Anda di halaman 1dari 28

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahan pangan yang sering kali ditemui dimasyarakat memiliki daya simpan
yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi kualitas bahan pangan. Setiap bahan
pangan memiliki suhu optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara
normal. Suhu penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat
terjadinya proses pembusukan (Muchtadi, 2013).
Salah satu cara untuk meningkatakan kualitas bahan pangan yaitu dengan
melakukan proses pengolahan terlebih dahulu. Pengolahan pada bahan pangan
selain meningkatkan kualitas juga menyiapkan bahan pangan dapat langsung
dikonsumsi. Salah satu pengolahan pada bahan pangan adalah pengolahan
atau penyimpanan pada suhu tinggi dan suhu rendah. Pengolahan
suhu tinggi ini bertujuan untuk mematikan mikroorganisme patogen dan penyebab
pembusuk produk. Pada pengolahan suhu tinggi terdapat beberapa cara yaitu
pasteurisasi dan sterilisasi. Namun ada yang menggunakan media yaitu
penggorengan, pengovenan dan penyangraian menggunakan udara panas. Pada
pengolahan suhu rendah bertujuan untuk menghentikan pertumbuhan
mikroorganisme, perlakuan dengan suhu rendah adalah pendinginan dan
pembekuan bahan pangan.
Pada mulanya proses thermal dalam pengolahan dan pengawetan bahan
pangan dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis
yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan
mikrobiologis. Ternyata selama proses thermal, terjadi juga secara simultan
kerusakan zat-zat nutris seperti vitamin serta faktor-faktor yang mempengaruhi
mutu bahan pangan seperti warna, tekstur, dan rasa. Kenyataan ini menyebabkan
prose thermal berkembang menjadi suatu proses yang bertujuan untuk
memertahankan zat nutrisi serta mutu bahan pangan secara maksimal (Muchtadi,
2013).
Pengolahan atau penangan pada suhu rendah diatas suhu pembekuan dan
dibawah 15oC efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini
diketahui sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek. Penyimpanan bahan
pada suhu sekitar -2oC sampai 10oC dapat memperpanjang masa simpan bahan
pangan. Hal ini disebabkan karena suhu rendah dapat memprlambat aktivitas
metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga mencegah
terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan pangan
(Muchtadi, 2013).

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui proses pengolahan pangan
dengan menggunakan suhu tinggi yang meliputi penyangraian untuk memperbaiki
eating quality dan suhu rendah yang meliputi pembekuan, serta mengetahui
perubahan kualitas bahan pangan pasca pengolahan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suhu Rendah


Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan,
antara lain kerusakan fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan
mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan
antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah
satu cara pengawetan dengan cara suhu rendah.
2.1.1 Macam-Macam Penyimpanan Suhu Rendah
a. Pendinginan
Pendinginan atau refrigerasi adalah penyimpanan pada suhu di atas titik
beku yaitu di antara -2 oC dan 16 oC. Suhu lemari es umumnya berkisar antara 4 oC
– 7 oC (Tjahjadi, 2011). Tujuan penyimpanan suhu dingin (cold storage) adalah
untuk mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan pematangan abnormal atau
perubahan yang tak diinginkan sehingga mempertahankan komoditas dalam
kondisi yang dapat diterima oleh konsumen selama mungkin (Tranggono, 1990).
Pendinginan atau refrigerasi adalah proses pengambilan panas dari suatu
bahan sehingga suhunya akan menjadi lebih rendah dari sekelilingnya. Bila suatu
medium pendingin kontak dengan benda lain misalnya bahan pangan, maka akan
terjadi pemindahan panas dari bahan pangan tersebut ke medium pendingin sampai
suhu keduanya sama atau hampir sama. Pendinginan telah lama digunakan sebagai
salah satu upaya pengawetan bahan pangan, karena dengan pendinginan tidak
hanya citarasa yang dapat dipertahankan, tetapi juga kerusakan-kerusakan kimia
dan mikrobiologis dapat dihambat.
Sebelum pendinnginan dilakukan, biasanya ada perlakuan-perlakuan
khusus yang diterapkan pada bahan. Salah satu jenis perlakuannya adalah
blanching. Proses blanching mempunyai beberapa tujuan. Namun demikian tidak
dapat diaplikasikan untuk semua buah dan sayuran yang diperlakukan. Ada
beberapa reaksi yang merugikan yang dapat mempengaruhi kualitas produk
(Larousse, 1997).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendinginan yaitu :
1. Jenis dan Varietas Produk
Pendinginan biasanya digunakan untuk jenis bahan yang mudah
mengalami kerusakan dan peka terhadap kondisi lingkungan disekitarnya.
Jenis dan varietas setiap bahan tidak sama dengan tingkat kematangan dan
pemanenan yang berbeda pula sehingga suhu yang digunakan selama
pendinginan harus dapat disesuaikan dengan jenis dan sifat bahan tersebut
agar tujuan dari pendinginan tersebut dapat tercapai.
2. Suhu
Suhu dalam penyimpanan seharusnya dipertahankan agar tidak
terjadi kenaikan danpenurunan. Biasanya dalam penyimpanan dingin, suhu
dipertahankan berkisar antara1o C sampai dengan 2o C. Suhu pendinginan
di bawah optimum akan menyebabkanpembekuan atau terjadinya chilling
injury, sedangkan suhu di atas optimum akanmenyebabkan umur simpan
menjadi lebih singkat. Fluktuasi suhu yang luas dapat terjadi bilamana
dalam penyimpanan terjadi kondensasi yang ditandai adanya air pada
permukaan komoditi simpanan.Kondisi ini juga menandakan bahwa telah
terjadikehilanganairyang cepat pada komoditi tersebut.
3. Kelembaban Relatif
Untuk kebanyakan komoditi yang mudah rusak, kelembaban relatif
dalam penyimpanan sebaiknya dipertahankan pada kisaran 90 sampai 95%.
Kelembaban di bawah kisaran tersebut akan menyebabkan kehilangan
kelembaban komoditi. Kelembaban yang mendekati 100% kemungkinan
akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme lebih cepat dan juga
menyebabkan permukaan komoditi pecah-pecah.
4. Kualitas Bahan dan Perlakuan Pendahuluan
Untuk tetap mempertahankan kesegaran bahan maka sebaiknya
sayuran, buah- buahan maupun bunga potong yang akan disimpan terbebas
dari luka atau lecet maupun kerusakan lainnya. Kerusakan tersebut dapat
menyebabkan kehilangan air. Buah-buah yang telah memar dalam
penyimpanannya akan mengalami susut bobot hingga empat kali lebih besar
bila dibandingkan buah- buah yang utuh dan baik.
5. Jenis Pengemas
Pengemasan merupakan salah satu upaya modified packaging
storage yang dapat membantu mempertahankan mutu dari bahan. Dengan
dilakukan pengemasan maka proses reaksi enzimatis dan chilling injury
dapat diminimalisir sehingga kesegaran produk tetap terjaga.

b. Pembekuan
Pembekuan merupakan proses menghilangkan panas pada produk pangan
dan mempertahankan suhu penyimpanannya di bawah titik beku. Pembekuan
memiliki pengaruh yang menguntungkan pada produk pangan, yaitu dengan
penurunan suhu akan memperlambat reaksi biokimia serta menghambat
pertumbuhan mikroorganisme patogen yang menyebabkan penurunan mutu, seperti
reaksi oksidasi lemak, denaturasi protein, atau aktivitas enzim hidrolitik (Tucker,
2008). Perubahan nutrisi dan kualitas organoleptik pada produk pangan akan sangat
kecil dengan melakukan pembekuan. Pembekuan juga dapat mengurangi
penggunaan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan, karena mampu
mencegah perkembangan mikroorganisme (Evans, 2008).
Prinsip pembekuan adalah memindahkan air dari matriks produk pangan
dengan membentuk kristal es. Kristal es yang terdapat dalam jaringan produk
pangan akan menyebabkan air sisa yang tidak membeku akan meningkat
konsentrasinya dengan padatan terlarut, sehingga dapat menurunkan Aw. Sebagian
besar mikroorganisme tidak dapat hidup pada Aw di bawah 7,0 (Evans, 2008).
Pada proses pembekuan kandungan air produk pangan mengalami
perubahan bentuk menjadi kristal-kristal es, yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi sehingga dapat menurunkan aktivitas air (Aw) pada produk pangan
(Fellows, 2000). Pengawetan pada bahan pangan dapat dicapai dengan
menggabungkan suhu rendah dan menurunkan Aw.
Pindah panas pada bahan pangan umumnya secara konveksi, yaitu pindah
panas antara udara pembeku dengan permukaan bahan pangan Proses pembekuan
dimulai dari permukaan bahan pangan yang langsung berhubungan dengan media
pembeku padat (misalnya heat exchanger plates pada suhu -30⁰C hingga -40⁰C, dry
ice pada suhu -78,5⁰C, cairan kriogenik nitrogen pada suhu -196⁰C). Permukaan
bahan pangan akan membeku lebih cepat dibandingkan bagian dalamnya, karena
panas pada bagian dalam harus melalui permukaan dengan konduksi (Evans, 2008).

2.1.2 Penyimpanan Suhu Rendah


Perubahan-perubahan fisik, kimia, dan biologis yang terjadi di dalam bahan
pangan selama pembekuan dan pencairan merupakan proses yang sangat kompleks.
Walaupun demikian sangat bermanfaat mempelajari perilaku perubahan-perubahan
ini, sehingga dapat dirancang suatu proses pembekuan bahan pangan yang tepat
untuk menangani perubahan-perubahan tersebut.

Titik beku suatu cairan adalah suhu dimana cairan tersebut dalam keadaan
seimbang dengan bentuk padatnya. Suatu larutan dengan tekanan uap yang lebih
rendah dari zat pelarut murni tidak akan seimbang dengan zat pelarut yang padat
pada titik beku normalnya. Sistem tersebut harus didinginkan sampai suhu dimana
larutan dan zat pelarut yang padat mempunyai tekanan yang sama. Titik beku suatu
larutan lebih rendah daripada zat pelarut murni. Jika suatu cairan menguap,
molekul-molekul yang lepas memberikan suatu tekanan yang dikenal dengan 8
tekanan uap. Tekanan total dari suatu sistem akan sama dengan tekanan parsial dari
tekanan tersebut.

Penambahan zat terlarut yang bersifat tidak menguap (gula) ke dalam air
akan menurunkan tekanan uap air dari larutan gula dalam air dan titik beku larutan
tersebut akan menjadi lebih rendah daripada air murni. Oleh karena kebanyakan
bahan pangan memiliki kandungan air yang tinggi, maka kebanyakan bahan pangan
akan membeku pada suhu 32o F dan 25o F. Selama berlangsung pembekuan suhu
bahan pangan tersebut relatif tetap sampai sebagian air dari bahan pangan tersebut
membeku dan setelah beberapa waktu suhu akan mendekati medium pembeku
(Rohanah ,2002).
Perubahan Fisik Perlakuan pembekuan akan menyebabkan perubahan-
perubahan yang mempengaruhi kualitas bahan pangan. Perubahan yang dapat
terjadi adalah perubahan sifat fisik dan kimiawi, sehingga mempengaruhi kualitas
bahan pangan beku. Perubahan fisik yang terjadi adalah :

1. Warna

2. Peningkatan volume

3. Perubahan bobot

4. Freeze burn

5. Sifat fungsional, seperti tekstur, konsistensi, appearance, sifat


organoleptik, dan water holding capacity

Perubahan kimiawi juga dapat terjadi pada proses pembekuan, yaitu :

1. Terjadinya ketengikan pada bahan pangan yang berlemak

2. Kehilangan warna

3. Kehilangan flavor dan aroma

4. Kehilangan vitamin

5. Denaturasi protein

Adapun keuntungan dari penyimpanan pada dingin diantaranya yaitu :


 Dapat menahan kecepatan reaksi kimia dan enzimatis, juga pertumbuhan
dan metabolisme mikroba yang diinginkan. Misalnya pada pematangan
keju.
 Mengurangi perubahan flavor jeruk selama proses ekstraksi dan
penyaringan
 Mempermudah pengupasan dan pembuangan biji buah yang akan
dikalengkan.
 Mempermudah pemotongan daging dan pengirisan roti
 Menaikkan kelarutan CO2 yang digunakan untuk “ soft drink “
 Air yang digunakan didinginkan lebih dahulu sebelum dikarbonatasi untuk
menaikkan kelarutan CO2

Adapun kerugian dalam penyimpanan dingin diantaranya yaitu :


 Terjadinya penurunan kandungan vitamin, antara lain vitamin C
 Berkurangnya kerenyahan dan kekerasan pada buah-buahan dan sayur
sayuran
 Perubahan warna merah daging
 Oksidasi lemak
 Hilangnya flavor

2.1.3 Mekanisme Pembekuan


Suhu dimana pada produk yang dibekukan mulai terjadi pembentukan
kristal es disebut sebagai titik beku awal (initial freezing point) produk. Selama
proses pembekuan, profil penurunan suhu pada produk pangan selama pembekuan,
berbeda dengan profil penurunan suhu yang terjadi pada proses pembekuan air
murni. Jika selama proses pembekuan dilakukan pengukuran dan pencatatan suhu
pada pusat produk pangan, maka akan diperoleh kurva pembekuan dengan
karakteristik khas, sebagai mana disajikan pada Gambar 1. Secara umum, produk
pangan mempunyai titik beku suatu produk selalu lebih rendah dari 0o C. Proses
pembekuan produk dimulai dengan terjadinya supercooling, yang untuk beberapa
proses pembekuan produk pangan bisa terjadi sampai sekitar 10o C dibawah titik
beku.
Setelah terjadi supercooling, proses pembekuan air menjadi es terus terjadi
pada titik bekunya. Namun demikian, selama proses pembekuan itu, -sebagaimana
diilustrasikan garis CD yang menurun pada Gambar 1- terjadi penurunan titik beku
produk yang disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi padatan pada
fraksi produk yang belum beku. Proses ini terus berlangsung sampai sebagian besar
air pada produk pangan telah berubah menjadi es. Proses ini akan berhenti ketika
padatan (komponen pangan) menjadi superjenuh (supersaturated) dan mulai
mengkristal. Panas laten kristalisasi dilepas dan suhu mulai meningkat (DE)
mencapai suhu eutectic dari padatan tersebut. Pada saat ini (EF) proses kritalisasi
air dan padatan terus berlanjut.

Gambar 1. Perbandingan kurva pembekuan air murni dan kurva pembekuan bahan
pangan; tf = waktu pembekuan, Tf,w = titik beku air murni, Tf,f = titik beku produk
pangan, Tm = suhu medium pembekuan

Total waktu (tf) yang diperlukan untuk bergerak dari C-F (sering disebut
sebagai daerah “freezing plateau”) ditentukan oleh seberapa cepat laju pengambilan
panas. Selanjutnya (FG) – suhu produk (yang merupakan campuran es-air) terus
menurun mendekati suhu pembeku (Tm).

2.2 Suhu Tinggi


Pangan merupakan salah satu kebutuhan primer yang sangat penting bagi
kehidupan.Tidak semua bahan pangan terutama bahan pangan hasil pertanian dapat
dikonsumsi dalam bentuk segar. Sebagian butuh pengolahan sebelum dapat di
konsumsi. Pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan
dan membunuh bakteri. Salah satu pengolahan bahan pangan adalah pengolahan
menggunakan suhu tinggi.

2.2.1 Definisi Pengolahan Suhu Tinggi


Pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi
artinya pengolahan pangan dengan menggunakan panas, yaitu pengolahan yang
dilakukan dengan pemanasan diatas suhu normal (ruang). Suhu normal atau suhu
ruang yang dimaksud adalah suhu yang berkisar antara 27°C sampai dengan 30°C.
Pengolahan pangan dengan menggunakan suhu
tinggi bertujuan untuk memperpanjang masa simpan atau untuk mengawetkan bah
an pangan yang disertai dengan penganekaragaman pangan. Dalam mengawetkan
bahan pangan, dengan menggunakan suhu tinggi, ada dua hal yang perlu
diperhatikan yaitu jumlah panas yang diberikan harus cukup untuk membunuh
mikroba pembusuk dan mikroba pathogen serta
jumlah panas yang diberikan tidak boleh menyebabkan terjadinya penurunan nilai
gizi (Koeswardhani, 2006).

2.2.2 Kacang Tanah


Kacang tanah ( Arachis hypogaea L) merupakan tanaman polong polongan
atau legum dari famili papilionaceae, sejenis tanaman tropika yangtumbuh secara
perdu setinggi 30 hingga 50 cm dan menghasilkan daun-daunkecil. Kacang tanah
merupakan bahan pangan yang sehat karenamengandung protein, niacin,
magnesium, vitamin C, mangan, krom,kolesterol yang rendah nilainya, asam lemak
tidak jenuh hingga 80%, dan juga mengandung asam linoleat sebanyak 40-45%
(Kasno, 2005).
Bentuk dan ukuran biji kacang tanah sangat berbeda-beda, ada yang besar,
sedang dan kecil. Begitu pulawarna bijinya bermacam-macam, antara lain putih,
merah, kesumba, ungu dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan itu tergantung
pada varietas-varietasnya

2.2.3 Jenis Pengolahan Suhu Tinggi


a. Penyangraian
Roasting merupakan proses penyangraian biji yang tergantung pada waktu
dan suhu yang ditandai dengan perubahan kimiawi yang signifikan. Terjadi
kehilangan berat kering terutama gas dan produk pirolisis volatillainnya.
Kebanyakan produk pirolisis ini sangat menentukan citarasa. Kehilangan berat
kering terkait erat dengan suhu penyangraian (Varnam and Sutherland,1994).

Penyangrai bisa berupa oven yang beroperasi secara batch ataucontinous.


Pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer dengan media
udara panas atau gas pembakaran. Pemanasan dapat juga dilakukan denganmelaku
kan kontak dengan permukaan yang dipanaskan, dan pada beberapadesain
pemanas, hal ini merupakan faktor penentu pada pemanasan. Desain paling
umum yang dapat disesuaikan baik untuk penyangraian secara batchmaupun
continuous yaitu berupa drum horizontal yang dapat berputar (Ciptadi, 1985).

b. Penggorengan
Penggorengan merupakan proses menghilangkan kelembaban
dari bahan mentah dalam proses ini dan minyak . Minyak merupakan bagianyang
terpenting dalam proses ini dan minyak harus dijaga kualitasnya(kebersihannya dari
degradasi). Degradasi dapat menyebabkan minyaktengik karena mengandung free
fatty acid (asam lemak bebas) yang dapatmenimbulkan bau, warna, dan rasa yang
tidak disukai (Gould, 1996).
Penggorengan yang dilakukan dapat menimbulkan berbagai akibat,antara
lain: rasa gurih pada bahan pangan bertambah karena ada minyakyang berikatan
dengan bahan pangan, bahan pangan menjadi lebih
keringsehingga Aw pada bahan pangan menjadi turun dan pertumbuhanmikroorga
nisme terhambat, warna pada bahan mengalami perubahan karena terjadi perubahan
komponen kompleks menjadi komponen lebih sederhana (Winarno, 1980).
c. Enrobing/coating
Coating adalah Sebuah istilah umum untuk menggambarkan penerapan
penutup kental (seperti seperti adonan, coklat, tepung / campuran gula)
kepermukaan makanan. Sedangkan Enrobing adalah unit operasi di mana potongan
potongan makanan yang dilapisi dengan coklat atau bahan lainnya (Fellows 1990).
Menurut Krochta (1992) edible coating adalan lapisan tipis yang terbuat dari bahan
yang dapat dimakan, serta dapat berfungsi sebagai penahan (barrier ) perpindahan
massa (seperti kelembaban, oksigen, lemak, dan larutan), atau sebagai pembawa
bahan makanan dan tambahan (aditif) juga untuk meningkatkan kemudahan
penanganan makanan.
Pada umumnya tujuan dari pelapisan bahan (coating) itu sendiri menurut P.
Fellows (2000) adalah untuk meningkatkan penampilan dan eating quality makanan
serta meningkatkan berbagai varietas olahannya. Dalam beberapa kasus, coating
juga berguna untuk membatasi pertukaran uap air (kelembaban tinggi) dan gas, atau
melindungi makanan terhadap kerusakan secara mekanis. Secara umum, coatings
juga diterapkan pada makanan :
a. untuk memperbaiki penampilan
b. untuk memodifikasi tekstur
c. untuk meningkatkan rasa
d. untuk meningkatkan kenyamanan
e. untuk meningkatkan variasi dan menambah nilai produk dasar.
Proses coating dan enrobing menghasilkan perubahan pada warna, rasa,
tekstur, dan juga flavor . Menurut Deman (1989) warna penting bagi banyak
makanan. Warna memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia pada makanan,
seperti reaksi browning . Tekstur merupakan faktor penentu mutu makanan
daripada warna dan rasa. Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak, rapuh, empuk,
bersari, menepung, dan mengeripik. Flavor merupakan kombinasi bau, rasa, dan
mouthfeel.
d. Pasteursasi
Pasteurisasi adalah suatau proses pemanasan yang dilakukan pada suhu
kurang dari 100°C, tetapi dengan waktu yang bervariasi dari beberapa detik sampai
beberapa menit tergantung pada tingginya suhu yang digunakan. Makin tinggi suhu
pasteurisasi, makin singkat watu yang dibutuhkan untuk pemanasannya. Tujuan
utama dari proses pasteurisasi adalah untuk menginaktifkan sel-sel vegetative
mikroba pathogen,mikroba pembentuk toksin maupun mikroba pembusuk.
Pemanasan dalam proses pasteurisasi dapat dilakukan dengan mengguna-
kan uap air, air panas atau udara panas. Tinggi suhu dan lamanya waktu
pemanasan yang dibutuhkan dalam proses pasteurisasi tergantung dari ketahanan
mikroba
terhadap panas. Namun perlu diperhatikan juga sensivitas bahan pangan yang
bersangkutan terhadap panas. Pada prinsipnya, pasteurisasi memadukan antara
suhu dan lamanya waktu pemanasan yang terbaik untuk suatu bahan pangan.
Pasteurisasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode
1) Low Temperature Long atau disingkat LTLT dan
2) High Temperature Short Time yang disingkat HTST. Metode LTLT
dilakukan pada suhu 62,8°C selama 30 menit, sedangkan HTST dilakukan
pada suhu 71,7°C selama 15detik (Koeswardhani, 2006).
e. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan salah satu cara pengolahan bahan pangan
yang bersifat mengawetkan. Sterilisasi juga merupakan istilah untuk setiap proses
yang menghasilkan kondisi steril dalam bahan pangan. Jadi, sterilisasi adalah cara
atau langkah atau usaha yang dilakukan untuk membunuh semua mikroba yang
dapat hidup dalam bahan pangan (Koeswardhani,2006).
Dalam proses sterilisasi, semakin rendah suhu yang digunakan
makasemakin lama waktu yang dibutuhkan. Namun, waktu pemanasan yang cukup
lama, lebih-lebih pada suhu tinggi, akan berakibat menurunnya nilai gizi. Sterilisasi
tersebut dikenal dengan istilah Ultra High Temperature atau disingkat UHT, yaitu
pemanasan yang dilakukan pada suhu sekitar 135°C-140°C selama 6 - 10 detik atau
140°C-150°C selama 2 - 4 detik (Koeswardhani, 2006).

2.2.4 Teknik Enrobing dan Coating


Fellows (1990) menyatakan coating dan enrobing adalah kegiatan
setelah proses yang dilakukan dengan menyalut makanan dengan edible coating.
Menurut Krochta (1992) edible coating adalan lapisan tipis yang terbuat dari bahan
yang dapat dimakan, serta dapat berfungsi sebagai penahan (barrier ) perpindahan
massa (seperti kelembaban, oksigen, lemak, dan larutan), atau sebagai pembawa
bahan makanan dan tambahan (aditif) juga untuk meningkatkan kemudahan
penanganan makanan.

Produk coating dan enrobing dapat diubah sesuai yang dikehendaki karena
dapat melindungi dari kerusakan mekanis. Keanekaragaman penyalut yang
digunakan untuk memberikan suatu bahan appearance yang berbeda dari
penampilansebelumnya,yaitu berupa gloss dan color dapat menjadi keunggulan da
ri produk itu sendiri. Setelah mengalami coating dan enrobing, bahan makanan
biasanya akan mengikuti ingredient yang dibawa oleh penyalutnya. Ketebalan dari
coating dan enrobing ditentukan oleh viskositas bahan.Semakin tinggi viskositas
bahan akan semakin tebal bumbu yang menyelimuti bahan makanan
Proses coating dan enrobing menghasilkan perubahan pada warna, rasa,
tekstur, dan juga flavor. Menurut Deman (1989) warna penting bagi banyak
makanan. Warna memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia pada makanan,
seperti reaksi browning.Tekstur merupakan faktor penentu mutu makanan daripada
warna dan rasa.Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak, rapuh, empuk,
bersari,menepung, dan mengeripik. Flavor merupakan kombinasi bau, rasa, dan
mouthfeel.
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Timbangan analitis
2. Kompor
3. Wajan
4. Spatula
5. Wadah
6. Plastik
7. Stopwatch
8. Beaker glass
9. Freezer
10. Pisau

3.1.2 Bahan
1. Kacang tanah
2. Bayam
3. Nanas
4. Telur
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Penyangraian

Kacang tanah

Penimbangan

Pengamatan warna, aroma dan tekstur

Memasukkan sampel dalam


wajan

Penyangraian 5 menit

Penirisan

Penimbangan

Pengamatan warna, aroma dan tekstur


3.2.2 Pembekuan

Bahan

Penimbangan

Pengamatan berat/volume, kesegaran,


aroma, warna, dan tekstur

Penyimpanan dalam freezer selama 4 hari


sesuai perlakuan masing-masing kelompok

Pengamatan berat/volume, kesegaran,


aroma, warna, dan tekstur
BAB 4. HASIL PENGAMATAN

4.1 Penyangraian
Perlakuan
Sampel Parameter
Sampel Segar Setelah digoreng
Kacang Berat 39,6699 gram 38,2495 gram
Coklat tua,
Warna Coklat muda, baik
kehitaman
Khas kacang
Khas kacang tanah,
Aroma sangrai, aroma
tidak tengik
lebih kuat
Kulit terkelupas,
Tekstur
halus
Rasa - -

Gambar

4.2 Pembekuan
Perlakuan
Sampel Parameter
Sampel Segar Setelah digoreng
Berat 31,5094 gram 28,8 gram
Warna Kuning Kuning pucat
Nanas Khas nanas, namun
tanpa Aroma Asam, khas nanas
kurang kuat
dibungkus Tekstur - -
Rasa - -
Gambar

Berat 22,0778 gram 13,45 gram


Warna Hijau segar Hijau tua, layu
Aroma Khas bayam Tidak khas
Tekstur - -
Rasa - -
Bayam
tanpa
dibungkus

Gambar

Berat 56,587 gram 55,587 gram


Kuning telur: kuning
Kuning telur: orange
Warna keorangean
Putih telur: putih, keruh
Putih telur: bening
Amis, namun tidak
Aroma Amis, khas telur
khas telur
Tekstur Agak encer Encer
Telur Utuh
Rasa - -
tanpa
dibungkus

Gambar
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Fungsi Perlakuan


5.1.1 Penyangraian
Pada proses penyangraian, bahan yang digunakan adalah kacang tanah.
Langkah pertama adalah penimbangan bahan dan pengamatan warna, aroma ,dan
tekstur bahan. Bahan yang telah ditimbang selanjutnya di masukkan ke dalam
wajan dan dilakukan proses penyangraian secara manual dengan kompor dan wajan
biasa. Proses penyangraian dilakukan selama 5 menit. Langkah kedua adalah
penirisan bahan yang telah disangrai dan dilakukan penimbangan dengan neraca
analitik. Langkah terakhir adalah pengamatan perubahan berat, warna, aroma ,dan
tekstur bahan.

5.1.2 Pembekuan
Pada praktikum pembekuan bahan hasil pertanian, langkah pertama adalah
penimbangan bahan. Bahan yang digunakan dalam proses pembekuan adalah
bayam, nanas, dan telur. Langkah kedua adalah pengamatan berat, kesegaran,
aroma, warna, dan tekstur bahan dengan menggunakan panca indera. Langkah
selanjutnya adalah penyimpanan dalam freezer selama 4 hari, bahan yang akan
dibekukan di beri perlakuan tanpa dibungkus. Langkah terakhir adalah pengamatan
perubahan bahan yang telah dibebukan selama 4 hari meliputi pengamatan berat,
kesegaran, aroma, warna, dan tekstur bahan.

5.2 Analisis Data


5.2.1 Penyangraian
Pada perlakuan suhu tinggi dengan proses penyangraian dan bahan yang
digunakan adalah kacang tanah, menghasilkan data yang berat awal dan berat akhir
bahan tidak jauh berbeda. Hal ini dapat diakibatkan karena pada saat penyangraian
terjadi penguapan air akibat kontak dengan panas sehingga beratnya mengalami
penyusutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Widyotomo dan Mulato (2005) yang
menyatakan bahwa proses pengeringan dilakukan sampai pada kadar air seimbang
dengan keadaan udara normal (Equilibrium Moisture Content) atau
pada batas tertentu sehingga aman disimpan dan tetap memiliki mutu yang
baiksampai ke tahap proses pengolahan berikutnya
Warna bahan setelah penyangraian lebih coklat kehitaman dan aroma bahan
menjadi lebih kuat. Hal ini terjadi karena pada proses penyangraian akibat panas
terjadi browning pada bahan. Aroma bahan lebih kuat karena pada saat
penyangraian akibat adanya panas terjadi penguapan komponen volatil pada bahan
sehingga aroma bahan lebih kuat.Tekstur bahan yang awalnya agak keras setelah
penyangraian menghasilkan tekstur yang sedikit tidak keras dan kulit bahan mudah
terkelupas. Perubahan perubahan bahan pada proses penyangraian telah sesuai
dengan teori.

5.2.2 Pembekuan
Pada proses pembekuan bahan yang digunakan adalah bayam, nanas, dan
telur dengan perlakuan tanpa dibungkus. Berat bahan awal dan setelah perlakuan
pembekuan mengalami perubahan yang sangat besar. Warna dan aroma bahan
sangat jauh berbeda dari warna dan aroma bahan awal. Pada telur tekstur yang
dihasilkan jauh lebih encer dari tekstur awal. Perubaha perubahan ini tidak sesuai
denga teori yang menyatakan bahwa pembekuan bahan pangan biasanya digunakan
untuk pengawetan bahan dan produk olahan yang mudah rusak (biasanya memiliki
kadar air atau aktivitas air yang tinggi) seperti buah, sayur, ikan, daging dan unggas.
Pada suhu beku, sebagian besar air yang ada di dalam bahan pangan (90%-95%)
membeku. (Kusnandar, 2010).
Hasil pembekuan yang sangat jauh berbeda dengan teori karena tanpa
adanya kemasan pada bahan. penggunaan kemasan akan menghindari bahan dari
proses frozen burn ( Gosong beku, tampak kehitaman dan kering), menghindari
perubahan rasa, warna, tekstur dan penampakan fisik bahan yang tidak menarik.
Selain itu pengemasan yang cocok akan mengurangi terjadinya desikasi, dehidrasi,
dan oksidasi lemak.

BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Dari pembahasan data yang telah dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa
bahan yang telah dibekukan dengan perlakuan tanpa kemasan/ tanpa dibungkus
menghasilkan warna, aroma, tekstur, dan berat yang tidak sesuai dengan teori
pengolahan suhu rendah dengan pembekuan. Bahan yang dihasilkan tidak awet dan
sangat jauh dari karakteristik bahan awal.
Pada pengolahan dengan suhu tinggi, menggunakan penyangraian. Bahan
yang dihasilkan telah sesuai dengan teori dan kualitas bahan pangan jauh lebih baik
atau telah memperbaiki eating quality bahan.

6.2 Saran
Saran untuk praktikum ini, sebaiknya praktikan lebih berhati-hati dan
melakukan praktikum sesuai dengan prosedur yang ada agar tidak terjadi kesalahan
pada saat praktikum. Sebaiknya pada meja setiap kelompok telah disediakan
beberapa alat untuk praktikum, agar pada saat praktikum tidak bingung mencari alat
dan waktu praktikum bisa berlangsung cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Ciptadi dan Nasution. 1985. Pengolahan Kopi. Bogor : Agro Industri Press.
Deman, M. J. 1989. Kimia Makanan. Penerjemah : K. Padmawinata. Bandung : ITB Press.

Evans J. 2008. Frozen Food Science and Technology. United Kingdom : Blackwell
Publishing, Ltd.

Fellow, A. 2000. Food Procession Technology, Principles and Practise.2nd ed. England :
Woodread. Pub. Lim. Terjemahan Ristanto.W dan Agus Purnomo

Fellows, P. 1990. Food Processing Technology Principles and Practice. New York : Ellis
Horwood.

Gould, W.A. (1996). Unit Operations for the Food Industries. USA : CTI Publications.
Inc.

Kasno, A. 2005. Pencegahan infeksi Aspergillus flavus dan kontaminasi aflatoksin pada
kacang tanah. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 23(3):75-81.
Koeswardhani, M. 2006. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Kusnandar, F. 2010. Kimia pangan. Komponen Pangan. Jakarta : PT. Dian Rakyat.

Larousse, J. and Bruce E. Brown. (1997). Food Canning Technology. USA : Wiley-VCH,
Inc.

Muchtadi, T. dan Sugiyono. 2013. Prinsip Proses Dan Teknologi Pangan. Bandung :
Alfabeta.
Mulato, S., Widyotomo, S., Misnawi, dan Suharyanto, E. 2005. Pengolahan produk primer
dan sekunder kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember
dalam Indarti, E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendemen lemak pada
proses pengepresan biji kakao. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. Vol:6
(2).

Rohanah, A., 2002. Pembekuan. http://usulibrary.com. Diakses pada 04 Juni 2018.

Tjahjadi, C dan H. Marta. 2011. Pengantar Teknologi Pangan. Bandung:Universitas


Padjajaran.

Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia, Teknologi Pasca Panen dan Gizi. Yogyakarta :
PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada.

Varnam, H.A. and Sutherland, J. P. 1994. Beverages (Technology, Chemestry and


Microbiology). London : Chapman and Hall.

Winarno,F., dkk, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : PT. Gramedia


LAMPIRAN DOKUMENTASI

Bahan Penyangraian Penimbangan


Bahan

Bahan Bahan Bahan

Penimbangan Penimbangan Penimbangan


Pembekuan Penimbangan Penimbangan
setelah pembekuan setelah pembekuan

penimbangan bahan kenampakan bahan kenampakan bahan


setelah pembekuan setelah pembekuan setelah pembekuan
LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN DAN HASIL PERTANIAN


PENGOLAHAN SUHU TINGGI DAN SUHU RENDAH

Oleh :
Emilialata Devi Ayudi
171710101116
Kelompok 2/THP B

Asisten : 1.Lilik Krisna Mukti


2. Ika Wahyuni
3. Seno Pratama Putra
4. Afina Desi Wulandari
5. Livia Wahyuni

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

Anda mungkin juga menyukai