambil jalan-jalan dengan Ilham.” Setelah menerima surat keputusan pengakuan Karya S3,
saya menerima tawaran Professor Dr.-Ing. Hans Ebner untuk melanjutkan riset dalam bidang Therm
oelastisitas dan membuat Karya ”Habilitation”, sebagai persyaratan menjadi Gurubesar penuh di RWTH -
Aachen. Memperhatikan bakat dan cara saya bekerja beliau berkeyakinan bahwa dalam dua tahun karya
”Habilitation” dapat saya selesaikan. Tawaran Professor Ebner sangat menarik dan merupakan
tantangan tersendiri Menjadi Guru Besar atau Profesor di RWTH - Aachen pada usia antara 30 dan 31
tahun adalah suatu kesempatan yang patut dipertimbangkan. Apakah tawaran ini saya terima? Saya
harus diskusikan dengan Ainun. Ini akan sangat memengaruhi masa depan kami dan tidak saya benarkan
untuk memutuskan sendiri tanpa sepengetahuan Ainun.

Kami berdua mendiskusikan pro dan kontra, lalu kami berdua berkesimpulan bahwa sebaiknya kami
tetap setia pada program perjuangan bangsa yang menugaskan siapa saja mencari Ilmu di mana saja
untuk kelak turut berperan aktif membangun Indonesia. Dari kepentingan pribadi mungkin tawaran ini
harus kami terima namun dipandang dari kepentingan pembangunan bangsa, sebaiknya tawaran ini
kami tolak dan berusaha bekerja di industri dirgantara untuk mendapatkan informasi dan pengalaman
berkarya mengembangkan dan membuat pesawat terbang yang memang dibutuhkan untuk
mempertahankan dan membangun Benua Maritim Indonesia.

Setelah saya melaksanakan „Kuliah Umum Karya S3” dan dinyatakan lulus dengan penilaian „Sehr Gut”
atau „Sangat Baik”, saya melamar di beberapa industri pembuat pesawat terbang. Ketika itu pesawat
Supersonic Concord buatan Inggris dan Perancis sedang mendapat perhatian besar. Perusahaan Amerika
Boeing telah mengumumkan pembuatan Supersonic Transporter yang akan lebih unggul dari pesawat
Concord.

Karena Karya S3 saya mengenai konstruksi ringan pada kecepatan Supersonic bahkan Hypersonic, maka
saya tidak saja menerima surat ajakan bergabung dengan Boeing, bahkan menerima wakilnya di kantor
atas sepengetahuan Profesor saya. Pekerjaan dan fasilitas yang ditawarkan sangat menarik dan
meyakinkan. Saya diberi waktu untuk mempertimbangkan. Diskusi saya dengan Ainun mengenai masa
depan kami dan pembangunan Indonesia sangat mendalam dan lebih susah memutuskan dibandingkan
dengan tawaran Professor Ebner. Bukankah yang ditawarkan oleh Boeing adalah pekerjaan di industri?
Informasi yang saya butuhkan dan pengalaman yang dapat saya peroleh adalah dalam bidang konstruksi
ringan dan rekayasa pesawat terbang termasuk pembuatannya dan ini yang ditawarkan. Boeing adalah
perusahaan besar, sehingga saya dapat tenggelam dalam permasalahan rinci tanpa memiliki gambaran
mengenai penyelesaian seluruh permasalahan. Akhirnya Ainun menyerahkan keputusan kepada saya
dengan persyaratan tidak lupa dan mengingkari „Sumpah” yang pernah saya ucapkan sewaktu saya sakit
keras dan berbaring seorang diri di rumah sakit. Rupanya Ainun sangat memperhatikan dan memahami
„Sumpah” saya itu dan berkeyakinan bahwa Ainun akan selalu mendampingi saya turut aktif
mewujudkan „Sumpahku” itu

Terlentang! Jatuh! Perih! Kesal! Ibu pertiwi Engkau pegangan Dalam perjalanan Janji Pusaka dan Sakti
Tanah Tumpa daraku makmur dan suci

Hancur badan!

Tetap berjalan!

Jiwa Besar dan Suci Membawa aku PADAMU!

Arti „padamu” adalah Indonesia makmur dan suci yang mengandalkan pada keunggulan sumber daya
manusia-nya. Setelah kami renungkan bersama, tawaran Boeing kami tolak dan kami memutuskan agar
saya melamar pada perusahaan kecil di Hamburg dengan karyawan sekitar 4000 orang dan bernama
”Hamburger Flugzeug Bau atau HFB”. Saham terbesar HFB dimiliki keluarga BLOHM. Perusahaan ini
sedang bersama beberapa perusahaan Jerman VFW di Bremen dan Nord Aviation di Perancis
mengembangkan Transporter Militer Transal dan Transporter Komersial F28 bersama Fokker dari
Belanda. Pesawat yang dikembangkan sendiri adalah Executive Jet Hansajet HFB 320, Ainun, Ilham yang
berumur 2 tahun 2 bulan dan saya naik kereta api pertama kalinya ke Hamburg. Perundingan saya
dengan Direktur Teknik dan Pengembangan Perusahaan HFB adalah seorang tokoh dalam bidang
konstruksi pesawat terbang bernama Herr Wocke yang baru saja kembali dari Rusia bersama Tim-nya
yang harus bekerja untuk Industri Pesawat Terbang Rusia selama 15 tahun setelah Jerman kalah perang.
Sangat menarik pertemuan saya dengan Herr Wocke yang didampingi Dr. Studer Kepala Proyek Hansajet
HFB 320 dan Asisten Herr Wocke adalah Herr Beckmann yang semuanya usianya hampir duakali usia
saya. Mereka sudah memiliki data mengenai pendidikan dan pengalaman saya dan memperhatikan saya
ketika masuk ruang kerja. Herr Wocke sambil tersenyum menyampaikan bahwa ia telah mempelajari
sejarah pendidikan saya yang sangat menarik. Guru-guru Besar yang membina saya sangat mereka kenal
sebagai tokoh dan perintis konstruksi pesawat terbang yang unggul. Apakah Anda melamar sebagai
Kepala Bagian atau Direktur seperti dua pelamar yang baru saja kami terima? Saya jawab dengan singkat
bahwa saya hanya mau melamar untuk diikutsertakan berperan aktif merekayasa pesawat modern.
Reaksi Dr. Studer dan Herr Wocke sangat simpatik dan diskusi kami berubah berkisar pada masalah
teknik konstruksi pesawat saja. Mereka bertanya kapan saya dapat mulai bekerja? Saya menjawab bahwa
kontrak saya dengan Institut Konstruksi Ringan berakhir pada bulan Agustus dan saya siap mulai bekerja
pada tanggal 1 September 1965. Mereka bertanya mengenai gaji yang saya inginkan dan fasilitas apa?
Saya sampaikan bahwa saya menerima DM 1300,-- bersih dan saya harapkan mendapat DM 1500,--
bersih (sekitar € 800,--), biaya pemindahan dan perjalanan dari Aachen ke Hamburg dan apartemen
harus ditanggung oleh perusahaan. Apartemen untuk saya harus di daerah yang aman dan tidak jauh
dari perusahaan. Permintaan saya segera disetujui dan akan dikirim kontraknya ke alamat saya di
Aachen. Herr Wocke menyampaikan tugas saya adalah memberi Informasi dan mendidik beberapa
karyawan mengenai penerapan teknologi rekayasa dengan perhitungan yang paling canggih. Tim Herr
Wocke selama 15 tahun di Rusia tidak diberi kesempatan untuk mengikuti perkembangan. Setelah
transfer teknologi dan ketrampilan mereka kepada orang Rusia selesai, Herr Wocke bersama tim-nya
dipersilakan kembali ke Jerman. Habis manis sepahnya dibuang! Beberapa hari setelah saya kembali ke
Aachen, saya dipanggil Professor Ebner menghadap. Setelah saya dipersilakan duduk, beliau bertanya
apakah benar saya bermaksud bekerja di perusahaan HFB di Hamburg? Saya membenarkan dengan
memberi alasan yang ia dapat pahami. Mengapa Anda meminta DM 1500,-- tiap bulan? Apa alasannya?
Saya menjelaskan bahwa wajar saya meminta 200 DM lebih tinggi dari pemasukan saya sekarang. Beliau
tersenyum dan menyampaikan bahwa beliau baru kemarin mendapat telepon dari HerrWocke yang
bermaksud mengecek lebih mendalam dan rinci mengenai diri saya. Dari Herr Wocke ia mendapatkan
semua data.

Apa masalahnya Prof.? saya bertanya. Professor Ebner menyampaikan bahwa ia berhasil mengkoreksi
gaji sesuai dengan „standar pendidikan dan pengalaman saya” disepakati menjadi DM 2.500,-- tiap bulan
berarti dinaikkan 67%. Seperti berlaku di Industri Jerman jumlah gaji hanya dilaporkan kepada
departemen keuangan dan harus dirahasiakan. Saya tercengang dan bersyukur kepada Allah SWT dan
berkeyakinan bahwa Ainun jelas akan bereaksi seperti saya.

BAB LIMA

Mendapat Anugerah „Si Perintis yang Sempurna”

SEJAK tanggal 1 September 1965 saya mulai bekerja di perusahaan Hamburger Flugzeugbau HFB dan
Ainun sibuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kami pindah dari desa Oberforstbach dekat
Aachen ke Hamburg kota terbesar di Jerman Barat, dengan prasarana yang jauh lebih baik dan
sempurna, membutuhkan waktu untuk penyesuaiannya. Demikian pula halnya dengan lingkungan
pekerjaan saya yang berubah dari suasana perguruan tinggi ke suasana industri.

Dalam catatan Ainun pada buku A.Makmur Makka, („SABJH”), hal. 386, ia menulis sbb.: „Be lum pindah
kami waktu itu. Selama tiga bulan pertama ia pulang balik dari Aachen ke Hamburg sambil mencari
perumahan. Di Hamburg kesibukannya meningkat sekali. Hidup sungguh tersita pekerjaan, persoalan-
persoalan yang harus diselesaikannya bertambah berat. Namun segalanya ditangani dengan gigih.”
Seperti tiap warga Asia khususnya orang Indonesia, penampilan saya selalu dianggap 5 sampai 10 tahun
lebih muda. Saya mendapat kamar bersama seorang pakar ahli material warganegara Turki yang
bernama Dipl.-Ing. Göckel. Oleh Direktur Herr Wocke saya diperkenalkan dengan pimpinan bagian
konstruksi dan kekuatan rangka, Herr Pappel dan Herr Wegener yang usianya sekitar 58 tahun. Mereka
semua kenal Professor Dr. Hans Ebner dan kagum mendengar bahwa saya pernah menjadi Asisten Prof.
Ebner dan baru saja lulus S3 dalam bidang Konstruksi Ringan. Berita ini tersebar dari mulut ke mulut ke
hampir semua karyawan HFB khususnya karyawan bagian konstruksi dan Pengembangan. Di HFB hanya
ada tiga berpendidikan S3 dibidang konstruksi; Prof. DE-Ing. Geerts Kepala Bagian Percobaan, Dr.Ing.
Studer Kepala Proyek Hansajet HFB 320 dan saya. Mereka berusia sekitar 60 tahun dan bersama dengan
Herr Wocke baru saja kembali dari Rusia.

Tiba - tiba banyak yang mengajukan permohonan berkonsultasi mengenai penyelesaian masalah
konstruksi yang sedang dihadapi. Untung dahulu saya sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti ini
ketika bekerja di Talbot dan di Institut Konstruksi Ringan memberi nasehat dan membina mereka yang
sedang melaksanakan tugas akhir S2 atau Diplomarbeit. Mereka pada umumnya hanya mau berkenalan
dan mungkin ingin mentes kemampuan saya. Setelah dua minggu mereka memberi pengakuan yang
hampir berlebihan, sehingga saya menjadi malu. Mengenai keadaan saya waktu itu, Ainun menulis
dalam buku A.Makmur Makka,(„SABIH”), hal. 387 sbb : „Semangat dan energinya, memang lebih dari
rata-rata orang. Kami sekeluarga terbawa dalam kehidupannya. Waktunya untuk anak-anak makin harus
dicari-cari. Mulailah saya merangkap menjadi ayah dan sopir anak-anak. Ia menghendaki istrinya
mengikuti dan mengimbangi kemajuan karirnya. Tanpa mencampurinya, istri harus mengetahui bidang
pekerjaan suami. Isteri harus bergaul dengan lingkungan kerjanya: jim a, teknologi, bisnis internasional
pada tingkat yang semakin tinggi. Berat rasanya : istri harus mulai ikut meninggal-ninggalkan anak.
Trenyuh rasanya melihat rambut anak-anak gondrong ditinggal ibunya berminggu-minggu; mendengar
mereka tidak mau makan karena bukan masakan ibunya. Tetapi saya menjadi sadar mengimbangi suami
merupakan keharusan. Ada semacam hukum alamnya”: istri yang tidak mengikuti suami akan
ditinggalkan. Dan alhamdullilah, Ilham dan Thareq pun dapat mengerti. Mereka pun mau membantu.”
Karena kesibukan di kantor, saya tidak sadari bahwa Ainun sedang mengandung bayi kami yang kedua.
Seperti pada masa kehamilan pertama, Ainun bulan Oktober 1965 mulai muntah dan naeludah lagi. Pada
kesempatan itu saya bertanya : „Kapan bayi kami akan lahir? Ainun perkirakan awal Juni tahun 1966.
Nama yang diingini Ainun tetap Nadia Fitri jikalau bayi seorang putri. Namun jikalau pria saya usulkan
diberi nama Thareq dan nama kedua saya serahkan kepada Ainun, sehingga Ainun mendapat
kesempatan memberi nama juga. Ainun memberi nama „Kemal” yang artinya sempurna dan Thareq
artinya ”Perintis”. ”Thareq Kemal” artinya Perintis yang sempurna. Mengasuh Ilham yang begitu aktif
sambil mengandung, muntah, meludah dan membereskan rumah seorang diri adalah pekerjaan yang
tidak gampang. Tetapi Ainun tidak pernah mengeluh dan melaksanakan tugasnya dengan kesabaran
sebaik mungkin. Ia tetap segar dan cerah jikalau saya pulang. Senyumannya terus memberi ketenangan
dan mencerminkan kebahagiaan. Saya sering menceritakan pengalaman di kantor dan Ainun selalu
mengilhami saya dengan senyuman yang kurindukan. Dua bulan kemudian saya diikutsertakan dalam
pertemuan khusus yang langsung dipimpin oleh Direktur Teknik membicarakan beberapa masalah
konstruksi pesawat Fokker F28 dan Hansajet 320 yang sedang dihadapi. Gantungan Motor Jet kedua
jenis pesawat itu yang bermasalah. Saya ditugaskan memimpin tim khusus untuk menyelesaikan masalah
dalam waktu sesingkat-singkatnya. Saya bekerja sampai larut malam dan akhirnya setelah konstruksinya
dirubah sedikit, masalah dapat diselesaikan dalam waktu 3 bulan. Akibatnya prasarana bekerja untuk
saya disempurnakan dengan alasan untuk meningkatkan kualitas rekayasa dan pengaruh saya diberi
status Divisi dengan nama „Stabshauptabteilung far Strukturmechanik” atau „Kepala Divisi untuk
Mekanikarangka” yang bertanggungjawab langsung kepada Direktur Teknik. Saya mendapat kamar
sendiri dan 3 Asisten; Dipl. Ing. Woydack, Dipl.-Ing. Köhring dan Dipl.-Ing Glahn yang duduk dalam satu
kamar. Saya mendapat 1 Ahli Fisika Ibu Baumann dan 1 Ahli Gambar Herr Schafer. Sekretaris saya
bernama Frau Iselhorst yang berusia 50 tahun. Ternyata, saya yang paling muda dalam tim yang baru saja
dibentuk. Tanpa saya minta, gaji mulai segera dinaikkan lagi. Kami bersyukur kepada Allah SWT
pemasukan kami meningkat yang dapat dimanfaatkan untuk persiapan kedatangan anak kedua kami.
Pada rapat rutin Herr Wocke menyampaikan bahwa beberapa pesawat tempur Starfighter F-104 G jatuh
tanpa diketahui penyebabnya. Departemen Pertahanan Jerman mengajak siapa saja untuk melaksanakan
riset mencari penyebab jatuhnya Starfigh ter F-104 G dan dapat mengajukan usul dan saran
penyelesaiannya. Untuk itu tender akan dikeluarkan. Dana yang disediakan termasuk besar. Walaupun
perusahaan HFB tidak bergerak dalam bidang pengembangan dan pembuatan pesawat tempur
disarankan HFB untuk berpartisipasi pada tender tersebut. Diputuskan bahwa Dr. Habibie dipersilakan
mengusulkan saran dan ikut serta dalam tender tersebut.

Setelah mempelajari semua laporan yang ada mengenai jatuhnya F-104 G Starfighter, maka saya
mengambil kesimpulan bahwa kemungkinan jatuhnya F-104 G disebabkan karena akumulasi kerusakan
yang terjadi di sayap F-104 G. Saya berkesimpulan „di sayap”, karena yang jatuh hanya di Jerman dan
tidak di negara lain. Perbedaan dengan pesawat yang terbang di Jerman dengan yang lain terletak pada
maneuvre yang berbeda. Maneuver inilah yang membebani sayap. Pertanyaannya dibagian mana sayap?
Kenapa? Jikalau diketahui maka pertanyaan selanjutnya; „Bagaimana caranya memperbaikinya?”
Rencana riset yang saya ajukan diterima dan kami memenangkan tender untuk menemukan metode
perhitungan kecepatan suatu retakan berjalar, pada bahan yang elastoplastik. Riset ini berlangsung
beberapa tahun lamanya dan terkait pada diri saya. Berarti jikalau saya pindah perusahaan maka
pelaksanaan riset tersebut ikut pindah. Hanya informasi terbatas pada prinsip yang bersifat umum
diperkenankan untuk diberikan pada pertemuan Ilmiah. Banyak sekali hasil riset ini yang berdampak
pada peningkatan kualitas rekayasa baik untuk pesawat tempur maupun pesawat angkut militer dan sipil
seperti Airbus. Ternyata spektrum atau susunan urutan tegangan yang membebani „wilayah retak”
sangat menentukan. Di sini letak rahasia, penyebab jatuhnya pesawat tempur F-104 G. Hasil rekayasa
ulang dibagian tertentu sayap F-104 G, perbaikan dilaksanakan dan sejak itu tidak ada lagi pesawat F-104
G jatuh. Gaji saya dinaikkan lagi dan pada akhir tahun diberi bonus yang semuanya harus dirahasiakan
kecuali kepada Departemen Keuangan Jerman karena berkaitan dengan perhitungan kewajiban bayar
pajak. Dalam dunia konstruksi pada umumnya merekayasa suatu produk yang berkualitas tinggi dan
harga terjangkau adalah dasar utama dari tiap kebijakan. Khususnya dalam merekayasa alat
pengangkutan darat, laut dan udara, peran teknologi „konstruksi ringan” sangat menentukan.
Penghematan tiap kilo pada pesawat tempur dan pesawat angkut militer atau sipil meningkatkan jarak
terbang atau berat muatan pesawat tersebut.

Bukan saja kemampuan menghitung kekuatan statik dan dinamik suatu benda yang bergerak harus
dimiliki, namun yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya bahan material yang kuat, ringan, harga
terjangkau dan dengan teknologi produksi tepatguna menjamin produknya berkualitas sama. Sejak
tahun 1960 serat boron dengan kekakuan dan kekuatan tinggi mendapat perhatian khususnya untuk
merekayasa pesawat terbang tempur. Riset untuk perhitungan dan pengembangan teknologi produksi
tepatguna yang memungkinkan pemanfaatan serat boron yang disatukan oleh bahan organic epoxy
mendapat prioritas utama. Perusahaan Grumman dengan proyek pesawat tempur Tomcat Interceptor F-
14 memanfaatkan serat boron pada horizontal stabilirors sehingga dapat menandingi pesawat tempur
Rusia MIG 25. Hasil riset mengenai konstruksi serat boron walaupun sangat terbatas diketahui, telah
mengilhami hampir semua yang bekerja dalam bidang konstruksi ringan. Saya melaksanakan riset untuk
memanfaatkan serat karbon karena serat karbon memiliki diameter serat yang jauh lebih kecil
dibandingkan dengan serat boron. Akibatnya teknologi produksi lebih menguntungkan. Teknologi
pembuatan serat karbon akan memberi kemungkinan serat karbon menjadi jauh lebih murah,
dibandingkan teknologi pembuatan serat boron. Riset mengenai pemanfaatan serat karbon saya
konsentrasikan pada masalah perhitungan penyaluran gaya dan tegangan pada konstruksi ringan dan
pengembangan teknologi produksinya dalam skala 1 banding 1. Sebagai contoh konkrit saya ambil ”balok
dasar lantai - underfloorbeam” dan pembuatan Flap sayap untuk Airbus A300. Hash l riset ini menjadi
cikalbakal pembuatan ”sirip” Airbus dari seratkarbon. Saya harus bekerja sampai larut malam dan jikalau
saya pulang, Ainun selalu menemui saya di pintu dan memberi senyuman yang tak mungkin saya
lupakan, memukau dan selalu kurindukan.

Awal 1971, atas undangan beberapa pusat keunggulan penelitian ”bahan material canggih” atau
”advance material di Boston (MIT), New York - Long Island (Grumman), Forthwort (General Dynamic) dan
Seat lle (Boeing) untuk memberi ceramah dan diskusi mengenai keunggulan serat karbon dan penerapan
teknologi serat karbon pada komponen penting, seperti ”sirip” Airbus. Saya didampingi oleh Ainun yang
tidak pernah meninggalkan saya. Pada kunjungan saya pertama kalinya ke USA, Ainun sebagai ”Maskot”
atau „Lucky Angel” Bacharuddin Jusuf Habibie. Sedangkan Ilham dan Thareq tinggal di rumah, diasuh
oleh Bapak dan Ibu Paramayuda. Pada kesempatan kunjungan kami ke Amerika Serikat, kami juga
diundang oleh Prof. Dr. Syarif Thayeb mantan Rektor Universitas Indonesia yang sedang menjadi Duta
Besar Republik Indonesia di Washington. Sebuah acara untuk bersilaturahmi dan memberi ceramah
mengenai peran teknologi dalam pembangunan bangsa pada umumnya khususnya membangun
”Industri Dirgantara Indonesia”.

BAB ENAM

Setelah 6 tahun, Ainun Kembali ke Indonesia

AKTIVITAS di perusahaan HFB meningkat dan penuh dengan tantangan. Banyak yang kagum atas prestasi
nyata yang saya tunjukkan, namun ada juga beberapa orang yang iri. Hanya dengan bekerja keras, saya
dapat atasi pesaingan saya menghadapi teman-teman saya yang berbakat pula. Ainun tetap tegar
mengatasi semuanya dan terus memberi dukungan dan ketenangan yang saya butuhkan. Masalah rumah
tangga Ainun selesaikan secara mandiri. Tanpa kami sadari detik - detik denyutan sekitar rahim Ainun
meningkat dan pada hari Kamis tanggal 9 Juni 1966 pukul 06.00 pagi, dengan taksi saya mengantar Ainun
ke Rumah Sakit Universitas Hamburg Eppendorf. Keadaan Ainun memprihatinkan, karena ia demam dan
sangat lemah. Ia ternyata sudah agak lama sakit dan sangat berat menemani Ilham yang aktif,
mengandung tua dengan terus muntah dan meludah, mengurus rumah tangga tanpa pembantu. Ainun
tidak pernah mengeluh dan tidak memberi informasi mengenai masalah yang ia hadapi karena dapat
mengganggu pekerjaan saya. Wajahnya selalu cerah, tentram, memukau dan mengilhami saya walaupun
ia lelah dan sakit. Pukul 07.30 pagi taksi tiba di Rumah Sakit Universitas Hamburg Eppendorf dan Ainun
segera diopname. Pada hari Kamis tanggal 9 Juni 1966,sekitar pukul 11.00 pagi, bayi kami yang kedua
lahir. Ibu dan anak dalam keadaan sehat dan bayinya seorang pria, diberi nama „Thareq Kemal Habibie”.
Pada waktu itu keadaan Indonesia sangat labil dan diambang pintu kehancuran dengan indikator makro
ekonomi yang tidak menguntungkan dan tidak menentu. Setahun setelah saya bekerja di perusahaan
HFB, pada bulan September 1966 saya bertemu Panglima Angkatan Udara (Pangaul Marsekal Roesmin
Nuryadin yang atas undangan pemerintah Jerman dengan timnya sebanyak 5 tokoh Angkatan Udara
berkunjung ke perusahaan HFB tempat saya bekerja. Ia datang untuk bersilahturahmi, melihat semua
fasilitas dan berdiskusi mengenai wawasan masa depan Industri Dirgantara di Indonesia. Beliau
menyarankan, untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama suatu tim ahli dari Jerman,
melaksanakan kunjungan kerja ke Indonesia dan mempelajari aset fasilitas dirgantara nasional yang
dapat dimanfaatkan sebagai cikal bakal membangun Industri Dirgantara Indonesia. Hanya beberapa
minggu kemudian dalam bulan Oktober 1966, saya mendapat kehormatan untuk bertemu dengan Bapak
Mashuri Saleh SH, Direktur Jenderal Perguruan Tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Setelah melihat fasilitas perusahaan, di ruangan kantor saya ia keluarkan dan tandatangani suatu
Keputusan Dirjen, yang memberi izin saya untuk bekerja di perusahaan HFB dengan catatan, jikalau kelak
diperlukan di Indonesia, dalam waktu sesingkat - singkatnya harus pulang. Bulan Desember 1966, saya
menerima undangan untuk menghadiri resepsi dan jamuan makan malam yang diadakan oleh
Pemerintah Daerah Bremen dalam rangka menghormati kunjungan resmi Menteri Luar Negeri Bapak
Adam Malik. Bersama dengan undangan ini disampaikan pesan khusus Pak Adam Malik untuk dapat
bersilaturahmi. Pak Adam Malik menghimbau agar saya ikut memikirkan jalan keluar penampungan para
kader ahli dirgantara yang sementara belum dapat ditampung oleh Proyek Dirgantara di Indonesia.
Apakah mungkin menampung di perusahaan di mana saya sedang bekerja? Pemerintah tidak memiliki
fasilitas dan dana untuk merealisir penampungan ini. Semuanya harus dilaksanakan secara mandiri.

Pada tahun 1966, banyak perubahan yang terjadi. Bukan saja kesibukan di kantor meningkat tetapi
kesibukan rumah tangga kami meningkat pula. Baik Ilham maupun Thareq membutuhkan perhatian dari
Ainun tanpa pembantu. Semua pekerjaan di rumah dikerjakan seorang diri, tanpa mengeluh dan tetap
bersyukur kepada Allah SWT bahwa kami sekeluarga dilindungi dan berada dalam keadaan sehat.
Memperhatikan ini semua, Ibu Habibie sepuh di Bandung, mengusulkan untuk menambah anggota
rumah tangga kami dengan mendatangkan Mbak Warni, salah satu anggota keluarga yang pernah
membantu Ibu Habibie sepuh dalam aktivitas beliau di Bandung. Kehadiran Mbak Warni sangat
meringankan pekerjaan Ainun yang sebelumnya harus dilaksanakan seorang diri. Sudah menjadi
kebiasaan, saya menceriterakan pasang surut pekerjaan di kantor kepada Ainun. Dan Ainun selalu
mendengar dan tidak pernah turut campur, kecuali jikalau ditanya pendapatnya. Mengenai kunjungan
Pak Roesmin, Pak Mashuri dan Pak Adam Malik, Ainun ikut memperhatikan. Karena mengenai keadaan
di Indonesia ia sering bertanya dan memberi pendapat. Adapun mengenai permintaan Pak Adam dan
Pak Rusmin, akan saya perjuangkan. Pada tahun 1968 untuk 2 bulan lamanya, Insya Allah kami
sekeluarga akan ke Indonesia. Satu bulan dinas sesuai usul dan permintaan Pemerintah Indonesia dan
satu bulan berlibur.

Kami merencanakan selama tim kami dari Jerman keliling Jawa untuk melihat aset nasional yang dapat
dimanfaatkan sebagai cikal bakal Industri Dirgantara, sementara itu, Ainun, Ilham dan Thareq akan
memanfaatkan waktu yang ada untuk bertemu dengan keluarga dan kawan-kawan di Jakarta dan
Bandung. Selama di Jakarta, kami sekeluarga akan tinggal di Hotel Indonesia.
Ainun sangat bahagia dengan rencana yang kami buat dan ia sudah mulai mempersiapkan seperlunya
membeli oleh-oleh untuk Keluarga Besar Habibie, Keluarga Besar Besari dan kawan-kawan di Jakarta dan
Bandung yang sejak 1962, selama 6 tahun kami tidak pernah bertemu. Kami berdua bekerja keras dan
menikmati tiap detik yang diberikan oleh Allah SWT dengan meletakkan jejak yang indah dengan
perasaan khusus yang dikalbui oleh cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi. Sehingga semua
yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ainun melaksanakan tugasnya sesuai rencana dan jadwal yang
sudah ditentukan dan pekerjaan saya di kantor demikian pula. Hasil pekerjaan saya sesuai target dan
berkualitas. Kuliah yang saya berikan untuk meningkatkan kemampuan beberapa karyawan di HFB tetap
dikagumi, sehingga kredibilitas saya meningkat. Gaji terus meningkat pula dan dapat membantu Ainun
melaksanakan persiapan - persiapan yang diperlukan. Dengan menggunakan pesawat perusahaan CSA
dari Hamburg ke Indonesia melalui Praha, Kairo, Karachi, Bangkok dan Singapura, kami tiba di Jakarta
pada hari Sabtu tanggal 10 Februari 1968. Hampir 6 tahun lamanya Ainun meninggalkan Jakarta tidak
bersilahturahmi dengan keluarga dan kawan. Kehadiran Ilham dan Thareq merupakan kenikmatan
tersendiri bagi semua yang mengenal kami berdua. Ilham dan Thareq menikmati suhu panas dan
merasakan perbedaannya dengan hawa dingin di Eropa. Wajah Ainun cerah dan bahagia dengan
senyuman yang selalu memukau saya. Ketika saya meletakkan kaki di atas bumi Indonesia, saya
panjatkan doa kepada Allah SWT, bersyukur telah tiba dengan selamat membawa Ainun bersama Ilham
dan Thareq ke Tanah Air tercinta.

Minggu pertama di Indonesia saya sibuk melaksanakan persiapan kedatangan tim Jerman yang akan saya
pimpin sendiri untuk melihat fasilitas di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogja, Solo, Madiun, Surabaya dan
Malang. Pertemuan dengan Dirjen Dr. Salamun menghasilkan penyusunan rencana kunjungan keliling
tim Jerman dan tim pendamping Indonesia yang dipimpin oleh Ir. Edy Sanyoto. Diputuskan rombongan
akan memakai transportasi mobil dan peninjauan diakhiri dengan kunjungan ke fasilitas disekitar
Surabaya. Dari Surabaya kami akan memakai pesawat terbang Garuda kembali ke Jakarta. Untuk
memperkenalkan diri dengan pimpinan TNI-AU, TNI-AL dan TNI-AD kami berkunjung ke Markas Besar
ketiga angkatan untuk mencatat pengalaman, saran dan wawasan pemikiran Industri Hankam sebagai
inti Industri Strategis. Memberi kuliah umum dan tanya jawab mengenai „Industri Pertahanan sebagai
inti Industri Strategis” di Lemhanas dan ITB. Ini merupakan kesempatan tersendiri untuk
menyosialisasikan dan mengecek ulang semua masukan. Dengan demikian laporan yang objektif dapat
disusun. Semua diselesaikan sesuai jadwal dalam waktu

5 minggu. Memperhatikan saran Pak Adam Malik, kami mengundang semua kader pakar teknologi
dirgantara untuk bersilaturahmi di Gedung STM Penerbangan Jakarta, di kantor Dr. Salamun, dan di
fasilitas Institut Teknologi Bandung. Pada kesempatan tersebut, disampaikan kemungkinan pakar
teknologi dirgantara dapat bergabung bekerja di HFB, selama Industri Dirgantara Indonesia belum
dimulai. Mereka yang berkeinginan bergabung, diharapkan mendaftarkan namanya, lengkap dengan
Ijasah dsb. Ainun sangat sibuk bersilaturahmi dengan para dokter angkatannya yang hampir semua telah
menjadi dokter ahli dan berkeluarga. Ilham dan Thareq memanfaatkan kesempatan untuk berkenalan
dengan para cucu Ibu saya dan Ibu Besari di Jakarta dan Bandung. Lucu melihat cara mereka berbicara
dalam bahasa Jerman dan Indonesia. Ainun sangat bahagia dan menikmati tiap kesempatan yang
diberikan oleh Allah SWT. Waktu begitu cepat berlalu dan pandangan mata dengan senyuman yang
selalu memukau dan terus saya rindukan itu mengalbui kehidupan kami berdua. Tiap pagi sebelum saya
mulai bekerja dan tiap malam sebelum saya tidur, jikalau sedang tidak berada bersama Ainun, saya selalu
menelpon untuk mendengar dan memberi informasi. Tanpa kami sadari, tiba waktunya untuk kembali ke
Hamburg melanjutkan tugas utama kami di HFB. Kami bersyukur dapat membantu meletakkan dasar
masa depan bangsa yang mengandalkan pada potensi SDM dan teknologi melalui silaturahmi:

• Memiliki pandangan dan data yang lebih luas, objektif dan tepat mengenai kendala yang sedang dan
akan dihadapi jikalau pembangunan Industri Dirgantara di Indonesia harus dimulai.

• Konsolidasi potensi SDM bidang dirgantara.

• Membawa Ainun, Ilham dan Thareq kembali bersilaturahmi dengan Keluarga Besar Besari, Keluarga
Besar Habibie dan Keluarga Besar kawan-kawan kami. Semua acara dapat dilaksanakan tanpa
membebani Pemerintah Indonesia, halal dan mandiri diilhami oleh wajah senyuman Ainun dan
dilindungi Allah SWT. Terima kasih Allah.

BAB TUJUH

Mempersiapkan Kader Pembangunan

SETIBANYA di Hamburg saya harus langsung terjun ke penyelesaian masalah rekayasa yang sudah
menumpuk dan hampir 9 minggu tidak diselesaikan secara tuntas. Terpaksa tiap hari saya bekerja
lembur. Walaupun kerja lembur dibiayai secara progresif, namun yang menjadi korban adalah Ainun,
Ilham dan Thareq. Mereka hampir tidak mendapat waktu dari saya yang tidak mungkin diganti dengan
uang. Dari tiga perusahaan yang lebur menjadi satu dan diberi nama Messerschmitt Bölkow Blohm atau
MBB harus dibentuk pimpinan terasnya. Beberapa direktur atau Koordinator Holding MBB melalui
proses pilihan fit and proper akan diangkat dari aset para pakar dan tokoh yang tersedia diketiga
perusahaan. Proses pilihan tersebut dimulai pada tahun 1971 dan harus sudah selesai pada tahun 1973.
Pakar atau tokoh yang dipilih akan berkantor di Holding MBB MunchenOttobrun merangkap jabatan di
asal perusahaan sebelumnya di mana yang bersangkutan bekerja.

• Messerschmitt di Augsburg, perusahaan yang merekayasa dan membuat pesawat tempur

• Bölkow di Donauwörth, perusahaan yang merekayasa dan membuat wagon, helikopter dan missiles
Blohm di Hamburg, perusahaan yang merekayasa dan membuat pesawat pengankut militer dan sipil
Pimpinan HFB, khususnya Herr Wocke sangat memperhatikan cara dan sistem yang saya terapkan dalam
menyelesaikan masalah, khususnya bidang pengembangan dan penerapan teknologi canggih. Makin
sering keberhasilan saya, makin sering saya ditugaskan ikut rapat mengenai teknologi di MBB Munchen
Ottobrun. Bahkan atas inisiatif Herr Wocke, saya mendapat izin resmi dari yang berwenang untuk dapat
diikutsertakan pada semua proyek, termasuk yang sangat rahasia.

Oleh karena itu, saya makin sering mondar mandir antara Munchen dan Hamburg. Tantangan pekerjaan
terus meningkat dan menarik. Teknologi yang dihadapi tidak saja terbatas pada pesawat terbang
pengangkut namun terus berkembang meliputi semua spektrum produksi militer dan sipil. Sementara
itu, tindak lanjut kunjungan ke Indonesia dan proses penempatan beberapa kader teknologi di
perusahaan HFB dapat berjalan lancar sesuai rencana. Saya berhasil meyakinkan pimpinan HFB bahwa
kader teknologi Indonesia semuanya sudah dipilih secara objektif dan telah mendapat pendidikan yang
terbaik dengan hasil terbaik pula. Pada tahun 1969 beberapa kader teknologi mulai datang, seperti Jr.
Harsono Pusponegoro, Ir.Rahardi Ramelan, Jr. Surasno Paramayuda, Jr. Sofian Nasution, Ir.Abdul Munaf
Gayo dan Injermani Senjaya. Rombongan kedua datang pada tahun 1970 seperti Ir.Sutadi Suparlan, Jr.
Gunawan Sakri dan Ir.Oetaryo Diran.

Mereka semuanya baru saja menikah dan mulai membangun keluarga sakinah atau keluarga „sejahtera
dan bahagia. Para kader teknologi mendahului kedatangan isteri mereka, mulai bekerja dan menabung
untuk membayar ongkos perjalanan keluarga yang menyusul, sambil mencari rumah. Sebagian besar
memilih tempat tinggal mereka tidak jauh dari perusahaan HFB, di kota kecil Buxtehude dekat Hamburg.
Pada suatu hari, protokol KBRI dan Deplu Republik Federal Jerman di Bonn, Senin tanggal 31 Agustus
1970 menginformasikan bahwa pada hari Jumat tanggal 4 September 1970, Presiden Soeharto akan
mulai kunjungan resminya selama 3 hari di Republik Federal Jerman. Presiden Soeharto berkenan
bertemu dengan saya. Tempat dan waktu akan ditentukan kelak. Saya diminta sudah berada di Bonn
pada hari Sabtu tanggal 5 September 1970. Presiden Soeharto akan mengakhiri kunjungan kenegaraan di
Republik Federal Jerman pada hari Minggu tanggal 6 September 1970. Ainun bersedia mengorbankan
jatah waktu yang sebenarnya milik keluarga pada hari Sabtu dan Minggu. Rencana untuk berkunjung ke
Museum dan Kebun Binatang yang sudah kami rencanakan ditunda sampai minggu berikutnya. Sabtu
pagi dengan pesawat pertama Lufthansa saya ke Bonn dan pukul 15.00 di Bonn saya diterima Presiden
Soeharto selama 45 menit.

Inilah pertama kalinya saya bertemu Pak Harto setelah beliau menjadi Presiden. Setelah menjabat
tangannya, beliau tersenyum dan mempersilakan saya duduk. Ia bertanya mengenai keadaan Ainun,
Ilham dan Thareq. Laporan kunjungan, saran dan usul saya ke Indonesia beliau fahami. Beliau meminta
sabar dan mengadakan persiapan seperlunya. Jikalau keadaan sudah mengizinkan untuk memulai
membangun ”industri strategis, maka Pak Harto akan memanggil saya pulang. Sementara saya
diharapkan terus konsolidasi dan mempersiapkan kader SDM yang handal dan kelak sebagai aset dan
cikal bakal pembangunan. Setelah Pak Harto mendapat penjelasan atas pertanyaan mengenai
tanggungjawab dan tugas saya di MBB, beliau menjelaskan bahwa pada tanggal 10 November 1967,
pemerintah mendirikan PT. Indosat sebagai wahana kerjasama internasional untuk meningkatkan
pelayanan telekomunikasi di Indonesia. Sejak September tahun 1969, PT.Indosat bekerjasama dengan
Intelsat untuk memanfaatkan Satelit Internasional. Beliau mempertimbangkan untuk memiliki Satelit
Telekomunikasi Indonesia yang bernama „Palapa”, nama itu dipilih untuk mengenang „Sumpah Palapa”
Gajahmada. Beliau berharap agar teknologi yang dimanfaatkan dicek, sambil memberi copy laporan
mengenai data dan Terms Of Rreference atau TOR Satelit ”Palapa”. Saya menyanggupi memberi
tanggapan besok tanggal 6 September 1970, sebelum kunjungan resmi di Republik Federal Jerman
diakhiri. Janji itu bisa saya tetapi sebelum Pak Harto dan rombongan kembali ke Indonesia.

Setelah Ilham merayakan HUT ke- 7, dan Thareq HUT ke-4 tahun dan kemampuan Mbak Warni makin
mandiri mengurus rumah, maka kami mempertimbangkan kemungkinan Ainun bekerja lagi di Rumah
Sakit Anak Professor Dr. Böhnke di Hoochallee Hamburg. Melalui Dr. Siebert ahli penyakit anak di mana
Ilham dan Thareq menjadi pasiennya, Ainun diterima sebagai dokter pada Rumah Sakit Anak tersebut.
Agar Ainun cepat dan bebas bergerak, kami beli Mobil Renault R4. Ainun sangat bahagia dan puas
dengan pekerjaannya dan pemasukan kami bersama lumayan. Saya tetap tidak memiliki mobil dan izin
mengemudikan mobil. Jikalau ke kantor saya tetap naik sepeda atau bus. Sebagai kompensasi pekerjaan
di kantor yang kurang bergerak badan, saya sering berjalan kaki ke kantor. Kehidupan kami berdua sangat
tentram dan berkualitas. Flat kami yang hanya terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar makan, 1 kamar duduk
di mana piano Bechtel dapat kami letakkan untuk Ilham dan Thareq, 1 kamar mandi + toilet, dapur,
gudang kecil dan 1 kamar toilet khusus untuk tamu. Apartemen kami sekitar 200 m2 luasnya termasuk
balkon kecil. Ilham dan Thareq tidur di kamar tidur sedangkan Mbak Warni di kamar makan. Setelah
Ainun dua tahun bekerja, tiba-tiba Thareq jatuh sakit. Di sini Ainun menghadapi masalah pribadi. Ia
harus merawat anak orang lain, sedangkan anak kandungnya tidak dirawatnya sendiri. Kenyataan ini
membebani rasa tanggungjawab Ainun, sehingga ia mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan
seluruh waktunya diberikan kepada kepentingan Ilham, Thareq dan suaminya. Ainun mencatat keadaan
yang dialaminya ketika itu dan menulis dalam buku A.Makmur Makka („SABJI1”) hal. 387 sbb

„Thareq lahir waktu kami di Hamburg. Anak-anak tumbuh dengan cepat. Musim pun berganti: pakaian
anak harus diperbarui setiap musim. Mereka harus sekolah. Keluarga bertambah. Biaya asuransi
meningkat. Timbul kebutuhan baru: membeli rumah; kami tidak tahu berapa lama kami masih harus
hidup merantau. Setelah Thareq agak besar, sudah berumur 4 tahun, saya memberanikan diri bekerja.
Memang terasa suatu keputusan tersendiri. Saya profesional. Saya mandiri. Penghasilan pun lebih dari
cukup hampir mengimbangi penghasilan suami. Saya bisa membantu suami membeli tanah dan rumah
di Kakerbeck. Juga di desa. Juga jauh dari kota. Waktu berumur 6 tahun, Thareq sakit keras. Dan terasa
ada suatu yang mengganjal, sehari-hari mengurusi anak orang lain padahal anak sendiri tidak terawat.
Maka kembalilah saya pada falsafah hidup sewaktu di Oberforstbach : falsafah hidup mengutamakan
anak dan keluarga dari pada mencari kepuasan profesional dan penghasilan tinggi. Menyesalkah saya
mengambil keputusan itu? Menyesalkah saya berketetapan menjadi pecinta, isteri dan ibu?”

Berdasarkan keyakinannya, Ainun mengorbankan hoby dan pekerjaannya sebagai dokter untuk
membangun bersama Ilham, Thareq dan suaminya tetap menciptakan keluarga sakinah sesuai ajaran
agama Islam dan budaya kami yang dikalbui oleh cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi.

Tahun 1971 kami menghadapi banyak tantangan. Pada suatu hari saya menerima telepon dari kakak ipar
saya Mas Bono yang meminta agar Adrie pada waktu itu berusia 16 tahun dapat bergabung dengan kami
sekeluarga. Beberapa bulan sebelumnya kami menerima putra kakak wanita saya bernama Budiarto,
berusia 13 tahun untuk mendapat asuhan dan pendidikan sesuai dengan bakatnya. Ainun yang sifatnya
sangat sosial dan selalu mau membantu, dengan segala keterbatasannya memenuhi permintaan
keluarga saya. Kamar tidur yang tadinya ditempati oleh Ilham dan Thareq diganti dengan tempat tidur
bersusun sehingga dapat dihuni oleh Adrie, Budi, Ilham dan Thareq. Melihat keadaan demikian, saya
ajukan permohonan kepada pimpinan perusahaan untuk mendapat rumah lebih besar yang letaknya
tidak jauh dari apartemen kami. Akhirnya kami diberi rumah yang letaknya hanya 500 m dari apartemen
yang kami tinggali. Luas rumah tersebut 400 m2 dan terdiri dari 2 lantai memiliki 5 kamar tidur, 2 kamar
duduk, 1 kamar makan, 2 kamar mandi dan garasi dengan halaman sekitar
1000 m2. Karena letaknya di daerah yang sama, maka Adrie, Budi, Ilham dan Thareq tidak perlu pindah
sekolah. Kami bersyukur pada Allah SWT yang telah memberkahi kami dengan fasilitas rumah yang lebih
besar Karena keluarga kami menjadi lebih besar, maka mobil Ainun Renault R4 kami ganti dengan
Mercedes Benz 280 SE yang terbaru. Saya sendiri tetap naik sepeda, bus atau berjalan kaki ke kantor
karena belum memiliki izin mengemudi. Karena pemasukan kami meningkat terus dan demikian pula
kewajiban membayar pajak, maka penasehat pajak kami menyarankan untuk membangun rumah
dengan mengambil kredit yang jumlah penyicilannya dapat dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Saran penasehat pajak tersebut kami terima, kami dan Ainun memutuskan untuk mempelajari
kemungkinan pembangunan rumah terbaik di dalam atau luar kota Hamburg. Kriteria yang kami
tentukan bersama adalah; (1) udara dan lingkungan sehat, (2) halaman luas, ( 3) ada mata air di
halaman, (4) tidak jauh dari tempat saya bekerja dan ( 4) harga tiap m2 serendah mungkin. Setelah
mempelajari semua kemungkinan selama lebih dari dua tahun maka pada bulan Juli 1972, Ainun dan
saya menandatangani kontrak pembelian tanah sebesar 1,5 Ha di desa Kakerbeck dekat kota Buxtehude
di mana tinggal para kader teknologi dari Indonesia. Proses perizinan membangun rumah segera dimulai
dan pembangunannya selesai pada tahun 1974. Rumah dinas di Hamburg tetap kami huni dan tiap akhir
pekan dari Jumat sore sampai Minggu sore kami tinggal di Kakerbeck. Ainun adalah penggerak utama
pembangunan rumah kami. Ainun sangat rinci mempelajari semua usul keluarga dan arsitek. Setelah
memperhatikan biaya, anggaran yang tersedia dan kualitas bahan bangunan, ia membicarakan secara
rinci dengan saya mengenai kebijaksanaan akhir. Ainun tidak pernah mengganggu pekerjaan saya, kecuali
jika tidak dapat menyelesaikan persoalan dan membutuhkan pendapat dan nasehat. Dalam catatan
Ainun pada buku A.Makmur Makka („SABJH”), hal. 388, ia menulis sbb.: „Memang: tuntutannya banyak
Terhadap isteri Terhadap anak. Terhadap anak buahnya. Ia ingin mencapai yang setinggi-tingginya. Dia
memberikan segalanya dan menuntut segalanya. Dia memberi dan menuntut secara mutlak. Begitulah
sifatnya. Itulah yang membuat hidup dengannya tidak mudah.” „Tetapi ía juga memberi secara mutlak,
semua yang ada padanya diberikannya pada anak-isterinya: impian-impiannya, kepandaiannya,
semangatnya, marahnya, kekecewaannya, perhatiannya, kesehatannya, pengorbanannya. Di dalam
segala kehebatannya ía sangat peka: perhatian kami, pengertian kami, dukungan kami, baginya segala-
galanya. Itulah yang membuat semuanya ada gunanya.” Ainun biasanya bekerja mandiri, konsisten, kuat,
religius, pejuang, merakyat, berusaha belajar dari proses membangun keluarganya menjadi keluarga
sakinah yang berakar pada nilai agama dan nilai budaya yang dikalbui oleh cinta yang murni, suci, sejati,
sempurna dan abadi, tulus dan ikhlas. Pengalaman Ainun diterapkan membantu membangun
masyarakat sekitarnya dapat memahami mekanisme membangun keluarga sakinah atau keluarga
sejahtera dan bahagia.

Bab Delapan

Pertemuan di Hotel Hilton Düsseldorf

SEPERTI tiap tahun, bulan Desember cuaca dingin di Hamburg, hujan tidak menentu. Sekitar pukul 17.00
cuaca sudah mulai gelap dan pukul 08.00 pagi masih gelap pula. Kesibukan kerja saya meningkat, saya
sering lembur sampai jauh malam, karena mempersiapkan laporan tahunan perusahaan dan khususnya
bagi saya, laporan penelitian yang dibiayai perusahaan Messerschmidt Bölkow Blohm (MBB) sendiri dan
yang dibiayai Departemen Pertahanan, Republik Federal Jerman (RFJ) „ Bundesministerien fur
Verteidigung (BMVtg)” di Bonn. Melalui proses yang cukup panjang pada tahun 1973, Saya telah dipilih
sebagai Direktur Pengembangan dan Penerapan Teknologi, mengkoordinir dan bertanggungjawab
langsung atas pelaksanaan program riset antara lain yang berjudul „Zukunft Technologie Luftfahrt” atau
„Teknologi Penerbangan Masa Depan” yang dikenal sebagai „ZTL-Program” Departemen Pertahanan RFJ.
MBB, memenangkan tender „ZTL-Program”, khususnya dalam bidang yang hasil penelitiannya kelak
dapat dikembangkan dan diterapkan pada proyek sipil seperti Airbus, yang termasuk tugas dan
kewajiban saya. Semua laporan penelitian dan penemuan baru, harus saya periksa dan
pertanggungjawabkan kebenarannya. Hasilnya kelak, sebagian besar akan bersifat rahasia perusahaan
dan rahasia yang membiayainya. Sewaktu saya sedang sibuk berdiskusi dengan beberapa peneliti, antara
lain Dipl.-Ing. Woydack, Dipl-Ing. Glahn dan Dipl.-Ing. Köhring mengenai hasil dan penemuan penelitian
mereka, tiba-tiba sekretaris saya Frau Kaleicher yang telah mengganti Frau Iselhorst, masuk ke dalam
ruangan dan menyampaikan bahwa Ibu Ainun dan Duta Besar Republik Indonesia Bapak Achmad
Tirtosudiro dari Bonn telah berkali-kali menelpon dan mengharapkan agar saya menelpon kembali.

Lalu saya tugaskan Frau Kalleicher menelpon isteri saya dahulu dan setelah itu baru Bapak Achmad
Tirtosudiro. Para peneliti saya minta kembali ke tempat mereka masing-masing. Saya katakan kepada
mereka, diskusi serta tanya jawab akan dilanjutkan nanti pukul 21. 00 sampai selesai. Ketika telepon
tersambung ke rumah, Ainun menyampaikan pesan Pak Achmad Tirtosudiro agar hari ini, jam berapapun
saya diminta menelpon Bapak Ahmad Tirtosudiro di Bonn. Ainun juga telah memberi nomor telepon
kantor saya kepada Pak Ahmad Tirtosudiro. Sebelum menutup telepon, isteri saya sempat bertanya,
apakah saya sudah makan dan jam berapa pulang? Ia mengingatkan agar saya jangan lupa makan dan
jangan terlalu jauh malam pulang! Jaga kesehatan! Pak Achmad Tirtosudiro menyampaikan bahwa
Direktur Utama perusahaan perminyakan Pertamina Dr. Ibnu Sutowo, berkenan menerima saya di Hotel
Hilton Düsseldorf pada hari jumat, besok lusa pukul 08.00 pagi, tanggal 14 Desember

1973.

Saya segera bertanya siapa beliau itu? Bapak Achmad Tirtosudiro heran bahwa saya tidak mengenal
tokoh nasional Dr. Ibnu Sutowo. Pekerjaan dan kesibukan saya tidak memberi kesempatan mengikuti
perkembangan di Indonesia. Bahkan kewajiban saya sebagai ayah untuk bermain dengan Ilham dan
Thareq, tidak dapat saya penuhi. Persaingan antara para ilmuwan sangat berat dan ketat. Saya harus
bekerja lebih keras menghadapi para kolega ilmuwan lain yang berbakat dan berpendidikan tinggi.
Persaingan keras seperti ini, berpengaruh positif pada prilaku dan pengetahuan pribadi saya. Akibatnya
proses keunggulan pada diri saya cepat berkembang. „Saya menerima pesan dari Jakarta untuk
mempersiapkan kedatangan dan program Dr. Ibnu Sutowo selama beliau di Jerman. Salah satu acara
beliau adalah menerima Dr. Habibie. Mengenai selanjutnya saya tidak tahu”, demikian ucapan Bapak
Achmad Tirtosudiro, Duta Besar Indonesia di Jerman. Sekitar pukul 00.30, saya baru tiba di rumah,
karena diskusi dan analisis mengenai salah satu hasil riset pengembangan konstruksi elemen penyalur
„kekuatan atau gaya” besar yang dibuat dari komposit serat karbon, telah diselesaikan dengan baik. Hasil
riset ini, penting diteliti lebih rinci untuk memiliki dasar pembuatan sirip, sayap bahkan seluruh pesawat
terbang yang ringan dan kuat dari konstruksi hybrid serat karbon. Semua bisa digunakan untuk pesawat
terbang apapun, baik militer atau sipil, termasuk Airbus. Baru keesokan harinya sekitar pukul 06.00 pagi,
waktu sarapan bersama dengan Ainun, Ilham dan Thareq saya menjelaskan hasil pembicaraan kemarin
malam dengan Bapak Achmad Tirtosudiro. „Mau apa tokoh nasional yang begitu penting, bertemu
dengan seorang ilmuwan yang menekuni bidang konstruksi pesawat terbang? Bukankah Pak Ibnu
Sutowo Direktur Utama perusahaan perminyakan?” demikian pertanyaan Ainun. ”Saya tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Karena itu, untuk mengetahui jawabannya, besok malam saya
akan ke Düsseldorf dan segera kembali ke Hamburg setelah pertemuan dengan Pak Ibnu Sutowo selesai.
Kita tunggu saja bagaimana nanti. Terpaksa hari Sabtu, saya harus lembur lagi dan saya berjanji, hari
Minggu akan memberi seluruh perhatian kepada keluarga Ainun, Ilham dan Thareq hanya senyum saja
sambil menggelengkan kepala mereka setelah mendengar janji saya sebagai suatu kenyataan. Saya
bersyukur memiliki keluarga yang memberi dorongan dan pengertian kepada tugas apa saja yang sedang
saya hadapi. Keadaan demikian memungkinkan saya berkarya dengan seluruh dedikasi dan ketenangan.
Di Düsseldorf, hari Jumat tangga114 Desember pukul 07.00 pagi saya masuk ruangan tempat sarapan
pagi di Hotel Hilton Düsseldorf. Ternyata ada beberapa warga Indonesia sedang sarapan pagi bersama.
Sekilas, tidak satu pun saya kenal, kecuali seorang yang mirip dengan pemuda yang saya kenal dari
zaman mahasiswa pada tahun 1955 sampai 1958 di Bonn. Saya langsung ke meja orang itu dan bertanya.
”Apakah Bapak adalah Dr. Erich Sanger yang pernah belajar dan membuat karya ilmiah Doktor dalam
bidang ilmu hukum di Bonn?”.

”Benar saya Erich Sanger dan Saudara adalah Rudy Habibie, ” seru beliau sambil mempersilakan saya
duduk di meja yang sama. ”Kapan datang dari Hamburg dan bagaimana dengan isteri dan kedua anak
Rudy?” Dr. Erich Sanger menyampaikan bahwa mereka tiba kemarin pagi dengan pesawat pribadi.
Mereka langsung dari Jakarta melalui Roma dan melanjutkan perjalanan mereka ke New York melalui
London pada tanggal 16 Desember hari Minggu pagi. Nanti pukul 12.00 Dr. Ibnu Sutowo akan bertemu
dengan Kanselir Willy Brandt di Bonn dan kami harus berangkat sekitar pukul 10.00 meninggalkan Hotel.
Duta Besar Pak Achmad Tirtosudiro yang menerima kedatangan Pak Ibnu Sutowo kemarin akan
mendampingi Pak Ibnu. Saya sebagai Staf Ahli bidang hukum, saya juga akan mendampingi beliau. Rudy
kamu sama sekali tidak berubah, kecuali lebih gemuk namun tetap bersemangat. Bagus sekali bahwa
Rudy memenuhi keinginan Pak Ibnu untuk bertemu, nanti pukul

08.00 di Presidential Suite Hotel Hilton Düsseldorf. Hotel yang ditempati selama Pak Ibnu berada di
Düsseldorf. Saya langsung bertanya. ”Apa sebabnya Dr. Ibnu Sutowo mau berkenalan dengan saya? Apa
keinginan beliau?” Jawaban Dr. Erich Sanger seperti jawaban Bapak Achmad Tirtosudiro, singkat dan
tegas. „Saya tidak tahu! Dengarkan saja nanti dari Pak Ibnu”. „Apakah Dr. Erich Sanger akan menemani
saya, tanya saya lagi. „Tidak, saya bersama Bapak Duta Besar dan Staf akan menunggu di ruangan lain di
hotel ini. Jika nanti diperlukan kami akan bergabung”. Sementara itu jam sudah menunjukkan pukul
07.45 dan saya harus segera naik ke lantai paling atas di Presidential Suite Hotel Hilton Düsseldorf. Inilah
pertama kali saya bertemu dengan seorang tokoh yang namanya tidak saya kenal. Eksistensinya baru saja
dua hari yang lalu saya ketahui langsung dari Bapak Duta Besar Republik Indonesia di Bonn, Letnan
Jenderal TNT Achmad Tirtosudiro. Hati saya berdebar, karena semuanya misterius dan penuh dengan
pertanyaan yang tidak dapat saya jawab. Sambil mengucapkan „Bismilahirrahmanirrahim”, tepat pukul
08.00 pagi hari Jumat tanggal 14 Desember 1973, saya tekan tombol pintu Presidential Suite Hotel Hilton
Düsseldorf. Pintu terbuka dan nampak seorang pelayan warga negara Jerman asli, bermata biru dan
rambut bland, berpakaian rapi menyampaikan dalam bahasa Inggris. ”Tunggu sebentar, saya akan
laporkan kepada Bapak Dr. Ibnu Sutowo”. Beberapa detik kemudian, saya berhadapan dengan tokoh
bertubuh kecil, langsing, cerah, berwarna kulit coklat tua dan bermata tajam, kritis, tegas penuh dengan
kharisma dan percaya diri yang tinggi, Dr. Ibnu Sutowo.

Senyuman yang saya harapkan pada pertemuan pertama ini, tidak muncul. Tetapi tegurannya yang tegas
dan jelas mencerminkan jiwa seorang pejuang dan pemimpin. Kata yang diucapkannya pertama kali
sebagai berikut: ”Mengapa saudara masih berada di rantau sementara saudara-saudaramu membanting
tulang untuk membangun bangsanya. Saudara ikut membangun bangsa lain. Saudara harus malu dan
segera ikut bergabung dengan saudara-saudaramu menempa masa depan yang lebih baik bagi Indonesia
yang kita cintai!!!” Kata-kata itu menyentuh hati saya dan memberi resonansi dengan amplitude yang
besar dan sangat dalam berdampak ke perasaan saya. Saya tidak mampu bereaksi dan berontak karena
perasaan malu menyelimuti jiwa saya akibat kata-kata yang menusuk, pedas tetapi tepat sekali. Tidak
sepatah katapun saya ucapkan. Mungkin perasaan dan reaksi tercermin pada kedua mata saya, sehingga
Pak Ibnu Sutowo merubah sikapnya dan mempersilakan saya untuk masuk ke kamar duduk yang besar.
Sambil menjelaskan program dan proyek yang sedang dilaksanakan di Indonesia, Pak Ibnu berkata lagi.
„Saya ini seorang berpendidikan ilmu kedokteran yang harus memimpin program pembangunan yang
dibiayai oleh perusahaan perminyakan Pertamina. Saudara Habibie berpendidikan ilmu rekayasa yang
mampu mengembangkan dan menerapkan teknologi. Jikalau saya bandingkan dengan diri saya dan Pak
Harto, seharusnya saudara lebih mampu mengerti semua ini. Oleh karena itu Dr. Habibie harus segera
pulang ke Jakarta.” Saya sampaikan bahwa sebagai salah satu anggota pimpinan teras perusahaan
Jerman, yang ditugasi untuk mengembangkan dan menerapkan teknologi, tidak mungkin saya tinggalkan
pekerjaan begitu saja karena semuanya diatur dalam kontrak kerja saya yang baru saja saya
tandatangani. Berhubungan pula dengan jabatan tambahan saya sebagai Direktur Pengembangan dan
Penerapan Teknologi. Kontrak kerja saya berlaku lima tahun, berarti sampai tahun 1978. Saya harus
bicarakan dengan isteri saya Ainun dan Direktur Utama perusahaan Messerschmidt Bölkow Blohm
(MBB). Tentunya semua itu ada penyelesaiannya. Yang penting adalah itikad niat dan political will.
Semuanya itu ada dan saya sependapat dengan Bapak, sependapat dengan para tokoh Indonesia di
manapun mereka berada. Bahwa akan sampai waktunya, generasi saya harus berada di ujung tombak
perjuangan, mengambil alih dari generasi sebelumnya. Dan kelak meneruskan dengan selamat ke
generasi mendatang dan seterusnya. Memang demikian siklus kesinambungan perjuangan akan berjalan.
Demikian kurang lebih jawaban saya kepada Pak Ibnu Sutowo. Setelah mendengar reaksi saya, Pak Ibnu
melangkah ke telepon mempersilakan BapakAchmad Tirtosudiro dan Bapak Dr. Erich Sanger bergabung
dengan kami. Sementara Pak Ibnu berada di kamar tidur untuk mengenakan pakaian resmi dan Pak
Achmad Tirtosudiro bersama Dr. Erich Sanger belum tiba di ruang tamu. Saya berusaha mencernakan
semua masukan yang saya peroleh dari diskusi dan ucapan Pak Ibnu kepada saya yang berlangsung
selama kurang lebih satu jam. Ketika kami semua lengkap berada di ruang tamu, Pak Ibnu Sutowo selesai
berpakaian dan memberi petunjuk kepada Dr. Erich Sanger sebagai berikut: „Segera mengangkat Dr.
Habibie sebagai penasehat Direktur Utama perusahaan Pertamina Dalam waktu sesingkat-singkatnya Dr.
Habibie harus pulang ke Indonesia. Pesan lainnya akan saya berikan di Jakarta. Saya mohon Duta Besar di
Bonn, Saudara Achmad Tirtosudiro ikut membantu pelaksanaan petunjuk saya kepada Dr. Erich Sanger”.
Pendapat pribadi saya samasekali tidak ditanya dan penjelasan saya sebelumnya tidak ditanggapi pula.
Lalu Pak Ibnu Sutowo melihat jam yang sudah mendekati pukul 09.45 pagi dan sambil mengulurkan
tangan kepada saya dengan ucapan sampai bertemu di Jakarta, beliau menuju ke lift yang sudah
dipersiapkan untuknya. Pak Ibnu akan menuju ke acara selanjutnya, pertemuan dengan Kanselir Willy
Brandt di Bonn, tepat sesuai jadwal yang telah ditentukan. Demikian pengalaman pertama saya dengan
tokoh nasional Dr. Ibnu Sutowo.

Menjadi Tamu Ibnu Sutowo

SETELAH Bapak Dr. Ibnu Sutowo beserta rombongan meninggalkan hotel dikawal oleh polisi Jerman
dalam protokoler resmi, saya segera kembali ke kamar menelpon Ainun untuk menceritakan pengalaman
dan kesan pertemuan pertama saya dengan tokoh kharismatik Dr. Ibnu Sutowo. Pertanyaan Ainun
melalui telepon hanya singkat. „Bagaimana dengan rumah di Kakerbeck yang sebentar lagi selesai
dibangun? Bagaimana dengan masa depan Ilham yang baru berusia 10 tahun dan Thareq 7 Tahun?
Banyak pertanyaan yang timbul dan harus dijawab”. Saya hanya menjawab: ”Kita bicarakan nanti dan
memang sudah wajar dan sampai waktunya kita bersama bangsa Indonesia berbakti mengisi
kemerdekaan dengan karya-karya nyata. Ini sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Bapak Mashuri Saleh SH yang menandatangani SK tersebut di kantor saya di HFB
Hamburg pada bulan September 1966. Pada pertemuan saya dengan Presiden Soeharto bulan
September 1970 juga dinyatakan bahwa saya harus pulang jikalau diperlukan. Sekarang Dr. Ibnu Sutowo
datang dan mengambil keputusan sesuai dengan jiwa Pak Mashuri, Pak Harto, Ainun dan saya. Ini
semuanya fakta dan sesuai kehendak Allah SWT semuanya akan terjadi.” Setiba di Hamburg, saya
langsung naik bus ke rumah. Setelah makan malam bersama keluarga, serta mengucapkan selamat tidur
kepada Ilham dan Thareq, kami berdua, sampai jauh malam mendiskusikan tindaklanjut akibat masukan
yang kami peroleh pada pertemuan dengan Dr. Ibnu Sutowo tadi pagi di Dtiseldorf. Akhirnya kami
sepakat, karena pekerjaan menumpuk, bulan Januari tahun depan, saya berangkat hanya satu minggu ke
Jakarta, Ainun bersama Ilham dan Thareq tetap tinggal di Hamburg. Ketika pada tanggal 25 Januari 1974,
saya memasuki Pesawat Lufthansa Boeing 747 di Frankfurt menuju Jakarta lewat Singapura, saya sadar
bahwa hanya 10 hari yang lalu, tanggal 15 Januari peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan
sosial „Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari” baru saja terjadi di Jakarta. Panglima Kopkamtib,
Jenderal Soemitro sementara diganti oleh Jenderal Soeharto Presiden Republik Indonesia, jabatan
Asisten Pribadi Presiden dibubarkan sedangkan Kepala Bakin diganti pula. Sejak hari Selasa tanggal 15
Januari orang dilarang berada di jalan antara pukul 18.00 sampai pukul 06.00 pagi, mencerminkan
keadaan masih belum menentu.

Dengan hati sedikit berdebar, saya tiba di Lapangan Terbang Kemayoran Jakarta pada hari Sabtu tanggal
26 Januari 1974 pukul 19.00. Ibu kandung saya Tuti Marini Habibie bersama mertua saya Ibu Sadarmi
Besari dan Bapak R. Mohamad Besari, didampingi oleh seluruh keluarga lengkap hadir menjemput saya.
Mereka sudah memperoleh sedikit informasi mengenai kedatangan saya di Jakarta dan menyampaikan
Senin tanggal 28 Bapak Dr. Ibnu Sutowo berkenan menerima pukul 10.00 di Jalan Perwira, Kantor
Pertamina Pusat. Setelah mendengar laporan mengenai keadaan keluarga di Hamburg dan melihat foto
Ainun, Ilham dan Thareq, semua ingin mengetahui alasan saya ke Jakarta. Mengapa tanpa keluarga?
Berapa lamanya tinggal di Jakarta? Semua pertanyaan dapat saya jawab kecuali mengenai alasan
kedatangan di Jakarta, tidak dapat saya berikan. Tunggu saja nanti setelah saya bertemu dengan Pak Ibnu
Sutowo. Kantor Direktur Utama Pertamina di Jalan Perwira itu adalah ”rumah kecil „ yang loerlantai dua.
Di lantai pertama yang setara dengan tanah atau dalam bahasa Inggris ground floor adalah ruang tamu,
ruang rapat dan kantor Dr.Erich Sanger. Naik ke lantai pertama, harus melalui sebuah tangga dan
setibanya di lantai pertama, ke kanan memasuki ruang kerja Penasehat Direktur Utama Pertamina Bapak
Haji Taher dan kekiri barulah terdapat ruang kerja Direktur Utama Bapak Dr. Ibnu Sutowo. Diantara
kedua ruang kerja tersebut terdapat sekretariat Bapak Dr. Ibnu Sutowo dan Bapak Haji Taher yang
dipimpin oleh seorang muda bernama Sdr. Roy. Setelah mencatatkan nama, saya dipersilakan masuk ke
ruang tunggu yang letaknya berhadapan dengan Sekretariat Bapak Ibnu Sutowo. Ternyata ruang tamu
tersebut sudah penuh dengan tamu luar negeri, mereka datang dari Amerika, Inggris dan Jepang. Saya
satu-satunya orang Indonesia. Ketika sedang membaca majalah yang tersedia di ruang tamu tersebut,
Dr.Erich Sanger membuka pintu dan mengajak menunggu di ruang kerjanya, sambil memberikan
masukan mengenai peran dan tugas Pertamina dalam pembangunan di Indonesia. Pertamakalinya saya
mendapat gambaran secara makro, mengenai peran Pertamina dan untuk lebih rinci Dr.Erich Sanger
mempersiapkan setumpuk buku dan majalah yang menurutnya harus dibaca. ”Mengenal Rudy, saya
yakin hanya beberapa jam saja yang dibutuhkan untuk membaca, memahami dan memberi pendapat
mengenai semua informasi yang dibaca. Kapan Rudy kembali ke Hamburg?” ucap Dr. Erich Sanger.

”Saya harus kembali ke Hamburg hari Jumat tanggal 1 Februari, karena hari Senin tanggal 4 Februari
mulai melaksanakan tugas baru sebagai Direktur Penerapan dan Pengembangan Teknologi Canggih
Perusahaan MBB ”, demikian jawaban saya. Ibu Rurut Sekretaris Dr. Erich Sanger memasuki ruangan dan
menyatakan Dr. Ibnu Sutowo berkenan menerima saya sekarang. Saya langsung pamit dan menuju ke
ruang kerja Bapak Ibnu Sutowo. Setibanya di lantai pertama, Sdr. Roy kepala Sekretariat Pak Ibnu, sudah
menunggu dan persilakan saya masuk ke ruang kerja Dr. Ibnu Sutowo. Saya memasuki ruang kerja yang
besar dan indah dan berhadapan dengan Pak Ibnu yang ramah dan memberi senyuman yang
menenangkan. Berbeda sama sekali dengan pertemuan pertama kami, di depan pintu Presidential Suite
Hotel Hilton Düsseldorf”, 47 hari yang lalu. Sambil senyum beliau memberi salam kepada saya dengan
mengatakan. ”Selamat datang di Indonesia, tugas saya selesai. Dr. Habibie nanti malam pukul 19.30 akan
diterima Presiden Soeharto di kediamannya di Jalan Cendana nomor 8. Dari Presiden Soeharto Dr.
Habibie akan mendapat masukan selanjutnya. „Silakan minum.” Beliau menawarkan minuman teh yang
telah disediakan di meja. Pertemuan kami hanya berlangsung 20 menit saja dan setelah saya memberi
informasi seperti yang saya telah sampaikan kepada Dr.Erich Sanger, saya mohon diri.

28 Januari 1974 di Jalan Cendana 8

SEKITAR pukul 19.00 saya sudah berada di Jalan Cendana 8, di sana saya dipersilakan masuk ke kamar
tunggu para tamu yang dijadwalkan akan diterima Presiden Soeharto. Saya dipersilakan mengisi buku
tamu dan di meja terhidang minuman teh panas. Dihati kecil saya bertanya: „Apakah pertemuan nanti
dengan Presiden Soeharto akan berlangsung seperti dengan Pak Ibnu Sutowo 47 hari yang lalu di
Düsseldorf? Apa yang beliau akan sampaikan kepada saya? Bagaimana wajah beliau? Apakah masih
seperti dahulu, penuh senyuman, rendah hati, pendiam dan pemalu?” Sementara itu masuk ke ruang
tamu seorang perwira menengah Kolonel Angkatan Darat yang berpenampilan sopan, rapi,
menyenangkan dengan wajah yang cerah memperkenalkan diri sebagai Ajudan Presiden. ”Selamat
malam Pak Habibie. Tunggu sebentar, akan saya cek dahulu apakah Bapak Presiden sudah ada di ruang
kerja”. Sambil saya melihat aquarium dengan ikan langka yang kecil beraneka warna dan indah di ruang
tunggu tersebut, perwira muda sekitar usia saya yang tadinya memperkenalkan diri dan selanjutnya
keluar lagi, kembali ke ruang tunggu tamu dan sambil membuka pintu mempersilakan saya masuk ke
ruang kerja Pak Harto melalui ruang tamu yang besar dan indah.

Saya berhadapan dengan Presiden Republik Indonesia kedua kalinya dan pertama kalinya di bumi
Indonesia tepat pukul 19.30 WIB hari Senin tanggal 28 Januari 1974 di Jalan Cendana 8, Jakarta. Pak
Harto berpakaian rapi berdiri di hadapan saya mengulurkan tangan dengan senyuman yang simpatik dan
menenangkan sambil berkata: ”Selamat datang kembali di Tanah Airmu, kapan tiba di Jakarta? Apa kabar
dengan Tante (yang dimaksud Ibu Kandung saya dan bagaimana keadaan keluargamu? Berapa lama Dr.
Habibie merencanakan akan berada di Jakarta? Silakan duduk!”

Ruang kerja Pak Harto biasa saja, tidak istimewa untuk seorang Presiden tetapi memberi kesan
sederhana, rapi, bersih dan buku-buku, bahan dokumen, tas dsb. semua diatur letaknya di tempatnya
masing-masing. Setelah saya menjawab semua pertanyaan dan menjelaskan hasil pertemuan tadi pagi
dengan Pak Ibnu Sutowo saya memberanikan diri untuk bertanya: „Apa yang Pak Harto mau sampaikan
kepada saya?” Sambil mempersilakan meminum teh, beliau menjelaskan sebagai berikut: „Kita harus
pandai belajar dari keberhasilan bangsa lain. Lihat Jepang suatu bangsa yang sudah maju, walaupun
tidak memiliki kekayaan alam yang dibutuhkan, terus berkembang. Lihat tetangga kita Singapura, tidak
memiliki sumber daya alam pula, bahkan air minum saja harus diimpor tetapi proses kesejahteraan terus
berkembang dan maju. Semuanya mengandalkan pada potensi sumber daya manusia yang terampil.
Apakah Jepang atau Singapura, sama saja! Bagaimana dengan Indonesia. Sumber Daya Alam Indonesia
jikalau dibandingkan dengan Jepang dan Singapura berlimpah. Apakah kita harus terus mengandalkan
pada Sumber Daya Alam? Berapa lamanya? Suatu ketika semuanya akan habis? Lalu bagaimana
selanjutnya?” Pertanyaan-pertanyaan beliau semua saya catat di buku catatan tebal yang berwarna biru
abu-abu. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa saya selalu membawa buku catatan yang sudah
berjilid-jilid jumlahnya. Itu sudah menjadi kebiasaan sejak bekerja di Institut Konstruksi Ringan di
Aachen, selanjutnya di Industri Dirgantara HFB dan MBB. Alasannya jikalau terjadi sesuatu, maka yang
akan meneruskan pekerjaan saya, tidak perlu menerka atau kehilangan akal untuk melanjutkan tugas
saya. Pak Harto melihat dan memperhatikan perilaku saya yang mencatat dengan beberapa warna biru,
merah, hijau dan hitam. Langsung beliau bertanya. ”Bagaimana pendapat DrHabibie!” Sambil melihat
mata beliau yang mencerminkan kecerdasan, inteligensia, kritis dan ingin tahu, saya menjawab:
„Memang di negara maju manapun termasuk yang memiliki Sumber Daya Alam, adalah sumber daya
manusia yang terampil dan terbarukan itulah yang selalu diandalkan. Terbarukan berarti tidak akan
habis. Oleh karena itu pengembangan sistem pendidikan, pangan, air minum, gizi, kesehatan,
perumahan dan lapangan pekerjaan harus mendapat perhatian utama dan merata.”

„Maksudmu apa? Itu semua sudah saya laksanakan dan memberi perhatian utama yang cukup besar.
Pola saya adalah:

1. Pertumbuhan Ekonomi

2. Pemerataan

3. Stabilitas
Ini saya namakan Trilogi Pembangunan dan adalah valissimair dasar dan penggerak utama
pembangunan sesuai amanat rakyat yang ditetapkan pada Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat( MPR) dan tiap lima tahun kita perbarui. Apalagi yang harus saya laksanakan.
Semuanya cukup jelas? ucap Pak Harto dengan tenang dan meyakinkan. ”Nampaknya belum
mencukupi. Jikalau kita bermaksud duduk setara dengan negara maju, maka laju pembangunan harus
terus ditingkatkan dan tentunya konsisten memanfaatkan Trilogi Pembangunan sebagai sasaran.
Lapangan kerja di industri pertanian dan industri pertambangan tidak mampu menyediakan yang kita
butuhkan, walaupun program Keluarga Berencana Bapak berjalan lancar. Pak Harto melihat wajah saya
lalu bertanya: ”Selanjutnya bagaimana menurut Dr. Habibie?” ”Kita harus mengembangkan industri
manufaktur dari tekstil sampai apa saja yang memiliki pasar domestik nasional dan domestik regional
dan kelak pasar internasional. Misalnya alat transportasi, semua produk yang dibutuhkan untuk
mengembangkan prasarana ekonomi dsb. termasuk yang harus memanfaatkan teknologi secanggih
apapun!”, demikian jawaban saya. Tiba-tiba mata Pak Harto membesar dan cerah dan sambil tersenyum
mengatakan: ”Oleh karena itu, saya tugaskan Dr. Ibnu Sutowo memanggil Dr.Habibie untuk bertemu
dengan saya. Saya minta agar Dr. Habibie kembali ke Tanah Air dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk
bersama kita semuanya mempersiapkan bangsa Indonesia tinggal landas memasuki abad yang akan
datang dua puluh lima tahun lagi.” Saya kaget dan tidak pernah terpikir bahwa kata-kata demikian
diucapkan oleh seorang Presiden Republik Indonesia. Wajah saya tercengang dan mata saya membesar
pula dan menjawab dengan bulu roma saya berdiri dan jantung yang berdebar: ”Mengapa saya Pak. Saya
hanya seorang ahli konstruksi pesawat terbang. Masih banyak orang yang lebih pantas dan lebih pintar
dari saya untuk diberi tugas yang maha besar dan mulia itu?”

Sambil meletakkan setumpuk surat dan laporan di atas meja, Pak Harto mengatakan: ”Ini semua
informasi mengenai Dr.Habibie. Lengkap mengenai pekerjaannmu, kehidupanmu dan perjuanganmu di
rantau. Jikalau Dr. Habibie dapat memimpin orang Jerman mengembangkan teknologi untuk membuat
pesawat terbang, maka saya yakin Dr.Habibie mampu memimpin Bangsa Indonesia membuat apa saja
dan dapat menyediakan lapangan kerja yang sangat kita butuhkan. Dengan demikian kualitas Trilogi
Pembangunan terjamin dapat terus ditingkatkan dan berkesinambungan” „Pak Harto, saya hanya dapat
membuat pesawat terbang dan pengalaman saya hanya itu saja”. Demikian ucapan saya ulangi lagi.
”Silakan Dr. Habibie membu at pesawat terbang yang berguna untuk pengangkutan militer dan sipil. Jika
ini dapat dilaksanakan maka sekaligus dapat meningkatkan percaya diri anak cucu kita bahwa mereka
mampu mengembangkan, menerapkan dan mengendalikan teknologi secanggih apapun, seperti bangsa-
bangsa lain yang sudah maju. Silakan membuat pesawat terbangmu bersama para putra putri Indonesia
yang Dr.Habibie pimpin dan bina. ” „Untuk dapat melaksanakan itu, saya harus mengembangkan
prasarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), mendidik sumber daya manusia yang berbakat dan
mampu mengerti Iptek dan masih harus bekerjasama dengan mitra luar negeri yang berpengalaman.
Semuanya harus demikian untuk menekan risiko. Namun dari semula pekerjaan, baik dalam rekayasa
maupun produksi, harus dibagi seimbang dalam US dollar antara tiap mitra sama. Oleh karena harga jasa
SDM di Indonesia lebih rendah dari harga SDM Mitra di negara maju, maka kemungkinan besar jumlah
pekerjaan rekayasa dan pembuatan komponen di Indonesia lebih banyak, berarti lapangan kerja akan
lebih banyak pula. Untuk dapat melaksanakan itu semua, dibutuhkan waktu dan dana yang cukup besar.
Dari mana uangnya Pak?” Dengan wajah yang sangat serius Pak Harto berkata: „Insya Allah dari
pendapatan gas dan minyakbumi. Serahkan kepada saya saja.” Saya diam sejenak dan membutuhkan
waktu untuk dapat mencernakan petunjuk Presiden Republik Indonesia. Sementara itu Pak Harto
memperhatikan wajah dan pernafasan saya untuk selanjutnya bertanya: ”Kapan saya dapat melihat dan
menyaksikan terbang perdana pesawat terbang rekayasa putra-putri Indonesia?” Secara spontan saya
menjawab: ”Insya Allah sepuluh tahun lagi tanggal 28 Januari 1984 di ruang yang sama ini, akan saya
sampaikan undangan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk menyaksikan terbang perdana
pesawat rekayasa Bangsa Indonesia.” Setelah mendengar ucapan saya, Pak Harto melanjutkan: ”Jikalau
nanti proses rekayasa dan pembuatan Pesawat Terbang mulai berjalan, saya harapkan Dr.Habibie
melanjutkan penguasaan pembuatan produk-produk lainnya yang memiliki pasar dalam negeri, ASEAN
dan internasional! Semuanya ini akan menciptakan lapangan kerja yang kebutuhannya terus meningkat.
” ”Untuk dapat melaksanakan itu semua dibutuhkan penguasaan Iptek dan kemampuan
pengembangannya yang berorientasi produk yang dikehendaki. Kita sementara harus menghindari
investasi dalam bidang ilmu dasar yang tidak dibutuhkan untuk produksi. Pengembangannya kita
serahkan kepada negara-negara yang sudah maju yang tentunya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Memang demikian berlaku khusus untuk ilmu dasar yang dikembangkan oleh umat manusia di mana
saja. Hanya cara demikian dapat terus meningkatkan kualitas kehidupan dan kualitas peradaban di dunia.
Peran aktif swasta harus terus ditingkatkan. Sementara ini hampir semua pengembangan Iptek
dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN. Pada suatu ketika sebagian besar pengembangan
Iptek untuk produksi, dapat dibiayai dan dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Swasta dan Pemerintah
membiayai pengembangan dan penguasaan Iptek untuk produk masa depan dan ilmu dasar saja. Untuk
dapat melaksanakan itu semua dibutuhkan waktu, biaya, kesinambungan dan kesabaran yang besar dan
lama,” lanjut saya. ”Serahkan kepada saya. Semua itu adalah tugas dan kewajiban saya untuk
mendapatkan pengertian dari rakyat dan semuanya akhirnya dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.
Rakyat mau berkorban asal jelas pengorbanannya untuk masa depan anak cucu mereka yang lebih baik.
Rakyat itu tidak neko neko yang susah diatur adalah pimpinannya para politikus.”, demikian ucapan Pak
Harto sambil melanjutkan penjelasannya: ”Dana yang kita butuhkan untuk melaksanakan semua ini
dapat kita peroleh dari sumber daya alam pada umumnya dan khususnya dari hasil penjualan minyak
dan gas bumi (migas) kita. Oleh karena itu, saya tugaskan Pak Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama
Pertamina untuk memulangkan Dr.Habibie ke Tanah Air.”, sambil mempersilakan saya minum teh yang
sudah dingin. Setelah mendengar dan mencatat penjelasan Pak Harto saya menyampaikan: ”Selain
pusat-pusat penelitian yang sudah kita miliki, perlu segera dibentuk dan dikembangkan Pusat Penelitian
Ilmu dan Teknologi atau disingkat Puspiptek di sekitar Jakarta untuk menampung penelitian dalam
bidang Iptek yang menunjang pengembangan produk baru untuk BUMN dan BUMS. Pada perbatasan
antara Jakarta dan Jawa Barat terdapat tanah sekitar 4.000.000 m2 milik Badan Tenaga Atom atau
BATAN, di mana telah dimulai pembangunan fasilitas nuklir dengan bantuan Rusia pada zaman
kepemimpinan Presiden Soekarno. Saya sarankan lokasi Puspiptek dapat memanfaatkan daerah
tersebut, namanya Serpong”, demikian saya menjelaskan.

Sambil memperhatikan saya menulis catatan, Pak Harto melanjutkan sbb: ”Untuk merencanakan dan
melaksanakan pembangunan, kita banyak sekali memanfaatkan jasa dari konsultan nasional maupun
konsultan manca negara. Masalahnya selain biayanya tinggi, mereka tidak dapat dituntut jikalau pada
pelaksanaannya ada kesalahan. Namun jikalau proyek yang mereka sarankan berjalan dengan baik, maka
konsultan tersebut yang mendapat kreditibilitasnya. Bagaimana menghadapi masalah demikian? Apa
saran Dr.Habibie? ” ”Kita sudah memiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas
yang terus berkembang dan berfungsi dengan baik. Pelaksanaan rencana pembangunan tersebut
diserahkan kepada Departemen atau Lembaga yang bersangkutan yang sebelumnya telah mengusulkan
proyek mereka. Di Bappenas proyek-proyek tersebut terus dicek dan dikaji prioritas dan kelayakannya,
berdasarkan kriteria yang ditentukan. Jikalau Bappenas menilai proyek tersebut kelayakannya secara
makro, maka untuk menekan risiko menjadi sekecil mungkin dengan biaya serendah mungkin, sehingga
proyek dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal dan berkualitas setinggi mungkin, maka Departemen
yang bersangkutan memanfaatkan konsultan untuk melaksanakan penilaian secara mikro. Penilaian
mikro, tidak dapat dipisahkan dari penilaian kelayakan teknologi. Oleh karena itu kita harus kembangkan
”mitra” Bappenas yang memiliki fasilitas dan kemampuan untuk menilai semua program dan rencana
pembangunan dari sudut kelayakan mikro atau kelayakan teknologi. Mitra Bappenas ini dapat diberi
nama Badan Pengkajian dan Penerrapan Teknologi atau BPPT. Namun demikian, kita selalu akan
memanfaatkan konsultan, tetapi minimal”

Memperhatikan jam yang sudah mendekati pukul 22.00, tanpa disadari pertemuan pertama ini
berlangsung lancar dan akrab seperti pertemuan antara adik dan kakak, anak dan bapak, ilmuwan dan
Presiden yang bersahabat, saya menyampaikan: ”Pak Harto dapatkah saya membaca catatan kesimpulan
hasil pertemuan malam ini

• Bapak Presiden menugaskan saya untuk mempersiapkan prasarana Iptek dan SDM yang
memungkinkan Indonesia merekayasa dan membuat Pesawat terbang baik militer maupun sipil.

• Bapak Presiden menugaskan saya untuk membangun Pusat Penelitian Ilmu dan Teknologi ( Puspiptek)
di wilayah Serpong, Jawa Barat di Serpong tempat lahan seluas 4.000.000 m2, milik Badan Tenaga Atom
atau Batan.

• Sebagai Mitra Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bappenas, bapak menugaskan saya untuk
dalam waktu sesingkat-singkatnya mempersiapkan berdirinya Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT”.

Pak Harto memperhatikan kesimpulan yang baru saja saya bacakan tanpa mengoreksi catatan saya itu
beliau menyampaikan sebagai berikut: ”Laksanakan tugasmu sebaik-baiknya dengan memperhatikan:

1. Kepentingan Rakyat harus didahulukan dan diletakkan di atas semua kepentingan siapapun! Termasuk
kepentingan pribadi, kepentingan keluarga siapa saja, kepentingan golongan dan kepentingan organisasi.

2. Jangan sekali-kali mengambil tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu revolusi. Rakyat
tidak dapat mengatasi suatu Revolusi lagi. Rakyat itu sederhana dan hanya menghendaki kehidupan yang
tentram dan berbudaya. Yang neko-neko dan sulit diatur itu adalah mereka yang menamakan dirinya
pimpinan.

3. Apa saja yang Dr.Habibie anggap harus dilaksanakan, dengan memperhatikan kedua persyaratan di
atas, Insya Allah jika Allah S.W.T. menghendaki, akan selalu saya amankan.
4. Dr.Habibie saya tugaskan untuk merubah dari ketergantungan pada sumber daya alam (SDA) menjadi
andalan pada sumber daya manusia (SDM). Saya akan memasyarakatkan dan mengamankan
terlaksananya perubahan tersebut dan pendanaannya dari pendapatan SDA, dengan mendapatkan
pengertian dari rakyat.

5. Saya akan menjadikan Dr. Habibie sebagai Penasehat Pemerintah RI. yang bertanggungjawab kepada
Presi den dalam bidang Teknologi Dirgantara dan Advance Teknologi.

6. Sementara Pemerintah belum memiliki anggaran untuk ini, maka saya telah tugaskan Direktur Utama
Pertamina untuk menyediakan anggaran yang dibutuhkan dengan mendirikan suatu Divisi Teknologi
Dirgantara dan Advance Teknologi yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama Pertamina.

7. Dr. Habibie saya minta menjadi Penasehat Utama Dr.Ibnu Sutowo.

8. Selamat bergabung dan berkarya, semoga Allah SWT selalu melindungi kita semua dalam
melaksanakan tugas masing-masing.

Setelah menyampaikan butir-butir tersebut, Pak Harto bersikap rileks dan santai, seakan-akan
melepaskan beban kepada generasi yang akan datang. Sambil meminum teh yang sudah dingin
walaupun sudah diisi beberapa kali, beliau mengatakan: ”Nanti, Insya Allah jikalau semuanya dapat
terlaksana sesuai rencana dan jadwal, maka bukan saja ”percaya diri” seluruh bangsa akan meningkat,
namun yang tidak kalah penting semua pendapat dan teori yang menyatakan ajaran Agama Islam adalah
salah satu penghambat kemajuan suatu bangsa, karena 90% dari umat Islam masih hidup di bawah garis
kemiskinan. Ini akan merubah citra tersebut ”

”Mengapa Pak?” pertanyaan saya serentak. ”Perhatikan saja namamu Bacharuddin Jusuf Habibie.
Perhatikan saja perilakumu. Perhatikan saja cara Dr.Habibie berpikir dan bertindak. Semuanya
bernafaskan ajaran Islam, walaupun Dr.Habibie hidup di lingkungan umat yang lain di Eropa, di Jerman!”
Jam menunjukkan hampir pukul 23.00 larut malam, tanpa dirasakan pertemuan tersebut sudah
berlangsung hampir 5 jam. Setelah menanyakan kapan saya ke Jerman dan kapan datang lagi, saya
jelaskan bahwa karena pekerjaan saya banyak dan menumpuk, kemungkinan baru sekitar bulan
Maret/April yang bersamaan dengan liburan sekolah anak saya, Insyah Allah akan saya datang lagi
bersama keluarga dan saya berusaha tinggal 3 minggu, sehingga rencana implementasi hasil
pembicaraan tadi sudah dapat lebih rinci dikembangkan. Sambil memberikan salam untuk Ibu Tien
Soeharto dan berjabatan tangan dengan Pak Harto, perwira tinggi muda membuka pintu dan membawa
saya ke ruang tunggu tamu. Hampir pukul setengah dua belas malam saya, meninggalkan kediaman
Presiden Republik Indonesia Jenderal Soeharto. Sekitar pukul 09.00 pagi hari Sabtu tanggal 2 Februari

1974, saya tiba di Bandar Udara Hamburg. Hari mulai terang, masih ada salju di atas pohon, rumah dan
jalan, sedangkan cuaca masih mendung dan dingin. Ainun, bersama Ilham dan Thareq, sudah berada di
ruang tunggu dan sabar menunggu kedatangan saya. Ketika saya keluar mendorong kereta barang penuh
dengan titipan dan pesanan yang saya harus bawa dari Jakarta, mereka langsung memeluk saya.
Walaupun hanya seminggu berpisah dengan keluarga, rasanya lama juga. ”Apa kabar? Semua sehat?
Bagaimana sekolah Ilham dan Thareq? Beres?”, demikian ucapan saya sambil memeluk mereka semua.
”Semua pesanan dan titipan saya bawa. Namun sedikit overweight tetapi tidak perlu bayar. Apakah di
luar dingin?”

Sekolah anak-anak semua beres. Mereka sehat. Di luar memang masih dingin dan banyak salju dan
jalanan di beberapa tempat licin ucap Ainun sambil membantu mendorong kereta barang keluar, ke
tempat parkir mobil Bandara Hamburg. Setelah semua barang dan koper masuk dalam ruang bagasi,
Ilham dan Thareq mengambil tempatnya masing-masing, Ainun segera mengemudi mobilnya ke rumah
kami.

Mendapat Restu Dr. Ludwig Bölkow

SETELAH tiba di rumah dan semua pesanan dan titipan dicek, saya menjawab semua pertanyaan Ainun
mengenai keadaan keluarga besar Habibie dan Besari. Saya menjelaskan pula hasil pertemuan saya
dengan Pak Ibnu Sutowo dan Pak Harto.

”Bagaimana tindak lanjutnya sekarang? Kapan kita harus pulang? Bagaimana dengan sekolah Ilham dan
Thareq?” bertanya Ainun. Pertanyaan Ainun saya jawab sebagai berikut:

Pertama, ”Saya bermaksud menyampaikan hasil pembicaraan dengan Presiden Soeharto kepada Direktur
Utama MBB Dr. Ludwig Bölkow pada pertemuan saya minggu depan dengan beliau. Saya harus
berkonsultasi dengan Dr. Ludwig Bölkow, karena baru saja saya diberi kepercayaan untuk mengkoordinir
pengembangan Iptek untuk seluruh perusahaan MBB, baik divisi pesawat transpor militer maupun sipil,
di samping tugas sebelumnya, yaitu mengkoordinir bidang yang sama di Hamburg, Saya terikat pada
kontrak kerja yang sudah saya tanda tangani sebelum pertemuan saya dengan Presiden Soeharto terjadi.
Saya harus mengetahui reaksi Direktur Utama MBB dulu.”

Kedua, ”Saya sangat menyadari bahwa melaksanakan permintaan Presiden Republik Indonesia, yang
disampaikan pada hari Senin malam lima hari sebelumnya di rumah pribadi beliau jalan Cendana 8,
sedapat mungkin harus saya penuhi. Bukankah ini merupakan kesempatan dan tantangan yang indah
untuk ikut berperan aktif merealisasikan cita-cita bangsa? Saya tidak dibenarkan untuk tidak
memanfaatkan ajakan Pak Harto sebagai Presiden Republik Indonesia. Dilain pihak, bagaimana reaksi
para pakar Indonesia di dalam maupun luar negeri nanti? Dapatkah mereka menerima saya sebagai
pimpinan mereka? Adalah wajar dan manusiawi jikalau saya mendapat rintangan dan tantangan bahkan
mungkin ejekan dari mereka yang tidak mengenal saya, bahkan mereka yang lebih senior dan lebih
berpengalaman, tidak harus begitu saja menerima keputusan Presiden. Bukankah keputusan yang
didasarkan hanya pada pertimbangan seorang Presiden saja, merupakan kebijaksanaan yang otoriter dan
tidak demokratis? Semuanya ini berlawanan dan tidak sesuai dengan perilaku dan sifat saya sendiri, yang
telah ditempa dan berkembang dalam lingkungan yang intelektual, bebas dan demokratis.” Ketiga, ”Oleh
karena itu saya berencana akan mengundang para pakar Indonesia yang bekerja dalam perusahaan di
Bremen, Berlin dan Hamburg untuk mengajak mereka ikut berperan serta menjawab tantangan dan
ajakan Presiden Republik Indonesia. Dari reaksi mereka dapat diperoleh gambaran mengenai
kemungkinan reaksi para pakar lain di Indonesia. Bukankah pakar di manapun ia berada, memiliki sifat
yang sama yakni seorang intelektual yang rasional? Untuk itu, saya akan menghubungi Konsul Jenderal RI
di Hamburg, untuk dapat memanfaatkan salah satu ruangan di Konsulat Jenderal RI di Hamburg”
Keempat, ”Setelah pertemuan dengan Dr. Ludwig Bölkow dan pertemuan dengan para pakar dari Berlin,
Bremen dan Hamburg, barulah saya akan bertemu dengan Duta Besar RI, Bapak Achmad Tirtosudiro.”

Setelah mendengarkan penjelasan saya, Ainun terus bertanya: „Bagaimana nasib kita anak dan isterimu?
Apa yang harus kami laksanakan?” Saya jawab : Saya sudah berjanji pada Presiden bahwa sekitar liburan
Paskah nanti saya bersama keluarga akan kembali ke Jakarta untuk 3 minggu lamanya. Sekaligus
bersilaturahmi dengan keluarga besar Habibie dan Besari”. Hal itu dimaksudkan pula agar Ilham dan
Thareq lebih dapat mengenal Indonesia, dan Ainun dapat bertemu dengan kawan-kawan lama.

”Kapan liburan Paskah bagi sekolah di Hamburg dimulai?” tanya saya. „Hari Senin tanggal 11 Maret
liburan Paskah sekolah dimulai dan berakhir pada Hari Sabtu tanggal 30 Maret yang akan datang.” Ucap
Ainun sambil melihat wajah Ilham dan Thareq. „Kalau demikian, kita Insyah Allah akan berangkat hari
Jumat pada tanggal 8 Maret 1974 dan kembali ke Hamburg hari Sabtu 30 Maret. Ilham dan Thareq dapat
masuk sekolah sesuai jadwal pada hari Senin 1 April. Baiklah kita persiapkan semuanya sesuai jadwal
tersebut. Saya akan mengatur pekerjaan di kantor sesuai jadwal tersebut pula”. ”Dapat diperkirakan
selama tiga minggu di Indonesia nanti saya akan memperoleh masukan baru, sehingga rencana
implementasi permintaan Pak Harto akan menjadi lebih konkrit lagi”, demikian ucapan saya sambil
mengajak Ainun, Ilham dan Thareq bersama-sama pergi berbelanja ke pusat pertokoan Elbe Einkauf
Zentrum atau EEZ, yang tidak jauh letaknya dari kediaman kami. Hari Kamis tanggal 7 Februari 1974
sekitar pukul 07.00 pagi, dengan pesawat Lufthansa, saya mendarat di Munchen dari Hamburg. Dari
lapangan terbang saya langsung menuju ke kantor pusat MBB di Ottobrun, untuk menghadiri rapat
paripurna mengenai pelaksanaan riset yang sedang berjalan pada umumnya, dan khususnya riset yang
dibiayai oleh Departemen Pertahanan, Ekonomi dan Perhubungan Republik Federasi Jerman. Pertemuan
dilaksanakan mulai pukul 09.00 pagi sampai selesai sekitar pukul 23.00 malam. Saya menginap di hotel
dekat perusahaan, di Ottobrun, karena keesokan harinya sudah harus kembali melanjutkan rapat
paripurna untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang diperlukan. Keesokan harinya, hari Jumat tanggal
8 Februari, rapat paripurna dilanjutkan sampai selesai sekitar pukul 13.00. Selanjutnya masih ada
beberapa pertemuan kecil yang harus saya laksanakan, dan baru sekitar pukul 15.00 saya diterima oleh
Dr. Ludwig Bölkow di ruang kerjanya. Tepat pukul 15.00 saya dipersilakan masuk ke ruang kerja Dr.
Ludwig Bölkow oleh Sekretaris Frau Bticherl yang mengucapkan: ”Silakan masuk Dr. Habibie! Dr.Bölkow
sudah menantikan kedatangan anda! Kapan datang dari Jakarta?” Setelah saya menjawab pertanyaan
Frau Bacherl, tiba-tiba Dr. Ludwig Bölkow keluar dari ruang kerjanya dan berdiri di hadapan saya di ruang
tunggu tamu. Sambil bersenyum beliau bertanya: ”Kapan datang? Silakan masuk dan ceriterakan hasil
pertemuan Dr. Habibie dengan Presiden Soeharto. Berapa lama Dr. Habibie bertemu dengan Presiden?
Hasilnya apa? Apa pendapat dan kesimpulan Dr. Habibie?” Setelah mendengar penjelasan saya secara
rinci dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada saya, dengan wajah yang serius dan mata membesar,
Dr. Bölkow menyampaikan respon kepada saya sebagai berikut: ”Dr. Habibie, semua yang anda ceritakan
sangat menarik dan penuh dengan tantangan bagi tiap insinyur dan enterpreneur. Namun kita harus
jujur dan realistis. Anda baru saja kami putuskan untuk membantu saya di kantor pusat MBB
mengkoordinir dan menentukan pengembangan teknologi untuk proyek-proyek masa depan dan
canggih, seperti sudah Dr. Habibie lakukan selama 10 tahun di Hamburg. Beberapa tender Departemen
Pertahanan RFJ dimenangkan oleh MBB di Hamburg yang kemenangan tersebut terkait dengan
keunggulan Dr. Habibie. Ini berarti jikalau Dr. Habibie pindah bekerja di perusahaan lain, maka order
tersebut akan ikut pindah”. Setelah berhenti sejenak, kemudian Dr. Bölkow melanjutkan: ”Seperti halnya
cara perhitungan merambatnya retak pada sayap pesawat terbang apa pun, yang disebabkan oleh beban
yang bersifat acak, yang dikembangkan oleh Dr. Habibie, telah dapat diterapkan untuk membantu
mencegah jatuhnya pesawat tempur Lockheed F-104 G Starfigh ter milik Angkatan Udara Jerman.
Demikian juga pekerjaan riset yang sedang dilaksanakan dalam bidang konstruksi hybrid, yang
memanfaatkan serat karbon, sangat penting artinya bagi masa depan konstruksi pesawat terbang apa
pun. Pelaksanaan semua riset ini sangat dirahasiakan dan erat kaitannya dengan keunggulan dan
kepemimpinan Dr. Habibie”. Kemudian Dr. Bölkow melanjutkan. ”Di lain pihak saya sangat mengerti
pemikiran dan keinginan Presiden Soeharto yang tidak lain ingin agar Dr. Habibie berperan aktif
membangun bangsa anda. Kita harus realistis dan berani bertanya: Apa yang oleh bangsa Indonesia
dapat berikan kepada anda untuk berkarya? Apa bangsa Eropa pada umumnya khususnya Jerman dapat
berikan kepada anda untuk berkarya? Berkarya untuk umat manusia dalam bidang yang anda tekuni. Kita
harus jujur berani menjawab pertanyaan ini!” Semua uraian Dr. Bölkow saya ikuti dan catat di buku
catatan yang setia mendampingi saya. Kemudian saya menjawab. ”Saya dapat mengikuti jalan pikiran
dan analisis Anda yang sangat realistis. Saya bersyukur bahwa Dr. Bölkow memberi pengertian kepada
pendapat Presiden Soeharto. Saya bersyukur pula bahwa Dr. Bölkow tidak pernah membedakan
keturunan, ras dan agama dalam menilai seseorang. Sikap demikian saya rasakan pada sebagian besar
warga Jerman asli di mana pun mereka berada. Tiap manusia memiliki perilaku yang dibentuk oleh
budaya dan agamanya masing-masing, yang menjadi akar dari nilai moral dan etik. Walaupun saya tidak
pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Indonesia, karena biaya pendidikan saya ditanggung oleh
Ibu saya dan saya sendiri, tidak berarti bahwa saya tidak memahami dan ikut merasakan pasang surut
perjuangan seluruh bangsa Indonesia”.

”Saya pernah menolak tawaran untuk menjadi warga negara Jerman, karena nilai moral dan etik tidak
dapat menerima tawaran tersebut, sehingga sebagai jalan tengah saya bersama Isteri diberi izin tinggal
dan bekerja seumur hidup di RFJ. Saya selalu menganggap keberadaan saya di rantau sebagai masa
transisi untuk mencari pengalaman. Pengalaman ini saya perlukan untuk kelak dapat membantu bangsa
saya dalam perjuangan yang sedang mereka laksanakan. Kapan saya pulang, hanya ditentukan oleh
keadaan dan kesempatan yang diberikan. Berarti hanya tunggu waktunya saja. Saya berharap Dr. Bölkow
dapat mengerti iktikad niat saya ini.” Selama mengikuti kata-kata saya itu, wajah Dr. Bölkow tetap serius
dan mata yang tajam terus mengikuti gerakan mata saya, lalu berkata, ”Uraian anda saya pahami dan
terima kasih atas keterbukaan anda. Saya pernah merenungkan keberadaan seseorang dengan segala
ketrampilan dan keunggulan masing-masing, jika dianalisis dengan memanfaatkan probability theory
bagaimana hasilnya? Misalnya penilaiannya harus diambil dari beberapa data yang menentukan perilaku
dan potensi keunggulan orang tersebut. Misalnya data masukan mengenai ayah atau ibunya. Data
masukan tersebut dapat berupa: di mana ia lahir, lingkungan kehidupan dan pergaulannya bagaimana,
sekolah di mana, para guru-gurunya siapa, pendidikan Si, S2, S3 diperoleh di mana dan dalam bidang
apa? Data mengenai isterinya atau suaminya bagaimana? Perilaku mereka bagaimana? Dan seterusnya”.
”Ternyata jikalau kita memasuki cara berpikir demikian, tanpa disadari kita sudah memasuki ruang hidup
pribadi seseorang dan akan berhadapan dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Yang menarik adalah
ternyata data pribadi seseorang, setelah pertimbangan kualitas, jumlah yang harus diperhatikan dapat
mencapai ribuan. Jika data tersebut dikombinasikan, dan tergantung dari jumlah orang yang
diperhatikan, misalnya 200 juta orang, maka dalam perhitungan yang memanfaatkan theory probability
yang saya pernah lakukan, tiap manusia kemungkinan akan sama setelah hampir 200 tahun. Ini berarti
dari jumlah penduduk 200 juta orang, kemungkinan besar orang yang sama sifatnya, perilakunya,
potensinya dan sebagainya, baru akan ditemukan lagi setelah kurang lebih

200 tahun. Ini berlaku untuk tiap orang. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati menilai dan memutuskan
mengenai nasib manusia. Itulah sebabnya saya dapat mengerti dan memahami pemikiran Presiden
Soeharto dan Dr. Habibie. Saya akan bantu pelaksanaan kepulangan Dr. Habibie. Kepulangan itu perlu
dipersiapkan dengan baik, baik di perusahaan MBB maupun di Indonesia, supaya tidak ada pihak yang
dirugikan atau dikorbankan. ” Setelah mendengar penjelasan Dr. Ludwig Bölkow yang usianya 25 tahun di
atas saya dan yang telah berbicara seperti seorang ayah, kemudian saya menyampaikan rencana
kunjungan saya sekeluarga ke Jakarta pada hari liburan sekolah anak saya. Kemudian Dr.Ludwiq Bolkow
bertanya : „Untuk berapa lama anda ke Jakarta dan siapa yang membiayai? Bagaimana dengan tugasmu
di perusahaan? Selama Dr. Habibie di Indonesia, siapa yang anda persiapkan untuk mewakili anda?
Apakah yang mewakili anda itu dapat menguasai materi pekerjaan?” Saya menjawab sebagai berikut:
„Karena banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, maka sudah tiga tahun saya belum mampu
memanfaatkan jatah hari libur saya. Akibatnya 60 hari kerja yang tidak dapat dijadikan hari libur. Saya
bermaksud untuk memanfaatkan hanya 15 hari kerja dari jatah saya itu. Biaya penerbangan saya ke
Jakarta ditanggung oleh perusahaan perminyakan Pertamina, demikian pula biaya tiket untuk anak isteri
saya yang diperhitungkan dengan hasil pekerjaan saya selama tiga minggu di Jakarta”. ”Selama saya
berada di Indonesia maka Herr Woydack akan mewakili saya. Yang bersangkutan sudah sering mewakili
saya jikalau saya kebetulan sedang berhalangan. Mengenai bakat dan kemampuan Herr Woydack,
walaupun yang bersangkutan sedang mempersiapkan S3, harap Dr. Bölkow menilai sendiri. Jikalau
ternyata selama saya berada di Indonesia ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka akan kami
selesaikan melalui telepon. Semuanya ini sudah saya atur mekanismenya dan telah beberapa kali dengan
sukses dimanfaatkan” Setelah pembicaraan empat mata dengan Dr. Ludwig Bölkow, saya cepat harus
berangkat ke Bandar Udara Munchen, untuk kembali ke Hamburg.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Habibie & Ainun

BAB a E.

Welcome Back to Your People, Dr. Habibie!

BARU empat minggu setelah bertemu dengan Dr. Ludwig Bölkow, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1974
pukul 14.00, saya bertemu dengan para pakar dan ahli dirgantara Indonesia yang sedang bekerja di
Berlin, Bremen dan Hamburg di ruang rapat Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hamburg. Hadir 21
orang dari seluruhnya 40 pakar yang diundang. Lainnya berhalangan hadir dan beberapa sama sekali
tidak menjawab undangan yang saya sampaikan. Setelah saya jelaskan hasil pertemuan dengan Presiden
Soeharto dan mempersilakan para hadirin menanggapinya maka hampir semua mau berbicara dan
menanggapi yang dapat saya rangkumkan sebagai berikut: Mereka mempertanyakan, mengapa Presiden
Soeharto mengajak Dr. Habibie? Mengapa bukan tokoh dari ITB yang lebih senior atau tokoh dari
Angkatan Udara? Apakah memang ajakan Presiden Soeharto dapat dipercaya? Apakah ia hanya mau
memperalat kita? Uangnya dari mana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan dengan suasana
yang riuh dan ramai.

„Saya akan berusaha menanggapi pertanyaan saudara semua. Namun saya tidak mungkin membaca atau
mengetahui isi hati serta niat Pak Harto. Satu hal yang jelas, yang menugaskan kita ke luar negeri untuk
belajar ilmu pembuatan pesawat terbang adalah Presiden Soekarno dan bukan Presiden Soeharto.
Presiden Soeharto hanya melanjutkan kebijaksanaan Presiden Soekarno.” kata saya. Selanjutnya,
pertanyaan anda mengapa Dr. Habibie yang diajak untuk memimpin dan bukan tokoh yang lebih senior
adalah wajar dan objektif. Pertanyaan ini pula yang pertama saya ajukan kepada Presiden. Seperti saya
telah jelaskan tadi, pertanyaan saya hanya dijawab dengan memperlihatkan laporan yang dimiliki
mengenai saya, sebagai suatu kenyataan. Entah laporan yang beliau miliki itu dari mana, saya tidak tahu.
Satu hal yang jelas, bahwa laporan itu tidak dari saya. Lagi pula kita semuanya masing-masing sibuk
dengan pekerjaan kita. Waktu untuk anak isteri saja hampir tidak ada!”, demikian saya lanjutkan jawaban
saya. ”Ajakan Presiden Soeharto kita harus terima sebagai suatu kenyataan. Jikalau ternyata kelak anda
merasa diperalat silakan segera berhenti bekerja. Tidak ada paksaan. Sebagai pejuang kita rela berkorban
asal saja semua jelas dan transparan.” ucapan saya. Tiba-tiba terdengar ucapan dari seorang hadirin:
”Apa yang disampaikan oleh Dr. Habibie benar dan ideal. Tetapi itu hanya berlaku di Negara NATO,
termasuk Jerman Barat. Di Jerman Timur saja, sudah tidak berlaku. Apalagi di Indonesia, negara facis
militer yang dipimpin oleh seorang jenderal yang korup lagi. Jangan naïf Bung! Dr. Habibie tinggal di sini
saja jangan pulang dulu!”. Mendengar ucapan itu, saya jadi teringat pada suatu percakapan dengan Herr
Kurt Pfleiderer pimpinan Divisi Helikopter M BB, pada awal bulan Januari tahun 1973, sebelas bulan
sebelum bertemu dengan Dr.Ibnu Sutowo.

Pada waktu itu, kami sedang berada di pesawat Japan Airlines (JAL) dalam perjalanan dari Frankfurt
melalui kutub utara Anchorage di Alaska ke Tokyo. Di Tokyo pindah pesawat JAL ke Manila di Philipina.
Pada waktu kami harus meyakinkan Presiden Marcos bahwa teknologi pembuatan Helikopter BO

105 dan Antitank Misile HOT yang diluncurkan dari pesawat Helikopter dapat ditransfer ke perusahaan di
Philipina. Saya sebagai pimpinan pengembangan dan penerapan teknologi canggih di MBB bersama Herr
Pfleiderer pimpinan divisi konstrusi dan produksi Helikopter MBB, ditugaskan untuk meyakinkan
Presiden Marcos. Memang pekerjaan seseorang itu sangat memengaruhi perilakunya. Sebagai seorang
yang menekuni pengembangan dan penerapan Iptek canggih, cara berpikir selalu langsung dan radikal.
Sehingga perilaku dan sifat saya menjadi radikal pula, langsung ke inti permasalahan tanpa
memperhatikan liku-liku yang memang tidak perlu diperhatikan. Dengan kata lain caranya radikal dan
tidak mengenal diplomasi. Setelah persiapan untuk pertemuan dengan Presiden Marcos diselesaikan
bersama, pramugari menawarkan beberapa majalah kepada penumpang yang berisi pemberitaan
mengenai ASEAN. Kebetulan Herr Kurt Pfleiderer bertanya: „Bagaimana keadaan di Indonesia?
Nampaknya Indonesia sudah mulai bangkit, peduli pada pembangunan? Bagaimana pendapat pribadi Dr.
Habibie?” Saya menjawab: ”Memang kita mulai melaksanakan Repelita, singkatan dari Rencana
Pembangunan Lima Tahun, dan Kabinet Presiden Soeharto diberi juga nama Kabinet Pembangunan.
Namun masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah manipulasi politik dan ekonomi atau disingkat
masalah korupsi. Oleh karena itu, korupsi harus diberantas sampai akar-akarnya. Apakah korupsi
intelektual atau korupsi material sama saja. Ini harus segera diberantas dengan tuntas!” Mendengar
ucapan itu, Herr Pfleiderer yang lima tahun lebih tua dari saya, menyampaikan reaksinya. „Saya dapat
memahami perasaan dan pemikiran Dr. Habibie, tetapi anda tidak dibenarkan langsung bertindak
radikal. Bagaimana bisa berumah tangga jikalau gaji tiap bulan hanya cukup membiayai kebutuhan dua
minggu saja? Dari mana pendapatan tambahan dapat diperoleh? Dari pekerjaan tambahan? Dari bekerja
gelap? Dari penerimaan uang dari orang lain? Pokoknya dari mana pun dan bagaimana pun semua itu
„korupsi”. Namun, ini bukan hanya masalah Indonesia! Ini masalah dunia. Ini masalah keadilan. Ini
masalah negara berkembang Kata-kata Herr Pfleiderer yang diucapkan dalam pesawat terbang antara
Frankfurt dan Tokyo muncul lagi, bersamaan dengan kesan pertemuan pertama dengan Presiden
Philipina Ferdinand Marcos di Istana Malacanang di Manila. Kami tiba di Lapangan Udara Manila sesuai
jadwal. Ketika kami berdua siap untuk keluar dari pesawat, tiba-tiba nama saya disebut oleh seorang
perwira muda Angkatan Bersenjata Philipina yang menanyakan kepada pramugari. ”Di mana Dr. Habibie
Ketika mendengar pertanyaan tersebut, langsung saya jawab dan maju sambil berkata: „Saya Dr. Habibie
dan ini kawan saya Herr Kurt Pfleiderer.” ”Silakan ikut dengan kami”, ucap perwira muda tersebut yang
memperkenalkan dirinya dengan nama Kapten Ramirez.

Sewaktu turun tangga, dan setelah menyerahkan paspor dan tanda bagasi, segera kami dipersilakan
masuk ke mobil militer yang langsung menuju ke Istana Malacanang. Setibanya di Istana, kami berdua
dipersilakan menunggu di ruang tamu, sambil masih memikirkan proses penjemputan kami yang lancar,
pintu terbuka dan kami berhadapan dengan senyuman wajah yang menenangkan dengan mata yang
tajam seorang bertubuh kecil dan gemuk memperkenalkan diri. ”Saya Secretary Alexander Melchior,
selamat datang di Philipina!” Perwira muda yang mendampinginya juga diperkenalkan

”Ini Kolonel Ramos, silakan duduk!” Turut bergabung pada pertemuan tersebut beberapa perwira muda
Philipina yang dipanggil untuk bertemu dengan kami. Mereka rupanya senang melihat wajah saya yang
mirip dengan wajah mereka dan bertanya. ”Kami telah membaca dan mempelajari riwayat pendidikan
dan karier Dr. Habibie yang kami peroleh dari Direktur Utama MBB Dr. Ludwig Bölkow. Ternyata
penampilan Dr. Habibie muda seperti masih di bawah umur 30 tahun. Kami harapkan nanti di depan para
pakar bidang dirgantara Philipina Dr. Habibie dapat menjelaskan secara rinci keunggulan Helikopter BO
105 dan Missile Anti Tank HOT, dan kami akan mengajukan banyak pertanyaan!” ”Silakan, dengan senang
hati saya akan memberi penjelasan tersebut dan siap menjawab semua pertanyaan. Memang demikian
pekerjaan dan tugas saya di perusahaan MBB! Jikalau ada pertanyaan khusus yang berkaitan dengan
produksi pesawat Helikopter BO 105, maka Herr Pfleiderer adalah ahlinya.” kata saya, sambil menengok
ke arah Herr Pfleiderer.

Sewaktu diskusi sudah mulai intensif dan merinci, datang seorang anggota Protokol Presiden yang
menyampaikan bahwa Presiden Marcos hanya berkenan menerima saya sendiri. Saya dipersilakan ikuti
protokol menuju kantor Presiden Marcos, meninggalkan Herr Pfleiderer bersama Secretary Melchior,
Kolonel Ramos dan perwira muda Philipina lainnya melanjutkan diskusi. Setibanya di ruang tamu
bersebelahan dengan ruang kerja Presiden Marcos, saya dipersilakan duduk sebentar. Beberapa menit
kemudian, saya dipersilakan masuk ke ruang kerja yang besar, dingin dan gelap, kecuali di tengah
ruangan mendapat sorotan lampu, kelihatan meja tulis besar Dibelakang meja besar tersebut berdiri
Presiden Marcos, gagah, ganteng dan kharismatik dengan wajah yang bersinar dan senyuman simpatik.
Ia mengulurkan tangan sambil mengatakan:

”Selamat datang diantara bangsamu Dr. Habibie atau Welcome back to your people, Dr. Habibie!” Saya
kaget mendengar ucapan demikian dan menjadi bingung. Setelah mata saya menyesuaikan dengan
kegelapan, baru saya melihat di sekitar Presiden Markos juga berdiri beberapa anggota pengamanan
yang karena ruangannya gelap pada awalnya tidak kelihatan. Baru setelah mata saya menyesuaikan
dengan kegelapan, saya dapat melihatnya. Demikian pula tiga kursi yang ada di depan meja kerja
Presiden Marcos.

”Silakan duduk Dr. Habibie, kapan tiba di Manila?”, sambil menunjukkan tangan ke kursi di depan meja.
Presiden Marcos mungkin melihat saya kebingungan, ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Bapak Presiden saya bukan orang Philipina, saya orang Indonesia” demikian ucapan saya. Langsung
beliau jawab. ”Dr. Habibie adalah putra ASEAN dan kebanggaan kita semua!”

Setelah semua pertanyaan yang rutin mengenai pekerjaan, tugas, kewajiban dan tanggungjawab di
perusahaan MBB saya jawab, ia menjelaskan betapa pentingnya penguasaan teknologi canggih di abad
yang akan datang dalam menentukan kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia pada umumnya dan
khususnya untuk bangsa di ASEAN. Oleh karena itu Presiden Marcos telah mengambil inisiatif untuk
mendirikan pusat keunggulan pengembangan dan penerapan teknologi canggih di Manila, yang dimulai
dengan mendirikan industri dirgantara dan kelak dilanjutkan dengan industri yang produknya disesuaikan
dengan kebutuhan pasar.

Selanjutnya Presiden Ferdinand Marcos mengatakan. ”Saya beberapa bulan yang lalu bertemu dengan
Dr. Ludwig Bölkow Direktur Utama MBB dan berdiskusi mengenai teknologi canggih dan penerapannya.
Dari Dr. Ludwig Bölkow, saya mendengar banyak mengenai Dr. Habibie. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan berkenalan dengan anda dan bersama ini saya ajak anda untuk bergabung dengan kami
membangun dan memimpin pusat keunggulan teknologi canggih di Manila.” ”Menurut Dr. Bölkow sudah
sepuluh tahun anda menekuni bidang pengembangan dan penerapan Iptek canggih di perusahaan
Jerman. Prestasi dan pengalaman Dr. Habibie nyata dan sudah waktunya anda membantu membangun
ASEAN. Oleh karena itu saya harapkan Dr. Habibie menerima tawaran saya untuk ikut membangun dan
memimpin pusat keunggulan teknologi canggih dalam bentuk industri dirgantara di Manila”, demikian
ucapan Presiden Marcos. Dengan wajah serius dan tenang saya jawab ajakan Presiden Marcos sebagai
berikut. „Saya sangat terhormat mendapat perhatian Bapak Presiden Marcos. Ajakan Bapak untuk ikut
berperan membangun ASEAN dalam bidang Iptek yang saya tekuni akan saya pelajari dengan baik. Insya
Allah setelah saya sesuaikan dengan pekerjaan, tugas dan kewajiban saya di MBB dan berkonsultasi
dengan isteri, akan saya jawab ajakan Bapak Presiden”. Memang dua minggu kemudian saya menyatakan
ketidaksanggupan menerima ajakan Presiden Marcos. Satu-satunya alasan menolak tawaran tersebut
adalah bahwa saya pernah berjanji, hanya akan pindah dari tempat saya bekerja di Jerman, jikalau saya
pulang ke Indonesia. Pada pertemuan dengan kawan-kawan seperjuangan di ruang rapat KJRI Hamburg
pada tanggal 7 Maret 1974, sewaktu mendengar ucapan kawan dari Berlin tadi, kata-kata Herr Pfleiderer
diperkuat dengan pesan Pak Harto, agar jangan sampai terjadi revolusi di Indonesia, karena rakyat tidak
mampu mengatasi suatu revolusi lagi, sadar kembali di hati nurani saya. Bukankah ajakan Presiden
Soeharto untuk pulang dan membantu pembangunan di Indonesia sesuai dengan janji yang pernah saya
berikan, meninggalkan pekerjaan di Jerman jikalau rakyat Indonesia membutuhkan? Bukankah ajakan
Presiden Soeharto, sudah mencerminkan keinginan bangsa? Oleh karena itu dengan tenang dan tegas
saya berkata: „Saudara-Saudara yang saya hormati dan cintai, besok saya akan berangkat ke Jakarta dan
baru akan kembali di Hamburg pada hari Sabtu tanggal 30 Maret. Di Jakarta saya akan bertemu dengan
Presiden Soeharto dan beberapa tokoh lainnya untuk membicarakan implementasi tugas yang saya
sudah jelaskan kepada saudara-saudara dan sudah pula kita diskusikan bersama untung ruginya. Saya
menghimbau dan mengajak saudara-saudara untuk ikut serta berada di ujung tombak pembangunan,
sesuai kemampuan saudara, membangun Tanah Air tercinta pada umumnya dan khususnya industri
dirgantara dengan segala prasarana dan sumber daya manusia yang dibutuhkan. Siapa yang bersedia ikut
serta, dipersilakan menyatakan kesediaannya di daftar yang sudah disediakan di ruang rapat. Terima
kasih atas perhatian dan kehadiran saudara. Selamat bekerja dan selamat berjuang!”. Kemudian tepat
pukul 17.00, pertemuan di KJ RI Hamburg tersebut saya tutup. Ternyata hanya para pakar yang berada di
Hamburg dan yang bekerja di MBB saja yang bersedia ikut kembali ke Indonesia. Yang dari Bremen dan
Berlin semuanya tidak bersedia dan tidak berminat dan tidak percaya atas kelayakan dan keseriusan
ajakan Presiden Soeharto. Mereka memutuskan untuk menetap di Jerman. Kesimpulan yang saya ambil
adalah hanya mereka yang mengenal saya dari dekat saja yang dapat memahami dan memberi
kepercayaan mengenai kelayakan mewujudkan panggilan Presiden Soeharto dan kemampuan saya
memimpin mereka. Yang lain tidak. Bagaimana di Indonesia kelak? Siapa yang mengenal saya? Saudara
kandung saya pun, belum tentu mengenal saya dari sudut penguasaan Iptek, kemampuan memimpin
dan sebagainya.

Kesimpulan lain : Saya harus bekerja keras dan berprestasi nyata sesuai produk yang dihendaki, yang
berkualitas tinggi, dengan biaya serta risiko yang rendah dan dapat diserahkan atau diselesaikan sesuai
jadwal dan waktu yang telah ditentukan.

Sebelum saya meninggalkan KJRI di Hamburg, saya minta agar saya dapat dihubungkan dengan Duta
Besar R.I. di Bonn Bapak Achmad Tirtosudiro. Kepada beliau saya jelaskan garis besar hasil pertemuan
dengan Direktur Utama MBB Dr. Ludwig Bölkow empat minggu sebelumnya, pada tanggal 7 Februari,
dan hasil pertemuan saya dengan para pakar ilmu dirgantara dari Berlin, Bremen dan Hamburg yang
berlangsung selama tiga jam hari itu, tanggal 7 Maret bertempat di ruang rapat KJRI-Hamburg. Saya
sampaikan bahwa besok malam saya bersama keluarga akan berangkat ke Jakarta selama 3 minggu, dan
akan kembali ke Hamburg pada hari Sabtu tanggal 30 Maret. Setelah menjawab beberapa pertanyaan
rutin, beliau menitipkan salam kepada Pak Harto dan Pak Ibnu, saya akhiri pembicaraan saya dengan
Bapak Achmad Tirtosudiro, Duta Besar Republik Indonesia di Bonn.

BAB

Kembali ke Tanah Air Tercinta


LOYALITAS dan ketabahan teman-teman menunggu saatnya pulang mengabdi untuk Tanah Air patut saya
hargai, dan amat membantu tugas yang saya emban ketika saya sudah dipanggil pulang oleh negara.
Saya mencoba memadukan pemikiran saya, visi Pak Harto dan strategi Pak Ibnu, dan akhirnya
melahirkan Divisi Advanced Technology dan Teknologi Penerbangan Pertamina ATTP yang selanjutnya
menjadi cikal bakal Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan IPTN. Divisi itu kemudian
berubah menjadi Divisi Advanced Technology Pertamina (ATP). Saya diangkat menjadi Kepala Divisi,
Ketua BPPT dan Direktur Utama IPTN. Inilah ”baju-baju” yang dibuatkan Presiden Soeharto untuk saya.
Pertemuan dengan Pak Harto dan ajakan agar saya kembali ke Tanah Air, saat itulah saya beritahukan ke
pimpinan MBB. Ada reaksi pro dan kontra, termasuk ada yang tidak mau melepaskan saya. Mereka
berargumentasi bahwa saya telah maju karena MBB, dan tidak adil melepaskan saya setelah saya
menjadi besar. Mereka tidak dapat menerima pendapat bahwa kehadiran saya ke Tanah Air diperlukan
dalam rangka mengembangkan Iptek di Indonesia. Pengembangan Iptek, menurut kelompok yang
menentang saya pindah, seharusnya tidak mengenal batas-batas negara melainkan milik dunia secara
universal. Akhirnya Pimpinan MBB mengizinkan saya meninggalkan perusahaan dengan catatan, karena
jabatan dan tanggungjawab tidakbegitu saja dapat dilepaskan, maka harus mempersiapkan pengganti,
sambil sedikit demi sedikit melepaskan tanggungjawab. Sementara itu, di sisi lain, saya sedikit demi
sedikit juga mengonkritkan program di Indonesia. Saya memberikan bentuk kepada divisi yang saya
pimpin di Pertamina, mempersiapkan dengan cara yang tepat dalam usaha pengalihan teknologi dan
menghimpun segala sesuatu yang perlu dan dapat dihimpun bagi pembangunan sebuah industri
pesawat terbang di Indonesia. Situasi ini, membuat saya bolak balik Jakarta-Hamburg. Saya belum
memiliki ruangan kantor dan sekretaris, yang ada hanya sebuah meja di ruangan Doktor Sanger. Kondisi
ini baru berakhir pada 1978, ketika saya diangkat menjadi Menteri Riset dan Teknologi. Kecuali tim saya
di HFB, yang telah terbentuk dan mempunyai satu tekad pulang ke Tanah Air untuk menyumbangkan
tenaga bagi pembangunan, hanya seorang di luar tim HFB yang dengan spontan menerima ajakan saya
untuk bergabung. Ia adalah Jr. Sulaiman Wiriadijaya. Ada juga beberapa orang yang datang ke Indonesia
untuk melihat-lihat keadaan. Tetapi, mereka memutuskan untuk tetap tinggal di luar negeri setelah
melakukan perhitunganperhitungan. Ini memang manusiawi, dan dapat saya terima. Langkah awal yang
saya lakukan adalah mempelajari pasar pesawat terbang di dalam negeri. Dengan pertimbangan bahwa
pengembangan industri pesawat terbang di Indonesia harus bertumpu pada pasar dalam negeri, maka
amat masuk akal jika mempelajari industri pesawat terbang yang pesawatnya sudah dimanfaatkan di
Indonesia.

Hal itulah yang melatarbelakangi saya untuk melakukan penjajagan kerja sama dengan industri pesawat
terbang yang produknya sudah beredar di Indonesia seperti Sky Van, Twin Otter, helikopter Bell dan
Sikorsky. Saya tidak segera melakukan penjajagan dengan MBB sebagai pembuat helikopter B0-105 atau
CASA yang memproduksi pesawat terbang bersayap tetap C-212 Aviocar. Sebaliknya, saya mengetuk
pintu industri-industri itu dan memperkenalkan din i sebagai seorang yang tengah menjajagi usaha untuk
membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Reaksi mereka adalah penolakan dalam ikut
mendirikan sebuah industri pesawat terbang dan bukan sekadar bengkel pemeliharaan. ”Siapakah kamu
ini? Kamu bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka yang telah menjual 30 pesawat terbang di
Indonesia. Mereka akan menjual lebih banyak lagi sedangkan kamu hanya seorang ilmuwan. ”
Lalu, siapa yang mau percaya bahwa Indonesia sanggup membuat pesawat terbang? Saat itu, Indonesia
menjadi negara yang mengimpor beras sampai dua juta ton per tahun untuk memenuhi pangan
penduduknya. Indonesia masih mengimpor cangkul untuk mengolah lahan pertaniannya. Siapa berhasrat
membangun industri pesawat terbang di Indonesia sebagai salah satu sarana transformasi
industrialisasi? Keraguan itu pun akan semakin lengkap ketika mereka menanyakan kepada orang-orang
di Indonesia tentang siapa Habibie, sekali pun ia telah diangkat menjadi penasehat Presiden? Di tengah
keraguan itu, sebaliknya MBB memperlakukan saya dengan baik ketika diberitahu bahwa telah tiba
saatnya bagi saya untuk memulai membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Mereka juga telah
melihat kenyataan bahwa adalah sia-sia untuk mencegah saya melaksanakan rencana-rencana saya yang
balk. Saya akan selalu berusaha menemukan jalan pelaksanaan Industri yang telah direncanakan. Karena
itu, mereka menerima kenyataan bahwa Indonesia bertekad membangun industri dirgantara, dengan
sikap bersedia bekerjasama. MBB pun akhirnya menyetujui usulan untuk memproduksi helikopter B-105
di Indonesia. Se lain itu, saya juga menggalang kerjasama dengan CASA Spanyol untuk membuat pesawat
terbang C-212 Aviocar. Pada semua proses persiapan apapun, Ainun setia mendampingi saya di segala
pasang surut perjuangan. Penampilan, wajah senyuman yang saya rindukan itu, tidak pernah
meninggalkan saya. Ainun senantiasa mengilhami, menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi
mungkin. Di tengah upaya untuk membangun industri pesawat terbang, tiba-tiba Pertamina, sebagai
penyandang dana, mengalami kesulitan keuangan. Kemudian dibentuklah sebuah tim untuk
menyelamatkan Pertamina dari kebangkrutan dan mengembalikan Pertamina kepada fungsi utamanya,
yaitu untuk mengurusi industri perminyakan di Indonesia. Kesimpulan dari kondisi ini adalah Pertamina
harus menunda atau bahkan menghentikan sejumlah proyek yang ditangani perusahaan, termasuk
meninjau kembali fungsi Divisi ATP dan proyek-proyeknya. Saya tidak menyalahkan langkah Tim
Penyelamatan Pertamina mi. Hal itujustru memacu saya untukmempersiapkan langkah-langkah
penyelamatan bagi teman-teman yang telah kembali pulang dari Jerman, termasuk jaminan dari MBB
untuk menerima kembali mereka jika upaya membagun industri pesawat terbang di Indonesia gagal
terlaksana. Kepada Pak Harto saya sampaikan agar Presiden tidak perlu memikirkan nasib para ”kader
teknologi”, jika usaha pembangunan industri pesawat terbang di Indonesia harus dibekukan.
Kegoncangan di Divisi ATP Pertamina akhirnya memacu usaha ke arah pembentukan industri pesawat
terbang di Bandung sebagai satu usaha yang berdiri sendiri dan memperoleh alokasi dana sendiri.
Presiden Soeharto meresmikan berdirinya industri itu pada tanggal 23 Agustus 1976 dengan nama
Perseroan Terbatas Industri Pesawat Terbang Nurtanio, yang kemudian berubah menjadi PT IPTN dan
akhirnya menjadi PT DI. Persiapan pembangunan IPTN dimulai pada 1975, tepat lima tahun setelah
merekrut anggota tim pakar kader teknologi Indonesia untuk bekerja di HFB/MBB. Tim tersebut adalah
Pusponegoro, Ramelan, Paramajuda, Suparlan, Gayo, Sofyan, dan Djermani. Mereka kaget mendengar
saya mengatakan bahwa waktunya telah tiba untuk kembali ke Tanah Air, membangun industri pesawat
terbang. Ketika mereka menyetujui bergabung dengan saya pada 1969, yang paling mendominasi
pemikiran dan dorongan mereka adalah semata-mata bekerja di luar negeri pada bidang yang sesuai
dengan ilmu mereka masing-masing. Tidak ada batasan waktu lima tahun untuk kembali ke Indonesia.
Faktor waktu bukan perhatian mereka. Saya bersyukur tim pakar kader teknologi tidak
mempermasalahkan kembali ke Indonesia. Ketidaksiapan mereka untuk pulang tidak terhalang oleh
kesulitan-kesulitan yang bakal mereka hadapi, termasuk kesulitan ekonomi akibat kecilnya gaji jika
dibandingkan dengan apa yang diterima dari HFB/MBB. Saya sadar temanteman tidak punya pilihan lain
selain pulang. Tetapi, itu bukan berarti mereka terpojok. Mereka memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Mereka slap menghadapi segala permasalahan. Mereka pulang untuk memulai segalanya dari
permulaan. Mereka meninggalkan pekerjaan yang mulai memberikan penghasilan yang memungkinkan
kehidupan lebih baik. Dan, mereka sudah terlepas dari kesulitan-kesulitan ekonomi. Mereka rela pulang
menjadi staf dari ATP untuk berdesakan berkantor di Jalan Biliton Jakarta Tetapi, agar mereka dapat
berkonsentrasi dalam bekerja, mereka mendapatkan perumahan yang merupakan syarat dari saya untuk
memulangkan tim pakar kader teknologi.

Sikap Ainun yang penuh dedikasi dan pengorbanan dalam mengatasi segala tantangan yang ia hadapi
demi masa depan dan pembangun bangsa dan keluarga sakinah yang lebih cerah, menjadi panutan bagi
sekitarnya, khususnya bagi keluaraga ”kader teknologi”. Terima kasih Ainun. +

BAB

Memberi Informasi pada Tokoh Nasional

AWAL tahun 1975 saya mendapat telepon dari Prof. Dr. Syarif Thayeb, yang sejak tahun 1974 menjadi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Prof. Dr. Sumantri Brodjonegoro yang wafat bulan
Desember 1973. Beliau menyampaikan bahwa saya peril memberi penjelasan mengenai strategi
pembangunan yang mengandalkan pada sumber daya manusia atau SDM. Para tokoh pakar Indonesia
yang tergabung dalam organisasi profesional seperti antara lain, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Persatuan Insinyur Indonesia (PII), diberikan penjelasan dan
diikutsertakan. Untuk itu suatu ceramah dengan tanya jawab yang rinci diperlukan. Sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, beliau menyanggupi menjadi moderator dan akan mengundang para tokoh.
Ceramah dilakukan di fasilitas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah memberikan ceramah
dengan memanfaatkan overhead slide yang sekarang loernama power point, banyak pertanyaan dan
kritik yang konstruktif diajukan. Tiba- tiba seorang tokoh PII berdiri dan memberi tanggapan yang bagi
saya membingungkan. ”Dr. Habibie semuanya yang diceramahkan menarik, namun mengapa justru Dr.
Habibie dipilih menjadi penasehat Presiden?Apa yang dicapai di Jerman itu biasa saja. Di Jerman
semuanya serba lengkap. Tetapi di Indonesia tidak. Apa yang Dr. Habibie capai di Jerman belum tentu
dapat dicapai di Indonesia. Kami di sini susah membangun karena semua tidak lengkap.” Mata semua
peserta ditujukan kepada saya. Mereka ingin mendengar jawabannya. ”Baik saya akan berusaha
menjawab. Saya tidak pernah melamar untuk menjadi Penasehat Presiden. Presiden meminta saya
dengan hormat menjadi penasehatnya dalam bidang Advanced Technology dan Teknologi Penerbangan.
Yang dapat menjawab pertanyaan saudara adalah Presiden. Bahwa pekerjaan saya di Jerman tidak
berarti dan bukan alasan dibandingkan dengan karya para tokoh pakar di Indonesia. Saya yakin bahwa di
ruangan ini mungkin saya yang paling bodoh. Saya tidak pernah menghalangi siapa saja untuk bekerja di
Jerman dan berprestasi. Silakan melamar di perusahaan terkemuka di Jerman sesuai pendidikan dan
keunggulan masing-masing. Saya yakin prestasi Saudara jelas akan lebih baik dari saya Saya yakin Prof.
Dr. Syarif Thayeb kemudian melaporkan kepada Presiden Soeharto, sehingga pada suatu hari, saya
diminta Presiden Soeharto untuk menjelaskan gagasan dan rencana Industri Strategis dan Pertahanan di
tiga tempat. Di Departemen Pertahanan dan Keamanan yang pada waktu itu, Pang lima ABRI dan
Menteri Pertahanan dan Keamanan dirangkap oleh Jenderal M. Panggabean, di Bappenas dan di CSIS
(Centre Strategic of International Studies) yang berlokasi di Tanah Abang, sebuah lembaga kajian yang
dipimpin oleh Letnan Jenderal Ali Murtopo dan Letnan Jenderal Sudjono Humardani.

Di Dephankam saya jelaskan rencana pembangunan industri strategis khususnya Industri Hankam. Waktu
itu, hadir Letnan Jenderal Hasnan Habib yang menjabat sebagai Kepala Staf Administrasi atau Kasmin
dan Mayor Jenderal Soeprapto, Kepala Staf Umum atau Kasum dan semua pimpinan teras Departemen
Hankam. Setelah memaparkan gagasan dan rencana industri strategis dan Pertahanan, Jenderal
Maraden Panggabean mengambil kebijakan untuk membantu pelaksanaannya. Di Bappenas pertemuan
dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Widjoyo Nitisastro,Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional. Dr. Ali Wardhana menjabat sebagai Menteri Keuangan, Dr. Emil Salim sebagai Menteri
Perhubungan dan Wakil Kepala Bappenas merangkap Menpan adalah Dr.Sumarlin, bersama pimpinan
teras hadir. Setelah presentasi, diadakan diskusi dan tanya jawab. Gedung CSIS ketika itu masih baru,
sehingga saya sulit menemukannya. Di ruangtempat ceramah CSIS telah menunggu Bapak Letnan
Jenderal Ali Murtopo yang memperkenalkan saya pada para hadirin dan memimpin langsung diskusi
setelah pemaparan mengenai gagasan industri strategis dan pertahanan selesai. Banyak sekali
pertanyaan dan masukan dari sudut politik dan ekonomi saya peroleh. Tokoh Nasional yang hadir antara
lain Bapak Dr. Roeslan Abdulgani dan Bapak Mr. Soenaryo mantan Menlu pada Konperensi Asia Afrika
pertama 1955 di Bandung. Beberapa hari kemudian, saya dipanggil Pak Harto.”Saya dengar presentasi
kamu bagus, yo,” Pak Harto membuka percakapan, ”Semua positif. Hankam positif. Bappenas positif. CSIS
positif.” Setelah memberikan presentasi di tiga tempat, saya diundang oleh Dirjen Logam dan Mesin Jr.
Suhartoyo. Ternyata dia hadir pada ceramah di CSIS dan menyampaikan kepada saya: ”Pak Habibie,
overhead slide-nya itu baik sekali. Cukup mendalam. Boleh tidak saya kopi?” ”Maaf, saya tidak akan
berikan untuk dikopi. Setelah Anda fotokopi, keesokan harinya hasil fotokopi paper saya mungkin sudah
beredar di Hongkong atau Glodok. Saya tidak dibenarkan mengambil risiko rencana ini diketahui secara
rind i oleh orang lain”, jawab saya. Beberapa hari kemudian, saya dipanggil Jenderal Andi Muhammad
Jusuf Amin Waktu itu beliau menjabat Menteri Perindustrian. Ketika sampai di Departemen
Perindustrian, saya diminta masuk ke ruangan menteri. Di dalam ruangan itu, hadir juga Jr. Suhartoyo. la
membuka percakapan: ”Saya dengar dari Suhartoyo dan Widjoyo mengenai ceramah kamu yang hebat
sekali. Kamu mempunyai master plan.” Saya terdiam. la melanjutkan lagi: ”Kata Pak Suhartoyo, ia minta
untuk dapat membuat menfotokopi overhead slide dan master plan, dan kamu tidak kasih?” desak Pak
Jusuf. ”Memang, Pak,” jawab saya. ”Kenapa?” ”Ya jelas, saya tidak mau berikan, karena merasa tidak
aman. Bisa saja presentasi ini dikopi dan besoknya ada di Hongkong atau di Glodok. Bagaimana bisa saya
melaksanakan rencana jikalau ternyata sudah diketahui secara rind i oleh orang. Tidak mungkin saya
kasih Pak.” ”Bagaimana kalau saya yang minta,” desak Pak Jusuf. ”Sama saja. Tidak akan saya berikan.”
Pak Jusuf marah besar. ”Tahu kamu, siapa saya? „Tahu, Pak. Bapak Jenderal dan Menteri.” „Kenapa kamu
ini. Saya ini bertanggungjawab kepada Presiden,” katanya. „Iya, Pak. Tapi saya bukan konsultan Bapak. Ini
saya buat sendiri.”

Saya diusir dari situ. Begitu kondisi saya waktu muda. Begitu radikalnya saya. Pak Jusuf sampai kesal
kepada saya. Beberapa hari kemudian, saya dipanggil Pak Harto, dia langsung marah kepada saya:
”Saudara Habibie, saya dengar Anda tidak mau memenuhi permintaan dari Jenderal Jusuf. Menteri
Perindustrian, pembantu utama saya.” Saya menjawab ”Ya memang saya tidak mau. ” Kemudian beliau
bertanya : ”Kenapa?” Lalu saya memberikan alasan seperti yang telah saya jelaskan juga kepada Pak
Jusuf. Namun, Pak Harto tak mau tahu. Beliau juga marah besar. Dengan suara tinggi ia berkata: ”Dia itu
pembantu saya.” Saya langsung berdiri. ”Bapak Presiden, bersama ini saya serahkan semua apa yang
saya miliki mengenai masa depan Industri Strategis dan Industri Pertahanan Indonesia, yang telah saya
susun. Saya serahkan kepada Presiden Republik Indonesia. Mulai saat ini yang bertanggungjawab adalah
Bapak. Dan saya tidak akan ada kaitannya lagi.” Saya serahkan dokumen itu kepada Pak Harto. ”Ini yang
pernah kamu jelaskan kepada saya?” tanya Pak Harto.

”Iya, Pak.” Beliau buka dokumen itu. Beliau balik-balik. Lalu, dikembalikan kepada saya: ”Sudah jangan
diberikan kepada siapa-siapa. Pegang. Saya terdiam. ”Saya tidak mau campur. Mulai saat ini, saya tidak
mau turut campur. Silakan laksanakan sesuai keyakinanmu,” kata Pak Harto. Sampai sekarang saya tetap
menaruh rasa hormat kepada Jenderal Jusuf Amin. Suatu ketika, ia datang ke Tokyo untuk memeriksakan
kesehatan, kebetulan kami menginap di hotel yang sama New Otani Hotel. Ketika saya sedang
menjalankan tugas sebagai Menristek, Jenderal Jusuf berkunjung ke Tokyo bersama isterinya Ibu Elly
Jusuf memeriksakan kesehatan. Ia beserta beberapa anggota rombongan lainnya. Saya minta izin untuk
bersilaturahmi ke kamar beliau sebanyak dua kali, yaitu ketika saya baru datang dan ketika saya pamit
akan meninggalkan Tokyo pulang ke Jakarta. Jika kebetulan saya ke Makassar, setelah jenderal Jusuf Amir
meninggal, saya selalu sempatkan datang bersilaturahmi mengunjungi ibu Elly.

Bersama Ainun Proaktif Ikut dalam Kabinet Pembangunan ke -3

BERSAMA Dr.Ludwiq Bolkow, Presiden Perusahaan Messerschmidt Bölkow Blohm MB B, saya


mempersiapan peralihantugas Direktur Pengembangan dan Penerapan Teknologi MBB. Ada tiga pakar
teknologi akan melanjutkan pekerjaan saya. Pada masa peralihan saya menjadi ”Penasehat Teknologi”
Presiden MBB. Demikian hasil kajian pimpinan teras perusahaan. Ilham dan Thareq mulai Senin tanggal
13 Maret sampai Sabtu tanggal 1 April 1978 selama 3 minggu libur Paskah. Kesempatan ini saya
manfaatkan bersama Ainun dan anakanak berlibur di Indonesia. Kami sekeluarga tiba di Jakarta pada hari
Sabtu tanggal 11 Maret. Kami tidak sadari bahwa, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU -
MPR) yang ke-3 pada tanggal 11 Maret dimulai. Presiden dan Wakil Presiden untuk 5 tahun mendatang
akan dipilih dan setelah itu para Anggota Kabinet Pembangunan ke - 3 ditentukan. Kesibukan dunia
politik sama sekali tidak kami perhatikan, kami telah merencanakan kembali ke Hamburg pada hari Sabtu
tanggal 31 Maret. Empat hari sebelum kunjungan kami berakhir di Indonesia, Selasa tanggal 28 Maret
1978 saya ditelepon Pak Harto, menanyakan kesanggupan saya membantu beliau melaksanakan amanat
rakyat duduk sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan ke -3. Beliau
akan melantik para anggota kabinet, Kamis pagi tanggal 30 Maret 1978 di Istana Negara. Ajakan Pak
Harto, saya sampaikan kepada Ainun dan memutuskan menunda keberangkatan Ainun, Ilham dan
Thareq ke Hamburg. Karena Ilham sekolah setingkat dengan SMA dan sistem pendidikan di Indonesia
berbeda, maka Ilham akan tinggal di Hamburg bersama keluarga Voss yang salahsatu putranya dari 3
anak lelaki kawan sekelas Ilham. Lain halnya dengan Thareq kelasnya masih setingkat kelas satu SM P.
Oleh karena itu, pada bulan Agustus, jika tahun pelajaran sekolah Jerman dan Indonesia dimulai, Ainun
dan Thareq kembali ke Jakarta. Rumah perusahaan di Hamburg akan kami kosongkan dan sebagian besar
barang perabot rumahtangga dipindahkan ke rumah pribadi kami di Kakerbeck. Lainnya diangkut ke
Jakarta. Semuanya dilaksanakan oleh Ainun sendiri. Ainun selalu mandiri dan tidak pernah mengeluh dan
mengganggu pekerjaan saya. Seberat apapun pekerjaannya, ia selalu memberi senyumannya yang
menenangkan saya dan selalu kurindukan sepanjang masa. Seberat apapun pekerjaan yang ia hadapi,
semua dilaksanakan rapi, rinci dan terus dikonsultasikan dengan saya di manapun kami berada. Sering
wajah dan mata kami menyampaikan perasaan dan informasi yang dibutuhkan tanpa berbicara. Telepati
antara kami terus berkembang kualitasnya. Ainun adalah „Lucky Angel” dan saya „Lucky Man”, demikian
hubungan kami karena cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi telah menjadikan kami
menyatu. Kecuali orang tua, kakak dan adik kandung yang kami informasikan sendiri, keluarga dan kawan
mendengar mengenai pengangkatan saya sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet
Pembangunan ke - 3 melalui media elektronik dan surat kabar.

Setelah Ilham, Thareq dan anggota keluarga lainnya keluar ruangan, tinggal saya berdua Ainun. Kami
berdiskusi sampai jauh malam, kemudian mengambil kesimpulan untuk memanfaatkan kesempatan yang
diberikan, meningkatkan kualitas kehidupan dan produktivitas SDM bagi seluruh masyarakat di Bumi
Indonesia. Akumulasi pengalaman kami berdua hidup di rantau akan menjadi bekal kami. Saya akan
mempelajari „Petunjuk Mandataris M PR, Presiden Terpilih”, Bapak Soeharto dan bahan masukan lain
untuk menyusun rencana pelaksanaannya sebaik mungkin. Ainun akan tetap proaktif melanjutkan
membina keluarga sakinah, mengilhami dan memberi ketenangan kepada saya seperti sejak pernikahan
kami tanggal 12 Mei 1962. Ainun bersedia memberi pengalamannya kepada siapa saja, khususnya
kepada para Ibu lainnya yang bekerja dalam organisasi Ristek. Setelah pelantikan para Anggota Kabinet
Pembangunan ke- 3 dan timbang terima antara Profesor Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan saya selesai,
saya memutuskan sementara tidak mengadakan perubahan atau pergantian organisasi seperlunya,
kecuali arah kebijakan yang lebih memihak kepada pengembangan dan penerapan Iptek untuk
meningkatkan proses nilai tambah yang tidak dapat dipisahkan dengan produktivitas SDM dan mikro
ekonomi. Oleh karena itu, keberadaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT, Dewan
Riset Nasional atau DRN, Dewan Standardisasi Nasional atau DSN, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Puspiptek), Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia atau AIPI, Industri Strategis dan
organisasi non departemental dilingkup Ristek, perlu mendapat perhatian khusus. Semuanya ini tidak
dapat dipisahkan dengan pengembangan kualitas dan produktivitas SDM pada umumnya, khususnya
berkembangnya „keluarga sejahtera”.

Ini sangat disadari oleh Ainun dan saya. Kami sepakat untuk terus membagi dan bersinergi positif dalam
melaksanakan tugas pekerjaan masing-masing. Kami bersyukur selama di rantau tidak pernah kami
melaksanakan tugas tanpa berkonsultasi, memutuskan dan bekerjasama. Ainun dan saya manunggal
berdasarkan cinta yang murni, suci, sejati, sempurna, dan abadi menghadapi segala tantangan dan
permasalahan yang perlu diselesaikan. BPPT didirikan tanggal 21 Agustus 1978, mengganti Divisi
Advance Teknologi Pertamina (ATTP) yang semula saya pimpin. BPPT berstatus Lembaga non
Depatremen. Semua gagasan kami yang dibicarakan dan disepakati pada hari Senin tanggal 28 Januari
1974, pukul 19.30 sampai pukul 23.00 di ruang kerja kediaman Pak Harto Ja lan Candana 8, mulai
dilaksanakan pemerintah khususnya Menteri Negara Riset Profesor Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan
Direktur Utama Pertamina Dr. Ibnu Sutowo. Sebagai Meneg Ristek/Ketua BPPT yang baru dilantik, saya
dapat langsung melanjutkan semua rencana sesuai jadwal yang sudah disepakati dengan Presiden
Soeharto.
Tahap demi tahap aktivitas Ainun dan saya meningkat dan demikian pula tanggungjawab kami. Berkat
kerjasama yang baik dan sikap Ainun yang selalu ramah dan tidak pernah mengeluh, walaupun tugas
kami terus meningkat, sedangkan waktu sehari tetap terbatas hanya 24 jam, semua pekerjaan dapat
kami selesaikan dengan baik dan tepat waktu Kami berdua tidak pernah berpisah dan selalu mengetahui
di mana kami berada melalui telepon dan secara batin selalu berhubungan. Pekerjaan, kendala dan
persoalan yang banyak, semuanya dapat diselesaikan cepat, harmonis dan tuntas. Kehidupan kami
tenang, tentram dan indah. ”Semoga Allah SWT sepanjang masa di manapun kami berada selalu
melindungi, memberkahi dan mendampingi Ainun dan saya,”, demikian doa tiap saat selalu kami
panjatkan

Berhubung masa libur sekolah Ilham dan Thareq habis dan mereka mulai masuk hari Senin tanggal 3
April 1978, maka hari Kamis tanggal 6 April Ainun bersama Ilham dan Thareq kembali ke Hamburg.
Semua bahan masukan mengenai organisasi para Ibu Kabinet Pembangunan ke -3 yang harus Ainun
ketahui dapat dipelajari di pesawat dan di Hamburg. Jika ada bahan bacaan tambahan yang perlu
dipelajari, akan disusulkan.

Beberapa bulan kemudian, dengan menyesuaikan jadwal liburan sekolah, hari Sabtu tanggal 22 Juli 1978
Ainun bersama anak-anak sudah kembali ke Jakarta, penuh dengan dedikasi dan semangat untuk
bersama dengan saya aktif berbakti, meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM demi bangsa, negara
dan agama. Liburan sekolah di Hamburg berlangsung sampai hari Senin tanggal 4 September, sehingga
kami sekeluarga untuk pertamakalinya dapat ikut serta hadir pada acara 17 Agustus 1978 hari Kamis di
Istana Merdeka.

BAB :1

Ainun Berkarya dalam Organisasi Sosial

SESUAI dengan peraturan yang berlaku, semua anggota Kabinet Pembangunan diharuskan pindah ke
perumahan Kompleks para menteri. Karena kami sebelumnya sudah tinggal di rumah milik Pertamina
dill. Patra Kuningan XIII / No 1 -3 dan diperbolehkan menyicil bell rumah tersebut, maka kami
mengajukan permohonan untuk tidak pindah ke Kompleks Perumahan Menteri. Permohonan kami
dikabulkan.

Sebagai Isteri Anggota Kabinet Pembangunan, Ainun harus ikut aktif pada organisasi Dharma Wanita
yang dibentuk untuk membantu keluarga pegawai negeri menjadi keluarga sejahtera dan mandiri melalui
peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi dan sosial budaya para anggotanya. Enambelas tahun
pengalaman mandiri membangun keluarga sakinah atau keluarga sejahtera di rantau, menjadi bekal
Ainun untuktahap demi tahap berkarya dalam organisasi mi.

Ainun menerapkan pengalamannya mulai pada Dharma Wanita Ristek dan BP PT dan setelah itu
melaksanakan konsolidasi organisasi non departemen bersama Thu Soedharmono, Isteri Menteri
Sekretaris Negara Soedharmono SH. Demikian pula Ainun mulai aktif dan mengambil inisiatif untuk
kreatif menggerakkan para ibu di perusahaan yang langsung saya pimpin seperti PT Nurtanio
(IPTN/PTDI), Pindad dan PAL. Ainun membentuk organisasi dan suatu jaringan atau network yang
langsung memengaruhi menu dan gizi makan siang untuk karyawan perusahaan secara mandiri.
Pemikiran berdasarkan akumulasi pengalaman membangun keluarganya sendiri, dikembangkan dan
diterapkan dengan baik dan berhasil.

Pada tanggal 26 April 1978 dihadapan Notaris Soeleman Ardjasasmita SH, Yayasan Karya Bhakti RIA
Pembangunan didirikan oleh Ibu Sit! Hartinah Soeharto, Thu Nelly Adam Malik dan Thu Soehartati
Oemar Senoadji. Yayasan ini didirikan untuk mengembangkan proyek-proyek sosial dalam bentuk
sebagai berikut:

1. Balai Pendidikan Kewanitaan (BPKW), lembaga yang menjalankan usaha-usaha di lapangan


pendidikan, khususnya ketrampilan wanita.

2. Balai Bina Kerta Raharja (BBKR, sebagai lembaga masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial
bekerjasama dengan Departemen Transmigrasi mendidik Tuna Karya dan Tuna Wisma (Gepeng =
gelandangan dan pengemis untuk menjadi transmigran.

3. Sasana Tresna Werdha (STW), suatu proyek yang didirikan untuk menampung dan menyantuni para
lanjut usia (panti jompo).

4. SOS Desa Taruna, suatu proyek kerja sama dengan badan SOS Kinderdorf International, yang didirikan
untuk menampung dan menyantuni anak-anak terlantar. Ainun memimpin sebagai ketua Balai Bina Kerta
Raharja / BBKR, sejak diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 14 Maret 1984 dan selama 14
tahun sampai Maret 1998.

BBKR merupakan wadah pendidikan dan latihan, untuk menampung tuna wisma dan tuna karya
(gelandangan dan pengemis). Mereka dibekali pengetahuan praktis dan keterampilan yang dibutuhkan,
agar siap ditransmigrasikan ke wilayah-wilayah baru di seluruh pelosok Nusantara. BBKR diloangun di
atas tanah seluas 86.580 m2, terletak di kawasan Jakarta Timur, Kecamatan Ciracas, Kelurahan Cibubur.
Status tanah adalah hak pakai yang dipegang oleh Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan (YKBRP).
Ainun juga sebagai Ketua dari 1984 sampai 1998 selama 14 Tahun, memimpin Pengurus „SOS Desa
Taruna Indonesia” yang merupakan proyek yayasan yang bekerjasama dengan SOS Kinderdorf
International yang berkedudukan di Jakarta dan dibangun di atas lahan seluas 3 hektar di daerah
Cibubur, dengan maksud menampung anak-anak terlantar atau diterlantarkan oleh keluarga atau orang
tuanya. Tanah tersebut berstatus hak pakai, dan pemegang hak adalah YKBRP. Dan i 1998 sampai 1999
Ainun menjadi Ketua Pengurus YKBRP „Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan” dan sampai wafatnya
tanggal 22 Mel 2010, Ainun masih menjadi Ketua Dewan Pembina YKBRP.

Mengenai penyakit mata dan kebutaan, karena tolok ukur prioritas perhatian atau bantuan
penyembuhan dan pencegahan penyakit lazimnya dikaitkan dengan jumlah kematian akibat penyakit
tersebut, maka penyakit mata atau buta tidak diberi prioritas perhatian seperti misalnya penyakit ginjal,
jantung dan paru-paru, karena sedikit yang meninggal akibat sakit mata atau buta.

Namun dipandang dari sudut biaya atau produktivitas, penyakit mata atau buta akan meningkatkan biaya
dan menurunkan produktivitas, karena orang buta sangat tergantung dari orang lain sehingga
membutuhkan biaya tambahan yang berdampak menurunkan produktivitas. Jikalau orang mati,
prestasinya akan hilang tanpa meningkatkan biaya.

Pemerintah R.I. melalui Menteri Kesehatan, tanggal 24 Juli 1967 menyatakan „Kebutaan di Indonesia
merupakan Bencana Nasional”. Berdasarkan pernyataan ini, tanggal 10 Maret 1968 Profesor Dr. Isak
Salim, Drg. Nani All Sadikin, Dr. Wonoyudo, Dr. Sudharsono dan Thu Nani Yamin mendirikan
„Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI)- Bank Mata” untuk membantu
menanggulangi kebutaan yang tidak hanya diakibatkan dari kornea namun juga oleh katarak dan
glaukoma. Perhatian pemerintah sejak tahun 1982 sampai 2005 menekankan bahwa „Ibu Negara”
sebagai ex-officio, barulah pada tahun 2005, Pelindung pada Kepengurusan PPMTI-Bank Mata Pusat
diganti oleh Mentei Kesehatan dan Mentei Sosial RI, sebagai ex-officio Ketua Umum Bank Kepengurusan
PPMTI-Bank Mata Pusat, berturut-turut sbb: Ibu M.Hutasoit (1982 - 1990), Ibu H.T. Alamsyah ( 1990 -
2000) dan Dr.Hj.Hasri Ainun Habibie (2000 - 2010). Sejak masa kepemimpinan Thu Hutasoit, proyek
pembangunan Gedung Pusat Pengkajian dan Pengembangan Penyantunan Kebutaan atau Gedung P4K
dimulai. Karena kendala teknis, baru tanggal 21 Februari 2010 proyek ini selesai dan secara resmi
dimanfaatkan dan dibuka dan oleh Ketua Umum Kepengurusan PPMTI, Hasri Ainun Habibie. Sampai
menjelang akhir hayatnya, sebelum berangkat ke Jerman, Ainun masih menitipkan pesan kepada Jim ly
Asshiddiqie yang waktu itu masih menjabat Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) agar
membantu merubah ketentuan dalam undang-undang donor mata, tidak hanya dengan kata-kata
”diperbolehkan”, tetapi menjadi dianjurkan”. Saya menyaksikan bagaimana Ainun secara sistematis,
profesional, konsisten penuh dedikasi dan perhatian pada pekerjaan bakti sosial. Ainun mengatasi satu
demi satu masalah administrasi, hukum, teknis peralatan, teknis kedokteran dan pendanaan untuk
menyelesaikan semua proyek yang ia tekuni.

Ainun tidak pernah mengenal lelah dan menyerah. Ainun selalu memperhatikan saya dan keluarga.
Selalu memberi senyuman yang bagi saya memukau, menenangkan, mengilhami dan sepanjang masa
kurindukan. Transparansi antara kami selalu dipelihara dengan penuh kemesraan yang dikalbui oleh cinta
yang murni, suci dan sempurna. Akumulasi pengalaman dan bakat Ainun yang diterapkan dengan
keyakinan atas interpretasi ajaran agama seperti tertulis dalam Alquran, sangat memengaruhi perilaku
kehidupannya, sebagai isteri dan mitra hidup bersama. Pasang surut berkeluarga di rantau telah
mewarnai kehidupan kami dalam berkarya sosial pada umumnya, khususnya bagi Ainun yang sebagian
besar waktu dan karyanya diberikan untuk membangun keluarganya menjadi keluarga sejahtera,
keluarga sakinah.

Ainun selalu hadir pada tiap ceramah, kuliah atau orasi saya yang perhatian utamanya diberikan kepada
pengembangan produktivitas SDM yang ditentukan oleh proses pembudayaan dan proses pendidikan.
Proses pembudayaan sangat ditentukan oleh kualitas keluarga sejahtera dan proses pendidikan sangat
tergantung oleh sistem pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tiap saat dan tiap kesempatan di mana Ainun membutuhkan penjelasan lebih rinci, selalu
saya berikan. Pertanyaannya selalu kritis dan rinci yang disampaikannya dengan wajah yang memukau
dan mengilhami saya, sehingga tiap saat saya menikmati dan mensyukuri jikalau ia ajukan pendapat dan
pertanyaan yang konstruktif. Saya selalu menggarisbawahi bahwa bukan „materi” atau „uang” yang
harus dikejar, namun kesempatan bekerja bagi semua yang harus diciptakan. Akibatnya yang harus
dikejar adalah, penguasaan Iptek, produktivitas, daya-saing dan akhirnya ”jam kerja”. Bukan hanya
„uang”. Memang „uang” penting tetapi tidak selalu menentukan. Yang menentukan adalah ”daya saing”.
Jika daya saing rendah, uang akan pergi, namun jika daya saing tinggi uang akan datang. ”Lapangan
kerja” atau ”jam kerj a” akan bertambah yang berakibat peningkatan pemerataan kesejahteraan dan
jumlah serta kualitas keluarga sejahtera bergulir. Ainun terus bertanya dan kembangkan cara dan metode
terbaik pada pelaksanaan proyek sosial yang sedang ia laksanakan atau rencanakan. Dengan latar
belakang pendidikan sebagai dokter dan pengalaman membangun keluarga, ia terus berkarya
berdasarkan keyakinannya, dedikasinya, tanpa mengenal lelah dan menyerah. Ainun konsentrasi pada
peningkatan kualitas proses pembudayaan SDM melalui organisasinya. Ainun membentuk Majelis
Pengajian dengan para ibu. Tiap hari Selasa pada minggu pertama dan kedua tiap bulan, dilaksanakan
pengajian dan ceramah mengenai ajaran Agama Islam dan Alquran di rumah kami di Jalan Patra
Kuningan XIII No 1 - 3. .4.■

BAB 8

Jam Kerja

KARENA industri pertanian, perkebunan, pertambangan, perternakan, perikanan dan industri bangunan,
perhubungan, jasa, perbankan, perdagangan tidak dapat menyediakan lapangan kerja atau ”Jam Kerja”
yang sangat dibutuhkan, maka kita harus memberi perhatian khusus pada industri manufaktur baik
mikro, kecil, menengah maupun besar. Pasar dalam negeri diamankan untuk produk dalam negeri tanpa
memperhatikan siapa pemilik perusahaan. Penggerak utama industri manufaktur adalah pasar dalam
negeri. Industri manufaktur obat, jamu, makanan, kerajinan, tekstil, pakaian jadi, transportasi darat-laut-
udara, mesin, baja, elektonik dsb. harus segera mendapat perhatian. Yang diperhatikan bukan hanya
„Neraca Perdagangan” dan „Neraca Pembayaran” namun juga „Neraca Jam Kerje Khususnya dalam
proses globalisasi, ”Neraca Jam Kerja” ini, harus segera menda pat perhatian khusus. Jelas defisinam
Kerja” dapat diperbaiki melalui peningkatan „Daya Saing” industri manufaktur yang memanfaatkan SDM
dan teknologi secanggih apapun. Untuk memperbaiki „Neraca Jam Kerja”, perencanaan jangka panjang
yang konsisten atau berkesinambungan harus diamankan. Tidak mungkin penyelesaiannya dapat
dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Pemerintah dan wakil rakyat wajar membuat pro duk hukum
yang membantu peningkatan daya saing industri manufaktur dan mengamankan pasar domestik untuk
produk buatan dalam negeri. Ini bukan „proteksionisme”, namun tidak lain untuk memperbaiki „Neraca
Jam Kerja” atau menciptakan lapangan kerja. Kebijakan peningkatan kualitas dan daya saing SDM, harus
senantiasa mengandalkan pada kualitas Iptek dan Imtak yang seimbang. Berarti proses pendidikan dan
pembudayaan terus ditingkatkan. Baik Ainun maupun saya bekerja keras dengan keyakinan apa saja yang
kami laksanakan adalah bagian dari sumbangan nyata. Kami selalu menampung, mengecek penyelesaian
pekerjaan masing - masing. Ainun melaksanakan tugasnya yang berkaitan dengan proses pembudayaan
dan kesejahteraan SDM dan saya memberi perhatian pada pengembangan dan penerapan teknologi
untuk proses nilai tambah. Saya dan Ainun berlari untuk mengejar ketertinggalan peran SDM, peran
industri manufaktur yang tercermin pada perbaikan „Neraca Jam Kerja”. Semuanya ini berdampak pada
proses pembudayaan, proses pendidikan, proses penelitian, proses pengkajian, proses perencanaan dan
proses pembangunan. Ainun dan saya makin dekat, makin menyatu, makin manunggal jiwa, roh, batin
dan nurani kami, sepanjang masa di manapun kami berada. Munculnya pandangan untuk meningkatkan
”Neraca Jam Kerja” menjadi positif disamping tradisi pembangunan ekonomi yang hanya mengandalkan
pada ”Neraca Perdagangan” dan ”Neraca Pembayaran” yang positif membingungkan. Pelaku ekonomi,
khususnya yang hidupnya dari perdagangan dan pembayaran merasa dirugikan. Demikian pula proses
globalisasi membuka kinerja positif yang baru dengan pelaku yang baru. Sering terjadi ucapan para
pelaku dan pakar tradisional yang mengatakan, Habibie mengambil dana kita yang sudah terbatas untuk
membangun dan mengembangkan industri manufaktur dan sekaligus memaksa kita membeli produksi
Industri Manufaktur Nasional. Sebagai contoh disebut Industri Strategis pada umumnya dan khususnya
produk PT IPTN, PT PAL, PT Pindad dan PT Inka. Sepintas nampaknya tidak adil.

CN-235 Tetuko sebagai produk dalam negeri yang sejak tahun 1978 dalam 6 tahun dikembangkan dan
diproduksi bersama oleh PT IPTN dan CASA, terbang perdananya Desember 1984, dimunculkan pada
Indonesian Airshow 1986. Hari Rabu tanggal 25 Juni 1986, dipertengahan kegiatan ”Indonesian Airshow
1986”, HUT saya yang kebetulan ke-50 dirayakan. Khusus mengenai HUT saya itu, Ainun dalam buku
A.Makmur Makka (”SABJH”), menulis sebagai berikut:

„Saya pikir di tahun-tahun pertama di Aachen itulah dasar kebahagiaan hidup kami berdua terbentuk.
Tiga setengah tahun berhidup pas-pasan. Tiga setengah tahun suka duka sum her kenangan pahit manis
tidakterlupakan. Sating mengertL Sating membantu. Sating berkorban. Makin menyatu jiwa raga. Sam
pal seka rang. Hingga akhir hidup. Memang waktu itu kami tidak punya banyak. Tetapi kami memiliki
masing-masing. Selamat ulang tahun yang ke limapuluh. Isterimu, anak-anakmu Ilham dan Thareq,
mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Esa salalu melindungimu dan menganugerahkan kesehatan dan
keselamatan dalam menunaikan tugas mulia membangun negara dan bangsa’

Ainun dan saya makin menyatu, manunggal jiwa, roh, batin dan nurani dalam segala-galanya. Kami saling
mengilhami, di mana ada Ainun disana ada saya dan di mana ada saya di sana ada Ainun. Bukan saja
teknologi yang menghubungkan kami, tetapi lebih dari itu „getaran jiwa” kami selalu menghubungkan
kami di manapun kami berada. Prasangka SDM negara berkembang umumnya dan khususnya Indonesia
yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam, tidak akan dapat mengerti, menerapkan apalagi
mengembangkan Iptek yang canggih, hanya dapat dibuktikan ketidakbenarannya dengan memperbaiki
„Neraca Jam Kerja” industri manufaktur secanggih apapun. Industri dirgantara adalah salah satu industri
”ujungtombak” teknologi canggih. Karena itu Industri Dirgantara (dahulu PT Nurtanio, selanjutnya PT
IPTN dan sekarang PT DI) harus berprestasi menghasilkan „karya nyata”.

Karya Nyata tersebut dilaksanakan secara bertahap:

1. Pembuatan pesawat terbang secara lisensi dari Perusahaan Spanyol CASA, CN 212

2. Pengembangan dan produksi bersama dengan Perusahaan Spanyol CASA, CN 235

Mandiri mengembangkan dan memproduksi Pesawat Canggih 70 Penumpang, N 250

• Tahap pertama, produksi komponen dan integrasi komponen pesawat menjadi produk dalam negeri
CN 212 dapat diselesaikan pada tahun 1978.
• Tahap kedua, mandiri mengembangkan dan produksi komponen baru, SO% oleh IPTN dan 50% oleh
CASA. Pesawat 35 Penumpang yang diberi nama ”Tetuko” terbang perdana pada bulan Desember 1984.
Pemunculan CN 235 ”Tetuko” pada ”Indonesian Airshow 1986” di Kemayoran - Jakarta.

• Tahap ketiga, Penelitian, pengembangan teknologi canggih bersama SDM yang bekerja dipusat
keunggulan nasional seperti Puspiptek, LAG, LUK, KIM, BPPT, LAPAN, ITB bersama IPTN, tanpa
bekerjasama dengan perusahaan LN dimulai. Investasi prasarana teknologi canggih untuk meningkatan
keunggulan dan Daya Saing SDM sebagai aset nasional. Pesawat terbang N-250 Gatotkaca tepat pukul
10.00 tanggal 10 Agustus 1995 dalam rangka memperingati 50 Tahun Indonesia Merdeka disaksikan oleh
Presiden Soeharto dan Ilou Negara Tien Soeharto. Karya Nyata SDM Indonesia membuktikan bahwa
„prasangka” yang merugikan „kepercayan din i bangsa”, tidak beralasan. Bangsa Indonesia Bangkit dan
melek Teknologi: Tanggal 10 Agustus 1995 dikenang sebagai ”Hari Kebangkitan Teknologi Nasional” atau
”Hakteknas”.

Untuk melaksanakan 3 Tahap yang dimulai dalam tahun 1974 dengan hanya 20 orang di Divisi Advance
Teknologi Pertamina, sampai terbang perdana N-250 Gatotkoco pada tanggal 10 Agustus 1995, telah
melibatkan sekitar 16.000 pakar yang berkembang dan menjadi unggul, dalam waktu 21 tahun.
Dipandang dari sudut ”Neraca Jam Kerja” sangat berhasil dan bijaksana. Semuanya membutuhkan waktu
dan kesabaran yang cukup panjang dengan strategi yang berkesinambungan

ICAS adalah singkatan dari ”International Council of the Aeronautical Sciences” suatu organisasi yang
didirikan berdasarkan hasil brainstorming ”Para Tokoh Ilmu Pengetahuan bidang Aeronautics” dari 8
negara di New York pada tanggal 29 Januari 1957. Walaupun pada waktu itu Perang Dunia ke- 2 baru saja
berakhir 11 tahun yang lalu dan keadaan memprihatinkan.

Perang Dingin sedang bergulir dan Perang Dunia ke -3 berada diambang pintu. Walaupun kendala politik
dan militer tidak kooperatif, kedua tokoh bidang dirgantara Harry F. Guggenheim dan Theodore von
Karman mengambil inisiatif untuk melihat 100 tahun ke depan telah mengadakan konsolidasi dan
koordinasi Ilmu Pengetahuan Dirgantara.

Berdasarkan keyakinan, bahwa wawasan mereka sangat menentukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masa depan umat manusia, organisasi ICAS dalam bulan Januari 1957 didirikan.

Pada saat itu, ditentukan bersama bahwa I CAS akan melaksanakan tiap dua tahun pertemuan para
tokoh negara anggotanya yang berkemampuan mendidik SDM, memiliki pusat keunggulan Iptek dan
industri dirgantara yang telah menghasilkan ”karya nyata”.

Tahun 1957, hanya 10 negara yang memenuhi syarat menjadi Anggota ICAS, tahun 1962 meningkat
menjadi 23 negara dan sekarang tahun 2010 anggotanya sudah 30 negara. Indonesia sejak tahun 1986
menjadi Anggota ICAS.

Karya Putra - Putri Indonesia mendapat perhatian masyarakat dunia pertama kalinya ketika saya
didampingi Ainun, harus memberi ”Theodor von Karman Lecture” yang ke- 6 di Kongres ICAS ke 18, yang
berlangsung pada tanggal 20 sampai 25 September 1992, di Beijing, RRC.
Setelah itu, saya menerima ”ICAS-von Karman Award for International Cooperation in Aeronautics”
untuk tahun 1992 sebagai penghargaan prestasi SDM Indonesia dan Spanyol yang telah berhasil
mengembangkan pesawat CN-235-Tetuko.

Penghargaan ”ICAS” diberikan kepada Indonesia dan saya didampingi Ainun mendapat kehormatan
untuk menerimanya dan memberi ”Theodor von Karman Lecture”. Adapun Award itu diberikan kepada
saya dari Indonesia dan bukan kepada wakil Spanyol adalah suatu kenyataan dan kami syukuri.

Karya nyata Tetuko CN-235, menjadi cikal bakal untuk Gatotkoco N-250. Investasi jangka panjang yang
tercermin pada ”Neraca Jam Kerja” Indonesia mulai nampak. Bagi mereka yang memahami peran
industri manufaktur, khususnya negara berkembang lainnya seperti, China, India, Brasil, Korea, Vietnam
dan Turki melirik ke Indonesia dan mau belajar dari pengalaman dan kesalahan kita. Saya dan Ainun
sangat merasakan perkembangan ini, jumlah permohonan para tokoh negara sahabat yang sedang
mengembangkan industri manufakturnya untuk bersilaturahmi, bertambah. Kesibukan kami terus
meningkat.

Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia - ICMI

KETIKA saya selesai melaksanakan shalat Jumat di Lantai 9 Gedung BPPT Jalan Thamrin dan melalui lift
mau turun ke ruang kerja saya di Lantai 3, di depan lift saya bertemu dengan 6 pemuda berumur sekitar
antara 18 dan 21 tahun di pimpinan Erik Salman. Ternyata mereka adalah mahasiswa dari Universitas
Brawijaya yang telah beberapa kali berusaha bertemu dengan saya. Atas anjuran Bapak Alamsyah
Ratuperwiranegara dan Bapak Achmad Tirtosudiro, mereka menantikan saya di depan lift pada hari
Jumat tanggal 6 Juli 1990 sekitar pukul 13.00. Mereka secara halus dan berbudaya mendesak untuk
bersilaturahmi. Karena agenda acara saya baru mulai pukul 14.00, maka saya persilakan mereka ikut
masuk ke ruang rapat di Lantai 3 yang penuh dengan model pesawat dan produk teknologi canggih.
Mereka membawa surat undangan untuk menghadiri suatu seminar dan memberi makalah yang
bertema ”Pembangunan Masyarakat Indonesia Abad ke XXI”. Seminar ini dipersiapkan oleh mahasiswa
yang beragama Islam pada bulan September 1990, di Universitas Brawijaya, Malang.

Setelah menjelaskan bahwa acara saya sudah padat sampai bulan Desember 1990, Erik Salman tokoh
pemuda dan pimpinan mereka menyampaikan dengan tegas dan halus: ”Tentukan saja kapan Bapak
dapat hadir pada seminar tersebut untuk memberi wawasan dalam tdhun 1990 ini juga. Kami akan
menyesuaikan”. Dengan pernyataan Erik Salman, setelah melihatjadwal, saya mengusulkan: ”Hari Jumat
tanggal 7 Desember 1990, saya akan datang ke Kampus Universitas Brawijaya bersama Ibu Ainun dan
shalat Jumat bersama generasi penerus bangsa.” Namun setelah jadwal kunjungan ke Malang
ditentukan, Erik Salman menyampaikan lagi harapan para penyelengara seminar agar pada tanggal 7
Desember 1990 nanti, dapat didirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia dengan saya sebagai Ketua.
Saya langsung menambahkan kata ”se” untuk menggarisbawahi bahwa ini satu-satunya organisasi
Cendekiawan di Indonesia. Namun, tidak mungkin seorang menteri memimpin suatu organisasi tanpa
persetujuan Presiden. ”Bagaimana caranya untuk mendapatkan persetujuan Presiden?”, bertanya Erik
Salman. ”Tulislah surat resmi kepada saya dan ajukan usul agar saya memimpin suatu organisasi baru
yang namanya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. Surat ini harus sekurang-kurangnya
ditandatangani oleh 10 ilmuwan yang berpendidikan S3. Surat ini akan saya perlihatkan kepada Presiden
Soeharto dan menanyakan pendapatnya”. ”Baik, akan kami persiapkan surat yang dibutuhkan”, ucap Erik
Salman, sambil mohon din i karena acara saya selanjutnya akan mulai dan suara para tamu di ruang
tunggu terdengar. Sementara itu, saya menerima telepon dari Bapak Alamsyah Ratuperwiranegara dan
Bapak Achmad Tirtosudiro yang sangat merekomendasikan bahkan mendesak saya untuk menerima
ajakan para Pemuda Islam yang disampaikan pada hari Jumat yang lalu tanggal 6 Juli 1990 di ruang rapat
lantai 3 kantor saya, Gedung BPPT di Jalan Thamrin. Setelah shalat Jumat tanggal 31 Agustus 1990 di
lantai 9 BPPT, saya menerima Erik Salman dengan kawan-kawannya, didampingi oleh Dr. Imaduddin dari
ITB dkk. di ruang Rapat kantor saya lantai 3 di BPPT. Mereka membawa surat yang saya minta dan
ditandatangani oleh 49 Ilmuwan dengan pendidikan S3. ”Banyak sekali yang menandatangani”, demikian
ucapan saya setelah membaca surat mereka. ”Masih banyak ingin ikut menandatangani, namun kendala
waktu tidak memungkinkan”, sambut Erik Salman dengan semangat. Setelah mendengarkan saran dan
usul mereka dengan penjelasan lebih rinci oleh kedua „tokoh” yang mendampingi Erik, kami berpisah
dan saya berjanji minggu depan akan memperlihatkan surat mereka kepada Presiden Soeharto untuk
meminta pendapat Beliau. Hari Rabu tanggal 5 September 1990 setelah menghadiri Sidang Kabinet
Terbatas bidang Ekuin di Binagraha. Pukul 13.00 saya diterima Presiden Soeharto untuk melaporkan
mengenai progres beberapa proyek yang sedang dipersiapkan dan dilaksanakan, khususnya Terbang
Perdana Pesawat N-250 Gatotkoco, rekayasa dan produksi 100% Putra - Putri Indonesia, sebagai Hadiah
50 Tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1995. Pada kesempatan ini, saya
perlihatkan surat yang ditandatangani 49 Ilmuwan Indonesia dan menjelaskan masukan yang saya
peroleh. Dan i 49 yang menandatangani, saya hanya mengenal 3 orang saja. Yang lain tidak. Ternyata Pak
Harto mengenal sebagian besar para penandatangan surat tersebut dan menyatakan, ”Mereka baik,
berbakat dan perlu dibina dan dibimbing untukberperan aktif dalam membangun masa depan bangsa”.
”Saya bukan orangnya untuk memimpin mereka. Saya sudah sangat sibuk dan hampir tidak memiliki
waku lagi untuk keluarga dan saya sendiri. Saya sependapat dengan Bapak bahwa ini penting, namun
sebaiknya diserahkan kepada anggota kabinet yang lain, seperti Menteri urusan Pemuda, Menteri
Agama, Menteri Pendidikan atau tokoh yang lain. Saya tidak menyanggupi menerima permintaan
mereka, ” kata saya kepada Pak Harto. Memperhatikan dan mendengar ucapan saya, Pak Harto
mempersilakan saya minum teh yang sudah dihidangkan sambil tersenyum beliau menyampaikan: ”Pak
Habibie selalu menjelaskan bahwa masa depan bangsa harus mengandalkan pada SDM dan tidak saja
pada SDA. SDM harus berkualitas dan memiliki daya saing dan produktivitas yang tinggi. Penguasaan
Iptek melalui pendidikan yang diimbangi dengan kualitas Imtak yang tinggi melalui pembudayaan
penting untuk meningkatkan Daya Saing SDM Indonesia. Apa yang diusulkan oleh para pemuda seperti
tertulis dalam surat mereka adalah tidak lain dampak pandangan dan ucapan Habibie sendiri!” ”Saya
mengerti penjelasan Pak Harto, tetapi saya sibuk sekali untuk merekayasa N-250 Gatotkoco yang
mengambil waktu banyak untuk memproduksinya dalam kualitas tinggi dan canggih, biaya terkendali dan
rendah serta terbangnya tepat pada tanggal 10 Agustus 1995. Bukan sebaiknya saya memusatkan
perhatian saya pada Ipteksaja dan pengembangan Industri Strategis”, kata saya lagi mengelak. ”PT PAL
merencanakan peluncuran kapal untuk 500 penumpang dan PT Inka merekayasa KA Cepat antara
Surabaya dan Jakarta, semuanya sebagai hadiah 50 Tahun Indonesia Merdeka. Kapal harus siap berlayar
dari Jakarta ke Surabaya bersama Bapak Presiden dan Ibu Negara. Kereta Api cepat buatan PT Inka dari
Surabaya ke Jakarta, bersama Bapak Wakil Presiden dan Ibu. Semuanya harus tepat waktu dan
berkualitas. Bukankah wajar jikalau usul para 49 Ilmuwan, diserahkan kepada tokoh dan pakar yang
lain?” Sambil senyum Pak Harto berkata ”Saya yakin Habibie dapat melaksanakan itu semua sesuai
dengan rencana. Namun saya sependapat dengan 49 Ilmuwan yang menandatangani surat ini.
Mengapa? Perhatikan perilaku dan hidupmu berkeluarga dan bermasyarakat! Kehidupanmu dengan
Ainun selalu mesra dan menyenangkan untuk siapa saja. Tiap hari shalat 5 kali, berpuasa bersama Ainun
tiap hari Senin dan Kamis. Bekerja keras dan tidak pernah mengeluh atau membuat persoalan yang
mengganggu berkembangnya keluarga sakinah sesuai ajaran Alquran. Hidup dan Perilaku Habibie dan
Ainun selalu mencerminkan keseimbangan antara Iptek dan Imtak. Surat 49 Ilmuwan Indonesia itu
mencerminkan Habibie dan Ainun diterima mereka sebagai „panutan”. Sering saya amati bersama Thu
perilaku Habibie dan Ainun. Dunia itu tidak buta dan tuli! Kami bersyukur kepada Allah SWT. Semoga
Habibie dan Ainun menjadi „panutan” bagi anak cucu kita semua! Saya dapat memahami dan
membenarkan surat 49 Ilmuwan Indonesia untuk mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia
di Malang nanti yang dipimpin oleh Habibie.” ”Setelah memperhatikan dan memahami uraian Bapak,
saya berusaha tidak mengecewakan rakyat. Mohon Bapak Presiden berkenan memberi Political Umbrella
atau Payung Politik untuk mencegah terjadinya polemik yang tidak menguntungkan persatuan dan
pembangunan bangsa pada pembentukkan ICMI nanti. Kami diperkenankan dibantu oleh Tim Penasehat
yang terdiri dari para tokoh dan pakar. Sebagai Sekretaris ICMI saya usulkan DR. Wardiman Djojonegoro,
salah satu Deputi BPPT yang sejak gerakan mahasiswa di Jerman sering bekerjasama dalam satu tim.”
”Mulai saat ini saya minta agar Habibie tidak menerima makanan dan minuman kecuali yang disediakan
oleh Ainun. Harap dilaksanakan permintaan saya dan semoga Allah SWT selalu melindungi Habibie dan
Ainun dalam melaksanakan tugas apa saja !” Pembicaraan dengan Pak Harto saya ceriterakan kepada
Ainun dan kami bersepakat untuk mengikuti saran Pak Harto. Ainun akan selalu disampingku seperti saya
disampingnya, di manapun kami berada.

BAB

Dampak dan Karya ICMI

TANPA menemui kendala yang berarti, Seminar SDM bertema ” Pembangunan Masyarakat Indonesia
Abad 21” dan pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), akhirnya terlaksana pada
Muktamar ICMI ke -1 yang berlangsung 7 Desember 1990 di Malang. Acara ini dibuka oleh Presiden
Soeharto dan ditutup Wapres Soedharmono keesokan harinya. Hari Rabu, 6 Desember, sehari
sebelumnya, saya terbang dari Jakarta menuju kota Malang. Saya bersama Pak Azwar Anas, Pak Achmad
Tirtosudiro, isteri saya - Ainun, dan beberapa tokoh Umat Islam Indonesia. Setelah ICMI resmi terbentuk,
saya sadar masih ada sebagian kalangan termasuk kalangan umat Islam yang tidak antusias menyambut
berdirinya ICMI. Tidak lama setelah ICMI berdiri, serentak bermunculan reaksi berbagai kelompok
masyarakat dengan mendirikan forum, organisasi dan yayasan yang hendak menjadi ”tandingan” ICMI.
Banyak diantara lembaga ini memang berhasil terbentuk, tetapi sejumlah lainnya hanya terhenti pada
wacana. Selain itu berkembang pula isu yang dilancarkan oleh berbagai pihak yang mencap ICMI antara
lain sebagai : ”alat kekuasaan dan alat politik”, ”menyuburkan semangat primordialisme keagamaan”
atau ”sektarianisme yang akan melemahkan nasionalisme”. Waktu itu saya diam saja. Di kemudian hari,
sejumlah diantara tokoh yang pernah menyebut ICMI dengan berbagai atribut tersebut, justru menjadi
aktivis organisasi massa, bahkan terjun dalam partai politik dan terlibat kegiatan politik praktis. Mereka
melawan argumentasi sendiri ketika mencap ICMI dengan berbagai atribut. Apa pun kata mereka, bagi
saya, kini ICMI sudah membuktikan kinerjanya. Bagi yang tetap menentang, silakan. ICMI sudah menjadi
bagian terpadu dari bagian Bangsa Indonesia.

ICMI justru untuk mengatasi kecenderungan sektarianisme dan pengkotakan umat serta bangs a karena
sernpitnya wawasan dan eklusivisme. ICMI menjalin kerjasama dengan organisasi cendekiawan
keagamaan lain seperti: • Ikatan Sarjana Katholik (ISKA) • Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia
(PIKI), • Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI) • Keluarga Cendekiawan Budhis Indonesia (KCBI)
Dengan semua lembaga ini, ICMI dudukbersama dalam satu seminar untuk membahas agenda masa
depan budaya bangsa. Pada tahun - tahun pertama saya tiap minggu, selanjutnya tiap bulan, tiap 3 bulan
dan akhirnya tiap saat jika diperlukan bertemu untuk mendapatkan Informasi dan bertukar pandangan
mengenai kerjasama yang menguntungkan peningkatan produktivitas SDM di Bumi Indonesia melalui
peningkatan kualitas Iman dan Takwa (Imtak). Bagi mereka yang mencermati sejarah, saya dengan
rendah hati mengatakan bahwa tanpa kehadiran ICMI, ISKA, PIKI, FCHI dan KCBI dan peran aktif para
tokoh-tokoh mereka, pada awal proses reformasi yang telah bergulir di Indonesia, tidak mungkin
berjalan dengan mulus. Ini fakta! Banyak sekali peranan ICMI walaupun ICMI tidak menyadari itu Kenapa
ini bisa terjadi? Tidak heran jika kalangan di luar negeri mengatakan, pada akhirnya ICMI itulah yang
merupakan penjamin atau ”garantor demokratisasi” di Indonesia agar tetap berjalan dan mekar. Sebab,
ICMI sesungguhnya adalah cerminan sekuler plus. Mengapa pernyataan itu dialamatkan ke ICMI? Sekuler
adalah pemisahan antara „Kekuasaan dan Pengaruh”, Agama dengan Pemerintahan. Sedangkan „Sekuler
plus” adalah „Pertanggungjawaban akhirat” dan „Pertanggungjawaban duniawi” dipisahkan.
„Pertanggungjawaban akhirat” nanti setelah hari akhir. Sedangkan „Pertanggungjawaban duniawi” bisa
dilaksanakan misalnya di DPRD, DPR atau MPR. ICMI ternyata tidak hanya menggaransi kedua hal itu
dipisahkan, tetapi juga menggaransi bahwa orang yang mempertanggungjawabkan itu tetap beriman
dan bertakwa karena salah satunya prinsip dasar ICMI adalah kualitas iman dan takwa (Imtak) seimbang
dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Berarti, iman dan takwa yang berakar pada
ajaran tiap agama itu, adalah unsur dari kualitas etik dan moral. Di Indonesia, itu adalah „sekuler plus”.
Itu yang pertama menjadi basic principles yang dikeluarkan secara eksplisit dan disebutkan oleh satu
organisasi muslim se-Indonesia. Oleh karena itu, demokrasi di Indonesia, dengan jejak jejak dan karya
yang antara lain telah dibuat oleh ICMI dan organisasi sejenis, Insya Allah akan selalu berkembang pada
rel yang benar, di mana kualitas iman dan takwa (Imtak) selalu dalam keadaan seimbang dengan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Ini dapat selalu mencegah terjadinya pimpinan-
pimpinan yang menghalalkan apa saja agar supaya kepentingan duniawai mereka tercapai. Sekarang,
kehadiran ICMI benarkah telah melahirkan perubahan pada umat Islam di Indonesia? Ada baiknya
mengutip kembali ucapan Bapak Letnan Jenderal Alamsyah Ratuperwiranegara (aim) yang merasa
kehadiran ICMI membuat makin terangkatnya kebanggaan Islam. Menurut Pak Alamsyah : ” Sebelum
kemerdekaan bangsa Indonesia malu mengaku dirinya bernafaskan Islam; setelah kemerdekaan,
manusia Indonesia takut mengaku dirinya bernafaskan Islam; dan setelah berdirinya ICMI, manusia
Indonesia bangga menyatakan bahwa dirinya bernafaskan Islam.”

Sebelum ICMI didirikan, memang saya mengetahui dan mendengar beberapa kejadian tidak kondusif
yang telah dialami sejumlah tokoh dan umat Islam di Indonesia. Sehingga setiap langkah umat Islam di
Indonesia, umat Islam merasa tersudutkan. Misalnya ada yang membuat dikotomi Islam dan Pancasila,
Islam sebagai golongan ekstrim kanan” dan ideologi komunis sebagai ”ekstrim kiri”, semua itu adalah
daya upaya mendiskriminasi umat Islam dalam bidang politik. Kelahiran dan penggagas ICMI tumbuh
dari bawah, bahkan dari kalangan mahasiswa. Itu kenyataan, tetapi ketika ICMI diresmikan di Malang
tahun 1990, di mana semua elite kekuasaan hadir, termasuk Presiden dan Wakil Presiden serta sejumlah
menteri. Orang yakin dan melihat bahwa elite kekuasaan sepenuhnya mendukung kelahiran ICMI. Suatu
hal yang mustahil terjadi ketika itu apalagi selama Orde Baru. Kenyataan ini membuat orang melihat ICM
I sangat bermuatan politik. Karena itu, ketika sejumlah aktivis ICMI terplih sebagai menteri, di lembaga
legislatif, pejabat tinggi negara dan Badan Pekerja M PR, ICMI telah dicap melakukan ” ijo royo-royo”,
atau ”mengislamkan lembaga-lembaga negara tersebut.

Kemudian, sudah menjadi kenyataan pula bahwa Ketua Umum ICMI adalah Presiden Republik Indonesia
ke-3. Begitu juga pada sejumlah jabatan penting kenegaraan lainnya. Mereka tidak melihat bahwa pada
tahun 1998, sebenarnya saya baru menjadi pimpinan ICMI selama 8 tahun, sementara saya menjadi
anggota dan pimpinan di Golkar sudah hampir 20 tahun. Begitu pula dengan tokoh ICMI lain yang
mendapat amanah duduk di legislatif dan eksekutif. Tetapi ini adalah fakta.

Karya nyata dan kiprah ICMI tidak hanya bisa dilihat dalam kehidupan politik. Tanggal 23 Januari 1993,
saya selaku Ketua Badan Pembina Yayasan Abdi Bangsa dari ICM I, menerbitkan dan meluncurkan Harian
Umum Republika. Sebuah media harian yang bernafaskan Islam dan fenomenal. Kelahiran Republika
bersifat unik, harian ini dapat berdiri _dan berkembang pada saat itu berkat solidaritas masyarakat
intelektual, khususnya warga ICM I dan umat Islam pada umumnya, yang telah dengan sukarela membeli
saham Republika. Tiap saham bernilai Rp 5.000,- dan tiap orang hanya boleh memiliki satu saham, siapa
pun tidak terkecuali kepada presiden, menteri. Atas dasar ’kebijakan’ mekanisme kepemilikan saham
tersebut maka tidak heran harian Republika adalah milik masyarakat luas, khususnya para cendekiawan
dan umat Islam. Siapa pun yang mengelolanya, media ini tetap meneruskan misinya sebagai media yang
bernafaskan Islam, memberikan pencerahan kepada umat. Harian Republika juga telah berhasil
melahirkan lembaga mobilisasi dana ”Dompet Dhuafa” yang kemudian berkembang sebagai lembaga
yang mandiri. Dompet Dhuafa dipercaya oleh masyarakat dan umat sebagai tempat untuk menghimpun,
menggalang dan mengelola dana zakat, infaq dan sedekah (ZIS) dari masyarakat luas. Da lam bidang
pendidikan murid sekolah menengah atas, ICM I mendirikan Sekolah Insan Cendikia di Serpong Jawa Ba
rat dan Gorontalo didukung oleh Departemen Agama. Lulusan sekolah ini unggul dan berkualitas dengan
dasar imtak yang ditanamkan kepada siswanya. Sistem pendidikan yang diterapkan disekolah ini,
diadopsi oleh beberapa lembaga pendidikan swasta sejenis.

ICMI juga mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI), ratusan BMT (Baitul Maal wa Tanwil) dan Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), demikian pula Asuransi Takaful. Kesemuanya itu dilakukan dalam
rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat. Di samping itu, untuk peningkatan kualitas intelektual,
didirikan pula CIDES (Center for Information and Development Studies), dan bagi kalangan intelektual
muda didirikan Majelis Sinergi Ka lam (Masika). Yayasan Beasiswa Orbit di mana Ainun banyak
mencurahkan perhatiannya, didirikan untuk membantu generasi muda kita yang memerlukan beasiswa
untuk pendidikan mereka. Da lam perjalanan ”Long march” ICMI, seperti yang saya sampaikan dalam
pidato pertama saya setelah terpilih sebagai Ketua Umum ICMI1990 di Malang, misi dan tujuan ICMI
tidak dibatasi oleh waktu. Bahwa ICMI tetap harus selalu konsisten pada isu-isu peningkatan kualitas
sumber daya manusia, berlandaskan Imtak dan Iptek yang kualitas mutunya terus ditingkatkan sepanjang
masa. +

BAB

ICMI dan Harapan ke Depan

MERUPAKAN suatu kehormatan bagi saya, pada Muktamar pertama ICMI tanggal 7 Desember tahun
1990, menjadi salah seorang dari lebih 400 pendiri ICMI di Malang. Muktamar itu dilaksanakan hari
Jumat dan dibuka hari Kamis oleh Presiden Soeharto.

Momentum itu tidak akan saya lupakan dalam hidup saya. Ainun tidak pernah pindah dari samping saya,
selalu menyatu, manunggal jiwa, roh, batin dan nurani dalam segalanya dan terus mengilhami dan
memberi ketenangan bagi saya dalam menghadapi semua tantangan, menjelang berdirinya ICMI, saya
telah diberikan mandat penuh sendiri untuk menyusun pengurus 1CMI, sekaligus merumuskan Basic
Principles ICMI. Da lam saat-saat penting seperti itu, di mana saya mendapat beban amanah yang berat,
wajah dan senyumannya Ainun selalu menenangkan saya. Tidak berkelebihan jika tiap saat saya
memanjatkan doa pada Allah SWT dan bersyukur bahwa saya telah mendapat pasangan hidup sejati
yang selalu menghilangkan kebimbangan dan keraguan hati saya dalam menerima tugas-tugas yang
berat. Menjelang pendirian ICMI, muncul berbagai saran dan usul mengenai definisi kecendekiawanan.
Ini perlu untuk mendefinisikan siapa saja yang boleh dan tidak boleh menjadi anggota ICMI. Ada yang
mengusulkan sekurang-kurangnya harus tamat SMA. Ada yang mengusulkan minimal Si. Ada yang
mengusulkan sekurang-kurangnya haji atau harus kyai. Pokoknya banyak usulan. Da lam usul-usul yang
beranekaragam dan divergen tersebut, saya mengambil kesimpulan dan memberikan definisi
cendekiawanan, sesuai ajaran Alquran - sesuai intepretasi saya. Bukan sebagai orang yang mampu
menilai, tetapi sebagai konsumen dari analisis Alquran. Kendati demikian, sebagai konsumen pun saya
mempunyai otak untuk berpikir. Saya berkeyakinan bahwa dalam ajaran agama Islam, dengan nilai moral
dan etik Alquran itu, cendekiawan adalah siapa saja yang sangat peduli terhadap kehidupan
lingkungannya, baik manusia atau seisi jagad raya alam semesta mi. Mereka harus peduli apa saja. Kalau
pun dia seorang Guru Besar - Profesor Doktor dan meraih hadiah nobel, tetapi dia tidak peduli pada
sekitarnya, hanya peduli pada lalooratorium dan penelitiannya saja, bagi saya dia adalah seorang ahli
atau pakar saja. Bukan seorang cendekiawan. Mereka yang tidak peduli terhadap kehidupan
lingkungannya dan hanya kepada buku dan ilmunya saja, dia bukan cendekiawan dan tidak tepat pantas
menjadi anggota ICMI.

Titik sentralnya adalah tetap manusia itu sendiri. Hanya manusia yang sangat peduli dan memiliki nilai-
nilai moral dan etik yang berakar dan berunsur pada agamanya, untuk para anggota ICMI adalah apa
yang tersirat dalam Alquran, sebagai nilai-nilai yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad
SAW Itulah definisi cendekiawan muslim, menurut saya. Orang-orang yang memanfaatkan nilai-nilai
moral berdasarkan Alquran dan sangat peduli kepada kehidupan lingkungannya. Orang semacam itu,
bagi saya adalah Cendekiawan Muslim sejati. Selanjutnya, saya mengusulkan „Filsafat Dasar” pada
definisi tentang cendekiawan adalah Alquran, sebagai satusatunya bahan perekat umat Islam pada
umumnya, khususnya cendekiawan, mulai dari lahir sampai ke akhirat, sepajang masa.

Berpegangan pada „Filsafat Dasar” ICMI tersebut, diharapkan dapat menghasilkan satu kesatuan dan
satu kekuatan. Dialog selalu menjadi awal toleransi, sedangkan toleransi adalah dasar dari pengertian
dan kerjasama yang saling menguntungkan, pada gilirannya jelas akan meningkatkan produktivitas dan
daya saing. Dialog harus dimulai pada peningkatan kualitas pendapat yang sama dan jangan dimulai
dengan pemikiran yang bertentangan. Dan i titik inilah, diharapkan dialog dapat mulai mencari titik-titik
temu lainnya. Titik-titik temu tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi garis-garis temu. Dani garis-
garis temukemudian dikembangkan menjadi permukaanpermukaan temu yang bisa berkembang lagi.
Kalau itu terjadi, maka semua faset permukaan yang saling bertemu dipateri dan dilekatkan sepanjang
masa oleh Alquran dan Sunnah. Saya tidak membenarkan untuk memulai mencari titik titik antagonis
yang berlawanan. Jika kita memulai dengan mendiskusikan perbedaan tersebut, maka umat Islam tidak
pernah akan bersatu. Selalu akan ribut. Oleh karena itu, saya berani mengambil kesimpulan untuk
memimpin dan selalu berpegang pada filsafat dasar tersebut. Derivatifatau turunan dari filsafat dasar
adalah prinsip dasar yang terdiri atas lima prinsip untuk meningkatkan: • Pertama, kualitas berpikir.
Kedua, kualitas bekerja. Baik kualitas berpikir maupun kualitas bekerja, erat kaitannya dengan
produktivitas bekerja. Bepikir dan bekerja adalah satu dengan yang lain berhubungan. Bukankah orang
yang bekerja itu harus berpikir? Bagaimana pun orang bekerja harus berpikir? Bagaimana keduanya
dapat melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, supaya apa yang dilaksanakan
sesuai dengan harapan. Ketiga, meningkatkan kualitas berkarya. Ada perbedaan, orang bekerja, sesuai
dengan peraturan-peraturan yang berlaku, dan orang yang berkarya, yang mengembangkan pemikiran-
pemikiran baru dan kalau perlu, merubah peraturan - peraturan yang berlaku. Dengan sasaran strategi
dirubah yang mampu meningkatkan taraf kualitas kehidupan dari manusia itu sendiri. Ha nya manusia
sajalah, yang dapat berpikir, bekerja dan berkarya Hanya manusia, yang dapat meningkatkan kualitasnya
sepanjang masa. Tahapan demi tahapan dari kualitas kehidupan manusia.

Keempat, adalah meningkatkan kualitas iman dan takwa atau saya singkat kualitas (Imtak), sekaligus
meningkatkan kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek. Itu harus dilakukan dalam
satu tarikan nafas. Saya selalu mengatakan, bagaikan suatu pesawat terbang, sayap kirinya adalah Imtak
sedangkan sayap kanannya adalah penguasaan Iptek. Jikalau Anda, hanya sepihak saja, maka akan susah
dikendalikan. Ibarat pesawat terbang tidak akan berfungsi jika hanya menggunakan satu sayap. Pesawat
itu akan terus berputar dan jatuh! Dua-duanya harus seimbang. Manusia sepanjang masa tidak boleh
berhenti untuk meningkatkan Imtak yang harus seimbang Iptek. Yang dihadapi sekarang adalah dominasi
dari Iptek atas beban pengorbanan kualitas Imtak. Karena, itu, kehidupan di bumi menga lami „krisis
nilai” atau crisis of values. Krisis nilai moral dan etika yang mengakibatkan manusia-manuisa yang berada
di mana pun, apakah sebagai kepala keluarga, kepala cabang perusahaan dan bahkan sampai sebagai
Presiden, kalau tidak hati-hati dan hanya melihat keuntungan Iptek dan keuntungan ekonomisnya saja,
menghalalkan semua cara untuk mendapatkan sesuatu, maka akan membahayakan implementasi dalam
arti keadilan yang tidak dapat dilepaskan dari etik dan nilai-nilai moral.

• Kelima, sebagai akibat dari keempat prinsip yang telah dijelaskan sebelumnya, insya Allah, akan
menghasilkan kualitas kehidupan di Indonesia terus meningkat, yang akan dipenuhi oleh inspirasi para
cendekiawan, khusus nya cendekiawanan muslim se- Indonesia. Inspirasi ini akan senantiasa
berkembang agar dapat meningkatkan kualitas kehidupannya sehingga terjamin kualitas ketentraman
dan keadilan di bumi pertiwi yang kita cintai. Itu adalah dasar-dasar yang saya rumuskan. Saya
memberanikan dan mendiskusikan di dalam Muktamar ICMI. Sistem inilah yang selalu harus disesuaikan,
di-adjusted dengan irama kehidupan dalam bentuk program-program kerja. Itu berlaku untuk
perjuangan apa saja. Sebenarnya yang dihadapi oleh umat Islam waktu itu, arahnya sudah jelas. Siapa
yang mau menamakan dirinya sebagai manusia yang beriman dan bertakwa sehingga mendapatkan label
Islam, adalah manusia yang melaksanakan tugasnya dalam shalat lima kali sehari sesuai dengan janji
yang mereka kemukakan kepada Allah SWT. Itu berarti tujuh belas kali dalam sehari seorang muslim
mengucapkan Al Fatihah. Inilah yang minimal harus kita berikan kepada generasi penerus, supaya
mereka dapat memiliki kebersamaan dengan generasi sebelumnya. Semua prinsip dasar itu agar tetap
berjalan secara konsisten dan abadi. Sistem harus dikembangkan dan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi, sehingga kita tetap unggul dan kalau bisa lebih unggul dari generasi sebelumnya. Itulah yang
disebut progres. Untuk memajukan ICMI ke depan, yang harus disesuaikan adalah sistemnya. Waktu
ICMI tahun 1990 didirikan, situasi dan kondisi keadaan terpaksa menyerahkan kepercayaan kepada
Bacharuddin Jusuf Habibie untuk menyusun mekanisme organisasi ICMI, mulai dari Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga dan apa saja. Semuanya diserahkan kepada saya dibantu oleh Tim Pakar dan
Tim Penasehat.

Sekarang ICMI harus mengubah sistem. Keadaan dan kendala sekitar ICMI sudah berubah. ICMI tidak
peril lagi menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang saja, seperti 20 tahun yang lalu, ketika saya
memimpin ICMI. Saya bersyukur semua dapat diselesaikan dengan lancar dan aman secara profesional
berkat kerja keras dari semua tokoh ICMI, khususnya peran Ainun yang memelihara dan meningkatkan
kualitas Imtak dan Iptek sekitar saya dan saya sendiri. Memang benar dibelakang seorang pria yang
berhasil berperan selalu seorang wanita, dalam hal ini isteri saya Ainun, yang lebih berhasil! Wawasan
ICMI harus dibawa long march secara bertahap. Saat ini, kita telah meninggalkan tahap pertama berupa
peralihan dari zaman otoriter ke zaman yang lebih demokratis dengan cara-cara yang lebih transparan.
ICMI untuk itu, harus dapat menyesuaikan. Konsekuensinya, menurut saya, ICMI tidak dibenarkan hanya
dipimpin oleh satu orang Ketua Umum, seperti yang pernah saya lakukan selama sepuluh tahun
lamanya. Saya berpendapat, sistem yang harus dikembangkan di dalam tubuh ICMI adalah bahwa ICMI
harus dipimpin secara kolektif atau dalam satu Presidium yang terdiri atas lima tokoh anggota ICMI yang
tidak mewakili daerah, tidak berunsur pada SARA tetapi dipilih oleh para anggota. Tiap orang hanya
dapat memimpin satu tahun. A pada tahun pertama. B pada tahun kedua dan seterusnya sampai E pada
tahun kelima. Kalau itu terjadi dan transparan, maka jelaslah pimpinan ICMI susah dipengaruhi oleh satu
aliran saja. Selain itu, kemungkinan tokoh politik yang suka mempolitisasi organisasi tidak akan dipilih
oleh organisasi. Jika kondisi itu terjadi, maka akan dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan
implementasi program ICMI. Untuk menjalankan roda organisasi sehari-hari, ICMI membutuhkan
pelaksana, yang dapat diambil dari para tokoh profesional yang mampu memimpin dan
mengimplementasikan semua kebijakan yang telah diambil oleh Presidium. Presidium terdiri dari tujuh
(7) tokoh ICMI. Lima (5) dipilih langsung untuk tiap tahun bergilir menjadi Ketua Presidium, sedangkan
dua (2) anggota Presidium dipilih langsung pula sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Ketua Dewan Pakar
ICMI, ex officio menjadi anggota Presidium. Kebijaksanaan Presidium diambil berdasarkan musyawarah
dan diberi nama Mufakat ICMI atau MI. Mereka diberikan prasarana lengkap dan diberikan anggaran
yang cukup. Sistem seperti ini selanjutnya dapat di-clone di tiap wilayah, dan di tiap Provinsi di
Indonesia. Semua sama. Kalau itu terjadi, kemungkinan besar Pimpinan Nasional Daerah dan Pusat
Republik Indonesia yang akan datang, akan berasal dari jajaran ICM I. Kita akan lihat kemudian
kenyatannya. Insya Allah masalah dan krisis organisasi akan mengecil. Kita harus memberikan wawasan
ke wakil-wakil rakyat bahwa nanti yang mencalonkan Presiden tidak lagi terbatas pada partai politik.
Organisasi mana saja jikalau dipilih, misalnya tiga persen dari tiap provinsi dan minimum pula tiga persen
dari jumlah pemilih atau memenuhi kriteria yang sebelumnya telah ditentukan melalu produk hukum
DPR atau MPR, maka Ca Ion Presiden tersebut juga dapat dicalonkan oleh organisasi yang non-partai. Ini
adalah wawasan yang telah saya jelaskan secara lebih rinci ketika diadakan Muktamar ICMI di Makassar
akhir 2005. ICMI hanya akan ada artinya jika diberikan wawasan yang bersih. Berdasarkan alasan
wawasan tersebut, ICMI akan memiliki kemampuan mengembangkan sistem yang bersih pula. Ini akan
sesuai atau match. Peran ICMI di masa mendatang tentu saja akan tetap semakin meningkat. Saya
mengajak seluruh aktivis ICM I untuk melaksanakan long march. Dalam duapuluh tahun sebelumnya,
ICMI telah dapat membuat pilar demi pilar untuk kepentingan umat dan bangsa mi. Begitu juga harapan
dalam perjalanan ICMI ke depan.

Peran Wanita, Orbit dan Ainun

DALAM setiap memberikan presentasi, pidato atau ceramah di dalam negeri maupun di luar negeri,
Ainun seperti biasanya menyertai saya dan ikut hadir dan tekun mendengarkan apa yang saya sampaikan
kepada hadirin, seperti tamu lainnya. Jika saya diberikan kesempatan menyampaikan orasi ketika
mendapatkan penghargaan dari berbagai lembaga yang bertaraf nasional maupun internasional, saya
dengan tulus hati selalu menyampaikan bahwa ”dibalik sukses seorang tokoh tersembunyi peran dua
perempuan yang amat menentukan yaitu ibu dan isteri”. Jika saya mengucapkan kata-kata tersebut, saya
biasanya melihat ke arah Ainun, tetapi Ainun selalu tidak memperlihatkan ekspresi wajah yang berubah.
Ia tetap tenang dan terlihat biasa-biasa saja walaupun semua hadirin biasanya melirik dan tersenyum
kepadanya. Namun saya tahu Ainun menyadari bahwa apa yang selalu saya sampaikan seperti itu, adalah
pernyataan saya yang bukan sekedar basa-basi, tetapi selalu tulus keluar dari lubuk hati saya yang dalam.
Secara budaya dan agama, bangsa Indonesia sangat menghargai kaum wanita. Dan i kecil pada din i kita
sudah tertanam ungkapan mulia di benak kita bahwa ”surga ada di bawah telapak kaki ibu” dan ”wanita
adalah tiang negara”. Di negara kita, jumlah pen duduk yang wanita lebih dari separuh jumlah seluruh
penduduk. Mereka itu harus diusahakan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Sekarang tidak
pada tempatnya lagi kita berpandangan bias gender, yang menganggap bahwa wanita itu tempatnya
hanya di rumah atau sekedar pendamping suami. Pandangan demikian, bertentangan dengan kodrat
penciptaan manusia. Yang membedakan manusia bukanlah jenis kelaminnya, tetapi tingkat
ketakwaannya dan kemampuan pribadinya untuk berbuat mulia bagi masyarakat dan bangsanya. Saya
bersyukur bahwa Ainun sudah loerhasil melaksanakan fungsinya sebagai ibu yang menciptakan keluarga
yang sakinah dan sejahtera, selain menunjukkan pembelaannya atas peningkatan terus menerus kodrat
wanita Indonesia, bahkan untuk seluruh masyarakat dan bangsanya. Selama saya di Indonesia dan
mendapat tugas negara menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT, Ketua Badan Pembina
Industri Strategis yang memimpin langsung sejumlah industri strategis, mengembangkan Pulau Batam
dari no!, serta menjadi Presiden RI ke-3, serta sejumlah tugas politik lainnya, Ainun sebagai isteri tidak
hanya berada sehari-hari di rumah, dalam tugasnya membina keluarga sakinah.

Tetapi Ainun juga aktif bergabung dengan isteri pejabat lainnya, menjalankan tugas yang diberikan
padanya. Misalnya dalam Ria Pembangunan bersama isteri-isteri menteri Kabinet Pembangunan. Ia
menjadi wakil Ketua Dewan Pembina dan Ketua Dewan Pembina-nya adalah Ibu Tien Soeharto. Dalam
lembaga ini, Ainun antara lain ditugaskan untuk membina program langsung organisasi yang berada di
bawah Ria Pembangunan. Tetapi setelah tugas dan kesibukannya di luar selesai, ia kembali ke rumah,
kembali berfungsi menjadi ibu rumah tangga, menjalankan peranannya sebagai seorang isteri. Sejak awal
saya ditugaskan sebagai Menristek/Ketua BPPT. Semua staf sekretariat di kantor Menristek/BPPT tahu
dan maklum, karena kesibukan pekerjaan saya setiap hari, membuat saya selalu pulang terlambat, rata-
rata sekitar pukul 21.00 atau 22.000, bahkan biasa lebih. Jika demikian, Ainun selalu menelpon saya dari
rumah memperingatkan bahwa saya harus pulang. Jagalah kesehatanmu demikian disampaikan berkali
kali, jika saya belum juga beranjak dari tempat duduk bekerja dan menerima tamu. Namun akhirnya,
dengan perasaan hati yang masih berat, saya harus pulang. Ainun bukan ingin mencampuri urusan
kantor, tetapi ia mencintai saya dan ia ingin saya tetap selalu sehat. Dengan demikian, saya bisa memberi
pengabdian yang lebih panjang untuk negara. Ainun benar. Padahal Ainun juga tidak kalah sibuknya
sehari hari di luar pekerjaan dan tugasnya sebagai isteri dan ibu rumah tangga. Di Kantor Menristek /
BPPT Ainun menjadi Ketua Unit Dharmawanita, sebagaimana tanggungjawab yang diberikan kepada
setiap isteri menteri untuk membina ibu-ibu di unit kerja suaminya. Setahu saya, sejak saya dilantik
menjadi menteri, Ainun langsung juga aktif melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk isteri-isteri
pegawai dan keluarga pegawai. Di Kompleks perumahan karyawan BPPT, Ainun berinisiatif mendirikan
Taman Kanak-Kanak ”Mawar”. Maklum karyawan BPPT waktu itu, rata-rata masih keluarga muda.
Dengan kehadiran taman kanak-kanak di dalam kompleks, keluarga karyawan tidak perlu lagi
mengeluarkan biaya transportasi membawa anakanak mereka ke tamar kanak-kanak yang lebih jauh.
Lulusan taman kanak-kanak ini sekarang, sudah banyak yang menjadi sarjana, mulai strata satu, strata
dua, mungkin juga akan ada yang menjadi doktor. Sampai sekarang TK tersebut masih berfungsi. Namun
karena anak-anak karyawanan penghuni kompleks, sudah dewasa semua bahkan sudah ada yang
berkeluarga. TK tersebut kini dimanfaatkan oleh anak-anak masyarakat sekitar kompleks. Karena saya
merangkap menjadi Direktur Utama PT IPTN dan PT Pindad maka tiap minggu mulai hari Kamis sampai
hari Minggu selalu berada di Bandung. Ainun tidak pernah berpisah dengan saya dan aktif membina
organisasi para Ibu-ibu di kedua perusahaan IPTN dan Pindad meningkatkan kesejahteraan Keluarga para
Karyawan dan Karyawati. Ainun aktif pula membina kesejahteraan masyarakat disekitar rumah kami di
Ledeng - Bandung. Yang mendapat perhatian khusus Ainun adalah Balita dan para Jompo (orang tua.
Disesuaikan dengan anggaran rumah tangga pribadi, sejak tahun 1980 sampai sekarang (2010) dan
seterusnya Ainun memperhatikan makanan sehat dan bergizi untuk 50 balita dan 30 Jompo. Ia sediakan
2 kali makanan sehat dan bergizi tiap hari. Angka 50 dan 30 sejak 30 tahun dip ertahankan. Baru jikalau
jumlah berkurang, maka diterima balita dan Jompo yang baru. Ketika Ainun telah berpindah ke Alam
Barzah, saya menerima surat duka cita dari Ibu Cuncun juru masak oranguta jompo sekaligus mewakili
para orang tua jompo tersebut.
Saya bersyukur, Allah SWT menjadikan Ainun sebagai Isteri, Ibu anak saya Ilham dan Thareq, pendamping
saya dalam melaksanakan tugas berjiwa sosial dan merakyat, berdedikasi, berdisiplin dan pekerja keras
tanpa mengenal lelah dan menyerah. Demikian sifat Ainun yang sangat religius selalu bersama saya
puasa tiap hari Senin dan Kamis dan tiap hari membaca satu jus kitab suci Alquran. Ainun juga membina
95 anak asuh yang diberi bantuan tambahan biaya pengangkutan ke sekolah, dan segala prasarana yang
dibutuhkan. Semuanya diambil dari milik pribadi kami yang jumlahnya melebihi apa yang disarankan
dalam ajaran agama. Alhamudilillah. Demikian pula disediakan sembako untuk membantu janda miskin,
masjid dsb. Perilaku dan perhatian Ainun dilaksanakan di mana saja ia sering berada, di Bandung, di
Jakarta atau di luar negri. Di kantor BPPT Jalan Thamrin, didirikan pula perpustakaan khusus untuk isteri-
isteri pegawai dengan buku pengetahuan untuk khusus wanita. Melaksanakan Posyandu dan berbagai
ketrampilan, termasuk kursus bahasa asing, diskusi dunia wanita dan kesejahteraan keluarga. Ainun juga
memelopori isteri-isteri karyawan untuk mendapatkan penghasilan sampingan dengan menyediakan
makan siang untuk karyawan di kantin kantor. Bagi karyawan program itu berfaedah, karena makanan
harga murah dan gizinya terjamin, dibadingkan jika jajan di luar kantor. Da lam bidang pembinaan
kesenian, Ainun membeli seperangkat gamelan untuk dipelajari oleh ibu-ibu Dharmawanita dan
karyawati BPPT. Mengundang pelatih tarian tradisional Bugis untuk diajarkan pada putri-putri karyawan.
Hampir di semua lembaga yang saya pimpin, Ainun aktif membuat dan membina program untuk
kepentingan isteri karyawan, sampai akhirnya saya melepaskan semua jabatan tersebut termasuk
jabatan kenegaraan saya. Namun diantara semuanya, yang paling banyak menjadi perhatian Ainun,
apalagi setelah saya tidak sibuk lagi dalam tugas pemerintahan, adalah Yayasan Amal Abadi Beasiswa
Orbit yang merupakan wahana pengembangan program peningkatan kualitas SDM dari organisasi ICMI
Pusat dalam pemberian bantuan beasiswa yang dilaksanakan sejak 10 Juli 1993. Tahun 1995 Presiden
Soeharto mencanangkan Orbit sebagai Gerakan Nasional dan Ainun memimpinnya sebagai Ketua Umum
pertama Dewan Pengurus ORBIT sampai tahun 2002. Selanjutnya sampai menjelang akhir hayatnya,
memimpin Orbit sebagai Ketua Dewan Pembina. Selaku Ketua Dewan Pengurus Yayasan Orbit Ainun
telah meletakkan dasar-dasar pengelolaan Yayasan secara rinci dan tepat. Visi Yayasan Orbit
meningkatkan kualitas SDM Indonesia menjadi manusia yang unggul dalam kepribadian dan kemandirian
lebih ditonjolkan dengan misi sebagai berikut:

• Memberikan bantuan beasiswa

• Memberikan bimbingan dan pelatihan Memberikan Informasi peluang pendidikan dan pelatihan

Menghimpun berbagai kemampuan masyarakat dan menyampaikan kepada masyarakat yang


membutuhkan

Beasiswa YAAB - Orbit diberikan dalam dua bentuk:

1. Beasiswa Dana Abadi, pemberian beasiswa yang dananya diambil dari Dana Abadi Yayasan Orbit yang
dana beasiswanya dikonsentrasikan untuk jenjang SMU sampai dengan jenjang S-1

2. Beasiswa Akta/Berpasangan, pemberian beasiswa berpasangan di mana donatur dapat memilih


sendiri jenjang pendidikan anak asuhnya dan jumlah anak yang akan diberikan beasiswa.
Karena kesibukannya, pada tahun 2002, Ainun digantikan oleh Martiono Hadinoto. Ainun kemudian
menjadi Dewan Pembina. Dijajaran pengurus sejumlah tokoh termasuk dari kalangan wanita, seperti Thu
Etty Marie Muhammad, Ibu Dit Haryanto Dhanutirto, Thu Maria Adi Sasono, Ibu Alita Marsanti dan Thu
Herna P. Danuningrat. Yayasan ini, menghimpun dana dari Orang Tua Bimbingan (Orbim) dan
menyerahkan kepada Anak Bimbingan (Anbim) dalam program yang disebut Orbit. Ainun sangat banyak
mencurahkan perhatian untuk perkembangan Orbit yang sampai sekarang jumlah anak asuhnya
mencapai 62,000 orang. Mereka sudah banyak yang menyelesaikan pendidikan dan tersebar dalam
berbagai profesi. Ainun telah tiada, tetapi saya tahu dengan surat-surat dukacita yang dikirimkan kepada
keluarga kami, baik melalui dunia maya, bahwa selama hidupnya, Ainun bukan hanya saya suami dan
anak-anaknya yang telah kehilangan dan tetap mencintainya, tetapi ia juga disayangi dan dicintai oleh
bangsanya.

BAB rili

Pemunculan dan Terbang Perdana ”N-250 Gatotkoco”

KAMIS, 10 Agustus 1995, adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari itu menandai kesuksesan
put ra-putri Indonesia menghadirkan teknologi canggih di Bumi Pertiwi. Hari itu kita membuktikan
bahwa kita sesungguhnya mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dulu menguasai
teknologi canggih, teknologi dirgantara, teknologi pesawat terbang. Saya hanya bisa terdiam dan berdoa
kepada Allah SWT semoga hasil rekayasa teknologi tinggi ini dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya.
Inilah hasil karya generasi penerus yang dipersembahkan untuk ulang tahun emas, ulang tahun ke-50,
Republik Indonesia. Generasi penerus yang ada di IPTN telah mencurahkan pikiran dan tenaga. Mereka
dengan tekun bekerja keras, hampir tak mengenal waktu istirahat, untuk melahirkan pesawat N-250.
Mereka patut dibanggakan. Mereka pun bangga karena pada usia relatif muda – antara 20 sampai 40
tahunan - sudah dipercaya mengerjakan pekerjaan yang amat canggih. Pekerjaan rekayasa teknologi
tinggi ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa mail di dunia dalam
kemampuan menguasai teknologi tinggi Saat yang dinanti-nantikan dengan berdebar akhirnya tiba. Tepat
pukul 10.08 WIB di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, prototipe pesawat N-250 meluncur di
landasan pacu. Puluhan ribu pasang mata, seperti menahan nafas menanti detik-detik N-250 Gatotkoco
lepas landas. Meskipun sudah melewati berbagai pengujian, namun tak sedikit karyawan dan teknisi
yang berdebar-debar mengingat N-250 itu merupakan pesawat yang baru lahir dan belum pernah
terbang. Memang ada beberapa kali uji terbang setinggi dua meter (hopping) selama 5-7 detik. Inilah
peristiwa dalam dunia penerbangan, sebuah peluncuran pesawat, sekaligus bersamaan dengan terbang
perdananya. Tidak ada yang meragukan N 250 Gatotkoco gagal terbang kecuali mereka yang tidak suka
dengan penguasaan Iptek oleh bangsa sendiri, semua orang menginginkan N-250 bisa terbang dengan
mulus. Mereka yang tidak senang, termasuk sejumlah pers luar negeri dan perusahaan sejenis yang
merasa tersaingi jika N-250 berhasil terbang, melakukan semacam ”perang urat syaraf” bahkan teror
mental dengan meniupkan isu bahwa N 250 Gatotkoco, tidak akan bisa terbang. Saya masih ingat tulisan
di Majalah Asiaweek edisi 11 Agustus 1995 yang mengatakan bahwa Habibie melakukan sesuatu yang
tidak normal, semestinya N-250 itu diuji secara diam-diam lebih dahulu, baru kemudian dipertontonkan
kepada publik. Asiaweek menilai bahwa N-250 tidak siap terbang pada hari dan bulan itu, karenanya, ada
kemungkinan akan terjadi musibah. Jika perkiraan itu benar, maka mungkin saya akan kehilangan
kepercayaan dari Presiden, dan saya akan kehilangan sebagian besar jabatan. Isu seperti ini yang
menciptakan ketegangan pada hadirin. Takterkecuali Pak Harto dan Ibu Tien, Wapres Try Sutrisno dan Ibu
Tuti Try Sutrisno. Wajah-wajah yang menyaksikan upacara Terbang Perdana tersebut, tampak tegang saat
pesawat N-250 hendak lepas landas. Mata saya pada waktu itu mencari mata dan wajah Ainun yang
selalu, memukau, mengilhami dan menenangkan diri saya. Tanpa berbicara Ainun dan saya
berpandangan saling menenangkan. Kami bersama melalui telepati dan getaran jiwa telah memanjatkan
doa dengan berkeyakinan bahwa semuanya Insya Allah akan berjalan lancar dan aman. Dalam kesibukan
dan ketegangan itu kami saling memperhatikan gerakan bibir kami terus memanjatkan doa bersama.
Tegangan itu mencair saat roda-roda pesawat N-250 mulai terangkat dan terus naik meninggalkan
bandara menembus angkasa Bandung yang tampak cerah membiru. Sorak sorai dan tepuk tangan
menggema, bangga bercampur haru. Mereka semua lega. Tak sedikit undangan yang menitikkan air mata
bahagia. Pak Harto terlihat beberapa kali menyapu wajahnya, membersihkan aliran air mata dengan sapu
tangan putih. Bahkan Ibu Tien dengan spontan memeluk dan menjabat tangan saya mengucapkan
selamat. Begitu pula dengan para undangan lainnya. Mereka satu per satu mengucapkan selamat pada
Ainun dan saya. Namun, saya sendiri saat itu tak menyadari semua ucapan selamat itu. Saat itu saya
seperti kehilangan kesadaran. Ainun istri saya yang sepanjang masa telah menyatu dan ma nunggal
dengan saya, rnelihat ada sesuatu terjadi pada dini saya, mengatakan bahwa saya harus bertahan.
Ternyata saya memang tidak apa-apa. Barangkali itu semua hanyalah cetusan dari perasaan bebas dari
beban psikologis, yang menggayuti pikiran saya sejak beberapa bulan sebelum nya. Saat itu pula pikiran
saya melayang membawa saya ke Aachen. Yaitu, ketika saya terbaring sakit di sebuah rumah sakit di kota
itu. Ka la itu saya adalah mahasiswa berusia 21 tahun. Hidup di rantau dalam kondisi sakit parah, dan
harapan hidup yang menipis. Dalam suasana tanpa kepastian hidup itulah muncul sesuatu bagaikan
sebuah mukjizat dalam diri saya. Sebuah semangat yang bergelora dalam diri saya untuk bisa tampil
mempersembahkan pengabdian kepada Ibu Pertiwi. Tapi apa bisa? Dan bagaimana? Sebab saya tak
berdaya, terbaring di rumah sakit. Namun, saya tiba-tiba tergerak untuk menyampai kan sumpah yang
saya tulis dalam sebuah puisi, yang berjudul ”Sumpahku. Sumpah inilah yang telah memotivasi saya.
Saya ingin mem persembahkan sesuatu kepada Tanah Air tercinta. Sumpah itu telah menjelma menjadi
suatu pernyataan sikap dan penyerahan din i secara total kepada bangsa dan Tanah Air. Sejak sumpah
itu, saya selalu berdoa semoga Allah memberi umur panjang dan sisa umur saya Insya Allah akan saya
serahkan sepenuhnya untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi. Sebab semua itu adalah karunia Allah.

Sumpah ini telah membuat saya bekerja siang dan malam. Bekerja tanpa mengenal waktu untuk bangsa
dan negara. Mempersembahkan karya teknologi dan puncaknya adalah pesawat N-250 yang diakui dunia
sebagai karya besar. Sebuah pesawat yang tercanggih di kelasnya dan diberi nama ”Gatotkoco”. Dengan
anggun, N-250 menjelajah angkasa Jawa Barat dan Laut Jawa dengan kecepatan tinggi (high speedily
pass). Selama terbang, N-250 pesawat dikawal oleh pesawat CN-235 versi MPA dan pesawat latih tempur
Soko Galeb. Para undangan, termasuk sekitar 250 wartawan dalam dan luar negeri, dapat mendengar
dan melihat perkembangan uji terbang pesawat N-250 melalui pengeras suara dan TV monitor. Para
undangan VIP yang terdiri dari pejabat tinggi, menyaksikan uji terbang itu dari lantai 9 menara kontrol.

Setelah berputar-putar sekitar satu jam, pesawat kembali ke Bandara Husein Sastranegara. Tepat pukul
11.10 WIB pesawat N-250 mendarat dengan mulus. Saat roda pesawat menyentuh landasan pacu, para
pengunjung dan undangan kembali bertepuk tangan dan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT.
Pada saat itu pula untuk kesekian kalinya wajah, mata dan senyuman Ainun dan saya sering bertemu
dengan getaran jiwa dan panjatan doa bersyukur pada Allah SWT. Pesawat N-250 adalah pesawat
pertama di kelasnya -- subsonic speed -- yang menggunakan teknologi fly by wire (seluruh gerakannya
dikendalikan secara komputerisasi). Inilah yang menjadi salah satu kelebihan pesawat Gatotkaco N-250.
Karena itulah tak berlebihan jika uji terbang perdana ini merupakan suatu ujian psikologis sebab
sebelumnya banyak yang pesimis. Memang, banyak yang meragukan pesawat terbang hasil rancang
bangun bangsa Indonesia ini bisa terbang. Keraguan itu muncul karena aspek kemampuan penguasaan
teknologi fly by wire memang merupakan hal baru. Pada saat itu, tahun 1995, dijajaran pesawat
komersial, N-250 merupakan pesawat ketiga yang menerapkan teknologi fly by wire setelah Airbus A-340
dan Boeing767. Namun, Airbus A-340 dan Boeing 767 itu adalah pesawat penumpang jet berkapasitas
besar. Itulah sebabnya beberapa pakar menilai saya telah membuat taruhan dengan penerbangan
perdana N-250. Seperti yang ditulis Asiaweek, bahwa N-250 loelum slap terbang pada hari dan bulan itu,
karenanya, ada kemungkinan akan terjadi musibah.

Tidak hanya Asiaweek, bahkan sejumlah besar media massa luar negeri memberitakan N-250 dengan
muatan politis. Seorang wartawan dari Australia bahkan sempat menuduh bahwa pesawat N-250 itu
merupakan pesawat yang dibeli IPTN dari luar negeri yang kemudian dicat kembali dan diterbangkan
oleh pilot IPTN dan diberi nama ”Gatotkoco”. Saya sendiri selama satu bulan kurang tidur menjelang
Terbang Perdana N-250 Gatotkoco. Saya gelisah seperti menunggu kelahiran seorang bayi. Bayi N-250
Gatotkoco.

Pada saat seperti itu, Ainun selalu mendampingi saya, mendampingi kegelisahan saya dari waktu ke
waktu, dari menit ke menit. Kegelisahan karena beban psikologis yang saya alami. Bahkan pada malam
sebelum upacara Terbang Perdana N-250 Gatotkoco, saya berada di IPTN, tidak di kantor saya, tetapi
saya turun ke hanggar, memeriksa dan mengecek sendiri satu persatu persiapan. Karyawan dan anak-
anak muda yang memimpin rekayasa pembuatan N-250 di lapangan, turut gelisah dan prihatin dengan
kesehatan saya, Tetapi saya sendiri tidak merasakan sesuatu. Ma lam itu saya masih di areal persiapan
Terbang Perdana N-250 sampai pukul 00.00 wib. Setelah Ainun berkali-kali memperingatkan dari rumah
agar saya beristirahat, karena katanya yang lebih penting adalah pada hari upacara yang bersejarah esok
harinya. Serahkan semua kepada kebesaran dan kehendak Allah.

BAB

Bangsa Indonesia ”Melek Teknologi”

PERSIAPAN merasa peril mengungkapkan kembali ke peristiwa 15 tahun lalu, bahwa persiapan Terbang
Perdana N-250 Gatotkoco sudah sangat cermat dilakukan. Banyak yang tidaktahu, jika persi-apan
Terbang Perdana N-250 sudah melalui kerja keras yang bertahun yang tidak mengenal waktu. Pengujian
yang profesional berdasarkan standar yang lazim dilakukan standar industri pesawat terbang. Bahkan
untuk N-250, dilakukan persiapan yang lebih berat lagi. Sebelum melakukan terbang perdana, N-250
melakukan serangkaian kegiatan persiapan atau percobaan untuk terbang. Percobaan tersebut
merupakan upaya belajar yang meliputi belajar berjalan di atas landasan (taxiing), berpacu di landasan
dengan kecepatan sedang (medium speed taxiing), uji sistem pengereman, sistem reversi, sistem setir,
sistem komunikasi, sistem kontrol listrik, dan berpacu dengan kecepatan penuh sampai ke keadaan siap
melesat terbang (high speed taxiing), pada saat itu pesawat melakukan loncatan beberapa meter dari
landasan pacu (hopping), uji sistem kontrol avionik, dancoba terbang dengan ketinggian 10 meter.
Sebelumnya juga telah dilakukan berbagai uji fungsional seperti uji APU (auxiliary power unit) beserta
sistem pembangkit daya listrik dan daya pneumatik, uji fungsional engine dan propeller, uji sistem
kendali, uji sistem kemudi, serta uji prestasi gerak. Se lain itu juga telah dilakukan uji keandalan
keselamatan terbang yang meliputi uji kekuatan struktur, uji ketahanan struktur terhadap sambaran
petir, uji getar struktur terhadap beban.

Sebelum terbang N-250 juga sudah diuji secara mendalam di terowongan angin selama 7.500 jam, selain
uji terbang melalui simulasi secara ekstensif di dalam simulator selama 500 jam. Dengan demikian tidak
ada alasan mendasar untuk tidak bisa terbang. Tak cuma itu, di ruang kemudi pesawat terpampang lima
panel tabung katoda. Di sana tersedia semua informasi tentang keadaan terbang, navigasi, radar, kondisi
cuaca, bahan bakar, ketinggian, kecepatan, dan informasi lain. Konsep FBW (fly by wire) ditunjang
dengan sistem komputasi dan dihubungkan dengan servo-autopilot oleh unit hidrolik. Unit inipun
dikendalikan secara elektronik melalu jaringan kabel ke aktuator servo-hidrolik. Keadaan ini membuat
beban kerja pilot berkurang dibandingkan dengan bila kerja di pesawat yang masih memakai sistem
jaringan mekanik. Dengan menggunakan peralatan elektronik yang sangat canggih, FBW N-250 mampu
mengamankan penerbangannya dari berbagai man uver yang berbahaya dan sekaligus meringankan
beban tugas seorang pilot untuk mengendalikan penerbangan sejak dari lepas landas hingga mendarat.
Dengan FBW perintah-perintah pilot bisa disalurkan ke bagian tubuh pesawat, tidak lagi memakai
perangkat mekanis. Perintah pilot masuk ke komputer lalu diteruskan ke sayap, misalnya, melalui kabel.
Dengan demikian keamanan tentunya lebih terjamin karena jika pilot memberikan perintah yang salah,
komputer tak mau memproses perintah itu. Sepuluh hari sebelum uji terbang, saya membentuk Badan
Pemantau Keselamatan Teknis Penerbangan (Technical Safety Review Board - TSRB) sebagai badan
independen yang bertugas mengkaji kesiapan program ujiterbang sebagaimana lazimnya di suatu
industri pesawat terbang. Setelah persiapan dinilai cukup, maka sesuai rencana terbang perdana N-250
dilakukan. Untuk melakukan uji terbang itu N-250 diawaki oleh empat orang yaitu pilot penguji Erwin
Danuwinata (anak muda ini gugur dalam uji terbang versi militer CN-235 di Gorda Banten), Sumarwoto
(ko-pilot), Hindrawan Hary Wibowo (teknisi), dan Yuarez Riadi (teknisi). Untuk memantau uji terbang N-
250, IPTN membangun sarana dan prasarana jaringan informasi, Uji terbang itu dipantau dengan
menggunakan layar video dan peralatan komputer berteknologi telemetri. Satelit Palapa digunakan
sebagai wahana transportasi data, informasi dan pencitraan. Data-data yang dikirimkan dapat diketahui
secara real time. Semua data itu segera bisa dievaluasi komputer dalam waktu sekejap dan hasilnya bisa
dicetak segera atau dimasukkan ke bank data dan kalau dibutuhkan bisa diberikan kepada tim pakar di
pusat pengendali agar bisa mengontrol pilot. Di dalam badan pesawat N-250 itu memang terpasang
1.400 sensor yaitu peralatan elektronik yang bisa memantau perubahan-perubahan dari berbagai
komponen yang berperan untuk menunjukkan perilaku tertentu yang harus diperhatikan selama
terbang. Sensor-sensor tersebut mengirimkan data lewat satelit ke stasiun bumi yang kemudian
meneruskannya ke pusat pengedali lalu masuk ke komputer. Di komputer data-data perubahan itu
dimasukkan ke dalam suatu program perangkat lunak yang dikembangkan oleh IPTN sendiri. Dengan
sistem yang terintegrasi di pesawat dan di pusat pengendali, dapat pula dipantau aksi dan reaksi pesawat
terbang dan kerja pilot.

Selain itu, pesawat ini menggunakan sistem kendali full authority digital electronic control (FADEC).
Dengan sistem ini beban kerja pilot banyak direduksi. Karena itulah kehadiran FADEC dan FBW ini
menjamin N-250 memiliki tingkat keamanan tinggi. Da lam industri penerbangan, teknologi FBW baru
dikembangkan pada tahun 1990-an. Teknologi ini dinilai mampu memberikan jaminan keamanan lebih
balk. Dengan FBVV, komputer bisa sewaktu-waktu mengambil alih kemudi pesawatjika pilot lengah.
Sistem ini sekaligus melakukan berbagai koreksi terhadap kesalahan manusiawi (human error) yang
dilakukan pilot. Tak cuma itu, pesawat N-250 merupakan pesawat pertama tercanggih di kelasnya yang
menggunakan propeller. N-250 telah melewati pengujian di terowongan angin milik Puspiptek Serpong
selama 7.500 jam. Sebelumnya, pengujian yang sama untuk CN-235 dilakukan di Belanda karena ketika
itu Puspiptek Serpong belum membangun sistem pengujian itu.

Pesawat N-250 ”Gatotkoco menandai terlampauinya alih teknologi tahap ketiga, yakni menciptakan
produk inovatif dari pengalaman rekayasa dan pembuatan CN-235 yang dikenal sebagai ”Tetuko” - nama
kecil ”Gatotkoco dalam dunia pewayangan-- yang proses perekayasaan dan pembuatannya dirintis sejak
tahun 1979 dan terbang perdananya dilaksanakan pada bulan Desember 1983 di Bandung. Ini adalah
hasil transformasi teknologi tahap kedua yakni tahap integrasi teknologi berkat kerjasama IPTN dengan
CASA (Spanyol) berhasil menggabungkan prinsip-prinsip rekayasa aeronatika, manajemen, dan industri.
Pencapaian tahap ketiga dengan N-250 ini secara langsung membuka pintu menuju tahap keempat yaitu
penelitian besarbesaran untuk memasuki dan menandai puncak keunggulan kompetitif. Besarnya dana
pengembangan ini sempat menimbulkan perdebatan. Ada yang berpendapat bahwa kita lebih baik
membeli saja pesawat dari negara lain. Memang, dalam batas jumlah tertentu, pembelian langsung
tergolong sangat meng untungkan. Namun melihat potensi pasar dalam negeri saja, Indonesia akan lebih
banyak membutuhkan pesawat. Diperkirakan 27% dari Pasar Asia Pasifik atau 5% dari Pasar Dunia
pesawat komuter adalah potensi Pasar Domestik Indonesia. Mengingat besarnya jumlah kebutuhan itu
dan lapangan kerja yang dapat disediakan, tentu saja lebih menguntungkan kalau memproduksi pesawat
sendiri. Untuk itu diperlukan suatu konsep pembangunan (termasuk teknologi clan industri) yang tidak
tergantung pada pembangunan negara-negara tersebut. Se lain itu, keuntungan lain dengan kemampuan
memproduksi pesawat sendiri akan menaikkan bargaining position Indonesia di mata negaranegara lain,
khususnya negara-negara maju. Bukankah sejauh ini kita baru dalam tahap membeli pesawat terbang
dan atau alat-alat perindustrian. Pikiran kita hanya tertuju pada harganya atau added cost-nya saja. Kita
belum memikirkan partisipasi dalam pembuatannya. Padahal di negara-negara maju, pembelian serupa
itu selalu dikaitkan dengan persyaratan agar partisipasi mereka dalam pembuatan barang-barang itu
selalu ada secara langsung atau tidak. Namun demikian yang penting untuk dikejar sesungguhnya bukan
teknologi itu sendiri. Tapi yang lebih penting untuk dikejar adalah pembangunan sumber daya manusia
yang terampil dan tangguh yang mampu menguasai, mengendalikan, dan mengembangkan teknologi ke
arah yang lebih maju demi peningkatan kesejahteraan bangsa. Bangsa Indonesia tidak bisa lagi
mengandalkan industri tekstil dan sejenisnya yang footloose atau sumber minyak yang terbatas dan bisa
habis. Karena itulah saya optimis melihat peluang pasar pesawat N-250.
Saya yakin pesawat N-250 akan sukses di pasaran apabila programnya tidak dihentikan atas desakan IMF.
Saya perhitungkan antara tahun 2000-2020, dunia membutuhkan sekitar 8.000 unit pesawat komuter
dan sekitar 45% adalah seperti N-250 untuk menggantikan pesawat yang sudah ada dan menambah
armada baru.

Kalau kebutuhan pesawat antarbenua yang berbadan besar membawa ratusan penumpang naik sampai
angka 100, maka kebutuhan pesawat komuter naik 200 sampai 300. Jadi pasarnya sangat luas. Karena itu
peluang kita sangat besar. Saya yakin dengan N-250, IPTN mampu bersaing karena secara teknologi
pesawat ini lebih unggul. Dengan teknologi fly by wire (terbang dengan kabel), yaitu gerakan sayap
dikontrol secara elektronik, pesawat ini lebih irit. Sejak awal saya memang sudah mempunyai visi bahwa
untuk mengembangkan wahana industri, sedikitnya ada dua syarat yang harus dipenuhi: (1). Pertama
syarat teknologi. Bahwa produksi tersebut dapat direkayasa sedemikian rupa, komponennya dapat
dipreteli sehingga bisa dikuasai dari segi kualitasnya yang tinggi, diproduksi sesuai dengan jadwal dengan
biayanya yang dapat bersaing. (2). Syarat kedua adalah adanya pasar domestik agar produk itu bisa
segera dijual. Memang membangun industri dirgantara memerlukan modal sangat besar. Tapi saya yakin,
semua itu akan kembali dan akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Industri pesawat
terbang memang dikritik sangat membebani keuangan negara. Kritik itu antara lain datang dari Bank
Dunia.

Saya kadang-kadang kembali berpikir dengan berbagai kendala yang saya temui dalam usaha membina
kader dan potensi sumber daya manusia ini Ainun selalu berada di dekat saya, memberikan semangat
dan harapan agar saya tetap bekerja dan tetap pada pendirian saya. Apa yang saya lakukan selama ini
sudah pada jalan yang benar, demikian kata-kata Ainun dengan wajah dan senyumannya , menenangkan,
mengilhami saya dan kurindukan selalu. Dorongan dan kata-kata Ainun yang lembut tetapi meyakinkan
itu, selalu membangkitkan semangat baru dalam diri saya, semangat pantang menyerah dan harus
”fight”. Benar! Bukankah semua saya lakukan bukan untuk kepentingan pribadi saya? Bukan untuk
perusahaan saya dan bisnis keluarga saya? Semua ini saya lakukan untuk kemajuan putra-putri bangsa
Indonesia, untuk negara dan bangsa ini? Tiap masyarakat menghadapi masalah keadilan, kesejahteraan
dan ketentraman yang merata. Kerjasama yang saling menguntungkan antar negara merupakan salah
satu alternatif penyelesaian masalah tersebut. Neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang
seimbang sekurang-kurangnya harus dapat dicapai.Pembiayaan peningkatan kualitas hidup dan
ketentraman melalui neraca perdagangan dan pembayaran yang positif, dapat jadi salah satu sumber
pemasukan. Pendidikan, pembudayaan, pembangunan prasarana ekonomi, kesehatan dan keamanan
merata, stabil dan terus meningkat akan memberi ketentraman hidup yang dicita-citakan. Lapangan kerja
menjadi elemen kriteria yang menentukan. Namun hanya lapangan kerja yang menghasilkan ”nilai
tambah” yang tinggi dapat memberi masukan yang tinggi pula. Nilai Tambah hanya dapat ditingkatkan
oleh sumber daya manusia produktif, mampu mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat dan
berguna, secanggih apapun. Semuanya harus dibiayai, melalui ”pinjaman dari pasar modal atau
perbankan” dan/atau ”penjualan sumber daya alam SDA)”. Indonesia bersyukur memiliki SDA terbarukan
dan tidak terbarukan yang dapat diandalkan sebagai cikal bakal dan Pasar Modal Domestik untuk dapat
membiayai pengembangan SDM. Hanya SDM yang bekerja dapat meningkatkan ketrampilan, keunggulan
dan daya saingnya. Organisasi multilateral seperti, Bank Dunia, IMF dsb.didirikan untuk membartu
terciptanya dunia yang tentram. Namun sangat disayangi sering kebijakan yang diambil memanfaatkan
”standar ganda” yang disalahgunakan oleh aliran politik sesaat kelompok kecil saja antar negara yang
tidak menguntungkan sesama manusia yang makin erat ketergantungannya.

Jelas sekali penilaian kebijaksanaan IMF mengenai Industri Strategis Indonesia (dirgantara, kapal dsb.)
dan Industri Strategis Amerika Serikat dan Eropa (mobil, jasa dsb.) sangat berbeda karena memanfaatkan
”standar ganda”. Ketika saya diundang menghadiri Ulang Tahun ke-50 Konferensi Asia Afrika di Bandung
tahun 2005 lalu, saya terbang dari Jakarta ke Bandung. Pesawat yang saya tumpangi adalah pesawat ATR
yang dibuat oleh konsorsium Eropa. Pesawat ini dulu adalah pesaing N-250 Gatotkoco yang seharusnya
sudah terbang tahun 2000 di atas udara Indonesia, pesawat yang dirancang dan direkayasa oleh putra
putri bangsa Indonesia sendiri. Saya hanya bisa mengelus dada. Saya perlu mengulang kembali, apa
sebenarnya yang telah dilakukan oleh putra putri Indonesia dengan pesawat N-250 ini? Prestasi putra
putri Indonesia yang merancang dan membuat sendiri N-250 sampai bisa terbang, adalah prestasi luar
biasa.

N-250 sekali lagi, adalah pesawat terbang canggih berkecepatan subsonic. Mereka kelompok pesaing
memang berde bar-debar menyaksikan, ketika N-250 Gatotkoco terbang ke Paris untuk mengikuti
Airshow di Le Bourget tahun 1997. Di Pameran dirgantara Paris Airshow, pameran dirgantara akbar
dunia itu, N-250 Gatotkoco, unjuk kehandalan dimata tokoh industri pesawat terbang negara industri
maju. Jika mereka berdebar dan sebelumnya melemparkan isu negatif yang kemudian tidak terbukti,
sebaliknya bangsa Indonesia sendiri bisa lega, bahwa mereka ternyata tidak ada masalah untuk
berdampingan dalam teknologi maju sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia in!. Hari Terbang
Perdana N-250 pada tanggal 10 Agustus 1995 dalam rangka HUT ke 50 Indonesia Merdeka, ditetapkan
oleh pemerintah sebagai hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) yang diperingati tiap tanggal
10 Agustus. Atau bisa dikatakan sebagai Hari kebangkitan Nasional ke dua, setelah Hari Kebangkitan
Nasional Pertama yang dipelopori Dr. Wahidin Sudirohusodo memperingati tanggal 20 Mei 1908
berdirinya Yayasan Budi Utomo yang memperjuangkan pemberantasan ”buta huruf”. +

BAEI ctA2

Sumber Daya Manusia Terbarukan

MENJELANG usia Ainun dan saya mendekati 60 tahun, kami merasa akumulasi pengalaman pasang surut
kehidupan tercermin pada kualitas kemampuan kami berkomunikasi tanpa berbicara makin sempurna.
Pengertian, toleransi dan kepercayaan din i kami meningkat yang berakar pada keyakinan atas cinta
sempurna, sejati dan abadi yang kami miliki, sebagai rahmat Allah SWT. Sering saya menyampaikan
bahwa Ainun memang dilahirkan untuk saya dan saya untuk Ainun. Tiap kali saya ucapkan itu, Ainun
hanya tersenyum dan bibirnya bergetar. Mengenal Ainun yang sangat religius dan tiap hari membaca
ayat-ayat suci Alquran, saya yakin bibirnya bergetar karena memanjatkan doa ketika mendengar ucapan
saya itu. hap saat kami berdua selalu memanjatkan doa sesuai irama keberadaan kami. Demikian irama
keberadaan kami, menyatu dalam kalbu cinta yang indah, sejati dan dan abadi di manapun kami sedang
berada. Allah SWT selalu bersama dan melindungi kami. Kami selalu menyatu karena kehendak Allah
SWT, Ainun dan saya manunggal karena cinta yang murni, yang suci dan yang sempurna itu, adalah Allah
SWT sendiri di seluruh alam semesta.

Dalam bulan Desember tahun 1994, saya bersama Ainun, Ilham dan Thareq, sedang terbang naik
Pesawat Executive Jet G4 Gulfstream milik Industri Strategis Republik Indonesia (BPIS) dari New York ke
Montreal di Canada. Waktu itu saya sedang sakit. Suhu dan tekanan darah tidak normal dan agak tinggi.
Kami sedang berada di tengah tengah musim dingin. Sebenarnya saya harus beristirahat. Namun tugas
dan pekerjaan tidak mengizinkan. Melihat dan memperhatikan wajah dan senyuman Ainun yang tetap
menenangkan, saya tetap bekerja sesuai jadwal yang telah ditentukan, harus hadir pada upacara
peringatan Hari Ulang Tahun ke -SO dari International Civil Aviation Organization atau ICAO, di Montreal.
Pada acara itu, hadir delegasi 190 negara anggota yang dipimpin oleh Menteri Perhubungan masing-
masing termasuk Delegasi Indonesia. Saya harus hadir, menerima ”Edward Warner Award”, penghargaan
tertinggi ICAO yang diberikan oleh para anggotanya, melalui suatu proses seleksi yang cukup panjang
kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk dunia penerbangan. Penghargaan ini diberikan sejak
1959 tiap tahun, namun seka rang dibatasi tiap 3 tahun saja, untuk mengenang jasa Edward Warner yang
pada tanggal 7 Desember 1944 pukul 10.00 pagi bersama beberapa tokoh dunia penerbangan
mendirikan ICAO di Chicago. Khusus peringatan SO Tahun ICAO, kriteria pememilihan orang yang paling
berjasa, sangat berat dan ketat. Tanpa kami harapkan, pilihan jatuh kepada Bacharuddin Jusuf Habibie
dari Indonesia. Oleh karena itu kami sekeluarga hadir pada upacara pemberian Penghargaan ”Edward
Warner Award” pada tanggal 7 Desember 1994 pukul 10.00 pagi di Kantor Pusat ICAO di Montreal.

Ainun, Ilham, Thareq dan saya duduk dibaris depan di sebelah Ibu Edward Warner yang ternyata masih
hidup dan sangat sepuh. Dibelakang kami ditempatkan secara alfabetis para delegasi anggota ICAO yang
setiap negara dipimpin oleh menteri perhubungan masing-masing. Di atas panggung duduk Sekretaris
Jenderal ”United Nations (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)”, Boutros Boutros Ghali (Mesir)
bersama Sekretaris Jenderal ”International Civil Aviation Organisation (ICAO)” Philippe Rochat (Swiss),
yang membuka dan membaca sejarah dan karya ICAO selama 50 Tahun.

Setelah membacakan alasan dan pertimbangan pemberian ”Edward Warner Award” kepada saya
berkenaan dengan 50 tahun ICAO, maka saya dipersilakan naik ke pangggung untuk menerima
penghargaan tersebut langsung oleh Philip Rochat dan Boutros Boutros Ghali.

Di atas panggung setelah menerima Penghargaan ”Medali Emas Edward Warner Award” saya diminta
baik oleh Boutros Boutros Ghali dan Philip Rochat untuk menyampaikan sepatah kata. Saya menjawab
bahwa saya tidak diacarakan berbicara, sehingga saya tidak mempersiapkan kata sambutan. Serentak
Philip Rochat dan Boutros Boutras mengatakan: ”Sampaikan isi hati Anda saja” Da lam bahasa Inggris
saya sampaikan: ”Bismilahirrah manirrahim! Atas nama Isteri, keluarga dan semua para pakar Dirgantara
di mana pun anda berada, yang masih hidup atau tiada lagi, saya menyatakan terima kasih mewakili
anda semua menerima penghargaan, untuk jasa merealisasikan cita-cita pendiri dan para anggota ICAO.
Ini membuktikan bahwa penguasaan dan pengendalian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bukan hak
prerogatif orang kaya atau masyarakat maju, tetapi adalah hak prerogatif umat man usia di manapun ia
berada. Selamat berkarya! ” Upacara ini disiarkan langsung oleh media elektronik lokal dan
internasional. Setelah upacara selesai dan saya menerima ucapan selamat dari pimpinan ICAO dan
semua Menteri Perhubungan yang diundang, Ketua Delegasi para anggota ICAO, saya diminta untuk
menyediakan waktu untuk diwawancara.

Banyak pertanyaan yang diajukan tetapi yang menarik adalah pertanyaan: ”Dr. Habibie, ketika ICAO di
Chicago didirikan SO tahun yang lalu Anda sedang di mana dan Anda sedang berbuat apa?”. Saya kaget
mendengar pertanyaan ini dan tidak saya pikirkan sebelumnya. ”Saya pada waktu itu berusia 8 tahun
dan sedang berada dipinggir hutan di desa kecil dekat Pare-Pare yang namanya Landrae. Pukul 10 pagi
waktu Chicago sama dengan pukul 22.00 atau pukul 10 malam waktu Indonesia Bagian Timur. Pada
waktu itu saya sedang membaca Alquran”, demikian jawaban saya. Beberapa media mencatat: ”Lima
puluh tahun yang lalu tak akan orang menyangka atau terpikirkan bahwa anak kecil yang berusia 8 tahun
dan pukul 10 maam sedang membaca Alquran di rumah Bugis dari kayu dan bambu dipinggir hutan
tempat pengungsian orang tuanya bersama beberapa keluarga dokter, ahli pakar lainnya, 50 tahun
kemudian akon menerima penghargaan tertinggi International Civil Aviation Organization (ICAO).
Ditambah pula bahwa yang bersangku tan telah menerima pada tahun 1992 penghargaan tertinggi
Theodor von Korman Award yang diberikan oleh Organ isasi bidang Iptek dirgantara, International
Council of the Aeronautical Sciences (ICAS) Selanjutnya media mencatat: ” Kebetulan? Kenapa?
Bagaimana caranya? Mengapa? Perilaku Bacharuddin jusuf Habibie dan pandangan ucapannya mungkin
dapat menjawab semua pertanyaan! ” Jawabannya: Karena Allah SWT:

• Memungkinkan saya lahir untuk Ainun dan Ainun untuk Saya.

• Mempertemukan saya dengan Ainun dan Ainun dengan saya.

• Jadikan Ainun dan saya manunggal sampai akhirat.

• Ainun menenangkan mengilhami saya dan saya menenangkan mengilhami Ainun.

Cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi yang melekat pada diri kami. • Cinta ini adalah Allah
SWT (pantulan sifat rahmaniah Allah SWT). Akibatnya • Kami berdua hidup tenang dan tentram •
Konsentrasi pada penyelesaian permasalahan secara rinci dimungkinkan • Semua masalah segera
diselesaikan tegas/cepat/tuntas

• Kualitas kebijakan terus meningkat dengan risiko yang terus menurun

• Kualitas Iptek dan Imtak terus meningkat • Menjadi Manusia yang unggul

Saya ingin membuat kilas balik ke tahun 1999. Ketika berlangsung pemungutan suara oleh anggota
MPR/DPR tahun 1999 yang akan menentukan apakah pertanggungjawaban saya sebagai Presiden RI-3
diterima atau ditolak oleh wakil-wakil rakyat yang terhormat itu, di ruangan keluarga saya di Jalan Patra
Kuningan, berkumpul Ainun, Ilham dan Insana, Thareq dan Wydia. Suasana hening. Semuanya terdiam
mengikuti pemungutan suara melalui pesawat televisi. Melihat hasil pengumutan suara tersebut, di
wajah mereka terlihat perasaan kecewa. Namun keheningan suasana tersebut tidak berlangsung lama,
karena isteri saya Ainun bertanya. ”Selanjutnya bagaimana sikap Bapak?” Saya dengan spontan
menjawab, ”Saya tidak bersedia untuk dicalonkan atau menerima pencalonan kembali sebagai Presiden”.
Sebagaimana biasa, Ainun tanpa memberi reaksi, apa yang saya katakan, ia terima dengan tulus. Bukan
pertama kali keputusan penting seperti ini kami alami. Dua puluh sembilan tahun sebelumnya hal serupa
juga terjadi, yaitu ketika di Jerman kami memutuskan akan kembali ke Indonesia, padahal waktu itu
anak-anak masih kecil-kecil, maka kepada Ainun lah saya berdiskusi. Kemudian ketika saya putuskan
bahwa memang tiba saatnya kita kembali ke Tanah Air, Ainun juga tidak memberi reaksi. Ia menerima
keputusan saya, seperti yang selalu dikatakannya bahwa sebagai isteri, maka ia akan selalu tut wuri
handayani. Padahal waktu itu, kami baru saja menyelesaikan rumah kami di Kakerbeck, rumah pertama
kami yang sudah lama kami idam-idamkan. Untuk membangun rumah itu, Ainun terlibat penuh
menentukan arisitektur, pendanaan, sampai sekecil-kecilnya. Kemudian, kali ini di hadapan mereka di
kediaman kami di Patra Kuningan, saya sampaikan alasan saya mengapa saya tidak bersedia untuk
dicalonkan.

Hal ini wajib saya sampaikan kepada mereka, karena merekalah orang-orang terdekat dengan saya dan
mempunyai ”hak” untuk mengetahui keputusan saya, termasuk alasannya. Dan mereka pulalah yang
tanpa mengenal lelah dan dengan ikhlas mendapampingi saya sebagai suami, ayah dan mertua mereka
yang sering harus ”mengorbankan” kepentingan dan urusan mereka sendiri.

Kepada mereka, saya sampaikan pula bahwa siapa pun yang nanti terpilih menjadi Presiden ke-4, maka
saya dan kita semua sebagai warganegara yang baik, harus membantu agar suskes melaksanakan
tugasnya. Setelah kami mengambil wudhu, saya mengajak mereka semua shalat Isya dan Tahajud,
kemudian memanjatkan doa kepada Allah SWT. Itu antara lain saya tulis dalam buku yang saya: ”Detik-
detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) ”. Pasrah kepada keputusan
penting yang saya ambil dan menganggap bahwa itulah yang terbaik bagi kami sekeluarga, membuat
Ainun selalu menerima keputusan dengan tulus. Karena itu, Ainun tidak pernah terbawa penyakit post
power syndrome. Setelah menjadi isteri pejabat penting dalam sebuah perusahaan setingkat MBB, di
sebuah negara industri maju, di mana Allah SWT menganugerahi kami kebahagiaan keluarga dan materi
yang boleh dikatakan tidak berkekurangan. Setiap saat dalam melaksanakan tugas kantor atau karena
liburan keluarga, kami bisa bebas pergi ke berbagai belahan dunia. La lu kembali ke Tanah Air, sebagai
isteri seorang menteri yang diberi jabatan dan portofolio Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta sejumlah jabatan kenegaraan lainnya. Ainun tidak
memperlihatkan perubahan sikap. Ia tetap seperti biasa yang saya kenal sejak dulu, tawadhu, tulus
dengan kejernihan wajah sehari-hari serta matanya yang memukau. Selepas menjadi isteri menteri yang
dipercaya melaksanakan tugas berbagai kenegaraan, Ainun menerima lagi amanah sebagai isteri Wakil
Presiden Republik Indonesia. Amanah jabatan yang saya terima selama 3 loulan. Sebagai isteri seorang
Wakil Presiden, Ainun tetap tidak berubah dalam sikapnya. Ia selamanya mendampingi saya dalam
acara-acara kenegaraan dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai ibu rumah tangga sebagaimana
lazimnya. Sejak dulu, Ainun pandai membuat garis pemisah antara kewajiban dalam rumah tangga atau
sebagai isteri yang mutlak dilakukannya sehari-hari dengan kegiatan sebagai isteri pejabat penting
negara. Ainun selalu memperhatikan kesehatan saya, makanan bergizi, makanan sehat, minum air putih
sekurang kurangnya 2 liter sehari, olahraga dsb. Tidak pernah Ainun serahkan kepada pemloantu kami
kecuali di restaurant atau menjadi tamu untuk mengurus kepentingan saya. Ia selalu membantu saya
dengan memberi senyumannya yang selalu mengilhami, dan saya rindukan. Demikian juga setelah saya
mendapat amanah menjadi Presiden RI ke-3, Ainun tidak saja sibuk mendampingi saya dalam berbagai
acara bersifat seremonial dan diatur ketat protokoler, tetapi Ainun juga selalu ikut mendampingi saya
dalam suasana politik negara yang tidak menentu. Ainun sehari-hari larut pula dalam kesibukan saya
dalam mencari solusi berbagai persoalan bangsa yang tidak mudah. Ainun menyadari betul bahwa kalau
terjadi kekeliruan dan salah langkah yang saya buat dalam mengambil kebijakan pada masa krisis itu,
bisa membuat negara dan bangsa ini terseret dalam anarki dan akibatnya bisa terjadi perang saudara
dan ”balkanisasi”.

Dalam suasana yang mencekam, memikirkan apa yang terbaik untuk negara dan bangsa, sambil
menerima tekanan dari pendapat publik dan politisi, Ainun menemani saya dalam kegelisahan sampai
larut malam memonitor suasana Tanah Air di kamar kerja melalui PC. Ia selalu mengingatkan saya untuk
beristirahat, jika melihat saya kelelahan bekerja, sebelum ia sendiri masuk ke kamar tidur. Tetapi
beberapa saat kemudian, jika saya belum juga beranjak dari meja kerja saya, Ainun bangun lagi dan
mengingatkan bahwa saya harus istirahat, karena sudah larut malam saya harus menjaga kesehatan.
Tugas-tugas yang tidak kalah beratnya masih harus dihadapi keesokan hari dan hari-hari berikutnya
ketika itu memang tidak mudah. Saya bekerja sampai larut malam dan hanya sedikit beristirahat, karena
memang saya tidak memikirkan tentang din i saya sendiri. Saya memikirkan ratusan juta rakyat Indonesia
yang menanti sebuah kepastian politik setelah sebuah reformasi digulirkan. Pada malam-malam yang
mencekam tersebut, pada saat otak saya berputar memikirkan penyelesaian masalah yang bertumpuk.
Sambil menunggu saya bekerja, di ruangan lain, seperti biasa, saya mendengar suara Ainun tidak
hentihentinya mengalunkan bacaan ayat-ayat suci Alquran. Suaranya yang lembut, telah membuat saya
kembali segar. Saya serasa mendapat energi baru, bukan phisik tetapi energi spiritual yang dahsyat.
Bahkan memberikan keyakinan kepada saya bahwa tidak ada yang salah yang telah saya lakukan. Suara
Ainun makin mendekatkan saya kepada Allah, bahwa Allah SWT akan meridhoi langkah-langkah saya
untuk menyelamatkan bangsa mi. Karena setiap malam membaca Alquran, maka dalam beberapa hari
Ainun bisa khatam. Sementara itu, pagi-pagi Ainun sudah mengatur persiapan sarapan pagi kami,
kewajiban yang dilakukannya bertahuntahun, selama kami menjadi suami isteri. Mulai sebagai isteri
seorang ilmuwan yang berpenghasilan seadanya bahkan serba berkekurangan di rantau orang. Sebagai
ibu rumah tangga yang makin disibukkan untuk mengurusi dua anak kami yang masih kecil-kecil,
kemudian sebagai isteri seorang CEO-bidang Teknologi MBB perusahaan industri pesawat terbang
terpandang di dunia, sampai menjadi isteri menteri, wakil presiden dan presiden, lalu kembali menjadi
isteri rakyat biasa, tidak ada bedanya bagi Ainun. la tetap Ainun yang saya kenal sejak pertama kali kami
memutuskan untuk berumah tangga. Ainun yang saya kenal sejak 48 tahun lalu, tetap Ainun dulu,
perhatiannya kepada suami, ketulusan, kejernihan wajah dan pandangannya yang meneduhkan hati,
tidak ada yang berubah sedikitpun. Tidak ada yang berubah dalam sikapnya, pada posisi dan jabatan
apapun yang dipikul dan diamanahkan Allah SWT kepada saya, suaminya. Ketika saya sudah tidak
menjabat lagi sebagai presiden, untuk beberapa waktu, memang kami harus bermukim di luar negeri. Ini
kami lakukan untuk terapi pengobatan penyakit Ainun, di berbagai sanatorium dan rumah sakit.
Kepulangan saya dan Ainun ke Tanah Air pada tahun 2003, kami sempatkan bertemu dengan Ibu
Megawati Soekarno Putri yang menjadi Presiden menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid. Saya dan
Ainun ”mantan” Ibu Negara, berkunjung khusus kepada Presiden Megawati. Selanjutnya, saya selalu
melakukan silaturahim kepada setiap presiden yang sedang menjabat. Ainun juga pernah menjadi Thu
Negara, sama sekali tidak terjangkiti penyakit post power syndrome. Ia tidak pernah menolak dan ”rikuh”
bertemu dengan pejabat siapapun, kendatipun kami sebagai warganegara biasa. Jabatan dan kekuasaan
apapun yang pernah diperolehnya, atau jabatan apapun yang pernah diitugaskan kepada suaminya, itu
hanyalah sebuah ”amanah”, hanyalah ”pinjaman dan titipan” Allah SWT.

Karena itu, keliru jika ada yang melemparkan isu bahwa antar presiden dan mantan-mantan presiden
Indonesia, tidak ada yang ”bertegur sapa”, setidak-tidaknya tidak berlaku bagi saya. Kepada setiap
Presiden setelah saya, saya selalu merasa berkewajiban memberikan masukan-masukan penting soal
negara dan rakyat Indonesia, bukan kepada presiden sebagai pribadi, tetapi kepada seorang ”nakhkoda”
sebuah bangsa yang bernama Indonesia.

BAB MEM

International Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development (IIFTIHAR)

IDE pembentukan IIFTIHAR muncul di Indonesia ketika industri strategis berada pada puncak
perkembangannya dan pada waktu itu sedang dilaksanakan „The 6th International Conference on
Scientific Signs in Qur’an and Sunnah” di Bandung IPTN pada tahun 1994. Acara tersebut dilaksanakan
bertepatan dengan persiapan IPTN merancangbangun pesawat terbang N 250, sementara pesawat
terbang CN 235 sudah mengudara. Atas saran Konperensi di Bandung ini maka ICMI, Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia bersama lima Organisasi Islam Internasional lainnya, kelak menandatangani
Pernyataan Bersama, di depan Kaabah.

Lalu, apa yang telah terjadi dalam konferensi tersebut? Diskusi banyak sekali mengenai keunggulan-
keunggulan yang telah dicapai umat Islam di masa lampau. Salah satunya, mereka mendiskusikan dan
memperdebatkan siapa yang pertama kali menemukan angka nol termasuk angka satu, dua, tiga dan
seterusnya. Penemu dari deretan angka tersebut ternyata berasal dari Timur Tengah. Saya katakan
bahwa bukan masa lampau itu yang harus dipikirkan umat Islam, namun kita harus melihat ke depan.
Sebagian besar umat Islam masih hidup dibawah garis kemiskinan karena belum berhasil secara mandiri
mengembangkan dan menerapkan Iptek untuk meningkatkan nilai tambah produk mereka, sesuai
kebutuhan pasar. Oleh karena itu sangat dibutuhkan suatu organisasi internasional yang dapat
membantu mengembangkan sumber daya manusia umat Islam yang mampu memahami dan menguasai
Iptek untuk pembangunan. Organisasi dengan pendekatan struktural seperti Bank Dunia dsb. atau
kultural seperti Bank Pembangunan Islam IDB dsb. sudah berperan aktif. Tetapi, alangkah baiknya jikalau
Bank Dunia maupun Bank Pembangunan Islam dibantu oleh suatu organisasi yang dapat memanfaatkan
pakar umat Islam dari masyarakat / negara maju berperan aktif mentransfer teknologi kepada SDM Islam
di negara penerima bantuan untuk pembangunan. Organisasi sebaiknya suatu Forum Islam Internasional
yang didirikan untuk menerapkan dan memanfaatkan teknologi pada pengembangan SDM dan diberi
nama „International Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development”atau
disingkatkan IIFTIHAR” Pendirian IIFTIHAR ditandai dengan dikeluarkannya sebuah pernyataan yang
ditandatangani di depan Kaabah pada tanggal 1 Juni 1996 atau 16 Muharam 1417 pukul 21.50 waktu
setempat, setelah kami dan beberapa tokoh umat Islam mancanegara membawa pernyataan yang harus
ditandatangani, melaksanakan Tawaf 7 kali keliling Kaabah. Yang menandatangani Pernyataan Forum
Islam Internasional untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan sumber daya manusia
IIFTIHAR, atas nama 6 organisasi Islam adalah:

1. Prof. Dr.-Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia ICMI

2. Dr. Ahmad Mohamed Ali, Presiden Bank Pembangunan Islam IDB

3. Dr. Abdullah bin Saleh bin Obeid, Sekretaris Jenderal Liga Islam se-Dunia

4. Dr. Abdullah Musleh, Sekretaris Jenderal Lembaga Mukjizat Al Qur’an dan Al Sunnah dalam IPTEK

5. Dr. Tawfik Al Shawi, Presiden Federal Pendidikan Islam International

6. Dr. Ahmad Totonji, Presiden Lembaga International untuk Pemikiran Islam

Pernyataan tersebut berbunyi : „Umat Islam tengah menyaksikan merekahnya fajar zaman baru. Kita
menyadari pen tingnya pengembangan sumber daya manusia dan peran nyata yang dapat diembannya
dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan tuntutcn perkembangan zaman.
Daam perubahan sejarah yang sedang berlangsung umat Islam merasa terpanggil untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan cara yang terbaik clan dapat
diandalkan. Dengan demikian akan tercipta peningkatan kualitas iman dan takwa, serta keunggulan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian clan penemuan ilmiah Dengan sumber daya
manusia yang berkualitas dan memiliki semua nilai-nilai keunggulan, umat Islam mampu memainkan
peran utama dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pergaulan an tar bangsa serta
mengupayakan terciptanya perdamaian, kemakmuran, dan keadilan di dunia. „Kami tidak mengutus
engkau, kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta’ Untuk itu, kami membulatkan tekad untuk
bekerjasama mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi selaras dengan nilai-nilai Islam. Dengan
ini kami mengundang semua dan lembaga Islam untuk bergabung bersama kami dalam memberikan
sumbangan clan untuk setia pada tekad bersama dengan pendirian: „Forum Islam Internasional untuk
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Sumber Daya Man usia, disingkat IIFTIHAR’
Berdasarkan pernyataan bersama yang telah ditandatangani pada tanggal 1 Juni 1996 itu, maka pada
tanggal 6 sampai 8 Desember 1996 Konferensi Internasional IIFTIHAR pertama dilaksanakan di Jakarta
dan pada tanggal 8 Desember 1996. IIFTIHAR didirikan oleh 84 organisasi Islam dari 32 negara OKI dan
28 negara non-OKI yang disaksikan oleh 400 Ilmuwan Umat Islam. Sejak itu sampai sekarang, saya
mendapat kehormatan untuk memimpin IIFTIHAR. Kita bersyukur bahwa nilai-nilai moral dan etik di
Indonesia, 97 % sama. Karena nilai-nilai agama Samawi yang berasal dari Nab! Ibrahim. Organisasi-
organisasi intelektual yang berfungsi untuk pengembangan Iptek yang harus diimbangi oleh Imtak sesuai
dengan ajaran agama masing-masing 97% sama memungkinkan terjadinya organisasi ini dalam
masyarakat yang pluralistik. IIFTIHAR memungkinkan umat Islam di Eropa dapat menjadi anggota dan
berperan membantu mengembangkan SDM di negara berkembang yang mayoritas penduduknya
beragama Islam atau negara berdasarkan syariat Islam. Walaupun, umat Islam di Eropa merupakan
golongan minoritas, mayoritas mereka adalah kelompok terpelajar, karena tidak mungkin warga
pendatang di Eropa dapat diterima, jikalau yang bersangkutan tidak berpendidikan dan terampil untuk
ikut berperan membangun Eropa. Jika penduduk Eropa, katakanlah 500 juta dan 5 persen adalah
pendatang umat Islam, maka umat Islam di Eropa sebanyak 25 juta. Jika 20% dari mereka adalah pakar,
maka 5 juta pakar dapat membantu meningkatkan produktivitas dan kualitas SDM di negara berkembang
melalui pendekatan kultural sebagai anggota IIFTIHAR dapat bekerjasama dengan Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Islam, membantu mengalihkan teknologi untuk pembangunan di negara berkembang.
Memang semuanya harus berorientasi kepada kebutuhan pasar. Ternyata, pengandalan pada kebutuhan
lapangan kerja bidang pertanian, perkebunanan, perikanan, pertambangan, energi, perminyakan, jasa
perbankan, jasa swasta dan pemerintah saja, tidak dapat menutupi kebutuhan. Terpaksa industri
manufaktur kecil, mencegah dan besar membutuhkan jam kerja baik yang banyak dan tinggi harganya,
harus diperhatikan dan disediakan. Pembudayaan, pendidikan dan riset harus berperan dan disesuaikan.
Hanya demikian produktivitas kerja dan kualitas karya SDM dapat terus ditingkatkan. Daya saingpun akan
meningkat. Proses nilai tambah yang membutuhkan teknologi tepat guna makin berperan dan
dibutuhkan. Masyarakat yang menyanggupi membiayai dan mempertahankan jalannya skenario tersebut
di atas, akan dapat menikmati hasil karyanya. Sumber daya manusia di negara berkembang yang
berpendidikan dan terampil, ternyata tidak selalu dapat bekerja di negaranya. Mengapa? Krisis Keuangan
tahun 1997-2000 telah menghentikan segala usaha pertumbuhan Industri Strategis. Proses pendidikan,
penelitian, pengembangan dan pembangunan produk yang berorientasi ke pasar pada umumnya,
khususnya industri yang membutuhkan banyak jam kerja yang bernilai tinggi, seperti N-250 segera
dibekukan. SDM yang dipersiapkan dipersilakan bekerja diperusahaan sejenis di Eropa, USA, Timur
Tengah, Brasil, Turki dan Negara Tetangga. Caranya dengan alasan apa saja yang dapat menciutkan
bahkan menghentikan aliran pendanaan yang sangat dibutuhkan untuk penyelesaian proyek industri
manufaktur yang sedang berjalan sesuai rencana telah berlangsung lebih dari SO tahun.

Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tahun 1950 telah menyampaikan wawasan untuk masa
depan kehidupan yang lebih cerah di Bumi Indonesia, yang dapat diartikan sebagai berikut: Di Benua
Maritim Indoensia, sumber daya manusianya (SDM) harus dapat mandiri mengerti, menguasai, mampu
mengembangkan, menerapkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) pada umumnya, khususnya yang
dibutuhkan untuk membuat produk dirgantara dan produk maritim sebagai tulang punggung prasarana
pertahanan dan prasarana ekonomi. Oleh karena itu, pada tahun 1950 setelah Republik Indonesia diakui
oleh Dunia, segera putra-putra terbaik Bangsa dikirim ke Belanda untuk belajar pada pusat keunggulan
Teknologi di Delft dalam jurusan konstruksi dan produksi kapal laut atau pesawat terbang. Hanya untuk 2
jurusan ini saja pada waktu itu beasiswa diberikan dan belum dalam bidang lain seperti ekonomi,
hukum, pertanian, teknik disiplin lain. Proses nilai tambah ini agar dibiayai oleh kekayaan alam atau
Sumber Daya Alam (SDA) terbarukan dan tidak terbarukan sebagi pemberian Allah SWT, di Tanah Air
Indonesia tercinta.

Industri Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang bukan manufaktur sebagai inti penyebab krisis tersebut,
dibantu dengan memanfaatkan dana masyarakat. Sedangkan pasar domestik sebagai penggerak utama
pro duk in dustri manufaktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diberikan kepada Industri Manufaktur
Luar Negeri (IMLN). Apakah kebijakan International Monetary Fund (IMF) ini menguntungkan
pelaksanaan pembangunan Indonesia? Untuk mendapat bantuan IMF dalam menghadapi krisis moneter
1997 - 2000, Pemerintah Indonesia harus segera menghentikan pemberian insentif dan bantuan kepada
industri manufaktur, khususnya industri strategis. Rencana yang sedang berjalan sangat dirugikan. Lain
halnya sikap IMF terhadap pemerintah di USA dan Eropa ketika menghadapi krisis moneter 2007 - 2010.
Justru pasar domestik harus tetap dipertahankan sebagai penggerak utama produk industri manufaktur
dalam negeri. Perusahaan Badan Usaha Milik Swasta BUMS dibantu dengan memberi insentif untuk
mencegah BUMS menjadi „bangkrut”. Jika kita bandingkan kebijakan IMF untuk mengatasi krisis
keuangan pada tahun 2007-2010 di Amerika Serikat dan di Eropa dengan krisis keuangan tahun 1997-
2000 di Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Korea Selatan, maka pada krisis keuangan tahun
2007-2010 Industri Manufaktur BUMS justru oleh IMF dibantu dengan memanfaatkan dana masyarakat.
IMF memanfaatkan „standar ganda dalam memengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Ini suatu kenyataan
yang harus kita hadapi dan sadari. Stabilitas pertumbuhan dan pemeratan ditiap negara harus
dipertahankan. Globalisasi harus dijadikan organisasi untuk meningkatkan perdagangan dunia
berdasarkan saling menguntungkan. Memperjuangkan hanya lapangan kerja saja, tanpa memperhatikan
nilai tambah produk dan nilai harga jam kerja itu, peningkatan kesejahteraan, kualitas hidup dan kualitas
ketentraman di dunia sulit dicapai. Oleh karena itu 3 Nilai Neraca dalam mata uang US Dollar atau Euro:

1. Neraca Perdagangan

2. Neraca Pembayaran

3. Neraca Jam kerja

Ketiga hal tersebut harus dijadikan tolok ukur menilai suatu masyarakat di samping 3 stabilitas yang lain,
yaitu:

1. Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi dan Moneter

2. Stabilitas Keadilan dan Pemerataan

3. Stabilitas Politik yang menjunjung tinggi Nilai Hak dan Kewajiban Azasi Manusia yang beradab

Semua itu harus dijadikan tolok ukur untuk dapat menilai kualitas hidup dan ketenteraman suatu
masyarakat pada umumnya, tidak terkecuali Indonesia. Pemikiran menjadi penggerak utama Ainun yang
selalu berseri, jikalau menyaksikan wajah dan gerakan saya bereaksi dalam suatu diskusi mengenai
keadaan dan masalah Neraca, Stabilitas, Pertumbuhan dan Ketentraman atau human security. Kunci
keberhasilan ditentukan dan tergantung pada kualitas, produktivitas dan daya saing SDM. Namun tanpa
penguasaan Iptek sukar bahkan tidak mungkin SDM berprestasi sesuai harapan. Oleh karena itu kita
membutuhkan sumber daya manusia andal yang dapat membantu agar bangsa Indonesia tetap
memproduksi sumber daya terbarukan dan non-terbarukan (renewable and non renewable resources).
Mereka inilah yang harus melaksanakan riset, menghasilkan teknologi untuk meningkatkan produktvitas,
daya saing dalam dunia yang sedang memasuki „era globalisasi Upaya ini secara sistematis dan
berkelanjutan selama puluhan tahun telah dan sedang dilakukan di bumi Indonesia. Krisis Keuangan Asia
tahun 1997-2000 meledak. Sejumlah kalangan termasuk penguasa tiba-tiba memangkas upaya panjang
di atas. IMF turut campur. Dengan alasan apa saja, membekukan bahkan menghentikan proses „nilai
tambah” seperti yang dilaksanakan pada industri strategis. Sekarang lihatlah, di mana anak-anak
Indonesia yang selama puluhan tahun, sejak dilahirkan, dididik serta dikembangkan mendapatkan bekal
ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus ditempa untuk berperilaku dengan etik dan moral yang sehat,
basil pembudayaan oleh orang tua mereka, sekarang berada di mana?

Namun, karena adanya ke-vacum-an sumber daya manusia di Eropa dan Amerika, SDM kita mengisi
modal-modal produksi di kawasan tersebut. Bagi bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika, membuka pintu
bagi anak-anak berbakat termasuk dari Indonesia, biayanya adalah paling murah. Ingat, anak-anak
tersebut sudah mengantongi ijazah S 1, S 2, dan S 3. Bagi perusahaan dan masyarakat di mana saja, ini
adalah cara yang paling murah, cepat dan tidak mengandung risiko apapun memetik dan memanen
bibit-bibit unggul SDM untuk memperbaiki tiga neraca mereka, khususnya Neraca Jam Kerja. Da lam
konteks inilah, peran IIFTIHAR sangat penting. Adanya IIFTIHAR memungkinkan anak-anak kita yang
sekarang tinggal di Eropa atau di Amerika Serikat, dan sebagainya memiliki wahana untuk tetap saling
berkomunikasi. Di Eropa atau di Amerika, Kanada ada IIFTIHAR. Begitu pula di Malaysia. Dengan
demikian, anak-anak berbakat Indonesia di luar negeri memiliki wahana. Mereka bisa aktif menjadi
anggota IIFTIHAR untuk meningkatkan iman dan takwanya sekaligus untuk saling berhubungan antara
satu dengan lainnya. Mereka dapat mendiskusikan bagaimana kondisi perkembangan bangsa Indonesia
sehari-hari. Mereka sadar bahwa mereka itu tidak ada bedanya dengan orang Eropa atau orang di bagian
dunia lainnya. Mereka ada yang S 1, S 2, dan bahkan sudah S 3.

Mereka dididik di pusat keunggulan pendidikan terbaik di dunia, atas beban orangtua mereka dan
masyarakat mereka Indonesia. Kita berkorban namun masyarakat lain yang menikmatinya. Kenyatannya:
Masyarakat Indonesia membayar sangat mahal. Masyarakat membiarkan kesempatan diambil orang lain.
Kita terus „dirayu” dengan pemberian Allah SWT sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya
manusia (SDM) terbarukan Pemberian Allah SWT yang abadi tidak disyukuri dan tidak diperhatikan. SDM
Indonesia dari tingkat pedidikan rendah sampai tingkat pendidikan tinggi, harus bekerja di rantau. Kita
disibukan berdiskusi dan berorganissi mengenai TKI. Benarkah pendapat penjajah yang sering ditentang
oleh Presiden Soekarno bahwa „Masyarakat Indonesia adalah masyarakat kuli dan kuli diantara
masyarakat di dunia’ Mengapa harus begini? Apakah karya nyata kita tidak meninggalkan jejak yang
meyakinkan dan menguntungkan? Apakah hanya akibat ketidakmengertian? Atau memang tidak
mengerti? Atau akibat intepretasi terlalu politis? Apakah kita terlalu peduli pendapat, pujian, pandangan
dan karya orang lain, sedangkan pendapat, pandangan dan karya kita sendiri kita remehkan? Memang
kita seharusnya belajar dari kesalahan orang lain dan tidak melupakan dan mengulangi kesalahan
sendiri! Sayangnya, bangsa Indonesia hanya isap jar. Manfaat implisit IIFITHAR lainnya adalah adanya
kesadaran bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hak prerogatif negara-negara
barat. Penguasaan Iptek tidak memiliki pengertian SARA. Juga bukan hak prerogatif suatu agama, suatu
komunitas, atau suatu ras tertentu. Iptek adalah hak prerogatif atas dasar kemampuan umat manusia
termasuk di dalamnya anak-anak dari Indonesia. Penguasaan Iptek sesungguhnya tidak mengenal
bangsa. Itu adalah salah satu peran IIFTIHAR. Sega la kegiatan saya di IIFTIHAR juga diikuti oleh Ainun,
karena ia selalu mendampingi saya pada semua acara penting dalam sejarah kelahiran IIFTIHAR, baik di
Tanah Air maupun di luar negeri. Konsep pengembangan sumber daya manusia dengan pemberian nilai
tambah yang selalu menjadi prinsip dalam gagasan-gagasan pembangunan saya, diterapkan Ainun dalam
organisasi sosial yang dipercayakan padanya. Itu semuanya melandasi kegiatan Orbit, Bank Mata, Balai
Bina Kerta Raharja (BBKR), SOS Desa Taruna Indonesia yang bekerjasama dengan SOS Kinderdorf
International, seluruh kegiatan Ainun di organisasi isteri-isteri karyawan di lembaga non departemen dan
industri strategis yang saya pimpin. +

BAB r4:1

Indonesian Airshow 1996

AINUN dan saya sulit melupakan tahun 1996. Tahun yang penuh dengan kenangan dan jejak yang nyata.
Tiap saat, tiap jejak, tiap gerakan kami, kiranya sudah direncanakan dan dituntun oleh Allah SWT.

Persiapan untuk melaksanakan ”Pameran Dirgantara 1996 atau Indonesian Airshow 1996” mendapat
perhatian yang sangat besar dari dunia dirgantara internasional. Semuanya ini berkat keberhasilan
pesawat rekayasa dan rancangbangun putra-putri Indonesia. Pesawat N-250 Gatotkoco terbang perdana,
pada tanggal 10 Agustus 1995. N-250 terbang sesuai rencana dan jadwal, N-250 pesawat yang paling
canggih dalam kelasnya, adalah suatu karya nyata Industri Dirgantara Indonesia yang meningkatkan
kredibilitas kemampuan kita, yang dapat mengembangkan dan menerapkan teknologi secanggih apa
pun. Pada ”Pameran Dirgantara Indonesia 1986 atau Indonesian Airshow 1986, IAS’86” sepuluh tahun
yang lalu, CN-235 Tetuko, produk canggih hasil rekayasa dan rancangbangun kerjasama putra-putri
Indonesia dan Spanyol telah mendemonstrasikan keunggulannya. Memang pada ”IAS’86” di Kemayoran
Jakarta, N-250 sudah diperkenalkan, namun tidak dianggap serius baik dari kalangan internasional
maupun nasional. Pada ”Pameran Dirgantara Indonesia 1996 atau Indonesian Airshow 1996, IAS’96”,
dihadapan dunia internasional, dengan kecepatan tinggi dalam daerah ”subsonic” (subsonic region) N-
250 Gatotko co akan mendemonstrasikan keunggulannya. Sesuai jadwal pada tanggal 10 Agustus 1995,
dihadapan mata seluruh dunia penerbangan N-250 Gatotkoco terbang mendemonstrasikan
keunggulannya. Sejak itu Industri Dirgantara Indonesia menjadi sangat kredibel dan harus
diperhitungkan. Pada ”IAS’96”, N-2130 akan diperkenalkan sebagai pesawat 130 penumpang
berkecepatan tinggi di daerah transonic, yang digerakkan oleh dua mesin Jet dan akan terbang perdana
pada bulan Agustus 2002 sebagai tanda Indonesia tinggal landas siap memasuki era globalisasi. Karena
itu perkenalan N-2130 pada ”IAS’96” di Cengkareng Jakarta, ditanggapi oleh dunia industri dirgantara
sangat serius. Ada yang senang, karena mendapat mitra baru dan pasar baru untuk produk Industri
”Peralatan Penunjang Pesawat, Vendor Items atau Vendor Product yang dapat diintegrasikan oleh
produk Industri Dirgantara Indonesia, N-2130. Ada juga yang prihatin atau tidak senang, karena
menghadapi saingan yang berat dan potensial oleh ”pelaku baru” mi. Bagaimana caranya? Yang senang
adalah” pelaku lama” yang diuntungkan dan yang tidak adalah mereka yang dirugikan oleh kehadiran
pelaku baru ” mi. Ini tercermin pada peserta dari Industri Dirgantara dan Industri Penunjang Dirgantara
yang jumlahnya sangat meningkat. Puluhan pimpinan Industri Penunjang Dirgantara dari Eropa dan
Amerika Utara sudah mulai bertemu dengan saya untuk menyampaikan niat mereka berperan serta
menyediakan alat penunjang yang dibutuhkan oleh N-2130. Persyaratan yang harus dipenuhi hanya dua:
1. Harus membuat perusahaan patungan dengan mitra pilihannya, bebas dari SARA dan KKN untuk
membuat produk penunjang atau Vendor Item.

2. Pilihan pro duk penunjang atau vendor item untuk N-2130 harus sesuai persyaratan teknis yang
dibuat oleh IPTN, kandungan lokal terus meningkat, puma jual sesuai standar internasional dengan harga
paling menguntungkan dan diselesaikan sesuai jadwal melalui suatu tender.

Sebagai strategi memasarkan untuk membuat jaringan puma jual dan pusat keunggulan produksi dan
perakitan N-250, didirikanlah perusahaan American Regional Aircraft Industri (AMRAI) dengan pusat
perakitan N-250 di Alabama, setelah puluhan negara bagian di Amerika Serikat berebut dan
mengirimkan surat kepada saya menawarkan tempat perakitan N-250 di AS. Ini semua menjadi langkah
nyata untuk memasarkan produk N-250 di Benua Amerika. Demikian pula pendirian European Regional
Aircraft Industriy (EURAI) di Baden Wuertenberg dekat kota Stuttgart untuk pasar Eropa dan Timur
Tengah. Indonesian Air Show 96 atau IAS’96 dilaksanakan di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta,
Jakarta antara tanggal 22 sampai 30 Juni 1996. Pada IAS’96 tersebut, ikut serta dalam pameran 280
perusahaan dari 23 negara di Dunia Industri Dirgantara. Pada Airshow ini diperlihatkan produk unggul/
mutakhir militer dan sipil. Dengan demikian IAS’96 adalah Pameran Dirgantara atau Airshow ketiga
terbesar setelah Paris Air Show di Le Bourget dan Farnborough Air Show di London. Airshow tersebut
dilaksanakan pada kawasan sekitar 128 hektar (320 acres) di area sekitar Bandar Udara So ekarno-Hatta.
Pameran dalam dan luar ruangan Indoor and outdoor exhibition areas memanfaatkan 64 hektar (160
acres).

Tokoh militer, pemerintahan dan dunia usaha dirgantara internasional pada umumnya khususnya wilayah
Asia-Pacific, telah mengunjungi IAS’96 dan menandatangani „deal” dengan pelaku Industri Dirgantara
yang hadir lebih dari US$ 4.48 Mil liar. Lebih dari satu juta pengunjung yang datang pada IAS’96 selama 9
hari.

Hari Sabtu tanggal 22 Juni 1996 tepat pukul 08.00, IAS 96’ resmi dibuka oleh Presiden Soeharto. Dua
puluh tiga penerjun payung khusus TNT - AU membawa 23 Bendera Peserta IAS’96 dari 23 Negara. Satu
demi satu penerjun turun di depan panggung kehormatan dan penerjun terakhir menyerahkan bendera
Indonesia kepada Presiden Soeharto. Tim akrobatik Elang Biru dari Angkatan Udara RI dengan pesawat
tempur F-16, tim akrobatik Kerajaan Inggris adalah Tim Red Arrows dengan Hawk 100/200
penampilannya yang atraktif bagi penonton serta tim akrobatik Thunderbird dari Angkatan Udara
Amerika Serikat dengan US Pacific Air Forces’F16C Aerial Demonstration Team dari 14th Fighter
Squadron, 35th Fighter Wing mendemonstrasikan keunggulan udara mereka.

Sedangkan beberapa pesawat US Navy F14 Ds, F/A18C5, A6Es dan EA6Bs berpasangan lewat terbang
rendah. Total 8 pesawat datang dari Kapal Induk Aircraft Caner USS Carl Vinson yang sedang berada di
Samudra Hindia. Pesawat bomber BIB Lancer datang langsung dari McConnel AFB di Kansas ke Jakarta
dan mendarat di depan penonton sesuai jadwal. Pesawat bomber tersebut selanjutnya diparkir selama
IAS’96 untuk static display. Seratus lebih pesawat dari 22 negara peserta digelar di pelataran parkir IAS
’96. Lebih separuhnya terbang demo atau melakukan dynamic show mengitari arena seputar kawasan
Bandara Soekarno-Hatta. Mereka menunjukkan kemampuan maneuver keandalan sistem teknologi yang
digunakan pesawat-pesawat terselout. Termasuk pula diantaranya pesawat-pesawat penumpang B777
andalan pabrik Boeing, Concorde ikon British Aerospace dan Aerospatiale, A340 kepunyaan Airbus.
Pesawat tempur Sukhoi Su27, Su30 dan Ilyusin IL-76 andalan Angkatan Udara Federasi Rusia
mendemonstrasikan keunggulannya. Demikian pula Pesawattempur Mikoyan MAPO MiG29 dari
Angkatan Udara Kerajaan Malaysia. Pesawat buatan British Aerospace Hawk 100 dari 24 Hawk 100/200
milik TNI-AU memperlihatkan tiap hari keunggulannya. Pesawat Helikopter Westland Lynx III milik British
Royal Navy yang diangkut dengan Pesawat Pengangkut buatan Rusia langsung dari Inggris
memperlihatkan kemampuannya yang meyakinkan. Pada IAS’96 partisipasi US Navy dan US Air Force
meyakinkan. Kehadiran US Navy P3C Update III Orion antisubmarine/ antisurface warfare aircraft, US Air
Force B1B Lancer bomber, 2 F15C Eagle air superiority fighters, 2 F16 Fighting Falcons dan 2 KC135
Stratotanker yang semuanya diterbangkan dari pangkalan udara USA di Jepang mendemonstrasikan
kredibilitas IAS 96.

Amerika Serikat mendemonstrasikan keunggulan dan kehadiran mereka di wilayah Asia-Pacific. Display
dan demonstrasi alat dan kapasitas pertahanan pada IAS’96 menggarisbawahi kepentingan USA
mempertahankan dan memelihara stabilitas pertumbuhan ekonomi melalui kerjasama yang saling
menguntungkan di wilayah Asia Pacific. Demikian disampaikan U.S. Secretary of Commerce Micky Kantor
yang mengunjungi IAS’96, kepada saya. Selama acara IAS’96, masyarakat tidak hanya menonton hasil
produk kedirgantaraan negara-negara industri maju, tetapi juga pesawat-pesawat andalan industri dalam
negeri mulai dari NC-212, CN -235, helikopter NBO-105, SA.330 Puma, dan AS.332 Super Puma. Bahkan
pesawat komuter N-250, hasil rancangbangun Industri Dirgantara IPTN menjadi Bintang Pameran IAS’96.
Suasana emosional tampak pada wajahwajah segenap yang hadir.

Empat hari pertama mulai Sabtu tanggal 22 Juni 1996, IAS’96 dibuka hanya untuk Pelaku Industri
Dirgantara dan pembeli produk Industri Dirgantara baik perangkat lunak maupun perangkat keras. Baru
hari Rabu tanggal 26 Juni 1996 IAS’96 dibuka untuk Umum.

Bersamaan dengan IAS’96, pada tanggal 24 s/d 27 Juni 1996, dilaksankan The 2nd International
Symposium on Aeronautical Science & Technology in Indonesia atau „ISASTI’96” di Jakarta. Symposium
yang pertama sudah dilaksanakan 23 Juni s/d 26 Juni 1986. „ISASTI’86” ketika itu dilaksanakan
bersamaan dengan IAS’86 yang diselenggarakan 21 s/d 29 Juni 1986 di Lapangan Terbang Kemayoran
Jakarta. Jikalau pada ISASTI’86 dipresentasikan makalah teknologi yang dibutuhkan untuk merancang
bangun N-250, maka pada ISASTI’96, semua makalah ditujukan untuk merancang bangun N-2130, yang
direncanakan akan mengudara dalam bulan Agustus tahun 2002. Baik ISASTI’86 maupun ISASTI’96
dilaksanakan oleh „Institut Aeronautika dan Astronotika Indonesia atau IAAI” bekerjasama dengan
„International Council of Aeronautical Sciences atau ICAS”.

Sejumlah 140 makalah ilmiah untuk rancangbangun N-2130 yang diteima dari para Ilmuwan dan pakar
dari Jerman, Perancis, USA, UK, Italia, Belanda, Australia, Jepang dan Indonesia.

Makalah ilmiah ISASTI’86 dan ISASTI’96 dibantu oleh organisasi bidang „aeronautical sciences and
technology” negara-negara dari DGLR (Jerman), RAeS (UK), AIAA (USA), AAAF (Perancis), KNVvL
(Belanda), JSASS (Jepang), AIDAA (Italy) dan IAAI (Indonesia). Semua makalah dan diskusi yang
dilaksanakan pada ISASTI dicatat, diterbitkan dan dibukukan. Makalah Ilmiah tersebut meliputi 8 bidang:

1 Configuration and Design Integration

2 Aerodynamics

3 Materials and Structures

4 Propulsion

5 Performance, Stability and Control

6 System and Subsystem Technology

7 Engineering, Manufacturing and Management

8 Aircraft Operation, Navigation System and Human Factors

Biaya pelaksanaan ISASTI’86 dan ISASTI’96 dibantu oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dan
mitranya di luar negeri. Pada IAS’96, perkembangan pesat sumber daya manusia (SDM) Indonesia
mengembangkan, menerapkan, mengendalikan dan menguasai teknologi dirgantara hanya dalam 20
tahun sejak berdirinya Industri Dirgantara di Bum! Indonesia diperlihatkan sebagai prestasi nyata.
Perkembangan pesat ini dicapai dalam bidang pendidikan, penelitian, industri dirgantara dan industri
penunjang-nya hanya dalam 20 Tahun. Bagaimana 10 tahun kemudian yakni tahun 2006? Bagaimana
tahun 2016 nanti? Merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini mengakibatkan keprihatinan bagi mereka
yang dirugikan. Tidak tergantung dari Indonesia atau luar negeri. Pertanyaannya sama melihat prestasi
nyata yang nampak. Adanya pasar domestik yang cukup besar dan potensial di wilayah „Benua Maritim
Indonesia” yang luas pula sebagai pendorong atau penggerak utama pembangunan, dengan prasarana
yang sudah dimiliki, menggarisbawahi kemampuan SDM Indonesia dapat berperan di Asia -Pasific
bahkan di dunia, bukan suatu impian, tetapi suatu kenyataan yang mengagumkan. Demikian pandangan,
pendapat dari pakar dan tokoh yang objektif disampaikan kepada saya. Oleh karena itu, Pesawat 130
Penumpang N-2130 bermesin 2 Jet dianggap sebagai suatu kebijakan yang tepat dan masuk akal.
Mengenai kemampuan Indonesia merancangbangun N-2130 tidak ada lagi yang meragukan.

Prototipe kedua N-250-70 Gatotkoco untuk 70 penumpang yang 100% dirancangbangun di Indonesia
dan terbang pada IAS’96, adalah suatu bukti kemampuan Industri Dirgantara Indonesia. N-250-70
sebagai pesawat executive, pesawat penumpang dan pesawat pengangkut barang juga diperlihatkan
pada IAS’96. Hari Selasa tanggal 25 Juni 1996 pada HUT ke 60 saya, pimpinan perusahaan Dirgantara
British Aerospace dan Aerospatiale perancang bangun pesawat Supersonic Concorde, mengundang
Ainun dan saya bersama para tokoh dirgantara dunia yang hadir pada IAS’96 terbang bersama dengan
pesawat Concorde dari Jakarta ke Perth Australia pulang pergi. Dengan kecepatan 2.179 km/h atau Mach
2,02, pada ketinggian 18.000m antara Jakarta dan Perth, setelah 100 tamu diberi minuman „Anggur
Champagne”, menyanyikan „Happy Birthday ke-60” untuk saya. Saya sangat bahagia dan „dimanja” oleh
semua yang hadir bersama Ainun. Ainun memeluk dan mencium pipi dan dahi saya, dengan wajah,
senyuman yang selalu memukau, mengilhami saya dan selalu sepanjang masa kurindukan memberi
sepucuk surat kartu dengan gambar „Beruang Teddy” yang gembira dengan tulisan „On Your birthday....
Do anything that brings a smile, Make you laugh or suits your style...” Di dalam kartu ini Ainun menulis
dengan tulisan tangannya:

Suamiku tercinta, Selamat HUT yang ke- 60. Kami semua bersyukur atas anugerahyg diberikan Allah SWT
sehingga dapatmemanfaatkan waktu yg diberikan dengan beribadah selalu. Semoga Allah SWT selalu
melindungi, memberikan kasih sayang NYA, memberi petunjuk dan ridhonya bagi suamiku tercinta. Love

Mama dan Anak Cucu

Pada kartu ini dilampirkan copy suatu artikel mengenai saya yang ditulis Alain Cass dan diterbitkan oleh
Financial Time tanggal 30 April 1984 berjudul „An engineer in the cockpit’ Copy tulisan Alain Cass lebih
dari 32 tahun disimpan oleh Ainun untuk diberikan kepada saya pada HUT ke-60 saya di atas Concorde.

Tanggal 25 Juni 1996, setelah IAS’96 4 hari yang lalu resmi dibuka, malam harinya dilaksanakan „Gala
Dinner IAS’96” oleh Penyelenggara IAS’96 di Convention Hall Senayan dan dihadiri oleh Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia bersama semua tokoh nasional dan internasional dengan tamu lebih
dari 2000 orang. +

Ainun Dirawat di Bad Oeynhausen

SEJAK kami berada kembali di Tanah Air, dengan sejumlah jabatan yang ditugaskan kepada saya, sejak itu
pula Ainun dengan setia selalu menyertai saya bepergian kemana saja. Karena tuntutan tugas, Saya
sering melakukan perjalanan dinas dengan jadwal yang amat ketat dan sangat melelahkan. Untuk semua
tugas itu, Ainun tidak pernah mengeluh dan dengan setia mendampingi saya. Namun suatu saat, saya
merasa tergucang karena Ainun mendapat masalah pada jantungnya. la sering merasa lelah dan sesak
bernafas Menurut para dokter tim Profesor Abdurrahman Nurhay kawan sekelas dan Angkatan 1961
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ainun membutuhkan banyak istirahat. Acara saya harus
dibatasi. Sedapat mungkin kami tinggal di Jakarta dan saya lebih banyak bekerja dan menerima tamu di
kantor saya di Jakarta, Bandung, Batam dan Surabaya. Mondar mandir antara Rumah - BPPT - Bina Graha
- Cendana- DPR di Senayan - lapangan terbang. Hanya jikalau tidak dapat dihindari saya ke luar negeri.
Untung memiliki fasilitas prasarana helikopter, pesawat Executive Jet G4 milik Industri Dirgantara IPTN.
Program Ainun sangat dibatasi, namun tidak dapat dihindari bahwa Ainun selalu mendampingi saya
jikalau saya harus keluar kota Jakarta. Oleh karena itu saya sedapat mungkin tinggal di Jakarta. Setelah
acara 17 Agustus 1996 selesai, Ainun lebih sering bermasalah pada pernafasan dan denyutan jantung.
Sekitar bulan Oktober 1996 Ainun harus dirawat di Rumah Sakit MMC di dekat rumah kami di Kuningan,
karena masalah „dekompensasi” jantungnya. Keadaan Ainun tidak membaik, bahkan memburuk.

Atas saran Tim Dokter yang terdiri dari Professor Nurhay, Profesor Sularto dan Dokter Arlis, kami
putuskan untuk segera membawa Ainun ke Jerman ke pusat keunggulan operasi Jantung di Bad
Oeynhausen. Setelah berkonsultasi dengan Professor Koerfer Ahli Jantung dan Direktur Pusat
Keunggulan Operasi Jantung Jerman di Bad Oeynhausen, disepakati hari Rabu tanggal 13 November
Ainun masuk Rumah Sakit di Bad Oeynhausen untuk diperiksa. Diputuskan hari Minggu tanggal 10
November 1996 kami dengan Tim Dokter naik Pesawat Executive Jet, Gulfstream G4 akan berangkat ke
Jerman. Sebelum berangkat, Ainun terus berbaring di Rumah Sakit MMC dibawah observasi Tim Dokter.
Saya pada waktu itu sedang sibuk sekali bersama Komisi X DPR - RI menyusun rancangan Undang -
Undang mengenai pemanfaatan teknologi nuklir. Sasaran saya semuanya sudah harus selesai paling
lambat hari Sabtu tanggal 9 November 1996, sebelum keberangkatan kami hari Minggu ke Jerman. Di
tengah perdebatan dan diskusi dengan Komisi X DPR-RI, beberapa kali terbayang wajah Ainun dalam
sudut mata saya sehingga saya memutuskan untuk menpercepat keberangkatan kami menjadi bukan
hari Minggu tetapi hari Jumat sore pukul 16.00 tanggal 8 November 1996.

Setelah saya memberikan penjelasan, usul pimpinan Komisi X DPR-RI diterima oleh para anggotanya,
agar rancangan Undang-Undang dapat diselesaikan pukul 10.00 pagi hari Jumat tanggal 8 November,
bekerja lembur sampai larut malam.

Dengan Pesawat Gulfstream G4 tepat pukul 16.00 hari Jumat tanggal 8 November 1996, saya, Ainun
bersama Tim Dokter Prof. Nurhay, Prof Sularto, Ibu Dr. Arlis dan Dr. Hendro Gunarto berangkat dari
Bandara Halim ke Hamburg. Setelah beristirahat di rumah kami di desa kecil Kakerbeck dekat Hamburg,
hari Senin pagi tanggal 11 November kami berangkat ke Pusat Keunggulan Bedah Jantung „Herz Zentrum
Nord Rhein Westfahlen” di Bad Oeynhausen. Dan i mobil saya menelpon Dr. Budiman, Dokter Kepala
(Ober Arzt) Operasi Jantung dan Asisten Professor Koerfer untuk mempersiapkan segera penerimaan
Ainun di rumah sakit. Dr. Budiman menyampaikan bahwa tidak ada kamar yang tersedia dan sesuai
rencana serta pembicaraan saya dengan Professor Koerfer, baru hari Rabu tanggal 13 November Ainun
akan masuk rumah sakit. Beliau usulkan agar sementara ini kami menginap di hotel saja. Ainun yang
mengikuti pembicaraan saya ini mengusulkan agar mengikuti saran Dr. Budiman saja. Beliau rasanya
biasa saja dan sementara tunggu di hotel sambil beristirahat adalah wajar. Jangan saya paksakan. Namun
perasaan saya aneh dan saya paksa untuk tetap masuk rumah sakit. Saya sampaikan akan langsung ke
rumah sakit dan tidak singgah di hotel. Akhirnya Dr. Budiman dan Ainun mengalah. Ainun untuk
sementara ditempatkan di „kamar darurat kamar yang selalu tersedia untuk 2 pasien dan letaknya dekat
Ruang Bedah Jantung. Nanti hari Rabu pagi tanggal 13 November akan dipindahkan ke kamar VVIP yang
sesuai rencana telah disediakan untuk Ainun.

Ainun mengalah dan demikian pula Tim Dokter dari Indonesia yang setelah mengantar kami masuk
rumah sakit, akan berdoa untuk kami berdua semoga selalu dilindungi Allah SWT.

Baru saja Pak Harto selesai menelpon, Pak Soedharmono mantan Wakil Presiden RI menelpon dari
Indonesia. Pak Soedharmono juga menanyakan keadaan Ainun. Kemudian Ainun menjelaskan kepada
Pak Soedharmono, bahwa semua OK.

„Mas Rudy ini memang yang rewel dan memaksa saya untuk sekarang pula sudah masuk ke rumah sakit,
walaupun di kamar darurat dekat ruang bedah Jantung dan tidak di hotel”. Pak Soedharmono
menyatakan: „Nurutin saja. Saya kenal sifat Pak Habibie. Maksudnya baik” Sementara itu waktu untuk
shalat Subuh sudah sampai dan kami melaksanakan kewajiban kami bersama shalat Subuh. Selesai shalat
Subuh, Ainun tiba-tiba menyatakan bahwa ia merasa kekurangan oksigen dan susah bernafas. Saya
langsung menekan tombol bel untuk memanggil perawat atau dokter. Karena keadaan Ainun menjadi
lebih kritis, saya lari ke luar dan mengajak perawat yang saya temui di depan ruang bedah untuk segera
membantu. Kami berdua mendorong tempat tidur Ainun masuk ke ICCU yang letaknya bersebelahan
dengan ruang bedah dan Ainun segera mendapat bantuan. Professor Koerfer yang kebetulan sudah
datang untuk mempersiapkan din i membedah pasien, memeriksa Ainun dan setelah itu memanggil
saya. Ainun sudah tidak dapat berbicara normal sehingga saya harus memutuskan. Professor Koerfer
menjelaskan „tali-tali” yang menghubungkan klep atau pintu antara dua ruangan dalam jantung sebelah
kin i dengan dinding bagian dalam jantung, putus. Akibatnya klep itu tidak berfungsi dan harus segera
diganti! Anda harus segera memutuskan:

1. Klep buatan manusia dari Serat Karbon atau Klep alamiah bekas klep Jantung binatang Babi

2. Kalau anda memilih klep serat Karbon, maka harus pergi ke hotel. Saya tetap bersama Ainun dan
mendaftarkan sebagai pasien, menginap di Kamar Darurat, yang memiliki 2 tempat tidur. Tempat tidur
saya di sebelah Ainun. Pukul 20.00 setelah makan malam di kamar darurat, Professor Koerfer lengkap
dengan para asistennya berkunjung ke kamar dan memeriksa dan mendengar denyutan jantung Ainun.
Ia berkata: „Mengapa menginap di sini yang fasilitasnya sangat sederhana? Menunggu di hotel lebih
pantas. Keadaan Ibu Ainun yang jantungnya sedang mengalami dekompensasi biasa saja. Besok pagi
akan kami lebih intensif memeriksa Ibu! Maafkan kami tidak dapat menyediakan kamar yang lebih
pantas. Selamat tidur dan sampai besok pagi”. Ainun sambil senyum menyatakan: „Maaf Profesor kami
sudah merepotkan Anda. Memang adalah sifat suami saya yang susah dilawan. Jikalau sudah
memutuskan dan menghendaki sesuatu saya mengalah saja. Tidak ada gunanya untuk melawan
kebijaksanaannya. Jadi saya terima saja. Sekali lagi kami mohon maaf dan terima kasih untuk pengertian
dan bantuan Profesor Professor Koerfer senyum dan sambil mengulurkan tangannya ia berkata: „Saya
paham. Selamat tidur dan sampai besok pagi. Selamat malam”, kata Professor Koerfer lagi, kemudian ia
bersama timnya meninggalkan kami berdua di kamar darurat di sebelah Ruang Operasi Pusat
Keunggulan Bedah Jantung Jerman. Setelah shalat Isya bersama, kami tidur. Pukul 04.00 pagi kami
bangun untuk shalat Subuh. Ketika itu kami menerima telepon dari Ajudan Presiden Soeharto yang
menyampaikan bahwa Presiden yang sedang melaksanakan kunjungan resmi ke Jordan dari Aman
bermaksud berbicara dengan saya. Pak Harto ternyata menanyakan keadaan Ainun. Apa semua beres?
Perlu bantuan?

Setelah Pak Harto berbicara dengan Ainun dan mendapat penjelasan mengenai keadaan Ainun, hasil
pemeriksaan oleh Professor Koerfer dan rencana pemeriksaan selanjutnya, beliau memilih yang klepnya
satu pintu yang berputar sekitar satu sumbu atau klepnya terdiri dari dua pintu kin i dan kanan berarti
memiliki dua sumbu putar.

3. Anda harus cepat memutuskan. Kita tidak banyak waktu. Keadaan Isteri Anda gawat dan sangat kritis.

Saya hanya mau bertanya sebelum saya putuskan:

1. Klep bekas binatang babi jelas tidak dapat kami terima.

2. Menurut pengalaman, statistik satu pintu atau dua pintu yang baik?
3. Jikalau sama, maka saya pilih yang dua pintu, karena semua klep yang ada pada tempat jantung yang
sama dari binatang dan manusia memanfaatkan dua pintu. Berarti secara evolusi yang 2 pintu paling
baik.

Setelah mendengar keputusan saya, Professor Koerfer segera ke ruang bedah di mana Ainun sedang
berbaring dan sudah disambung dengan mesin peranafasan dan semua prasarana penunjang slap untuk
melaksanakan bedah jantung. Saya terus menerus memanjatkan doa terimakasih kepada Allah SWT
dengan keyakinan bahwa semua terletak ditangan Allah SWT dan apa saja yang diputuskanNYA adalah
terbaik bagi Ainun dan saya. Sementara itu Tim Dokter Indonesia tiba dari hotel menemani saya di luar
ruang bedah yang tidak berhenti memanjatkan doa dan bersyukur kepada Allah SWT. Subhanallah,
walhamdulillah, Allahu Akbar! Setelah operasi selama 7 jam selesai, saya dipanggil oleh Professor
Koerfer yang menjelaskan keadaan Ainun dan mengapa operasinya begitu lama. Ia menyatakan bahwa
untung Ainun segera dioperasi. Jikalau Ainun berbaring di station atau bangsal VVIP yang jaraknya jauh,
maka operasinya terlambat dan gagal. Apalagi jika sedang di pesawat atau hotel. Mendengar itu semua
saya tidak dapat berkata kecuali getaran jiwa saya dan panjatan doa terus mengalir bersyukur dan
berterima kasih kepada Allah SWT. Ucapan Professor Koerfer saya balas dengan senyuman karena doa
untuk Ainun Isteri saya tercinta dengan wajah dan senyumannya yang memukau dan kurindukan
sepanjang masa mengalbui jiwa saya pada waktu Professor Koerfer berloicara.

Subhanallah, walhamdulillah, Allahu Akbar! Ini semua rekayasa-Mu! + ir

BAB jjJ

Kabinet Pembangunan ke VII

SEPERTI pada Pemilu 1982, 1987 dan 1992, untuk keempatkalinya pada Pemilu 1997 Ainun dan saya
bersama aktif bergerak dilapangan. Ainun tidak pernah meninggalkan saya dalam keadaan apapun dan di
manapun. Tidak tergantung dari tempat dan waktu, kami berdua selalu bersama. Ainun selalu disamping
saya dan setia memberi semangat, turut meyakinkan peran seorang ibu, isteri yang setia tanpa
mengeluh, mengilhami, menenangkan dan menjaga kesehatan suami melaksanakan tugas. Karena
Ainun tidak pernah mengeluh, selalu bersenyum, cerah dan pendiam, bagi saya susah mengetahui
keadaan kesehatannya tanpa bertanya langsung. Saya masih terkenang pengalaman ketika Ainun
mengalami operasi jantung. Itu hanya beberapa bulan yang lalu, kemudian sudah terjun aktif
mendampingi saya di pemilu. Waktu kami untuk beristirahat hampir tidak ada. Untuk saya saj a sangat
melelahkan. Bagaimana Ainun? Jikalau saya paksa Ainun untuk beristirahat dan tinggal di hotel atau di
rumah gubernur, ia malah selalu mengingatkan saya bahwa keadaan saya lebih jelek dan juga pernah
mengalami operasi jantung tahun 1991. Pendidikan Ainun sebagai dokter, membuat saya yakin pada
pendapatnya mengenai kesehatan saya dan dirinya. Akibatnya saya pun harus mengalah dan tidak
ngotoL Kami berdua harus aktif membantu sebagai vote-getter atau penarik suara” untuk Golkar di mana
saja, dan khususnya di Sulawesi Selatan. Sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar bidang SD M dan
Iptek, sementara Ainun sebagai anggota Pimpinan Dharmawanita Pusat, BPIS dan organisasi lainnya
seperti Orbit dsb. Kami berdua cukup sibuk dan tidak kami rasakan beban yang menumpuk karena
diimbangi dengan keberhasilan yang nyata. Sampai Pemilu 1997, cara pembagian kursi yang digunakan
tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992.
Pemungutan suara diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa
setelah pada Pemilu 1992 Golkar rnengalami kemerosotan, tetapi kali ini Golkar kembali merebut suara
pendukungnnya. Perolehan suara Golkar mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41 persen. Sedangkan
perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi.
Pada Pemilu 1997 in! PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1991 Dukungan
terhadap partai itu di Jawa sangat besar.

Sedangkan PD!, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PD! Soerjadi dengan Megawati
Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya
mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992. Pemilu kali ini
diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten
Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap
keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya
pendukung PPP, tidak mengambil bagian. Setelah pemilu selesai, Ainun dan saya diperiksa oleh Tim
Dokter Indonesia. Keadaan kami syukur alhamudulillah dinyatakan baik. Namun kami tidak dibenarkan
terlalu dibebani banyak pekerjaan. Kami, harus masih banyak beristirahat dan tidak boleh berlebihan
bekerja. Memperhatikan saran tim dokter dan mengingat kami turut berperan pada 4 pemilu, sejak
tahun ’82, ’87, ’92, ’97 dan selama 20 tahun bekerja sebagai Anggota Kabinet Pembangunan III, IV, V, VI
disamping banyak jabatan lainnya dalam mengabdian kami bersama, adalah wajar jikalau Ainun dan saya
pensiun. Ilham dan Thareq selesai pendidikannya dan sudah menikah. Cucu sudah dua dan Insya Allah
bertambah. Memperhatikan semua ini, maka Ainun dan saya memutuskan bahwa saya tidak duduk lagi
dalam Kabinet Pembangunan yang akan datang. Kami akan konsentrasi untuk anak cucu, keluarga,
kawan-kawan dan mondar mandir antara Kakerbeck, rumah pribadi kami di desa dekat Hamburg dan
Jakarta. Keputusan kami, saya sampaikan kepada Presiden Soeharto. Beliau hanya berkomentar: ”Lihat
saja nanti”. Kepada ”Lurah” desa Kakerbeck saya sampaikan bahwa bulan April 1998 tahun depan kami
akan datang dan tinggal satu tahun di Kakerbeck. Perusahaan Allers yang sejak tahun 1972, memelihara
kebun rumah sebesar 1,5 hektar, akan mempersiapkan kebun dan rumah menjelang kedatangan kami.
Demikian pula informasi kami berikan kepada pembantu rumahtangga Frau Vogt. Mereka semuanya
senang mendengar berita mi. Karena Pemilu 1997 sudah berakhir dengan kemenangan Golkar, maka
segenap perhatian politik beralih ke persiapan dan pelaksanaan Sidang Umum MPR. Siapa yang menjadi
Presiden? Siapa Wakil Presiden? Apa kriteria yang harus dipenuhi Presiden? Apa kriteria yang harus
dipenuhi Wakil Presiden?

Banyak kriteria yang diajukan untuk menjadi Presiden RI dan Wakil Presiden RI yang datang dari para
tokoh masyarakat, tokoh dari fraksi dan partai, pakar dsb. Yang menarik adalah adanya nama terselubung
dalam melontarkan kriteriakriteria.

Yang jelas, kriteria yang mengikat kepada semua fraksi untuk pimpinan nasional atau presiden,
tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 Tap II MPR 1973 tentang tata cara pemilihan presiden dan wapres. Ada
14 kriteria yang disebutkan antaralain warga negara Indonesia, berumur 40 tahun ke atas, tidak pernah
terlibat G 30 S PKI, jujur, berwibawa, tidak pernah dihukum, dan sebagainya. Tiap Partai dan Fraksi di SU-
MPR nanti dapat menyusun dan mengusulkan kriteria asal tidak bertentangan dengan UUD-45 dan
Ketetapan MPR yang berlaku. Golkar misalnya mengajukan sembilan kriteria yang memenuhi Tap MPR II
tahun 1973. Menurut para pakar yang mengamati usul Golkar itu, cukup banyak yang dapat memenuhi
kriteria tersebut, namun Pak Soeharto yang paling unggul memenuhinya. Harus dipertanyakan akankah
pemimpin bangsa ini memerlukan persyaratan khusus, supaya bisa menjawab tantangan-tantangan
mendatang memasuki abad ke 21? Dan i situ akan dicari orang yang terbaik. Dan caranya perlu
ditetapkan dulu kriterianya, setelah itu cari mana yang memenuhi, dibuat rankingnya, baru kelihatan
lapis-lapisnya. Mungkin saja Ketetapan MPR dirubah atau diganti dengan yang lebih sesuai. Namun harus
dikaji lebih mendalam dan disesuaikan dengan iklim politik. Tap MPR manapun bisa diutik-utik, diubah,
diganti dan dicabut, semua terserah pada MPR. Semua ada cara dan prosedurnya. Ada berbagai
pendapat tentang sembilan kriteria Presiden RI mendatang versi Golongan Karya. Ada yang memastikan
kriteria itu hanya dimiliki Soeharto. Ada yang punya kriteria sendiri. Ada pula yang menolak kriteria
Golkar itu. Oleh karena kemenangan Golkar pada Pemilu sangat memengaruhi sikap pendapat Keluarga
Besar Golkar, maka sembilan kriteria menggarisbawahi secara tidak langsung siapa yang akan dipilih
menjadi Presiden untuk masa 1998 sampai 2003 nanti. Yang medapat perhatian sekarang a dalah siapa
yang menjadi Wakil Presiden? Soal kriteria Wapres tetap sama dengan kriteria presiden di Tap MPR No II
1973 ditambah satu kriteria lagi yakni bisa dan mau bekerjasama dengan presiden terpilih. Apa kriteria
selanjutnya? Siapa tokoh terbaik? Sudah banyak daftar nama calon wakil presiden. Tetapi mengapa
Golkar terkesan tidak buru-buru menyebut nama calon wapres, padahal pagi-pagi sudah mematok Pak
Harto sebagai calon presiden. Sidang Umum MPR mendatang hanya akan sibuk memilih wakil presiden.
Soalnya, setelah Haji Soeharto menyatakan kesediaan dicalonkan lagi oleh Golkar hampir pasti ia akan
terpilih lagi. Golkar mempunyai 14 kriteria yang harus dipenuhi oleh calon wapres termasuk kriteria
penguasaan Iptek dan industri, kedekatan dengan ABRI, kelompok Islam, diterima dunia usaha dsb

Beberapa Tokoh yang diperkirakan memenuhi kriteria dengan urutan alfabetis beredar adalah:

1 Emil Salim, 67 tahun

2 Ginandjar Kastasasmita, 57 tahun

3 Habibie B.J., 62 tahun

4 Harmoko, 58 tahun

5 Hartono R., 57 tahun

6 Siti Hardijanti Rukmana, 48 tahun

7 Sudharmono, 70 tahun

8 Try Sutrisno, 63 tahun

9 Wiranto, 50 tahun
Mengingat Krisis Moneter Asia terasa mulai bergulir, peran Wapres penting. Kemungkinan Presiden akan
lengser sebelum sidang MPR tahun 2003 dimulai. Akibatnya pro kontra tokoh tersebut di atas sebagai
Wapres terus berkembang. Ainun dan saya tenang saja, karena kami telah sepakat membantu
menyukseskan jalannya Sidang Umum MPR 1998, namun setelah Presiden dan Wapres dipilih, sudah
siap untuk dipensiun dan dapat bersama beristirahat di Kakerbeck Jerman. Oleh karena itu kami berdua
tetap tenang dan sama sekali tidak terganggu oleh permainan dan polemik politik yang terus meningkat,
khususnya di Jakarta. Tanggal 31 Desember 1997 sekitar pukul 22.00 malam saya menerima surat dari
Presiden Soeharto mengenai pengangkatan saya sebagai Ketua Harian dan Koordinator Keluarga Besar
Golkar tanpa ”Wakil atau Pengganti” untuk tahun 1998. Mengapa harus seorang din? Justru keadaan
tidak menentu, krisis keuangan Asia mulai bergulir, masalah sosial politik memanas, pimpinan harian
yang biasanya diserahkan kepada suatu Tim sekarang diserahkan kepada saya saja yang sudah super
sibuk. Mengapa begini? Alasannya apa?. Saya kecewa membacanya, karena pengangkatan saya menurut
surat keputusan terlampir berlaku sampai akhir tahun. Bukankah saya telah memberi informasi
mengenai keadaan kesehatan Ainun? Bagaimana mungkin Ainun dapat beristirahat, melaksanakan
proses penyembuhan yang ia sangat perlukan? Bagaimana reaksi Ainun? Bagaimana kesehatan Ainun?

Setelah saya serahkan surat tersebut kepada Ainun, ia dengan tenang menyampaikan: ”Tanyakan saja
kepada Presiden dan serahkan semua kepada Allah SWT. Saya pasrah saja dart yakin bahwa Mas Rudy
dapat mengatasi semua. Mengenai kesehatan saya semuanya di tangan Allah SWT. Saya selalu
bersamamu, disampingmu, di manapun dan dalam keadaan apapun saya selalu akan disampingmu.
Tuhan YME, Allah SWT selalu bersama kita”. Wajah, mata Ainun terus memukau dan memberi semangat
pada saya. Ketika saya bertemu dengan Pak Harto saya sampaikan banyak pertanyaan. Beliau saya Renal
sebagai seorang pimpinan yang sangat berbakat, memiliki segudang pengalaman dan unggul dalam
bidang ”strategi”. la menyampaikan: ”Habibie sudah membuktikan kemampuannya dengan karya-karya
nyata. Masalah yang kita hadapi kompleks dan tidak mudah. Agar Habibie dapat menghadapi dan
menyelesaikan masalah secara objektiftanpa dipengaruhi oleh siapa saja. Pengalaman tiga windu dalam
menyelesaikan masalah sudah cukup. Tiap saat jika Habibie memloutuhkan pendapat dan nasehat, akan
saya berikan 24 jam sehari!. Mengenai Ainun serahkan kepada Allah SWT ”.

Ainun senantiasa memperhatikan saya dan tidak pernah meninggalkan saya seorang din. Saya tidak
pernah merasa berpisah dengan Ainun. Jika saya dalam keadaan lelah atau stress, Ainun tiba-tiba berada
disamping saya memberi semangat, motivasi dan inspirasi. Penampilannya selalu menenangkan dan
menyenangkan bagi saya.Ainun tidak pernah menggangu. Kepada Ainun saya jelaskan hasil pembicaraan
saya denga Presiden Soeharto yang ia komentari: ”Ada benarnya yang disampaikan Pak Harto. Serahkan
semua kepada Allah SWT. Mengenai kesehatan saya, serahkan pula kepada Allah SWT. Yang penting
bagiku, saya selalu setia disampingmu, selalu mendampingimu, selalu berdoa untuk kesehatan kita dan
yakin yang dilaksanakan sesuai hati nuranimu adalah terbaik”.

Iklim dan polemik politik terus memanas. Kadang kadang ada demo berkaitan dengan mulainya bergulir
Krisis Keuangan Asia. Masalah Sembilan Bahan Pokok Sembako mulai ditonjolkan melalui media dan
gerakan mahasiswa dan masyarakat Beberapa kali saya harus memimpin Rapat terbatas Keluarga Besar
Golkar baik untuk persiapan SU MPR mau pun menghadapi masalah yang sedang kami hadapi. Rapat
dan pertemuan terbatas saya pimpin di rumah saya di Kuningan, sedangkan rapat paripurna 3 jalur ABG
atau ABRI- Birokrat - Golkar di Kantorll. Teunku Umar. Hari Sabtu tanggal 24 Januari 1998 sekitar pukul
13.00 Pak Daud ajudan saya masuk ke ruang kerja saya melaporkan bahwa Pangab dari Cendana dalam
perjalanan ke Kuningan mohon diterima. ”Di mana Pak mau diterima, di pendopo atau diruang kerja?” Di
sini saja kata saya. Duapuluh menit kemudian, saya menerima Pangab Jenderal TNT Faisal Tanjung, yang
melaporkan sebagai berikut: ”Da lam rangka pengamanan pelaksanaan Sidang Umum MPR adalah tugas
kami mempersiapkan agar sidang MPR lancar. Ini termasuk pengamanan Wapres terpilih, keluarganya
dan lingkungan sekitarnya. Karena SU-MPR akan berlangsung 46 hari lagi, maka untuk persiapan itu, saya
perlu mengetahui siapa yang akan menjadi Wapres? Kami sadari bahwa kriteria Wapres tetap sama
dengan kriteria presiden di Tap MPR No II 1973 ditambah satu kriteria lagi yakni bisa dan mau
bekerjasama dengan presiden terpilih. Karena kemungkinan besar Bapak Soeharto yang akan dipilih
sebagai Presiden, menurut Bapak yang akan mendampingi Presiden terpilih nanti, siapa dari tokoh calon
Wakil Presiden yang disebut dalam pemberitaan? ” Pangab kemudian melanjutkan. ”Setelah Presiden
Soeharto memberi penjelasan dan alasan panjang lebar, Beliau menyebut nama Pak Habibie ! Karena itu
saya segera meminta waktu untuk bertemu dengan Bapak. Pak Soeharto mengetahui bahwa saya
sekarang berada di Kuningan. Kami mohon Bapak tidak memberi informasi kepada siapa saja, termasuk
Thu Ainun dan keluarga !”, demikian informasi yang diberikan oleh Pangab.

Waktu Pangab meninggalkan Kuningan saya bertanya mengapa ini semua terjadi? Mau kemana kita?
Apakah harus begini? Saya tidak dapat berkonsultasi dengan Ainun. Saya harus cernakan semuanya
sendiri. Saya menjadi manusia yang kesepian dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab dan
permasalahan yang belum diselesaikan. Hanya Allah SWT dan hati nurani saya yang melekat pada diri
saya, kawan setia saya. Tiba - tiba saja saya terkenang pertemuan dan pembicaraan saya dengan Presi
den Soeharto yang berlangsung pada tanggal 28 Januari 1974, hari Senin, pukul setengah delapan malam
di Cendana. Beliau menyampaikan bahwa beliau sudah menentukan saya yang akan mendampingi beliau
mempersiapkan kerangka tinggal landas bangsa Indonesia memasuki abad ke-21.

Waktu itu, Pak Harto jelas tidak membicarakan masalah globalisasi atau krisis moneter. Peristiwa
bersejarah bagi saya ini, telah saya tulis dalam buku, maupun pada wawancara saya kepada berbagai
media. Dalam pertemuan tersebut, beliau membicarakan alasanalasan bahwa bangsa ini harus
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Beliau berpesan agar supaya saya merubah wawasan dari
anak-anak kita bahwa anak-anak kita harus memiliki cita-citanya menjadi seorang profesional dalam
bidangnya masing-masing. Bukan membicarakan politik saja. Pandangan Pak Harto waktu itu dapat
dimengerti karena beliau baru keluar dari masalah-masalah yang diakibatkan oleh partai-partai politik.
Beliau sebagai tokoh yang melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia sesuai cita-cita yang dijiwai oleh
Mukadimah UUD 1945. Beliau sejak awal selalu berada diujung tombak proses perjuangan itu. Beliau
mengalami sendiri masa di mana politik dikatakan bergolak sedemikian rupa sehingga sangat merugikan
proses pembangunan bangsa secara keseluruhan. Hal itu mengalami puncaknya dengan terjadinya
tragedi nasional G 30 S PKI. Beliau sangat menyadari bahwa bangsa Indonesia akan sangat dirugikan
dalam melakukan pembangunan kalau seluruhnya diserahkan kepada tokoh-tokoh politik saja. Politik
adalah penting tetapi yang lebih penting adalah manusia yang memiliki wawasan teknis dalam bidangnya
masing-masing untuk membangun dengan karya-karya nyata. Waktu itu - Januari 1974 usia saya baru 37
tahun atau baru menjelang 38 tahun, karena akan berulang tahun ke-38 pada bulan Jun!. Sedangkan
para senior saya yang saya anggap tepat untuk diberikan kepercayaan oleh Presiden Soeharto, sepuluh
tahun lebih tua dibandingkan saya, tidak disebut. Tetapi, Pak Harto berpikir, ketika bangsa Indonesia
akan tinggal landas untuk memasuki abad yang akan datang, itu berarti membutuhkan waktu 25 tahun.
Hal tersebut disampaikan sendiri oleh beliau kepada saya. Jadi, kalau dia memberikan kepercayaan
kepada seseorang yang berumur bukan 37 tahun, tetapi 47 tahun, maka dapat dibayangkan, 25 tahun
kemudian usia orang tersebut telah mencapai 70 tahun. Jadi, perhitungan Pak Harto sangat masuk akal
jikalau beliau sangat-sangat concern. Kemudian Pak Harto bertanya : ”Kamu punya waktu berapa?”Pak
Harto adalah sosok pribadi yang konsisten. Pada kesempatan itu Pak Harto juga berpesan agar saya
harus mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri saya sendiri, kepentingan keluarga, dan
kepentingan golongan. Itulah Pak Harto yang saya kenal. Dengan latar belakang seperti ini, dan setelah
mengenal beliau sebagai pribadi yang konsisten, saya bisa membayangkan bahwa menjelang bangsa
Indonesia memasuki abad ke-21, beliau telah mempersiapkan sejumlah skenario. Baca saja pada pidato
beliau ketika akan mundur. Tetapi, sekali lagi, ada yang luput dan tidak dia rencanakan sama sekali. Ini
berkaitan dengan terjadinya krisis moneter. Timbulnya reaksi masyarakat yang begitu besar.

Namun jelas, dalam hidup saya, saya tidak pernah mengejar kekuasaan dan jabatan. Saya hanya bekerja
dan bekerja. Jika saya bekerja tidak mengenal waktu dan seperti tidak memikirkan din i saya dan
keluarga saya, memang demikian ritme bawaan dalam din i saya dalam bekerja, dalam karier apa pun.
Saya merasa heran jika ada selentingan isu yang saya dengar mengatakan bahwa Habibie itu, terlalu
banyak merangkap jabatan. Mereka yang berkata demikian sebenarnya tidak memperhitungkan, bahwa
dengan tugas dan jabatan itu, bagaimana saya mengorbankan waktu tidak selalu berada di tengah-
tengah keluarga saya. Tidak seperti yang dialami lakilaki lain sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya.
Beruntung saya memiliki isteri seperti Ainun yang sabar dan tulus dan penuh pengertian, tahu resiko atas
tugas-tugas yang saya emban. Memang, jauh sebelum Presiden Soeharto, menggunakan hak
prerogatifnya memutuskan memilih saya sebagai wakil presiden, saya diberitakan oleh berbagai media,
telah melakukan ”manuver” untuk menjadi wakil presiden bahkan sebagai presiden. Akhir tahun 1996,
menjelang pemilu 1997, suhu politik memang sangat panas. Saya waktu itu diudang berbicara di
Seskogab di Bandung dan ditugaskan Pak Harto untuk berbicara kepada jajaran pimpinan ABRI di
Cilangkap. Pang lima ABRI ketika itu Jenderal Faisal Tanjung, KSAD Jenderal Hartono, Pangkostrad Letjen
Wiranto dan Dan Kopassus Mayjen Prabowo, mereka hadir semua. Tugas yang diberikan kepada saya
oleh Pak Harto sebenarnya untuk memberikan wawasan kepada jajaran pimpinan ABRI mengenai
pentingnya Iptek dan SDM di masa depan. Saya berbicara memang lama sekali hampir lima jam dan
memberikan pandangan pribadi saya antara lain mengenai Dwi Fungsi ABRI dan tidak adanya lagi
eksklusifisme dalam ABRI. Bahwa hanya Angkatan 45 yang ekslusif, karena sejarah. Kedatangan dan
ceramah saya di Cilangkap mengundang berbagai interpretasi dan spekulasi politik. Saya biasa ditanya
oleh wartawan, balk nasional maupun wartawan media asing : ” Apakah anda bersedia jika anda yang
dikehendaki menjadi wakil presiden?” Saya jawab : Kalau saya yang dikehendaki, terus terang saya
mengajukan pertanyaan pada din i sendiri, yakni di manakah saya harus berada untuk memberikan
kontribusi semaksimal mungkin bagi bangsa dan rakyat Indonesia? Saya akan menjawab : ” Tempat saya
adalah science, titik ! Saya mengatakan ini dengan tulus, dan ini juga sama dengan saya yakini dengan
Ainun. Namun, saya menyadari juga sebagai warganegara Indonesia yang balk, bahwa jika rakyat
Indonesia menghendaki seseorang menjadi pemimpinnya, dan orang itu mempunyai rasa
tanggungjawab dan rasa cinta kepada rakyatnya, apa mungkin manusia tersebut bisa mengatakan:
”tidak?”.

Jika orang yang dipilih itu mengatakan ”tidak itu arogan namanya. Karena itu,kita serahkan kepada
„Mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden” yang berlaku. Kita sesuaikan kepada kehendak
rakyat yang dicerminkan melalui wakil-wakilnya di MPR dan DPR. Dan itulah yang terjadi. Mulai tanggal 9
Maret 1998, setelah meminta waktu bertemu dengan saya, wakil-wakil fraksi di DPR datang menemui
saya dikediaman saya di Patra Kuningan. Berturut-turut saya terima:

1. Fraksi Utusan Daerah dipimpin Bpk. Hasan Basri Dunn,

2. Fraksi P3 dipimpin Bpk. Jusuf Syakir

3. Fraksi Karya Pembangunan (GOLKAR) dipimpin Bpk. Ginandjar Kartasasmita

4. Fraksi PDI dipimpin oleh Bpk. Buttu Hutapea

5. Fraksi ABRI dipimpin oleh Bpk. Yunus Yosfiah

Mereka semua secara resmi meminta kesediaan saya untuk bersedia mendampingi Presiden R.I.menjadi
Wakil Presiden.

Tidak ada pilihan lain bagi saya, kecuali menyatakan ”ya”. Ketika delegasi fraksi yang terakhir
meninggalkan Patra Kuningan, saya dan Ainun menyadari bahwa amanah ini berat, namun amanah ini
harus diterima dan dilaksanakan.

Kami berdua berdoa, meminta perlindungan Allah SWT untuk mengemban tugas yang diberikan oleh
rakyat dan negara mi. Pada tanggal 11 Maret 1998, saya didampingi Ainun menuju Senayan gedung
MPR/DPR untuk diambil sumpah menjadi Wakil Presiden RI. Setelah semua acara seremonial selesai,
secara protokoler kenegaraan kami harus pindah dari rumah pribadi kami, ke rumah jabatan resmi wakil
presiden di Jalan Diponegro. Namun, sesuai rembukan saya dengan Ainun, kami putuskan akan tetap
tinggal di rumah pribadi kami di Patra Kuningan. Dalam suasana yang baru, siklus kegiatan harian saya
dan Ainun tidak berubah. Saya mulai resmi masuk kantor sebagai wakil presiden dengan berbagai tugas,
sementara Ainun sibuk dengan kegiatan resmi sebagai isteri wakil presiden selain kegiatan sosialnya.
Beberapa hari setelah dilantik, kami sudah mengadakan perjalanan ke luar negeri, sebagai wakil
Indonesia di the Second Asia-Europe Summit Meeting ( ASEM di London, dan berkesempatan bertemu
Margaret Thatcher kenalan lama saya bersama Ainun. Dalam perjalanan ke London untuk menghadiri
pertemuan ASEM, saya mampir sebentar di Kuala Lumpur untuk bersilaturahmi dan bertukar pendapat
sebagai masukan penting untuk pertemuan ASEM dengan Bapak Perdana Menteri Dr. Mahathir
Moehamad.

Dari Malaysia menuju ke London, saya singgah sebentar untuk bersilaturahmi dengan Presiden United
Arab Emirats. Untuk menyatakan terima kasih dan penghargaan kami karena United Arab Emirate
membeli 6 CN-235, demikian pula pemberian order untuk memperbaiki helikopter Angkatan Udara
mereka.
Saya mampir sehari di Roma, dan dapat masukan dan pandangan dari kawan lama saya Perdana Menteri
Italia, Dr. Romano Prodi yang perlu saya pelajari sebagai masukan penting dalam pembicaraan dengan
para tokoh yang hadir di London. Dr. Prodi pernah memimpin Industri Strategis Italia dan saya kenal
karena bekerjasama hampir 20 tahun lamanya. Banyak kawan lama dan baru yang bertemu saya di
London. Namun yang khusus saya harus sampaikan adalah beberapa saja. Ini hanya untuk memberi
gambaran sedikit mengenai tugas yang saya harus laksanakan bersama Ainun. Ainun tentunya selain
memiliki acara untukpara Ibu peserta ASEM di London, bertemu khusus pula dengan beberapa Ibu
Negara dari Eropa dan Asia kawan lama Ainun. Saya bertemu dengan kawan lama Kanselir Dr. Helmut
Kohl dan membicarakan masalah krisis keuangan Asia, kerjasama bilateral Jerman - Indonesia dalam
ekonomi dan teknologi pada umumnya khususnya kerjasama yang saling menguntungkan untuk keluar
dari krisis keuangan Asia yang sedang dihadapi. Saya bertemu Perdana Menteri Jepang Ryutaro
Hashimoto di Tokyo, serta sejumlah menteri Kabinet Ryutaro Hashimoto, berdiskusi panjang mengenai
50 butir persetujuan antara IMF dan Pemerintah Indonesia.

Atas permintaan Sekjen PBB Kofi Anan,saya mendengar masukan dan usul mengenai penyelesaian
masalah Timor Timur dipandang dari sudut mata PBB. Semuanya saya catat dan akan bicarakan dengan
Bapak Presiden Soeharto Dalam perjalanan pulang kami melakukan ibadah haji kedua kami bersama
putra kami Ilham bersama Insana dan Thareq bersama Widya untuk menambah energi rohani kami
untuk menghadapi semua masalah dalam keadaan Nasional dan Regional yang tidak menentu itu.
Sepulangnya di Indonesia, seperti biasa Ainun sibuk menerima Ibu-Ibu Majelis Taklim, melakukan
kerjasama dengan tujuh bank swasta untuk membantu beasiswa Yayasan Amal Abadi Orbit, menerima
Dewan Pengurus Rumah Sakit Ibu dan Anak Harapan Kita. Satu hal lagi, Ainun tetap mengadakan
pengajian rutin untuk ibu-ibu setiap hari Selasa tiap 2 minggu di kediaman kami. Pengajian ini sampai
sekarang tetap berlangsung, walaupun tanpa kehadiran Ainun lagi. Saya percaya, kendatipun Ainun tidak
bisa lagi hadir secara phisik bersama majelis pengajian yang dirintisnya itu setiap hari Selasa. Ainun akan
tetap mengawal dan menemani mereka dalam alam rohani. Para anggota majelis pengajian itu bersama
saya telah merasa kehilangan sesuatu yang tidak bisa kami ucapkan. Mungkin itu sebuah kerinduan.

Reformasi Bergulir

BULAN Mei 1998 merupakan momen penting dalam sejarah Indonesia. Saat itu, reformasi” mulai
bergulir yang digerakkan oleh pemuda dan mahasiswa di Jakarta, Bandung, Yogja, Surabaya, Medan,
Makaasar dan kota-kota lain. Tuntutan mereka jelas, transparansi, keadilan, keterbukaan, anti nepotisme
dan kolusi, anti korupsi, atau dengan kata singkat: ”kebebasan”. Memang hanya SDM yang merdeka dan
bebas dapat melalui suatu proses pendidikan dan pembudayaan berkembang menjadi unggul atau
berdaya saing tinggi. Masalah sembako, lapangan kerja, pemerataan akibat krisis keuangan Asia ini
memacu gerakan masyarakat. Oleh karena itu, tercerminkan pada tuntutan masyarakat, pada tanggal 5
Maret 1998, dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/M PR untuk
menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang
Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Delegasi mahasiswa ini diterima Fraksi ABRI.
Inisiatif para mahasiswa tersebut harus dinilai positif dan wajar diperhatikan, dipelajari dan dijadikan
bahan masukan untuk Sidang Umum MPR yang menyusun Ketetapanketetapan MPR untuk diserahkan
kepada Mandataris MPR terpilih. Jauh sebelumnya,sebagai Koordinator dan Ketua harian tiga Fraksi
”Keluarga Besar Golkar”, saya sarankan kepada Presiden untuk menerima ketiga ketua Fraksi yang
bersangkutan. Memang hampir tiap hari antara pukul 19.00 sampai selesai, saya bertemu dengan
Presiden untuk membicarakan penyelesaian masalah yang timbul di lapangan, namun permintaan saya
untuk menerima Ketua Tiga Jalur A,B,G (ABRI, Birokrat dan Golkar = ABRI, Utusan Daerah dan Golkar)
dan mendengarkan langsung masalah yang sedang mereka hadapi, karena kesibukan Presiden belum
dapat diwujudkan. Setelah tanggal 11 Maret 1998, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dan disumpah
maka Kabinet kami susun bersama. Sebagai Koordinator dan Ketua Harian Keluarga Besar Golkar ABG,
saya membawa aspirasi ketiga Fraksi untuk membantu Mandataris MPR dan Presiden terpilih dalam
menyusun Kabinet Pembangunan VII yang diumumkan pada tanggal 14 Maret 1998.

Suhu politik dan ketidakpastian meningkat. Dampak pada pertumbuhan ekonomi tidak menguntungkan
dan indikator makro ekonomi mulai memburuk. Demo di Jakarta dan di kota-kota terus belanjut. Tanggal
15 April 1998, Presiden Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena
sepanjang bulan, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan unjukrasa
menuntut dilakukannya reformasi politik. Untuk memberi pengertian pada para pendemo, tanggal 18
April 1998, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan 14 menteri Kabinet
Pembangunan VII, mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta,namun cukup banyak
perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.

Untuk memberikan gambaran berapa derasnya gelombang demonstrasi dilaksanakan dapat dicatat dari
kejadian sebagai berikut; tanggal 1 Mei 1998 Presiden Soeharto melalui Hartono, Menteri Da lam Negeri
dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
Karena reaksi yang tidak menguntungkan stabilitas politik yang berdampak negatif pada ketidakpastian,
maka pernyataan tanggal 1 Mel 1998 keesokan harinya, itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa
Presiden Soeharto mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang tahun 1998. Mahasiswa di
Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak dengan demonstrasi
besar- besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan saat para demonstran terlibat bentrok
dengan petugas keamanan. Di Universitas Pasundan Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat
bentrokan tersebut. Demonstrasi mahasiswa besar - besaran terjadi di Medan yang berujung pada
kerusuhan. Demikian demo berlangsung dan terus memanas tiap hari dan tidal< ada hentinya. Presiden
Soeharto pada tanggal 9 Mei 1998, berangkat ke Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G -15.
Sementara itu terjadi korban empat orang mahasiswa yang berdemonstrasi di kampus Universitas
Trisakti. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke
Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita. Kegiatan itu diwarnai kerusuhan. Presiden Soeharto seperti
dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan din i jika rakyat menginginkan. la mengatakan itu di
depan masyarakat Indonesia di Kairo. Sementara itu kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat
perbelanjaan di Jabotabek seperti Supermarket Hero, Super Indo, Makro, Goro, Ramayana dan
Borobudur. Beberapa dari bangunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar. Sekitar SOO orang
meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi. Tanggal 15 Me! 1998, Presiden
Soeharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya di Kairo. Ia membantah telah
mengatakan bersedia mengundurkan din. Suasana Jakarta masih mencekam. Toko - toko banyak di
tutup. Sebagian warga pun masih takut keluar rumah. Warga asing berbondong - bondong kembali ke
negeri mereka. Suasana di Jabotabek masih tetap mencekam. Presiden Soeharto memanggil sembilan
tokoh Islam antara lain; Nurcholish Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Da lam
pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam (molor dari rencana semula yang hanya 30 menit),
para tokoh membeberkan situasi terakhir, di mana elemen masyarakat dan mahasiswa tetap
menginginkan Presiden Soeharto mundur.

Permintaan tersebut ditolak. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Pada saat itu Presiden
Soeharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi presiden. Namun pernyataan itu tidak
mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang ke Gedung MPR untuk berunjukrasa semakin
banyak. Se lama krisis tersebut Saya bersama Ainun terus memonitor dan berdiskusi mengenai
perkembangan keadaan dan terus memburuk dan sangat memprihatinkan. Mengenai semua ini saya
telah menulis di buku saya yang diterbitkan pada bulan September tahun 2006, berjudul Detik detik yang
Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi”. Apa yang saya tulis di sini hanya membantu
memberi gambaran mengenai keadaan Indonesia pada waktu itu. Jika saya merenungkan kembali alur
perjalanan hidup saya, saya sering bertanya kepada din i saya sendiri. Kenapa ibu saya dulu bersumpah,
ketika ayah meninggal tiba-tiba karena penyakitjantung, bahwa ibulah yang akan mengambil alih
tanggungjawab membesarkan anak-anak mereka sehingga masing-masing akan menjadi putra-putri
mereka yang berhasil?

Kenapa ibu saya bertekad dan membiayai saya untuk belajar ke luar negeri? Padahal beliau sendiri,
hanya seorang janda ditinggal suami dan menjadi single parent bagi kami sejumlah anak-anaknya?
Kenapa saya dipertemukan kembali dengan Ainun yang kemudian menjadi isteri dan yang sangat
menentukan perjalanan hidup saya dan juga perjalanan hidupnya? Bahwa selama saya belajar di luar
negeri, tekun berkonsentrasi hanya pada pelajaran, tanpa tergoda untuk memanfaat waktu senggang
dan kesempatan berekreasi dan berlibur di musim panas, sebagaimana kehidupan normal anak muda
sebaya saya. Semua itu hanya karena menyadari bahwa sumber daya dan materi yang digunakan ibu
saya untuk membiayai pendidikan saya di rantau, sangatlah berarti. Pengorbanan seorang ibu, seorang
janda, dengan segala jerih payah sendiri, membesarkan seluruh putra-putrinya, tidak boleh lama dan
berkepanjangan. Kami anak-anaknya harus tahu diri, apalagi bagi saya yang menggunakan biaya hidup
yang cukup besar? Semua itu berakumulasi dalam pikiran saya, membentuk tekad saya bahwa saya harus
menjadi anak yang tahu diuntung, membalas semua pengorbanan orangtua, keluarga dan saudara-
saudara, untuk menjadi anak yang kelak jika kembali ke Tanah Air, haruslah menjadi anak yang berhasil
dan bisa mencurahkan semua perhatian dan ilmu yang saya peroleh berperanserta membangun bangsa.
Anak yang menjadi kebanggaan dan menjunjung nama orang tua saya. Tidak secara kebetulan pula,
ketika saya belajar di luar negeri, usia kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia masih sangat muda,
bangsa Indonesi baru lepas dari cengkraman penjajahan untuk menjadi bangsa dan negara yang mandiri.
Semangat patriotisme, nasionalisme anak-anak muda masih meyala-nyala dan berkobar. Semua itu,
wajar memengaruhi dan membentuk jiwa saya yang bergelora dalam mecintai Tanah Air dan bangsa
saya. Semua in!, secara sadar dan tidak sadar, saya refleksikan ketika saya aktif dalam kegiatan
mahasiswa di Jerman. Saya tidak puas dengan seminar yang diselenggarakan oleh kawan-kawan yang
bagi saya tidak fokus dan tidak akan mengakselerasi tindakan nyata bagi pengabdian kami kelak jika
kembali ke Tanah Air. Karena itu, saya ditugaskan lagi oleh kawan-kawan, untuk menyelenggarakan
seminar pembangunan yang sesuai dengan gagasan saya, agar lebih terkoordinasi dan jadi panduan
kelak pada pengabdian dan sumbangan kami setelah kembali ke Tanah Air. Seminar mahasiswa tersebut
terselenggara dan berhasil baik. Namun dalam persiapannya, seminar itu telah memeras pikiran dan
tenaga saya dan mungkin karena itu pula saya terserang penyakit. Seminar tetap berlangsung dan
diteruskan oleh kawan-kawan, karena saya sudah sakit dan terbaring dirawat di rumah sakit.

Secara medis, saya dianggap tidak punya harapan untuk bertahan hidup. Namun semangat saya tidak
padam, dalam ketidakberdayaan, jiwa saya memberontak ingin tetap hidup dan memberi pengabdian
kepada rakyat dan bangsa saya. Itulah yang membuat saya spontan menulis „Sumpahku”. Isinya sangat
bermakna membentuk kehidupan saya kelak. Semangat yang dipompakan oleh Bapak-Bapak antara lain:
Adam Malik, Mashuri, Rusmin Nuryadin, Tojib Hadiwijya, Syarif Thayeb dan akhirnya Jenderal Soeharto,
ketika kami bertemu di Jerman, mempertebal tekad saya dan kawankawan agar bisa segera kembali
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang kami telah peroleh, sebesar dan sekecil apapun bagi
negara. Tidak secara kebetulan juga, saya menikah dengan Ainun, seorang wanita yang sangat saya cintai
dan memiliki persamaan cita-cita dengan saya. Ainun yang memiliki kontak batin yang selalu sama
dengan saya. Isi jiwa kami selalu sama, bagaikan sebuah aransmen lagu yang sangat indah dan harmonis.
Ketika saya memutuskan bahwa kita harus pulang ke Tanah Air, meninggalkan jabatan dan materi
seberharga apapun di rantau. Ainun tanpa berpikir panjang dan tulus mengatakan „ya”. Walaupun saya
tahu, bahwa semua itu adalah pengorbanan bagi Ainun dan bagi anak-anak. Ketika tiba di Tanah Air,
memenuhi panggilan Presiden Republik Indonesia, melalui pesan-pesannya yang disampaikan oleh
Bapak Ibnu Sutowo, diperj elas ketika saya diterima dikediaman pribadi beliau di jalan Cendana. Semakin
menambah keyakinan dan tekad dalam din i saya, bahwa di sinilah saatnya, cita-cita pengabdian saya
kepada bangsa bisa dibuktikan. Jiwa dan pikiran saya tetap lurus, bahwa apa yang disampaikan dan
ditugaskan oleh presiden adalah sebuah panggilan pengabdian untuk bangsa dan rakyat Indonesia. Jujur,
saya tidak berprasangka dan tidak pernah berpikir bahwa dibalik pesan itu mungkin ada maksud-maksud
lain, kecuali semangat pengabdian yang bergelora, saya yakin demikian pula Pak Harto membaca pikiran
saya. Karena ilmu yang saya wakili dan kuasai adalah ilmu rekayasa, teknologi, lebih khusus konstruksi
pesawat terbang, karena itu kesanalah tugas-tugas yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia yang
saya anggap sebagai Mandataris MPR mewakili sekian juta rakyat Indonesia. Selama dua puluh tahun
lebih, sudah saya buktikan. Produk yang saya keluarkan selama saya mendapat tugas menjadi Menteri
Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT, memimpin industri strategis adalah setumpuk kebijakan dan
produk nyata. Kebijakan dalam bidang Iptek, yang saya sudah sebutkan seloelumnya, sebutlah lahirnya
AIPI (Akdemi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Dewan Riset Nasional (DRN), Badan Pengakajian dan
Penerapan Teknologi, Badan Standarisasi Nasional (BSN), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi ( Puspiptek), serta kebijakan teknis dalam kepentingan riset dan penelitian lainnya. Produk
teknologi, semua persiapan dan yang landasan

lahirnya produk industri strategis dan puncak pencapaian teknologi bangsa Indonesia dalam bidang
dirgantara. Lahir dan berhasilnya uji terbang pesawat canggih N-250, hasil rancangbangun putra putri
bangsa Indonesia, telah dinyatakan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). Begitu
pula produk yang bisa dinikmati sekarang oleh bangsa Indonesia, melalui teknologi maritim dan
perkapalan yang dihasilkan PT.PAL, senjata di Pindad, kereta api di Inka, telekomunikasi di Int dan LEN,
nuklir di Puspiptek dan Batan, Pembangunan Daerah Industri Pulau Batam dari zero sampai saya
tinggalkan. Pada akhirnya, mata dunia internasional membuktikan bahwa bangsa Indonesia bisa sejajar
dengan bangsa lain, bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, bukanlah hak
prerogatif sebuah bangsa tertentu, atau bangsa yang disebut negara maju dan industri saja. Memang
saya menerima jabatan politis sebagai menteri, tetapi portofolio yang ditugaskan kepada saya, tetap
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika saya diberi tugas di berbagai macam instansi dan
lembaga, semua masih konsisten dengan tugas pengembangan teknologi dan pembangunan sumber
daya manusia. Bahkan memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI), adalah usaha untuk
mengembangkan potensi sumber daya manusia di kalangan intelektual muslim. Islam adalah keyakinan
agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia, tidak bisa dibiarkan tidak produktif dan tersia-sia. Tidak
ada target dan cita-cita politik dalam himpunan in!, kecuali pengembangan kapabilitas umat dalam Iptek
dilandasi oleh iman dan takwa. Karena itu, saya katakan tugas ICMI, bukan bernilai dan bersasaran
pragmatis serta sesaat, tetapi sebuah „long march”, tidak bisa dinilai satu sampai sepuluh tahun.

Konsentrasi saya selama beberapa kali menjabat sebagai menteri dalam kabinet pembangunan, tetap
pada bidang Iptek dan pengembangan sumber daya manusia. Namun saya tidak duduk di sana, seperti
sebuah mesin. Saya punya prinsip dan strategi yang saya yakini tepat untuk pembangunan di Indonesia.
Pilihan saya untuk memilih pembangunan yang berorintasi kepada competitive advantage dan bukan lagi
pada comparative advantage, demi menguatkan daya saing sumber daya manusia, mungkin berbeda
dengan pilihan kolega saya dalam kabinet.

Memang ada berbagai pilihan dalam kebijakan pembangunan, namun antarpara anggota kabinet,
sebagai pembantu presiden, tidak harus ada friksi untuk pilihan tersebut. Silang pendapat pada apa yang
kita anggap baik dan tepat, adalah biasa. Terserah dan terpulang juga kepada presiden. Da lam rapat-
rapat kabinet, setiap menteri pun hanya melaporkan tugas kementerian mereka masing-masing. Saya
selalu berbicara dan melaporkan pula apa yang menjadi tugas dan bidang saya : ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tidak ada debat dan tidak ada diskusi, selesai masingmasing melaporkan, presiden memberi
pengarahan singkat kemudian sidang kabinet ditutup. Itu menjadi rutinitas yang terus terang, bagi saya
sungguh membosankan. Tetapi itulah gaya kepemimpinan Pak Harto. Saya tidak tahu apa dalam pikiran
Presiden Soeharto, ketika beliau memberikan tugas kepada saya yang bersinggungan dengan politik
praktis, ke dalam Golkar misalnya. Saya juga tidak tahu apa alasan sebenarnya beliau yang menunjuk
saya sebagai Koordinator Harlan Keluarga Besar Golkar tanpa pengganti. Bagi saya dan Ainun, semua
seperti air yang mengalir saja, dan puncaknya ketika Presiden Republik Indonesia memilih saya sebagai
Wakil Presdien Republik Indonesia untuk mendampingi beliau. Bahkan sampai sekarang, saya tidak
mengerti dan belum pernah mendapat penjelasan, kenapa Pak Harto tiba-tiba menyatakan akan lengser.
Keputusan ini pun disampaikan mendadak oleh Mensesneg Syadillah Mursyid, ketika saya sedang
melaksanakan rapat yang saya bisa sebut „ Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru ”, karena hadir semua
menko dan sejumlah menteri. Ini pun karena saya melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Pak
Harto kepada saya, hanya beberapa jam sebelumnya pada pertemuan saya di Jalan Cendana.

Setelah Pak Harto lengser, tanggal 21 Mei 1998 dan pada saat yang sama saya dilantik menggantikannya,
maka tanggal 22 Mei 1998, keesokan harinya, saya sudah mengumumkan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Sabtu pagi, saya lantik kabinet pada 23 Mei 1998. Sejak itu pula, jabatan mulia dan
terhormat yang saya emban, mengandung resiko yang berat, karena saya mulai kehilangan ketentraman
dalam keluarga saya. Setelah Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto melaporkan adanya konsetrasi
pasukan yang ”tidak dikenal” disekitar kediaman saya di Patra Kuningan, kemudian saya dengan tegas
memerintahkan agar Pangkostrad Letnan Jenderal Prabowo diganti sebelum matahari terbenam. Maka
Jenderal Wiranto menyampaikan bahwa pengamanan keluarga saya perlu dilakukan. la sudah
menginstruksikan untuk mendatangkan isteri saya Ainun, dari kediaman saya di Kuningan menuju ke
Wisma Negara. Dalam buku saya „Detik-detik yang Menentukan, Peri alanan Panjang Indonesia menuju
Demokrasi” 2006, saya sudah melukiskan perasaan saya waktu itu, kurang lebih sbb : Saya bertanya
doam hati. „Ini ado apa, dan skenario apa lagi ini? Namun saya selalu berpiki ran positif bahwa semua ini
benar dan tubs demi memberikan pengaman kepada keluarga soya. Insana, isteri Ilham, dengan cucu
saya Nadia dan Pasha, diterbangkan dengan helikopter dari Bandung ke Jakarta untuk bergabung. Ilham
yang seben tar akan mendarat di Bandara Sukarno-Hatta akan dibawa ke Wisma Negara. Sedangkan
Thareq dan Widia istrinya sedang dalam perjalanan. Semua keluarga soya sementara akan bergabung di
Wisma Negara. Saya tidak tahu berapa lama soya don keluarga akan tinggal di Wisma Negara, karena
Jenderal Wiranto mengatakan bahwa tergantung keadaan. Pada soot itulah, soya bertanya kepada din i
soya: ”Mengapa keluarga soya harus dikumpulkan disatu ternpat?Apakah tidak lebih aman jikalau anak-
anak don cucu-cucu soya tinggal ditempatnya masing-masing don dilindungi oleh Pasukan Keamanan
Presiden? Mengapa harus dikumpulkan disatu tempat? Berulang kembali pertanyaan pada din i saya lagi,
mengapa untuk kepentingan pengamanan, seluruh keluarga soya harus berkumpul di satu tern pot?
Apakah tidak lebih aman jikalau keluarga soya masih tetap di tempatnya masing-masing? Soya mulai
berfantasi, soya teringat nasib keluarga Tsar Romanov dari Rusia yang semuanya dibunuh di satu tern pot
dalam revolusi kaum Bolshevik.

Saya juga bertanya mengapa harus demikian? Apa yang harus saya laksanakan? Namun, soya kembali
kepada keyakinan dan agama saya, bahwa tiap orang yang beragama dan percaya pada eksistensi Tuhan
YM.E. percaya bahwa hidup dan mati seseorang ditentukan oleh Allah SWT Yang dikehendaki Tuhan YME
adalah yang terbaik dan pasti akan terjadi. Ketika Protokol Presiden melaporkan bahwa seluruh keluarga
saya sudah sampai di Wisma Negara dan menanti untuk makan siang bersama. Saya merasa lega. Di
Wisma Negara, saya menemui isteri saya Ainun bersama anak dan cucu. Wajah dan mata Ainun tetap
tenang dan bibirnya terus bergetar sambil membacakan doa. Semuanya itu tetap menenangkan saya.
Kecuali cucu saya yang sedang bermain, di wajah mereka semua tercermin kebingungan dan
keprihatinan. Pertanyaan dalam diri muncul kembali, sebagaimana yang saya tulis dalam : ”Detik-Detik
yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi” (2006), kurang lebih sbb: ”Mengapa kita
harus berada di sini? Berapa lama kita harus tinggal di sini?” demikian pertanyaan mereka semua. Ainun
menceriterakan bahwa sewaktu sedang menerima isteri Duta Besar Republik Rakyat China, ADC dan
beberapa anggota pasukan pengamanan masuk ruangan tamu di Kuningan dan memintanya dengan
hormat untuk segera bergabung dengan saya di Wisma Negara. Kepada tamu dan isteri saya ketika itu,
dipersilakan segera mengakhiri pertemuan. Permintaan itu, disampaikan tanpa penjelasan, sehingga
menimbulkan berbagai pertanyaan bagi isteri saya. Dalam perjalanan ke Wisma Negara, isteri saya
sempat melihat gerakan-gerakan massa yang berdemo. Demikian penjelasan isteri saya Ainun. Saya dan
keluarga tidak banyak berbicara, karena semuanya berpikir dan beranalisis dan mengambil kesimpulan
masing-masing. Kami makan siang bersama, namun semuanya dalam keadaan tegang, sehingga nafsu
makan pun tidak ada. Hampir tiga hari lamanya saya tidur paling banyak dua jam sehari, namun tidak
pernah sedikit pun merasakan badan saya lelah.

Thareq putra saya ikut masuk ke ruang tamu dan duduk di salah satu kursi yang tersedia. Dari wajah
Thareq tercermin keprihatinan dan kebingungan melihat keadaan yang tidak menentu itu. Setelah itu,
saya menerima Letj en Prabowo. Setelah berdialog dengan Prabowo, keputusan saya tidak berubah
bahwa ia sebagai Pangkostrad tetap akan diganti. Hari-hari panjang kemudian saya jalani dengan
berbagai dinamika. Akibat Presiden Soeharto lengser dan tiba-tiba saya mendapat amanah, sebagaimana
kewajiban saya sebagai Wapres. Saya tahu bahwa tampil dipanggung politik dengan basis kekuasaan,
memang tidak mudah. Berbagai persoalan politik simultan dengan masalah ekonomi, sosial budaya
muncul dan harus saya pecahkan. Beruntung saya punya pengalaman yang tidak ternilai, berada dalam
kabinet pembangunan lebih dari dua puluh tahun. Saya mengenal makro dan mikro persoalan tersebut.
Saya kemudian membuat keputusan. Teori itu saya kembangkan sendiri. Teori itu ada persamaannya
dengan teori elastisitas dan teori-teori yang berkaitan dengan structural mechanics. Kalau kita melihat
suatu elastisitas, sama dengan persamaan itu. Hal ini juga sama dengan persamaan thermodinamika.
Jadi, saya melihat dari kacamata yang sangat engineering dalam kaitan fenomena ekonomi itu.

Karena saya sebagai seorang insinyur. Saya harus dapat melihat suatu yang nyata bukan mengkhayal
bagaimana hubungan fenomena satu sama lainnya itu dapat berlangsung. Darah daging saya memang
engineer. Saya meng-engineering politik, ekonomi dan sebagainya sehingga dapat diselesaikan sesuai
jadwal yang telah saya tentukan. Karena tugas saya adalah bagaimana melakukan engineering dengan
terus memikirkan model-model, apakah itu modelmodel structural mechanics atau thermodynamics,
dan bahkan ada model based on random atau chaos. Saya lakukan ini, karena saya biasa bergerak pada
model-model itu, saya pun memandangnya dalam kacamata demikian. Orang lain memang sulit
menerima pandangan dan penjelasan saya mi. Bahkan ada orang mengatakan tindakan saya ngawur dan
acak-acakan, karena mereka tidak melihat dan tidak mengerti. Ini masalah ” perbedaan bahasa”. Jika kita
berbicara dengan orang menggunakan suatu bahasa dan orang tersebut tidak mengerti bahasa itu, maka
jangan heran jikalau mereka tidak mengerti apa yang kita sampaikan. Bahasa saya adalah bahasa
matematika dan fisika. Maka, model-model itu adalah berupa persamaan-persamaan. Pada akhirnya
saya sampai pada kesimpulan.Saya juga sering mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan saya itu harus
saya rancang sedemikian rupa sehingga adil atau fair dan memberikan dampak yang mampu
memberikan relaxation process. Itulah antara lain yang saya lakukan. Namun hujatan dan yang
merendahkan saya terus berkembang. Mereka tidak berpikir ” bagaimana seandainya bukan saya yang
dilantik. Bagaimana jika diserahkan kepada triumvirat, bagaimana jika saya menerima desakan bahwa
dalam tiga bulan sudah dilangsungkan pemilihan umum? Namun, saya menyadari, rakyat Indonesia
sedang dalam puncak euphoria, mereka sedang menikmati kebebasan yang tidak pernah mereka rasakan
dalam tigapuluh tahun lebih terakhir. Jika dulu mereka takut berbicara, sekarang mereka bebas
menyatakan pendapat. Begitu pula pers yang baru menikmati kebebasannya tanpa batas.

Alhamdulillah, semua dapat saya lewati dalam 17 bulan pemerintahan saya. Singkat, memang. Tetapi
semua itu bagi saya dan keluarga sudah cukup dan cukup. Menjadi presiden bukanlah segala-galanya,
Apakah saya berhasil dan gagal dalam 17 bulan pemerintahan saya? Saya tidak perlu menciptakan ” citra
”, berhasilkah saya atau tidak7 Para pengganti saya akan menjadi ”PR” bagi saya. Pilihan saya untuk
menolak dicalonkan kembali jadi presiden, ternyata sudah menjadi petunjuk dan pilihan Allah SWT bagi
saya dan Ainun. Ternyata sejak itu, penyakit Ainun mulai terlihat, ia kehilangan imunitas. Sejak itu, Ainun
terpaksa mengadakan terapi dan perawatan di Jerman. Terima kasih Allah.

BAB a-SPA

The Habibie Center

PADA suatu siang di bulan Mel tahun 1999, saya mengajak Dr. Dewi Fortuna Anwar (saat itu menjabat
Asisten Urusan Luar Negeri Mensesneg) dan Dr. A. Watik Pratiknya (Sekretaris Wakil Presiden) untuk
menemani saya makan siang di lantai dua Bina Graha. Sambil menikmati masakan Padang, kami
membicarakan banyak hal tentang situasi di Tanah Air, tentang reformasi, tentang persiapan pemilu yang
akan dilaksanakan bulan depannya (Juni 1999). Kami juga menyinggung masalah unjuk rasa yang masih
saja marak saat itu. Seperti sudah sering saya katakan, saya menghargai dan menganggap demonstrasi
suatu hal yang normal, karena demontrasi merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan demokrasi.
Demonstrasi merupakan salah satu wujud dari kemerdekaan menyampaikan pendapat secara
independen dan bebas dari rasa takut, sepanjang dilakukan dengan damai dan tidak merusak atau
menggangu orang lain. Saya menyadari bahwa pada masa sebelumnya, demonstrasi merupakan suatu
hal yang ’tabu’ dan dianggap menentang pemerintah, karena mengganggu stabilitas nasional, sehingga
pelakunya sering dianggap sebagai ”musuh”. Memang saya amat bersyukur, karena pengalaman saya
hidup di tengah-tengah masyarakat Eropa - yang terlebih dulu dapat menikmati kehidupan demokrasi -
maka saya dapat memahami dan memberikan pengertian tentang pentingnya hak menyampaikan
kebebasan berpendapat, termasuk dalam bentuk demonstrasi. Sekalipun saya menyadari bahwa ada
demonstrasi yang loertujuan untuk ”menggoyang” kedudukan saya. Namun bagi saya, sepanjang
dilakukan dengan santun dan tidak merusak, saya dapat memahami dan menganggap hal yang wajar.
Kami kemudian membicarakan tentang perkembangan domokrasi yang telah terjadi di berbagai bangsa
di dunia, yang ternyata memerlukan waktu dan konsistensi dari semua pihak, baik pemerintah, kekuatan-
kekuatan politik maupun masyarakat madani (civil society) sendiri. Walaupun nilainilai demokrasi
bersifat universal, tetapi dalam penerapannya diperlukan penyerapan terhadap budaya masyarakat yang
ada, agar demokratisasi dapat terlaksana dengan balk. Karena itulah proses demokrasi di suatu
masyarakat membutuhkan waktu yang panjang. Tiba-tiba Dr. Dewi bertanya kepada saya: ”Bagaimana
nanti kalau Bapak sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden? Apa yang akan Bapak lakukan terkait
dengan proses demokrasi di Tanah Air yang masih memerlukan waktu panjang”. Jawab saya singkat:
”Kita harus tetap mendorong proses demokratisasi, dalam posisi apa pun kita nanti!” Kemudian kami
berbicara tentang beberapa mantan Presiden yang terus berbuat untuk bangsanya, walaupun sudah
tidak menjabat lagi, antara lain: Presiden Nelson Mandela dari Afrika Selatan dan Presiden Jimmy Carter
dari Amerika Serikat. Bahkan Presiden Carter, dengan Carter Center-nya bukan hanya tetap berbuat
untuk rakyat Amerika, tetapi untuk bangsa lain di dunia yang memerlukan bantuan kemanusiaan dan
demokrasi. Itulah sebabnya waktu itu saya mengundang Presiden Carter dan tim dari Carter Center
untuk datang sebagai pengamat internasional dalam pelaksanaan Pemilu yang akan dilaksanakan Juni
1999. Saya tidak menyadari, bahwa pembicaraan singkat di saat makan siang tersebut mempunyai arti
bagi saya dalam menentukan apa yang yang harus saya lakukan bagi bangsa saya dalam proses
demokratisasi. Memang terinspirasi oleh Presiden Carter dengan Carter Center. Oleh karena itulah begitu
saya memutuskan untuk tidak mau dicalonkan lagi sebagai Presiden, maka saya berketetapan hati untuk
mendirikan suatu lembaga non-profit dan non-politik, yang berkhidmat dalam mendorong dan bersama
kekuatan bangsa lain -- ”mengawal” proses demokratisasi bangsa, dan lembaga itu kemudian saya
namakan The Habibie Center. Gagasan tersebut kemudian saya sampaikan kepada Ainun untuk meminta
pendapatnya. Saya sangat menyadari bahwa dengan tidak lagi menjabat sebagai presiden, bagi Ainun
merupakan ”penantian” yang amat panjang untuk dapat menikmati hidup berdua dalam suasana
keluarga yang tidak ”diganggu” lagi oleh kesibukan suaminya yang begitu padat baik semasa bekerja di
industri pesawat terbang di Jerman, sebagai Penasehat Presiden, sebagai Menteri selama empat
periode, sebagai Wakil Presiden dan kemudian sebagai Presiden. Saya menyadari, saat itu saya harus
”membayar hutang” waktu untuk Ainun dan kedua anak dan cucu-cucu saya. Namun, sungguh saya amat
kagum dan haru mendengarkan pendapatAinun yang menyatakan dia amat mendorong gagasan saya
tersebut. Bahkan Ainun menyatakan bahwa dia akan lebih berkonsentrasi dan lebih aktif lagi melakukan
kegiatan sosial untuk berbuat secara lebih nyata bagi masyarakat, antar lain dengan lebih aktif lagi
mengembangkan program-program beasiswa Orbit dan program-program pelayanan sosial Ria
Pembangunan, di mana Ainun menjadi pimpinannya. Ainun bahkan mengusulkan agar saya
menyampaikan kepada Ilham dan Thareq untuk dimintai pertimbangan dan mengajak mereka ikut
mengembangkan The Habibie Center. Kemudian sepakatlah saya berempat, bersama Ainun, Ilham dan
Thareq, sebagai pendiri The Habibie Center. Itulah sebabnya pada saat saya menyampaikan pernyataan
penolakan saya untuk dicalonkan sebagai presiden di kediaman saya Jalan Patra Kuningan, ada wartawan
yang bertanya mengenai apa yang akan saya lakukan pasca jabatan saya sebagai Presiden R.I. ke-3? Saya
jawab bahwa saya akan mendirikan sebuah LSM atau lembaga kajian yang saya namakan The Habibie
Center. Itulah pertama kali di depan publik saya menyatakan berdirinya The Habibie Center.

Beberapa hari kemudian lembaga nirlaba tersebut dinyatakan berdiri pada hari ulang tahun Ibu kandung
saya R.A.Tuty Marini Habibie binti Puspowardojo yang kebetulan jatuh bersamaan dengan Hari
Pahlawan, 10 November 1999, hari Rabu pukul 10.00 pagi, bertempat di pendopo rumah saya di Jalan
Patra Kuningan XIII /3 Jakarta Selatan. Adapun pertimbangan saya lainnya untuk mendirikan The Habibie
Center adalah karena pembelajaran saya selama hidup di Eropa dan kemudian menjadi menteri selama 4
periode, saya berkesimpulan bahwa basis suatu negara untuk dapat langgeng adalah negara terselout
harus demokratis. Negara dengan teknologi tinggi pun, seperti yang telah saya hayati di dalam
pengalaman hidup pribadi saya di Eropa, tidak akan langgeng kalau tidak demokratis dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia. Karena, demokrasi dan HAM itulah yang menjaga harkat dan martabat manusia
dalam negara tersebut.

Talent dan bakat harus dihargai dan jangan ditekan, karena hal itu tidak menghargai harkat sebagai
manusia. Saya berpendapat masalah demokrasi dan HAM adalah fondasi yang kokoh bagi suatu bangsa.
Hal itu amat penting. Untuk membangun dan terus menghidupkan nilai-nilai dasar demokrasi atau core
values of democracy harus ada strategi yang dikembangkan. Dan itulah yang saya lakukan saat saya
harus mendapat amanah sebagai Presiden, walau dalam jangka waktu yang relative singkat. Ada
beberapa hal yang berkecamuk pada pikiran saya, seperti: Dapatkah persatuan dan kesatuan NKRI
dengan UUD 1945 dan Pancasila dipertahankan? • Sejauh mana kebebasan yang telah diperoleh dapat
diimbangi oleh tanggungjawab? • Sejarah dunia telah mencatat bahwa ada masyarakat yang bebas
tetapi tidak merdeka, dan sebaliknya ada yang merdeka tetapi tidak bebas. Hanya masyarakat yang
merdeka dan bebas secara bertanggungjawab sajalah yang dapat mengembangkan produktivitas dan
daya saingnya. Banyak enterpreneur yang unggul akan lahir dalam masyarakat tersebut. Penguasaan
Iptek dan penerapan serta pengendaliannya akan terus berkembang. Masyarakat demikian yang kita
citacitakan dapat tumbuh berkembang di bumi Indonesia. • Oleh karena itu demokrasi di bumi
Indonesia harus terus berfungsi dan berkembang. Jalan panjang proses demokratisasi sesungguhnya
telah berlangsung sejak Proklamasi NKRI dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Dasar Negara tidak
boleh berhenti.

Karena pemikiran inilah, maka semboyan The Habibie Center adalah ”Demokratisasi Tak Boleh Henti”
(Democratization Must Go On). Lembaga nirlaba The Habibie Center bergerak dalam bidang
pengembangan demokrasi serta memajukan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM),
sejalan dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia dalam bidang sains dan teknologi untuk
sukses dan berhasil dalam kompetisi global.

Demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia harus diperjuangkan dengan segenap kemampuan dan
kemauan karena demokrasi tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Perjuangan dan usaha-usaha ke arah
itu harus dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan oleh semua anggota masyarakat, termasuk
pemerintah. THC melalui hubungan dan kerjasama dengan berbagai institusi serta dengan para tokoh
dan pakar nasional dan internasional, dapat menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi pencerahan
masa depan bangsa dalam hal kehidupan yang demokratis, menghormati hak asasi manusia, serta
moralitas yang tinggi berdasarkan landasan budaya dan agama. Itulah sebabnya, sesaat setelah didirikan,
pada bulan Desember 1999 saya meminta Prof. Muladi bersama Prof. Samadikun, Dr. Watik dan Dr.
Marwah, untuk melakukan studi banding ke Amerika (antara lain ke Carter Center, di Atlanta) dan ke
Eropa (antara lain ke United Nations Commission of Human Rights, UNCHR di Jenewa). Se lain kajian
demokrasi dan hak asasi manusia, yang juga menjadi perhatian, The Habibie Center adalah berkaitan
dengan pemantauan media. Hal ini pun sesungguhnya menjadi core dari nilai-nilai HAM dan demokrasi.
Saya berpendapat, salah satu core demokrasi adalah kebebasan pers yang harus ada tanggungjawab
sehingga harus ada pemantauan sampai seberapa jauh pers harus berkembang dengan adanya
tanggungjawab. Da lam perkembangan selanjutnya, karena trade mark saya adalah bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga dimasukkan juga masalah diseminasi teknologi sebagai salah satu
bidang kajian THC. Saya juga selalu menyampaikan tentang keunikan (dan potensi) Indonesia sebagai
suatu Benua Maritim, karena itu bidang maritim dijadikan sebagai salah satu kajian THC. Tepat 6 bulan
setelah diikrarkan berdirinya THC di hadapan notaris, pada bulan Mei 2000 diselenggarakan suatu
International Colloqium on Democracy and Human Right, sebagai acara ”peluncuran” THC, yang
pembukaannya diresmikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan tamu kehormatan mantan Presiden
Filipina Ibu Corazon Aquino. Sejumlah pakar ternama dari berbagai Negara Asia, Eropa dan Amerika ikut
diundang untuk berbicara dalam seminar internasional tersebut.

Kurang lebih setahun kemudian, saya dan anak-anak, mendaulat Ainun untuk membuka selubung
peresmian Kantor The Habibie Center di Kemang Selatan, sekaligus menjadi kantor Yayasan Orbit binaan
Ainun. Tidak bisa saya lupakan jasa-jasa kawan-kawan lain yang saya ajak membantu merealisasi
pendirian dan pembinaan The Habibie Center, seperti: Prof. Muladi, adik saya Fanny Habibie, Prof. Zuhal,
Prof. S.B. Joedono, dan sejumlah intelektual lain yang terlalu panjang untuk disebut di sini. Pada bulan
November 2009, The Habibie Centermerayakan ulang tahunnya yang ke-10. Dengan sejumlah
keterbatasan yang ada, alhamdulillah cukup banyak karya nyata THC yang telah disumbangkan kepada
bangsa dan kemanusiaan, sehingga banyak diapresiasi baik oleh kalangan dalam maupun luar negeri.
Selama sepuluh tahun itu pula, dengan karya nyata yang diperlihatakan oleh lembaga ini, telah
menghapus kecurigaan yang pernah ditujukan kepada THC pada saatsaat awal didirikan, yaitu sebagai
”kendaraan politik” bagi Habibie untuk tampil kembali ke dunia politik, bahkan untuk kembali menjadi
presiden. Sejak awal saya dan para pimpinan THC sudah menegaskan bahwa lembaga ini lahir dari
inisiatif kami sekeluarga, tidak untuk menjadi alat politik, kecuali sesuai dengan tujuan dasar
pendiriannya agar proses demokratisasi dapat terlaksana dengan baik, demikian pula penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Baru setelah beberapa tahun THC berkarya, masyarakat melihat buktinya
bahwa kecurigaan tersebut tidak beralasan.

Dapat saya tambahkan, bahwa sebelum THC berdiri, pada hari Ahad 12 Mei 1997, saya bersama Ainun,
Ilham dan Thareq juga mendirikan sebuah yayasan sosial yang kami beri nama Yayasan Pembangunan
Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SDM-Iptek ). Hari peresmian yayasan
kami pilih bertepatan dengan hari ulang tahun perkawinan kami yang ke 35. Tujuannya searah dengan
obsesi Ainun dan saya dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Yayasan ini memberikan
beasiswa kepada mahasiswa dan ilmuwan Indonesia yang unggul untuk melakukan pendidikan dan riset
untuk program S-3 (doktor). Selain itu, Yayasan SDM-Iptek juga memberikan penghargaan kepada
kepada ilmuwan yang melakukan karya terobosan dibidang ilmu pengetahun dan teknologi dan yang
memiliki prestasi luar biasa sepanjang hayatnya. Modal pertama yayasan berasal dari penghasilan dan
honor pribadi keluarga saya yang kami kumpulkan bertahuntahun. Selain saya, Ainun dan anak-anak
saya, saya mengajak sejumlah kolega saya ikut dalam pengurus yayasan antara lain Wardiman
Djojonegoro, Jimly Asshiddiqie, Ahmad Watik Pratiknya. Sementara Tim seleksi beasiswa dan Habbie
Award, saya dibantu oleh sebuah tim pakar yang unggul dan sangat terpercaya objektivitasnya. Kin!
setelah 12 tahun, Yayasan SDM-Iptek telah menganugerahkan Habibie Award kepada 36 orang ilmuwan
terkemuka di berbagai bidang ilmu, dan memberikan beasiswa kepada 87 orang mahasiswa S-3 dari
berbagai program pasca sarjana di berbagai universitas ternama di Tanah Air. Yayasan SDM-Iptek
memang berkonsentrasi pada pendidikan tinggi (S-3), sementara yayasan Orbit yang di pimpin Ainun
lebih berkonsentrasi pada pendidikan dasar dan menengah serta S-1 (sampai saat in! sudah 26.057 siswa
yang mendapat beasiswa Orbit, dengan jumlah dana sekitar Rp. 19,5 miliar). Dengan kerendahan hat!,
memang baru sampai demikianlah yang Ainun sanggup laksanakan bersama sahabat dan koleganya. +

Ainun Sakit dan 10 Tahun Proses Penyembuhan

AINUN selalu setia mendampingi dan membantu saya dalam melaksanakan tugas berat, walaupun
keadaan Ainun tidak begitu sehat. Semuanya dilaksanakan penuh dedikasi dan semangat yang
mengagumkan. Tim Dokter baik di Jerman maupun di Indonesia sering menyampaikan kepada saya
bahwa setelah op erasi jantung, Ainun harus banyak beristirahat. Saran Tim Dokter tersebut susah
dilaksanakan mengingat aktivitas kami terus meningkat, sedangkan Ainun tetap selalu setia
mendampingi, di manapun saya berada. Bulan November 1998, setahun setelah Ainun dioperasi, terjadi
sesuatu yang memprihatinkan. Ditengah-tengah membaca pidato pengarahan, Ainun tibatiba tidak dapat
berbicara karena suaranya tidak keluar. Pada waktu itu, terpaksa bahan pidato Ainun harus dibacakan
oleh salah satu Ibu pendampingnya. Ainun segera diperiksa oleh Tim Dokter yang berkesimpulan bahwa
terlalu banyak lendir dan cairan di ”bronchus” (saluran paru) Ainun. Ainun segera harus lebih banyak
istirahat. Seperti biasanya Ainun lebih banyak memperhatikan saya daripada dirinya sendiri. Memang
Ainun selalu lebih memperhatikan orang lain dari dirinya sendiri. Ini memang sifat Ainun. Keadaan Ainun
tidak membaik dan sangat memprihatinkan, sehingga setelah The Habibie Center dalam bulan Mei tahun
2000 selesai diresmikan, saya langsung membawa Ainun ke Jerman untuk melakukan pemeriksaan oleh
Tim Dokter di Hamburg dan Bad Oeynhausen. Ternyata karena terlalu banyak menggunakan antibiotika,
sistem kekebalan atau daya tahan Ainun sangat menurun dan lemah. Ia harus banyak istirahat di Pusat
Keunggulan Rehabilitasi di Jerman, Swiss, Spanyol, Austria dan Hongaria. Semua saran dokter kami
laksanakan. Saya tidak pernah meninggalkan dan membiarkan Ainun seorang din. Dokter menyarankan
kepada kami agar Ainun sementara tidak diperkenankan tinggal di daerah khatulistiwa dan daerah yang
udaranya tercemar. Oleh karena itu, Ainun lebih dari 3 tahun tidak dapat kembali ke Tanah Air yang
selalu dirindukannya. Untuk menkompensasi semuanya itu, kami berkunjung ke hampir semua pusat
kebudayaan Eropa, menikmati lingkungan, dengan kasih sayang, cinta sejati, murni dan suci kami berdua
menikmati pemberian Allah SWT. Melalui internet dan media elektronik, kami berdua terus mengikuti
perkembangan di Tanah Air. Sebagai umat yang beriman kami juga melaksanakan ibadah, terutama
shalat berjamaah, dan memanjatkan doa untuk kebaikan kami berdua, keluarga dan Tanah Air. Saya
memanfaatkan kesempatan itu untuk membaca dan menulis makalah untuk diberikan pada pertemuan
para tokoh dan pakar di Eropa, Amerika, Jepang dan Korea, di mana saya mendapat undangan untuk
hadir sebagai pembicara, bilamana keadaan Ainun memungkinkan. Ainun banyak membaca Alquran,
buku-buku tentang budaya Islam dan sering berdiskusi dengan saya. Kami tidak pernah berpisah. Di
mana ada Ainun saya ada di sampingnya dan di mana saya ada, Ainun berada di samping saya. Kami
menyatu dan menjadi manunggal. Juga kesehatan saya mengalami pasang surut dan kami selalu tetap
bersama, dalam kemanunggalan dua insan.

Keluarga, kawan dan tokoh Indonesia seperti Presiden Abdurrahman Wahid, Pak Hatta Rajasa bersama
Ibu, para duta besar Indonesia, berkunjung menilik kami di sanatorium di mana kami sedang berada.
Kami secara teratur tinggal di sanatorium di pegunungan Austria dekat kota Salzburg tempat kelahiran
komponis Mozart. Di sini Presiden Abdurrachman Wahid menjenguk kami dan membawa kenangan
khusus dari Tanah Air.

Kami menerima pula kunjungan khusus dari tokoh Indonesia di rumah kami di Muenchen dan Kakerbeck
dekat Hamburg, seperti Pak Amin Rais, Pak Ginandjar Kartasasmita dengan Ibu Yu ltin, Pak Susi lo
Bambang Yudhoyono bersama ibu Ani, Pak Aburizal Bakri dengan Ibu Tati, dan tokoh lain yang tidak
mungkin saya sebutkan nama mereka semua. Kunjungan mereka mengobati kerinduan kami kepada
rakyat Indonesia tercinta.

Juga beberapa kawan dan tokoh internasional lainnya dari Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Jepang
memberi perhatian dan menjenguk kami, baik di rumah atau sanatorium. Silaturahmi ini membantu
proses penyembuhan Ainun. Baru tahun 2004, Ainun diperkenankan ke Jakarta hanya untuk 3 bulan saja.
Ainun tidak boleh lebih dari 3 bulan berturut-turut tinggal di daerah khatulistiwa, karena tidak
menguntungkan sistem imunitas atau daya tahan. Ternyata Ainun sangat alergi terhadap beberapa
macam makanan, yang berdampak negatif terhadap sistem imunitas, demikian disampaikan oleh tim
dokter di Eropa. Oleh karena itu, kami tiap tiga bulan pindah dari rumah kami di Kakerbeck ke Jakarta
dan Jakarta ke Kakerbeck. Adakalanya kami mampir untuk Umroh di tanah suci Mekkah dan Madina.
Kami sudah mulai sering dapat mengikuti pertemuan para mantan kepala pemerintahan yang bergabung
di Inter Action Council (IAC) dan dilaksanakan bergiliran di manca negara. Saya diminta berperan aktif
oleh kawan lama kami Kanselir Dr. Helmut Schmidt.

Tim Dokter di Jerman menyarankan sedapat mungkin membawa Ainun ke daerah di mana ia bisa
menikmati angin laut. Karena itu, kami mulai secara teratur berlayar dengan kapal samudera atau ocean
liners dari perusahaan pelayaran Cunard, Queen Many, Queen Elizabeth dan Queen Victoria, yang
lengkap dengan fasilitas kesehatan. Penumpang kapal tersebut ratarata berusia di atas 65 tahun dan
nasibnya seperti Ainun. Kami beberapa kali berlayar di perairan Eropa dan Karibia dengan kapal Queen
Mary dan Queen Elizabeth. Kami selalu berdua saja dan bersyukur karena kami dalam keadaan sehat.
Kesehatan Ainun terus membaik dan kami seakan-akan dipatri menjadi manunggal jiwa, roh dan loatin,
Ainun dan saya menyatu. Hubungan telepati kami menguat dan menjadi sempurna. Tanpa berbicara
kami dapat berkomunikasi. Ini semuanya karena ”cinta” antara kami berdua yang ”sempurna”,
Subhanallah, walhamdulillah, Allahu Akbar! Tahun 2009 adalah tahun yang penuh kenangan bagi Ainun
dan saya. Pertama kalinya sejak tahun 2000 Ainun akan tinggal di daerah katulistiwa atau tropis selama 4
bulan. Atas saran tim Dokter di Hamburg dan Munchen, kami akan tinggal dalam rangka proses
penyehatan paru-paru Ainun, satu bulan di atas kapal Queen Victoria untuk udara laut dan 3 bulan di
Indonesia. Keputusan ini diambil dengan catatan jikalau terjadi sesuatu, maka Ainun harus segera
diterbangkan ke Munchen di mana data kesehatan Ainun lengkap disimpan. Seperti saya jelaskan
sebelumnya, Ainun pernah menderita anjloknya sistem imun atau daya antibodinya tidak stabil.
Kemungkinan penyebab labilnya antibodi Ainun disebabkan karena Ainun alergi terhadap makanan dan
udara, demikian penjelasan para pakar dari tim dokter. Oleh karena itu makanan, minuman dan udara
sekitar Ainun harus diperhatikan.

Pada tahun 2009, tergantung pada kondisi kesehatan Ainun, akan diputuskan apakah Ainun pada tahun
2010 sudah dapat tinggal di daerah katulistiwa lebih dari 6 bulan. Harapan kami akhirnya dapat tinggal
lebih lama di Indonesia bersama anakcucu, keluarga, kawan dan masyarakat kami tercinta. Memang kami
selalu harus menyusun rencana satu tahun sebelumnya dan berkonsultasi dengan tim dokter di Hamburg
dan Munchen. Kami bersyukur kepada Allah SWT bahwa kami sejak tahun 1962 sampai sekarang selama
hampir 50 tahun terus menerus diasuransikan pada perusahaan asuransi kesehatan swasta terbesar di
Jerman ”Deutsche Kranken Versicherung AG” atau lebih dikenal dengan nama DKV, sehingga dapat
meringankan pembiayaan proses penyembuhan Ainun. Berlayar dengan kapal laut, tujuannya untuk
mempercepat proses penyembuhan Ainun, karena Ainun akan mendapatkan udara yang baik dan
terjamin bersih, maupun makanan dan minuman Ainun dapat disesuaikan dengan daftar menu yang
diperoleh dari tim dokter. Satu tahun sebelum kami berlayar, kami sudah memesan tempat, untuk itu
kami diberi potongan 45% dan diberi kartu ikut serta secara cuma-cuma pada peninjauan di darat jikalau
kapal sedang berlabuh. Hampir semua penumpang seusia dan senasib seperti kami berdua dan di kapal
tersedia prasarana kesehatan dan dokter ahli yang memadai untuk memberi bantuan darurat jika
diperlukan. Pelayaran pertama kami tahun 2009, di daerah sekitar katulistiwa atau tropis. Sebelumnya
atas saran dokter, kami berlayar terbatas di wilayah utara dan subtropis saja. Setelah setahun
sebelumnya kami memesan tempat di kapal Queen Victoria, pada tanggal 20 Februari 2009 untuk
selama 27 hari, kami berlayar dari Sydney melalui Yorkeys (Australia) melihat ”The great Barrier Reef’,
Rabaul (Papua New Guiney, Saipan, Nagasaki (Jepang), Pusan (Korea), Shanghai, Hong Kong, Nha Trang
(Vietnam), Phu My (Vietnam) dan Laem Chabang (Thailand), terakhir ke Singapura.

Sejak bulan Januari 2009, kami melaksanakan persiapan khusus yang berkaitan dengan kesehatan kami.
Obat untuk Ainun dan saya harus disediakan sampai bulan Juni 2009. Supaya kesehatan kami semua
beres, kami harus dicek ulang sebelum ke Indonesia. Kami dapat bersilaturahmi dengan beberapa kawan
lama orang Jerman, bahkan dua kali Ainun dan saya dapat menonton Opera di Munchen. Sesuai rencana
tanggal 9 Februari dengan pesawat Lufthansa melaui Frankfurt dan Singapura kami ke Jakarta. Pada hari
Senin tanggal 16 Februari dengan Singapore Airlines melalui Singapura kami langsung ke Sydney.
Penerimaan di Sydney sangat mengesankan. Konjen RI bersama isteri dan staf dan wakil pemerintah
setempat menjemput, mengantar kami sampai ke Four Seasons Hotel Sydney tempat penginapan kami
di Sydney selama 3 ma’am. Acara di Sydney sangat padat dan menarik. Se lain bersilaturahmi dengan
masyarakat Indonesia, kami mendapat kesempatan, pertamakalinya melihat Sydney dari kacamata
seorang wisatawan. Biasanya pada tiap kunjungan ke Sydney acara saya selalu berkaitan dengan
pekerjaan dan tugas. Kami mendapat kesempatan untuk melihat opera Madame Butterfly dari Pucini di
Sydney Opera House yang didahului dengan kunjungan peninjauan ruangan dalam dan mendapatkan
penjelasan dari seorang pakar. Cuaca di Sydney pada waktu itu sangat menyenangkan. Tidak panas dan
tidak dingin pula. Kami berdua memutuskan untuk berjalan dari Sydney Opera House, sepanjang pantai
yang penuh dengan pengunjung, menuju ke hotel. Kami sangat bahagia, bergandengan tangan dan
sambil menikmati lingkungan yang sejuk dan indah, tanpa berbicara pandangan mata kami sering
bertemu telah memberi getaran jiwa seperti pertemuan mata pertama kami, pada malam takbiran di
Bandung tanggal 7 Maret 1962 di rumah keluarga Besari. Senyuman dan wajah Ainun yang memukau
dan selalu saya rindukan, malam itu terus menerus diberikan. Saya memanjatkan doa kepada Allah SWT
dan bersyukur dapat merasakan tiap saat, getaran jiwa yang begitu murni dan suci seperti saya alami 47
tahun lalu. Keesokan harinya kami berkunjung ke kampus University of Sydney di Camperdown yang
didirikan pada tanggal 1 Oktober tahun 1850, hampir loersamaan dengan berdirinya Universiteit van
Indien dalam tahun 1851 cikalbakal Universitas Indonesia. University of Sydney adalah universitas tertua
di Australia. Kami memperhatikan bangunan yang antik maupun yang baru dengan suasana dan perilaku
manusianya dalam kampus. Malamnya kami makan di restoran Asia yang tidak jauh dari Camperdown.
Ainun yang sangat berdisiplin memperhatikan menu makanan baik untuk dirinya maupun untuk saya. Ia
selalu membawa obat yang harus tepat waktu diminum dan disesuaikan dengan waktu lokal dan waktu
Jerman. Setibanya di hotel kami mengecek koper. Hanya satu koper yang kami buka selama berada di
Sydney sedangkan lainnya sejak Münchhen dan Jakarta tidak pernah dibuka. Keesokan harinya di kapal
Queen Victoria, barulah semua koper dibuka dan isinya dipindahkan ke lemari Penthouse kapal nomor
8088 tempat kami tinggal selama 27 hari berlayar. Sejak kami meninggalkan Munchen sampai naik ke
kapal Queen Victoria di Sydney, Ainun tidak memperlihatkan dan memberi tanda yang memprihatinkan
mengenai kesehatannya. Wajah dan mata Ainun tetap konsisten memukau dan cerah. Saya terus
memperhatikannya dan bersyukur bahwa dalam 11 hari dengan segala aktivitas yang Ainun laksanakan,
kesehatannya konsisten prima. Saya panjatkan doa agar tahun 2009 yang baru saja dimulai dapat
memperbaiki kesehatan Ainun, sehingga dalam tahun 2010 kami dapat tinggal di Jakarta selama 6
sampai 8 bulan. Tepat pukul 17.00 tanggal 20 Februari, kapal Queen Victoria sesuai jadwal yang telah
ditentukan berangkat meninggalkan Sydney menuju Singapura. Dan i balkon Penthouse, kami nikmati
pemandangan yang indah dengan cuaca yang menenangkan. Udara laut mulai memengaruhi sistem
pernafasan dan paru-paru Ainun. Wajah dan senyuman memukau yang selalu kurindukan mencerminkan
kebahagiaan dan pipi Ainun mulai terlihat berwarna merah. Selama berlayar, cuaca selalu baik, angin
menghembuskan udara bersih dan sejuk. Menu makanan semuanya disesuaikan dengan keinginan kami
dan alergi Ainun terkendali.

Di setiap pelabuhan kami mengikuti program yang ditawarkan dan mendapat informasi yang
meningkatkan pengetahuan dan wawasan kami. Selama berlayar kami mendengar ceramah mengenai
budaya dan teknologi masyarakat setempat yang kami kunjungi. Semua penceramah pakar terkenal.
Setelah makan malam selalu ada program opera, show yang serba indah dan bermutu. Semua peserta
harus berbusana Barat yang rapi. Semua acara yang dipersiapkan sampai pukul 22.00 kami ikut.
Memperhatikan kesehatan kami acara setelah pukul 22.00 tidak dapat kami ikuti. Irama kehidupan
disesuaikan dengan irama orang usia lanjut yang sadar hidup sehat. Masuk keluar pelabuhan selalu
merupakan kejadian yang mendapat perhatian khusus dari semua penumpang kapal. Karena kapal
Queen Victoria, adalah kapal modern yang indah, megah dan besar, maka tiap kali kapal masuk dan
keluar pelabuhan mendapat perhatian khusus dari masyarakat kota pelabuhan yang dikunjungi. Sangat
mengesankan, ketika tangal 5 Maret 2009 hari Kannis kapal Queen Victoria memasuki teluk pelabuhan
Nagasaki sekitar pukul 08.00 pagi mendapat sambutan dari kapal pemandu dengan segala prasarana
airmancur yang beraneka warna dan tiupan suara kapal-kapal pemandu dibalas oleh tiupan kapal Queen
Victoria. Ainun dan saya menyaksikan semuanya dari balkon Penthouse 8088. Kami sudah beberapa kali
berkunjung ke Nagasaki untuk melihat Industri Maritim Jepang, namun tidak pernah sebagai
”wisatawan”. Kali ini kami berkunjung ketempat kejadian cerita opera ”Madame Butterfly” yang
mengilhami Pucini menggubah opera tersebut. Kami berkunjung ke pusat dan sekitar kerusakan Bom
Nuklir yang dijatuhkan di Nagasaki sekitar 64 tahun yang lalu. Tiap orang yang mendapat kesempatan
melihat sisa-sisa kerusakan yang dahsyat itu akan berkeyakinan bahwa apa yang telah terjadi di Nagasaki,
tidak boleh terulang lagi. Kami mendapat kesempatan pula untuk bersantap siang di rumah dan
lingkungan budaya tradisi dengan pelayanan khas Jepang. Ketika pukul 17.00 sore kapal meninggalkan
pelabuhan, skenario seperti pada sambutan kapal ketika memasuki teluk Nagasaki, kami alami. Wajah
Ainun tetap cerah mencerminkan kebahagiaan dan kesyukuran bahwa kami selama ini kami hanya
berdua saja dapat mengalami semuanya ini tanpa bertemu dengan orang yang kami kenal sebelumnya.
Pada hari Rabu tanggal 11 Maret 2009 pukul 08.00 pagi, Queen Victoria memasuki pelabuhan Hong
Kong. Lain dengan Nagasaki ketika kapal masuk teluk Hong Kong, sambutannya terbatas hanya pada
tiupan kapal pemandu dan kapal lainnya saja. Yang sangat mengesankan adalah sambutan di dermaga
pelabuhan Hong Kong. Barongsai secara besar besaran dengan ular naga yang mengesankan
diperlihatkan. Pemuda dan pemudi warga Hong Kong mendemonstrasikan keunggulan mereka bersilat
seperti Bruce Lee. Kami mengikuti acara khusus melihat tempat bersejarah.Kami naik kereta khusus
(cable car) ke puncak tertinggi kota The Peak. Kapal Queen Victoria pukul 21.00 malam meninggalkan
pelabuhan dan teluk Hong Kong. Berbeda dengan Nagasaki skenario perpisahan sangat mengesankan
dengan permainan lampu beraneka warna selama kapal mengelilingi pantai kota dan teluk Hong Kong.
Syukur Alhamdullillah, dalam pelayaran selama 27 hari, Ainun hanya satu kali saja terpaksa harus kami
antar ke ”Pusat Kesehatan Kapal karena keluhan sakit perut walaupun makanan, minuman dan udara
sesuai saran tim dokter di Jerman. Setelah diperiksa dan mendapat obat, keadaan Ainun sehat kembali.
Kami sepakati jikalau tidak ada masalah kesehatan maka baru setibanya di Jerman pada bulan Mei,
Ainun akan segera dicek total oleh tim dokter di Munchen dan Hamburg. Tepat hari Kamis tanggal 19
Maret 2009 pukul 07.00 pagi, Kapal Queen Victoria berlabuh di Singapura. Kami di jemput oleh protokol
Kedutaan Besar Republik Indonesia. Setelah belanja kebutuhan rutin, makan siang di tempat pusat
perbelanjaan, kami langsung ke lapangan terbang dan dengan pesawat Singapore Airlines SQ960, pukul
15.30 tinggal landas ke Jakarta. Selama 50 hari di Jakarta sampai tanggal 8 Mei 2009 keberangkatan kami
dengan Pesawat Saudi Arabian Airlines SV-819 ke Jeddah, kami melaksanakan persiapan untuk program
di Timur Tengah dan Eropa. Selama 4 bulan kami akan berada di luar negeri. Kami melaksanakan Umroh
pada tanggal 9 dan 10 Mei, sebelum hadir pada pertemuan Inter Action Council (IAC) yang dilaksanakan
di King Abdullah Economic City kota baru antara Jeddah dan Medina. Pertemuan ini sangat penting
karena membicarakan masalah-masalah Timur Tengah yang aktual dan disponsori oleh Raja Saudi Arabia
Abdullah Ibn Ad Al Aziz.

Sebagai pendamping saya, Ainun ikut hadir mendengar makalah dan diskusi mengenai masalah Timur
Tengah. Ia selalu kritis mendengarkan semua dan bertanya atau menyampaikan pendapatnya kepada
saya. Hari Rabu tanggal 13 Mel 2009, seluruh peserta JAG termasuk Ainun diundang menghadiri santap
malam di istana Raja di Ryad. Kami dijemput di Jeddah dengan pesawat pribadi Raja. Setelah santap
malam, kami mendapat hadiah satu koper perhiasan untuk Ainun dan saya dari Raja sebagai kenang-
kenangan. Tahun 2009 akan selalu kami kenang sebagi tahun Giacomo Puccini karena kami mendapatkan
kesempatan bersama mendengar, melihat Opera Madame Butterfly di Sydney Opera House dan di
National Theater Muenchen serta mengunjungi tempat terjadinya Love Story Madame Butterfly di salah
satu bukit Nagasaki. Melodi dan lagu opera gubahan Puccini sangat indah sesuai selera Ainun dan saya.

Entah mengapa, kami berdua di National Theater Muenchen pada tanggal 24 Mei 2009 menikmati,
mendengar dan melihat Opera Love Story La Boheme mengenai kejadian yang tragis di Paris dengan
melodi dan lagu yang sangat mengesankan gubahan Giacomo Puccini pula. Penyanyi dan pelaku adalah
Anna Jurjewna Netrebko yang lagi ngetop di dunia opera klasik.

Baik di Madame Butter” Ily maupun di La Boheme lagunya indah, merdu tetapi sedih dan dalam kedua
opera tragis ini yang ditinggalkan seorang din i adalah prianya. Ainun dan saya ketika mendengar dan
melihat akting dengan melodi dan perasaan yang indah dan sedih ini, secara spontan tanpa berbicara
memegang dan menekan tangan kami dan tak dapat dihindari mengalirkan tetes air mata karena getaran
jiwa yang sangat mengharukan..... sedih indah....murni....suci... cinta sejati. Ainun dan saya walaupun
berbeda latar belakang pendidikan, tetapi kami memiliki hobi yang sama: sejarah, budaya pada
umumnya khususnya musik, lukisan, sastra dan melihat pemandangan alam. Masa pensiun kami
manfaatkan untuk menikmati hobi kami bersama. Oleh karena itu tiap tahun kami mengikuti Muenchner
Festspiele suatu festival mengenai budaya Barat yang puncaknya dilaksanakan dalam bulan Juni. Tiap
tahun kami hadir, dan tahun 2009 dua karya Puccini ditonjolkan. Karena kesehatan Ainun prima dan
tidak mendapat gangguan yang kritis selama 4 bulan di wilayah tropis, maka kami merencanakan untuk
tahun 2010 tinggal di Indonesia tujuh bulan. Satu bulan lamanya, sejak hari Rabu tanggal 24 Maret
sampai hari Kamis tanggal 22 April 2010, kami rencanakan berlayar dari Singapura ke Southampton di
Inggris. Kesehatan kami berdua sebelumnya dicek menyeluruh oleh tim dokter di Hamburg. Khususnya
untuk Ainun diperiksa olehginekolog Ibu Dr. Anette Kleinkauf Haucken, yang mencek rahim dan daerah
ovariumnya, mengingat pada tahun 1968, 41 tahun sebelumnya dan tahun 1970, 39 tahun sebelumnya
Ainun dioperasi dan diambil ovarium-nya. Sejak itu Ainun tidak memiliki ovarium kecuali ”akarnya” untuk
mengimbangi ”neraca hormon” Ainun. Kami diperiksa pula oleh tim MRI dan ronsen di Hamburg.
Keadaan kami sehat kecuali masalah alergi Ainun. Kepada Ainun, tim dokter menyampaikan bahwa tidak
perlu memeriksa tiap 6 bulan mengenai kanker, nanti cukup 2 tahun lagi tim dokter akan periksa kanker,
karena pada pemeriksaan saat itu tidak ditemukan tanda-tanda dan petunjuk adanya kanker. Walaupun
demikian, saya merasa tidak tenang sehingga di Muenchen, sebelum kami berangkat ke Jeddah untuk
Umroh kedua kalinya, saya meminta pendapat kedua dari tim dokter Muenchen untuk memeriksa Ainun
dan saya. Di samping untuk Umrah, kedatangan saya ke Jeddah adalah untuk menghadiri pertemuan
dengan beberapa tokoh Timur Tengah di kantor pusat Bank Pembangunan Islam (IDB). Hasil pemeriksaan
sama seperti tim dokter di Hamburg. Jantung baik dan kanker negatif, baik untuk Ainun dan saya. Hanya
pada Ainun masalah alergi yang memprihatinkan namun terkendali. Hasil pemeriksaan tim dokter
mengizinkan kami tinggal 6 bulan di Indonesia dan naik kapal Queen Victoria selama 1 bulan. Setelah
buku saya ”Detik-Detik yang Menentukan” dalam bahasa Jerman diluncurkan di Muenchen pada tanggal
20 Agustus, Ainun dan saya meninggalkan Muenchen pada hari Sabtu 22 Agustus 2009 pukul 19.30
dengan pesawat Lufthansa LH 596 menuju Jeddah melalui Frankfurt. Kami langsung melaksanakan
Umroh ke Mekkah dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SWT di Madinah. Kemudian setelah
melaksanakan pertemuan di kantor IDB, pada tanggal 25 Agustus dalam keadaan sehat kami tiba di
Jakarta. Oleh tim dokter di Hamburg dan Muenchen kesehatan kami dikonfirmasikan layak tinggal di
Jakarta untuk 6 bulan dan berlayar 1 bulan dengan kapal samudra Queen Victoria untuk proses
penyehatan paru-paru Ainun. Insya Allah rencana kami dapat terlaksana. Penuh dengan optimisme dan
bersyukur pada Allah SWT, Ainun terus pro-aktif membantu sesama manusia melalui program sosial
seperti Orbit, Bank Mata, THC, dan sebagainya. Tidak pernah saya alami, di mana Ainun tidak membaca
Alquran. Ia selalu setia mendampingi saya dalam segala kesempatan dan keadaan dan terus menerus
memanjatkan doa untuk melindungi kita semua. Setelah kami mengikuti acara peringatan 10 tahun
berdirinya The Habibie Center, menjelang akhir tahun 2009 Ainun sibuk mempersiapkan beraneka ragam
kembang api untuk diluncurkan pada malam pergantian tahun 2009 ke tahun 2010. Pertama kalinya
setelah tahun 2000 Ainun merayakan akhir tahun di Tanah Air bersama anak cucu. Wajahnya cerah
walaupun kadang-kadang merasa terganggu karena sering harus minum obat karena perutnya sakit atau
mules. Ia bersyukur dan mengharapkan agar pada akhir tahuntahun yang akan datang kami berdua
selalu akan merayakan pergantian tahun tidak di rantau lagi. Mudah-mudahan mulai tahun 2010
pergantian tahun kami selalu merayakan bersama keluarga, kawan dan masyarakat Indonesia di Jakarta.
Demikian harapan Ainun, namun tidak demikian takdir Allah S WT.

BAB Mt 1

Ainun Dirawat di LMU-Klinik München

MEMASUKI bulan Januari 2010 keadaan Ainun memprihatinkan. Wajah Ainun tetap memukau namun
kadang-kadang kelihatan sedih dan lelah? Namun jikalau ditanya jawabannya selalu sama, sakit perut
atau alergi. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Sudah sejak sepuluh tahun keadaan Ainun seperti ini.
Mengapa begitu lama? Ada apa? Kapan sembuh? Pada awal Januari Ainun menyampaikan bahwa ia ada
masalah pada buangan air besarnya dan apa yang terjadi disampaikannya dengan rinci. Mendengar
penjelasannya, kebetulan keadaan saya demikian pula, sehingga kami tidak mencurigai adanya penyakit
lain. Ainun masih tetap minum obat antibiotika sesuai anjuran tim dokter LMU-Muenchen yang dipimpin
oleh Profesor Steinbeck.

Apakah akibat terlalu banyak minum antibiotika maka sistem imun dan daya tahan Ainun anjlok lagi?
Apakah keadaannya seperti pada tahun 1998 dan 1999? Bagaimana pengaruh antibiotika pada kanker?
Mengapa Ainun sering bermasalah dengan perut dan ususnya? Semua pertanyaan saya teruskan.
Akhirnya Ainun memutuskan; jika bulan Februari hasil pemeriksaan ludah dan riaknya di laboratorium
selama sekitar beberapa minggu tidak menemukan spektrum mikobakterium, maka Ainun akan
menghentikan minum antibiotika, yang sejak akhir bulan Agustus 2009 ia gunakan, atas anjuran tim
dokter ”Ludwig Maximilian University (LMU) - Muenchen”. Saya sarankan untuk berkonsultasi melalui e-
mail dengan Profesor Dr. Behr, ahli dalam bidang penyakit paru-paru dan menelpon Prof. Dr. Steinbeck,
Kardiolog dan ahli penyakit dalam, Direktur LMU-Muenchen untuk mendengarkan pendapat mereka.

Sementara itu, Ainun tetap aktif melaksanakan dan memimpin banyak pertemuan dan rapat, juga
aktivitas sosialnya. Masalah proses pendidikan dan pembudayaan melalui organisasi Orbit, Bank Mata,
RIA Pembangunan, Pengajian dan ceramah bersama ibu-ibu lainnya di Kuningan mendapat perhatian
khusus. Ainun menjadi sangat aktif dari sebelumnya, seakan-akan ia ingin berlomba dengan waktu.
Ainun sering bertanya dan berkonsultasi dengan saya. Sudah lazim dan wajar kami berdua bekerjasama
dan berkon sultasi dan saling menasehati. Memang Ainun dan saya sudah dipatri oleh Allah SWT
menyatu atau manunggal jiwa, roh dan batin kami.

Hanya dengan tatapan mata saja tanpa berbicara sering dapat berkomunikasi langsung dan mengerti isi
hati dan kehendak kami.

Tiap manusia memiliki pancaindera. Misalnya, telinga dapat menangkap suara yang merambat dengan
kecepatan 1.000 km sejam, sedangkan mata dapat menangkap informasi dengan kecepatan cahaya
1.080.000.000 km sejam. Member! Informasi melalui mata lebih cepat dan dalam waktu yang sama lebih
banyak informasi yang dapat diberikan jika dibandingkan dengan memanfaatkan telinga. Mata sangat
penting. Sering Ainun dan saya saling memberi dan menerima informasi tanpa berbicara, cukup dengan
tatapan mata saja. Bahkan jikalau kami sedang tidak berada dalam satu lokasi, tetap dapat
berkomunikasi melalui hubungan batin. Akibat cinta sejati antara dua insan? Getaran Jiwa? Samakah
kecepatan rambatan getaran jiwa dengan kecepatan cahaya atau lebih? Menurut ilmu alam kecepatan
tidak mungkin melampaui kecepatan cahaya. Apakah ini telepati dan bagaimana mekanismenya? Banyak
pertanyaan yang harus dijawab dan belum terjawab, sedangkan telepati antara dua manusia dapat terus
berlangsung sebagai suatu kenyataan. Ainun terus bekerja tanpa lelah memimpin rapat, mendelegasikan
pekerjaan dan terus menerus berkonsultasi dengan saya untuk menyelesaikan masalah yang ia hadapi,
khususnya bagaimana penyelesaian fasilitas klinik Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia
(PPMTI) / Bank Mata Indonesia (BMI), lembaga swadaya masyarakat yang didirikan pada tanggal 31 Juli
1969. Kepengurusan PPMTI periode 1995-2000 telah berhasil membangun gedung PPMTI P4K di Bogor;
namun karena berbagai kendala maka gedung tersebut selama ini relatif terbengkalai, sehingga tidak
berperanserta mengentaskan masalah kebutaan di Indonesia.

Ainun bekerja keras untuk menyelesaikan pembangunan dan mencari dana renovasi fasilitas PPMTI P4K
di Bogor sehingga dapat berfungsi sebagai sarana kesehatan mata dengan tujuan sosial dan umum,
khususnya bagi masyarakat di Bogor dan sekitarnya. Ainun mengharapkan agar klinik mata ini
mempunyai keunggulan teknologi dan berkembang secara profesional. Proses kerjasama dengan
Departemen Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) / RS dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM), alma mater Ainun, sedang dilakukan dan diharapkan klinik ini selain menjadi sarana pelayanan
yang bermutu dapat mengikuti kemajuan teknologi kedokteran, juga menjadi sarana pembelajaran bagi
dokter spesialis mata. Semangat dan dedikasi Ainun terhadap aspek kemanusiaan sangat kuat dan
konsisten. Ainun berusaha keras agar laboratorium bank mata yang berlokasi di RSCM dan berfungsi
melakukan preservasi kornea donor yang berkualitas dapat direalisasikan.

Dalam konteks meningkatkan pengadaan kornea donor lokal, Ainun terobsesi untuk mengupayakan
adanya perbaruan Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk menyatakan bahwa ”menjadi pendonor kornea
adalah ibadah”; jadi bukan ”sekedar” memperbolehkan seseorang ber-wasiat untuk menjadi pendonor
(Fatwa MU!, 13 Juni 1979). Mengenal Ainun sejak lebih dari 50 tahun dan memperhatikan kesibukannya
yang tercermin pada wajah dan mata, sangat memprihatinkan saya. Mengapa Ainun kelihatan sangat
lelah? Mengapa ia begitu ngototuntuk menyelesaikan masalah yang dihadapi selekas mungkin?
Bagaimana sesungguhnya kesehatan Ainun? Pada pertemuan dengan beberapa ibu di rumah kami
Kuningan ada yang bertanya, apakah Ainun sakit kanker? Saya sendiri menjadi bingung dan meneruskan
pertanyaan itu kepada Ainun. Ia dengan tegas dan jelas menjawab bahwa semua basil pemeriksaan tim
dokter di Hamburg, di Muenchen dan di Jakarta menyatakan bahwa indikator kanker negatif. Penyebab
ini semua adalah alergi dan pengaruhnya pada sistem imunitas atau daya tahan Ainun. Saya sendiri
sibuk dengan menyusun makalah yang harus saya berikan pada hari Jumat tanggal 12 Maret 2010 di
Universitas Indonesia mengenai Filsafat Teknologi yang sebelumnya, pada hari Rabu tanggal 30 Januari
2010, saya menerima Gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Filsafat Teknologi dari Universitas
Indonesia Depok. Pada Upacara Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa tanggal 30 Januari 2010 di
depan sekitar 3.000 mahasiswa Si, S2 dan S3 dan keluarganya, di mana Ainun dan keluarga kami ikut
hadir, saya menyampaikan kata-kata sebagai berikut: almarhumah Ibu saya, RA Tuti Marini Habibie binti
Puspowardojo, yang telah membekali proses pembudayaan semenjak masa kecil saya
khususnya isteri saya tercinta, dokter Hasri Ainun Habible, yang telah mendampingi dengan kesetiaan
yang tulus serta dengan pengorbanan yang ikhlas, sehingga saya dapat menjadi hamba Allah seperti
sekarang mi. Saya sering menyatakan bahwa; ”di balik sukses seorang tokoh, tersembunyi peran dua
perempuan yang amat menentukan, yaitu ibu dan Ainun tetap aktif dan cerah. Pada hari Kamis tanggal
18 Maret 2010 pukul 11.30-14.30 Ainun masih menerima dan melantik Pengurus & Pengelola Proyek
Sosial Yayasan Karya Bakti RIA Pembangunan masa bhakti 2010 - 2015 di rumah kami di Patra Kuningan.
Tanggal 18 Maret 2010, saya pun sangat sibuk menerima tamu dan diwawancarai oleh wartawati Rosiana
Silalahi di salah satu studio televisi, sehingga baru sekitar pukul 22.00 kembali di Kuningan, di mana
Ainun masih sibuk mempersiapkan pakaian dan barang yang harus dibawa selama kami berlayar dengan
kapal samudera The Queen Victoria dari Singapura ke Southampton, yang rencananya akan kami
laksanakan hari Rabu tanggal 24 Maret 2010 pukul 18.00 waktu Singapura. Pada hari Sabtu pagi tanggal
20 Maret 2010 ,tiba-tiba Ainun merasa sakit, perutnya mules dan terus mau muntah saja. Ainun
meminta saya untuk menyampaikan maaf kepada Mommy dan Rubijanto, staf sektariat kami bahwa
keadaannya Ainun tidak memungkinkan turut hadir pada resepsi pernikahan putri mereka pukul 11.00
pagi. Saya agar berangkat sendiri saja, dan Ainun sementara itu akan beristirahat di kamar tidur.
„Sampaikan salam dan selamat berbahagia kepada kedua mempelai dari saya”, demikian pesan Ainun.
Penuh dengan perasaan prihatin dan bingung saya berangkat ke upacara pernikahan. Setelah upacara
selesai, saya minta bertemu dengan Ibu Prof. Dr. Nila Moeloek dan menyampaikan keprihatinan saya
mengenai Ainun. Saya menyadari bahwa Prof. Nila dekat dengan Ainun dan mengajak ikut dengan saya
ke Kuningan untuk meyakinkan Ainun agar segera diperiksa oleh tim dokter. Ainun menyampaikan
bahwa tidak ada tanda-tanda penyakit kanker. Hasil pemeriksaan darah dan USG, semua negatif
terhadap kanker. Rencananya hari Senin tanggal 22 Maret, Ainun akan diperiksa oleh Dr. Paulus
Simadibrata ahli penyakit dalam, usus dan paru-paru di Rumah Sakit Abdi Waluyo. Pada hari itu pula
akan diperiksa dengan alat USG dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pemeriksaan selanjutnya akan
Ainun laksanakan setibanya di Hamburg dan Muenchen bulan April. Mungkin karena Ainun sendiri
dokter dan tidak bermaksud membingungkan saya, saya sama sekali tidak diberi tahu secara rinci
masalah kesehatan dan proses penyembuhan Ainun. Ainun bermaksud untuk tidak membingungkan
saya. Mendengar penjelasan Ainun, saya menjadi lebih tenang dan optimistis. Saya langsung
memanjatkan doa kepada Allah SWT, memohon petujuk dan lindungannya. Wajahnya Ainun tetap
memukau dan menenangkan saya, walaupun secara tidak sadar saya tetap prihatin. Memang Ainun
sudah perkirakan bahwa reaksi saya dapat mengganggu denyutan dan tekanan darah saya yang sangat
peka terhadap emosi. Setelah Prof. Nila pergi, saya mendapat berita bahwa Ibu Nasution sudah tiada lagi
dan besok akan dimakamkan di samping suami beliau Almarhum Jenderal Besar Hans Nasution di Taman
Pahlawan Kalibata Jakarta. Ainun dan saya memutuskan bahwa saya sendirian akan hadir pada upacara
di Kalibata besok harinya Minggu tanggal 21 Maret 2010. Ainun tetap istirahat di rumah sampai hari
Senin pagi. Saya mengantar dan mendampingi Ainun dalam pemeriksaan oleh Dr. Paul di Rumah Sakit
Abdi Waluyo. Setelah pemeriksaan dengan alat USG selesai dan sebelum pemeriksaan dengan MRI
dilanjutkan, diskusi dilaksanakan bersama Profesor Santoso, ahli darah dan bakteri. Diskusi diakhiri
dengan keputusan untuk memeriksa darah Ainun sekali lagi terarah pada cancer-marker 125 yang
diharapkan keesokan harinya sudah ada hasilnya. Saya hanya mendengarkan diskusi tanpa ikut turut
campur. Perasaan saya tetap gelisah. Baik hasil USG maupun MRI memperlihatkan ada cairan di dinding
ruangan perut pada umumnya, tetapi tidak ditemukan ada tanda atau gejala kanker. Waktu Ainun
sedang diperiksa dengan alat MRI, saya menelpon Profesor Nurhay di Rumah Sakit MMC untuk
memeriksa Ainun, setelah pemeriksaan di Rumah Sakit Abdi Waluyo selesai. Saya minta agar Ainun
diperiksa jantung, rahim dan paru-paru. Ainun hanya menyanggupi diperiksa oleh ginekolog seorang
perempuan. Di Hamburg yang memeriksa kandungan Ainun juga seorang perempuan. Ainun menerima
keputusan saya dan dari RS Abdi Waluyo kami segera pergi ke RS MMC, dekat rumah kami di Kuningan.
Tim dokter yang dipimpin oleh Profesor Nurhay sudah siap, dan pemeriksaan Ainun dapat segera
dilanjutkan. Hasilnya sama seperti hasil pemeriksaan di RS Abdi Waluyo. Jantung, paru-paru dan rahim
Ainun tidak memperlihatkan kanker positif. Memang ada cairan baik di dinding perut maupun di selaput
paru-paru. Oleh karena itu disarankan untuk segera menyedot cairannya dengan alat suntik. Ainun
menolak usul Prof. Nurhay dengan alasan akan dilakukan di Jerman nanti. Saya hanya mendengar diskusi
antara tim dokter dan Ainun dan tetap merasa sangat prihatin dan gelisah. Mengapa? Mengapa? Da lam
keadaan kegelisaan ini, saya memanjatkan doa kepada Allah SWT, tanpa suara namun dengan getaran
jiwa, agar diberi petunjuk untuk mengambil jalan benar. Ini sering saya lakukan jika saya dalam keadaan
susah atau sedang menghadapi masalah yang kompleks dan ruwet. Tiba-tiba saya bertanya: „Mengapa
tidak dibuat pemeriksaan paru-paru atau thorax dengan MRI?” Prof Nurhay menjawab, dengan ronsen
dan USG sudah cukup. Tidak perlu dengan MRI. „Apakah ada MRI disini? Saya mau melihat hasil
pemeriksaan dengan MRI” Setelah mendengar bahwa MRI tidak ada di RS MMC, saya menugaskan
menantu saya Isteri Thareq, Widya, untuk segera menelpon Dr. Paul agar besok siangnya Ainun diberi
waktu melakukan pemeriksaan thorax dengan MRI, karena besok malamnya sekitar pukul 19.00 kami
akan berangkat ke Singapura dan lusa tanggal 24 Maret antara pukul 13.00 dan 17.00 waktu Singapura,
kami akan naik kapal samudra Queen Victoria. Saya harus melihat dan memahami hash l MRI sebelum
kami berangkat ke Singapura. Permintaan saya dikabulkan, dan esok harinya, Selasa tanggal 23 Maret,
pukul 12.00 sampai 14.00 Ainun akan diperiksa lagi dengan alat MRI di Rumah Sakit Abdi Waluyo. Saya
beruntung bahwa Ainun dalam keadaan demikian selalu mengalah dan tidak pernah protes. Ainun
menerima dan menyesuaikan din i dengan keyakinan bahwa itikad dan niat saya itu selalu dikalbui oleh
cinta sejati yang murni dan suci. Setelah 6 koper besar dan 2 koper kecil sudah selesai dikunci, pukul
11.00 pagi kami berangkat ke Rumah Sakit Abdi Waluyo. Keadaan Ainun tetap tenang, namun sebaliknya
saya tetap gelisah dan prihatin. Dr. Paul sedang sibuk dengan pasien lain dan kami langsung ke ruang MRI
dan diterima oleh Dr. Pulunggono. Sewaktu Ainun sedang di dalam tabung MRI, kami melihat gambar
paru-paru Ainun pada monitor TV. Paru-paru bagian kanan warnanya putih sedangkan bagian kin i
sepertiga putih. „Mengapa begini dokter? Apa alatnya rusak?” tanya saya. Jawab Dr. Pulunggono: „Yang
putih berarti ada cairan Prof.” Saya lalu bertanya: „Mengapa warna putihnya ada yang tidak jelas? Ada
yang abu-abu gelap, kurang gelap dan putih. Ini artinya apa? Mengapa begin!?” Dr. Pulunggono
menjawab dengan sangat berhati-hati: „Saya bukan ahlinya Prof. Saya hanya ahli MRI” Lalu saya berkata:
„Menurut textbook anda kalau ada gambaran seperti ini, artinya apa?” Dr. Pulunggono menjawab
dengan nada amat hati-hati dan sopan: „Kanker ovarium stadium 3 atau 4, Prof.” Waktu sudah sekitar
pukul 13.00 dan hanya 6 jam lagi pesawat kami ke Singapura akan berangkat. Saya segera menelpon
Sekretaris Pribadi saya Pak Marulloh dan menyampaikan bahwa saya bersama Ainun hari ini harus ke
Muenchen dan tidak jadi naik kapal Queen Victoria. Harap dicari airline yang dapat membawa kami hari
ini ke Muenchen. Apakah langsung atau tidak langsung. Tentunya yang paling baik langsung dengan
Lufthansa. Marulloh menyampaikan: „Selain masalah tiket, masih ada masalah visa untuk perangkat dan
pendamping Bapak dan Ibu. Mereka belum memiliki visa untuk Eropa. Karena sesuai rencana, Bapak dan
Ibu baru akhir April akan tiba di Hamburg, maka visa mereka untuk 3 bulan di Eropa disesuaikan.
Mendapat visa dari Eropa susah dan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 2 minggu. Mengenai
pesawat saya harus cek”.

Setelah mendapat masukan dari Marulloh, saya menelpon Duta Besar Jerman Dr. Baas di Jakarta untuk
menjelaskan keadaan Ainun. Beliau menyanggupi untuk segera memberi visa untuk Eropa kepada
pendamping kami, dan meminta agar paspor mereka segera dibawa ke kedutaan Jerman. Setelah
Marulloh melaporkan bahwa semua pesawat ke Eropa langsung atau tidak langsung penuh, dan pesawat
yang langsung ke Muenchen yang ada hari ini hanya Lufthansa tetapi semua kelas penuh. Saya meminta
nama dan nomor telepon kepala perwakilan Lufthansa di Jakarta. Saya menjelaskan keadaan Ainun
kepada Kepala Perwakilan Lufthansa di Jakarta dan kami membutuhkan 2 tiket kelas 1 dan 4 tiket kelas
apa saja untuk pendamping saya dengan Lufthansa hari itu ke Muenchen. Ia menkonfirmasikan apa yang
telah disampaikan oleh Marulloh. Dalam 15 menit ia akan menelpon saya kembali. Sekitar 15 menit
kemudian kepala perwakilan Lufthansa melaporkan bahwa 2 tiket kelas satu, 3 kelas bussiness dan 1
kelas ekonomi dengan Lufthansa tersedia. Saya bertanya: „Bagaimana Anda peroleh tiket ini jikalau
sebelumnya se mua sudah dijual?” Jawaban kepala perwakilan Lufthansa singkat: „Setelah saya
sampaikan keadaan Ibu Ainun dan masalah yang dihadapi, maka secara spontan enam penumpang
mengundurkan din. Mereka semua bukan warga negara Indonesia”. Sementara Ainun masih diperiksa
dalam tabung MRI, saya menelpon Direktur Rumah Sakit Ludwig Maximilian University (LMU di
Muenchen dan meminta agar dipersiapkan mobil ambulans khusus, di lapangan terbang Muenchen
untuk membawa langsung Ainun dari pesawat ke rumah sakit. Saya harapkan segera dapat disediakan
tim dokter, khusus untuk membantu Ainun.

Setelah saya selesai mempersiapkan semua ini, Ainun keluar dari ruang tabung MRI. Sambil menengok
ke Dr. Pulunggono dan saya, Ainun bertanya: „Bagaimana hasil pemeriksaan? Kan sama seperti
kemarin?” Kami diam sejenak dan memperlihatkan hasil pemeriksaan alat MRI. Ainun dengan wajah dan
mata sedih dan bingung bertanya: „Apa rencana Papa?” Ia mengikuti penjelasan saya yang saya akhiri
dengan berkata: „Rencana kita besok tanggal 24 Maret 2010 untuk berlayar dengan kapal samudera
Queen Victoria saya batalkan. Nanti malam pukul 19.00 Ainun dan saya bersama Ilham dan isterinya
beserta Sigit dan Budiadi pendamping kami akan berangkat ke Muenchen Da lam perjalanan kami ke
Kuningan di mobil, Widya menyodorkan laporan hasil pemeriksaan darah kepada Ainun. Berbeda dengan
sebelumnya, cancer-marker sudah sangat tinggi. Dengan wajah dan mata yang sedih Ainun
menyampaikan: „Papa, saya tidak mau meninggal di luar negeri”. Saya langsung berkata: „Serahkan
hidup atau mati itu kepada Allah SWT. Kenyataan, besok sore tanggal 24 Maret 2010 pada waktu yang
sama antara pukul 13.00 sampai 17.00 waktu Singapura atau besok pagi antara pukul 06.00 sampai
10.00 waktu Muenchen, tidak akan berlayar naik kapal samudra Queen Victoria, tetapi masuk ke rumah
sakit LMU-Muenchen. Manusia merencanakan tetapi Allah SWT yang menentukan. Ainun pasrah.
„Serahkan semuanya kepada Allah SWT”.

Ainun diam sebentar dan menyampaikan: „Saya tidak mau langsung ke Rumah Sakit. Saya ke rumah di
Muenchen dulu untuk mandi dan beristirahat baru ke rumah sakit. Tidak perlu memesan mobil
ambulans dan merepotkan orang lain. Jangan berlebihan”. „Saya doakan dan harapkan kita dapat
melaksanakan semuanya itu sesuai keinginanmu, namun saya tidak dibenarkan mengambil risiko sedikit
pun. Allah memang menentukan namun Allah telah memberikan kepada kita semua nurani, kebebasan
untuk berpikir dan bertindak. Saya bedoa bahwa kebijaksanaan saya itu salah dan kami tidak perlu
persiapan yang sudah dilaksanakan”. Mendengar itu semua Ainun diam dan pasrah menerimanya dan
bibirnya bergetar memanjatkan doa sambil membaca ayat Alquran yang hampir semua ia hafal dan
maklumi. Setibanya di rumah, saya minta semua koper ditinggal dan tidak jadi dibawa ke Singapura.
Hanya dua koper kecil den gan obat dan alat kedokteran serta kebutuhan pribadi bersama Alquran yang
dibawa ke Muenchen. Melalui internet saya membatalkan rencana berlayar dengan kapal Queen
Victoria. Semua berlangsung begitu cepat dan membingungkan. Kemarin wajah Ainun masih cerah dan
sekarang sedih, bin gung tetapi untuk saya selalu memukau dan memberi harapan dan inspirasi. Di
Singapura kami harus ganti pesawat dan Ainun mulai merasa sangat lelah. Staf KBRI Singapura bingung
mendengar bahwa kami harus ke Muenchen. Setelah tinggal landas kami segera tidur dan membatalkan
santap malam. Penerbangan ke Muenchen akan berlangsung sekitar 13 jam lamanya. Se telah 10 jam
terbang Ainun susah bernafas. La lu segera di bantu dengan alat pernafasan darurat pesawat. Ternyata isi
2 tabung oksigen yang tersedia tidak mencukupi untuk mem bantu pernafasan Ainun. Oleh karena itu
kecepatan pesawat ditingkatkan. Pesawat Lufthansa LH 791 tiba sekitar 30 menit lebih awal. Tabung
oksigen mulai berku rang dan setelah pintu pesawat dibuka, langsung dokter masuk dengan alat pernafa
san yang lebih canggih dan baru. Mobil ambulans diparkir di sebelah tangga pesawat Airbus LH 791
lengkap dengan pera latan yang diperlukan. Melalui tangga Ainun dan saya dibantu turun dari pesawat
dan paspor kami diselesaikan oleh pejabat imigrasi yang da tang bersama mobil ambulan di dalam
pesawat sebelum kami turun. Semua berlangsung cepat dan tepat waktu. Setibanya di rumah sakit tim
dokter sudah siap melaksanakan tugas pemeriksaan dan membantu Ainun yang segera berbaring. Saya
sekaligus mendaftarkan sebagai pasien bersama Ainun supaya dapat tempat tidur di sebelah Ainun,
wanita cinta sejati-ku itu tidak akan saya tinggalkan di manapun ia berada. Kepada Ainun saya sampaikan
bahwa tidak akan saya tinggalkan dan pergi dari sampingnya kecuali saya harus ke kamar kecil atau saya
sendiri diperiksa di ruangan lain. Saya berjanji akan selalu di sisinya sekurang-kurangnya seatap dengan
Ainun. Subhanallah walhamdulillah, Allahu Akbar! Setelah secara intensif diperiksa dan keadaan Ainun
membaik sedikit, diputuskan bahwa Ainun akan dioperasi pada hari Rabu tanggal 7 April 2010 oleh
Professor Dr. Burgess ahli bedah khusus untuk kandungan. Rencananya; Ainun dioperasi, setelah itu ia
harus melalui proses penyembuhan dan akhirnya dikhemoterapi yang mengambil waktu beberapa bulan.
Diperkirakan baru awal tahun 2011, akan selesai proses „penyembuhan”. Demikian rencana dan usul tim
dokter yang disampaikan kepada Ainun dan saya. Ainun menerima usul tim dokter dan menyatakan
kepada saya loahwa bulan Desember yang akan datang ia harus berada di Jakarta untuk aktivitas Bank
Mata. Saya berjanji Insya Allah keinginan Ainun akan dikabulkan oleh Allah SWT, dan saya akan berusaha
melaksanakan sesuai kehendak Allah SWT. Saya sudah persiapkan bahwa kakak kandung Ainun tertua,
Mas Harry Besari, dan adik kandung wanita termuda, Me lok, bersama Ibu Arlis kawan karib dan adik
kandung saya Fanny, Yayu dan suaminya Muchsin akan hadir ketika Ainun dioperasi. Karena Ainun sudah
beberapa kali bertanya mengenai Adrie, maka hari Sabtu tanggal 3 April saya menulis e-Mail kepada
Adrie. Jawaban Adrie segera datang tanggal 4 April. Jawaban Adrie saya perlihatkan kepada Ainun.
Demikian Ilham bersama Insana dan Thareq bersama Widya sekeluarga akan hadir pula, mendoakan
supaya semua berjalan lancar sesuai kehendak Allah SWT.

Seluruh keluarga dan kawan di manapun mereka berada akan memanjatkan doa agar Allah SWT
memberikan kekua tan dan jalan yang benar untuk mengatasi semua cobaan mi. Demikian saya
sampaikan kepada Ainun. Mulai hari Jumat tanggal 2 April sampai hari Selasa 6 April Ainun dan saya
clibebaskan dari pemeriksaan dan diperkenankan pulang ke rumah di Muenchen , tetapi saya tetap
menginap di rumah sakit. Sehari sebelum Ainun dioperasi, kami seluruh keluarga makan siang bersama
di restoran Jerman dekat rumah sakit. Waktu itu wajah Ainun sedih dan memprihatinkan. Ia tidak dapat
makan. Tiap kali Ainun makan ia mau muntah dan ia tidak ada gairah untuk makan. Wajahnya sedih dan
lelah.
Saya diajak Mas Harry untuk memikirkan jikalau Ainun meninggal mau dimakamkan di mana?
Mendengar itu saya terus menangis dan tidak siap berbicara mengenai Ainun meninggal. Saya tidak mau
dan tidak boleh berpikir demikian, semua saya serahkan penuh kepada Allah SWT. Saya tidak akan
membenarkan berhenti berdoa dan berharap untuk Ainun tetap berada bersama kita semuanya. Melihat
reaksi saya, mas Harry berhenti bicara. Ia mengerti perasaan saya dan ikut sedih.

Malam pukul 2000 . sewaktu kami berdua di kamar, Ainun menyampaikan bahwa ia bermaksud
membersihkan diri, bahkan mandi dan bertanya: „Apakah mungkin saya dapat melaksanakannya?
Bagaimana dengan alat pernafasan oksigen yang saya manfaatkan? Dapatkah saya mandi tanpa alat ini?”
Saya menjawab: „Memang saluran oksigen itu ternyata sengaja disediakan panjang sehingga yang
bersangkutan dapat membuang air di kamar mandi tanpa melepaskan alat pernafasan yang diperlukan.
Silakan, kita bersama ke kamar mandi dan saya akan berdiri di sebelahmu memegang alat pernafasan
yang sementara dapat dilepaskan. Ainun dapat mandi dan wudhu. Jikalau ada sesuatu saya akan segera
pasang alat pernafasannya. Silakan laksanakan itikadmu”. Mendengar penjelasan saya, kami pelan
berjalan ke kamar mandi dan di sana rencana dan keinginan Ainun kami laksanakan. Syukur
alhamdullillah semuanya berjalan lancar. Saya berdiri di sebelahnya dan setelah itu menyaksikan Ainun
menggunting rambutnya di tiga tempat dan menaruhnya di wadah plastik yang diselipkan di halaman
Alquran, buku suci yang tidak pernah berpisah dengan dirinya. Saya menahan diri dan semua perasaan,
saya tekan dan hanya menyatakan „Seperti kamu menyelesaikan ’umroh saja”. Ainun tersenyum dengan
wajah yang pasrah, ia memandang saya dengan mata yang memukau, mengilhami saya dan selalu
kurindukan. Kali ini wajahnya sedih dan pasrah. Bibir Ainun tidak berhenti bergetar membaca beberpa
ayat Alquran . Setelah selesai dan shalat bersama, Ainun bertanya apakah mungkin ia menulis e-mail dari
sin!? Saya menjawab: „Sudah saya perkirakan keinginanmu”. Oleh karena itu laptop dan USB yang
memungkinkan Ainun berhubungan langsung melalui email sudah saya beli kemarin. Kemudian saya
persiapkan laptop yang sudah siap dipakai.

Ainun langsung menulis sampai jauh malam. Saya duduk di tempat tidur dekat tempat tidurnya sambil
memperhatikan Ainun saya memanjatkan doa sesuai getaran jiwa saya. Kemudian hari, setelah Ainun
tiada lagi saya menemukan e-mail terakhir Ainun, yang ditulis dan dikirim pada malam hari pukul 22.00
tanggal 6 April 2010 dari tempat tidur di Station F22 kamar 106 rumah sakit LMU Muenchen -
Grosshadern, email tersebut sebagai berikut:

Yth Bpk DR Tjahjono Bpk Ir Drs Untung Widodo lbu Trulyanti Ibu Nila Muluk

Ass wr wb Dh.

Di sela-sela pemeriksaan saya sdh berfikir ingin menyampaikan sbb :

1. Kiranya sdh waktunya men etapkan secepatnya seorang manager utkgedung PPMTI Bogor. Setelah
saya pelajari dan fikirkan matang-matang, dari CV dan rencana kerja para caon Manager, maka menurut
soya yg paling cocok adalah ibu Saraswati Chazanah.
2. Beliau sdh membuktikan pelaksanaan managemen yg baik dg membangun dan mengembangkan
suatu klinik swasta dari 1 ruko menjadi 3 ruko. Juga melakukan managemen pd Klinik bersalin. Selain itu
beau adalah pimpinan agency utk pharmacy yg tentunya akan menguntungkan managemen utk
keperluan obat-obatan digedung Bogor.

3. Sesegera mungkin Gedung Bogor harus dapat merupakan sumber penghasilan, agar tidak membebani
keuangan PPMTI yg sangat terbatas. Bahkan dana yg dihasilkan harus dapat membiayai pengeluaran
PPMTI secara rutin maupun yg non rutin.

4. Bila para pimpinan PPMTI sdh sepakat dg hal ini, mohon agar DR Tiahjono sebagai Wkl Ket Umum
PPMTI / Ket Harian, membuat SK penunjukan ibu Saraswati sebagai Manager gedung PPMTI-Bogor, dg
tugas-tugas seperti tsb di atas Termasuk di dalamnya mengurus perizinan utk gedung hingga berfungsi
seperti seharusnya. Juga membuat perencanaan peraturan-peraturan yg sesuai personalia yg diperlukan
dan kemudian membuat sistem sebagai landasan kerja dikemudian hari.

5. Tentunya beliau akan memerlukan modal agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya. Mohon agar
bendahara membantu hingga tercapaijumlah modal yg dibutuhkan secara teapat, dg diperhitugkan masa
ROI-nya

6. Sayaberharap,semuapimpinanPPMTI dapatbekerjasama dg manager utk mendapatkan hasil kerja yg


maximal dan dpt secepatnya membuahkan hasil yg diinginkan.

Saya mohon doa yg tulus kehadapan Allah Swt, karena besok hari Rabu tgl 7 April 2010, saya akan
mendapat tindakan operasi yg diperlukan Mohon keikhlasan doa, agar tindakan besok sdh tepat dan
para dokter yg melaksanakanya dan merawat selanjutnya mendapat bimbingan, izin, ridho Allah Swt
Untuk diketahui bpk BJ Habibie senantiasa menemani dan bersama saya selama ini, beliau juga
mengetahui semua ttg tindakan-tindakan yg akan dilaksanakan. Mohon maaf lahir batin bila saya dimasa
lalu banyak melaksanakan kesalahan-kesalahan, disengaja mau pun tdk disengaja. Hanya Allah-lab yg
akan membalas budi baik anda semuanya serta memberikan kebaikan yg melimpah dan berkah.

Mohon maaf pula bhw selama ini saya tdk bisa menghubungi anda semua saking sibuknya dg
pemeriksaan-pemeriksaan yg diperlukan juga saat kami berangkat dg mendadak tdk sempat pamitan
sehubungan keadaan jig gawat, hingga sesampainya di Jerman, segera hrs masuk RS di Munchen. Sekian,
wass wr wb, terima kasih atas perhatiannya

Hasri Ainun Habibie

Munchen 06.04.2010

BAB rti4

Ainun Dioperasi

SETELAH mengalami malam yang tidak tenang penuh dengan kegelisahan dan keprihatinan, kami berdua
tidak berhenti memanjatkan doa kepada Allah SWT. Ainun sejak pukul 23.00 sudah tidak mendapat
makanan kecuali air putih karena besok sekitar pukul 11.00 pagi akan dioperasi. Sekitar pukul 19.00
keluarga kami kembali ke rumah setelah kami berenam Ainun, Ilham, Thareq, Insana, Widya dan saya
membuat foto bersama. Begitu pula Ainun dan saya bersama 3 cucu anak Thareq dan Widya, Farah,
Farhan dan Felicia foto bersama. Ternyata kedua foto tanggal 6 April 2010 itu adalah foto kenangan kami
terakhir bersama Ainun yang kami cinta dan sayangi. Ketika itu, wajah Ainun sangat sedih, lelah dan
memprihatinkan. Walaupun demikian senyumannya masih menghiasi wajahnya. Sekitar pukul 08.00
pagi, kami menerima Professor Dr. Steinbeck bersama Prof. Dr. Burgess, ahli bedah kandungan yang
dengan timnya akan melaksanakan pembedahan Ainun sekitar pukul 11.00 di kamar operasi. Setelah
mereka memeriksa keadaan Ainun, mereka kemudian menyodorkan surat persetujuan dioperasi yang
harus Ainun tandatangani. Ainun tanpa berkata memandang mata saya. Saya me rasakan kebingungan
dan kekawatiran Ainun untuk dioperasi dalam usia lanjut. la memandang saya lagi. Getaran jiwa sangat
intensif, namun saya bukan ahli kedokteran. Akhirnya saya mengajukan pertanyaan kepada Professor Dr.
Burgess: „Sudah berapa kali Professor melaksanakan bedah kan dungan. Segera dijawab: „Delapan puluh
lima (85) operasi tiap tahun”.

Saya lanjutkan pertanyaan Berapa usia ibu-ibu yang Anda operasi dan hasilnya bagaimana? Berapa
persen yang meninggal selama operas!?”. Professor Burgess menjawab: „Usia sekitar antara 40 dan 80
tahun. Tidak ada yang meninggal akibat operas!”. Setelah semua pertanyaan dijawab, Ainun memandang
mata saya, dan sambil mengatakan „Bismilahirrahmanirra him” Ainun menandatangani surat perjanjian
yang disodorkan. Hati saya tetap gelisah dan rasanya sangat sedih dan prihatin. Saya menahan din i dan
tidak sampai hati untuk mengatakan sesuatu apalagi kata-kata perpisahan. Saya tidak mau dan tidak
mampu berpisah dengan Ainun dan tidak memberi atau meminta maaf. Saya tidak tega untuk memberi
perasaan yang mengecilkan hati kami berdua. Demikian pula sikap Ainun terhadap saya. Saya hanya
memandang dengan mata dan getaran jiwa yang intensif penuh dengan keprihatinan serta keyakinan
bahwa Allah SWT pada akhirnya menentukan terbaik bagi Ainun dan saya. Saya mengantar Ainun dengan
hati berdebar dan doa yang tak ada hentinya, sampai ke depan ruang operas!.

Sebelum Professor Dr. Burgess meninggalkan kami, saya bertanya mengenai lamanya operasi nanti. la
mengatakan sekitar 4 sampai 6 jam. Ketika Ainun sedang dioperasi, Fanny, Yaju dan Muchsin
mendampingi saya di kamar 106. Sambil menantikan berita mengenai operas!, kami berdiskusi mengenai
keadaan di Indonesia dan hubungan bilateral dengan negara tetangga pada umumnya, khususnya
hubungan Indonesia dengan Belanda. Tiba-tiba disekitar pukul 13.00 wajah Ainun muncul di sudut mata
saya dan perasaan gelisah dan keprihatinan saya meningkat. Saya segera menghentikan diskusi dan
minta maaf, karena saya harus konsentrasi memanjatkan doa untuk Ainun yang sedang dioperasi. Doa
saya berlangsung sekitar 20 menit dan saya menjadi lebih tenang. Sewaktu saya selesai berdoa, saya
sampaikan kepada Fanny, Yayu dan Muchsin: „Untung ada Tuhan. Untung saya percaya dan yakin ada
Allah SWT. Untung saya mampu memanjatkan doa dengan bahasa getaran nurani penuh dengan
keyakinan akan didengar oleh Allah SWT. Untung ada agama. Untung saya dan Ainun sangat religius.
Kalau tidak mungkin susah kami atasi ini semua

Selama saya duduk memanjatkan doa, Fanny, Yaju dan Muchsin memperhatikan saya. Setelah saya
berdoa, mereka membenarkan apa yang saya lakukan. Setelah itu saya menelpon ke ruang operasi untuk
bertanya apakah operasi selesai dan bagaimana hasilnya. Saya diminta bersabar, karena operasinya
berat. Nanti setelah dioperasi, Professor yang mengoperasi Ainun, akan datang Re kamar 106 di Station
F22 untuk menjelaskan semua. Baru sekitar pukul 18.30 Professor Dr. Burges bersama Ibu Professor Dr.
Bruns, Ahli Bedah digestive atau ahli bedah lambung, usus dan pankreas datang langsung dari ruang
operasi. Professor Dr. Burges memperkenalkan Ibu Dr. Bruns kepada saya dan kemudian menjelaskan
jalannya operas! sebagai berikut: „Waktu Prof Burges membuka perut Ainun, ternyata usus besar,
lambung dan pankreas sudah dililit oleh tumor ganas atau kanker yang asalnya dari ovarium, walaupun
kedua ovarium sudah diambil sekitar 40 tahun yang lalu. Oleh karena itu, rencana operasi untuk
mengambil rahim Ainun segera dihentikan, karena operasi akan dikonsentrasikan untuk „membersihkan”
rongga perut dari kanker. Di sini Professor Dr. Bruns sebagai ahlinya kemudian mengambil alih dan
meneruskan operasi. Sebagian usus besar, lambung dan pankreas dioperasi untuk dibersihkan
bersamaan dengan pengambilan tumor ganas. Kemudian Prof.Dr.Burges menjelaskan. „Sekitar pukul
13.00 kami mendapat masalah, keadaan menjadi kritis karena terjadi perdarahan besar pada saat
dilakukan pembersihan tumor yang melekat di pankreas pasien, yang mengalami krisis karena sewaktu
pembersihan disekitar pankreas. Untung kami berhasil mengatasi krisis mi. „Sekarang Ibu sudah
dipindahkan di ICCU dan hanya Prof. Habibie sebagai suami diperkenan menengok Thu Ainun”, demikian
ucapan Ibu Professor Dr. Bruns.

Setelah kedua Profesor meninggalkan kami di kamar 106, Fanny, Yaju dan Muchsin menyampaikan
bahwa saat terjadinya keadaan kritis akibat perdarahan Ainun, bersamaan ketika saya tiba-tiba berhenti
berdiskusi dan memulai memanjatkan doa untuk Ainun. Subhanallah walhamduldlah, Allahu Akbar!

Kepada saya disampaikan bahwa kanker ovarium yang diindap Ainun sudah berada di stadium ke- 4, yang
memang susah dideteksi sebelumnya. Kanker ovarium seperti ini, baru bisa dideteksi ketika kanker itu
sudah di stadium ke 3 atau ke 4. Baru pada stadium ke- 4, mulai terasa sakit. Sebelumnya tidak akan
terasa sakit. Karena itu, mereka berlomba dengan waktu dan kecepatan tumor ganas yang asalnya dari
ovarium menyebar kemana-mana. Pertanyaan saya adalah: „Mengapa masih ada kanker ovarium
sedangkan ovarium Ainun sudah tidak ada lagi sejak 40 tahun lalu? Mengapa 40 tahun lalu, seluruh
rahim tidak diambil? Berapa besar kemungkinan perlombaan itu bisa dimenangkan oleh pasien? Jikalau
dimenangkan oleh pasien, berapa lama ia bisa hidup?” Professor itu menjawabnya sebagai berikut:
„Semuanya adalah di tangan Tuhan. Kami hanya berusaha. Mungkin akar ovarium dan rahim tidak
diambil 40 tahun yang lalu, untuk mempertahankan keseimbangan neraca hormon Ibu. Menurut
statistik, 35% dapat dimenangkan oleh pasien jika dioperasi. Jika hanya dilakukan kemoterapi tanpa
operasi, mungkin akan terlambat. Ternyata usus besar sudah dililit dan sebentar lagi dapat pecah. Jika itu
terjadi, maka akibatnya fatal. Infeksi akan terjadi di seluruh ruang perut, yang diatasi. Jika dioperasi dan
perlombaan dengan tumor ganas dimenangkan oleh pasien, maka menurut statistik mungkin pasien
akan bertahan hidup sampai lima tahun. Namun semuanya itu akhirnya terletak di tangan Tuhan. Anda
harus menentukan bersama Ibu Ainun. Anda sekeluarga harus kompak me manjatkan doa untuk Ibu.”
Saya tanya: „Berapa kali Ainun harus dioperasi?” „Kann tidak tahu”, jawab Professor. Saya hanya
meminta agar Ainun tidak merasa sakit. Itu persyaratan saya. Saya diperkenankan untuk menengok
Ainun mulai pukul 10.00 pagi sampai pukul 22.00 tiap hari. Kecuali jika Ainun ada masalah dan harus
dioperasi setelah pukul 22.00. Untuk keadaan seperti itu, saya akan diberitahu untuk mengantar Ainun
ke ruang operasi dan menandatangani persetujuan dan sebagainya. Bagi pasien lain, keluarganya hanya
diperkenankan berkunjung setelah pukul 17.00 dan menengok tidak lebih dari 30 menit.

Karena ada persoalan pada pankreas, hari Jumat tanggal 9 April dari pukul 13.00 sampai pukul 17.00
Ainun harus dioperasi lagi selama 4 jam. Setelah operasi kedua ini ,keadaan Ainun membaik dan ia mulai
duduk dan berusaha memanfaatkan paru-parunya untuk bernafas tanpa mesin, ginjal, jantung semuanya
balk. Kami bersyukur, Ainun menerima kunjungan Duta Besar Indonesia bersama Ibu dari Berlin, Konjen
dari Frankfurt dan Hamburg. Saya dan keluarga mulai optimistis, dan merencanakan kembali ke Jakarta.
Ilham sudah sepakat dengan Thareq untuk bergantian menemani saya di Muenchen. Hari Kamis tanggal
15 April 2010, ketika saya sedang menemani Ainun, para tim dokter berkunjung ke kamar ICU,
menyampaikan bahwa dari data darah dan laporan harian, perkembangan penyembuhan Ainun berjalan
sesuai dengan apa yang dua hari yang lalu mereka sampaikan. Ainun mendengarkan penjelasan namun
ternyata memorinya tidak mencatat penjelasan profesor dua hari yang lalu. Profesor lalu bertanya:
„Apakah Ibu masih ingat kunjungan Dubes RI dari Berlin dan Konjen dari Hamburg dan Frankfurt kemarin
dulu?” Ainun menggelengkan kepalanya. Setelah itu professor melanjutkan pertanyaannya sambil
melihat saya: „Apakah Thu masih ingat apa yang dibisikkan suami Ibu? Ainun mengangguk. Melihat itu,
Profesor mengatakan: „Itu namanya telepati. Ini dapat terjadi antara Ibu dan anak atau suami dan isteri.
Mekanismenya secara ilmiah belum kami pahami. Tetapi fenomena ini memang ada. Bersyukurlah, Ibu
dan Bapak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara telepati!” Perkembangan perawatan Ainun
selanjutnya terjadi pasang surut, karena tumor ganas atau kanker ovarium terus menyerang organ di
ruang perutnya. Setelah usus besar, lambung dan pangkreas membaik, tiba-tiba usus duabelas jari
( duodenum) disumbat oleh tumor. Endoskopi , laparatomi dilaksanakan secara simultan, untuk
mengetahui keadaan sumbatan, yang dilanjutkan dengan operasi duodenum. Semua tindakan tersebut
menjadikan kondisi Ainun yang tadinya membaik, berubah ke arah negatif. Padahal keluarga dan dokter
Arlis sudah pulang dengan keyakinan bahwa semuanya berkembang kearah membaik. Yang tinggal
menemani Ainun dan saya di rumah sakit adalah Ilham, Saraswati, cucu Habib dan staf kami.

Hari Rabu tanggal 28 April 2010, Prof. Dr. Ginandjar bersama Ibu menengok Ainun dan menyampaikan
surat Bapak Presiden Dr. Susilo Bambang Yudoyono yang kemudian saya bacakan di telinga Ainun. Ia
mengerti dan meneteskan air matanya ketika mendengar isi surat tersebut Saya kutib bagian surat
Presiden sebagai berikut: Kami di Indonesia selalu mengikuti perkembangan penanganan medis dan
kondisi kesehatan Ibu Ainun Habibie selama perawatan di rumah sakit Grosshadenklinikum, Muenchen,
Jerman. Namun, dalam hari-hari terakhir ini, saya dan isteri merasa khawatir dan cemas mendengar
kabar kondisi Ibu Ainun Habibie, Kekahwatiran dan kecemasan itu adalah bentuk ungka pan yang tulus
dari kecintaan kami kepada Bapak clan Ibu Ainun Habibie beserta keluarga. Kami senantiasa terus berdoa
untuk kesembuhan Ibu Ainun Habibie serta kesehatan Bapak Habibie terimalah sekali lagi salam
hormat kami disertai harapan mudah-mudahan Bapak dan Ibu Ainun Habibie beserta keluarga diberi
kekuatan dan ketabahan serta tetap tegar dalam menghadapi cobaan mi. Hara pan karni pula, semoga
Ibu Ainun Habibie dapat sehat kembali untuk mendampingi Bapak dan dapat berkumpul kembali beserta
keluarga dan rakyat Indonesia Pasang surut kesehatan Ainun antara harapan dan kegelisahan terus
berlangsung. Saya siang dan malam terus mendampingi Ainun sejak ia masuk ke rumah sakit tanggal 24
Maret 2010. Saya tidak pernah meninggalkan Ainun seorang din i dan tak berhenti memanjatkan doa.
Tiap hari kami shalat bersama. Saya duduk disamping Ainun membisikkan Surah Al-Faatihah, Al-Ikhlas,
Al-Falaq dan An-Naas dan berdoa dalam bahasa Indonesia dengan Getaran Nurani kami berdua Ainun
dan saya. Bibir Ainun selalu bergetar mengikuti irama doa kami.

Saya diperbolehkan tinggal kapan saja di kamar ICCU Ainun, kecuali pagi antara pukul 06.00 dan pukul
10.00. Da lam keadaan bergejolaknya pasang surut kesehatan Ainun, kesehatan saya pun terpengaruh.
Professor Steinbeck sangat prihatin melihat ini semua dan menganjurkan agar saya keluar dan duduk di
taman disamping rumah sakit. Saya sampaikan bahwa tidak mungkin dan tidak akan saya tinggalkan
Ainun isteri saya tercinta di manapun ia berada. Di depan Ainun mereka mengatakan bisa saja terjadi ibu
keluar sembuh dari ICCU tetapi suami ibu yang akan berbaring di tempat ibu sekarang. Saya tidak peduli
semuanya ini, dalam pikiran saya hanya Ainun setengah jiwa dan roh saya yang saya perhatikan. Pada
suatu hari , baru sekitar pukul 12.00 diperbolehkan masukke ICCU kamar Ainun. Saya dua jam terlambat,
walaupun sejak pukul 09.30 sudah menunggu di kamar tunggu ICCU. Hal itu terjadi, karena keadaan
darurat akibat pelaksanaan operasi yang tidak direncanakan sebelumnya, maka semua pengunjung
belum diperbolehkan masuk ke ICCU. Baru sekitar pukul 12.00 saya masuk. Ketika masuk, Ainun sedang
menangis. Saya langsung bertanya: „Ainun mengapa nangis? Sakit?” Ainun menggelengkan kepalanya.
Lalu mata saya mengarah ke alat-alat elektronik dan segala peralatan yang dipasang di tubuh Ainun
dengan sekitar 50 alat „transfusi” dan „infusi” sambil mengucapkan: „Takut sama peralatan ii?” Ainun
menggelengkan kepalanya lagi. „Saya mengerti sekarang. Kamu mengira telah terjadi sesuatu pada
saya?” Baru Ainun mengangguk kepalanya. Walaupun pada waktu itu Ainun dalam keadaannya sadar.
Ainun hanya bisa mengangguk dan menggelengkan kepala karena di mulutnya dipasang alat pernafasan
Saya amat terharu, karena dalam keadaan saat dan dirawat secara intensif tersebut, Ainun masih saja
memikirkan kesehatan saya. Sejak pertemuan pertama, sebagai orang dewasa pada tanggal 7 Maret
1962, Ainun dan saya sangat merasakan kasih sayang yang selalu terasa irama denyutan hati dan getaran
nurani kami yang dikalbui cinta murni, suci dan sejati. Demikian perasaan kami, ketika pandangan mata
kami bertemu. Pandangan mata dan wajah Ainun yang selalu kurindukan, sekarang wajah Ainun terlihat
sedih. Pada tanggal 10 Mei 2010, pukul 22.00 saya bersama dengan Ilham mengantar Ainun ke ruang
operasi di mana Ainun dilakuakn operasi ke 11 kalinya. Tumor ganas terus berjalar dan makin ganas
mengganggu tubuh Ainun. Kepada Ainun sebelum dan sesudah operasi saya selalu bertanya apakah sakit
atau tidak. Jika jawabannya sakit, saya panggil dokter untuk segera membantu mengurangi rasa
sakitnya . Setelah operasi ke -11 kalinya keadaan Ainun membaik lagi sehingga hari Rabu tanggal 12 Mei
2010 tepat pukul 10.00 pagi, saya sudah disamping Ainun bertanya „Ainun tahukah hari ini hari apa?”
Ainun mengangguk „Hari pernikahan kita selama 6 Windu atau 48 tahun”. Ainun mengangguk sambil
tersenyum memandang dengan wajah yang cerah namun tetap sedih. Saya mencium dengan hati-hati
dan mesra bibirnya sambil berbisik:

„Selamat Hari Ulang Tahun Pernikahan kita ke-6 windu atau 48 tahun. Saya selalu akan mendampingimu
di manapun Ainun berada. Jiwa, roh dan batin kita sudah menyatu dan manunggal sepanjang masa.”
Ainun mendengarkan sambil meneteskan air mata, namun tetap dengan senyuman yang selalu
kurindukan. Saya lalu berkata: „Ainun dengarkanlah kata demi kata doa yang akan kita panjatkan
bersama dalam bahasa Indonesia. Doa ini datang dari getaran nurani kita yang tulus dan murni yang kita
panjatkan bersama di Intensive Station 1-3 di LMU Klinikum Universitas-Munchen.
Saya yakin Allah SWT hanya mengerti bahasa nurani yang tutus. Saya mulai dan jikalau Ainun setuju
anggukkan kepalamu dan jika tidak setuju gelengkan kepalamu. Setelah itu doa kita ulangi bersama. Saya
mulai Ainun”.

Terima kasih Allah, ENGKAU telah lahirkan saya untuk Ainun dan Ainun untuk saya Terima kasih Allah,
ENGKAU telah pertemukan saya dengan Ainun dan Ainun dengan saya Terima kasih Allah tangga112 Mei
1962 ENGKAU nikahkan soya dengan Ainun dan Ainun dengan soya ENGKAU titipi kami Bibit Cinta murni,
sejati, suci, sempurna dan abadi

Sepanjang masa kami sirami titipanMU dengan Kasih Sayang, nilai ’man, Takwa clan Budaya Kini 48 tahun
kemudian, Bibit Cinta telah menjadi Cinta yang paling Indah Sempurna dan Abadi Ainun dan saya
bernaung dibawah Cinta milikMU ini dipatri menjadi Man unggal sepanjang masa Manunggal dalam
Jiwa, Hati, Batin, Nafas dan semua yang menentukan dalam kehidupan Terima kasih Allah, menjadikan
kami Man unggal karena Cinta Abadi yang Suci dan Sempurna Pertahankan dan peliharalah
Kemanunggalan kami sepanjang masa Berilahkamikekuatan mengatasi segala permasalahan yang sedang
clan masih akan kami hadapi Ampunilah dosa kami dan lindungilah kami dari segala pencemaran Cinta
Abadi kami.

Kata demi kata diperhatikan dan dibenarkan oleh Ainun dengan menganggukkan kepalanya. Sambil
dengan mesra mengelus kepala Ainun, kami ulangi bersama doa yang sebelumnya saya bisikkan
ditelinganya. Bibir Ainun bergetar memanjatkan doa kami, kata demi kata dengan air mata berlinang.
Saya harus menahan din i dan dokter dan perawat yang kebetulan masuk ke kamar diam dan penuh
pengertian segera meninggalkan kami berdua. Subhanallah walhamdulillah, Allahu Akbar!

Sekitar pukul 14.00, kami menerima dua tokoh dari Indonesia bersama isteri masing-masing yang khusus
datang menengok Ainun. Mereka itu Bapak Aburizal Bakri (Ical) bersama Ibu Tati dan Bapak Theo
Sambuaga bersama ibu Erna. Mereka khusus datang dari Jakarta untuk menengok Ainun dan sekaligus
mengucapkan selamat 48 tahun hari pernikahan kami. Mereka diperkenankan bergantian menengok
Ainun. Saya menyampaikan: „Ainun ini Tati dan Ical datang khusus untuk menengok dan berdoa untuk
Ainun seperti 8 tahun yang lalu , pada musim dingin mereka datang menegok Ainun yang sedang sakit di
Kakerbeck. Kedatangan mereka waktu itu membantu Ainun menjadi lekas sembuh. Mudah-mudahan
demikian halnya sekarang. Tati dan Ical mencium pipi Ainun dan memanjatkan doa mereka. Ainun
membalasnya dengan senyuman dan saya bersyukur mendapat banyak perhatian, semoga Allah SWT
memberkahi kita semua. Setelah itu, Bapak Theo Sambuaga bersama Ibu Erna masuk ke kamar Ainun.
Bapak Theo menyampaikan salam dari semua di Tanah Air khususnya dari Umat Kristiani organisasi
gereja beliau. Atas nama mereka semua, Bapak Theo Sambuaga beserta Ibu Erna memanjatkan doa
untuk Ainun. Mereka mencium pipi Ainun yang tidak dapat menyembunyikan perasaan keharuan
memberi senyuman khasnya. Setelah itu mereka keluar dari ruangan dan bersama Bapak Ical dan Ibu Tati
kembali ke lapangan terbang, meninggalkan Ainun dan saya di kamar ICCU.

Keadaan Ainun tetap tidak menentu dan tidak stabil. Tumor ganas terus bekerja dan merongrong
kesehatan Ainun. Saya terus menerus di kamar dan sudah hampir dua bulan tidak keluar. Matahari hanya
saya lihat bersama Ainun dari jendela. Saya diperbolehkan membantu perawat dan dokter menjadi
pembantu perawat. Tiap saat saya berdoa untuk Ainun dan tiap malam pukul tiga, saya shalat tahajud
untuk Ainun dan memohon kepada Allah SWT untuk memberi kami berdua kekuatan untuk menghadapi
dan mengatasi semuanya ini sesuai kehendakNYA. Tahajud saya laksanakan di kamar 106 di Station F22
yang disediakan khusus untuk saya. Di kamar ini Ainun dan saya terakhir berbaring sebelah menyebelah
tempat tidur. Di kamar ini saya sering menyendiri tengah malam dan sambil bercucuran airmata
memanjatkan doa untuk Ainun yang sangat saya sayangi. Cinta sejatiku.

Hari Rabu tanggal 19 Mei 2010 pukul 00.15, ketika saya sedang melaksanakan shalat tahajud untuk
Ainun, dokter dari ICCU menelpon menyampaikan bahwa Ainun segera harus dioperasi untuk ke- 12
kalinya. Saya berjalan cepat ke ICCU dan terus menerus memanjatkan doa untuk Ainun. Bersama dengan
dokter, saya mengantar Ainun ke ruangan ope rasi. Sambil berjalan dan berdoa, saya pegang tangan
Ainun yang dalam keadaan sadar menengok ke wajah saya. Saya merasakan getaran nurani dan telepati
Ainun penuh dengan kasih sayang dan cinta. Bibirnya bergetar memanjatkan doa dan demikian pula
halnya dengan saya. Subhanallah walhamdulillah, Allahu Akbar!

Tiga jam kemudian saya bersama dokter mengantar Ainun dari ruang operasi ke ICCU. Selama menunggu
selesainya operasi, saya berusaha memejamkan mata saya sebentar, namun tidak berhasil. Jiwa dan
perasaan saya terus dengan Ainun. Semua kenangan manis dan sedih terulang disudut mata saya. Wajah
Ainun. Mata Ainun. Wajah Ainun. Mata Ainun. Terus bergantian muncul.

Setelah Ainun kembali ke kamarnya di ICCU dan dokter menyatakan semua terkendali, saya kembali ke
kamar 106 Station F22 pukul 04.15 pagi. Di kamar saya langsung tidur setelah sebelumnya memanjatkan
doa. Sudah beberapa hari saya hanya tidur rata-rata 3 jam sehari. Profesor yang menangani Ainun,
sangat prihatin dan memberi obat khusus kepada saya.

Hari Jumat tanggal 21 Mei 2010 sekitar pukul 11.00 pagi, saya dipanggil Prof. Dr. Steinbeck, Prof. Dr.
Bruns dan Prof. Dr. Zwissler untuk membicarakan mengenai keadaan Ainun. Setelah saya mendengarkan
penjelasan panjang lebar mengenai keadaan Ainun, mereka minta persetujuan saya untuk mengoperasi
lagi Ainun hari itu juga.

Saya menyampaikan kepada mereka: „Anda sudah operasi isteri saya 12 kali dalam 4 minggu dan
hasilnya makin memprihatinkan. Apakah jikalau isteri saya dioperasi lagi anda dapat menggaransi
keadaan Ainun lebih baik? Jikalau Anda memberi garansi membaik saya dapat menyetujui isteri saya
dioperasi lagi untuk ke 13 kalinya”.

Jawaban mereka: „Kami tidak dapat memberi garansi”. „Kalau demikian apa gunanya Anda operasi isteri
saya lagi? Saya tidak dapat menyetujui anda operasi isteri saya lagi. Saya serahkan kepada Tuhan YME.
Saya hanya memohon kepada anda semua untuk tidak memberi beban rasa sakit kepada isteri saya.
Demikian putusan saya.”

Setelah itu mereka bernafas lega dan saya bertanya:


„Anda bertiga Profesor dan pakar dalam bidangnya masing-masing. Apakah anda membenarkan
kebijaksanaan saya? Apakah Anda semua dalam keadaan seperti saya akan membuat kebijaksanaan yang
sama?”

Mereka serentak menjawab: „Kebijaksanaan Profesor Habibie sudah benar dan tepat. Apabila kami
dalam keadaan Profesor Habibie, maka kami akan mengambil kebijaksanaan yang sama.
Kemungkinannya sedikit isteri Anda dapat tertolong”.

Susah sekali bagi saya untuk menahan emosi, sehingga terpaksa menangis di depan para Profesor sambil
mengatakan: „jika sampai waktunya isteri saya akan tidur untuk selama-lamanya, maka jangan
diperlihatkan monitor denyutan jantungnya kepada saya. Saya pernah melihat itu ketika Ibu yang
melahirkan saya meninggal di rumah sakit di Singapura 20 tahun yang lalu. Saya takut menjadi histeris
sedih. Tolong dihindari itu.”

Mereka semua sedih dan terharu melihat saya. Dan mengatakan singkat dan jelas: „Profesor Habibie
kami semua selama 2 bulan ini banyak belajar. Kami sudah sangat berpengalaman melihat bagaimana
orang bereaksi dan berperilaku. Namun pertama kalinya kami melihat perjuangan Anda suami isteri
mengatasi semuanya dalam suasana „cinta” yang „murni” dan „sejati”. Kami semua banyak belajar
dalam dua bulan mi. Terima kasih Prof. Habibie. Semoga Tuhan YME selalu melindungi dan menyertai
Anda berdua”.

Setelah mereka mencium pipi saya, airmata saya bercucuran tinggal seorang diri di ruang rapat untuk
memanjatkan doa kepada Allah SWT agar memberi Ainun dan saya kekuatan dan petunjuk mengambil
jalan yang benar. Subhanallah walhamdulillah, Allahu Akbari

Tanggal 21 Mei 2010, saya diperkenankan tinggal sampai pukul 04.00 pagi hari Sabtu tanggal 22 Mei
2010 di kamar ICCU Ainun. Ainun tidur tenang dan saya terus mendampinginya dan memegang
tangannya. Shalat tahajud saya laksanakan di sampingnya dan pada shalat Subuh saya bisikan di
telinganya doa dan juga semua doa saya bisikan di telinganya. Ainun tetap tenang. Pukul 04.15 dokter
dan perawat menyarankan supaya saya tidur sebentar di kamar 106 station F22. Nanti setelah pukul
10.00 saya dapat kembali lagi ke ICCU. Saran mereka saya terima dan saya berjalan sendiri ke kamar 106
tersebut.

Pukul 10.00 pagi tanggal 22 Mei 2010 saya kembali ke kamar ICCU sambil membawa air zam-zam. Ketika
Dr. Sofyan Siregar, Ketua ICMI Eropa bersama Sdr. Mochtar dan seorang pengurus ICMI Eropa lainnya
beberapa hari lalu menengok Ainun, mereka membawa sebotol besar air zam- zam , sekitar setengah
liter dari Mekkah yang saya simpan dan belum saya pakai. Saya simpan air zam-zam untuk memberi
minum kepada Ainun jika sudah diperkenankan. Setelah shalat Dzuhur, saya mengambil inisiatif untuk
membersihkan dengan handuk kecil yang dibasahi dengan air zam-zam seluruh tubuh dari kepala Ainun
sampai ke ujung kakinya sambil membaca Surah Al-Faatihah berulangkali. Saya dibantu oleh Jr. Andina
cucu wanita kakak saya yang sedang berada bersama saya di kamar ICCU Ainun. Setelah selesai saya
masih sisakan setengah botol.
Jr Andina membaca Alquran sedangkan saya mengelus tangan dan kepala Ainun sambil berkata pasrah
Ainun: „Serahkan kepada Allah. Sabar, terima, ikhlas dan pasrah Ainun. Allah selalu akan bersama kita.
Ainun dan saya manunggal”. Berulangkali saya sampaikan itu. Bergantian dengan bacaan Surah Al-
Faatihah, Al Ikhlas, Al Falaq dan An-Naas.

Sekitar pukul 16.00, adik saya Fanny bersama putra saya Thareq dan Widya isterinya bergabung dan
duduk bersama dekat tempat Ainun berbaring. Saya sejak pagi terus duduk di sebelah Ainun mengelus
kepala dan tangannya sambil berdoa seperti semula. Ainun tenang dan kelihatan tidak sakit,
pernafasannya normal yang terdengar pada suara mesin pernafasan yang terus berjalan. Pukul 17.20,
Professor masuk ke ruangan dan matanya memandang mata saya, sambil mengangguk memberikan
tanda detik-detik terakhir Ainun di dunia kita dan Ainun akan sebentar lagi pindah ke alam dan dimensi
lain. Ketika itu saya bisikan di telinga Ainun berkali-kali: Asyhadu aniaa ilaaha ilallaah wa asyhadu anna
Muhammadar Rasulullaah. Tepat pukul 17.30 waktu Muenchen, Ainun dengan tenang dan damai pindah
ke Alam dimensi lain diiringi doa yang datang dari getaran nurani saya dan saya bisikan di telinganya:

48 Tahun 10 hari, Allah ENGKAU telah menitipi Cinta Abadi yang menjadikan kami MANUNGGAL.
MANUNGGAL yang dipatri oleh Cinta yang Murni, Suci, Sempurna dan Abadi

Hari ini 17.30, Ainun telah tidur untuk selamanya dan pindah ke Alum Barzah meninggalkan saya di
dunia.

INNAA LILLAAHI WA INAA ILAIHI ROOKUUN AINUN saya sangat cinta padamu,

ALLAH pencipta Alam semesta dan umat manusia lebih mencintaimu

ALLAH, berilah ketenangan, ketentraman, kenikmatan, di sisiMU pada AINUN Isteriku tercinta di Alam
Barzah

Terima kasih Allah, KEMANUNGGALAN kami di Dunia, di Alam Barzah melekat didiri kami sepanjang
masa Allah berilah kepada Ainun dan saya kekuatan untuk mengatasi semua yang sedang dan akan kami
hadapi Ampuni dosa kami dan lindungi kami dari pencemaran CINTA murni, suci, sempurna dan abadi
kami

Setelah itu saya persilakan semua yang ada dalam kamar meninggalkan ruangan kecuali Andina yang
membantu saya melaksanakan pembersihan seluruh badan Ainun dari kepala sampai ke ujung jari
kakinya dengan sisa air zam-zam seperti saya telah lakukan beberapa jam sebelumnya. 44,

SETELAH saya bersihkan sendiri, seluruh badan Ainun dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya,
dengan air zam-zam pemberian ketua ICMI Orwil Eropa Dr. Sofyan Siregar yang khusus didatangkan dari
Mekkah, saya persilakan para dokter dan perawat masuk. Ainun kemudian dibebaskan dari semua alat
elektronik.

Melalui handy, saya menelpon ketua IIFTIHAR Eropa Dr. Ibrahim El Zayat yang sedang berada di Istambul-
Turki, untuk mendapat alamat perusahaan di Muenchen yang lazim mengawetkan dan memandikan
jenazah secara Islam. Sementara itu, waktu sudah berlalu 3 jam semenjak Ainun berada di „dimensi dan
alam baru”. Dr. Ibrahim menjawab: „Serahkan kepada saya Prof Habibie, saya segera hubungi pimpinan
perusahaan tersebut, yang kebetulan seorang warga negara Jerman keturunan Turki. Saya segera akan
menghubungi Bapak atau seseorang yang ditugaskan Bapak”. Kemudian saya berikan nomor handy anak
kakak kandung saya, Saraswati, yang pernah belajar di Jerman. Saya mematikan handy, sehingga dapat
konsentrasi berdoa untuk Ainun bersama dengan keluarga yang sudah datang, dan membaca surat Yasin
di kamar ICCU Ainun.Jenazah Ainun diperkenankan dibaringkan di kamar ICCU sampai pukul 5 pagi.
Setelah itu Ainun harus dipindahkan ke kamar jenazah. Kami mendapat berita bahwa Ilham dan Insana
baru pukul 22.30 akan tiba di Rumah Sakit dari Jakarta dan akan segera ke kamar ICCU.

Sementara itu Duta Besar para Konsul Jenderal dan Konsul serta masyarakat Indonesia dari Muenchen,
Berlin, Hamburg dan Frankfurt beserta kawan warga Jerman berhubungan dengan adik saya Fanny
(J.E.Habibie yang telah mengambil inisiatif untuk mengkoordinasikan semua rencana dan acara
pemulangan Ainun ke Indonesia dan pemakamannya di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Koordinator
yang mewakili keluarga di Jakarta adalah Pak Watik Pratiknya bersama Adrie Soebono, Didit A Ratam,
Marulloh, Rubijanto, Truliyanti bersama keluarga besar Besari dan Habibie. Pukul 23.00 saya bersama
Ilham, Insana, Thareq dan Widya berada di kamar tempat Ainun berbaring dengan wajah yang tenang
seakan-akan sedang tidur, bebas dari segala peralatan elektronik, alat kedokteran yang canggih, yang
sebelumnya dikaitkan pada tubuhnya. Kami melaksanakan shalat jenazah bersama dan memanjatkan
doa untuk Ainun. Saya tidak pernah merasa ditinggalkan Ainun. Ainun selalu manunggal dengan saya.
Kepada Fanny dan seluruh keluarga, saya sampaikan janji saya kepada Ainun bahwa saya akan selalu
berada di sampingnya di bawah satu atap, di manapun ia berada. Ini sebabnya mengapa saya tidak
pernah meninggalkan Ainun. Saya selalu ingin berada di bawah satu atap dengan Ainun. Karena itu, saya
mohon pengertian mereka dan agar diusahakan agar saya duduk di mobil Jenazah Ainun, baik di
Muenchen, maupun di Indonesia. Fanny dan protokol berjanji akan memperhatikan permintaan saya
tersebut. Sekitar pukul 00.00 tengah malam hari Minggu tanggal 23 Mei 2010, saya merasa sangat lelah
dan disarankan segera beristirahat di kamar 106 Station F22, tempat saya dan Ainun terakhir tidur
bersama. Sigit kepala rumah tangga kami membersihkan kamar 106. Semua barang dilemari dan laci
milik Ainun dan saya dipindahkan ke koper. Yang ditinggalkan hanya pakaian saya untuk dipakai besok.
Ilham bergabung menemani saya di kamar. Sejam kemudian hari Minggu pukul 02.00 waktu Jerman, atau
0700 pagi waktu Indonesia Bagian Barat, Ilham menerima telepon dari Ajudan Presiden yang
menyampaikan bahwa Presiden Susi lo Bambang Yudoyono (SBY) berkenan berbicara dengan saya: „Saya
dan atas nama Isteri, Keluarga, Pemerintah dan Bangsa Indonesia ucapkan Belasungkawa kami atas
wafatnya Ibu Ainun. Kami akan mengirim pesawat Garuda untuk menjem put dan memulangkan Jenasah
Ibu bersama Bapak Habibie sekeluarga ke Jakarta. Persia pan di Jakarta akan saya koordinir sebaik
baiknya. Kami harap Pak Habibie menjaga kesehatan dan semoga diberi kekuatan oleh Allah SWT”

Saya sangat terharu mendengar kata-kata Presiden SBY dan memanjatkan doa semoga Allah SWT
melindungi beliau sekeluarga dalam melaksanakan tugas mulia memimpin Bangsa Indonesia. Setelah itu,
saya langsung tidur karena sudah beberapa minggu kurang tidur dan terus dalam keadaan prihatin yang
tak menentu dan gelisah. Saya bersyukur beban pemulangan Isteri saya tercinta dengan kebijaksanaan
Presiden SBY meringankan penyelesaian persoalan yang saya sedang hadapi. Walaupun sejak Sabtu 22
Mei sampai dengan Senin tanggal 24 Mei 2010, seluruh Eropa dan Indonesia berlibur panjang, persiapan
untuk proses pemulangan dan pemakaman Ainun balk di Muenchen maupun di Jakarta berjalan lancar.
Setelah pengawetan dan pemandian Jenazah Ainun secara Islam selesai, jenazah Ainun disemayankan di
apartemen kami di Muenchen.

Sabtu dan Minggu tanggal 3 dan 4 April di siang hari, 50 hari sebelumnya, Ainun dan saya masih
beristirahat di apartemen ini. Ainun masih mempersiapkan makanan dan minuman untuk kami berdua,
walaupun malam hari kami harus tidur di rumah sakit. Di sini kami manfaatkan fasilitas Internet, masih
menerima tamu dan menelpon. Sekarang Ainun untuk penghabisan kalinya yang sudah menjadi jenazah
disemayamkan di apartemen yang sama. Amat sedih rasanya, menerima para tamu yang mengucapkan
bela sungkawa, shalat jenazah dan membaca surat Yasin. Keesokan harinya, pukul 06.00 pagi kami
meninggalkan apartemen membawa jenazah Ainun dalam peti, yang harus disegel dan mendapat izin
untuk dibawa ke Jakarta. Semua proses perizinan, balk dari pihak pemerintah daerah Muenchen maupun
dari pemerintah pusat Jerman di Berlin, berjalan lancar. Setelah upacara penyerahan Jenazah Ainun atas
nama Keluarga Besar Habibie dan Besari oleh Fanny kepada Bapak Eddy Pratomo Dubes R.I. untuk
Republik Federal Jerman selesai, Jenazah Ainun dimasukkan ke dalam pesawat khusus Garuda
Indonesian Airways jenis Boeing 747. Saya bersama Ilham, Insana, Thareq, Widya, 6 cucu kami Nadia,
Pasha, Farrah, Farhan, Tifany dan Felicia duduk di sekitar Jenazah Ainun. Duta Besar Eddy Pratomo
bersama Ibu, J.E.Habibie dan beberapa anggota Keluarga Besar Besari dan Habibie juga duduk tidak jauh
dari peti jenazah Ainun yang diselimuti bendera Sang Merah Putih. Suasana sangat sedih dan
mengharukan. Dua bulan yang lalu, pukul 05.00 pagi hari Rabu tanggal 24 Maret waktu setempat, kami
tiba di Muenchen dengan pesawat Lufthansa Airbus LH 791 membawa Ainun dalam keadaan kritis. Dua
bulan kemudian, Senin tanggal 24 Mel pukul 11.30, dengan pesawat khusus Garuda Indonesian Airways
Boeing 747, kami mengantar Jenazah Ainun pulang ke Indonesia. Sesuai rencana, pukul 05.00 pagi waktu
setempat, kami tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Upacara kenegaraan penurunan Jenazah
Ainun dari pesawat ke mobil jenazah dilaksanakan dengan khidmat. Menteri Sekretaris Negara,
Sekretaris Kabinet, beberapa anggota Kabinet, beberapa perwira tinggi TNI, perwira tinggi Polri, dan
beberapa tokoh nasional, serta keluarga besar Besari dan Habibie hadir untuk menjemput jenazah
Ainun. Semua telah dipersiapkan sesuai ketentuan protokol negara. Saya bersama Ilham dan Thareq
ditempatkan di sebelah Ainun di mobil jenazah. Sepanjang jalan walaupun pagi hari, banyak masyarakat
yang menyaksikan iring-iringan kendaraan kami. Sesuai ketentuan protokol kendaraan jenazah Ainun
bergerak dari bandar udara Halim ke kediaman kami di Kuningan. Ratusan manusia bersama dengan
puluhan wakil media elektronik, wartawan nasional dan internasional hadir baik di lapangan udara Halim
maupun di Kuningan. Upacara militer penyerahan jenazah dari Dubes R.I. di Berlin Eddy Pratomo ke
Pemerintah dan Keluarga yang diwakili oleh Menteri Sosial R.I. Dr. Salim Segaf Al Jufri dilaksanakan
dengan khidmat. Pada upacara militer ini hadir semua barisan pasukan khusus TNI Angkatan Darat, Laut
dan Udara bersama pasukan khusus Polri. Saya, Ilham dan Thareq tetap mendampingi Ainun di tempat
jenazah disemayamkan. Pukul 10.30 kami menerima kunjungan Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
dan Ibu Ani, Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono dan Ibu Herawati, dan tokoh-tokoh nasional, kawan dan
handai taulan. Semuanya turut berduka dan menunjukkan simpati kepada kami atas „kepergian”
almarhumah Ainun menghadap Allah SWT. Pukul 10.45 upacara kebesaran militer penyerahan jenazah
Ainun dari keluarga ke Negara dilaksanakan. Kemudian, saya bersama Ilham dan Thareq mendampingi
Ainun di mobil jenazah, berangkat dari kediaman kami di Kuningan menuju ke Taman Makam Pahlawan
Kalibata. Sepanjang jalan ribuan manusia atau warga yang dilalui iringan jenazah terlihat ikut berduka
cita memanjatkan doa untuk Ainun. Semua mobil terlihat berhenti untuk menghormati dan memberi
salam terakhir pada Ainun. Saya tak henti-hentinya memanjatkan doa untukAinun dan bersyukur pada
Allah SWT bahwa ternyata dunia itu tidak buta dan tuli dan masyarakat yang kami kenal maupun tidak
kami kenal ikut berduka cita dan memanjatkan doa untuk Ainun dalam perjalanannya ke „alam dan
dimensi yang baru”. Hari Selasa tanggal 25 Mei 2010 di Taman Pahlawan Kalibata Jakarta tepat pukul
11.00 waktu Indonesia Barat, dengan upacara Kebesaran Militer, Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susi
lo Bambang Yudoyono sebagai Pembina Upacara, dimulailah pemakaman isteri saya tercinta Dr. Hasri
Ainun Habibie binti R. Mohamad Besari. Upacara tersebut juga disaksikan langsung oleh ribuan tokoh
segala lapisan masyarakat di Tanah Air. Semua media elektronik radio dan TV nasional, regional dan
internasional meliput dengan siaran langsung. Upacara kebesaran militer dimulai dengan pembacaan
Apel Persada oleh Presiden SBY, sebagai berikut: Ape! Persada, Saya, Presiden Republik Indonesia, atas
nama Negara dan Tentara Nasional Indonesia dengan ini mempersembahkan ke Persada Ibu Pertiwi, jiwa
raga, dan jasa-jasa almarhumah. Nama: dr. Hj. Hasri Ainun Habibie binti R. Mohamad Besari. Jabatan: Ibu
Negara pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie tahun 1998-1999, putri dari Bapak
H. R. Mohamad Besari (almarhum), yang telah men inggal dunia pada hari Sabtu, tangga122 Mei 2010,
pukul 17.30 waktu Jerman, di Rumah Sakit Muenchen, Jerman karena sakit. Semoga jalan dharma bhakti
yang ditempuhnya dapat menjadi suni tauladan bagi kita semua, dan arwahnya mendapat tern pat yang
semestinya di alam baka. Jakarta, 25 Mei 2010 Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono

Setelah mengucapkan Apel Persada, upacara militer penurunan jenazah Ainun ke hang kubur dimulai.
Bendera Sang Saka Merah Putih yang sejak keberangkatan Ainun dari Muenchen telah menyelimuti peti
jenazah Ainun, memayungi penurunan jenazah ke dalam hang kulour. Di tiap pojok Bendera Sang Saka
Merah Putih dipegang oleh Wakil Kepala Staf TNI Angkatan-Darat, Udara, Laut dan Wakil Kepala Polri.
Mereka semua Jenderal bintang tiga. Setelah itu, Pembina Upacara, Presiden Republik Indonesia Dr. H.
Susi lo Bambang Yudoyono menutup hang kubur dengan member! tiga kali tumpukan tanah. Saya
sebagai suami diberikan kesempatan untuk menutupi hang kubur dengan memberi tiga kali tumpukan
tanah pula. Namun ketika itu, saya tidak mampu lagi menahan emosi dan kesedihan saya, karena
bingung. Saya bingung karena janji yang saya pernah berikan kepada Ainun untuk selalu
mendampinginya di manapun ia berada. Bagaimana kriteria berada ”di bawah satu atap” dapat saya
penuhi? Saya memanjatkan doa kepada Allah SWT dan memohon petunjukNya. Apakah saya segera ikut
saja ke hang kubur? Bagaimana caranya? Dalam keadaan ketidakpastian, kebingungan dan sedih saya
menangis. Tiba-tiba saya menjawab pertanyaannya sendiri dengan menyatakan dalam hat! saya: ”Ainun
jiwa, roh, batin dan nurani kita sudah manunggal dan atop kita bersama adalah langit alam semesta.
Karena itu Ainun tetap berada di samping saya dan saya di sam ping Ainun, di mana saja kami sedang
berada sepanjang masa”. Pemikiran itu berlangsung begilu cepat sehingga sekejap dapat menenangkan
saya dalam kesedihan.

Setelah liang kubur Ainun selesai ditutup dan karangan bunga diletakkan oleh Pembina Upacara, Ibu
Negara Ani Susilo Bambang Yudoyono dan saya serta keluarga selesai menabur bunga di atas pusara
Ainun, maka Pembina Upacara membacakan sambutan yang beberapa butir saya kutip sebagai berikut:
Beliau telah meninggalkan kita semua untuk selamalamanya, menghadap Sang Maha Pen cipta. Kita
telah kehilangan salah seorang tokoh wanita Indonesia terbaik, seorang Ibu Negara yang penuh kasih,
pejuang kemanusiaan yang tulus, serta ibu dari sebuah keluarga panu tan. Sementara menyampaikan
pidato, ketika suara azan yang menandakan sudah masuk waktu Dzuhur, dikumandangkan sayup-sayup
dari semua masjid yang berada di sekitar Makam Pahlawan Kalibata, Presiden Susi lo Bambang
Yudhoyono berhenti sejenak. Kemudian ketika ia melanjutkan pidatonya, Presiden tidak lupa
memberikan apresiasi kepada Ainun sebagai Ibu Negara ketika itu, yang menunjukkan kepedulian dan
peran aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan. Kita hadir di tempat ini, di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta, untuk memberikan penghormatan terakhir melalui upacara ken egaraan. Upacara ini
kita selenggarakan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan dari Negara dan Pemerintah, atas
jasa, dharma bakti, serta pengabdian Almarhumah kepada negara don bangsa. Beliau telah
mendampingi Presiden Republik Indonesia ketiga, Bapak Prof Dr. Bacharuddin Jusuf Habibie, dalam men
unaikan tug as-tugas kenegaraan yang sangat berat. Dengan penuh kesetiaan dan kepercayaan,
almarhumah senantiasa mendampingi Presiden Habibie melewati hari-hari yang tidak mudah dalam
salah satu periode sejarah yang sangat menentukan, yaitu ketika negara kita diguncang krisis tahun 1998
sampai 1999, berbarengan dengan mulai dilaksanakannya reformasi nasional yang dramatis dan berskala
besar. Doam suka clan duka, beliau selalu tegar menjalankan tugas sebagai Ibu Negara bagi kepentingan
masyarakat, bangsa, dan negara yang kita cintai Pada kesempatan yang khidmat ini, saya
mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mendoakan almarhumah. Semoga keikhlasan Beliau dalam
mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan negara dengan segala amal ibadahnya, diterima oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa, Allah SWT Setelah Sambutan selesai disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, kemudian Sang Saka Merah Putih diserahkan kepada saya. Begitu pula Sang Saka Merah
Putih yang sama, menyelimuti peti jenazah dan memayungi penurunan jenazah Ainun ke dalam hang
kubur yang tadi dipegang oleh 4 Wakil Kepala Staf ABRI dan Polri. Begitu pula naskah Apel Persada, dan
naskah Sambutan Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono sebagai pembina
upacara saya terima. Kemudian J.E. Habibie sebagai Wakil Keluarga besar Habibie dan Besari
menyampaikan sepatah kata, yang antara lain saya kutipkan sebagai berikut: atas nama keluarga besar
Habibie dan Besari perkenankanlah kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia, khususnya kepada Presiden Republik Indonesia,yang
telah memberikan perhatian dan penanganan almarhumah Hajjah Hasri Ainun Habibie binti Besari, balk
berupa transportasi dari Jerman maupun penyelenggaraan pemakaman kenegaraan di Taman Makam
Pahlawan mi. Bahkan, perhatian dan kepedulian Bapak Presiden semasa perawatan almarhumah
merupakan ha/ yang amat berarti bagi kami maupun bagi almarhumah saat itu

Dalam forum yang amat terhormat ini perkenankanlah saya memohon maaf apabila semasa hidup
almarhumah terdapat kesalahan dan kealpaan dalam pergaulan yang ada. Sungguh pintu maaf yang
dibukakan akan mempermudah perjalanan almarhumah menghadap Sang Pencipta sekali lagi kami
menyampaikan penghargaan dan

terima kasih kepada Bapak Presiden dan Ibu, Bapak Wakil Presiden dan Ibu, para pejabat tinggi sipil mau
pun militer, serta handai taulan yang telah sudi menghadiri acara pemakaman mi. Semoga keikhlasan
para penta’ziah akan lebih meringankan lagi perjalanan almarhumah menghadap Allah, Tuhan Yang
Maha Esa

”Selamat jalan Ainun isteri, ibu, eyang, dan saudara tercinta. Ketulusan cintamu akan selalu berada dan
terukir indah di sanubari kami”

Am. Keluarga Besar Habibie dan Besari Junus Effendi Habibie

Setelah upacara pemakaman Ainun selesai dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu Ani
meninggalkan Taman Pahlawan Kalibata, ribuan ralwat mengunjungi makam istri saya tercinta Hasri
Ainun Habibie binti R. Mohamad Besari untuk memberikan doa menghantarkan Ainun menghadap Allah
SWT

Sejak Ainun dinyatakan telah ”tidur untuk selama-lamanya” berpindah ke ”alam dan dimensi baru”,
dalam kesedihan dan terbawa duka sangat dalam yang saya rasakan, pernyataan bela sungkawa dan
turut berduka cita mulai saya terima. Pernyataan itu, baik melalui telepon, pesan singkat maupun yang
disampaikan secara langsung datang dari penjuru Tanah Air maupun dari luar negeri, antara lain di
Munchen dan warga yang tinggal di sekitar Munchen. Di Berlin saya mendengar bahwa staf KBRI dan
masyarakat muslim melakukan doa bersama di masjid Al Falah, demikian juga di New York. Pada saat
duka yang mendalam, sambil mempersiapkan memulangkan jenazah Ainun ke Indonesia, saya sempat
terpikir, Ainun juga meninggalkan dua yayasan sosial yang selama in! dipimpinnya. Tanpa mengurangi
rasa terima kasih kami yang mendalam dan penghargaan kami, alangkah baiknya, jika penyampaian duka
cita dengan cara mengirim bunga untuk saya sekeluarga atas kepergian Ainun, tidaklah disampaikan
dalam bentuk kiriman bunga, tetapi biaya pembelian karangan bunga itu dikirimkan saja ke rekening dua
yayasan sosial pimpinan Ainun, yaitu: Perhimpunan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI) dan
Yayasan Amal Abadi Beasiswa Orang Tua Bimbing Terpadu (YAAB-Orbit. Orbit untuk pendidikan anak-
anak berbakat namun orangtuanya tidak mampu, dan PPMTI mengusahakan persediaan kornea melalui
Bank Mata Indonesia (BMI) bagi tunanetra. Kedua yayasan sosial itu, tetap memerlukan santunan dari
masyarakat. Bukankah dengan demikian, ungkapan duka cita itu akan lebih bermanfaat secara ekonomi
bagi orang yang sangat membutuhkannya. Namun rupanya, karangan bunga tetap dikirimkan juga ke
rumah kediaman kami di Patra Kuningan. Saya sempat melihatnya sekilas ketika saya telah tiba
membawa jenazah Ainun untuk disemayamkan dan menerima penghormatan dari negara dalam upacara
resmi kenegaraan pada saat penerimaan dan pemberangkatan jenazah di Patra Kuningan. Karangan
bunga ungkapan duka cita itu, berjejer panjang tidak terhitung jumlahnya, dikirim oleh berbagai pihak,
baik pimpinan negara, tokoh dari dalam dan luar negeri, masyarakat pada umumnya. Dan i lubuk hati
saya yang dalam, saya menyampaikan terima kasih kepada siapa saja yang telah turut menyampaikan
simpati dan duka cita bersama kami. Saya yakin, semua itu bukan semata-mata ditujukan kepada saya
dan anak-anak serta keluarga dan kerabat kami yang sedang bersedih, tetapi tentulah simpati dan
dukacita karena mereka ditinggalkan oleh Ainun, wanita yang saya selalu saya cintai dan telah membagi
juga kecintaannya kepada keluarga, handai taulan dan pada anak-anak dari keluarga yang tidak mampu
serta para penyandang tunanetra. Anak-anak bangsa yang Ainun tidak kenal, dari mana asal mereka atau
siapa orangtua mereka. Se lama dua bulan Ainun dirawat di rumah sakit di Jerman, saya juga selalu
mendapat berita dari Tanah Air, di berbagai masjid di Indonesia, Jakarta, Bandung, Makassar dan di kota
kelahiran saya di Parepare, dengan berjamaah, mereka bergilir memanjatkan doa bersama kesembuhan
Ainun, setelah mereka shalat Jumat, maupun pada shalat lima waktu. Terima kasih Ya Allah SWT.

Selain ucapan duka cita yang diekpresikan melalui karangan bunga, saya juga melihat iklan-iklan di media
masa menyampaikan rasa duka. Bertumpuk surat-surat yang dikirim dari dalam dan luar negeri.
Pimpinan pemerintahan negara sahabat, para duta besar mewakili negara mereka masing-masing. Dan i
dalam negeri, baik dari instansi resmi pemerintah, gubernur, bupati/walikota, pimpinan perguruan tinggi,
perusahaan swasta, perusahaan milik negara, organisasi masa, pesantren yang tidak bisa disebut satu
persatu, bahkan dari pribadi-pribadi, tidak terbilang banyaknya. Semua rasa simpati dan duka cita itu,
tidak mungkin saya balas satu persatu, semoga Allah SWT jugalah yang membalasnya dan mengetahui,
betapa penghargaan saya dan kami sekeluarga atas pernyataan simpati dan dukacita itu. Setelah
pemakaman Ainun, saya memutuskan untuk menyelenggarakan khatam Alquran, pembacaan surat Yasin
dan acara tauziah setiap malam, di rumah kediaman kami di Patra Kuningan selama 40 hari terus
menerus. Mulanya, saya berharap tentulah yang bisa menyediakan waktu untuk datang selama itu,
hanya pihak keluarga, kerabat dan handai taulan yang selama ini juga sudah ikut seperti keluarga kami.
Tetapi ternyata dugaan saya tidak tepat. Setiap malam selama 40 hari, rumah kediaman kami tempat
penyelenggaraan tauziah, selalu penuh jamaah bahkan sampai di pekarangan dan jalanan depan rumah.
Menurut pendataan para petugas yang mengatur acara tauziah itu, lebih seribu warga setiap harinya
datang dalam acara tauziah dan tidak pernah berkurang. Mereka memang ada dari komunitas pesantren
yang kami undang termasuk jamaah pengajian yang selama ini di selenggarakan Ainun secara rutin di
rumah kami. Tetapi sebagian besar di antaranya adalah warga sekitar, handai taulan, bahkan di antara
jamaah itu, ada yang datang dari Bekasi, Bogor serta dari luar kota lainnya. Ini terjadi tiap malam selama
40 hari, tidak mengenal hujan. Walaupun mereka dengan susah payah diatur setiap malam, agar mereka
tetap terakomodasi dan mendapat perhatian kami, tetapi semua itu, saya anggap sebagai berkah untuk
melapangkan perjalanan Ainun menghadap Sang Khalik. Bukankah setiap malam, ribuan jamaah yang
datang berdoa dengan tulus, baik yang kami kenal maupun yang tidak, turut bersama memanjatkan doa
agar Ainun berada dalam keadaan khusnul khotimah.

Beberapa surat pribadi juga saya terima, baik dari orang yang kami kenal maupun tidak, menyampaikan
duka cita yang dalam atas kepergian Ainun. Ada yang bersifat formal, ada yang memberikan nasehat dan
berdoa agar saya sekeluarga tetap tabah, ada juga yang menyampaikan berbagai nostalgia masa lalu bagi
mereka yang pernah mengenal Ainun, mereka antara lain berdomisili jauh dari Jakarta. Di antara mereka
itu, rupanya ada teman-teman Ainun masa kuliah. Namun tidak kalah menyentuh perasaan saya di
antara kiriman surat dari berbagai pelosok Tanah Air, menyampaikan rasa duka cita dengan berbagai cara
dan ungkapan itu, adalah kiriman surat pribadi dari sejumlah anak-anak yang menyampaikan rasa duka
cita. Surat mereka tulis dengan coretan tangan yang masih naif, khas tulisan anak-anak kecil. Salah satu
diantaranya dapat saya kutip ringkasannya sbb : Yth. Bapak Habibie yang saya sayang . Namaku: Zahra
Umurku: 10 tahun, kelas IV B Sekolah Dasar.

Aku mau bilang, jangan bersedih lagi ya Pak. Bapak harus terseyum. Saya yakin sekarang Ibu Ainun sudah
di sorg a, karena banyak yang mendoakannya Ibu Ainun orang yang baik disayang Tuhan, pasti Sorga
hadiahnya Amin,amin,amin,amin,amin Ya Allah ben i sorga bagi Ibu Ainun.
Senyumlah Pak Habibie, saya bersama mamaku menciptakan lagu untuk Ibu Ainun, dst.

Pada kertas buku sekolah yang bergaris-garis itu, pada lembaran kedua tertulis empat bait lagunya.
Sebagian besar surat-surat pribadi lainnya ditulis oleh kaum wanita.

Saya diberitahu anak remaja melalui twitter, facebook dan blog, ramai juga menyampaikan duka cita dan
komentar simpati. Jika mau dihitung, jumlahnya jutaan. Mereka menyebutnya penyampaian simpati dan
duka cita itu jadi ”tranding topics”. Namun saya tetap tidak lupa atas perlakuan dan perhatian khusus
yang diberikan oleh pemerintah Indonesia yang disampaikan Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono. Baik dalam pemberian fasilitas pemerintah untuk membawa jenazah Ainun dari
Jerman, pernyataan duka cita resmi yang disampaikan, maupun ucapan presiden dalam pidato resmi
pada pemakaman Ainun secara kenegaraan di Makam Pahlawan Kalibata Begitu pula kepada semua
ucapan duka cita yang disampaikan kepada saya dan anak-anak, tidak sempat kami balas, kami
sampaikan terima kasih. Semua penghargaan, ucapan duka cita dan simpati yang diberikan oleh seluruh
rakyat Indonesia, telah menjadi pelipur duka bagi kami yang ditinggal Ainun di dunia fana in!. +

BAB

Ainun Pindah ke ”Alam dan Dimensi Baru”

KINI tinggal saya sendiri berada dalam dunia yang terasa sudah gelap. Saya sering mengatakan kepada
siapa pun bahwa kepergian Ainun, telah membuat ”jiwa saya kehilangan sebelah”. Begitu lama saya
merasakan kekosongan jiwa. Bagaimana hal itu tidakterjadi pada saya, jika Ainun, isteri yang saya sayangi
dan cintai adalah bagian dari din i saya, dan saya adalah bagian dari din i Ainun. Berbulanbulan kepergian
Ainun, saya lewatkan dengan malam-malam yang terasa hambar dan kosong. Sampai hari ke 400 Ainun
pindah ke ”alam dan dimensi baru”, tiap hari saya ziarah ke makam Ainun dengan membaca surat Yasin
dan tahlilan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Saya sengaja memanfaatkan kata-kata ”alam dan dimensi baru”. Apa maksudnya? Alam baru? Dimensi
baru? Hari kiamat adalah hari akhir kehidupan seluruh manusia dan makhluk hidup di dunia yang harus
kita percayai kebenaran adanya yang menjadi jembatan untuk menuju ke kehidupan selanjutnya di
akhirat yang kekal dan abadi. Iman kepada hari kiamat adalah rukun iman yang ke-5. Hari kiamat diawali
dengan tiupan teromp et sangkakala oleh malaikat Israfil untuk menghancurkan alam raya dengan
mendisfungsikan -atas perintah Allah- sistem yang selama ini berjalan dengan teratur. Hari kiamat tidak
dapat diprediksi kapan akan datangnya, karena merupakan rahasia Allah SWT yang tidak diketahui siapa
pun. Namun demikian, kita bisa mengetahui kedekatan masa kedatangannya dengan melihat tanda-
tanda atau isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. 0 rang yang beriman kepada Allah SWT
dan banyak berbuat kebaikan akan menerima imbalan surga yang penuh kenikmatan, sedangkan bagi
orang-orang kafir dan penjahat akan masuk neraka yang sangat pedih untuk disiksa. Dengan percaya dan
beriman kepada hari kiamat kita akan didorong untuk selalu berbuat kebajikan, menghindari perbuatan
dosa, tidak mudah putus asa, tidak sombong, tidak takabur dan lain sebagainya karena segala amal
perbuatan kita dicatat oleh malaikat yang akan digunakan sebagai bahan ”referensi” apakah kita akan
masuk surga atau neraka. Agama (Islam) mengajarkan akan adanya ”peristiwa” dan ”kehidupan” setelah
seseorang meninggalkan kehidupan dunia sebelum hari kiamat, yaitu:
1. Alam Kubur/Alam Barzah: Alam barzah adalah suatu dunia lain yang dimasuki seseorang setelah
meninggal dunia untuk menunggu datangnya kebangkitan kembali pada hari kiamat. Jika kita beriman
dan termasuk orang baik, maka di dalam kubur akan mendapatkan nikmat kubur yang sangat
menyenangkan daripada nikmat duniawi. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman kepada Allah SWT,
siksa kubur pra neraka yang pedih sudah menanti di depan mata.

2. Hari Kebangkitan/Yaumul Ba’ats: hari kebangkitan adalah hari dibangkitkannya seluruh manusia yang
pernah hidup di dunia baik yang tua, muda, besar, kecil, hidup di zaman Nabi Adam as, baru lahir saat
kiamat. Mereka akan dibangkitkan kembali dari mati untuk kemudian dihitung amal perbuatannya
selama hidup di dunia. Seluruh manusia akan bangkit kembali dengan jasad/tubuh seperti ketika masih
muda dengan raut wajah yang berbeda-beda sesuai amal perbuatannya.

3. Yaumul Mahsyar: adalah hari di mana seluruh manusia dikumpulkan di satu tempat sejak manusia
pertama yang hidup dipersada bumi sampai dengan yang terakhir dari mereka. Selanjutnya akan diantar
menuju Shirat (jembatan. Siapa yang taat akan melaluinya dengan cepat dan aman, sedang yang durhaka
akan berjalan di atas jembatan itu dengan penuh kekuatiran bahkan akan terjatuh ke dalam neraka yang
berada di bawah jembatan itu, Yang terjatuh di neraka akan menjadi penghuni neraka baik yang kekal
abadi maupun yang hanya sementara hingga segala dosa-dosanya yang tidak terlalu berat itu
termaafkan.

Alam Barzah adalah Alam Kubur di mana manusia berada pada penantian’ untuk dibangkitkan pada hari
Kiamat. Jadi waktunya bisa berjalan jutaan tahun atau mungkin malah milyaran tahun, sejak dia
meninggal sampai Kiamat. Tetapi yang belum terjawab, berapa lama manusia itu tinggal di alam Barzah,
setahun, ratusan tahun, bermilayar tahun, sampai hari kebangkitan kembali di hari kiamat? Bagaimana
keadaan manusia yang telah tinggal di alam Barzah, benarkah mereka diibaratkan seperti jika mereka
tertidur kemudian dibangunkan, pada hari perhitungan itu? Bukankah jika manusia telah dipisahkan jiwa
dan raganya, maka raganya akan hancur terurai lebur ke berbagai unsur yang ada dalam tanah? Hanya
roh orang telah wafat itu berpindah memasuki alam Barzah. Mereka telah berpindah dalam sebuah
dimensi yang lain, yang berbeda dengan manusia yang masih hidup pada satu dimensi lain dunia yang
fana ini Tetapi bisakah manusia yang ada di dimensi dunia, berkomunikasi dengan mereka yang berada di
alam Barzah? Informasi yang diberikan adalah berdasarkan pada „interpretasi Firman Allah SWT” yang
sekitar 5000 tahun yang lalu diberikan kepada Nabi Ibrahim AS, yang kemudian diteruskan Nabi Isa AS,
2010 tahun yang lalu, dan kemudian disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW 1431 tahun yang lalu.

Memperhatikan karya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi atau Iptek , dan perkembangan analisis
informasi dalam bidang filsafat dan ilmu agama, yang disesuaikan dengan hasil peradaban selama ini,
berdampak pada kualitas iman dan takwa atau Imtak umat manusia.

Sebagai contoh yang nyata adalah kemungkinan jutaan bahkan miliaran umat manusia di seluruh dunia
dapat secara serentak menonton sepak bola yang dilaksanakan di suatu tempat, misalnya di Afrika
Selatan, dengan siaran langsung, pada saat yang sama. Ini disebabkan karena siaran tersebut
disebarluaskan melalui gelombang elektro magnet dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya atau
1.080.000.000 kilometer sejam. Dengan kecepatan ini jarak dan waktu tidak berarti lagi. Yang
menentukan adalah kemampuan kita menangkap signal yang dipancarkan dalam gelombang tertentu.
Waktu siaran dan gelombangnya harus diketahui sebelumnya. Bahkan teknologi memungkinkan kita
saling berhubungan melalui internet. Persyaratannya adalah, kita harus memiliki alat personal computer
(PC) atau laptop. Namun PC dan laptop itu hanya dapat berfungsi jikalau ada energi, memiliki operating
system, memiliki software atau perangkat lunak, memiliki data-data, dan sebagainya. Jikalau persyaratan
tidak dipenuhi, maka PC dan laptop tidak dapat dimanfaatkan. Harus segera diperbaiki dan jika tidak
mungkin diperbaiki lagi, maka harus dibuang. Berarti PC dan laptop atau perangkat keras sifatnya tidak
abadi. Ternyata operating system, software, data-data, dan sebagainya, yang dimiliki dapat dimanfaatkan
lagi. Berarti sifatnya abadi. Pada tahun 1847, 163 tahun yang lalu, seorang ilmuwan Irlandia bernama
George Boole mengembangkan suatu logic yang dapat dimanfaatkan untuk perhitungan dan memberi
info rmasi berdasarkan hanya dua huruf, yaitu ”0” dan ”1’ atau ”ada arus listrik” dan ”tidak” atau ”ada
medan elektro magnet” dan ”tidak” atau ”ada protein nukeotid A & T” dan ”nucleotid C & G” dalam
informasi DNA.

Baru 94 tahun kemudian karya Boole dimanfaatkan oleh ilmuwan Jerman bernama Konrad Zuse tahun
1941, 69 tahun yang lalu, yang memanfaatkan Karya Boole untuk mengembangkan komputer pertama,
awal dari semua jenis komputer, PC, laptop, dan sebagainya, yang menggunakan sistem dual atau binaer.

’Big Bang’ terjadi kurang lebih 13 sampai 14 milyar tahun yang lalu, sedangkan kehidupan di planet kita
baru ada sejak 4 milyar tahun. Kehidupan di bumi tersebut dimulai dengan bakteri dan khlorofil, yang
terus berkembang dengan memanfaatkan energi matahari . Permutasi nukleotid yang pada
kromosom/DNA bakteri dan khlorofil tersebut berlangsung dalam evolusi selama 4 milyar tahun,
ternyata juga memanfaatkan ”logic” yang dikembangkan oleh Boole 163 tahun yang lalu. Permutasi
tersebut telah menghasilkan hampir satu juta jenis makhluk dan lebih dari setengah juta jenis tanaman
Homo sapiens baru muncul sekitar 200.000 sampai 250.000 tahun yang lalu, dan sejak 100.000 tahun
yang lalu telah memiliki otak yang bentuk, volume dan beratnya hampir sama seperti otak kita sekarang.
Jika 4 milyar tahun kita samakan dengan lamanya 1 hari (atau: 24 jam, atau 1440 menit, atau 86.400
detik) maka homo sapiens atau manusia dengan struktur dan kemampuan seperti otak kita ini, baru ada
di dunia sejak 2,16 detik di penghujung hari. Kemampuan umat manusia mengembangkan dan
memanfaatkan PC, laptop, dan sebagainya, baru saja berlangsung sekitar 3,5 milidetik atau 0,0035 detik
yang lalu.

Andaikata kita harus diciptakan melalui suatu evolusi dalam alam semesta yang eksistensinya melalui
”big bang” direkayasa oleh Allah SWT, maka dengan analogi tersebut di atas, kemampuan kita memiliki
PC, laptop, dan sebagainya baru terjadi sejak 0,0035 detik yang lalu. Sedangkan manusia yang diciptakan
melalui evolusi ”rekayasa Allah SWT”, mempunyai ”tubuh” atau ”raga” yang tidak abadi dan ”jiwa”, ”roh”,
”batin” dan nurani” yang abadi. Jika yang tidak abadi sakit (rusak), maka harus dirawat sampai sehat
(diperbaiki. Jikalau ternyata ”mati” (tidak dapat berfungsi lagi), maka harus ”dikubur” (dibuang) . Di sini
kelihatan analoginya dengan ”PC, laptop, dan sebagainya” ciptaan manusia. Bila dibandingkan dengan
ciptaan atau rekayasa Allah SWT, ciptaan manusia tidak ada artinya. Namun logic dan dasar filsafat dan
teknologinya sama, namun sangat primitif ciptaan rekayasa manusia itu . Ternyata yang abadi itu sama
sifat dan nilainya. Pada manusia dinamakan ”jiwa”, ”roh”, ”batin” dan ”nurani”. Pada teknologi internet,
dan sebagainya, namanya software atau perangkat lunak . ”Jiwa”, ”roh”, ”batin” dan ”nurani” atau
”software manusia” adalah ”super intelligent” sedangkan ”software mesin” adalah ”sangat primitif
”Software manusia dan mesin” sifatnya ”abadi” membutuhkan ”wahana atau wadah” dan ”energi” untuk
dapat dimanfaatkan . Jika wahana atau wadah tidak dapat diperbaiki dan tidak berfungsi lagi, maka
wahana dan wadah tersebut dibuang. Untuk manusia ”raga” atau tubuh dikubur, untuk PC, laptop, dan
sebagainya, atau hardware-nya dibuang untuk di-recycle atau diproses ulang . Bagaimana nasib software
yang sifatnya abadi itu? Ke mana yang abadi itu? Di mana yang abadi itu perginya? ”Software mesin”
disimpan dalam wadah ”harddisc” yang tidak lain adalah piring magnet atau di-download pada DVD,
atau dicetak di hardcopy yang mengandung semua jejak bahasa program software tersebut. Demikian
pula terjadi dengan operating system, data yang penting, dan sebagainya . Bagaimana halnya dengan
”software manusia”, yang tidak lain adalah ”jiwa”, ”roh”, ”batin” dan ”nurani” yang sifatnya abadi itu? Di
mana mereka? Apakah mereka menyatu atau terpisah? Karena ”software manusia” ini mencerminkan
kepribadian manusia, maka kemungkinan besar ”jiwa”, ”roh”, ”batin” dan ”nurani” tetap menyatu karena
merupakan identitas seseorang. Namun ke mana identitas ini? Di mana identitas ini berada?

Ketika ”raga atau tubuh” manusia tidak berfungsi lagi, ”software manusia” akan keluar dari ”raga atau
tubuh” yang bersangkutan. Ke mana? Dan i mana energinya? Karena ”software manusia” adalah ”super
intelligent” dan memiliki memori yang abadi dan sangat besar, maka kemungkinan besar ”software
manusia” yang tidak lain adalah ”jiwa”, ”roh”, ”batin” dan ”nurani” atau ”identitas dini atau pribadi” yang
bersangkutan, maka ”software” manusia yang super intelligent kemungkinan sewaktu-waktu akan
berada dekat lingkungan yang ia kenal bahkan yang ia cinta dan sayang . Karena ”software manusia yang
super intelligent” tidak terikat pada suatu ”raga atau tubuh”, maka kemungkinan besar ”ia” terus harus
begerak ke arah sesuatu secara translatoris atau bergerak di tempat, berputar sekitar suatu sumbu atau
rotation untuk memelihara identitasnya. Tergantung dari kecepatan gerak ”identitas software manusia”,
yang bersangkutan dapat kelihatan . Namun karena yang bersangkutan tidak memiliki ”raga atau tubuh”
lagi, maka untuk menampilkan diri, dibutuhkan energi yang relatif cukup besar. Energi yang dibutuhkan
diperoleh dari semua spektrum getaran yang datang dari angkasa luar pada umumnya, khususnya dari
matahari. Apakah energi diperoleh seperti getaran gelombang radio atau getaran spektrum cahaya yang
kita kenal, ataukah getaran jiwa yang kita kenal, kita belum memahami atau mengerti mekanisme dan
bentuknya. Apakah masih ada bentuk transfer energi yang lain? Dan pemikiran dan analisis yang saya
telah lakukan, mungkin variable-variabel ”kecepatan” dan ”kuantum energi” berperan untuk
mendapatkan kejelasan dan jawaban atas pertanyaan keberadaan ”jiwa”, ”roh”, ”batin” dan ”nurani” kita
yang abadi ini, setelah ”raga” yang bersangkutan tidak berfungsi lagi. Oleh karena itu, mungkin tidak ada
salahnya jikalau kita mempertimbangkan keberadaan manusia tidak lagi terbatas pada 4 dimensi saja,
tetapi 6 dimensi, yaitu: 1. Panjang (P), 2. Lebar (L), 3.Tinggi (T), 4. Waktu(t), 5.Kecepatan (v), 6. Kuantum
Energi (KE) Namun perlu dicatat adanya kemungkinan perilaku atau kepekaan manusia sebagai berikut: •
Manusia selalu hidup dalam 6 dimensi, namun selama masih berada dalam ”Alam Dunia, ”Raga atau
TubuhBadan” manusia hanya mampu dengan pancainderanya menangkap atau merasakan empat
dimensi pertama

1. Panjang (P), 2. Lebar (L), 3. Tinggi (T) dan Waktu (t) saja. • Baru ketika ”Raga atau Tubuh/Badan”
manusia tidak berfungsi lag!, maka Jiwa, Roh, Batin, dan Nurani yang telah keluar dari Raga atau
Tubuh/Badan yang bersangkutan menjadi peka terhadap ke-6 dimensi • Namun menjadi dominan pada
kepekaan manusia itu adalah dimensi ke-5 Kecepatan (t) dan dimensi ke-6 Kuantum Energi (KE) Untuk
manusia muncul seperti ketika masih berada dalam ”Alam Dunia”, dibutuhkan banyak energi. Oleh
karena itu kemampuan pemunculannya untuk memberi Informasi hanya beberapa mili detik saja atau
melalui mimpi dan ilusi

Dari pemikiran dan analisis di atas dapat saya ambil kesimpulan khusus untuk hubungan dan perasaan
terhadap Ainun sebagai berikut: Ainun sepanjang masa berada di sekitar saya dan keluarga, selama kami
sekeluarga terus memanjatkan doa dengan getaran jiwa kami untuk Ainun. • Ainun dapat saja muncul
bersamaan di beberapa tempat melalui mimpi atau ilusi. • Manunggal jiwa, roh, batin dan nurani Ainun
dan saya mungkin saja dapat terjadi karena direkat oleh cinta Ainun dan saya yang murni, suci, sejati,
sempurna dan abadi.

• Kemanunggalan ini memberi kesan seakan Ainun masih hidup mendampingi saya • Saya ikhlas
menerima keadaan dan menjadi lebih tenang dan tegar dan tidak merasa ditinggalkan Ainun Saya akhiri
buku saya ini dengan doa khusus untuk Ainun dan saya, yang saya panjatkan tiap saat setelah saya shalat
Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Tahajud, saya mohonkan agar ganjaran dan dampak positifnya
menyentuh kami berdua - Saya dan Ainun. Hal itu saya lakukan berdasarkan bahwa kami manunggal
karena direkat oleh cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan abadi yang ditanam pada hati nurani
kami oleh Allah SWT:

Doa Habibie & Ainun

„Terima kasih Allah, ENGKAU telah lahirkan Saya untuk Ainun dan Ainun untuk Saya Terima kasih Allah,
ENGKAU telah pertemukan Saya dengan Ainun clan Ainun dengan Saya. Terima kasih Allah, hari Rabu
tanggal 7 Maret 1962, ENGKAU titipi kami hi bit Cinta yang Murni, Suci, Sejati, Sempurna dan Abadi
melekat pada diri Ainun dan Saya Terima kasih Allah, ENGKAU telah memungkinkan kami menyiram bibit
cinta ini dengan kasih sayang nilai Iman, Takwa dan budaya kami tiap saat sepanjang masa Terima kasih
Allah, ENGKAU telah menikahkan Ainun dan Saya sebagai Suomi Isteri tak terpisahkan di manapun kami
berada sepanjang masa Terima kasih Allah, ENGKAU telah perkenankan Ainun dan Saya bernaung dan
berlindung di bawah bibit cinta titipanMU ini di mana pun kami berada, sepanjang masa sampai Akhirat
Terima kasih Allah, ENGKAU telah memungkinkan kami dapat menyaksikan, merasakan, menikmati don
mengalami TitipanMU menjadi Cinta yang Paling Murni, Paling Suci, Paling Sejati, Paling Sempurna clan
Paling Abadi di seluruh Alam Semesta dan sifat ini hanya do pat dimiliki oleh ENGKAU Allah

Terima kasih Allah, ENGKAU telah menjadikan Ainun dan Saya Manunggal Jiwa, Roh, Batin, dan Nurani
kami melekat pada Diri Kami sepanjang masa di manapun Kami berada Terima kasih Allah, ENGKAU telah
memungkinkan semua terjadi sebelum Ainun dan Saya, tanggal 22 Mei 2010 pukul 17.30 untuk
sementara dipisahkan. Ainun berada dalam Alam Baru dan saya sementara masih di Alam Dunia Terima
kasih Allah, perpisahan kami berlangsung damai, tenang dan khidmat dengan keyakinan bahwa
KebijaksanaanMU adalah terbaik untuk Ainun dan Saya Berilah Ainun dan Saya petunjuk mengambil
jalan yang benar, Kekua tan untuk mengatasi apa yang sedang dan akan Kami hadapi di mana pun Kami
berada Lindungilah Ainun dan Saya dari segala Gangguan, Ancaman, dan Godaan yang dapat mencemari
Cinta, Murni, Suci, Sejati, Sempurna dan Abadi kami, sepanjang muse Amien.
Setelah doa sebagai penutup buku ,,Habibie & Ainun”, pada hari Minggu tanggal 6 November 2010
sekitar pukul 02.00 pagi, kisah menulis pasang surut pengalaman selama 48 tahun dan 10 hari, penuh
dengan kasih sayang membangun keluarga sakinah, saya akhiri. Doa ini tiap saat saya panjatkan kepada
Allah SWT, agar saya lebih tenang dan dapat mencegah tenggelam dalam kesedihan. Dan ternyata benar,
setiap kali setelah memanjatkan doa tersebut, saya menjadi lebih tegar dan bergairah. Namun, setelah
menghadiri Presidential Lecture yang diberikan oleh Presiden USA Barack Obama di Universitas
Indonesia dan menerima beberapa tamu di kediaman, saya tertidur beberapa saat dan sekitar pukul
03.00 pagi tanggal 11 November saya terbangun disertai rasa gelisah dan kerinduan pada Ainun. Saya
langsung tahajud dan berdoa untuk Ainun sebelum shalat Subuh, kemudian menulis doa yang selesai
pukul 04.11 pagi, untuk menenangkan dan mengurangi kegelisahan saya dan setelah itu melaksanakan
shalat Subuh. Doa saya tersebut sbb: MANUNGGAL

ALLAH, lindungilah kami Dan i segala gangguan, godaan dan kejahatan Yang datang dari luar dan dalam
Mencemari yang ENGKAU tanam di din i kami, Bibit Cinta Cinta , Murni, Suci, Sejati, Sempurna dan Abadi
Sepanjang masa, kami siram tiap saat dengan kasih sayang Kami bernaung dan berlindung dibawah Bibit
Cinta ini Cinta yang telah menjadikan kami Man unggal Man unggal Jiwa, Rob, Batin dan Nurani kami
Sepanjang masa, sampai Akhirat

Terima kasih Allah, ENGKAU telah pisahkan kami Semen tara berada dalam keadaan berbeda

Isteriku Ainun dalam Dimensi Baru dan Alam Baru

Saya dalam Dimensi Alum Dunia Terima kasih Allah, sebelum kami dipisahkan ENGKAU telah jadikan
kami manunggal Saya manunggal dengan Ainun sepanjang masa Memperbaiki, menyempurnakan dan
menyelesaikan Rumah kami di Alam Dunia sesuai dengan keinginanMU Ainun man unggal dengan saya
sepanjang masa Membangun ”Raga” kami yang Abadi di Alam Baru Murni, Suci dan Sempurna sesuai
dengan keinginanMU

Terima kasih Allah, EIVGKAU telah menjadikan bibit

CintaMU ini paling Murni, paling Suci, paling Sejati dan paling Sempurna. Sifat ini di seluruh Alam
Semesta hanya mungkin dim iliki ENGKAU

Jika sampai waktunya Tugas kami di Alam Dunia dan di Alam Baru selesai Ternpatkanlah kami Man
unggal di sisiMU Karena Cinta Murni, Suci, Sejati, Sempurna dan Abadi Dalam ”Raga ”yang Abadi,
dibangun Ainun Man unggal dengan saya Sesuai kehendakMU di Alum Baru sepanjang masa

Jiwa, Roh, Batin, ”Raga” dan Nurani kami, Abadi sampai Akhi rat

Anda mungkin juga menyukai