Anda di halaman 1dari 2

Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon [1718 – 1725], hidup

seorang cowok yang ganteng, kaya, bersahaja dan menjadi idola para gadis. Pieter Erberveld, lelaki
keturunan Jerman-Thailand pemilik tanah yang luas di belakang Portugese Buitenkerk (sekarang
GPIB Sion, Jakarta). Meski ayahnya dulu adalah komandan kavaleri VOC dan menjadi orang
kepercayaan Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda [1681-1684]; Pieter sangat
membenci VOC. Hal ini dikarenakan setelah Speelman tak berkuasa, pemerintah yang berkuasa
menyita harta ayahnya karena dianggap tak memiliki akta yang disahkan oleh VOC.
Pieter bersahabat dengan Raden Ateng Kartadria seorang keturunan ningrat dari Banten. Mereka
lalu berkonspirasi dengan beberapa kawan yang sejalan untuk melakukan pemberontakan dan
membunuh orang-orang Belanda tepat pada malam pergantian tahun baru 31 Desember 1722.
Dianggap membahayakan pemerintah VOC; satu malam Pieter dan kawan-kawan yang sedang
mengadakan pertemuan rahasia di rumah Pieter digerebek oleh tentara Belanda. Pieter dan
Kartadria beserta 17 pengikut mereka ditangkap dan dibawa ke pengadilan delapan bulan sebelum
rencana mereka berjalan.
Ada beberapa versi terbongkarnya pertemuan malam itu:
Pertama: Raden Ateng Kartadria melaporkan persekongkolan tersebut karena khawatir bila rencana
itu berhasil posisinya akan goyang. Nyatanya, Kartadria ikut digrebek dan dihukum secara kejam
bersama Pieter.
Kedua: Zwaardecroon berencana untuk membeli tanah milik Pieter tapi tanah warisan tersebut tidak
dijual. Karena marah, Zwaardecroon mengeluarkan perintah agar Pieter disingkirkan.
Ketiga: konon kabarnya pertemuan itu dibocorkan oleh seorang perempuan yang menaruh hati pada
seorang perwira Belanda. Tak kuat bila kehilangan pujaan hatinya, ia pun melaporkan kegiatan
kumpul-kumpul tersebut.
Pada 22 April 1772 Pieter, Kartadria dan ke-17 pengikutnya digiring ke lapangan di bagian selatan
kastil Batavia dan dihukum dengan cara yang keji. Badan Pieter dan Kartadria diikatkan ke empat
ekor kuda yang ditarik keempat penjuru hingga kulit mereka pecah-pecah *arrrrgggghhhh*.
Peristiwa keji itu dikenal dengan petjah koelit dan tempat pelaksanaan hukumannya yang sekarang
berada di sekitar Jl Pangeran Jayakarta dikenal sebagai Kampung Pecah Kulit.
Sebagai pembelajaran terhadap kasus Pieter Erberveld, pemerintah VOC membangun sebuah
monumen di depan rumah Pieter. Di bagian atas monumen tersebut ditancapkan kepala Pieter dan
pada dindingnya dipasang sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Jawa. Secara
bebas diterjemahkan sebagai berikut:
Untuk mengenang penghianat negara yang terkutuk Pieter Erberveld, dilarang mendirikan bangunan
atau bercocok tanam di tempat ini sekarang dan sampai hari kiamat. Batavia , 14 April 1722
Kalau dilihat dari penanggalannya agak janggal karena peristiwa pembantaian itu terjadi 22 April
bukan 14 April 1722. Bisa jadi pada saat membuat prasastinya, tukangnya salah memahat tanggal
sementara kalau harus mengulang lagi kelamaan. Potongan monumen asli tersebut masih bisa kita
lihat di pelataran dalam Museum Sejarah Jakarta sedang replika monumen yang pernah dibuat di
tempat aslinya bisa kita nikmati di Museum Taman Prasasti, Jakarta. Lahan bekas tempat
didirikannya monumen itu sekarang telah berubah menjadi showroom Toyota.
Pada Oktober 1724, dua tahun setelah peristiwa Erberveld; Zwaardecroon mengundurkan diri dari
jabatannya. Ia meninggal pada 12 Agustus 1728 dan dimakamkan di halaman Portugese Buitenkerk.
Sampai hari ini makamnya masih bisa kita jumpai di halaman samping GPIB Sion, Jakarta.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah Pieter Erberveld? Dari jaman baheula tiga unsur yang
memegang perananan penting dalam kejatuhan manusia itu abadi hingga sekarang: Tahta, Harta
dan Wanita/Pria. Sejarah sering berulang karena kita tak pernah mau belajar dari pengalaman masa
lalu

Anda mungkin juga menyukai