Anda di halaman 1dari 26

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karet alam merupakan salah satu komoditi pertanian yang sangat baik untuk
lingkup internasional dan terutama di Indonesia. Di Indonesia karet merupakan
salah satu hasil pertanian yang terkemuka karena banyak menunjang
perekonomian negara. Produktivitas lahan karet di Indonesia rata-rata rendah dan
mutu karet yang dihasilkan kurang memuaskan. Hal tersebut disebabkan teknologi
pengolahan karet yang masih seadanya. Karet alam dihasilkan dari perkebunan
besar dan perkebunan rakyat.
Lateks adalah cairan koloid yang berwarna putih susu yang diperoleh dari
pohon karet dengan partikel-partikel karet terdispersi air. Lateks dapat diolah
dalam bentuk karet sheet, crepe, lateks pekat, dan karet remah (crumb rubber).
Lateks adalah getah yang dikeluarkan oleh pohon karet, warnanya putih susu
sampai kuning. Lateks mengandung 25-40% bahan karet mentah dan 60-77%
serum (air dan zat yang larut). Karet mentah mengandung 90-95% karet murni, 2-
3% protein, 1-2% asam lemak, 0,25% gula, dan 0,5% garam dari Na, K, Mg, P,
Ca, Cu, Mn, dan Fe. Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan
makromolekul poliisoprene.
Pengolahan karet akan berpengaruh terhadap mutu kaeret yang dihasilkan.
Umumnya karet rakyat bermutu rendah karena alat dan cara pengolahannya masih
sangat sederhana. Namun dengan seiring perkembangan zaman, teknologi
pegolahan ateks bermacam-macam sehingga mutu karet yang dihasilkan lebih
bagus dari yang sebelumnya.
1.1 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. memahami proses pengolahan lateks, faktor-faktor proses, pengendalian
proses, dan mutu yang dihasilkan
2. menjelaskan pengaruh kualitas bahan dasar terhadap kualitas karet yang
dihasilkan
3. menjelaskan beberapa macam proses pengolahan karet sheet, crepe, lateks,
dan crumb rubber.
4. menjelaskan cara-cara pengawasan mutu pada karet sheet, crepe, lates, dan
crumb rubber.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Karet


Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang
bernilai ekonomis tinggi. Tanaman tahunan ini dapat disadap getah karetnya
pertama kali pada umur tahun ke-5. Dari getah tanaman karet (lateks) tersebut bisa
diolah menjadi lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb
rubber) yang merupakan bahan baku industri karet. Kayu tanaman karet, bila kebun
karetnya hendak diremajakan, juga dapat digunakan untuk bahan bangunan,
misalnya untuk membuat rumah, furniture dan lain-lain (Purwanta, 2008).
Karet merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Latin, khususnya
Brasil. Sebelum dipopulerkan sebagai tanaman budidaya yang dikebunkan secara
besarbesaran, penduduk asli Amerika Selatan, Afrika, dan Asia sebenarnya telah
memanfaatkan beberapa jenis tanaman penghasil getah. Karet masuk ke Indonesia
pada tahun 1864, mula-mula karet ditanam di kebun Raya Bogor sebagai tanaman
koleksi. Dari tanaman koleksi karet selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah
sebagai tanaman perkebunan komersial (Setiawan, 2005).
Di Indonesia, areal pertanaman karet tersebar hampir di seluruh Nusantara.
Dari sebaran itu, sebanyak 83% dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat), 8% dalam
bentuk perkebunan negara, dan 9% dalam bentuk perkebunan swasta. Data ini
menunjukan bahwa perkebunan karet yang dikelola rakyat memberikan kontribusi
dominan dalam ekspor nasional (Siregar ,2013).
Tanaman karet termasuk dalam famili Euphorbiacea, disebut dengan nama
lain rambung, getah, gota, kejai ataupun havea. Klasifikasi tanaman karet adalah
sebagai berikut:
Devisio : Spermatophyta
Subdevisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Havea
Spesies : Havea brasiliensis

2.2 Pengertian Lateks Segar dan Lateks Pekat


2.2.1 Lateks Segar
Lateks adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyebutkan getah yang
dikeluarkan dari pohon karet. Lateks terdapat pada bagian kulit, daun dan
integumen biji karet. Lateks merupakan suatu larutan koloid dengan partikel karet
dan bukan karet yang tersuspensi dalam suatu media yang mengandung beberapa
macam zat. Kandungan bahan karet mentah dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Komponen dalam bahan lateks segar


Komponen Kadar (%)
Karet murni 90-95
Protein 2-3
Asam lemak 1-2
Gula 0,2
Garam (Na, K, Mg, P,Ca, Cu) 0,5
Sumber: Utomo et al., (2012)

Menurut Zuhra (2006), komposisi lateks Hevea brasiliensis yang dapat


dilihat jika lateks disentrifugasi dengan kecepatan 18.000 rpm adalah sebagai
berikut.
a. Fraksi lateks (37%): karet (isoprene), protein, lipida dan ion logam
b. Fraksi Frey Wissling (1 – 3%): karotenoid, lipida, air, karbohidrat, protein
dan turunannya.
c. Fraksi serum (48%): senyawa nitrogen, asam nukleat, dan nukleotida,
senyawa organik, ion anorganik dan logam.
d. Fraksi dasar (14%): air, protein, senyawa nitrogen, karet karatenoid, lipida
dan ion logam.
2.2.2 Lateks Pekat
Lateks pekat adalah lateks dari karet alam yang sekurang-kurangnya
mengandung 60% kadar karet kering. Penggolongan lateks pekat didasarkan
dengan cara pemekatan dan jenis pengawetannya. Untuk membuat barang jadi
lateks, maka terlebih dahulu lateks harus dipekatkan. Pemekatan lateks bertujuan
untuk:
a) Memperoleh kadar karet kering sebanyak 60%
b) Mengurangi biaya produksi
c) Mengetahui jumlah air yang ditambahkan pada pengenceran lateks sampai
kadar yang dikehendaki.
Persyaratan Lateks Pekat :
a. Dapat disaring dengan saringan 40 mesh
b. Tidak terdapat kotoran atau benda-benda lain seperti daun atau kayu
c. Tidak bercampur dengan bubur lateks, air atau serum lateks
d. Berwarna putih dan berbau karet segar
e. Mempunyai kadar karet kering berkisar antara 60-62%

2.3 Sifat Fisik Kimia Lateks Segar dan Lateks Pekat


2.3.1 Lateks Segar
Lateks mengandung 25 – 40% bahan mentah dan 60 – 70% serum yang
terdiri dari air dan zat terlarut. Partikel karet tersuspensi (tersebar merata) dalam
serum lateks dengan ukuran 0,04 – 3 mikron atau 0,2 milyar partikel padat
permililiter lateks. Bentuk partikel bulat sampai lonjong. Berat jenis lateks
0,945(pada 70oF), serum 1,02 dan karet 0,91. Perbedaan berat jenis tersebut
menyebabkan timbulnya cream pada permukaan lateks. Lateks membeku pada
suhu 32oF karena terjadi koagulasi (Utomo et al., 2012).
Lateks merupakan emulsi kompleks yang mengandung protein, alkaloid,
pati, gula, (poli)terpena, minyak, tannin, resin dan gum. Pada banyak tumbuhan
lateks biasanya berwarna putih, namun ada juga yang berwarna kuning, jingga atau
merah. Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua komponen. Komponen
pertama adalah bagian yang terkandung secara merata yang disebut serum. Bahan-
bahan bukan karet yang terlarut dalam air seperti protein, garam-garam mineral,
enzim dan lainnya termasuk ke dalam serum (Budiman, 2012).
Komponen kedua adalah bagian yang didispersikan, terdiri dari butir-butir
karet yang dikelilingi lapisan tipis protein. Bahan bukan karet yang jumlahnya
relatif kecil ternyata mempunyai peran penting dalam mengendalikan kestabilan
sifat lateks dan karetnya. Lateks merupakan suspensi koloidal dari air dan bahan-
bahan kimia yang terkandung di dalamnya. Bagian-bagian yang terkandung
tersebut tidak larut sempurna, melainkan terpencar secara homogen atau merata di
dalam air. Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan, melainkan
saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik. Gaya tolak-
menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam lateks, isoprene
diselimuti oleh lapisan protein sehingga pertikel karet bermuatan listrik (Budiman,
2012).
2.3.2 Lateks Pekat
Lateks pekat umumnya bersifat tidak stabil atau cepat mengalami
penggumpalan. Lateks dikatakan stabil apabila sistem koloidnya stabil yaitu tidak
terjadi flokulasi atau penggumpalan selama penyimpanan. Kestabilan lateks yaitu
tidak terjadinya penggumpalan pada kondisi yang diinginkan (Abi, 2008).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks adalah :
1. Adanya kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air
(serum)
2. Adanya interaksi antara partikel-partikel itu sendiri.
Beberapa cara pemekatan lateks yang sering dijumpai dalam perdagangan
salah satunya dengan yaitu cara pemusingan (centrifuging). Proses pemusingan
(centrifuging) adalah proses pemekatan lateks dengan menggunakan centrifuge
atau sejenisnya, lateks diberi amoniak dan dicentrifuge dengan kecepatan ±6000-
7000rpm (Fachry dkk., 2012).
2.4 Bahan – Bahan yang Ditambahkan
2.4.1 Asam Asetat
Asam asetat merupakan senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai
pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam asetat adalah cairan
higroskopis tak berwarna dan memiliki titik beku 16,7o C (Buckle, 2010).
Penambahan asam asetat pada lateks akan menggumpalkan lateks.
Penggumpalan tersebut terjadi karena asam akan menurunkan pH lateks menjadi
4,2-4,7 dan mempengaruhi kestabilan protein sehingga mendekati titik isoelektrik
yang menyebabkan penggumpalan pada lateks (Djumarti, 2011).
2.4.2 Asam Formiat
Asam formiat atau asam metanoat yang juga dikenal sebagai asam semut
adalah senyawa organik yang mengandung gugus karboksil (-CO2H) dan
merupakan bagian dari senyawa asam karboksilat. Asam formiat ini pertama kali
diperoleh oleh ahli kimia pada abad pertengahan melalui proses penyulingan semut
merah dengan rumus molekul HCOOH.
Asam formiat memiliki banyak kegunaan dan digunakan pada berbagai ma
cam industri dan reaksi- reaksi. Salah satu industri yang sering menggunakan asam
formiat adalah industri karet. Dalam industri karet, asam formiat digunakan sebagai
bahan koagulan untuk meng-koagulasi karet dari lateks. Kualitas karet yang
dihasilkan dengan asam formiat lebih baik dibandingkan dengan jenis
koagulan lainnya
2.4.3 Amonia
Amonia (NH3) merupakan gas yang tidak berwarna dengan titik didih -330
C. Gas amonia lebih ringan dibandingkan udara, dengan densitas kira-kira 0,6 kali
densitas udara pada suhu yang sama. Bau yang tajam dari amonia dapat dideteksi
pada konsentrasi yang rendah 1-5 ppm (Brigden, 2000).
Amonia merupakan salah satu pengemulsi yang paling banyak digunakan
karena :
a. Desinfektan sehingga dapat membunuh bakteri.
b. Bersifat basa sehingga dapat mempertahankan/menaikkan pH lateks pekat.
c. Mengurangi konsentrasi logam
2.5 Mekanisme Penambahan Asam Format, Asam Asetat, dan Amonia
2.5.1 Mekanisme Penambahan Asam Format dan Asam Asetat
Pada umumnya perkebunan besar pengolahan karet alam menggunakan
asam format (asam semut) sebagai bahan koagulan lateks. Asam format (HCOOH)
dengan nama sistematis asam metanoat adalah asam karboksilat yang paling
sederhana. Asam karboksilat merupakan jenis asam lemah, sebab hanya sebagian
kecil yang terionisasi apabila dilarutkan ke dalam air (Fessenden, 1986).
Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan banyak serangga
dari ordo hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Penggunaan asam semut
didasarkan pada kemampuannya yang cukup baik dalam menurunkan pH lateks
serta harga yang cukup terjangkau bagi perkebunan dibandingkan bahan koagulan
asam lainnya.
Partikel karet alam di dalam lateks diselaputi oleh suatu lapisan protein,
sehingga partikel karet tersebut bermuatan listrik. Protein terdiri dari asam amino
dan satu sama lainya terikat oleh ikatan peptida. Asam amino yang terdapat di
dalam lateks merupakan ion dipolar dan bersifat amfoter. Dalam kimia, amfoter
adalah zat yang dapat bereaksi sebagai asam atau basa. Perilaku ini terjadi bisa
karena memiliki dua gugus asam dan basa sekaligus (Fessenden, 1986). Partikel
karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan, melainkan saling menjauh
karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik. Gaya tolak menolak
muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam 37 lateks, isopropen
diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan listrik (Zuhra,
2006).
Pada umunya lateks kebun hasil sadapan memiliki pH antara 7-8 dan
bermuatan negatif. Partikel karet yang dilapisi lapisan protein dan lipid merupakan
koloid hidrofilik yang artinya dilindungi atau diselaputi oleh muatan listrik. Larutan
koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat mempertahankan muatan listrik
partikel yaitu dengan adanya protein.
Koagulasi atau pembekuan adalah suatu proses pengurangan keseimbangan
partikel-partikel di dalam lateks dimana akan terbentuk gumpalan-gumpalan
polimer karet yang terpisah dengan partikel lainya. Tujuan dari pembekuan adalah
untuk memisahkan hampir semua fase air (serum) sebagai cairan dan memperoleh
karet secara ekonomis dari lateks kebun hasil sadapan. Sifat koloid lateks dijadikan
sebagai dasar untuk terjadinya proses koagulasi. Lateks akan berkoagulasi dengan
cara membuang muatan protein dari partikel karet. Syarat kestabilan lateks
dipengaruhi oleh muatan listrik di dalamnya. Muatan listrik sendiri tergantung dari
pH lateks. Pada pH tertentu muatan listrik akan mencapai nilai 0 yaitu pada titik
isoelektrik. Titik Isoelektrik adalah derajat keasaman atau pH ketika suatu
makromolekul bermuatan nol akibat bertambahnya proton atau kehilangan muatan
oleh reaksi asam-basa. Pada koloid, jika pH sama dengan titik isoelektrik, maka
sebagian atau semua muatan pada partikelnya akan hilang selama proses ionisasi
terjadi. Jika pH berada pada kondisi di bawah titik isoelektrik, maka partikel koloid
akan bermuatan positif.
Lateks akan berada pada titik isoelektrik dengan pH berkisar antara 4.7-5.3.
Pada pH tersebut protein menjadi tidak stabil. Akan tetapi pada pH ini lateks tidak
segera menggumpal karena partikel masih diselubungi oleh mantel air. Dalam
rentang waktu tertentu, suhu dan dengan kondisi protein yang tidak stabil, maka
lapisan tersebut pada akhirnya akan hilang sehingga antar butir karet terjadi kontak
dan kemudian akan menggumpal. Menurut Goutara (1985), lateks yang mempunyai
pH 7-8 (dalam kondisi basa) akan berada dalam bentuk cair, karena bermuatan
negatif, tetapi bila ditambahkan asam organik atau anorganik sampai pH mendekati
titik isoelekrtik maka akan terjadi penggumpalan lateks, karena elektro kinetis
potensial sangat sudah rendah.
Penggumpalan lateks dapat dilakukan dengan cara pemberian asam lemah
seperti asam asetat atau asam semut, sebab bila menggunakan asam kuat akan
terjadi koagulasi yang sangat cepat serta tidak sempurna. Asam kuat dapat
menyebabkan sebagian partikel lateks bermuatan positif, sehingga proses koagulasi
tidak sempurna karena terjadi saling tolak-menolak antara partikel lateks.
Ion H+ dalam asam dapat meniadakan muatan listrik negatif partikel lateks
serta menurunkan pH. Terbentuknya asam berarti menambah jumlah ion positif dan
menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik antara ion positif dari asam dengan ion
negatif dari lapisan protein yang menyelubungi partikel karet, sehingga terjadi
koagulasi lateks. Penurunan pH terjadi oleh selain adanya asam juga oleh adanya
elektrolit dan garam. Penambahan asam ke dalam lateks akan menyebabkan
terjadinya reaksi ke arah kesetimbangan, yaitu keadaan suatu sistem dimana gaya-
gaya yang berlawanan ataupun laju-laju suatu proses berimbang. Asam dalam hal
ini ion H+ akan bereaksi dengan ion OH- pada protein dan senyawa lainnya untuk
menetralkan muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks.
2.5.2 Mekanisme Penambahan Amoniak
Penggunaan amoniak sebagai zat anti koagulan didasarkan pada
kemampuannya yang baik dalammenaikkan pH. Tujuan dari
penambahan amoniak adalah untuk menaikkan pH lateks sehingga lateks tidak
mengalami koagulasi. Prakoagulasi merupakan pembekuan
pendahuluan yang tidak diinginkan. Pada prakoagulasi menghasilkan lump atau
gumpalan-gumpalan pada cairan getah sadapan. Syarat zat antikoagulan adalah
harus memiliki pH yang tinggi atau bersifat basa. Mekanisme penambahan amoniak
adalah Ion OH- di dalam zat antikoagulan akan menetralkan ion H+ pada lateks,
sehingga kestabilannya dapat tetap terjaga dan tidak terjadi penggumpalan dengan
pH 9-10.
Beberapa jenis zat antikoagulan yang umumnya digunakan oleh perkebunan
besar atau perkebunan rakyat adalah amoniak, soda atau natrium karbonat,
formaldehida serta natrium sulfit. Untuk mencegah prakoagulasi, pengawetan
lateks kebun harus dilakukan terlebih jika jarak antara kebun dengan pabrik
pengolahan cukup jauh.
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Oven
2. Gelas ukur
3. Timbangan
4. Penggilingan laboratorium
5. Saringan diameter 2 mm dan 1 mm
6. Beaker glass
3.1.2 Bahan
1. Lateks segar
2. Asam format 1%
3. Asam asetat 1%
4. Amonia
5. Aquades
3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
3.2.1 Perhitungan KKK Lateks Segar
@100 ml Lateks

Pemasukkan dalam beaker glass

+ Asam format + Asam asetat


1% @20 ml 1% @20 ml

Pengadukan hingga menggumpal

Pengepresan

Pengeringanginan

Penimbangan (a gram)

Pengovenan 80o C

Penimbangan (b gram)

Pada praktikum perhitungan KKK lateks segar, langkah pertama yang


dilakukan adalah persiapan lateks segar sebanyak @100 ml diukur dengan gelas
ukur dan dimasukkan ke dalam masing-masing beaker glass. Lateks segar
dimasukkan kedalam 4 beaker glass, pada beaker glass 1 dan 2 ditambahkan asam
format 1% masing-masing sebanyak 20 ml. Pada beaker glas 3 dan 4 di tambahkan
asam asetat 1% masing-masing 20 ml. Penambahan asam pada lateks bertujuan
utuk menggumpalkan lateks segar. Masing-masing lateks segar diaduk hingga
menggumpal, agar karet dan serum pada lateks terpisah. Karet yang telah terpisah
kemudian dipress dengan alat pengepres di laboratorium dan diangin-anginkan
untuk menghilangkan kadar air pada karet. Karet selanjutnya ditimbang untuk
mengetahui berat awal karet dan dilakukan pengovenan dengan suhu 80O C selama
30 menit. Pengovenan karet bertujuan untuk meghilangkan atau menurunkan kadar
air yang masih ada pada karet. Langkah terakhir yaitu penimbangan karet yang telah
dioven. Penimbangan karet ini bertujuan untuk mengetahui berat karet akhir setelah
pengeringan.

3.2.2 Pengenceran Lateks pada Pembuatan Karet Sheet & Crepe

@100 ml Lateks

Penyaringan

Penentuan KK dan KE (15% sheet dan 20% crepe)

Penambahan air/aquades
(sesuai perhitungan AT)

Pada praktikum pengenceran lateks pada pembuatan karet sheet dan crepe
bahan yang digunakan adalah lateks segar benyak 100 ml. 100 ml lateks segar
diukur dengan gelas ukur dan dilakukan penyaringan dengan saringan 40 msh.
Penyaringan ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran pada lateks segar dan
memisahkan lateks yang telah menggumpal dengan lateks yang masih cair.
Penggumpalan lateks terjadi karena selama perjalanan dari kebun, lateks
terguncang sehingga terjadi penggumpalan yang tidak dikehendaki. Lateks yang
telah disaring dilakukan penentuan nilai KK yang menyatakan nilai KKK dan nilai
KE yang menyatakan nilai KKK yang dikehendaki. KE yang digunakan untuk
pengenceran pada sheet sebesar 15% dan pada crepe sebesar 20%. Lateks yang
telah ditentukan nilai KE dan KK selanjutnya dilakukan penentuan AT pada lateks.
Penentuan ini berfungsi untuk mendapatkan jumlah aquades yang sesuai bagi lateks
dalam proses pengenceran sesuai dengan perhitungan jumlah aquades. Penambahan
aquades dilakukan dengan jumlah yang sesuai dengan perhitungan, penambahan ini
berfungsi untuk mengencerkan lateks.

3.2.3 Pengaruh Penambahan Bahan Pendadih dan Lama Pemisahan terhadap Mutu
Lateks

@100 ml Lateks

Penyaringan

+ Amonia @1,25 ml

+ Asam asetat

50 ml 60 ml 70 ml

Pengadukan

Pendiaman 4, 5, dan 6 hari

Pengamatan aroma, warna


Pada praktikum ini, langkah pertama yang dilakukan adalah pengukuran
lateks sebanyak 100 ml dengan menggunakan gelas ukur. Lateks kemudian disaring
dengan saringan 40 mesh, penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan lateks yang
menggumpal dan lateks yang masih cair. Lateks yang telah disaring ditambah
amonia sebanyak 1,25 ml. Penambahan amonia adalah untuk menghindari
penggumpalan terlebih dahulu. Lateks selanjutnya ditambah asam asetat yang
bertujuan untuk menggumpalkan lateks, penambahan asam asetat adalah masing-
masing sebanyak 50 ml, 60 ml, dan 70 ml dan dilakukan pengadukan untuk
menghomogenkan asam asetat degan lateks dan untuk mempercepat proses
penggumpalan lateks. Langkah selanjutnya adalah pendiaman lateks selama 4, 5 ,
dan 6 hari dan pengamatan aroma, warna pada lateks. Hal ini bertujuan agar
mengetahui pengaruh penambahan bahan pendadih dan lama pemisahan terhadap
mutu lateks.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan


4.1.1 Perhitungan Kadar Karet Kering (KKK) Lateks Segar
Berat Berat Kering
Penggumpal Ulangan Basah (g) (g)
Asam Format 1%, 20 mL 1 31,07 30,04
2 32,15 31,34
Asam Asetat 1%, 20 mL 1 14,63 13,96

4.1.2 Pengenceran Lateks Pada Pembuatan Karet Crepe dan Sheet


Jenis Volume Lateks Segar (mL) KKK (%) KE (%)
Karet Sheet 100 30,042 15
Karet Sheet 100 31,34 15
Karet Crepe 100 30,042 20
Karet Crepe 100 31,34 20

4.1.3 Pengaruh Penambahan Bahan Pendadih dan Lama Pemisahan Terhadap


Mutu Lateks
Pengamatan Perlakuan Parameter yang Diamati
Penambahan
Hari Ke Asam Asetat (ml) Aroma Warna
50 ++ ++
4 60 +++ +++
70 +++ +++
50 ++++ ++++
5 60 ++++ ++++
70 ++++ ++++
50 +++++ +++++
6 60 +++++ +++++
70 +++++ +++++
Keterangan :

1. Aroma : semakin banyak (+), aromanya semakin menyengat


2. Warna : semakin banyak (+), semakin banyak bercak kuning

4.2 Hasil Perhitungan


4.2.1 Perhitungan kadar karet kering (kkk) lateks segar
Penggumpal Ulangan FP (%) KKK (%)
1 3,31 30,04
Asam Format 1%, 20mL
2 2,52 31,34
1 4,58 13,96
Asam Asetat 1%, 20 mL
2 7,42 14,23

4.2.2 Pengenceran lateks pada pembuatan karet crepe dan sheet


Jenis AT (ml)
100,26
Karet Sheet
108,9
50,21
Karet Crepe
56,7
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Perhitungan Kadar Karet Kering (KKK) Lateks Segar


Kadar lateks kering adalah kandungan padatan karet per satuan berat (%).
Umumnya lateks kebun hasil penyadapan mempunyai kadar kering karet (K3) 20-
35% (Purbaya, 2011).
Berdasarkan SNI (2002) kualitas karet dinilai dari kadar karet kering, yakni
mutu 1 dengan kadar kering minimal 28% dan mutu II dengan kadar kering di
bawah 28%.
Hasil perhitungan nilai KKK setiap sampel berbeda-beda. Nilai KKK yang
dihasilkan dengan penambahan asam format 1% dengan ulangan 1 dan 2 adalah
30,04% dan 31,34%. Pada penambahan asam asetat 1% nilai KKK yang dihasilkan
pada ulangan 1 dan 2 adalah 13,96% dan 14,23%. Nilai KKK yang didapat telah
memenuhi standar SNI (2002), yaitu lateks segar mutu I memiliki nilai KKK
minimal 28%.
Perbedaan hasil nilai KKK ini pengaruh dari penggumpal yang digunakan.
Penggumpalan menggunakan asam format 1% menghasilkan kadar karet kering
yang tinggi, karena perbedaan efektifitas kedua asam lemah sebagai zat koagulan
dimana asam format 1% lebih efektif untuk mengkoagulasikan atau
menggumpalkan lateks segar dibandingkan dengan asam asetat 1%. Dalam industri
karet, asam formiat digunakan sebagai bahan koagulan untuk mengkoagulasi karet
dari lateks. Kualitas karet yang dihasilkan dengan asam formiat lebih baik
dibandingkan dengan jenis koagulan lainnya karena asam formiat merupakan asam
yang lebih kuat dari asam asetat sehingga menghasilkan produk yang lebih baik
(Vachlepi, 2016).
Nilai FP pada penambahan asam format 1%, pengulangan 1 dan 2 adalah
3,31% dan 2,52%. Pada penambahan asam asetat 1%, pengulangan 1 dan 2 adalah
4,58% dan 7,42%. Nilai FP mempengaruhi nilai KKK, pada hasil perhitungan
menunjukan semakin tinggi nilai FP maka akan semakin rendah nilai KKK yang
didapat dan sebaliknya.
Nilai FP yang berbeda pada hasil perhitungan pada penambahan asam
format dan asam asetat dengan lateks segar yang sama disebabkan karena
perbedaan banyaknya air yang di serap tissue pada proses pengeringan permukaan
karet setelah pengepresan dan perbedaan tenaga yag digunakan pada proses
pengepresan. Semakin besar tenaga yang digunakan untuk malakukan proses
pengepresan maka semakin besar jumlah air yang dapat dikeluarkan dari
karet. Sehingga semakin besar faktor pengeringan maka semakin kecil nilai kadar
karet kering. Karena banyaknya air pada karet yang keluar lebih banyak.

5.2 Pengenceran Lateks Pada Pembuatan Karet Crepe dan Sheet


Pengenceran lateks adalah menurunkan kadar karet yang terkandung dalam
lateks sampai memperoleh kadar karet sesuai dengan kadar karet baku yang
dibutuhkan (KE) untuk membuat karet sheet adalah 15% dan karet crepe adalah
20%. Selama pengenceran lateks harus dilakukan pengadukan agar pencampuran
lateks dengan air merata atau homogen. Tujuan pengenceran adalah untuk :
a. Melunakkan bekuan, sehingga tenaga giling tidak terlalu besar.
b. Memudahkan penghilangan gelembung udara.
c. Memudahkan pencampuran asam asetat karena konsentrasi larutan rendah.
Pada praktikum pengenceran lateks untuk pembuatan karet crepe dan sheet
setelah dilakukan perhitungan diperoleh nilai AT pada karet sheet perlakuan asam
format 1% dengan nilai KKK ulangan 1 dan 2 sebesar 30,04% dan 31,34% adalah
100,26 ml dan 108,9 ml, sedangkan karet crepe diperoleh nilai AT pada
pengulangan 1 dan 2 adalah sebesar 50,21 ml dan 56,7 ml. Nilai AT tersebut
menyatakan banyaknya air yang harus ditambahkan pada lateks segar untuk
mengencerkannya.
Dari hasil perhitungan nilai AT tersebut telah sesuai dngan teori menurut
Freida (2015), semakin tinggi nilai kadar karet kering lateks kebun maka
membutuhkan jumlah air yang lebih banyak untuk proses pengencerannya dengan
konsentrasi yang diinginkan.
5.3 Pengaruh Penambahan Bahan Pendadih dan Lama Pemisahan Terhadap
Mutu Lateks
Bahan pendadih merupakan bahan atau zat yang ditambahkan dalam lateks
segar yang berguna untuk memisahkan antara serum dan dadih lateks. Bahan
pendadih yang digunakan dalam praktikum ini adalah asam asetat dengan volume
penambahan yang berbeda-beda.Volume asam asetat yang ditambahkan, yaitu 50
ml, 60 ml, dan 70 ml pada masing-masing lateks segar.
Pada pengamatan warna diperoleh hasil, pada variasi penambahan asam
astet dengan volume 50 ml pada hari ke-4, 5, dan 6 secara berturut-
turut adalah +2, +4, dan +5 yang menunjukkan semakin banyaknya bercak
kuning. Pada penambahan asam asetat 60 ml diperoleh hasil berturut-turut +3, +4,
dan +5 yang menunjukkan bercak kuning pada lateks semakin banyak. Pada
penambahan asam asetat 70 ml diperoleh hasil berturut-turut +3, +4, dan +5 yang
menunjukkan semakin banyaknya bercak kuning pada lateks.
Pada lateks tersebut timbul warna abu-abu pada seluruh permukaan. Hal ini
dikarenakan adanya reaksi oksidasi pada lateks yang kontak langsung dengan udara
sehingga menyebabkan warna lateks menjadi lebih gelap. Selain itu dapat juga
diakibatkan karena adanya reaksi maillard pada lateks sehingga warna lateks yang
tadinya putih menjadi agak gelap. Walaupun kandungan komponen gula hanya
sebesar 0,2 % dan protein 2-3 % pada lateks namun, komponen tersebut dapat
menyebabkan timbulnya reaksi millard. Waktu penyimpanan yang semakin lama
dapat membuat warna lateks semakin gelap karena semakin banyak partikel karet
yang tidak stabil lagi sehingga terjadi penurunan kualitas komponen-komponen
penyusun lateks termasuk juga komponen penyusun warna lateks. Pada praktikum
ini terdapat kesalahan praktikan pada saat penyimpanan lateks, dimana
penyimpanan lateks kurang baik atau penutup kurang rapat. Sehingga terdapat celah
pada yang memungkinkan mikroorganisme masuk dan reaksi osksidasi pada lateks
semakin cepat.
Pada pengamatan bau (aroma) dengan variasi penambahan asam asetat 50
ml diperoleh hasil pada hari ke-4, 5, dan 6 secara berturut-turut adalah +2, +4, dan
+5. Pada penambahan asam asetat 60 ml diperoleh hasil berturut-turut +3, +4, dan
+5. Pada penambahan asam asetat 70 ml diperoleh hasil berturut-turut +3, +4, dan
+5. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan semakin banyak asam
asetat yang ditambahkan dan semakin lama waktu penyimpanan membuat bau
(aroma) lateks yang tadinya berbau khas lateks menjadi menyengat setelah
ditambahkan asam asetat dan baunya semakin menyengat dengan semakin lamanya
waktu penyimpanan. Bau menyengat yang ditimbulkan dapat dikarenakan karena
pertumbuhan bakteri pembusuk yang melakukan biodegradasi protein didalam
bokar menjadi amonia dan sulfida. Kedua hal tersebut terjadi karena bahan
pembeku lateks yang digunakan saat ini tidak dapat mencegah pertumbuhan bakteri
(Solichin, 2006).
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan diatas adalah:
1. Produk olahan lateks dapat berupa karet sheet, karet crepe, dan lateks pekat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembuatan lateks adalah pH, lama
penyimpanan, penggumpal, dan KKK. Pengendalian proses dapat dilakukan
dengan cara menambahkan bahan anti koagulan untuk mengendalikan proses
penggumpalan. Mutu yang dihasilkan sesuai dengan nilai KKK yang ada pada
lateks.
2. Bahan dasar berpengaruh terhadap kualitas karet karena kualitas karet
ditentukan oleh bahan penggumpal dan nilai KKK pada lateks
3. Proses pengolahan karet sheet terdiri dari penerimaan lateks kebun,
pengenceran, pembekuan, penggilingan, pengasapan dan pengeringan, sortasi
serta pengemasan. Pengolahan karet crepe terdiri dari pengenceran lateks,
penggilingan, dan pengeringan. Pengolahan lateks pekat dapat menggunakan
cara pendadihan, sentrifugasi, dan evaporasi. Proses pengolahan crumb rubber
terdiri dari penghancuran, pengeringan, dan pengemasan.
4. Pengawasan mutu yang dilakukan pada pengolahan karet sheet, crepe, lateks
pekat, dan crumb rubber adalah dengan cara mengurangi lateks yang rusak dan
mempertahankan kualitas produk.
5. Semakin tinggi nilai KKK menunjukkan kualitas lateks yang semakin baik.
Penambahan bahan penggumpal berupa asam format hasilnya lebih baik
daripada penambahan asam asetat. Nilai FP yang semakin tinggi maka nilai
KKK semakin rendah.
6. Pada proses pengenceran, semakin tinggi nilai KKK maka air yang dibutuhkan
semakin banyak.
7. Penambahan bahan pendadih dan lama pemisahan berpengaruh pada mutu
lateks yang dihasilkan.
6.2 Saran
Saran untuk praktikum ini sebaiknya praktikan lebih berhati-hati dan
mengikuti prosedur yang telah ditentukan, agar hasil dari pengamatan lebih sesuai
dan tidak ada kesalahan pada proses.
DAFTAR PUSTAKA

Abi. 2008. Penentuan Kadar Amonia (NH3) pada Lateks dalam Pengolahan
Crumb Rubber. Volume 4 ISSN 1858-2419.

Badan Standar Nasional Indonesia. 2002. SNI 06-2047-2002: Bahan Olahan


Karet. Jakarta: Badan Standar Nasional Indonesia.
Bridgen. 2000. Ammonia and Urea Pruduction: Incidents of Ammonia Release
from The Proferil Urea and Ammonia Facility. UK : Departement of
Biological Science University of Exeter.

Buckle. 2010. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press.

Budiman. 2012. Budidaya Karet Unggul. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Djumarti. 2011. Diktat Kuliah Teknologi Pengolahan Tembakau, Gula, dan Lateks.
Jember : FTP Unej.

Fachry. 2012. Pengaruh penambahan filler kaolin terhadap elastisitas dan


kekerasan produk souvenir dari karet alam. Prosiding SNTK Topi 2012.
Pekanbaru: Universitas Sriwijaya.

Fessenden. 1986. Kimia Organik Dasar Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Freida. 2015. Teknologi Pengolahan Karet. Jember: Universitas Jember

Goutara. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Bogor: IPB.

Purbaya. 2011. Pengaruh Beberapa Jenis Bahan Penggumpal Lateks dan


Hubungannya dengan Susut Bobot, Kadar Karet Kering dan Plastisitas.
Prosiding Seminar Nasional AVoER ke-3.

Palembang 26-27 Oktober 2011. ISBN : 979-587-395-4

Purwanta. 2008. Teknologi Budidaya karet. Bogor : Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian.

Setiawan.2005. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Jakarta : Agromedia Pustaka.


Siregar. 2013. Budidaya dan Teknologi Karet. Jakarta : Penebar Swadaya.

Solichin. 2006. Deurob K Pembeku Lateks dan Pencegah Timbulnya Bau Busuk
Karet. Tabloid Sinar Tani.

Utomo. 2012. Agroindustri Karet Indonesia. Bandung : PT. Sarana Tutorial Nurani
Sejahtera.

Vachlepi. 2016. Teknologi Pengolahan Bokar Bersih: Bimbingan Teknis


Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan Berbasis GMP. Sumbawa:
Pusat Penelitian Karet Balai Penelitian Sumbawa.
Zuhra. 2006. Karet. Medan: Univeritas Sumatera Utara Press.

Anda mungkin juga menyukai