Anda di halaman 1dari 57

Leukemia Mieloid Akut (AML)

DEFINISI
Leukemia mieloid adalah kelompok penyakit heterogen ditandai dengan
infiltrasi sel neoplastik sistem hemopoitik pada darah, sumsum tulang, dan
jaringan lain oleh. Pada tahun 2006 perkiraan jumlah kasus baru leukemia mieloid
di Amerika Serikat sebesar 16.430. Kasus tersebut termasuk ganas, tidak dapat
diobati, mulai dari yang progresif cepat hingga progresif lambat. Berdasarkan hal
1
tersebut, leukemia mieloid dibagi menjadi akut dan kronis .

KLASIFIKASI AML
Klasifikasi menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) termasuk
perbedaan secara biologi berdasarkan imunofenotip, kondisi klinis, sitogenetik
dan molekul aabnormal serta morfologinya. Berbeda dengan klasifikasi French-
American-British (FAB), klasifikasi WHO hanya terbatas pada sitokimia.
Perbedaan utama antara klasifikasi WHO dan FAB terletak pada diagnosis AML,
pada klasifikasi WHO terdapat 20% sindrom mielodisplastik (MDS), sedangkan
pada pada FAB 30% MDS. WHO mengklasifikasikan AML dengan 20-30% blast
dapat mendapatkan terapi untuk MDS (seperti desitabin atau 5-azacitidin), dimana
1
dahulu pernah Badan Pengelola Obat dan Makanan (FDA) .
Tabel 1. Sistem Klasifikasi AML Menurut WHO 4.
Klasifikasi Kriteria
I AML dengan abnormal genetik berulang
AML disertai t(8;21)(q22;q22);RUNX1/RUNX1T*b
AML disertai eosinofil sumsum tulang abnormal [inv(16)(p13q22) or
t(16;16)(p13;q22);CBFB/MYH11*
Acute promyelocytic leukemia [AML disertai t(15;17)(q22;q12)
(PML/RAR) dan variasinya]*
AML dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II AML dengan dysplasia multilineage
Disertai MDS atau gangguan proliferative mielo
Tanpa MDS antecedent
III AML dan MDS, yang berhubungan dengan terapi:
Alkylating agent
Topoisomerase type II inhibitor
Tipe lain
IV AML tidak terkategorikan
AML terdeferensiasi minimal
AML tanpa maturasi
AML dengan maturasi
Leukemia mielomonositik akut
Acute monoblastic and monocytic leukemia
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakarioblastik akut
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis
Sarkoma myeloid
*Diagnosis AML tanpa memperhatikan jumlah blast.

22
Tabel 1. Sistem Klasifikasi AML Menurut FAB 5.
Klasifikasi Kriteria Insiden
M0 Leukemia berdiferensiasi minimal 5%
M1 Leukemia mieloblastik tanpa maturasi 20%
M2 Leukemia mieloblastik dengan maturasi 30%
M3 Leukemia promielositik hipergranular 10%
M4 Leukemia mielomonositik 20%
M4Eo Variasi: peningkatan eosinofil sumsum
abnormal
M5 Leukemia monositik 10%
M6 Eritroleukemia (DiGuglielmo's disease) 4%
M7 Leukemia megakarioblastik 1%

ETIOPATOGENESIS
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari AML tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa factor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya
menjadi factor predisposisi AML pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa
kimia yang banyak digunakan pada industry penyamakan kulit dinegara
berkembang, diketahui merupakan zat leukogenik untuk AML. Selain itu radiasi
ionic juga diketahui dapat menyebabkan AML. Ini diketahui dari penelitian
tentang tingginya insidensi kasus AML pada orang-orang yang selamat dari
seragan bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukogenik
dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah
pengeboman dan mencapai puncaknya 6-7 tahun sesudah pengeboman. Faktor
lain yang diketahui merupakan predisposisi untuk AML adalah trisomi kromosom
21 yang dijumpai pada penyakit sindroma down. Pasien sindroma down dengan
trisomi kromosom 21 mempunyai resiko 10-18 kali lebih tinggi untuk menderita
leukemia khusunya AML tipe M7. Selain itu beberapa sindrom genetic seperti
sindrom Bloom dan anemia fanconi juga diketahui memiliki resiko yang jauh
1
lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk penderita AML .

Faktor lain yang dapat memicu terjadinya AML adalah pengobatan dengan
kemoterapi tumor padat. Leukimia mieloid akut akibat terap adalah komplikasi
jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, myeloma multiple, kanker
payudara, kanker ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering

23
memicu timbulya AML adalah golongan alkylating agent dan topoisomerase
1
inhibitor .
Patogenesis utama AML adalah blockade maturitas yang menyebabkan
proses diferensiasi sel-sel mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat
terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Keadaan ini akan menyebabkan
gangguan hematopoiesis normal yang pada gilirannya akan mengakibatnkan
sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan adanya sitopenia.
Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang berat
dapat disertai dengans sesak napas, adanya trombositopenia akan menyebabkan
tanda-tanda perdarahan sedang adanya leucopenia akan menyebabkan pasien
rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunitis dari for a normal yang ada di
dalama tubuh manusia. Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga punya
kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ
lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak, dan system saraf pusat serta merusak
1
organ-organ tersebut dengan segala akibatnya .

MANIFESTASI KLINIK
Gejala
Pasien dengan AML seringkali menunjukkan gejala tidak spesifik yang
dimulai dengan anemia, leukositosis, leucopenia atau disfungsi leukosit, atau
trombositopeni baik secara berangsur-angsur maupun tiba-tiba. Hampir sebagian
besar menunjukkan gejala tersebut selama + 3 bulan sebelum didiagnosis
1
leukemia .

Sebagian besar menyebutkan gejala awal adalah fatigue (kelemahan) atau


anoreksia dan penurunan berat badan. Demam dengan atau tanpa infeksi
merupakan gejala awal pada 10% pasien. Tanda perdarahan abnormal (berdarah,
mudah lebam) terjadi pada 5% pasien. Selain itu juga didapatkan nyeri tulang,
1
limfadenopati, sakit kepala non spesifik atau diaphoresis .

24
A B

C
Gambar 2. A. Infeksi orbita pada seorang wanita. B. Gusi bengkak dan berdarah
karena infiltrasi oleh sel leukemik. C. Purpura
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan dapat ditemukan demam, splenomegali, hepatomegali,
limfadenopati, sternum melunak, dan adanya bukti infeksi dan perdarahan.
Perdarahan gastrointestinal, intrapulmonary, atau intracranial seringkali
didapatkan pada akut premyelosit leukemia (APL). Perdarahan akibat koagulopati
dapat terjadi pada monositik AML disertai leukositosis atau trobositopenia yang
parah. Perdarahan retinal ditemukan pada 15% pasien. Infiltrasi leukemik blast
pada gingival, kulit, jaringan lunak atau meningen saat diagnosis merupakan
1
karakteristik subtype monositik dan kromosom 11q23 yang abnormal .
Hematologi
Pada umumnya didapatkan anemia yang parah. Derajat keparahan tersebut
terlepas dari temuan hematologi, splenomegali atau durasi dari gejala. Anemia
yang terjadi biasanya normositik normokrom. Penurunan eritropoiesis seringkali
menurunkan jumlah retikulosit dan sel darah merah (SDM) yang beredar pada
pembuluh darah menurun akibat destruksi. Perdarahan aktif juga mempengaruhi
1
timbulnya anemia .

25
Rata-rata pada hitung leukosit didapatkan 15.000/SL. Sekitar 25-40%
pasien didapatkan hitung leukosit < 5000/ SL dan >100.000/ SL. Kurang dari 5%
tidak terdeteksi sel leukemia dalam darahnya. Morfologi sel ganas bervariasi,
pada AML seringkali sitoplasmanya terutama mengandung granula (nonspesifik),
nukleus tajam, kromatinnya kasar dengan satu atau lebih nukleolus yang
menandakan sel immature. Granula rod-shaped abnormal disebu auer rods tidak
selalu ada, namun jika ada hamper selalu merupakan mieloid yang diturunkan
(Gambar 3.)

Gambar 3. Morfologi sel AML. A. Populasi sel myeloblas dengan kromatin


imatur, nucleolus pada beberapa sel, dan didominasi granula sitoplasmik. B. Myeloblas
leukemik yang mengandung auer rod. C. Sel promyelositik leukemia dengan sitoplasma
prominen yang didominasi granula. D. Pewarnaan peroksidase menunjukkan warna biru
1
gelap yang merupakan karakteristik granula pada AML .
Hitung platelet <100.000/SL ditemukan pada 75% pasien AML, dan
sekitar 25% didapatkan hitung platelet <25.000/SL. Morfologi dan fungsi
abnormal platelet dapat diobservasi, termasuk besar dan bentuk yang aneh dengan
granulasi abnormal dan ketidakmampuan platelet untuk agregasi (berumpul) dan
1
adesi (menempel) secara normal antara yang satu dengan yang lain .

26
PENATALAKSANAAN
Pada umumnya pengobatan pasien yang baru didiagnosis AML terdiri dari
dua fase, yaitu fase induksi dan penatalaksanaan postremisi (Gambar 4.). Tujuan
utama pengobatan adalah tercapainya remisi lengkap. Sekali diperoleh remisi
lengkap, selanjutnya terapi pasti dapat membuat pasien bertahan lama dan
mencapai penyembuhan. Terapi induksi awal dan terapi postremisi seringkali
dipilih berdasarkan usia. Pengaruh terapi secara intensif menggunakan agen
kemoterapi tradisional seperti sitarabin antrasiklins pada pasien usia muda (<60
tahun) menunjukkan peningkatan penyembuhan AML. Pada pasien yang lebih tua,
1
keuntungan diberikan pengobatan yang teratur masih kontroversial .

Gambar 4. Algoritma terapi baru AML untuk semua bentuk AML kecuali APL,
terapi standar termasuk infus sitrabin selama 7 hari (100-200 mg/m 2 per hari) dan
daunorubisin selama 3 hari (60 mg/m 2 per hari) atau idarubisin (12-13 mg/ m 2 per hari)
dengan atau tanpa etoposid selama 3 hari. Pasien yang menjalani terapi post remisi
konsolidasi, termasuk yang mendapatkan sitarabin dosis tinggi, SCT, kombinasi
kemoterapi dengan SCT alogenik atau terapi baru berdasarkan prediksi risiko kambuh
(risiko terapi). Pasien dengan APL biasanya menerima tretinoin bersama-sama dengan
kemoterapi antrasiklin untuk induksi remisi dan kemudian kemoterapi konsolidasi
(danorubisisn) diikuti oleh tretinoin maintenance dengan atau tanpa kemoterapi. Peran
1
sitarabin pada induksi APL dan konsolidasi masih kontroversial .
Kemoterapi Induksi

27
Regimen yang sering digunakan untuk remisi lengkap adalah regimen
induksi (untuk pasien dengan APL) terdiri dari kemoterapi kombinasi dengan
sitarabin dan antrasiklin. Sitarabin adalah antimetabolit spesifik siklus sel fase S
yang mengubah phosphorylated intraseluler menjadi triphosphate bentuk aktif
yang mengganggu sintesis DNA. Antrasiklins are DNA intercalaters. Mekanisme
kerjanya melalui penghambatan topoisomerase II, yang menyebabkan pemutusan
DNA. Sitarabin biasanya diberikan melalui infus selama tujuh hari. Terapi
antrasiklin pada umumnya terdiri dari daunorubisin intravena pada hari 1, 2, dan 3
(7 dan 3 regimen). Terapi dengan idarubisin selama 3 hari dikombinasikan dengan
sitarabin selama tujuh hari melalui infus setidaknya sama efektivitasnya bahkan
lebih baik dibandingkan daunorubisin pada pasien yang lebih muda. Penambahan
1
etoposide dapat meningkatkan durasi remisi lengkap .

Setelah kemoterapi induksi, sumsum tulang diperiksa untuk menentukan


apakah leukemia telah dieliminasi. Jika terdapat 5% blast dengan 20% selularitas,
pasien biasanya diobati kembali dengan sitarabin dan antrasiklin dosis yang sama
seperti awal, namun masing-masing hanya selama 5 dan 2 hari. Pasien yang gagal
mencapai remisi lengkap setelah dua program induksi harus segera dilanjutkan
dengan transplantasi sel induk alogenik (SCT) jika tersedia donor yang sesuai.
Pendekatan ini hanya diterapkan untuk pasien usia kurang dari 70 tahun dengan
1
fungsi end-organ yang dapat diterima .

Pada 65-75% orang dewasa dengan AML de novo dibawah usia 60 tahun
dapat mencapai remisi lengkap dengan 7 dan 3 regimen sitarabin/ daunorubisin
seperti diuraikan di atas. Dua per tiga mencapai remisi lengkap setelah terapi
tunggal, dan satu per tiga membutuhkan 2 program. Sekitar 50% pasien tidak
mencapai remisi lengkap karena tidak tahan denga obat leukemia, dan 50% tidak
mencapai remisi lengkap karena komplikasi fatal aplasia sumsum tulang atau
gangguan pemulihan sel-sel induk normal. Tingginya mortalitas akibat terapi
induksi dan frekuensi ketahanan terhadap penyakit telah diamati seiring dengan
bertambahnya usia dan pada pasien dengan gangguan hematologi sebelumnya
(MDS atau sindroma mieloproliferatif) atau kemoterapi untuk keganasan lainnya

1.

28
Berbasis regimen cytarabin dosis tinggi memiliki tingkat remisi lengkap
yang sangat tinggi setelah satu siklus terapi. Ketika diberikan dalam dosis tinggi,
sitarabin dapat masuk ke dalam sel, saturasi sitarabin menginaktivasi enzim dan
meningkatkan kadar 1-β-D arabinofuranylcytosine-triphosphate,suatu metabolit
aktif yang bermanfaat untuk DNA. Dengan demikian, sitarabin dosis tinggi dapat
meningkatkan hambatan sintesis DNA dan oleh karena itu dapat mengatasi
resistensi sitarabin dosis standar. Dalam dua penelitian acak, sitarabin dosis tinggi
dengan antrasiklin menghasilkan tingkat remisi lengkap yang sama dengan yang
dicapai regimen standar 7 dan 3. Namun durasi remisi lengkap sitarabin dosis
1
tinggi lebih lama dibandingkan dengan sitarabin dosis standar .

Toksisitas hematologi sitarabin dosis tinggi pada regimen induksi lebih


besar dibandingkan 7 dan 3 regimen. Toksisitas sitarabin dosis tinggi meliputi
myelosupresan, toksisitas pulmonal dan kadang-kadang toksisitas serebelar
ireversibel. Semua pasien yang diterapi dengan sitarabin dosis tinggi harus
diawasi secara ketat terhadap toksisitas serebelar. Pemeriksaan serebelar lengkap
harus dilakukan sebelum dosis masing-masing diberikan, jika terbukti terdapat
toksisitas serebelar maka dosis sitarabin harus diturunkan. Toksisitas lebih sering
terjadi pada pasien yang mengalami kerusakan ginjal dan pasien usia lebih dari 60
tahun oleh karena itu penggunaan cytarabin dosis tinggi dibatasi pada pasien AML
1
dengan usia tua .

Perawatan penunjang
Perawatan dilakukan untuk selama beberapa minggu mengatasi timbulnya
granulositopenia dan trombositopenia yang sangat penting untuk keberhasilan
terapi AML. Pasien dengan AML harus dirawat oleh ahli. Faktor pertumbuhan
hematopoietik rekombinan telah dimasukkan dalam uji klinis pada AML.
Percobaan ini dirancang untuk menurunkan tingkat infeksi setelah kemoterapi. G-
CSF dan faktor stimulasi koloni makrofag granulosit (GM_CSF) mengurangi
waktu rata-rata pemulihan neutrofil rata-rata 5-7 hari. Cepatnya pemulihan
neutrofil bagaimanapun juga masih belum dapat diartikan bahwa infeksi telah
teratasi atau dapat mempersingkat rawat inap.Sebagian besar penelitian acak yang

29
dilakukan menunjukkan bahwa G-CSF dan GM-CSF gagal meningkatkan remisi
lengkap, disease-free survival, dan kemampuan hidup keseluruhan. Meskipun
reseptor G-CSF dan GM-CSF terdapat pada AML, efikasi terapi tidak
meningkatkan maupun menghambatnya. Penggunaan factor pertumbuhan sebagai
terapi penunjang pasien AML masih controversial. Terapi tersebut
direkomendasikan pada pasien usia lanjut dengan terapi yang rumit, mereka yang
menerima regimen postremisi secara intensif, pasien dengan infeksi yang tidak
1
terkendali, atau mereka yang berpartisipasi dalam uji klinis .
Kateter multilumen atrium kanan harus dipasang pada pasien yang baru
terdiagnosis AML segera setelah kondisinya stabil. Kateter tersebut digunakan
untuk memasukkan obat intravena dan transfuse serta untuk pengambilan darah.
Perlu dipertimbangkan memasang kateter yang dilapisi antibiotik jika risiko
1
infeksi tinggi .

Dukungan bank darah yang adekuaat dan memadai sangat penting pada
terapi AML. Transfusi trombosit harus diberikan untuk mempertahankan hitung
trombosit >10.000-20.000/SL. Jumlah trombosit harus tetap tinggi pada pasien
demam dan selama episode perdarahan aktif atau DIC. Pasien dengan
penambahan jumlah trombosit yang sedikit post transfusi, akan lebih baik jika
diberikan trombosit dari antigen leukosit manusia (HLA) dari donor yang sesuai.
Transfusi sel darah merah harus diberikan untuk menjaga kadar hemoglobin >80
g/L (8g/dL) jika tidak terdapat perdarahan aktif, DIC atau gagal jantung kongestif.
Produk darah leukodepletion harus digunakan untuk menghindari atau menunda
terjadinya aloimunisasi serta reaksi demam. Produk darah juga harus diiradiasi
unuk mencegah graft-versus-host disease (GVHD). Produk darah yang tidak
mengandung cytomegalovirus (CMV) . Produk darah juga harus iradiasi untuk
mencegah transfuse terkait penyakit graft-versus-host (GVHD). Pada pasien yang
akan dilakukan allogenik SCT yang cytomegalovirus (CMV) seronegatif harus
diberikan roduk darah yang tidak mengandung CMV. Produk darah
leukodepletion juga efektif diberikan untuk pasien tersebut jika produk darah
1
CMV negatif tidak tersedia .

30
Infeksi tetap merupakan komlikasi utama yang menyebabkan morbiditas
dan kematian selama kemoterapi induksi dan post remisi. Pemberian antibiotic
profilaksis jika tidak terdapat demam masih controversial. Nistatin oral atau
clotrimazole direkomendasikan untuk mencegah kandidiasis. Acyclovir profilaksis
efektif diberikan untuk mencegah reaktivasi infeksi herpes oral latent pada pasien
1
yang memiliki titer positif terhadap antibody virus herpes simpleks .

Pada kebanyakan pasien AML biasanya mengalami demam, namun infeksi


hanya terjadi pada separuh dari pasien yang demam. Secara empiris, pemberian
antibiotik spektrum luas dan antijamur di awal secara nyata dapat mengurangi
jumlah pasien yang meninggal akibat komplikasi infeksi. Regimen antibiotik
gram negatif yang adekuat perlu diberikan diawal demam pada pasien dengan
granulositopeni, termasuk pemeriksaan fisik lengkap, lokasi keluar kateter, dan
pemeriksaan perirektal, serta kultur dan radiografi untuk mencari sumber demam.
Regimen antibiotik spesifik harus didasarkan sesuai dengan peta kuman tempat
pasien dirawat. Regimen yang dapat diberikan termasuk imipenemcilastin,
penisilin semisintetik antipseudomonal, misalnya piperasilin dikombinasikan
dengan aminoglikosida, sefalosporin generasi dengan antipseudomonal, misalnya
seftazidim atau sefepim atau kombinasi ganda β-laktam (seftazidim dan
piperasilin). Aminoglikosida harus dihindari pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Pada pasien yang alergi dengan penisiln, aztreonam dapat digunakan untuk
menggantikan β-laktam. Aztreonam lebih baik dikombinasikan dengan
aminoglikosida atau antibiotika kuinolon dibandingkan digunakan sendiri. Secara
empiris vancomisin tidak diberikan di awal jika tidak dicurigai adanya infeksi
gram positif atau mukositis, namun harus diberikan diawal pada pasien
neutropenia dengan demam yang menetap selama tiga hari, terapi empiris
antijamur sistemik ditambahkan jika demam menetap sampai 7 hari. Efikasi
vorikonazol sama dan toksisitasnya lebih kecil dibandingkan dengan amfoterisin-
B. Pemberian caspofungin atau amfoterisin liposomal dipertimbangkan jika tidak
responsif atau tidak mentolerir terhadap terapi lini pertama. Antibakteri atau
antifungal harus dilanjutkan sampai pasien tidak neutropeni, terlepas penyebab
1
demam telah ditemukan .

31
Terapi Post Remisi
Induksi remisi lengkap pertama yang tahan lama sangat penting untuk
jangka panjang kesembuhan AML. Namun tanpa terapi lanjutan biasanya pasien
akan kambuh. Sekali mengalami kekambuhan, pada umumnya hanya dapat diatasi
dengan SCT. Post remisi terapi dirancang untuk mengeradikasi sel-sel leukemia
residual untuk mencegah kekambuhan dan memperpanjang survival rate. Post
remisi terapi pada AML sering berdasarkan pada usia (lebih muda dari 55-65 dan
lebih tua dari 55-65). Pada umumnya pasien yang lebih muda diberikan
kemoterapi intensif dan SCT alogenik atau autologous. Dosis tinggi sitarabin lebih
efektif dibandingkan sitarabin dosis standar. Kanker dan leukemia kelompok B
(CALGB) misalnya, membandingkan durasi remisi lengkap secara random pada
pasien post remisi untuk empat siklus tinggi dosis sitarabin (3 g/m2, setiap 12 jam
pada hari 1, 3, dan 5), intermediet (400 mg/m2 selama 5 hari melalui infus) atau
standar (10 mg/m2 selama 5 hari hari melalui infus). Dosis tinggi sitarabin secara
nyata memperlama remisi lengkap dan meningkatkan fraksi penyembuhan pada
pasien dengan baik pada sitogenetik normal, namun tidak secara nyata berefek
1
pada pasien dengan kariotipe yang abnormal .
Tabel 1. Agen baru terpilih berdasarkan penelitian untuk terapi AML pada
1
dewasa .
Jenis Obat Contoh preparat
MDR1 modulators Cyclosporine, LY335979
Demethylating agents Decitabine, 5-azacytidine, zebularine
Histone deacetylase Suberoylanilide hydroxamic acid (SAHA), MS275,
inhibitors LBH589, valproic acid
Heavy metals Arsenic trioxide, antimony
Farnesyl transferase R115777, SCH66336
inhibitors
FLT3 inhibitors SU11248, PKC412, MLN518, CHIR-258
HSP-90 antagonists 17-allylaminogeldanamycin (17-AAG) or derivatives
BCR-ABL PDGFR/KIT Imatinib (ST1571, Gleevec), dasatinib, nilotinib
inhibitors
Telomerase inhibitor GRN163L

32
Cell cycle inhibitors Flavopiridol, CYC202 (R-Roscovitine), SNS-032
Nucleoside analogues Clofarabine, troxacitabine
Humanized antibodies Anti-CD33 (SGN33), anti-DR4, anti-DR5, anti-KiR
Toxin-conjugated Gemtuzumab ozogamicin (Mylotarg)
antibodies
Radiolabeled antibodies Yttrium-90-labeled human M195
Kekambuhan
Sekali terjadi kekambuhan, pasien jarang bisa disembuhkan dengan
mengunakan dosis standar. Pasien yang memenuhi syarat alogenik SCT harus
mendapatkan transplantasi segera pada saat pertama kali timbul tanda
1
kekambuhan .

Prognosis
Beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan remisi lengkap,
lamanya dan tingat kesembuhan remisi lengkap AML. Remisi lengkap ditetapkan
dari hasil:
1. pemeriksaan darah dan sumsum tulang. Hitung neutrofil harus > 1000/SL dan
hitung platelet > 100.000/ SL. Kadar hemoglobin tidak dipertimbangkan
dalam penentuan remisi lengkap. Sirkulasi blast harus tidak ditemukan. Jika
terdeteksi blast yang aneh pada darah selama regenerasi sumsum tulang, maka
harus dilakukan pemeriksaan selama 3 hari berturut-turut. Selularitas sumsum
tulang harus >20% dengan maturasi trilineage. Pada pasien yang menunjukkan
morfologi remisi lengkap, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
kemungkinan penyakit residual dengan menggunakan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi AML-associated
molecular abnormalities dan sitogenetik metaphase lainnya atau sitogenik
interfase dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) untuk mendeteksi
1
AML-associated cytogenetic aberrations .

2. Umur merupakan faktor resiko yang penting pada diagnosis. Semakin tua
1
umur pasien AML maka prognosisnya semakin buruk .
3. Kromosom. Pasien dengan t(15;17) 80% prognosisnya sangat baik, t(8;21) and
inv(16) 50% prognosisnya baik, pasien tanpa abnormalitas sitogenetik

33
40% cukup menunjukkan hasil hasil yang. Pasien dengan kariotipe yang
1
kompleks t(6;9), inv(3), atau 7 prognosisnya sangat buruk .
4. Interval gejala yang berkepanjangan, pada pasien yang menunjukkan gejala
anemia, leukopenia, dan atau thrombositopenia selama lebih dari tiga bulan
1
sebelum didiagnosis AML prognosisnya buruk .
1
5. Responsifitas terhadap kemoterapi .
AKUT LIMFOBLASTIK LEUKEMIA (ALL)/
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

A. PENGERTIAN
 Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang didominasi
oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan yang sering
ditemukan pada masa anak-anak (25-30% dari seluruh keganasan pada anak), anak laki lebih
sering ditemukan dari pada anak perempuan, dan terbanyak pada anak usia 3-4 tahun. Faktor
risiko terjadi leukimia adalah faktor kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi faktor
hormonal,infeksi virus (Ribera, 2009).

 Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel-sel prekursor
limfoid, yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi limfosit T dan limfosit B.
LLA ini banyak terjadi pada anak-anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi pada orang
dewasa. Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel T, dan sisanya
adalah keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan didominasi oleh anak-
anak usia < 15 tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 3-5 tahun (Landier dkk, 2004)

C. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Genetik
a. keturunan
1. Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma
Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van
Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan
neurofibromatosis. Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan
informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang
tidak stabil, seperti pada aneuploidy.
2. Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus
leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada keluarga
dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan,
misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang
meningkat pada leukemia akut, khususnya ALL ,
2. Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia
pada hewan termasuk primata. Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent
DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim
ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada
hewan. (Wiernik, 1985). Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada
manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T-
Cell Leukemia.
3. Bahan Kimia dan Obat-obatan
a. Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia (misal : benzen) dihubungkan dengan peningkatan insidensi
leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. Selain benzen
beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk –
produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik
b. Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat
mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan
AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan
sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML
4. Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia (ANLL) ditemukan pada pasien-
pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti
peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom.
Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal :
pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .
5. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary
Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya penyakit
Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara. Hal ini disebabkan karena obat-obatan
yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan
kerusakan DNA .

E. PATOFISIOLOGI
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan leukosit
atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh
dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke
dalam lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal
bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai
hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul,
tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan
pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai
tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat
mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk
untuk menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel
muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis, kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah
leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil
pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan
limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel
B intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga berasal dari sel
stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur, cimmom thymosit,
timosit matur, dan menjadi sel limfosit T helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular
sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit
tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit
kepala, muntah-muntah, “seizures” dan gangguan penglihatan.
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang
berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan
menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum
tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini
menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit,
sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan
pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta
persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit
mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel
kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan
sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga
mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer &
Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).

PATWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
leukemia limfositik akut menyerupai leukemia granulositik akut dengan tanda dan
gejala dikaitkan dengan penekanan unsur sumsum tulang normal (kegagalan sumsum tulang)
atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di
sumsumtulang menyebabkan berkurangnya sel-sel normal di darah perifer dengan
manifestasi utama berupa infeksi, perdarahan, dan anemia. Gejala lain yang dapat ditemukan
yaitu:
1. Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
2. Anoreksia, kehilangan berat badan, malaise
3. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel leukemia),
biasanya terjadi pada anak
4. Demam, banyak berkeringat pada malam hari(hipermetabolisme)
5. Infeksi mulut, saluran napas, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah
gramnegatif usus
6. stafilokokus, streptokokus, serta jamur
7. Perdarahan kulit, gusi, otak, saluran cerna, hematuria
8. Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati
9. Massa di mediastinum (T-ALL)
10. Leukemia SSP (Leukemia cerebral); nyeri kepala, tekanan intrakranial naik,
muntah,kelumpuhan saraf otak (VI dan VII), kelainan neurologik fokal, dan
perubahan statusmental.

G. PEMERIKSAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang mengenai leukemia adalah :
1. Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.
2. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml
3. Retikulosit : jumlah biasanya rendah
4. Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)
5. SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP yang imatur
(mungkin menyimpang ke kiri). Mungkin ada sel blast leukemia.
6. PT/PTT : memanjang
7. LDH : mungkin meningkat
8. Asam urat serum/urine : mungkin meningkat
9. Muramidase serum (lisozim) : penigkatabn pada leukimia monositik akut dan
mielomonositik.
10. Copper serum : meningkat
11. Zinc serum : meningkat/ menurun
12. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih
dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid,
sel matur, dan megakariositis menurun.
13. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan

H. KOMPLIKASI
1. Perdarahan
Akibat defisiensi trombosit (trombositopenia). Angka trombosit yang rendah ditandai
dengan:
a. Memar (ekimosis)
b. Petekia (bintik perdarahan kemerahan atau keabuan sebesar ujung jarum dipermukaan
kulit)
Perdarahan berat jika angka trombosit < 20.000 mm3 darah. Demam dan infeksi dapat
memperberat perdarahan
2. Infeksi
Akibat kekurangan granulosit matur dan normal. Meningkat sesuai derajat netropenia dan
disfungsi imun.
3. Pembentukan batu ginjal dan kolik ginjal.
Akibat penghancuran sel besar-besaran saat kemoterapi meningkatkan kadar asam urat
sehingga perlu asupan cairan yang tinggi.
4. Anemia
5. Masalah gastrointestinal.
a. mual
b. muntah
c. anoreksia
d. diare
e. lesi mukosa mulut
Terjadi akibat infiltrasi lekosit abnormal ke organ abdominal, selain akibat kemoterapi.
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Leukemia Limfoblastik Akut :
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel
leukemik sehingga sel noramal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang. Penderita yang
menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa
minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.

Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan:


transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi
perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi
sering digunakan dan dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu
kombinasi terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan
antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di otak, biasanya
diberikan suntikan metotreksat langsung ke dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke
otak. Beberapa minggu atau beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk
menghancurkan sel leukemik, diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi)
untuk menghancurkan sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun.
Sel-sel leukemik bisa kembali muncul, seringkali di sumsum tulang, otak atau buah zakar.
Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum tulang merupakan masalah yang sangat serius.
Penderita harus kembali menjalani kemoterapi. Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan
kesempatan untuk sembuh pada penderita ini. Jika sel leukemik kembali muncul di otak,
maka obat kemoterapi disuntikkan ke dalam cairan spinal sebanyak 1-2 kali/minggu.
Pemunculan kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya diatasi dengan kemoterapi dan
terapi penyinaran.
pentostatin.

Penatalaksanaan lain:
1. Pelaksanaan kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan kanker ini
menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada jenis
leukemia, pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:
 Melalui mulut
 Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena)
 Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam pembuluh darah
balik besar, seringkali di dada bagian atas - perawat akan menyuntikkan obat ke dalam
kateter, untuk menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak
nyaman dan/atau cedera pada pembuluh darah balik/kulit.
 Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli patologi menemukan sel-sel
leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan sumsum tulang belakang, dokter bisa
memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke dalam
cairan cerebrospinal. Metode ini digunakan karena obat yang diberikan melalui suntikan IV
atau diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum tulang belakang.
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase yang
digunakan untuk semua orang.
a. Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian besar sel-sel
leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya
memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel
darah normal dalam proses membunuh sel leukemia. Pada tahap ini dengan memberikan
kemoterapi kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang bertujuan untuk
mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang
resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.
c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan yang digunakan
dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih rendah. Pada tahap ini menggunakan
obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk
mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat
d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini biasanya
memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan
sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi
sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi lengkap dan sepertiganya mengalami
harapan hidup jangka panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada
sumsum tulang dan SSP.
3. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar berenergi tinggi untuk
membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien, sebuah mesin yang besar akan
mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya
sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh.
(radiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang.)
4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell). Transplantasi sel
induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya.
Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam
sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat
melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau
leher. Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi
ini. Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di rumah sakit
selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel
induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah
yang memadai.
2.1. DEFINISI

Penyakit Hodgkin adalah keganasan system limforetikuler dan jaringan pendukungnya yang sering
menyerang kelenjar getah bening dan disertai gambaran histopatologi yang khas. Ciri histopatologis yang
dianggap khas adalah adanya sel Reed –Steinberg atau variannya yang disebut sel Hodgkin dan gambaran
pleimorfik kelenjar getah bening1

2.2. KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN

Tabel 2. klasifikasi limfoma Hodgkin.


 Limphocyte-predominan (LP)
 Mixed cellularity (MC)
 Lymphocyte-depletion (LD)
 Noduler-sclerosis (NS)

Dalam manajemen penyakit ini identifikasi subtype histopatologi merupakan prosedur penting. Sebab
ada kaitannya dengan terapi dan prognosis. Parameter identitas subtype lebih banyak pada kuantitas sel datia
Reed-Steinberg, limfosit dan reaksi jaringan ikat. 3

2.3. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum ada. Pada KOPAPDI II
di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit dalam RS. Dr.Sutomo Surabaya antara tahun
1963-1972 (9 tahun) telah dirawat 26.815 pasien, dimana 81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12
orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di
bagian penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah limfoma malignum dan
semuanya adalah limfoma Hodgkin. Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma
non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak daripada wanita. 1
Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring dengan usia. Sebaliknya,
pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di negara-negara barat yang telah berkembang, kurva insidensi
spesifik umur berbentuk bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan puncak
kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-laki dan bila kurva insidensi spesifik umur
dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada
dewasa muda. Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok dengan lebih dari 80%

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p 622. 1996.
3
Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di
Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 90. 1995.
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p 623-624. 1996.
pasien adalah laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkatan
kerentan yang berhubungan dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal. 2

2.4. PATOLOGI

Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat dengan limfoma malignum.
Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari penyakit Hodgkin ada baiknya kita mengetahui
tentang klasifikasi dari penyakit-penyakit tersebut 4
Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan Butler sesuai
keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini penyakit Hodgkin dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Tipe Lymphocyte Predominant
Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel limfosit yang dewasa,
beberapa sel Reed-Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak muda. Prognosisnya baik.
2. Tipe Mixed Cellularity
Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil, neutrofil, limfosit dan
banyak didapatkan sel Reed-Sternberg. Dan merupakan penyakit yang luas dan mengenai organ
ekstranodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti demam, berat badan menurun dan berkeringat.
Prognosisnya lebih buruk.
3. Tipe Lymphocyte Depleted
Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed-Sternberg banyak sekali dan hanya ada
sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung merupakan proses yang luas (agresif) dengan
gejala sistemik. Prognosis buruk.
4. Tipe Nodular Sclerosis
Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan sel Reed-
Sternberg yang atifik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita muda / remaja. Sering
menyerang kelenjar mediastinum.

Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya golongan Nodular Sclerosis (NS)
ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte Predominant NS=LP-NS), ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-
Depleted NS=LD-NS) dan sebagainya. Demikian pula golongan Mixed Cellularity (MC), ada yang limfositnya
banyak (LP-MC), ada yang sedikit (LD-MC).1
Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus perifer tunggal dan perkembangan
selanjutnya dengan penjalaran di dalam system limfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel
lebih kecil, abnormal, bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan

2
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 1984. 2000.
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2.
Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 160. 1996.
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. JIlid II. Edisi 3. Bagian
IlmuPenyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
menunjukkan respon.hipersensitivitas untuk hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu
yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non limfatik 4

2.5. PATOGENESIS

Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa penyakit Hodgkin
merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang berperilaku seperti neoplasma.
Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-
Sternberg merupakan sel transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-
Sternberg tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki komplemen
dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita dengan jalur sel penyakit
Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg. 5
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan antigen permukaan
dengan sejumlah kecil sel “dendrit” pada daerah parafolikel nodus limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen
HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan antigen oleh sel T ?. Berkurangnya kapasitas
“memberitahukan” antigen berkaitan dengan transformasi neoplasi sel “dendritik”, mungkin menjelaskan
adanya gangguan imunitas sel-T, yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin.
Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini harus dianggap belum
memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan.
Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit Hodgkin. Apakah yang
menyebabkan transformasi ini ?. Selama bertahun-tahun etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diduga.
Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit Hodgkin. Tetapi tidak
ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak mendukung peran EBV sebagai penyebab
penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang
menunujukkan kemungkinan adanya suatu “pengelompokan” penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah
menengah tertentu.6
Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal penyakit Hodgkin. 1
Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus perifer tunggal dan
perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg
yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat
neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas
oleh hospes, manfaat yang menentukan pola evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi
histologis. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah
penyakit ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik. 4

4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2.
Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995
5
Diehl, V., et al. : Characteristic of Hodgkin`s disease derived cell lines. Cancer Treat. Rep. 66:615, 1982
6
Vianna, N. J, and Polan, A.K : Epidemiologic evidence for transmission of Hodgkin`s disease N. Engl. J. Med.
289:499, 1973
1
Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkin’s disease, Seamaoned 7 : 92, 1980.
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2.
Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
2.6 ETIOLOGI

Banyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini. Meskipun masih banyak yang belum
mapan. Seperti pada keganasan yang lain penyebab penyakit Hodgkin ini multifaktorial dan belum jelas benar.
Perubahan genetic, disregulasi gen-gen factor pertumbuhan, virus dan efek imunologis, semuanya
dapat merupakan factor tumorigenik penyakit ini.
Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai sekarang. Kejangkitan
limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan ada kaitannya dengan keluarga. Apabila salah
satu anggota keluarga menderita limfoma Hodgkin, maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar
dibanding dengan orang lain yang tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden limfoma
Hodgkin cenderung lebih banyak.1

2.7. GAMBARAN KLINIS (SIMTOMATOLOGI)

Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit local dan kemudian menyebar ke struktur limfoid
didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non limfoid dengan kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit
Hodgkin umumnya datang dengan adanya massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah digerakkan
dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar separuh pasien datang dengan adenopati di leher atau daerah
supraklavikula dan lebih dari 70 persen pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial.
Karena kelenjar tersebut umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat sampai kelenjar
limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati mediastinum. Hal ini kadang-kadang
pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x toraks rutin. Kelenjar limfe yang terkena pada penyakit
Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial dan berlainan dengan yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang
memperlihatkan kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan abdomen.
Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena penyakit Hodgkin dapat tersa
nyeri setelah minum minuman beralkohol. Pertumbuhan kelenjar limfe cukup bervariasi, beberapa lesi dapat
menetap dalam jangka lama, sedangkan pada kelenjar yang lain terjadi regresi spontan dan temporer.
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejla yang berkaitan dengan
penyakitnya. Gejala terssering adalah demam ringan yang mungkin disertai keringat malam. Untuk sebagian
pasien, keringat malam mungkin merupakan satu-satunya keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami
demam naik turun disertai banyak keringat malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat menetap selama
beberapa minggu, diikuti oleh interval afebris. Demam dan keringat malam lebih sering ditemukan pada pasien
tua dan pada pasien dengan penyakit stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen dalam 6 bulan atau
kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan adalah rasa lemah, malaise dan cepat lelah.
Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen pasien pada saat diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan
mungkin berkaitan dengan ruam kulit atau walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala penyakit.

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau pericardium mungkin disertai batuk, nyeri dada, sesak napas
atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai nyeri tulang. Kadang-kadng pasien datang
dengan gejala sumbatan vena kava superior sebagai gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat
merupakan gejala awal tetapi biasanya merupakan penyulit penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala
atau gangguan penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin intrakranium dan
ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan bahkan asites. 2

2.8. STADIUM PENYAKIT.

Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :


 Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
 Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan yang
abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu : hepar, paru, sumsum
tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.

Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai konferensi
Cotswald.1

Table 3. Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.


Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi
diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip
angka, misal : II2, II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
2
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000.
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang
tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).

A : bila tanpa gejala sistemik


B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan ≥ 38˚C yang tak jelas
sebabnya; penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap
kombinasi dari 3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini.
X : bila ada bulky mass (≥ 1/3 lebar thorax dan ≥ 10 cm untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena.

Untuk menentukan luasnya penyakit diperlukan prosedur staging tertentu.

Table 2. Prosedur yang diperlukan untuk menentukan tingkat (stadium)


penyakit Hodgkin.1
I. Riwayat dan pemeriksaan :
Identifikasi gejala-gejala sistemik
II. Prosedur-prosedur radiologis :
 Foto dada biasa
 CT-Scan dada (bila foto dada abnormal)
 CT-Scan abdomen dan pelvis
 Limfografi bipedal
III. Prosedur-prosedur hematologis :
 Darah lengkap dan hitung jenis
 LED
 Aspirasi dan biopsy sumsum tulang
IV. Prosedur biokimiawi
 Tes faal hati

1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
 Serum albumin, LDH, Ca
V. Prosedur untuk hal-hal khusus :
 Laparatomi (diagnostic dan staging)
 USG abdomen
 MRI
 Gallium scanning
 Technetium bone scan
 Scan hati dan limpa

2.9. DIAGNOSIS KLINIS 2 ,4

1. KLINIS (ANAMNESIS)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila ataupun lipatan
paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam, keringat dan gatal

2. PEMERIKSAAN FISIK
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular, aksiler dan inguinal.
Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan
cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat
bersama-sama.

3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam
pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit. atau keterlibatan organ spesifik.
Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia
normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi,
tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid
sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang menderita
pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia absoluit (<1000 sel per millimeter kubik) biasanya
terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan
sebagai indicator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan ini tidak
spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal

2
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 4, Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000
,4
Hoffbrand A V, Pettit JE, Darmawan I, editor, Kapita Selakta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2.
Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif
dan reaktan fase akut lain dalam serum. 4

4. SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI


Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis pendahuluan limfadenopati
untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis
karsinoma dan limfoma malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH adalah adanya negatif palsu
dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan
juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau
eksisi.

5. HISTOPATOLOGI
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype histopatologi walaupun
sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus
diperhatikan apakah jaringan biopsy tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih
pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular tidak
dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsy dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah
pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan

6. RADIOLOGI
Termasuk didalamnya :
1. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca aortal
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun biopsi
aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH

7. LAPAROTOMI
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka para aotal dan
mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiology misalnya USG dan CT
Scan ditambah sitologi biopsy aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-
kurangnya diminimalisasi.

2.10. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada pasien dengan
limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan
toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan
4
kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non
Hodgkin dan kanker payudara.
Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada pasien tua,
diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil.
Medistinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit
tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan
adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus
disingkirkan dalam keadaan ini.

2. 11 PENATALAKSANAAN

Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek:


a. Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati.
b. Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)
c. Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi saja) atau sarana terapi
kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan kemoterapi-kombinasi).
Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu obat), kemoterapi
kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini dikembangkan kemoterapi dosis tinggi plus
pencangkokan Stem Cell Autologus untuk rescue (penyelamatan) aplasi system darah yang diakibatkan
oleh kemoterapi dosis tinggi tadi. (KDT + rPSC autologus).

I. Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi awal)

I.1. Radioterapi saja.

Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st I+II) A.
kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu untuk stadium IA dan IIA yang
direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk
memastikan ada tidaknya lesi dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi
saja tidak cukupperlu ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang
buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi (kombinasi
sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk
kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila
tidak ada lesi dibawah diafragma (dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk stadium IA diberikan
radioterapi extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodal irradiation (TNI),dianggap cukup
kuratif.

I.2. Kombinasi radioterapi + kemoterapi.


Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma radioterapi harus ditambah
dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi dengan kombinasi modalitas ini juga
diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA tetapi pasien menolak laparotomi atau memang tidak akan
dilakukan laparotomi karena ada kontraindikasi.

Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah kemoterapi. Kalau ada lesi
yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X pada stadiumnya, maka pada tempat ini
ditambahkan radioterapi adjuvant dosis kuratif, sesudah kemoterapi.

Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka yang menunjukkan tanda-tanda
prognosis yang buruk, yaitu : 1. Massa mediastinum yang besar. 2. B-symtoms. 3. kelainan dihilus
paru. 4. histologinya bukan Lymphocytic predominant dan 5. Stadium ≥ III.
I.3. Kemoterapi

Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV saja, namun sering
terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk tempat-tempat yang lesinya bulky
sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant pada tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan
cara ini angka kesembuhan nya cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi kemoterapi sebagai
terapi utama sejak stadium II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada bulky mass, dengan
demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit, bahkan tidak diperlukan lagi karena tindakan ini
terlalu invasif, sedangkan hasilnya sama saja, namun masih ada silang pendapat terutama antara ahli
radioterapi dengan ahli onkologi medis.

Banyak regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang mengunakan
alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai penyebab timbulnya kanker
sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan kelainan jantung; Bleomisin kelainan paru; terutama
bila dikombinasikan dengan radioterapi mediastinum.
Regimen-regimen yang kuratif selalu menggunakan kombinasi obat. Regimen yang menggunakan
alkylating agent, misalnya :
MOPP : -M = Mustard nitrogen 6mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- O = Onkovin = Vinkristin 1,2 mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- P = Prokarbazin 100 mg/sqm p.o hari ke 1-14
- P = Prednison 40 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 diulang selang 28 hari bila memenuhi syarat.
Modifikasi regimen MOPP ini juga ada yaitu COPP dan LOPP.

Pada COPP M diganti dengan C + Cyclophosphamide 800 mg/sqm i.v. hari ke 1,8 atau 3x50
mg/sqm p.o. dd hari ke 1-14. sedangkan pada LOPP M diganti dengan L + Leukeren = Chlorambucil 8
mg/sm dd p.o. hari ke1-14.
Regimen yang tanpa alkylating agent misalnya ABVD atau ABV saja.
A = Adriamisin 25 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
B = Bleomisin 10 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
(D)= DTIC 150 mg/sqm i.v. hari ke 1-5 diulang selang 4 minggu
Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu tidak cross resistant.
Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat dipakai MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau
begantian MOPP-ABVD-MOPP-ABVD dst atau regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik,
namun masih ada silang pendapat.

II. Terapi kasus yang telah diobati sebelumnya

Disini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak terapi awal, atau setelah
diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD masih dapat dipakai untuk mendapatkan
remisi karena dua regimen ini non-cross-resistant, namun angka remisinya kecil dan cepat kambuh
lagi. Kalau kedua regimen baku itu tidak dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang
digolongkan dalam salvage-therapy (= terapi penyelamatan). Jadi salvage kemoterapi diberikan untuk
mereka yang :
1. mengalami relaps sesudah remisi lengkap
2. resistant terhadap terapi

Tabel beberapa regimen untuk salvage therapy (second line therapy pada Limfoma Hodgkin yang
Relaps atau Resistant)
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
A = Adrianmisin 40 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
B = Bleomisin 15 U 1-v- tiap minggu sekali
C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. tiap 6 minggu
D = Dakarbasin 800 mg/sqm i-v- tiap 3 minggu

C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. hari ke 1


E = Etoposid 100 mg/sqm p.o. hari ke 1
P = Prednimustin 60 mg/sqm i.v.hari ke 1, diberi selang 3-6minggu

E = Etoposid 200 mg/sqm p.o. hari ke 1-5


V = Vinkristin 2 mg/sqm i.v. hari ke 1
A = Adriamisin 20 mg/sqm i.v. hari ke 1, diberi selang 3 minggu

M = Metil-GAG 500 mg/sqm i.v. hari ke 1-14


I = Ifosfamid 1 gram/sqm i.v. hari ke 1-5
M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. hari ke 3
E = Etoposid 100 mg/sqm i.v. hari ke 1-4, diberi selang 3 minggu
C = Lomustin 100 mg/sqm p.o. hari ke 1
E = Etoposid 100 mg/sqm h. ke 1-3 dan 21-23
M = Metotreksat 30 mg/sqm p.o. hari ke 1,8,21,28, diberi selang 6 minggu

M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. tiap 6 jam selama 4 hari mulai hari ke1 dan 8 dengan rescue
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v.h. ke 15
H = Doksorubisin 50 mg/sqm i.v.h ke 15
O = Vinkristin 1 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
P = Prednison 100 mg/sqm p.o. hari ke 22-26, diberi selang 4 minggu

E = Etoposid 120 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15


V = Vinblastin 4 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15
A = Ara-C 30 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15
P = Platinum 40 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15, diulang selang 4 minggu

M = Metotreksat 120 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 plus rescue


O = Vinkristin 2 mg i.v.h. 15 dan 22
P = Prednison 60 mg/sqm p.o. hari ke 1-14
L = Leukovorin rescue
A = Ara-C 300 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v. hari ke 1
E = Etoposid 80 mg/sqm i.v. hari ke 1-3, diberi selang 4 minggu

Regimen-regimen salvage therapy antara lain adalah : VABCD, ABDIC, CBVD, CEP, EVA, LVB,
MIME, M-CHOP, CEM, EVAP, MOPLACE dll. (lihat table IV). Kemajuan dibidang pencangkokan sumsum
tulang atau selbakal (stem-cell)-autologous memberikan dampak pula pada terapi limfoma yang
resisten.
Pada kondisi ini diberikan kemoterapi yang dosisnya sangat tinggi hingga timbul aplasi
sumsum tulang (myeloablative chemotherapy), kemudian dilakukan penyelamatan dengan
pencangkokan sel bakal autologus yang diambil dari darah tepi setelah sebelumnya diberi Hemopoetic
Growth Factors.
Populasi yang memerlukan kemoterapi dosis sangat tinggi plus stem-cell rescue (KDTrPSC)
adalah penyakit Hodgkin yang sudah lanjut dengan disertai factor-faktor prognosis buruk yaitu antara
lain :
1. Mereka yang gagal mendapatkan complete remission (CR) atau partial (PR) yang baik (stabil)
(yang didefinisikan sebagai hal yang sangat mungkin karena adanya fibrosis residu dengan
terapi awal).
2. Mereka yang mengalami Progresive Disease (PD) saat terapi awal.
3. CR yang lamanya kurang dari 1 tahun
4. Relaps berulang (≥ 2x) tanpa melihat lamanya remisi
5. Adanya gejala-gejala B pada relaps yang pertama
6. Relaps sesudah sebelumnya mengalami stadium IV
Faktor-faktor tersebut diatas juga merupakan peramal hasil buruk dengan pengobatan garis ke 2
(salvage therapy); mereka ini calon-calon yang baik untuk KDTrPSC tersebut diatas. Mereka yang tanpa
fakto-faktor buruk tersebut bila relaps masih dapat dicoba dengan kemoterapi garis kedua untuk
mendapatkan CR kedua, namun kemungkinannya hanya 35% saja, sisanya akhirnya juga memerlukan
KDTrPSC; bahkan telah mulai diteliti penggunaan KDTrPSC sebagai terapi awal, namun kesimpulannya
masih belum ada.

2.12. PROGNOSIS

Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup lama dengan
pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama, kemungkinan mendapatkan late
complication makin besar. Late complication itu antara lain :
1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder
2. disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
3. penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian antrasiklin terutama
yang dosisnya banyak (dose related)
4. penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose related
5. pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan

Trombositopenia
1. Definisi
Trombositopenia adalah suatu keadaan jumlah trombosit darah perifer kurang
dari normal yang disebabkan oleh menurunnya produksi, distribusi abnormal, destruksi
trombosit yang meningkat.
2. Patofisiologi Klasifikasi
a. Trombositopenia artifaktual
1) Trombosit bergerombol (Platelet clumping) disebabkan oleh anticoagulant-
dependent immunoglobulin (Pseudotrombositopenia)
2) Trombosit satelit (Platelet satellitism)
Trombosit menempel pada sel PMN Leukosit yang dapat dilihat pada darah
dengan antikoagulan EDTA. Platelet satellism tidak menempel pada limfosit,
eosinofil, basofil, monosit. Platelet satellism tidak ditemukan pada individu
normal ketika plasma, trombosit, dan sle darah putih dicampur dengan
trombosit dan sel darah putih atau trombosit (Carl R. Kjeldsberg and John
swanson, 1974). Trombosit diikat oleh suatu penginduksi (obat, dll.) sebagai
antigen sehingga dikenali oleh sel PMN leukosit yang mengandung antibody
sehingga terjadi adhesi trombosit pada PMN leukosit.

3) Giant Trombosit (Giant Platelet)


Giant trombosit terdapat pada apusan darah tepi penderita ITP (I Made
Bakta, 2006). Trombosit ini berukuran lebih besar dari normal.
b. Penurunan Produksi Trombosit
1) Hipoplasia megakariosit
2) Trombopoesis yang tidak efektif
3) Gangguan kontrol trombopoetik
4) Trombositopenia herediter
c. Peningkatan destruksi Trombosit
1) Proses imunologis
a) Autoimun, idiopatik sekunder : infeksi, kehamilan, gangguan kolagen
vaskuler, gangguan limfoproliferatif.
b) Alloimun : trombositopenia neonates, purpura pasca-transfusi.
2) Proses Nonimunologis
a) Trombosis Mikroangiopati : Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC), Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP), Hemolytic-
Uremic Syndrome (HUS).
b) Kerusakan trombosit oleh karena abnormalitas permukaan vaskuler:
infeksi, tranfusi darah massif, dll.
3) Abnormalitas distribusi trombosit atau pooling
a) Gangguan pada limpa (lien)
b) Hipotermia
c) Dilusi trombosit dengan transfuse massif
(Ibnu Puwanto, 2006)
3. Gejala Klinis
a. AT<100.000/μL
b. Diatesis hemoragik yang merupakan akibat yang timbul karena kelainan faal
hemostasis yaitu kelainan patologik pada dinding pembuluh darah
mengakibatkan:
1) Simple easy bruising (mudah memar)
2) Purpura senilis, karena atrofi jaringan penyangga pembuluh darah kulit
terlihat terutama pada aspek dorsal lengan bawah atau tangan.
3) Purpura steroid, karena terpai steroid yang mengakibatkan atrofi jaringan
ikat penyangga kapiler bawah kulit sehingga pembuluh darah mudah
pecah.
4) Scurvy, yaitu terjadi pada defisiensi vitamin C, zat intersel yang tidak
sempurna dapat menyebabkan petechie perifolikular, memar, dan
perdarahan mukosa
c. Ditemukan adanya petechie, yaitu perdarahan yang halus terjadi di bawah kulit
yang akan manifes dengan gesekan yang lemah. Petechie timbul sebab jumlah
trombosit yang ada tidak mencukupi untuk membuat sumbat trombosit dan
karena penurunan resistensi kapiler darah.

Perdarahan
1. Definisi
Keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai penimbunan dalam jaringan
atau dalam ruang tubuh atau disertai keluarnya darah dari tubuh. Titik perdarahan yang
dapat dilihat pada permukaan kulit atau pada potongan permukaan organ disebut
petekie. Bercak perdarahan yang lebih besar disebut ekimosis dan keadaan yang
ditandai dengan bercak-bercak perdarahan yang tersebar luas disebut purpura.
2. Etiologi
Penyebab perdarahan yang paling sering dijumpai adalah hilangnya integritas
dinding pembuluh darah, yang memungkinkan darah keluar. Keadaan ini paling sering
disebabkan oleh trauma eksternal seperti cedera yang disertai memar. Sejumlah
mekanisme terdapat dalam tubuh untuk menekan perdarahan. Salah satu mekanisme
hemostasis melibatkan trombosit darah. Perdarahan mungkin disebabkan oleh kelainan
mekanisme hemostasis ini. Misalnya, perdarahan yang menyertai suatu keadaan
trombositopenia. Jika jumlah trombosit dalam darah perifer turun sampai batas tertentu,
penderita mulai mengalami perdarahan spontan yang berarti bahwa trauma akibat
gerakan normal dapat mengakibatkan perdarahan yang luas
3. Mekanisme bercak-bercak
Efek lokal perdarahan berkaitan dengan adanya darah yang keluar dari
pembuluh di dalam jaringan dan pengaruhnya dapat berkisar dari yang ringan hingga
yang mematikan. Pengaruh lokal yang ringan adalah timbulnya bercak-bercak hitam
kebiruan. Hal ini berkaitan dengan adanya eritrosit yang keluar dan terkumpul dalam
jaringan. Eritrosit yang keluar dari pembuluh ini dipecahkan dengan cepat dan difagosit
oleh makrofag. Pada saat Hb dimetabolisme dalam sel-sel makrofag ini, terbentuk suatu
kompleks yang mengandung besi yang dinamakan hemosiderin, bersamaan pula
dengan terbentuknya zat yang tidak mengandung besi yang dalam jaringan dinamakan
hematoidin (secara kimia identik dengan bilirubin). Hemosiderin berwarna coklat-karat
dan hematoidin berwarna kuning muda. Interaksi pigmen-pigmen ini berpengaruh pada
warna bercak-bercak hitam kebiruan kemudian memudar menjadi coklat dan kuning,
dan akhirnya menghilang karena makrofag mengembara dan pemulihan jaringan yang
sempurna.
(Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 2005)

Purpura Trombositopeni Idiopatik (TIP)


1. Batasan
Purpura trombositopeni idiopatik (PTI) atau purpura trombositopeni autoimun
adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang menetap
(angka trombosit darah perifer kurang dari 150.000/µL) akibat antibodi yang mengikat
antigen trombosit yang menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem
retikuloendotel terutama di limpa. ITP pada anak yang sering terjadi antara umur 2-8
tahun, lebih sering pada wanita (Mansjoer et al, 2007).
2. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, tapi dapat berupa: hipersplenisme, infeksi
virus (demam berdarah, morbili, vsrisela), intoksikasi makanan atau obat (asetosal,
PAS, fenilbutazon, diamox, kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi,
panas) kekurangan faktor pematangan (malnutrisi), DIC (DSS, leukemia, respiratory
distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemumkakan bahwa ITP adalah
penyakit autoimun, hal ini disebabkan ditemukannya antibodi terhadap trombosit darah.
Pada neonatus kadang-kadang ditemukan trombositopenia neonatal yang disebabkan
inkompatibilitas golongan darah trombosit antara ibu dan bayi (isoimunisasi). Jenis
antibodi trombosit yang sering ditemukan pada kasus yang mempunyai dasar
immunologis ialah anti P1EJ dan anti P1E2 (Latief et al, 2007).
Riwayat penyakit purpura trombositopeni idiopatik atau autoimun ini terbagi
dalam dua yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan awitan penyakit
dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama dengan 6 bulan (umumnya pada
anak-anak) dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umumnya pada orang dewasa)
(Supandiman,1997).
3. Patogenesis
Sensitisasi trombosit oleh autoantibodi (biasanya Ig G) menyebabkan
disingkirkannya trombosit tersebut secara prematur dari sirkulasi oleh makrofag sistem
retikuloendotelial, khususnya limpa. Pada banyak kasus, antibodi tersebut ditujukan
terhadap tempat-tempat antigen pada glikoprotein Iib-Iia atau kompleks Ib. masa hidup
normal untuk trombosit adalah sekitar 7 hari tetapi pada ITP masa hidup ini memendek
menjadi beberapa jam. Masa megakariosit total dan perputaran (turnover) trombosit
meningkat secara sejajar menjadi sekitar lima kali normal (Hoofbrand et al, 2005).
4. Gejala klinis
Gejala utama adalah petekie dan perdarahan selaput lendir berupa epiktasis atau
perdarahan di tempat lain. ITP akut biasanya dijumpai pada anak, jarang pada dewasa,
awitan penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya
perdarahan berulang, gejala perdarahan selaput lendir disertai petekie berjalan singkat.
Bentuk kronis biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan sampai
sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang, memiliki perjlanan klinis yang fluktuatif.
Onsetnya dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin
intermitten atau bahkan terus menerus. Gejalanya berupa petekie diekstremitas bawah,
jarang ditemukan perdarahan selaput lendir, pada wanita menorhagia satu-satunya
gejala penyakit ini. Hendaknya disingkirkan trombositopenia sekunder/akibat obat
(aspirin, barbiturat, kina, laksansia), infeksi, anemia aplastik (Supandiman,1997).
5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menyingkirkan faktor-faktor sekunder yang
dapat mengakibatkan trombositopenia, yaitu :
a. Perdarahan/ purpura/ purpura lebih pada satu lokasi.
b. Tidak ada perbesaran limpa.
c. Trombositopenia kurang dari 150.000/uL.
d. Aspirasi sutul : jumlah megakariosit normal atau meningkat, eritropoesis, dan
mielopoesis normal. Antiplatelet antibodi dapat positif.
e. Tidak ada penyakit lain penyebat trombositopeni, misalnya obat-obat, sepsis,
koagulasi intravaskuler doseminata, SLE, leukemia, trombositopeni pasca
transfusi. Pada 75 % penderita terdapat peningkatan titer palsu yang terjadi karena
antibodi nonspesifik misalnya pada sepsis, SLE rematoid, anemia hemolitik
autoimun.
f. Negatif palsu didapatkan bila antibodi yang beredar dalam sirkulasi sangat rendah
karena antibodi banyak terikat pada trombosit. Teknik imunoflueresen : paling
sensitif 92%, tetapi kurang spesifik 30%.
g. Kadar antibodi platelet tidak berhubungan dengan derajat penyakit, hanya
membantu diagnosis kadar Ab platelet berhubungan dengan jumlah trombosit
sangat berarti menunjukkan prognosis, tetapi tidak dianjurkan sebagai dasar
diagnosis.
1) Anamnesis
a) Riwayat obat (heparin, alkohol, sulfanamides, kuinidin/kuinin, aspirin)
dan bahan kimia.
b) Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan.
c) Gejala autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok.
d) Riwayat perdarahan (lokasi, banyak, lama), risiko HIV, status kehamilan,
riwayat transfusi, riwayat keluarga (trombositopenia, gejala perdarahan,
dan kelainan autoimun).
e) Penyakit penyerta meningkatkan risisko perdarahan (kelainan
gastrointestinal, sistem saraf pusat, dan urologi).
f) Kebiasaan/hobi: aktivitas yang traumatik.
2) Pemeriksaan fisik
a) Perdarahan (lokasi, dan beratnya).
b) Jarang ditemukan organomegali, tidak ikterus atau stigmata penyakit
hati kronis.
c) Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV).
d) Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis).
3) Pemeriksaan penunjang
a) Darah tepi: hitung trombosit <150.000/uL tanpa sitopenia lainnya,
morfologi darah tepi dijumpai tromboblas berukuran lebih besar.
b) Pemeriksaan serologi (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella).
c) Pemeriksaan ACA, Coomb’s test, C3, C4, ANA. Anti dsDNA.
d) Pemeriksaan hemostatis normal kecuali pada perdarahan yang memanjang
dan komplikasi.
e) Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat.
f) Pemeriksan autoantibodi trombosit.
6. Diagnosis banding
Diagnosis banding ITP antara lain: anemia aplastik, leukemia akut, Drug
induced thrombocytopenia (DIT), Dissaminated intravascular coagulation (DIC),
Thrombotic thrombocytopenic purpura-hemolytic uremic syndrome (TTP-HUS),
Antiphospholipid antibody syndrome (APS), Myelodysplastic syndrome,
hipersplenisme, alcoholic liver disease, bentuk sekunder ITP (SLE, HIV, leukemia
limfositik kronik), pseudotrombositopenia karena ethylenediamine tetraacetate
(EDTA), obat-obatan.
7. Penatalaksanaan
Pilihan awal: kortikosteroid
Yang sering digunakan prednison, dosis 1 mg/ kg BB / hari selam 1-3 bulan.
Bila diperlukan parenteral(injeksi) Methylprenison sodium suxinat dosis 1g/hari selama
3 hari (RS dr. Soetomo,2008).
Efek steroid (prednison) tampak setelah 24-48 hari (Hanidin 1978). Angka
kesembuhan 60-70%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila responsif dosis
diturunkan perlahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar
50.000/mm3 (RS dr. Soetomo,2008). Pemberian prednison maksimal selama 6 bulan.
Apabila lebih dari 4 minggu pasien tidak berespon dengan prednison, prednison jangan
diberikan lagi.
8. Hasil terapi :
a. Respon lengkap: ada perbaikan klinis + trombosis tercapai ≥100.000/mm3 dan
tidak terjadi trombositopeni berulang bila dosis steroid diturunkan.
b. Respon parsial: perbaikan klinis = trombosis mencapai 50.000/mm3 dan
memerlukan terapi steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dan dengan
jangka waktu 6 bulan.
c. Respon minimal: perbaikan klinis + trombosis mencapai 50.000/mm3 dan
memerluka steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu
> 6 bulan.
d. Tidak ada respon: tidak ada perbaikan klinis dannkelainan trombosit tidak dapat
mencapai 50.000/mm3 setelah terapi steroid dosis maksimal
(RS dr. Soetomo,2008).

1) Splenektomi
Bila terapi steroid dianggap gagal, segera dilanjutkan splenektomi. Angka
keberhaslan 70-100%. Splenektomi bertujuan untuk mencegah dekstruksi
trombosit yang telah diliputi antibodi dan menurunkan sintesis antibodi
platelet (RS dr. Soetomo,2008).
Indikasi Spelektomi : Gagal remisi/perbaikan dengan steroid dalam 6 bulan,
perlu dosis maintance steroid yang tinggi, dan adanya
kontraindikasi/intoleransi terhadap steroid (RS dr. Soetomo,2008).
2) Kombinasi kemoterapi
Imunoglobulin diperkenalkan sejak 1981 hasil perlu penelitian lebih lanjut.
Bila terjadi perdarahan darurat (perdarahan otak, dan persalinan) dapat
diberikan imunoglobulin, kortikosteroid, transfusi trombosit, dan splenoktomi
darurat (RS dr. Soetomo,2008).
3) Terapi suporti PTI kronis
a) Membatasi aktivitas yang berisiko trauma.
b) Hindari obat yang ganggu fungsi trombosit.
c) Transfusi PRC sesuai kebutuhan.
d) Transfusi perdarahan bila : perdarahan masif, adanya ancaman perdarahan
otak/SSP, persiapan untuk operasi besar (RS dr. Soetomo,2008).
4) Perawatan rumah sakit untuk pasien dengan perdarahan berat yang
mengancam jiwa:
a) Trombosit <20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna.
b) Trombosit >50.000/ul asimtomatik/dengan purpura minimal tidak diterapi.
c) Trombosit <30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan
perdarahan bermakna, Kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan
yang mengancam jiwa (RS dr. Soetomo,2008).
9. Komplikasi
a. Peradarahan masif: saluran cerna, otak, DIC, Anemia.
b. Berkembang ke arah keganasan atau penyakit autoimun lain (20%).
c. Menjadi leukemia dan limfoma (3,8%).
d. Menjadi SLE (4%).
e. Kasus fatal dengan sebab kematian :
1) Perdarahan intrakranial (11%).
2) Sepsis pasca splenoktomi atau pasca terapi imunosupresif.
3) Infeksi, ITP berat, DM induiced steroid, hipertensi, immunocompromised (RS
dr. Soetomo,2008).
10. Prognosis
Faktor yang berpengaruh:
a. Umur : pada orang muda prognosis lebih baik.
b. Jumlah trombosit : mempengaruhi respon terapi dan faktor prediktif menentukan
risiko perdarahan intrakranial. Trombosit <20.000/mm3 risiko perdarahan
intrakranial meningkat, semakin tinggi pada usia lanjut.
c. Kadar antibodi membantu menentukan respon terapi terhadap steroid dan
splenektomi. Menurunnya kadar antibodi menunjukkan respon terapi yang baik.
d. Prognosis jelek pada yang refrakter terhadap steroid, splenoktomi, atau
imunosupresif lain. Mortalitas sekitar 16% (RS dr. Soetomo,2008).

Drug Induced Trombocytopenia (DIT)


Diagnosis banding ITP yang sangat mirip adalah DIT, dimana pembeda kedua
penyebab ini adalah patogenesisnya. ITP karena Imunitas, dan DIT karena pengaruh
perjalanan obat.
Pasien akibat DIT akan merasakan sensasi obat selama sekitar 1 minggu atau
berselang-seling selama jangka waktu lama sebelum didahului dengan peteki dan ekimosis
yang mana merupakan indikasi trombositopenia. Kadang-kadang, gejala timbul dalam 1-2
hari setelah benar-benar jelas adanya pengaruh pertama pada obat. Gejala sistemik seperti
mengigau, dingin, demam, sakit kepala dan muntah sering mendahului gejala perdarahan.
Pada pasien berat mempunyai purpura dan perdarahan dari hidung, gusi, dan gastrointestinal.
Pada kasus di atas, trombositopenia tergolong berat (< 20.000/mm 3). Karena pemahaman
yang kurang, DIT kadang-kadang digambarkan dengan disseminated intravascular
coagulation (DIC) atau kegagalan ginjal dan indikasi lain pada hemolytic-uremic syndrome
(HUS) atau thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) (Richard H. Aster, et al., 2007;
Dennis L. Kasper, et al., 2005)

Kriteria Diagnosis Drug Induced Trombocytopenia:


1. Terapi dengan obat yang masuk kriteria mendahului terjadinya trombositopenia dan
setelah terapi dihentikan, jumlah trombosit menjadi normal dan hal ini menetap.
2. Obat kadidat adalah satu-satunya obat yang diberikan sebelum onset trombositopenia,
atau jika obat lain terus diberikan setelah penghentian obat kandidat jumlah trombosit
tetap normal.
3. Penyebab trombositopenia lain sudah disingkirkan.
4. Trombositopenia akan kembali terjadi jika obat kandidat diberikan lagi.
Tingkatan Bukti
I (Definite) Pasti = jika kriteria 1,2,3,4 terpenuhi
II (Probable) = jika kriteria 1,2,3 terpenuhi
III (Possible) = jika hanya kriteria 1 terpenuhi
IV (Unlikely) = jika kriteria 1 pun tidak terpenuhi.
(George, et al. 1998, 2007; Rahajuningsih D Setiabudy, 2007)

Obat yang menyebabkan DIT pada pasien kemungkinan oleh amoxyllin atau ant-
inflamantory nonsteroid (AINS) yang terdapat pada obat puyer pasien. Patogenesisnya yaitu
Amoxycillin yang merupakan golongan penisillin dianggap sebagai hapten yang akan
membentuk ikatan kovalen dengan trombosit sebagai kompleks antigen. Hal ini akan
merangsang pembentukan antibody yang akan mengenali dan mengikat trombosit kemudian
difagosit oleh RES sehingga menyebabkan trombositopenia. AINS dapat menginduksi
antibodi pada membran protein trombosit sehingga akan merangsang untuk didestruksi oleh
RES dan menyebabkan trombositopenia.
Penatalaksanaan dari DIT adalah menghentikan konsumsi obat yang masuk dalam
daftar dibawah ini.
Daftar Obat Sebagai Pemicu pada Drug Induced Trombocytopenia

Kategori Obat Obatyang meliputi 5 atauObat lainnya


lebih laporan
Heparin Unfractionated heparin,
Heparin berat molekul rendah
Cinchona alkaloids Kuinin, Kuinidin
Platelet inhibitor Abciximab, eptifibatida,
tirofiban
Agen antirematik Garam emas D-penicillamine
Agen antimikrobial Linezolid, rifampin,
sulfonamide, varicomycin
Agen antikonvulsan Carbamazepine, phenytoin,Diazepam
dan sedative valproic acid
Antagonis reseptor- Cimetidine Ranitidine
heparin
Agen analgesik Acetaminophen, diclofenak,Ibuprofen
naproxen
Agen diuretik Klorotiazida Hidroklorotiazida
Imunosupresan dan Fludarabine, oxaliplatin Siklosporin, rituximab
kemoterapi

(Aster, 2007; Warkentin,2005; George et al., 1998; dan the University of Oklahoma web site
(http://moon.ouhsc.edu/jgeorge/DITP.html)

PENGERTIAN
Hemophilia merupakan penyakit atau gangguan perdarahan yang bersifat herediter akibat
kekurangan faktor pembekuan.1,2 Namun tidak semua hemophilia terjadi secara herediter,
sebagian penyakit hemophilia juga bisa disebabkan karena adanya kelainan setelah lahir. 2
Hemophilia didapat (acquired) disebabkan karena adanya reaksi autoimun. Tubuh
memproduksi antibody yang menyerang faktor pembekuan di dalam darah sehingga
mencegahnya untuk bekerja, akibatnya timbul gejala hemophilia.3
Hemophilia merupakan kasus yang jarang, biasanya terjadi pada sekitar 1 dari 10.000
kelahiran.4 Hemofilia lebih sering terjadi pada laki-laki, dan diperkirakan sekitar 1 dari 5.000
laki-laki di dunia lahir dengan hemophilia setiap tahun.3

KLASIFIKASI
Klasifikasi hemophilia bergantung pada jenis faktor pembekuan dan kadar/jumlah faktor
pembekuan dalam tubuh.1,2,3
 Berdasarkan jenis faktor pembekuan yang mengalami kelainan 1,3
1. Hemofilia A
Hemofilia A adalah kelainan yang disebabkan karena kekurangan faktor VIII (anti-
hemophilic factor).1,3
2. Hemofilia B
Hemofilia B adalah kelainan yang disebabkan karena kekurangan faktor IX
(Christmas factor).1,3
3. Hemofilia C
Hemofilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor XI yang
diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35.2
Hemophilia A lebih sering terjadi dibandingkan dengan hemophilia B. 1 Aktivitas faktor
pembekuan VIII pada orang sehat mencapai 100 persen, namun pada penderita
hemophilia A, aktivitas faktor VIII kurang dari 1 persen.3

 Klasifikasi hemophilia besdasarkan kadar atau aktivitas faktor pembekuan


Berdasarkan kadar atau aktivitas faktor pembekuan (VIII dan IX), hemophilia
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: 2,5,6
1. Ringan
o kadar faktor pembekuan (VII atau IX) 5-30% (0,05-0,3 IU/ml)
o Jarang terdeteksi, kecuali pasien mengalami trauma cukup berat, seperti
ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka iris, dan jatuh terbentur
o Wanita dengan hemophilia ringan sering mengalami menorrahiga, periode
mentrsuasi yang berat, dan bisa terjadi perdaraha setelah melahirkan anak.
o Pendarahan lebih sering terjadi pada jaringan lunak (53%) dibandingkan pada
sendi (30%)
2. Sedang
o kadar faktor pembekuan (VII atau IX) 1-5% (0,01-0,05 IU/ml)
o pendarahan terjadi akibat trauma yang cukup kuat
o kadang terjadi perdarahan tanpa sebab yang jelas (spontaneous bleeding
episodes)
3. Berat
o Kadar faktor pembekuan <1% (<0,01 IU/ml)
o Pendarahan terjadi akibat trauma ringan
o Sering terjadi spontaneous bleeding episodes
o sering terjadi pada sendi dan otot

Tabel 1. Hubungan antara aktivitas dan kadar faktor VIII dan IX dengan Manifestasi Klinis Hemofilia2,7

BERAT SEDANG RINGAN

Aktivitas F VIII/IX (%) <0,01 0,01-0,05 >0,05

Frekuensi kasus 50 – 70% 10% 30-40%

 Hemofilia A 70% 15% 15%


 Hemofilia B 50% 30% 20%

Penyebab pendarahan Spontan Trauma minor, Trauma mayor, operasi


kadang spontan

Frekuensi pendarahan 2-4 kali per bulan 4-6 kali pertahun Jarang terjadi

Usia Awitan <1 tahun 1-2 tahun >2 tahun

Gejala Neonatus Sering PCB, Sering PCB, jarang Tak pernah PCB,
Kejadian ICH ICB jarang sekali ICB

Pendarahan otot/sendi Tanpa trauma Trauma ringan Trauma kuat

Pendarahan SSP Risiko tinggi Risiko sedang Jarang

Pendarahan post operasi Sering dan fatal Butuh bebat Pada operasi besar

Pendarahan oral (trauma, Sering terjadi Dapat terjadi Kadang terjadi


cabut gigi)

Keterangan:
ICH=intracranial hemorrhage, PCB=Post Circumcisional bleeding

EPIDEMIOLOGI
Hemophilia terjadi pada 1 dari 5000 kelahiran bayi laki-laki, dan sekitar 400 bayi lahir
dengan hemophilia setiap tahun.8 Angka kejadian hemophilia A sekitar 1:10.000 orang dan
hemophilia B sekitar 1:25.000-30.000 orang.2 Di Amerika Serikat dan Inggris insiden
penyakit ini adalah 8 – 10 per 100.000 kelahiran bayi laki – laki. 8 Sementara di Indonesia,
dengan jumlah penduduk kurang lebih 220 juta jiwa, diperkirakan terdapat sekitar 20.000
penderita hemophilia, tetapi hingga desember 2007 baru tercatat 1130 pasien hemophilia.9

PATOGENESIS
1. Genetik
Gen pengkode FVIII (faktor koagulasi VIII) terletak pada lengan panjang kromosom X
dalam region Xq28. Gen F8C sangat besar, yang mewakili hampir 126 kb kromosom X,
yang terdiri dari 26 exon dan 25 intron. FVIII dewasa mengandung 2.322 asam amino.
Gen pengkode FIX (faktor koagulasi IX) berlokasi di lengan panjang kromosom X dalam
region Xq27. Gen Faktor XI (gen F9) memiliki 34 kb dan terdiri dari 8 ekson dan 7
sekuens. Proteindewasa terdiri dari 450 asam amino, lebih sederhana dari F8 (gen
pengkode faktor VIII), mutasi titik dan delesi pada gen FIX adalah penyebab paling
sering dari hemophilia B.10
Penyebab penyakit hemophilia A adalah gangguan/mutasi pada gen F8, sementara
mutasi gen F9 menyebabkan hemophilia B. Gen F8 menyediakan informasi pengkode
protein yang merupakan protein penmbentuk faktor koagulasi VIII, sementara faktor
koagulasi IX, diproduksi oleh gen F9. Faktor koagulasi adalah sekumpulan protein yang
bekerja bersama dalam proses pembekuan darah. Ketika terjadi cidera yang menstimulasi
pendarahan, bekuan darah melindungi tubuh dari kerusakan dengan menutup pembuluh
darah yang rusak dan mencegah pengeluaran darah yang berlebihan.11
Mutasi pada gen F8 dan F9 menyebabkan produksi abnormal danri faktor koagulasi
VIII dan IX, atau bahkan dapat mengurangi jumlah protein-protein ini. Protein yang
kurang atau malformasi tidak akan bisa berpartisipasi efektif dalam proses koagulasi
darah, sehingga bekuan darah tidak akan terbentuk secara tepat yang akhirnya
mengakibatkan terjadinya pendarahan yang berkelanjutan dan akan sulit untuk dikontrol.
Mutasi yang menyebabkan hemophilia parah hampir dapat mengurangi secara komplit
aktivitas koagulasi dari faktor VIII dan faktor IX. Sementara mutasi yang menyebabkan
hemophilia ringan sampai sedang akan menurunkan produksi faktor VIII dan IX saja,
tanpa mengurangi aktivitas protein koagulasinya.11
Bentuk lain dari penyakit hemophilia, yang merupakan hemophilia di dapat (bukan
keturunan), bukan disebabkan karena mutasi gen. kondisi seperti ini mempunyai
karakteristik pendarahan ke kulit, otot, atau jaringan lunak lainnya, biasanya mulai pada
masa remaja. Hemophilia didapat (acquired hemophilia) terjadi ketika tubuh membuat
protein spesifik yang disebaut autoantibody yang daapt menyerang dan mengurangi
fungsi koagulasi faktotr VIII. Produksi autoantibody ini kadang-kadang berkaitan dengan
kehamilan, kelainan sistem imun, kanker, atau reaksi alergi terhadap obat-obatan tertentu.
Pada sekitar setengah kasus ini, penyebab acquired hemophilia sampai sekarang masih
belum diketahui.11
2. Pewarisan sifat
Hemofilia herediter adalah penyakit yang terkait
kromosom X resesif autosom, sehingga anak laki-laki
cenderung emiliki kemungkinan lebih besar untuk
menderita hemophilia.
seperti yang ditampilkan dalam gambar 1, jika seorang
pria tanpa penyakit hemofilia menikah denga wanita
carier hemofilia (tidak menderita, tetapi membawa gen
hemofilia), maka kemungkinan anak laki-laki
menderita hemofilia sebesar 25%, anak laki-laki sehat
25%, anak perempuan sehat 25%, dan anak
perempuan carier (sehat tapi membawa gen hemofilia)
25%.

3. Patofisiologi perdarahan
Faktor VIII dan faktor IX diperlukan dalam pembentukan tenase complex yang akan
mengaktifkan faktor X. Defisiensi faktor VIII atau faktor IX mengganggu jalur intrinsik
sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan fibrin. Akibatnya terjadilah gangguan
koagulasi.12
berikut gambaran efek defisiensi faktor VIII dan IX terhadap kaskade koagulasi darah pada
manusia.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Seara klinis, gejala hemophilia A dan B sulit dibedakan, kecuali dengan pemeriksaan
laboratorium khusus.1 Anamnesis dilakukan dengan menanyakan keluhan utama
(perdarahan), riwaayt keluarga, dan kondisi khusus (bayi).
1. Anamnesis perdarahan
Perdarahan yang umum dijumpai pada penderita hemophilia adalah hematoma, dapat
berupa kebiruan pada berbagai tubuh, dan hemarthrosis atau perdarahn yang sukar
berhenti.1
Tanda-tanda hemophilia A dan B hampir sama4, yaitu:
 Memar yang besar
 Pendarahan pada otot dan sendi
 Pendarahan spontan (pendarahan tiba-tiba dalam tubuh tanpa ada penyeba
yang jelas)
 Pemanjangan waktu pendarahan setelah eksisi gigi, atau post-operasi
 Pendarahan yang berkepanjanfan setelah kecelakaan, khususnya setelah luka
kepala
Sementara pendarahan pada otot dan sendi menyebabkan beberapa kelainan antara
lain4:
 Sakit dan “funny feeling”
 Bengkak
 Nyeri dan kekakuan sendi
 Kesulitan dalam menggunakan sendi atau otot

Perdarahan yang dapat ditemukan dan memerlukan penanganan serirus antara lain9:
 Perdarahan sendi, 70-80% kasus
 Perdarahan otot/jaringan lunak, 10-20% kasus
 Perdarahan intracranial yang ditandai dengan muntah, penurunan kesadaran,
dan kejang
 Perdarahan mata, saluran cerna, leher/tenggorok, perdarahan akibat trauma
berat dan sindrom kompartemen akut

2. Anamnesis Riwayat Keluarga


Pemeriksaan dilakukan untuk mecaritahu apakah ada riwayat hemophilia pada
saudara laki-laki atau saudara laki-laki ibu. Seorang ibu diduga sebagai cairer obligat
jika mempunyai satu anak laki laki atau lebih dari satu saudara laki-laki penderita
hemophilia.2,9
Seorang bayi harus dicurigai menderita hemophilia jika ditemukan bengkak atau
hematoma pada saaat bayi mulai merangkak atau berjalan. Pada anak yang lebih besar
dapat timbuol hemartrosis di swendi lutut, siku, atau pergelangan tangan.2

Pemeriksaan fisik
Tergantung pada lokasi pendarahan:
a. sendi : bengkak dan nyeri pada sendi
b. intracranial : muntah, penurunan kesadaran, kejang, dan tanda peningkatan
intracranial lainnya
c. perdarahan berat : pucat, syok hemorrhagic, dan penurunan kesadaran

Pemeriksaan penunjang
Penurunan kadar Hb karena pendarahan masif, PT normal, aPTT memanjang,
Thromboplastin generation test abnormal. Namun diagnostic pasti adalah dengan
pemeriksaan kadar faktor VIII dan IX.
Diagnosis definitif (diagnosis pasti) hemophilia dapat ditegakkan dengan memeriksa
kadar (aktivitas) faktor VIII untuk hemophilia A dan kadar faktor IX untuk hemophilia B,
berkurangnya aktivitas F VIII/F IX menandakan adanya penyakit hemophilia. 1,2 Jika sarana
pemeriksaan sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen hemofi;lia pada
kromosom X (gen F8 dan F9) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 1,2 Aktivitas F VIII/F
IX dinyatakan dalam U/ml, maksudnya bahwa aktivitas faktor pembekuan dalam 1ml plasma
normal adalah 100%. Nilai normal aktivitas F VIII/F IX adalah 0,5-1,5U/ml atau 50-150%.2
Selain itu, diagnosis lain yang dapat dilakukan adalah dengan diagnosis antenatal.
Pemeriksaan aktivitas/kadar F VIII dan kadar antigen F VIII dalam darah janin pada trimester
kedua dapat menentukan status janin terjadapa kerentanan hemophilia A. Identifikasi fen D
VIII dan petanda gen tersebut lebih baik dan lebih dianjurkan.2
Jika ibu diketahui sebagai pembawa hemophilia, pemeriksaan dapat dilakukan
sebelum bayi lahir. Pemeriksaan prenatal dapat dilakukan pada umur 9-11 minggu kehamilan
dengan pemeriksaan CVS (chorionic villus sampling), atau melalui darah fetrus pada minggu
ke-18 atau lebih4.

Kriteria Diagnostik
Beberapa criteria khas penderita hemophilia adalah1,2:
 cenderung terjadi pendarahan yang sulit berhenti
 waktu pembekuan (clotting time) memanjang
 PT (protrombin time) normal, aPTT memanjang
 Waktu pembekuan tromboplastin (thtomboplastin generation test) abnormal
 Riwayat keluarga hemophilia

PENATALAKSANAAN
Prinsip dasar penatalaksanaan9,13
1. Atasi pendarahan intracranial jika dicurigai
2. Seluruh pasien, baik anak-anak maupun dewasa dapat dilihat manifestasi pendarahan
pada sendi dan otot.
3. Jika ragu, tetap lakukan terapi. Jika pasien hemophilia mengalami cidera atau merasa
akan pendarahan, lansung diberikan terapi, pemeriksaan dapat dilakukan setelah itu.
4. Hindari menggunakan produk yang menyebabkan disfungsi platelet, khususnya yang
mengandung asam asetilsalisilat (aspirin).
5. Penggunaan NSAID harus dihindari.
6. Untuk kontrol rasa sakit, direkomendasikan untuk emenggunakan acetaminophen
dengan atau tanpa codein.
7. Terapi dengan faktor pembekuan di rumah dapat dilakukan pada saat anak mulai
berumur 3-5 tahun.
8. Terapi yang komprehensif dapat dilakukan dengan pendekatan state-of-the-art.
Pasien dievaluasi melalui berbagai disiplin ilmu, biasanya terdiri dari hematologist,
orthopedist, physical therapist, hepatologist, infection disease specialist,
psychologist, and genetics counsellor.
Pendarahan akut pada sendi/otot9,13
1. Pertolongan pertama : RICE (rest, ice, compression, elevation)
2. Harus mendapat terapi faktor pembekuan dalam waktu kurang dari 2 jam.
3. Untuk pendarahan yang mengancam jiwa, (intracranial, intraabdomen atau saluran
napas), replacement therapy harus diberikan sebelum pemeriksaan lebih lanjut.
4. Bila respon membaik, perlu poemeriksaan kadar inhibitor

Sumber faktor VIII adalah konsentrat faktor VIII dan kriopresipitat, sedangkat sumber faktor
IX adalah konsentrat faktor IX dan FFP (Fresh Frozen Plasma).9
Perhitungan dosis2,9:
FVIII (unit) = BB (kg) x % (kadar target – kadar VIII sekarang) x 0,5
FIX (unit) = BB (kg) x % (kadar target – kadar IX sekarang)

Terapi adjuvant yang dapat diberikan kepada penderita hemophilia antara lain:
 Demopresin (DDAVP) 0,3 mikrogram/kg, dilarutkan dalam 50-100ml normal salin,
diberikan melalui infus perlahan dalam 20-30 menit.
 Asam traneksamat
o Dosis : 25mg/kgBB/kali, 3 kali sehari PO/IV selama 5-10 hari
o Indikasi : pendarahan mukosa seperti epistaksis dan pendarahan
gusi
o Kontraindikasi : pendarahan saluran kemih (resiko obstruksi saluran
kemih akibat bekuan darah)

Evaluasi dan pemantauan


Evaluasi dilakukan setiap 6-12 bulan untuk smeua pasien hemophilia.
Evaluasi yang dilakukan antara lain:
 Status musculoskeletal
 Transfusion-related infection (terutama pasien yang mendapat kriopresipitat atau FFP)
 Kesehatan gigi dan mulut
 Vaksinasi
 inhibitor

Pemeriksaan faal hemosatasis adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk


mengetahui faal hemostatis serta kelainan yang terjadi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mencari riwayat perdarahan abnormal, mencari kelainan yang mengganggu faal hemostatis,
riwayat pemakaian obat, riwayat perdarahan dalam keluarga. Pemeriksaan faal hemostatis
sangat penting dalam mendiagnosis diatesis hemoragik. Pemeriksaan ini terdiri atas:
A. Tes penyaring meliputi :
1. Percobaan pembendungan
2. Masa perdarahan
3. Hitung trombosit
4. Masa protombin plasma (Prothrombin Time, PT)
5. Masa tromboplastin partial teraktivasi (Activated partial thromboplastin time, APTT)
6. Masa trombin (Thrombin time, TT)
B. Tes khusus meliputi :
1. Tes faal trombosit
2. Tes Ristocetin
3. Pengukuran faktor spesifik (faktor pembekuan)
4. Pengukuran alpha-2 antiplasmin

Tes penyaring meliputi :


1. Percobaan Pembendungan
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan pada vena, sehingga tekanan darah di dalam kapiler meningkat.
Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah keluar dan merembes ke dalam
jaringan sekitarnya sehingga nampak titik-titik merah kecil pada permukaan kulit, titk itu
disebut dengan petekia.
Untuk melakukan percobaan ini mula-mula dilakukan pembendungan pada lengan atas
dengan memasang tensimeter pada pertengahan antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik.
Tekanan itu dipertahankan selama 10 menit. Jika percobaan ini dilakukan sebagai lanjutan
masa perdarahan, cukup dipertahankan selama 5 menit. Setelah waktunya tercapai
bendungan dilepaskan dan ditunggu sampai tanda-tanda stasis darah lenyap. Kemudian
diperiksa adanya petekia di kulit lengan bawah bagian voler, pada daerah garis tengah 5 cm
kira-kira 4 cm dari lipat siku.
Pada orang normal tidak atau tidak sama sekali didapatkan petekia. Hasil positif bila
terdapat lebih dari 10 petekia. Seandainya di daerah tersebut tidak ada petekia tetapi jauh di
distal ada, hasil percobaan ini positif juga.
Jika pada waktu dilakukan pemeriksaan masa perdarahan sudah terjadi petekie, berarti
percobaan pembendungan sudah positif hasilnya dan tidak perlu dilakukan sendiri. Pada
penderita yang telah terjadi purpura secara spontan, percobaan ini juga tidak perlu dilakukan.
Walaupun percobaan pembendungan ini dimaksudkan unntuk mmengukur ketahanan
kapiler, hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah dan fungsi trombosit. Trombositopenia
sendiri dapat menyebabkan percobaan ini barhasil positif.

2. Masa Perdarahan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan vascular dan trombosit untuk
menghentikan perdarahan.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan lamanya perdarahan pada luka yang mengenai
kapiler. Terdapat 2 macam cara yaitu cara Ivy dan Duke.
Pada cara Ivy, mula-mula dipasang tensimeter dengan tekanan 40 mmHg pada lengan atas.
Setalah dilakukan tindakan antisepsis dengan kapas alkohol, kulit lengan bawah bagian voler
diregangkan lalu dilakukan tusukan denagn lancet sedalam 3mm. Stopwatch dijalankan
waktu darah keluar. Setiap 30 detik darah dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak
keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1-6 menit.
Pada cara duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada anak daun telinga. Dengan
lancet, dilakukan tususkan pada tepi anak daun telinga. Stopwatch dijalankan waktu darah
keluar. Setiap 30 detik, darah dapat dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar
lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkiasar antara 1-3 menit. Cara Duke sebaiknya
dipakai untuk bayi dan anak kecil dimana sukar atau tidak mungkin dilakukan
pembendungan.
Pemeriksaan masa perdarahan merupakan suatu tes yang kurang memuaskan karena
tidak dapat dilakukan standarisasi tusukan baik mengenai dalamnya, panjangnya,
lokalisasinya maupun arahnya sehingga korelasi antara hasil tes ini dan keadaan klinik tidak
begitu baik. Perbedaan suhu kulit juga dapat mempengaruhi hasil tes ini.
Pada pemeriksaan ini tusukan harus cukup dalam, sehingga salah satu bercak darah pada
kertas saring mempunyai diameter 5 mm atau lebih. Masa perdarahan yang kurang dari 1
menit juga disebabkan tusukan yang kurang dalam. Dalam hal seperti ini, percobaan
dianggap batal dan perlu diulang.
Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy lebih dapat dipercaya daripada cara Duke, karena pada
cara Duke tidak dilakukan pembendungan sehingga mekanisme hemostatis kurang dapat
dinilai. Apabila pada cara Ivy perdarahan berlangsung lebih dari 10 menit dan hal ini diduga
karena tertusuknya vena, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada lengan yang lain. Kalau
hasilnya tetap lebih dari 10 menit, hal ini membuktikan adanya suatu kelainan dalam
mekanisme hemostatis. Tindakan selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostatis
dengan mengerjakan pemeriksaan-pemeriksaan lain.

3. Hitung Trombosit
Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung. Cara langsung
dapat dilakukan dengan cara manual, semi otomatik, dan otomatik.
Pada cara manual, mula-mula darah diencerkan dengan larutan pengencer lalu diidikan
ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit dihitung dibawah mikroskop. Untuk larutan
pengencer yang dipakai larutan Rees Ecker atau larutan amonium oksalat 1%. Cara manula
mempunyai ketelitian dan ketepatan yang kurang baik, karena trombosit kecil sekali sehingga
sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula trombosit mudah pecah dan cenderung saling
melekat membentuk gumpalan serta mudah melekat pada permukaan asing. Oleh karena itu
alat-alat yang dipakai harus betul-betul bersih dan larutan pengencer harus disaring terlebih
dahulu. Sebagai bahan pemeriksaan d ipakai darah dengan anticoagulant sodium
ethylendiamine tetraacetate yang masih dalam batas waktu yang diijinkan artinya tidak lebih
dari 3 jam setelah pengambilan darah.
Pada cara semi otomatik dan otomatik dipakai alat electronic particle counter sehingga
ketelitiannya lebih baik daripada cara manual. Akan tetapi cara ini masih mempunyai
kelemahan, karena trombosit yang besar (giant trombocyte) atau beberapa trombosit yang
menggumpal tidak ikut terhitung, sehingga jumlah trombosit yang dihitung menjadi lebih
rendah.
Pada cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus dibandingkan jumlah
trombosit dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat diperhitungkan dari
jumlah mutlak eritrosit.
Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah trombosit dalam
sediaan hapus darah sangat besar artinya sebagai pemeriksaan penyaringan. Pada sediaan
hapus darah tepi, selain dapat dilakukan penilaian semi kuantitatif, juga dapat diperiksa
morfologi trombosit serta kelainan hematologi lain. Bila sediaan hapus dibuat langsung dari
darah tanpa antikoagulan, maka trombosit cenderung membentuk gumpalan. Jika berarti
membentuk gumpalan berarti tedapat gangguan fungsi trombosit.
Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh cara menghitungnya dan
berkisar antar 150.000 – 400.000 per µl darah.
Pada umumnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak terjadi jika
jumlah lebih dari 100.00/µl. Jika fungsi trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit
diatas 50.000/µl tidak mengalami perdarahan kecualai terjadi trauma atau operasi. Jumlah
trombosit kurang dari 50.000/µl digolongkan trombositopenia berat dan perdarahan spontan
akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari 20.000/µl.

4. Masa Protrombin Plasma (protrombin time PT)


Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan
jalur bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen. Selain itu juga
dapat dipakai untuk memantau efek antikoagulan oral karena golongan obat tersebut
menghambat pembentukan faktor pembekuan protrombin, VII, IX, dan X.
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam
plasma yang diinkubasi pada suhu 37ºC, ditambahkan reagens tromboplastin jaringan dan ion
kalsium.
Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh kepekaan tromboplastin yangh dipakai oleh
teknik pemeriksaan. Karena itu pemeriksaan ini harus dilakukan duplo dan disertai kontrol
dengan plasma normal.
Nilai normal tergantung dari reagen, cara pemeriksaan dan alat, dan alat yang digunakan.
Sebaiknya tiap laboratorium mempunyai nilai normal yang ditetapkan sendiri dan berlaku
untuk laboratorium tersebut.
Jika hasil PT memanjang maka penyebabnya mungkin kekurangan faktor-faktor
pembekuan di jalur ekstrinsik dan bersama atau adnya inhibitor. Untuk membedakan hal ini,
pemeriksaan diulang sekali lagi dengan menggunakan campuran plasma penderita dan
plasma kiontrol dengan perbandingan 1:1. Bila ada inhibitor, masa protombin plasma tetap
memanjang.
Selain dilaporkan dalam detik, hasil PT juga dilaporkan dalam rasio, aktivitas protombin dan
indeks. Rasio yaitu perbandingan antara PT penderita dengan PT kontrol. Aktivitas protombin
dapat ditentukan dengan menentukan dengan menggunakan kurva standart dan dinyatakan
dalam %.
Pemeriksaan PT juga sering dipakai untuk memantau efek pemberian antikoagulan oral.
Pemberian kepekaan reagen tromboplastin yang dipakai dan perbedaan cara pelaporan
menimbulkan kesulitan bila pemantauan dikerjakan di laboratorium yang berbeda-beda.
Untuk mengatasi masalah tersebut ICTH (International Comittee on Thrombosis and
Haemostasis) dan ICSH (International Comitte for Standardization in Haematology)
menganjurkan agar tromboplastin jaringan yang akan digunakan harus dikalibrasi terlebih
dahulu terhadap tromboplastin rujukan untuk mendapatkan ISI (International Sensitivity
Index). Juga dianjurkan agar hasil pemeriksaan PT dilaporkansecara seragam dengan
menggunakan INR (International Normalized Ratio), yaitu rasio yang dipangkatkan dengan
ISI dari reagens tromboplastin yang digunakan.

5. Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi (activated parsial thromboplastin time


APTT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melaui jalur intrinsik dan
jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikrein, kininogen, XI, IX, VIII, X, V,
protombin dan fibrinogen.
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam
plasma ditambahkan reagens tromboplastin parsial dan aktivator serta ion kalsium pada suhu
370C. reagen tromboplastin parsial adalah fosfolipid sebagai pengganti platelet factor 3.
Nilai normal tergantung dari reagens, cara pemeriksaan dan alat yang dipakai. Juga
dianjurkan agar tiap laboratorium menentukan nilai normalnya sendiri. Hasilnya memanjang
bila terdapat kekurangan faktor pembekuan dijalur intrinsik dan bersama atau bila terdapat
inhibitor. Sama seperti PT, untuk membedakan hal ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap
campuran plasma penderita dan plasma kontrol dengan perbandinagn 1:1. Bila hasilnya tetap
memanjang, berarti ada inhibitor. Pada hemofilia A maupun hemofilia B, APTT akan
memanjang, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat membedakan kedua kelainan tersebut.
Pemeriksaan ini juga dipakai untuk memnatau pemberian heparin. Dosis heparin diatur
sampai APTT mencapai 1,5-2,5 kali nilai kontrol.

6. Masa Trombin (thrombin time TT)


Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Prinsip
pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan pada suhu 37C bila ke dalam
plasma ditambahkan reagens thrombin.
Nilai normal tergantung dari kadar thrombin yang dipakai. Hasil TT dipengaruhi oleh
kadar dan fungsi fibrinogen serta ada tidaknya inhibitor. Hasilnya memanjang bila kadar
fibrinogen kurang dari 100 mg/dl atau fungsi fibrinogen abnormal atau bila terdapat inhibitor
thrombin seperti heparin atau FDP (Fibrinogen degradation product).
Bila TT memanjang, pemeriksaan diulang sekali lagi dengan menggunakan campuran
plasma penderita dan plasma control dengan perbandingan 1:1 untuk mengetahui adanya
tidaknya inhibitor.
Untuk membedakan apakah TT yang memanjang karena adanya heparin, fibrinogen
abnormal atau FDP, dilakukan pemeriksaan masa reptilase. Reptilase berasal dari bisa ular
Aneistrodon Rhodostoma. Apabila TT yang memanjang disebabkan oleh heparin maka masa
reptilase akan memberikan hasil normal, sedangkan fibrinogen abnormal atau FDP akan
menyebabkan masa reptilase memanjang.

7. Pemeriksaan Penyaring Untuk Faktor XIII


Pemeriksaan ini dimasukkan dalam pemeriksaan penyaring, karena baik PT, APTT,
maupun TT tidak menguji factor XIII, sehingga adanya defisiensi F XIII tidak dapat di
deteksi dengan PT, APTT, maupun TT.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kemampuan factor XIII dalam menstabilkan fibrin.
Prinsipnya F XIII mengubah fibrin soluble menjadi fibrin stabil karena terbentuknya
ikatan cross link. Bila tidak ada F XIII, ikatan dalam molekul fibrin akan dihancurkan oleh
urea 5M atau monokhlorasetat 1%. Cara pemeriksaannya adalah dengan memasukkan bekuan
fibrin ke dalam larutan urea 5M atau asam monokhloroasetat 1%, kemudian setelah 24 jam
stabilitas bekuan dinilai. Bila factor XIII cukup, setelah 24 jam bekuan fibrin tetap stabil
dalam larutan urea 5M. jika terdapat defisiensi factor XIII bekuan akan larut kembali dalam
waktu 2-3 jam.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan hemostasis :

1. Antikoagulan
Untuk pemeriksaan koagulasi antikoagulan yang dipakai adalah natrium sitrat 0,109 M
dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian natrium sitrat.Untuk hitung trombosit
antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA.Jika dipakai darah kapiler, maka tetes darah
pertama harus dibuang.

2. Penampung
Untuk mencegah terjadinya aktivasi factor pembekuan, dianjurkan memakai penampung
dari plastic atau gelas yang telah dilapisi silicon.

3. Semprit dan Jarum


Dianjurkan memakai semprit plastic dan jarum yang cukup besar. Paling kecil nomor 20.

4. Cara pengambilan darah


Pada waktu pengambilan darah, harus dihindari masuknya tromboplastin jaringan. Yang
dianjurkan adalah pengambilan darah dengan memakai 2 semprit. Setelah darah dihisap
dengan semprit pertama, tanpa mencabut jarum, semprit pertama dilepas lalu pasang semprit
kedua. Darah semprit pertama tidak dipakai untuk pemeriksaan koagulasi, sebab
dikhawatirkan sudah tercemar oleh tromboplastin jaringan.

5. Kontrol
Setiap kali mengerjakan pemeriksaan koagulasi, sebaiknya diperiksa juga satu kontrol
normal dan satu kontrol abnormal. Selain tersedia secara komersial, kontrol normal juga
dapat dibuat sendiri dengan mencampurkan plasma yang berasal dari 10 sampai 20 orang
sehat, yang terdiri atas pria dan wanita yang tidak memakai kontrasepsi hormonal. Plasma
yang dipakai sebagai kontrol tidak boleh ikterik, lipemik, maupun hemolisis.

6. Penyimpangan dan pegiriman bahan


Pemeriksaan koagulasi sebaiknya segara dikerjakan, karena beberapa faktor pembekuan
bersifat labil. Bila tidak dapat diselesaikan dalam waktu 4 jam setelah pengambilan darah,
plasma disimpan dalam tempat plastik tertutup dan dalam keadaan beku. Untuk pemeriksaan
APTT dan assay faktor VIII atau IX, bahan yang dikirim adalah plasma citrat dalam tempat
plastik bertutup dan diberi pendingin, tetapi untuk PT dan agregasi trombosit jangan diberi
pendingin karena suhu dingin dapat mengaktifkan F VII tetapi menghambat agregasi
trombosit.

Penyakit von Willebrand adalah kelainan perdarahan herediter akibat defisiensi faktor von
Willebrand (FVW). Faktor ini membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah
dan antara sesamanya, yang diperlukan untuk pembekuan darah yang normal.4

Penyakit ini menyerang pria dan wanita dalam jumlah yang sama, dan dapat ditemukan pada usia berapapun. 3
Penyakit ini merupakan kelainan perdarahan herediter yang paling umum. 4 Prevalensinya adalah 0.9 – 1.3% di
seluruh dunia.3

Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Erik Adolf von Willebrand pada 1926, dan digambarkan sebagai
sebuah penyakit gangguan perdarahan kongenital yang ditandai dengan kecenderungan memiliki memar
sepanjang hidup, epistaksis yang sering, dan menorrhagia. 3

Kelainan perdarahan kronis ditandai dengan agregasi trombosit maupun pembentukan


bekuan yang tidak terjadi secara memadai. PvW disebabkan kelainan kuantitatif dan
kualitatif faktor von Willebrand. 4

A. Klasifikasi
Penyakit von Willebrand dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe utama: (1) defisiensi
kuantitatif parsial (tipe 1), (2) defisiensi kualitatif (tipe 2), dan (3) defisiensi total (tipe 3).
Penyakit von Willebrand tipe II dibagi menjadi 4 subtipe, yaitu IIA, IIB, IIN, dan IIM,
berdasarkan karakteristik disfungsi faktor von Willebrand. 2

- Tipe 1 (sekitar 70-80% kasus). Ditandai oleh penurunan kuantitatif parsial dari faktor von Willebrand dan
faktor VIII yang normal secara kualitatif. Gejalanya sedang, dan tipe ini umumnya diturunkan terkait autosomal
dominan.

- Tipe 2 (sekitar 15-20% kasus). Merupakan varian penyakit dengan defek kualitatif primer dari faktor von
Willebrand. Bisa merupakan autosomal dominan atau resesif. Memiliki 4 subtipe, yaitu 2A, 2B, 2M, dan 2N, di
mana yang tersering ditemukan adalah 2A.

- Tipe 2A merupakan penyakit yang diturunkan terkait autosomal dominan, ditandai oleh kadar
plasma faktor VIIIC dan faktor von Willebrand yang normal atau menurun. Ditemukan penurunan
relatif pada kompleks multimer berat molekul sedang dan besar. Abnormalitas multimer ini umumnya
merupakan akibat degradasi proteolitik in vivo faktor von Willebrand.
- Tipe 2B juga diturunkan terkait autosomal dominan. Tipe ini ditandai oleh penurunan proporsi
multimer faktor von Willebrand berat molekul besar, di mana proporsi fragmen berat molekul kecil meningkat.
Pasien dengan penyakit von Willebrand tipe 2B memiliki defek hemostatik yang disebabkan
abnormalitas kualitas faktor von Willebrand, dan trombositopenia intermiten. Faktor von Willebrand
yang abnormal memiliki afinitas yang meningkat untuk glikoprotein Ib.

- Tipe 2M (jarang). Ditandai dengan fungsi platelet-directed yang menurun. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan penurunan aktivitas faktor von Willebrand, namun faktor von Willebrand dan
analisis multimernya dalam batas normal. Hasil seperti ini juga terdapat pada tipe 2A.

- Tipe 2N (jarang). Ditandai dengan penurunan afinitas faktor von Willebrand terhadap faktor VIII,
sehingga kadar faktor VIII menurun umumnya 5% dari batas normal. Defek pengikatan faktor VIII pada
penyakit ini terkait autosomal resesif.

- Tipe 3 (paling parah). Pada pasien homozigot, penyakit ini ditandai dengan defisiensi faktor von Willebrand
dan faktor VIIIc pada plasma, tidak adanya faktor von Willebrand di trombosit dan sel-sel endotel, dan
kurangnya respon terhadap DDAVP. Gejalanya adalah perdarahan klinis yang parah. Abnormalitas klinis dan
laboratorium lain pada pasien heterozigot tidak separah pada pasien homozigot. 3

Gambar 2. Klasifikasi penyakit von Willebrand.4

B. Gejala Klinis
Gejala yang paling sering terjadi meliputi : perdarahan selaput lendir (misalnya epistaksis,
menorrhagia), kehilangan darah berlebihan, mudah memar.4
C. Hasil Pemeriksaan Laboratorium4
- Masa perdarahan mungkin memanjang
- Kadar faktor VIII seringkali rendah dan APTT mungkin memanjang
- Kadar vWF biasanya rendah
- Agregasi trombosit dengan ristosetin terganggu (sensitivitas abnormal terhadap ristosetin
ditemukan pada tipe 2B). Agregasi dengan zat lain (ADP, kolagen, trombin atau adrenalin)
biasanya normal.
- Hitung trombosit normal kecuali untuk penyakit tipe 2B
- Analisis multimer berguna untuk mendiagnosis subtipe yang berbeda

Gambar 3. Tipe penyakit von Willebrand.4

D. Pengobatan5
- Tindakan lokal dan obat antifibrinolitik.
- Pemberian infus DDAVP (Desmopresin) bagi penderita vWD tipe 1. DDAVP merupakan
analog sintetik dari hormon vasopresin, menghasilkan peningkatan kadar faktor von
Willebrand dan aktivitas faktor ristosetin.2
- Konsentrat faktor VIII dengan kemurnian sedang (yang mengandung vWF dan faktor VIII)
untuk pasien dengan kadar vWF yang sangat rendah.

Anda mungkin juga menyukai