Anda di halaman 1dari 18

A.

PENDAHULUAN

Pendidikan berperan penting dalam kehidupan manusia terutama dalam


perkembangan teknologi dan globalisasi. Pendidikan yang berkualitas mampu
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Apabila sumber daya
manusia berkualitas maka individu mampu bertahan hidup di tengah arus
globalisasi dan perkembangan teknologi. UNESCO menyatakan bahwa terdapat 4
pilar pendidikan diantaranya learning to know, learning to do, learning to live
together, dan learning to be. Empat pilar ini menjadi acuan dalam proses belajar
dan mengajar (Sadia, 2014: 66).

Mengajar berasal dari kata ajar yang berarti memberi petunjuk atau
menyampaikan informasi. Pada awalnya mengajar diartikan sebagai proses
penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses
penyampaian itu sering dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Dalam konteks
ini mentransfer tidak diartikan dengan memindahkan, akan tetapi kata mentransfer
dalam konteks ini diartikan sebagi proses menyebarluaskan.

Terdapat dua pengertian mengajar atau pengajaran. Pertama, mengajar


diartikan sebagai menanamkan suatu pengetahuan kepada peserta didik, dengan
tujuan agar pengetahuan tersebut dikuasai dengan sebaik-baiknya oleh peserta
didik. Mengajar tipe ini dianggap berhasil bila peserta didik mampu menguasai
pengetahuan yang diberi oleh pendidik. Kedua, mengajar adalah menyampaikan
kebudayaan kepada peserta didik. Pengertian yang kedua ini pada intinya sama
dengan pengertian yang pertama yang hanya menekankan pada keaktifan
pendidik, sedangkan peserta didik bersifat pasif (Nasution dalam Fathurrohman,
2015: 13).

Pada era modern ini, perspektif mengajar yang hanya sebatas untuk
menyampaikan atau mentransfer pengetahuan itu dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan situasi dan keadaan. Hal tersebut disebabkan oleh tiga alasan penting yaitu
:

1. Peserta didik bukan orang yang selalu mampu berpikir dewasa, melainkan
mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Dalam

Belajar dan Pembelajaran| 1


perkembangannya, peserta didik membutuhkan orang dewasa yang dapat
mengarahkan dan membimbing mereka, karena dalam perkembangannya
ini sangat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Guru harus menjaga peserta didik agar tidak terpengaruh oleh teknologi
yang dapat menyesatkan dan mengganggu perkembangan mereka. Ini
mengakibatkan guru tidak lagi memposisikan dirinya sebagai sumber
belajar yang bertugas menyampaikan informasi saja, tetapi harus berperan
juga sebagai pengelola sumber belajar untuk peserta didik itu sendiri.
2. Ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang
tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan hanya dengan
menghafal. Sedangkan pada era sekarang, kebanyakan ilmu menuntut
adanya suatu teknologi baru yang dapat mendukung perkembangan dari
ilmu tersebut melalui pemikiran yang kritis. Contohnya dalam ilmu fisika,
orang-orang menciptakan berbagai benda mekanik yang bukan hanya
diam tetapi bergerak dan bahkan dapat menembus luar angkasa. Hal Ini
mengakibatkan setiap peserta didik harus secara mendalam memahami
materi pembelajaran, tidak cukup hanya sekedar menghafal informasi dan
rumus yang dominan diberikan oleh pendidik saja, melainkan harus dapat
berpikir kritis, kreatif, dan inovatif melalui dirinya sendiri.
3. Penemuan baru khususnya dalam bidang pisikologi, mengakibatkan
pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah laku manusia.
Pemahaman baru tersebut antara lain menganggap bahwa proses
pendidikan bukan lagi memberikan stimulus kemudian mengakibatkan
respon seperti pada aliran behavioristik, melainkan peserta didik dianggap
sebagai subjek belajar yang harus mengkonstruksi atau membangun
pengetahuannya sendiri tanpa adanya stimulus. Pandangan inilah yang
menyebabkan perubahan paradigma pembelajaran dari teacher centered
menjadi student centered.

Ketiga hal ini menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar tidak
hanya diartikan sebagai proses penyampaian materi pembelajaran atau
memberikan suatu stimulus sebanyak-banyaknya kepada peserta didik tetapi juga
dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar peserta didik belajar sesuai

Belajar dan Pembelajaran| 2


dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Pengaturan lingkungan adalah
proses menciptakan iklim (keadaan dan suasana) yang baik seperti penataan
lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran dan hal-hal lain yang
memungkinkan peserta didik betah dan senang serta nyaman belajar sehingga
dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang
dimilikinya. Istilah mengajar telah bergeser pada istilah pembelajaran yang sering
digunakan pada saat ini.

Di era modern ini dalam pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
(student centered), seorang guru berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi
peserta didik untuk secara aktif menyelesaikan masalah dan membangun
pengetahuannya secara berpasangan atau pun berkelompok (kolaborasi antar
peserta didik). Metode pembelajaran seperti ini disebut dengan metode
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
B. EMPAT PILAR PENDIDIKAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pilar adalah tiang penguat.
Istilah pilar dalam pendidikan seperti halnya dasar untuk membangun pendidikan,
tujuan dalam pendidikan, atau pokok dalam pendidikan. Empat pilar pendidikan
seumur hidup, dirumuskan dalam suatu konferensi internasional yang kemudian
diajukan kepada UNESCO. Para pendidik perlu mencermati dan memahami
dengan baik keempat pilar pendidikan tersebut, yang digunakan sebagai landasan
dalam merancang program pembelajaran, merumuskan spesifikasi hasil belajar,
memilih model pembelajaran, maupun aktualisasi kegiatan belajar-mengajar di
kelas. Keempat pilar pendidikan tersebut adalah:
1. Belajar untuk berpengetahuan (learning to know)
Makna dari learning to know adalah belajar untuk mengetahui. Pada dasarnya
kegiatan belajar bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang dipelajari, agar
seseorang mempunyai banyak informasi yang kelak dapat berguna. Dalam hal ini,
para pendidik perlu mengajarkan anak didiknya untuk belajar bagaimana belajar
(to learn how to learn).
Learning to know mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya
tidak hanya berorientasi pada hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi

Belajar dan Pembelajaran| 3


kepada proses belajar. Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa
pendidik harus mampu berperan sebagai berikut:
a. Guru berperan sebagai sumber belajar.
b. Guru sebagai fasilitator.
c. Guru sebagai pengelola. Adapun prinsip-prinsip belajar yang harus
diperhatikan guru dalam pengelolaan pembelajaran, yaitu:
 Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya
sendiri.
 Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
 Siswa akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai melaksanakan
tahapan kegiatan diberikan suatu penghargaan (reinforcement).
 Apabila siswa diberi suatu tanggung jawab, maka ia akan lebih
termotivasi untuk belajar.
d. Guru sebagai pembimbing siswa.
e. Guru sebagai evaluator..
Salah satu contoh implementasi dari learning to know yaitu pebelajar yang
aktif mencari tahu ketika diberikan permasalahan dalam bidang fisika oleh
pendidik contohnya pada mata kuliah Laboratorium Fisika. Pada mata mata kuliah
labarotorium fisika, sebelum melakukan praktikum peserta didik diminta untuk
memahami konsep dari percobaan yang akan dilakukan. Sehingga peserta didik
akan berusaha mencari tahu dan mendapatkan pengetahuan baru atau pengetahuan
tambahan terkait percobaan yang akan dilakukan.
2. Belajar untuk berbuat (learning to do)
Learning to do diartikan sebagai belajar untuk bertindak. Menurut UNESCO,
learning to do adalah bagaimana pendidikan mengajarkan peserta didik untuk
mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya dan mengarahkan pada kemampuan
profesional terhadap dunia pekerjaan di masa depan. Learning to do
mengupayakan peserta didik agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya
pengalaman belajarnya sehingga mampu menyesuaikan diri dan berpartisipasi
dalam masyarakat.
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know, yang berarti
bahwa pendidikan melalui proses belajar mengajarnya tidak sekedar transfer

Belajar dan Pembelajaran| 4


knowledge (memberi ilmu pengetahuan) kepada peserta didik tapi diarahkan pada
semangat berbuat, semangat mengamalkan ilmu dan semangat-semangat lain yang
searah dengan bertindak sesuai ilmu yang didapatnya. Learning to do
mengandung prinsip berikut:
a. Menjembatani pengetahuan dan keterampilan.
b. Memadukan learning by doing dan doing by learning.
c. Mengkaitkan pembelajaran dengan kompetensi.
Pengembangan pengetahuan pada diri pebelajar akan menimbulkan motivasi
untuk berbuat sesuatu yang baik. Pengetahuan dapat digunakan untuk
meningkatkan produktivitas manusia dalam berbagai bidang. Pengalaman belajar
yang diperoleh oleh peserta didik melalui penerapan model pembelajaran berbasis
masalah akan memberi kontribusi yang signifikan bagi terbentuknya learning to
do.
Salah satu implementasi dari learning to do yaitu pada mata kuliah
laboratorium fisika. Dalam mata kuliah ini peserta didik dilatih untuk mampu
bertindak secara ilmiah agar mampu memahami konsep dari materi yang
diberikan oleh pendidik.
3. Belajar untuk dapat hidup bersama (learning to live together)
Learning to live together adalah belajar untuk bekerjasama. Hal ini sangat
diperlukan sesuai dengan hakekat manusia sebagai mahluk sosial yang
membutuhkan orang lain. Dewasa ini, manusia makin beragam dalam berbagai
pandangan hidup dan latar belakang pengalamannya. Sehubungan dengan hal itu,
maka pendidik wajib menanamkan pengetahuan mengenai sikap, dan perilaku
yang mendasari kemampuan dan dorongan manusia untuk dapat hidup bersama.
Learning to live together ini menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan
menjadi manusia terpelajar (educated person) yang bermanfaat. Learning to live
together ini mengandung prinsip sebagai berikut:
a. Membangun sistem nilai.
b. Pembentukan identitas melalui proses pemilikan konsep luas.
Salah satu implementasi dari learning to live together yaitu pada mata kuliah
laboratorium fisika saat peserta didik melakukan praktikum peserta didik akan

Belajar dan Pembelajaran| 5


bekerjasama dengan anggota kelompoknya dalam menyelesaikan permasalahan
yang terjadi saat praktikum.
4. Belajar untuk jati diri (learning to be)
Learning to be (belajar menjadi diri sendiri) diartikan sebagai proses
pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Pendidikan melalui proses
pembelajaran juga harus mengarahkan peserta didik pada penemuan jati dirinya
yang utuh, sehingga mempunyai pijakan kuat dalam bertindak dan tidak mudah
terbawa arus globalisasi.
Pengaruh globalisasi merupakan salah satu faktor yang dapat membingungkan
manusia bahkan dapat menghilangkan jati dirinya. Lingkungan keluarga dan
lingkungan sekolah diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik untuk tetap
memiliki jati diri berdasarkan nilai-nilai hidup bangsa, tanpa menolak pandangan
baru dalam proses modernisasi.
Salah satu contoh implementasi dari learning to be yaitu ketika mahasiswa
fisika melaksanakan kegiatan PKS (Pelatihan Kepemimpinan dan Softskills).
Dengan kegiatan tersebut peserta didik didik untuk mandiri, dimana kemandirian
ini adalah kunci untuk membentuk rasa tanggung jawab dan percaya diri.
Sehingga nantinya peserta didik mampu memahami dan mecari jati dirinya
sendiri.

C. PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED


LEARNING)

Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) merupakan suatu


pembelajaran yang diawali dengan penyampaian sebuah masalah dan
menggunakan instruktur sebagai pelatih metakognitif (merefleksi diri). Problem
based learning adalah proses pembelajaran yang dirancang dalam bentuk
masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pemecahan atau solusi dari
masalah tersebut.
Model dari problem based learning adalah sebelum memulai pelajaran,
peserta didik akan diberi suatu masalah. Kemudian, peserta didik mengumpulkan
berbagai informasi untuk mendapatkan pemecahan atau solusi dari tersebut.
Model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) mengacu pada

Belajar dan Pembelajaran| 6


teori belajar penemuan. Brunner menganjurkan kemampuan anak untuk
menemukan sendiri materi yang diajarkan (belajar penemuan). Sama seperti pada
model pembelajaran ini yang mana peserta didik diberi masalah untuk di
pecahkan. Dengan metode penemuan maka struktur kognitif peserta didik akan
berkembang hingga mendapatkan suatu pengetahuan baru yang didapatnya
melalui belajar penemuan (Nasution dalam Fathurrohman, 2015: 112).
Terdapat enam tahapan proses pembelajaran berbasis masalah (Savoi &
Andrew dalam Sadia, 2014: 68) yaitu sebagai berikut:
a. Penyajian masalah, yaitu proses pembelajaran yang diawali dengan pemberian
masalah yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan oleh pendidik.
Pada proses ini, pendidik tidak lagi memberikan konsep ilmiah yang harus
peserta didik kuasai, melainkan konsep tersebut harus ditemukan oleh peserta
didik melalui suatu proses inkuiri.
b. Masalah yang diberikan hendaknya berkaitan dengan dunia peserta didik
(masalah riil) agar masalah tersebut dapat memicu keingintahuan dan motivasi
belajar peserta didik. Contohnya, ketika akan membahas materi mengenai
percepatan gravitasi bumi, pendidik mengajak peserta didiknya untuk melihat
suatu fenomena seperti segala benda akan yang jatuh akan menuju ke pusat
bumi.
c. Organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah. Artinya, materi yang
akan diberikan hendaknya sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan.
Misalnya, dalam materi mengenai percepatan gravitasi bumi, maka masalah
yang sesuai yaitu “mengapa benda di bumi selalu jatuh ke bawah?”
d. Memberi peserta didik tanggung jawab utama untuk membentuk dan
mengarahkan pembelajarannya sendiri. Hal tersebut akan mendorong
terjadinya self directed learning. Model pembelajaran ini membebaskan setiap
peserta didik untuk menentukan cara belajarnya sendiri. Peserta didik dapat
melakukan berbagai cara untuk menemukan jawaban dari masalah yang
diberikan oleh pendidik.
e. Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam proses pembelajaran.
Kelompok kecil ini bisa terdiri dari 4-6 orang, ini dilakukan agar peserta didik
dapat memecahkan masalah serta dapat berdiskusi dan bertukar pendapat.

Belajar dan Pembelajaran| 7


f. Menuntut peserta didik untuk menampilkan apa yang telah mereka pelajari
untuk melatih keterampilan komunikasi ilmiah. Setelah berdiskusi dan
mendapat suatu solusi, setiap peserta didik diharapkan bisa menampilkan hasil
diskusinya untuk meningkatkan keterampilan komunikasi ilmiah. Hal ini
dapat dilakukan dengan metode presentasi.

Beberapa ciri penting dari model pembelajaran berbasis masalah (problem based
learning) (Brooks & Martin dalam Sadia, 1993: 68) yaitu :
1. Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan
peserta didik dalam pola pemecahan masalah. Hal ini dapat mengembangkan
keahlian belajar (prior knowledge) siswa terhadap materi tersebut.
2. Sifat masalah yang disajikan dalam proses pembelajaran adalah berlanjut.
Maksudnya, masalah harus dapat memunculkan konsep-konsep yang relevan
dengan materi yang dibahas dan masalah harus bersifat riil sehingga siswa
memiliki kesamaan pandangan.
3. Adanya presentasi permasalahan. Peserta didik dilibatkan dalam
mempresentasikan suatu permasalahan, hal ini dilakukan agar peserta didik
merasa memiliki permasalahan tersebut. Selain itu, dengan presentasi peserta
didik dapat meningkatkan keahlikan komunikasi ilmiahnya.
4. Pendidik berperan sebagai tutor dan fasilitator yaitu pendidik bertugas
mengembangkan kreativitas berpikir peserta didik dalam pemecahan suatu
masalah dan membuat peserta didik menjadi mandiri.
5. Model pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif pada peserta didik
dalam memecahkan suatu permasalahan.
6. Model pembelajaran ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan karakter
peserta didik yaitu tekun, mandiri, bertanggung jawab, kerja sama, disiplin,
bekerja keras, dan demokrasi.

Beberapa karakteristik problem based learning (Barrows dalam Sadia, 2014:


69) antara lain sebagai berikut.
1. Proses pembelajaran bersifat student-centered

Belajar dan Pembelajaran| 8


Pada proses ini peserta didik bertanggung jawab terhadap pembelajaran
pada dirinya. Ketika diberi sebuah permasalahan oleh pendidik, peserta didik
secara aktif mengidentifikasi materi pelajaran untuk memperoleh pemahaman
yang lebih baik dengan cara mencari sumber-sumber informasi yang berkaitan
dengan materi ajar dalam buku teks, jurnal, internet, dan lain-lain. Dengan hal
ini maka rasa tanggung jawab dan kemandirian peserta didik akan bertambah.
2. Proses pembelajaran berlangsung dalam kelompok kecil
Proses pembelajaran ini hendaknya dibuat dalam kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari 4-6 orang. Peserta didik dalam kelompok tersebut dapat
bertukar pikiran untuk memecahkan suatu permasalahan yang diberi oleh
pendidik. Anggota pada kelompok ini hendaknya ditukar pada setiap waktu
tertentu. Hal ini bertujuan memberi pengalaman praktis kepada peserta didik
agar dapat belajar pada variasi tipe orang dalam kelompok.
3. Pendidik berperan sebagai fasilitator dan pembimbing
Pendidik dalam model pembelajaran ini tidak memberikan informasi
yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Namun, pendidik hanya
sebagai fasilitator dan pembimbing dalam belajar. Peserta didik secara mandiri
bersama kelompoknya mengidentifikasi konsep-konsep yang harus dipelajari
untuk memecahkan suatu permasalahan. Ketika peserta didik kurang
memahami konsep, disinilah peran pendidik untuk membimbing peserta
didiknya agar dapat menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan.
4. Permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi
dalam bentuk dan fokus tertentu merupakan stimulus pembelajaran
Permasalahan yang akan diberikan kepada peserta didik disajikan dalam
bentuk-bentuk yang lebih spesifik, serta permasalahan ini digunakan sebagai
stimulus agar peserta didik termotivasi untuk belajar. Contohnya, ketika
mempelajari konsep tentang pesawat atwood, permasalahan yang diberikan
hanya sebatas bagaimana hubungan antara tegangan, energi pontensial dan
energi kinetik dengan menggunakan 2 pemberat (massa berbeda) dihubungkan
dengan tali pada sebuah katrol. Permasalahan ini akan memicu peserta didik
untuk menggali informasi lebih dalam mengenai pesawat atwood tersebut.

Belajar dan Pembelajaran| 9


5. Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (self-directed
learning)
Peserta didik secara mandiri mencari solusi untuk permasalahan yang
diberikan. Hal ini dapat dilakukan dengan diskusi dengan anggota kelompok
sehingga dapat terjadi pertukaran konsepsi antar peserta didik maupun
mencari informasi pada sumber-sumber seperti buku dan internet.
6. Masalah (problems) merupakan wahana untuk mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah
Permasalahan hendaknya disesuaikan dengan dunia realita. Format
permasalahan juga harus memberi kesempatan bagi peserta didik untuk
mengajukan suatu pertanyaan, melakukan pengamatan dan eksperimen di
lapangan. Dengan pemberian masalah ini diharapkan peserta didik mampu
meningkatkan keterampilannya agar dapat memecahkan suatu masalah dan
berpikir secara kritis. Misalnya ketika mengamati percepatan gravitasi bumi,
setelah melakukan praktikum dan membaca sumber-sumber pada buku dan
internet, diketahui bahwa nilai percepatan gravitasi bumi adalah konstan
dimanapun. Namun pada kenyataannya, nilai gravitasi bumi juga dipengaruhi
oleh ketinggian suatu tempat di bumi sehingga nilainya bisa berubah.

Langkah-langkah yang diperhatikan untuk merancang model


pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) agar proses
pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered) yaitu :
1. Fokuskan permasalahan (problem) di sekitar pembelajaran konsep-
konsep sains yang esensial dan strategis. Gunakan permasalahan dan
konsep untuk membantu siswa dalam melakukan investigasi substansi
isi (content).
2. Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengevaluasi gagasan
melalui eksperimen atau studi lapangan. Peserta didik akan menggali
data-data yang diperlukan untuk memecahkan suatu permasalahan
yang dihadapinya.
3. Berikan kesempatan pada peserta didik untuk mengelola data yang
mereka miliki, yang merupakan proses latihan metakognisi.

Belajar dan Pembelajaran| 10


4. Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempresentasikan
solusi-solusi yang mereka kemukakan. Penyajian dapat dilakukan
dalam bentuk seminar, publikasi suatu jurnal ilmiah, ataupun dalam
bentuk poster (Gallagher & Stepien dalam Sadia, 2014: 70)

Alur Pembelajaran berbasis masalah (Problem based learning)

Gambar 1. Alur pembelajaran berbasis masalah


Keterangan :
a. Fase I (Pendahuluan) :penyampaian tujuan pembelajaran seting
suasana kelas (apersepsi dan motivasi).
b. Fase II (Penyajian masalah) :
1) Penyajian satu set permasalahan yang berkaitan dengan topic
yang akan dipelajari peserta didik.
2) Internalisasi masalah oleh peserta didik dalam suatu kelompok
kecil.
3) Menjelaskan produk atau kinjerja yang diperlukan untuk
disajikan.
4) Menyampaikan tugas pembelajaran, seperti mengajukan
hipotesis, mengumpulkan data/fakta, mensintesis informasi yang
diperoleh melalui kegiatan inkuiri, mempelajari isu, membuat

Belajar dan Pembelajaran| 11


catatan yang diperlukan, merancang dan melakukan percobaan
dalam rangka pemecahan masalah.
5) Mengembangkan penalaran dan argument berdasakan masalah
yang telah disajikan.
6) Mengidentifikasi sumber-sumber pembelajaran.
7) Penjadwalan tindak lanjut suatu masalah.
c. Fase III (Tinda lanjut masalah) :
1) Menggunakan berbagai sumber dan keterampilan berpikir kritis
serta berpikir kreatif untuk memecahakan suatu masalah melalui
kegiatan inkuiri.
2) Mengakses kembali masalah yang dipecahakan melalui revisi
hipotesis, menerapkan pengetahuan baru, mensintesis ulang,
mengkaji kembali suatu masalah, jika diperlukan revisi kembali
rencana tindakan, serta mendisan kembali keputusan dalam
pemecahan masalah.
d. Fase IV (Presentasi) : penyajian pemecahan masalah oleh
kelompok dan diskusi kelas
e. Fase V (Kesimpulan) : berisikan rangkuman, simpulan, serta
evaluasi diri.
D. KOMPERASI ANTARA MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH DAN MODEL PEMBELAJARAN YANG LAIN
Pembelajaran berbasis masalah dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:
1. Aspek kurikulum
Pada aspek kurikulum, variasi model pembelajaran dibedakan
menjadi dua yaitu ceramah/ekspositori dan pembelajaran berbasis
masalah.
a. Dalam model pembelajaran ceramah/ekspositori, kurikulum
digunakan sebagai suatu tuntutan (preskripsi), yang mana dalam
proses belajar :
1) Menurut perspektif guru/ahli yaitu pembelajaran menurut
pandangan guru saja, siswa diumpamakan tidak mengetahui

Belajar dan Pembelajaran| 12


materi. Jadi disini guru berpandangan bebas tentang materi yang
dia sampaikan.
2) Pembelajaran bersifat linier dan rasional. Pembelajaran bersifat
linier yaitu materi yang dijelaskan bersifat searah serta adanya
umpan balik dari siswa. Misalnya materi yang disampaikan pada
saat SMA tidak terlalu berat dan bersifat umum. Sedangkan
bersifat rasional yaitu pembelajaran bersifat logis dan berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya fenomena pelangi dapat
dijelaskan secara logis sebagai akibat dari adanya dispersi cahaya.
3) Organisasinya dari bagian menuju keseluruhan.
4) Mengajar sebagai proses transmisi artinya guru mentransfer ilmu
kepada siswa.
5) Belajar sebagai proses penerimaan artinya siswa menerima apa
saja yang dijelaskan oleh guru.
b. Dalam metode pembelajaran berbasis masalah, kurikulum sebagai
suatu pengalaman
1) Menurut perspektif siswa, artinya pembelajaran tidak hanya
berdasarkan pandangan guru, namun siswa juga turut
menyampaikan pandangan-pandangannya terhadap materi
pembelajaran.
2) Koheren dan relevan. Pada proses belajar mengajar materi
berhubungan erat dengan kehidupan yang sering dialami siswa.
Mislanya pemecahan masalah secara konseptual terjadinya angin
darat dan angin laut.
3) Organisasi dari keseluruhan menuju bagian-bagian
4) Mengajar sebagai fasilitator. Maksudnya disini ialah tugas
seorang guru sebagai fasilitator yaitu mengarahkan dan
membimbing siswa agar terhindar dari miskonsepsi, sedangkan
siswa aktif mencari pengetahuan yang terkait dengan materi.
5) Belajar sebagai proses mengkonstruksi pengetahuan artinya
pengetahuan siswa dibangun dalam proses belajar mengajar. Jadi
siswa tidak hanya menerima materi saja melainkan siswa juga

Belajar dan Pembelajaran| 13


mengkritisi materi yang disampaikan dan mampu menjelaskan
kembali materi tersebut.
2. Aspek peran guru /dosen dan siswa/ mahasiswa
Tabel 1. Aspek peran guru/ dosen dan siswa/ mahasiswa
Pendekatan/ Peran Guru/ Dosen Peran Siswa/Mahasiswa
Model
Pembelajaran
Ceramah Sebagai ahli/ekspert: Sebagai penerima
(lecture) Mengarahkan pikiran siswa Tidak aktif
Sebagai narasumber Lembam
Mengevaluasi keberhasilan Pikiran siswa diasumsikan
belajar siswa kosong
Metode kasus Sebagai konsultan: Sebagai klien
(case methods)  Mengajar pre/post  Responsive
 Menseting lingkungan belajar  Semiaktif
 Mengevaluasi keberhasilan  Menerapkan
belajar siswa pengalaman belajarnya
Discovery/ Sebagai penulis misteri: Sebagai detektif
inquiry  mengkombinasikan bagian-  semi aktif
bagian agar terjadi proses  mencari solusi
penemuan pemecahan dari
 mengevaluasi keberhasilan fenomena/kejadian-
belajar siswa. kejadian.

Tabel 2. Aspek peran guru / dosen dan siswa / mahasiswa (lanjutan)


Pendekatan/ Peran Guru/ Dosen Peran Siswa/Mahasiswa
Model
Pembelajaran
Problem Sebagai narasumber Sebagai pemecah masalah:
solving  Secara eksplisit  Mengevaluasi sumber-
mengajarkan materi sumber belajar
pembelajaran  Mengidentifikasi solusi-

Belajar dan Pembelajaran| 14


 Mengajukan masalah solusi alternative
untuk dipecahkan oleh  Siswa aktif
siswa
Pembelajaran Sebagai coach: Sebagai participant:
berbasis  Menyajikan problem  Secara aktif menganalisis
masalah  Mendorong siswa masalah
(problem untuk melakukan  Melakukan investigasi untuk
based investigasi memecahkan masalah
learning)  Mendampingi siswa  Menemukan konsep dan
sebagai co-investigator prinsip-prinsip ilmiah untuk
 Mengases proses dan memecahkan masalah
hasil belajar siswa

Dari komparasi pembelajaran berbasis masalah dengan model pembelajaran


lainnya, terlihat bahwa model pembelajaran berbasis masalah merupakan model
pembelajaran konstruktivis, kompleks dan memberikan peluang besar
terbentuknya kemandirian belajar.
Pembelajaran berbasis masalah baik digunakan untuk menumbuh-
kembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir yang kritis dan
kreatif. Hal tersebut dikarenakan permasalahan yang bersifat kompleks,
kostektual, dan illstruktur akan memberikan kesempatan bagi siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir analitik, evaluatif, dan reflektif. Hasil
penelitian Sadia, dkk (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah
secara signifikan dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa.

E. PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH


(PROBLEM BASED LEARNING) DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

Contoh penerapan Program Based Learning dalam pembelajaran


khususnya bidang fisika ialah pada materi Hukum Archimedes, yaitu :
1. Pada tahapan pertama guru menjelaskan tujuan pembelajaran dalam materi
hukum Archimedes dan kompetensi dasarnya.

Belajar dan Pembelajaran| 15


2. Pada tahapan kedua, guru memberikan masalah tentang gaya apung yang
terjadi pada benda yang dicelupkan ke dalam air.
3. Pada tahapan ketiga, guru membantu siswa dalam menyusun materi-materi
yang berhubungan dengan gaya apung tersebut.
4. Pada tahapan keempat, guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi-informasi tentang gaya apung yang terjadi pada benda yang
dicelupkan ke dalam air dan proses terjadinya peristiwa terapung,
melayang, dan tenggelam.
5. Pada tahap kelima, siswa menyusun masalah-masalah yang ada, dan
mempresentasikannya dengan bantuan dari guru.
6. Pada tahap keenam, siswa melakukan analisis terhadap permasalahan,
misalnya bagaimana gaya apung mempengaruhi posisi benda di dalam zat
cair dengan bantuan guru.
7. Pada tahap ketujuh, guru melakukan refleksi dan evaluasi terhadap
permasalahan yang ada agar tidak terjadi miskonsepsi.

F. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MODEL PEMBELAJARAN


BERBASIS MASALAH
1. Kelebihan model pembelajaran berbasis masalah (Problem based
learning) :
a. Materi yang dipelajari lebih lama diingat serta lebih meningkatkan
pemahaman siswa. Pada proses belajar mengajar menggunakan metode
problem based learning, siswa diberikan suatu masalah terkait materi
dan dituntut untuk bisa memecahkan masalah tersebut. Hal tersebut
mengakibatkan siswa berusaha mencari referensi dan sumber-sumber
untuk mendapatkan solusi dari suatu permasalahan. Sehingga siswa
akan menemukan sendiri pengetahuannya. Berdasarkan teori belajar
brunner pengetahuan yang ditemukan sendiri akan lebih lama diingat.
b. Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan. Model
pembelajaran PBL memberikan permasalahan yang berkaitan dengan
permasalahan sehari-hari serta tidak menyimpang dari kejadian yang
sering dialami siswa. Misalnya dalam pembelajaran fisika menjelaskan

Belajar dan Pembelajaran| 16


fenomena konveksi, konduksi, dan radiasi dengan mengambil contoh
pada kejadian sehari-hari.
c. Mendorong untuk berpikir. Pemberian suatu permasalahan yang
menuntut siswa untuk memecahkan atau mendapatkan solusi dari
masalah tersebut menuntut siswa untuk dapat berpikir tingkat tinggi.
d. Membangun kerjasama tim, kepemimpinan dan keterampilan sosial.
Model pembelajaran ini, biasanya menekankan diskusi kelompok untuk
memecahkan suatu permasalahan, sehingga terjadi interaksi antar siswa.
e. Membangun kecakapan belajar. Model pembelajaran ini menuntut
siswa untuk belajar dengan keras. Misalnya dengan cara mencari
pengetahuan dan materi sendiri sehingga menimbulkan kecakapan
belajar.
f. Memotivasi belajar. Pemberian masalah yang menantang dan menarik
dalam model pembelajaran ini dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa.
2. Kekurangan model pembelajaran berbasis masalah (Problem based
learning) :
a. Model problem based Learning menuntut siswa agar rajin dan aktif
dalam mencari bahan pelajaran. Apabila siswa malas maka akan sulit
untuk mengikutinya. Solusinya yaitu guru harus melakukan pendekatan
kepada siswa.
b. Metode pemecahan masalah kurang cocok diterapkan pada mata
pelajaran yang bersifat menghitung (ilmu eksak). Karena siswa yang
memiliki kemapuan menengah kebawah akan sulit mencerna materi
tanpa adanya penjelasan yang mendetail dari guru.

Belajar dan Pembelajaran| 17


DAFTAR PUSTAKA

Sadia, I Wayan. 2014. Model-Model Pembelajaran Sains Konstruktivistik.


Yogyakarta: Graha Ilmu.
Fathurrohman, Muhammad. 2015. Model – Model Pembelajaran Inovatif.
Jogjakarta: AR – RUZZ MEDIA.

Hanafiah, Nanang & Suhana, Cucu. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran.


Bandung: PT Refika Aditama.

Belajar dan Pembelajaran| 18

Anda mungkin juga menyukai