Anda di halaman 1dari 14

Jawaban yang disarankan Latihan soal ujian PPN dan PPnBM

A. Pilihan Ganda

1. A. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983


Dasar Hukum:
Pasal 20 Undang-undang PPN TAhun 1984 yang berbunyi “Undang-undang ini dapat disebut Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

2. D. PT Jemput Antar yang bergerak dibidang sewa kendaraan


Dasar Hukum:
Pasal 4A UU PPN 1984 yang mengatur negative list (barang dan jasa tidak kena pajak)
2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang
sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai
berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.

3. B. PKP dengan omzet kurang dari Rp 1,8 Milyar untuk setiap dua tahun buku terakhir
Dasar Hukum:
Pasal 9 ayat (7) UU PPN 1984:
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran
usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat menghitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Pasal 9 ayat (7a)

7
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan
usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Peraturan pelaksana Pasal 9 ayat (7) dan (7a) adalah
1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-74/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang
a. persen) dari PK untuk penyerahan Jasa Kena Pajak; dan
2) 70% (tujuh puluh Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu. Dengan syarat:

 PKP yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi
Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).

 mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak melebihi
Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) untuk setiap 1 (satu) tahun buku; atau

 Wajib Pajak yang baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.


Prosentase pedoman perhitungan:
60% (enam puluh persen) dari PK untuk penyerahan Barang Kena Pajak.
Dimana: PK = 10% x Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dengan DPP = peredaran usaha.
3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Kegiatan Usaha
Tertentu, yang mulai berlaku sejak 1 April 2010.
PKP yang melakukan Kegiatan Usaha Tertentu adalah PKP yang kegiatan usaha yang semata-mata
melakukan:
a) penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran; atau
b) penyerahan emas perhiasan secara eceran.
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana, yaitu sebesar:
a) 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran, dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran;
b) 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran, dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran.
4. D. Paling lambat 31 Oktober 2010
Dasar Hukum:
Pasal 3A ayat (1) dan (1a)
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf
c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.

7
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak
Pertambahan Nilai
Pasal 1
Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih
dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)."
Pasal 4
1) Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila
sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya
melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat
jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
5. A. 1 dan 3 dan C. 1, 2, dan 3
Dasar Hukum:
Pasal 5 UU PPN 1984
1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada
waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

6. A. dikenakan PPN sebesar Rp 13.000.000


Dasar Hukum:
Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN 1984
“pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak”
Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN 1984 PPN dikenakan atas penyerahan Jasa kena Pajak yang
dilakukan oleh pengusaha, dalam memori penjelasan sebagai berikut:
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun
pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang
dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
Pemakaian sendiri tujuan non produktif berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-
87/PJ./2002 sehingga terutang PPN dengan DPP adalah penggantian.

7
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut Undang-undang ini (PPN) dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
Atas kasus tersebut, dalam biaya Rp 130.000.000 tidak termsuk PPN sebesar Rp 10.000.000,- maka PPN
= 10% x Rp 130.000.000 = Rp 13.000.000

7. B. Dapat dikreditkan pada masa Mei 2010 melalui pembetulan SPT Masa Mei 2010
Dasar Hukum:
Pasal 14 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-13/PJ./2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur
Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau
Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak.
Pasal 14
(1) Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak setelah melewati jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat mengkreditkan pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya.

Karena tanggal transaksi terjadi pada tangal 2 Januari 2010 maka peraturan yang digunakan bukan
PER-13/PJ./2010 yang mulai berlaku 1 April 2010, melainkan PER-159/PJ./2006 Tentang Saat
Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, Dan Tata Cara Pembetulan Faktur
Pajak Standar yang berlaku sampai dengan tangal 31 Maret 2010. Dalam pasal 13 peraturan ini diatur
sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Faktur Pajak Standar yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat
Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, adalah bukan
merupakan Faktur Pajak Standar.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak Standar.

Untuk saat pembuatan FP sebelum berlakunnya PER-13/PJ./2010 menggunakan dasar hukum


PER-159/PJ/2006 Pasal 2 ayat (1)
Pasal 2
(1) Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :
a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya
setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya
setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
e. pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah
sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat :
a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,
dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau

7
b. pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran
baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan Penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Penyer BKP FP Seharusnya dibuat FP diperkenankan dibuat

2 Jan 2010 28 Feb 2010 Sep 2010

31 Mei 2010
3 Bulan

FP Diterima > 3 bulan


FP dibuat tanggal 05 Mei 2010

FP Dikreditkan dalam pem,betulan


FP tidak cacat PM dapat dikreditkan
SPT masa PPN Mei 2010

Pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984 mengatur “Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.”
dalam memori penjelasan pasal 9 ayat (9) dijelaskan sebagai berikut:

Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan
Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak
terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut
hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui,
pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat
dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak
ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.

contoh:

Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling
lama Masa Pajak Oktober 2010.

8. A. 20 Agustus 2010
Dasar Hukum:

Dasar Hukum Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 Tentang Penunjukan


Bendaharawan Pemerintah Dan Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara Untuk Memungut, Menyetor,
Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Beserta Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya

Pasal 4
(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh
Bendaharawan Pemerintah dalam hal:

7
a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
b. pembayaran untuk pembebasan tanah;
c. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak
dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
d. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT
(PERSERO) PERTAMINA;
e. pembayaran atas rekening telepon;
f. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; atau
g. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan Perundang-
undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang sehubungan
dengan pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena
Pajak Rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum.

Dalam kasus ini pembuatan Faktur Pajak menggunakan mekanisme sesuai Pasal 13 ayat (1a) UU
PPN 1984 jo PMK-38/PMK.03/20010 jo Per Dirjen nomor PER-13/PJ./2010 ayat 2 sttd PER-
65/PJ/2010:
Faktur Pajak harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada bendahara pemerintah
sebagai Pemungut PPN.

9. B. Tergolong kegiatan membangun sendiri yang terutang PPN


Dasar Hukum:
 Pasal 16C UU PPN 1984
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tanggal 22 Februari 2010 mengatur tentang
batasan dan tata cara pengenaan pajak pertambahan nilai atas kegiatan membangun sendiri yang
mulai berlaku sejak 1 April 2010, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri
atau digunakan pihak lain.
b. Bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a) konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,
dan/atau baja;
b) diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c) luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).
c. Pajak Pertambahan Nilai terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen)
dengan Dasar Pengenaan Pajak.
d. Dasar Pengenaan Pajak adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk
harga perolehan tanah.

7
e. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri terjadi pada saat
mulai dibangunnya bangunan.
f. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan
kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua)
tahun.
g. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat
bangunan tersebut didirikan.
h. Kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong
bukan merupakan kegiatan membangun sendiri sepanjang dapat dibuktikan bahwa atas
kegiatan membangun tersebut telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
i. Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan setiap bulan sebesar 10%
(sepuluh persen) dikalikan dengan 40% (empat puluh persen) dikalikan dengan jumlah
biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.
j. Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib disetor ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank
Persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak

10. D. Rp27.010.830
Dasar Hukum:
Lihat soal nomor 9 di atas
Perhitungan
DPP = 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
PPN = 10% x DPP
= 10% x (40% x (Rp1.125.270.750 – Rp450.000.000))
= 10% x Rp270.108.300
= Rp27.010.830
Tarif efektif = 4% x (Rp1.125.270.750-450.000.000)
= 27.010.830

11. A. Terutang PPN sebesar 10% x Rp280.000.000 =Rp28.000.000


Dasar Hukum:
Pasal 16D UU PPN 1984
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan
aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
huruf b dan huruf c.

Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang
tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan
dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan
atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.

12. C. PT Swadharma tidak perlu memungut PPN jika tidak bertangung jawab atas hasil kerja dari tenaga
kerja tersebut.
Dasar Hukum:
Pasal 4A huruf k UU PPn 1984 Jasa tenaga kerja meliputi:
1) jasa tenaga kerja.

7
2) jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab
atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut. dan
3) jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

13. C. PT Rijitz wajib memungut PPN sebesar 0% dan menerbitkan Pemberitahuan Ekspor JKP
Dasar Hukum:
Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
Diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang
Batasan Kegiatan Dan Jenis Jasa Kena Pajak Yang Atas ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan
Nilai. Dalam peraturan tersebut diatur antara lain:
a. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
b. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan
Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak.
c. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 0% (nol persen).
d. Dasar Pengenaan Pajak adalah Penggantian
e. Batasan kegiatan Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut:
1) untuk Jasa Maklon:
a) pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak berada di luar Daerah Pabean dan merupakan Wajib
Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya;
b) spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak;
c) bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang
akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan;
d) kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; dan
e) pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan
pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
2) untuk selain Jasa Maklon:
a) jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah
Pabean; atau
b) jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah
Pabean.
f. Jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam huruf a adalah sebagai berikut:
1) Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
e poin 1);
2) jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam huruf e poin 2)a;
3) jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi,
yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e poin 2)b.
g. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak adalah pada saat Ekspor Jasa
Kena Pajak. Saat Ekspor Jasa Kena Pajak adalah pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor
tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan.
h. Pajak Pertambahan Nilai terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha dilakukan, atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
i. Kewajiban eksportir JKP
7
1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor Jasa Kena Pajak wajib membuat
Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.
2) Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak yang dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan
yang tidak terpisahkan adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak.
3) Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan ekspor Jasa Kena Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana telah ditetapkan.
j. Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh
Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena
Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

14. B. Tidak perlu melaporkan penyerahan jacket kepada Rojitz Corp. sebagai ekspor BKP jika telah
membuat Pemberitahuan Ekspor JKP
Dasar Hukum:
Lihat Soal Nomor 13

15. D. Menerbitkan SSP dalam jangka waktu paling lambat tanggal 15 Mei 2010
Dasar Hukum:
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 40/PMK.03/2010 tanggal 22 Februari 2010 Tentang
Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN atas Pemanfaatan BKP
Tidak Berwujud dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean,
Pasal 4 ayat (1) Saat terutangnya PPN terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan BKP TB dan/atau JKP
dari laur Daerah Pabean tersebut.
Pasal 5 ayat (1) saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari Luar Daerah
Pabean adalah saat yang diketahui terjadi terlebih dahulu dari peristiwa-peristiwa dibawah ini:
1) saat BKP tidak berwujud dan/atau JKP tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang
memanfaatkannya;
2) saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut
dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
3) saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut
ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
4) saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar
baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
Apabila hal diatas tidak diketahui, saat dimulainya pemanfaatan adalah pada saat tanggal
ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal 6 ayat (1) PPN yang terutang wajib dipungut dan disetorkan ke Kas Negara melalui Kantor Pos
atau Bank Persepsi dengan menggunakan SSP oleh Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan BKP
TB dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat
terutangnya pajak.

16. A. Mengurangi Pajak Masukan dari Penerima Jasa yang sudah menjadi PKP, jika Pajak Masukan atas
JKP yang dibatalkan dapat dikreditkan
Dasar Hukum:
Pasal 5A UU PPN 1984
Peraturan Menteri Keuagan Nomor 65/PMK.03/2010 tanggal 18 Maret 2010 tentang Tata Cara
Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang

7
Mewah Atas Barang Kena Pajak Yang Dikembalikan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Jasa Kena
Pajak Yang Dibatalkan sebagai pengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor 596/KMK.04/1994
tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk
Barang Kena Pajak yang Dikembalikan. Nota retur dibuat dalam hal terjadi:
1) Pengembalian atas penyerahan BKP baik seluruhnya atau sebagian.
Pengembalian Barang Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal Barang Kena Pajak yang
dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun
harganya
2) Pembatalan atas penyerahan JKP baik seluruhnya atau sebagian.

Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh
Penerima Jasa, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi
Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak dan
mengurangi:
1) Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena
Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
2) biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas
Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau
telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
3) biaya atau harta bagi Penerima Jasa yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak
Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya
atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut
 Pembeli harus membuat dan menyampaikan nota pembatalan yang disampaikan kepada PKP
pemberi JKP.
 Pembatalan JKP dianggap tidak terjadi dalam hal:
a) Nota pembatalan tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud di poin
2);
b) Nota pembatalan tidak dibuat pada saat JKP dibatalkan;
c) Nota pembatalan tidak disampaikan ke KPP penerima jasa dalam hal penerima jasa bukan PKP.

17. C. Mengkreditkan seluruh Pajak Masukan yang telah dibayar


Dasar Hukum:
Pasal 9 UU PPN 1984

(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang
sama.

(2a)Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan
yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat
dikreditkan.

(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak
Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.

(4b)Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan
Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:

7
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2a).

18. B. Faktur pajak dibuat tanggal 15 Desember 2010 dengan kode transaksi “03”
Dasar Hukum:
Pasal 13 ayat (1a) UU PPN 1984
PER-13/PJ/2010 sttd PER-65/PJ/2010
Pembuatan Faktur Pajak menggunakan mekanisme sesuai Pasal 13 ayat (1a) UU PPN 1984 jo PMK-
38/PMK.03/20010 jo Per Dirjen Nomor PER-13/PJ./2010 ayat 2 sttd PER-65/PJ/2010:
Faktur Pajak harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada bendahara pemerintah sebagai
Pemungut PPN.
atas penyerahan kepada Pemungut selain Pemungut Bendahara Pemerintah mekanisme
pembuatan Faktur Pajak mengunakan mekanisme a, b dan c.

Kode transaksi Faktur pajak antara lain:


01 = Penyerahan kepada selain pemungut PPN
02 = Penyerahan kepada pemungut PPN/Bendaharawan Pemerintah
03 = Penyerahan kepada pemungut PPN lainnya
04 = Penyerahan dengan DPP lain selain kepada pemungut PPN
05 = Penyerahan yang PPN nya di deemend selain kepada pemungut PPN (tidak digunakan lagi)
06 = Penyerahan lainya kepada selain Pemungut PPN dan kepada orang pribadi pemegang
paspor luar negeri (turis asing)
07 = Penyerahan dengan PPN TDP, DTP, KEK selain kepada pemungut PPN
08 = Penyerahan dengan PPN dibebaskan selain kepada pemungut PPN
09 = Penyerahan aktiva ps 16 D selain kepada pemungut PPN

19. C. diperlakukan sebagai Faktur Pajak


Dasar Hukum:
Pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984 “Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.”
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ./2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-
67/PJ./2010 tentang dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Jenis-
jenis dokumen tertentu yang dipersamakan kedudukannya dengan faktur pajak adalah adalah :

a. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat yang
berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut,

7
b. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh Bulog/DOLOG untuk
penyaluran tepung terigu,
c. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuatkan/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk
penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak,
d. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi,
e. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk
penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri,
f. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan,
g. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik,
h. Pemberitahuan Ekspor Jasa Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dilampiri dengan
invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor Jasa
Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, untuk ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud,
i. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean,
Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor Barang
Kena Pajak, dan
j. Surat Setoran Pajak (SSP) untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean,
k. Bukti tagihan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Perusahaaan Air
Minum,
l. Bukti tagihan (Trading Confirmation) atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perusahaan perantara
efek, dan
m. Bukti tagihan atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perbankan.
20. C. tidak perlu mengubah Faktur Pajak tertanggal 4 Mei 2010
Dasar Hukum:
Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah 143 tahun 2000 jo PP 24 Tahun 2002
1) Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata uang
asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata
uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri
Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.

Dalam petunjukan pengisian faktur pajak dalam PER-13/PJ/2010 lampiran II disebutkan dalam hal
Dalam hal pembayaran Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dilakukan dengan
menggunakan mata uang asing, maka hanya baris "Dasar Pengenaan Pajak" dan baris "PPN=
10% X Dasar Pengenaan Pajak" yang harus dikonversikan ke dalam mata uang rupiah
menggunakan kurs yang berlaku menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan pada saat
pembuatan Faktur Pajak.

7
21. A. dikenai PPN membangun sendiri berdasarkan Pasal 16C UU PPN 1984 dan C. dikenai PPN karena
pajak terutang pada saat pembangunan dimulai sehingga masih berlaku ketentuan luas bangunan 200 m
atau lebih
Dasar Hukum:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-554/KMK.04/2000 yang menyebutkan batas
pengenaan objek PPN atas membangun sendiri adalah minimal 400 m. Peraturan baru KMK-
320/KMK.03/2002 mulai 1 Juli 2002 yang merupakan revisi dari peraturan terdahulu yang
menetapkan batas minimal pengenaan DPP membangun sendiri menjadi 200 m dengan DPP yang
menjadi dasar adalah: 40% x Tarif PPN x jumlah pengeluaran selama 1 bulan
Keterangan 1 Januari 1995 1 Januari 2001 1 Juli 2002

Dasar Hukum KMK-595/KMK.04/1994 KMK-554/KMK.04/2000 KMK-320/KMK.03/2002

Luas Bangunan 400 m2 400 m2 200 m2

Dalam kasus ini karena kegiatan membagun sendiri oleh Samsul mulai dilakukan ketika
peraturan dalam KMK-320/KMK.03/2002 masih berlaku sehingga syarat pengenaan PPN atas
kegiatan membangun sendiri masih tetap menggunakan peraturan ini.

22. D. tidak dikenakan PPN karena selaku pengusaha katering Suryati bukan PKP
Dasar Hukum:
Dasar Hukum
Pasal 4A dan Pasal 16D UU PPN 1984
Pasal 4A ayat (3) huruf q jasa boga atau katering; maka pengusaha yang bergerak di bidang jasa boga
atau katering bukan PKP
Pasal 16 D
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva
yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b
dan huruf c."

23. B. SPT Masa PPN 1108


Dasar Hukum:
Peraturan Direktur Jenderal Pajak momor PER-29/PJ/2008

24. B. hanya mengenakan PPN tanpa PPnBM meskipun AC merupakan BKP Yang Tergolong Mewah
Dasar Hukum:
Dasar Hukum Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU PPN 1984
(1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
PPnBM dikenakan 1 kali pada saat impor atau pabrikan menghasilkan barang yang tergolong mewah,
jadi atas transaksi ini tidak terutang PPnBM

7
PPn BM dikenakan hanya satu kali pada saat pedagang besar membeli AC dari Pabrikan. PPn BM yang
dibayar dari pabrikan sudah menjadi harga perolehan baru dari AC tersebut dan ketika penyerahan dari
pedagang besar ke konsumen tidak dikenakan PPnBM lagi.
25. C. tidak dapat dikreditkan karena cacat meskipun Faktur Pajaknya diisi dengan lengkap dan benar
Dasar Hukum:
Lihat Soal Nomor 7

Penyer BKP FP Seharusnya dibuat FP dibuat


FP diperkenankan dibuat

3 April 2009 31 Mei 2009 3 Bulan 2 Sept 2010


31 Agust 2009

FP cacat PM tdk dapat dikreditkan

B. SPT Masa PPN 1111 terlampir Diterima tgl 13 Sept 2010 tidak
dapat dikreditkan

Anda mungkin juga menyukai